Text
Siap Menjadi Orang Tua
Akhir-akhir ini, isu tentang luka batin yang berakar dari pola asuh semakin sering muncul di sekitarku. Tak sedikit orang dewasa yang mulai menyadari bahwa mereka, pada titik tertentu, adalah “korban” dari cara orang tua membesarkan mereka. Di sosial media, cerita-cerita serupa juga memenuhi linimasa, menjadi cermin untuk kami—aku dan adikku—mengenang kembali bagaimana kami tumbuh.
Bersyukur, kami terlahir dari kedua orang tua yang, bagi kami, sudah benar-benar siap menjadi orang tua. Bahkan, ketika aku masih belia, baru masuk SMP, mereka sudah mengenalkanku pada psikiater dan psikolog. Padahal, pada saat itu, datang ke profesional semacam itu sering dianggap tabu, bahkan hanya untuk "orang gila." Tetapi tidak bagi orang tua kami. Bagi mereka, kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik, tak pernah bisa dianggap remeh.
Kami tidak terlahir dari keluarga kaya raya, namun, selama ini, aku tidak pernah sekalipun mendengar mereka berkata, “Uangnya nggak cukup buat sekolah,” atau “Kamu nggak usah ikut kegiatan itu ya, Bapak nggak ada uangnya.” Kini, saat dewasa, aku menyadari betapa besar pengorbanan mereka. Meskipun Bapak dan Ibu hanyalah pegawai negeri biasa, pendidikan selalu menjadi prioritas yang tak pernah mereka tawar-tawar.
Dalam ingatanku, tak ada bentakan atau suara tinggi dari mereka. Ketika kami berbuat nakal atau menguji kesabaran mereka, mereka masih bisa berbicara dengan tenang, lebih mengajak kami merenungkan apa yang kami perbuat dan berdiskusi. Cara ini membuat kami jauh lebih mampu menerima apa yang mereka sampaikan.
Lebih dari itu, orang tua kami tak pernah memaksakan kehendak mereka atas hidup kami. Mulai dari memilih sekolah, jurusan kuliah, pekerjaan, merantau atau tidak, hingga memilih pasangan hidup, semua adalah keputusan kami sendiri. Mungkin karena itulah, kami belajar memikul tanggung jawab tanpa merasa ada beban bertentangan dengan mereka.
Dari percakapan kami itu, kami menyadari bahwa Bapak dan Ibu telah memberikan lebih dari sekadar dukungan—mereka memberikan rasa percaya dan kebebasan yang tumbuh bersama kami. Dalam doa, kami memohon agar kelak, saat kami diberi amanah untuk menjadi orang tua, kami bisa memberikan hal yang sama untuk anak-anak kami, seperti apa yang telah mereka lakukan untuk kami.
0 notes
Text
"Aku sesuai prasangka hambaKu."
Sekian lama berusaha untuk membuktikan janji dari kalimat yang sangat familiar itu, ternyata selama ini jawabannya berada sangat dekat sekali. Janji itu benar dan nyata adanya. Selama ini ketidaktahuan pada diri yang dirawat dan dipelihara karena enggan belajar. Kenyamanan yang mengikat kuat dua kaki hingga tak mau melangkah kemana-mana. Mata yang tertutup hingga tidak bisa membaca banyak tanda. Kemarin aku mendapat pertanyaan, "Momen apa yang kamu ingat saat kamu merasa diberi pertolongan Allah?"
Seketika aku tidak bisa menulis. Bukan karena tidak ada, tapi karena saking banyaknya. Rasanya hidupku ini pun adalah sebuah pertolongan.
Salah satu doa yang selalu ku panjatkan sampai saat ini, "Ya Allah, dekatkan aku pada segala hal dan semua makhluk yang mendekatkanku padaMu. Jauhkan aku pada segala hal dan semua makhluk yang menjauhkanku dariMu."
Lalu dikabulkanlah doa itu. Ketika hidup dirasa tidak sesuai dengan apa yang diinginkan, Allah berikan pemahaman, bahwa Dia sedang menyelamatkanku dari bahaya di depan yang tidak bisa kulihat. Ketika hidup sedang dalam masa penantian, Allah karuniakan kesabaran yang tidak terbatas, bahkan Allah memberikan hadiah yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Malu rasanya kalau hidup ini hanya mengeluh dan meratap. Atas semua yang sudah Ia berikan, apalagi yang kurang? Bahkan hati yang tenang dan penuh syukur ini harganya jauh lebih mahal dari semua kekayaan yang dilihat dari mata dunia.
Semoga selalu terjaga prasangka baik pada Sang Pemilik Hidup, sehingga hidup ini pun akan berjalan dan berakhir dengan baik di hadapanNya. Aamiin.
0 notes
Text
Kepada seorang yang memangku mesin ketiknya,
Di sudut ruangan, di bawah cahaya lampu yang hangat, aku teringat pada suara denting mesin ketik yang pernah mengisi hari-hariku. Setiap huruf yang terukir pada kertas, setiap kalimat yang terjalin, adalah jembatan menuju dunia yang kau bangun dengan penuh cinta dan ketekunan.
Aku masih bisa membayangkan dirimu, dengan kaca mata besar yang membingkai pandanganmu, menyusuri setiap baris dengan teliti, menorehkan pikiran-pikiranmu dalam bentuk kata-kata. Warisanmu, yang dulu hanya sebuah jejak di atas kertas, kini menjadi sebuah jalan yang aku tempuh meskipun masih banyak mengeja setiap petunjuk jalan yang ada.
Aku mencoba menghidupkan kembali apa yang pernah kau mulai. Kata-kata masih menari di benakku, mencoba menemukan rumahnya di dunia ini.
Aku berusaha meneruskan apa yang telah kau wariskan. Aku menulis, seperti yang pernah kau lakukan—dengan hati, dengan dedikasi, dan dengan rasa hormat pada setiap kata. Warisanmu tak hanya ada di dalam mesin ketik yang dulu setia menemanimu, tapi juga dalam setiap kalimat yang kutulis, yang lahir dari kenangan akan dirimu.
Aku melihatmu tersenyum, mungkin tidak akan banyak kata yang kau ucap karena sudah habis kau torehkan pada semua cerita yang tertulis abadi. Tapi terima kasih, telah jadi inspirasi dari dulu hingga kini. Sampai bertemu lagi, nanti.
0 notes
Text
Mahalnya Kata Maaf
Andini menegakkan punggungnya, bersiap menjawab pertanyaan dari salah satu peserta seminar yang, sejujurnya, membuatnya sedikit terganggu. Sebelum dia menjawab, Andini menarik napas, agak berat, diiringi dengan senyum yang dibuat-buat. Senyum yang mampu menyembunyikan segala rasa sakitnya dan membuatnya tampak baik-baik saja.
"Soal memberi maaf..." Andini berhenti sejenak, "memang bukan hal yang mudah untuk siapa saja." Matanya berusaha menyapu puluhan pasang mata yang kini tertuju padanya. Sialnya, dia terpaku pada seorang pria muda. Pria berkemeja biru muda, dengan rambut rapi, yang duduk di barisan kedua. Sudah hampir dua jam seminar berlangsung, tetapi Andini tidak mampu mengalihkan perhatiannya dari pria itu. Dia mengingatkannya pada seseorang.
"Namun terkadang, kita harus menyadari bahwa memberi maaf itu bukan untuk mereka yang menyakiti, tapi untuk diri kita sendiri. Pernah terpikir dalam benakku, teman-teman, mungkin saja orang tersebut tidak sadar kalau perilaku atau perkatannya menyakiti kita jika kita tidak mengungkapkannya langsung. Tapi kita juga tidak mau dan mungkin tidak sanggup menegur orang tersebut. Menyimpan amarah dan dendam justru perlahan menghancurkan diri kita. Kenapa? Karena pada akhirnya kita terpenjara oleh perasaan itu. Kita jadi tidak fokus pada diri sendiri. Kita lupa bahwa hidup terus berjalan, dan ada banyak hal yang lebih penting dan lebih seru untuk kita pikirkan." Kali ini, senyum Andini tidak dibuat-buat. Senyum kemenangan yang dia tunjukkan adalah perayaan kebebasannya setelah bertahun-tahun dipenjara oleh amarah dan dendam yang menemaninya sejak duduk di bangku sekolah dasar.
"Kita pasti ingin, orang yang pernah menyakiti kita juga merasakan sakit yang sama. Ingin membalas dendam sebisa kita. Bahasa umumnya, kena karma. Kalau bisa nih, dia dapat balasan yang lebih berat! Ha.. ha.." Tawa Andini pecah, diikuti dengan tawa yang lain. Ruangan yang tadinya sepi jadi sedikit riuh. Tawa untuk menertawakan diri masing-masing. Begitu pun dengan Andini.
"Tapi, bagaimana jika posisinya berbalik? Bagaimana jika kita tanpa sadar juga menyakiti dan melukai orang lain? Bagaimana jika luka itu tidak kunjung sembuh sampai hari ini? Apakah tidak menakutkan jika orang tersebut mendoakan hal buruk untuk kita?" Ruangan kembali hening. Setiap orang menghela napas panjang, seolah tertampar.
"Mungkin saja, tadi itu ego kita yang berbicara. Tapi kita bisa, kok, mengubah sudut pandang untuk pelan-pelan memaafkan. Bisa diibaratkan, jika kita terus menyimpan dendam dan amarah itu seperti meminum racun tapi berharap sembuh. Mulai sekarang obati, ya! Mungkin dengan mencari kegiatan positif, bertemu banyak teman baru, membaca buku yang kamu suka, mendengarkan musik yang bisa menaikkan mood, atau traveling ke tempat baru juga bisa banget! Buat sebanyak-banyaknya memori baik untuk pelan-pelan menggantikan memori yang kurang baik." Suara tepuk tangan kini menggema di seluruh ruangan.
Sang moderator berterima kasih pada Andini dan menyimpulkan beberapa poin penting dari materi yang disampaikannya. Andini, seorang psikolog yang saat ini disibukkan oleh acara seminar atau talk show semacam ini, bersiap untuk pulang. Setelah acara resmi ditutup, Andini menyalami sang moderator dan bersiap untuk pergi. Beberapa peserta berhamburan menghampirinya, memperlambat geraknya menuju pintu keluar. Beberapa mengucapkan terima kasih, beberapa meminta foto bersama. Di tengah keriaan itu, Andini kembali melihat pria muda itu di dekatnya. Wajahnya sangat familiar, mirip dengan sosok laki-laki yang pernah mengambil raport sekolahnya, tetapi hanya sampai saat usianya delapan dan masih berseragam putih merah. Andini tahu, laki-laki yang ada dalam memorinya itu tidak akan pernah kembali. Entah bagaimana kini hidupnya, mungkin sudah bahagia dengan keluarga barunya. Bagaimanapun, Andini ingin sekali mengucapkan terima kasih pada laki-laki tersebut. Terima kasih karena dia, Andini mampu memaafkan, meskipun harga maaf sangatlah mahal.
0 notes
Text
Menyambut Generasi Penerus
Belakangan aku menyaksikan, banyak teman-temanku yang bersiap jauh-jauh hari menyambut generasi penerus mereka. Tidak sedikit dari mereka yang mempersiapkan segala hal terbaik untuk menyambut buah hati kelak. Menghitung biaya pendidikan, banyak membaca literasi tentang kesehatan, juga memastikan anak-anak mereka nanti mendapatkan tempat yang aman untuk bertumbuh.
Para laki-laki bersiap menjadi pemimpin, seorang ayah yang harus bisa menjadi nahkoda, memegang kendali ke mana kapal mereka akan melaju, memberi bekal nilai-nilai kehidupan untuk melahirkan pemimpin-pemimpin baru. Para perempuan bersiap untuk bertaruh nyawa, demi mendengar tangisan bayi mungil yang datang beriringan dengan air mata haru keluarga yang sudah menunggu. Hari-hari mereka tidak lagi sama. Pikiran semakin bercabang juga rasa khawatir yang semakin besar.
Tapi itu semua tidak sebanding dengan rasa syukur yang hadir, ketika mereka mampu melihat waktu dengan wujud nyata. Waktu yang tidak lagi abstrak. Karena dengan kelahiran seorang generasi penerus mereka, waktu bisa dirasakan dan disentuh, berwujud seorang anak yang siap diwarisi segala kebaikan yang dimiliki orang tua dan keluarganya.
Waktu yang bisa diulang, ketika para orang tua menyambut kelahiran anak kedua, ketiga, dan seterusnya. Ada waktu yang mengajak mereka kembali untuk hati-hati memandikan bayi, mempersiapkan makanan pendamping asi, kembali membersamai mereka belajar berjalan, bersepeda, dan kembali mengenalkan pondasi agama yang diyakini.
Para orang tua dan para calon orang tua ini adalah mereka yang sedang dalam perjalanan untuk lebih mengenal diri sendiri. Ketika ada satu hal yang dirasa kurang baik, maka mereka akan berusaha mencari tahu akar masalahnya dan bagaimana memperbaikinya. Supaya kesalahan ini tidak berulang dan diturunkan pada anak-anak mereka. Perjalanan panjang seumur hidup dengan rute yang tidak bisa dibaca dengan mudah. Terkadang perlu berputar balik, mencari arah yang lain, atau perlu berhenti sejenak.
Semua mengupayakan yang terbaik, tapi tidak mungkin mencapai satu kata sempurna. Saat menjalani peran sebagai anak, kita sudah pasti punya banyak salah dan kurang, begitu juga saat kita menjalani peran sebagai orang tua. Jadi mungkin sudah seharusnya, kita selalu ingat untuk percaya bahsa sebaik-baiknya penjagaan adalah Dia Yang Menciptakan mereka dari lahir hingga saatnya nanti habis waktu mereka di dunia.
3 notes
·
View notes
Text
Ternyata kita itu punya banyak blind spot ya. Ibarat sedang mengendarai kendaraan, ada beberapa titik yang tidak bisa kita lihat dengan jelas. Perlu meminjam mata orang lain untuk benar-benar jelas melihat beberapa titik tersebut.
Mungkin kita merasa diri kita adalah seseorang yang paling mengenal diri sendiri, padahal nyatanya belajar mengenal diri itu seumur hidup. Kita bukan makhluk yang stagnan, yang berhenti di satu keadaan. Nyatanya kita terus bertumbuh, terus menemui situasi-situasi baru yang rasanya asing.
Itulah saatnya kita meminta bantuan orang lain, untuk memberi arah dan petunjuk karena keterbatasan yang kita punya.
Jangan selalu membiarkan diri kita berjalan sendirian.
2 notes
·
View notes
Text
Seberapa berani kamu menceritakan mimpimu pada orang lain? Bagaimana jika nanti mimpimu itu dibilang ketinggian?
Bagaimana jika nanti mimpimu itu dijadikan bahan olokan?
Bagaimana jika nanti hal-hal itu membuatmu menyerah sebelum mengambil langkah?
Atau
Bagaimana jika ketakutan itu justru menghalangimu untuk bertemu dengan orang-orang yang bisa membantumu mewujudkan mimpi itu?
Bagaimana jika mimpi itu tidak mustahil?
Bagaimana jika memang kamu mampu?
Jadi, seberapa berani kamu menceritakan impian-impianmu pada orang lain?
0 notes
Text
Cantik
Dalam pencarian makna cantik yang ternyata banyak ku temukan definisinya, kini aku mulai paham bahwa cantik itu ketika aku melihat seorang ibu yang sedang menatap penuh kasih pada anak-anaknya, cantik itu ketika aku bertemu seorang wanita yang harus menjadi tulang punggung keluarga dan berjuang mengupayakan kehidupan yang layak untuk mereka. Cantik itu ketika aku melihat tawa canda sekelompok perempuan yang sedang saling berbagi kisah mereka, berusaha menjadi teman paling supportif.
Cantik juga ku temukan ketika aku menyaksikan para perempuan yang sudah mulai menemukan banyak cara untuk menyayangi dirinya. Menyempatkan olahraga meski banyak deadline menanti. Memilih makanan yang lebih sehat untuk tubuh mereka, merawat kebersihan wajah, kulit dan semua yang sudah dianugerahkan.
Tapi ku lihat yang paling cantik adalah mereka yang selalu mampu menerima segala kekurangan diri, yang tidak pernah membebani diri dengan berusaha memenuhi makna cantik dari sudut pandang orang lain. Karena mereka tahu, mereka sudah cantik untuk diri mereka sendiri dan itu lebih dari cukup.
5 notes
·
View notes
Text
Tahun ini memberanikan diri untuk mengikuti Novel Writing Workshop yang diadakan oleh @bentangpustaka-blog dan @careerclass. Sebuah novel yang kuberi judul Arcadia: Perjanalan Menemukan Peta Mimpi. Bukan hanya soal peta mimpi, tapi tentang keberanian untuk jujur pada diri sendiri.
I present you, Tita dan si kucing ajaib bernama Nala. Berharap bisa meneyelesaikan novel ini tepat waktu dan bisa dekat dengan para pembacanya. Tita dan Nala bisa disapa lewat link berikut:
Wish me luck and happy reading!
0 notes
Text
Belajar dari manusia
Beberapa waktu belakangan, telinga ini banyak belajar untuk lebih sabar mendengar. Ternyata menjadi pendengar yang baik bisa memperkaya hati, dan mampu meluaskan sudut pandang yang sebelumnya sempit. Ada kisah seorang ibu yang memutuskan untuk berhenti kerja karena harus mengurus anaknya yang spesial dan perlu perhatian lebih, ada cerita anak perempuan pertama yang harus mampu menggantikan peran ibunya yang sudah meninggal dunia, ada juga kisah seorang anak muda yang berkuliah di luar negeri, tinggal jauh dari keluarga, tempat paling nyaman untuknya. Ada juga seorang yang kini sudah nampak hebat tapi ternyata perjuangan di balik kesuksesannya itu, dia banyak melewati situasi yang sulit. Mungkin definisi kaya kini perlahan-lahan berubah. Bukan hanya sekadar tentang nominal, kepemilikan, tapi mendengar kisah-kisah yang luar biasa adalah kekayaan yang tak ternilai. Cerita tentang seni berproses, bukan hanya terpaku pada hasil akhir.
Meski tak benar-benar tahu bagaimana jadinya kalau aku ada di posisi mereka, setidaknya telinga ini belajar berempati dan mencontoh perjuangan orang-orang hebat itu bertahan hidup. Pengalaman adalah guru yang sangat berharga, pun begitu dengan pengalaman orang lain. Terima kasih kepada semua jiwa-jiwa baik yang sudah mau mempercayakan ceritanya. Semoga selalu menemukan jalan keluar dari setiap kesulitan yang dihadapi hari ini.
3 notes
·
View notes
Text
Cerita Seorang Doula
BABY-TO-BE, sebuah novel fantasi karya Marina Yudhitia ini mengisahkan tentang Adel yang berprofesi menjadi doula.
Doula adalah seorang pendamping non-medis yang memberikan dukungan fisik, emosional, dan informasional kepada ibu hamil, pasangan, dan keluarga selama periode kehamilan, persalinan, dan setelah persalinan. Peran doula adalah memberikan perhatian pribadi, kenyamanan, dan panduan untuk membantu memfasilitasi pengalaman kelahiran yang positif. Meskipun mereka tidak memberikan perawatan medis, kehadiran doula dapat memberikan dukungan tambahan dan membantu mengurangi stres selama proses kehamilan dan persalinan.
Novel ini memberi banyak gambaran tentang profesi doula yang jarang sekali dilirik dan dijadikan sebagai tokoh utama. Lucunya, Adel yang seorang doula justru sangat menghindari pernikahan dan tidak ingin menjadi ibu. Bukan karena Adel takut akan proses mengandung dan melahirkan itu sendiri, tapi karena Adel menyimpan luka di masa lalunya.
Di tengah kesehariannya menjadi Doula, Adel bertemu dengan Bo, seekor bangau mitologis yang membawa buntalan kain berisi ruh calon bayi. Rupanya Bo tersesat dan terpisah dari rombongan kawan-kawannya. Adel yang awalnya tidak menghiraukan Bo, pada akhirnya membantu Bo untuk mempertemukan calon bayi itu pada rahim sang ibu. Karena kalau tidak, calon bayi itu akan diserahkan Bo ke rahim Adel. Mana mungkin hal itu bisa dibiarkan? Bagaimana nanti Adel menjelaskan kejadian di luar nalar ini pada mama dan kakaknya?
Perjalanan mereka berdua untuk menemukan rahim tempat calon bayi itu tinggal benar-benar seperti menaiki roller coaster. Adel dan Bo bertemu banyak calon ibu dengan cerita-cerita berbeda, yang berhasil mengaduk-aduk perasaan setiap pembaca. Dari cerita tersebut aku diingatkan tentang perjuangan seorang ibu yang mempertaruhkan segalanya untuk mengandung, melahirkan dan merawat anak-anaknya. Di novel ini pun pembaca diajak membersamai Adel untuk pelan-pelan sembuh dari luka masa lalunya. Dari fase denial sampai akhirnya ke penerimaan. Bagiku, ini adalah novel yang menarik. Novel yang kubaca dalam sekali duduk. Sebuah cerita fantasi dengan character development yang sangat baik. Cara bertuturnya mengalir, dengan sisipan pengetahuan yang membuatku tidak berhenti untuk membuka halaman demi halaman. Penulis juga melakukan risetnya dengan baik. Kira-kira berapa lama ya penulis melakukan riset tentang doula dan cerita mitologis bangau yang bertugas mengantarkan ruh bayi ke bumi ini? Menggabungkan tokoh Adel dan Bo dengan background masing-masing yang begitu kuat sangat menginspirasi untuk tulisanku nanti. Bagaimana mempertemukan dua tokoh dengan background yang sangat berbeda tapi takdir mempertemukan mereka dalam satu misi besar.
It's such a great story; we can learn a lot from it.
@kurniawangunadi @careerclass @bentangpustaka-blog
0 notes
Text
Halo, Aku
The title may seem a bit cringe, but I wrote this to say thank you to Nayunda. Sahabat terbaikku. Telinga yang sabar mendengarkan semua ocehan-ocehan konyol yang tidak masuk akal sampai segala pikiran di kepala waktu dini hari. Seorang yang dewasa yang selalu bisa mengingatkanku pada hal-hal baik di saat situasi yang tak terkendali ada di depan mata. Seorang yang terkadang juga bisa menjadi anak kecil yang selalu mengingatkanku untuk mencoba banyak hal baru tanpa rasa takut. Seorang yang kuat, yang selalu menemukan cara untuk bangun lagi dan lagi. Seorang yang juga tidak malu mengakui kalau dia pun lemah, tidak malu untuk mencari pertolongan sebagai tanda sayang terhadap dirinya sendiri. Dia lah yang menginspirasiku untuk terus saling memeluk dan menerima. Bagaimanapun keadaannya.
Perjalanan bertemu dia bukan perjalanan yang singkat, tapi sangat aku nikmati. Darinya aku juga belajar untuk selalu menghargai proses, bukan hanya menunggu hasil dan tidak sabar sampai di tujuan. Karena ternyata setelah sampai, ada banyak tujuan baru yang harus ditemukan rute perjalanannya kembali.
Terima kasih banyak ya. Jaga pendar cahaya yang kamu bawa. Sebagaimana kamu, aku pun akan selalu jadi sahabat terbaikmu.
1 note
·
View note
Text
Oase
Semalam, aku ngobrol dengan orang yang baru kukenal. Awalnya aku mengira obrolan ini akan berlalu biasa saja penuh dengan basa basi yang basi. Tapi di luar dugaanku, kami melewatkan hampir 3 jam bercerita tanpa jeda. Ada banyak kesamaan yang ternyata membuat kami merasa lebih dekat dan akrab layaknya teman lama. Karena beberapa buku bacaan yang sama, kami jadi lebih mudah untuk menyamakan perspektif dan berempati jika pendapat kami berbeda akan suatu hal.
Meski obrolan sudah selesai sebelum kami terlelap, sampai pagi ini rasa bahagia itu masih tetap tinggal. Perasaan cukup dimengerti dan cukup didengarkan. Perasaan diterima dan ditemani.
Selama berproses dan mendewasa, memang aku tidak bisa mendikte diri sendiri dan orang lain untuk selalu berjalan beriringan. Terkadang ada kalanya memaksakan diri untuk bisa masuk ke satu lingkungan yang sebenarnya tidak sejalan dengan diri sendiri. Akhirnya membohongi diri adalah keputusan yang dipilih hanya agar bisa diterima dan menjadi bagian darinya.
Setelah merasa lelah, jujur memang jadi jalan pulang. Sadar bahwa diri sendiri juga berhak untuk didengarkan. Ketika sudah berani jujur, ternyata aku bertemu orang-orang yang juga jujur pada diri mereka. Tidak ada lagi penilaian subyektif yang kami berikan satu sama lain. Kami tidak saling berebut untuk menjadi hakim. Tapi yang kami lakukan adalah menjadi pendengar yang baik, berempati dan saling membantu apa yang kami bisa. Ketika bertemu mereka, rasanya seperti menemukan oase di tengah panas gurun dan teriknya matahari. Seakan rasa haus seketika hilang. Seakan bertemu dengan yang selama ini dinanti-nanti.
Hati penuh sekali rasanya.
2 notes
·
View notes
Text
Menghidupi Mimpi
Hari ini, setahun yang lalu adek merayakan kelulusan dengan toganya. Beberapa minggu sebelumnya, adek menyampaikan berita bahagia bahwa dia adalah satu dari dua puluh nama anak-anak yang menerima beasiswa dan akan berangkat ke Jepang. Bahagia, haru, bangga dan sedih bercampur jadi satu. Sedih karena akan berpisah jauh dengan sahabatku sejak kecil ini. Dua tahun bukan waktu yang lama tapi juga bukan hari-hari yang berlalu begitu saja untuk dilewati.
Jepang memang negara impiannya sejak dulu. Pada akhirnya mimpi yang dulu terlihat jauh sudah jadi nyata dan semakin dekat. Kini sudah hampir setahun adek tinggal sendiri di Jepang. Kami jadi sering melakukan panggilan video, dia banyak bercerita tentang kehidupannya di sana. "Aku pengen banget mbak datang kesini, jalan-jalan, paling nggak ya sebulan biar puas," katanya dengan penuh antusias. Aku hanya mengaminkan dan meyakini hari itu akan datang. Lega rasanya setiap mendengar dia semangat bercerita karena itu suatu pertanda baik. Seakan dia memberi tahu bahwa dia baik-baik saja, meskipun ada banyak perjuangan berat yang harus dia lalui di tempat rantauannya.
Berkat teknologi, kerinduan kami masing-masing bisa terbayar. Meski saat ini ada jarak di antara kami, tapi kami tetap selalu bisa bercerita tentang hari-hari kami seperti dulu. Kami masih bisa berbagi beban, mengeluh, berbagi lelucon, menceritakan hal-hal konyol, dan saling meledek perihal kebodohan-kebodohan yang kami perbuat. Meski berjarak, kami selalu dekat.
Dari adek aku menyaksikan dengan mata sendiri seseorang yang sedang menghidupi mimpi. Darinya aku belajar, bahwa kita tidak akan pernah tersesat kalau benar-benar tahu ke mana tujuan kita.
1 note
·
View note
Text
Happy World Mental Health Day!
Merawat kesehatan mental ternyata adalah perjalanan menemukan dan mengenal diri sendiri. Bukan perjalanan menapaki anak tangga tapi menyusuri jalan berkelok dan bercabang yang terkadang membingungkan. Namun dari sana, akan banyak kau temukan cinta kasih yang tulus setelah tawa dan tangis datang bergantian.
Semakin mengenal diri, semakin berempati, dan semakin luas perspektif yang dipunya. Semoga semua jiwa didekap damai dan tidak pernah lupa jalan pulang ke rumah masing-masing, tempat paling nyaman: diri sendiri.
1 note
·
View note
Text
Doa yang sampai hari ini selalu dikabulkan;
Jauhkan aku dari segala hal yang menjauhkanku dari-Mu, dan dekatkan aku dengan segala hal yang mendekatkanku pada-Mu.
Bener-bener rasanya selalu ditarik lagi kalau udah di tepi jurang. Diberi petunjuk lagi jalan yang benar kalau udah mulai berbelok dan ngawur. Dihadirkan lagi pengingat kalau udah mulai lupa. Dikenalkan lagi ke diri yang sebenarnya saat sudah terasa asing.
2 notes
·
View notes
Text
pic from google
My kind of book. It feels like i'm in my way back home when I read all of those beautiful words. The book is a story about Julian Mantle, a superstar lawyer who has a luxury life. The day he had a fatal heart attack in courtroom brings him into spiritual journey. The man came back and shared a lot of wisdom with his friend.
"To live life to the fullest, you must stand guard at the gate of your garden and let only the very best information enter."
"All lasting inner change requires time effort. presistence is the mother of personal change."
"Most of us live at such a frenetic pace that true stillness and silence is something foreign and uncomfortable."
"Self mastery is te DNA of life mastery."
"Never do anything because you have to. The only reason to do something is because you want to and because it is the right thing for you to do."
"Every experience offers lessons. so stop majoring in minor things. Enjoy your life."
"Always remember that what lies behind you and what lies in front of you is nothing when compared to what lies within you."
"Zen's tradition speaks of a beginner's mind: those who keep their minds open to a new concepts - those who cups are empty - will always move to higher level of achievement and fulfillment."
"Its not what you will get out of the books that is so enriching - it is what the books will get out of you that ultimately change your life. Books dont actually teach you anything new."
"Never be a prisoner of your past. Become the architect of your future."
"No matter how big a house you have, or how slick your car you drive, the only thing you can take with you at the end of your life is your conscience. Listen to your conscience."
2 notes
·
View notes