#h.a.l. craig
Explore tagged Tumblr posts
theoscarsproject · 3 years ago
Text
Tumblr media
The Message (1977). This epic historical drama chronicles the life and times of Prophet Muhammad and serves as an introduction to early Islamic history.
It's not easy to make a movie about a man you can't show the face of, but I think The Message does a pretty good job of it. It invests in lavish cinematography, and frequently uses the camera as Muhammad's point of view, letting the film itself observe his impact as opposed to, well, him. It's an interesting film, and a compelling insertion into the religious movie epic that was so popular around this time. Still, it style doesn't always work, and the whitewashing is pretty wild to say the least. 6.5/10.
7 notes · View notes
know4life · 5 years ago
Video
"Muhammad: Messenger of God"
Handsomely-mounted historical epic concerns the birth of the Islamic faith and the story of the prophet Mohammed -- who, in accordance with the tenants of Islam, is never seen or heard (as this is offensive to certain islamic schools of thought). In Mecca in the 7th century, Mohammed is visited by a vision of the Angel Gabriel, who urges him to lead the people of Mecca to cast aside the 300 idols of Kaaba and instead worship the one true God. Speaking out against the corrupt political and military leaders who rule Mecca. With the help of his uncle, a brave warrior named Hamza (Anthony Quinn), Mohammed and his followers return to Mecca to liberate the city in the name of God. The Message (originally screened in the U.S. as Mohammed, Messenger of God) proved to be highly controversial during its production and initial release. The Message was shot in two versions, one in English and one in Arabic (entitled Al-Ris-Alah), with different actors taking over some of the roles due to language requirements.
First of all thanks for providing an opportunity to download this memorable piece to refresh my childhood memories.
The movie was banned at that time, in many parts of the Islamic world because of so called custodians of the Religion. They never had had this idea that a time will arrive in a few decades, when this very movie will become an Icon of spiritual inspiration for the coming generations of all Muslims and a "Message" of Islam to the non-Muslim world!
The movie has been written, screen-played and directed in a most diligent manner reflecting all the respect and expertise of the writers and makers. The "Asaa" (the stick) of the Prophet Muhammad S. and the Sword of Ali R. turns a fire on in the hearts when shown.
The movie brings all the events to life so effectively , that one start living in the moments with clear understanding, what was happening and why!! This Movie will remain one of the best historical movies of Islam...ever, IshaAllah!
Watch it today and pass it on....and on....
Directed by  Moustapha Akkad
Writing Credits (in alphabetical order)   H.A.L. Craig  Tewfik El-Hakim  A.B. Jawdat El-Sahhar  A.B. Rahman El-Sharkawi  Mohammad Ali Maher
Cast overview, first billed only:
Anthony Quinn ... Hamza Irene Papas         ... Hind Michael Ansara ... Abu Sofyan Johnny Sekka ... Bilal Michael Forest ... Khalid Garrick Hagon ... Ammar Damien Thomas ... Zaid André Morell  ... Abu-Talib Martin Benson ... Abu-Jahal Robert Brown ... Otba Rosalie Crutchley ... Somaya Bruno Barnabe ... Umaya Neville Jason ... Jaafar John Bennett ... Salool Donald Burton ... Amr
Moustapha Akkad ... producer Harold Buck                 ... associate producer Mohammad Sanousi ... associate producer Music by - Maurice Jarre Cinematography by - Said Baker  Jack Hildyard - Ibrahim Salem Film Editing by - John Bloom Casting By - Maude Spector Production Design by - Maurice Fowler Tambi Larsen  Art Direction by - Norman Dorme Abdel Monem Shokry
Costume Design by - Phyllis Dalton
Copyright © 1976 by Filmco International Productions Incorporated
1 note · View note
sarisuhaimi · 3 years ago
Text
#Catatan—Agung Moehadji Soemo Soemadi
BILAL MENGUMANDANGKAN PANGGILAN PERTAMANYA
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
The Manuscript of Bilal ibn Rabah – H.A.L. Craig
Tak diragukan lagi, banyak bangunan yang lebih megah – tak seorang arsitek pun di antara kami – dan aku tak dapat mengatakan bahwa aku pernah berdiri di bawah kubah gereja Kebijaksanaan Suci di Bizantium, namun apa yang kami inginkan, kami buat, sebuah rumah tempat kami beribādah. Ketika kami merebahkan badan di atas lantai melepas lelah seraya menatap sinar yang terpercik lembut lewat sela-sela atap yang dinaungi ilalang pohon kurma, Hamzah memuji hasil kerja tangan kami, “Seperti tempat lahirnya Musa,” ia berkata, dan perbandingan ini diutarakannya kepada Nabi. Tambahan lagi, merupakan tempat yang sejuk menyegarkan jiwa serta menyejukkan mata, naungan yang sangat teduh.
Meskipun Masjid ini telah berdiri, namun masih belum lengkap. Aku kira, seperti yang dikatakan Ali, Masjid ini memerlukan sesuatu lebih dari sentuhan tangan. “Ada sesuatu yang tak lengkap…..sesuatu di atas sana,” ia berkata, sambil menunjuk ke atap, “suatu isyarat…..suatu cara memanggil orang-orang untuk datang.”
“Kita dapat menarik bendera,” Ammar menyarankan.
Dalam beberapa saat kami saling memperdebatkan cara terbaik memanggil ummat untuk shalat. Nabi berduka karenanya, dengan tangan dilipat, ia tak ikut memecahkan persoalan, dan tak pula menanggapi pertanyaan.
“Mengapa tak menggunakan lonceng?”
“Orang-orang Kristen menggunakan bel.”
“Tambur?”
“Terlalu bising dengan menggunakan tambur.”
“Sebuah terompet tanduk, seperti Yahudi? Akan menghasilkan suara nyaring.”
“Terlalu banyak binatang akan dikorbankan karenanya.”
“Terompet?”
Kami terdiam. Sebuah bendera, lonceng, tambur, terompet tanduk domba jantan, terompet? Tak seorang pun merasa puas. Lonceng memekakkan telinga, terompet memecahkan kepala, tambur mengagetkan dan bendera meskipun akan terlihat dari kejauhan dari segenap penjuru tapi ia tak dapat membangunkan seorang yang sedang tidur.
Kemudian kulihat Abdullāh ibn Zaid, salah seorang dari kaum Ansār datang menghadap selangkah demi selangkah dengan malu-malu. Demikian malunya sehingga ia tak berani mengibaskan udara di sekitarnya – ia yang pada menit berikutnya mengubah dunia. Aku merasa ia hendak mengutarakan sesuatu, karena itu kuberikan kepadanya tempatku dekat Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wassalām].
“Aku bermimpi, yā Rasulullāh,” ia memulai, “dan dalam mimpi itu aku mendengar suara manusia memanggil kami untuk berdo’a…” Ia meneruskan ucapannya dengan dugaan bahwa tak seorang pun akan memperhatikannya. “Suara manusia biasa.”
Aku segera menatap Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wassalām] dan kulihat ia sangat terharu. Ia menyetujui Abdullāh. “Ya. Inilah yang akan terjadi. Mimpimu berasal dari ALLAH. Itu akan terjadi sebagaimana yang engkau katakan…..suara manusia.” Ia berkata dengan bijaksana sehingga aku tahu itulah kata-katanya yang terakhir.
Satu hal ditetapkan. Tetapi suara seperti apa, suara siapa, dan bagaimana mengumandangkannya? Suara yang lembut, yang merdu, yang keras? Pikiranku bergejolak oleh berbagai kemungkinan – suara seorang anak, wanita, lelaki tua, prajurit, penyanyi, pelajar – ketika aku merasakan, aku melihat tangan Nabi di atas bahuku.
“Suaramu, Bilal.”
Mula-mula aku tak memahami apa yang ia katakan. Ketika kurasakan tangannya di atas bahuku, aku meloncat tanpa mengerti apa sebabnya. Naluri lamaku sebagai budak belian, yang sangat sulit dihilangkan, mengajariku untuk segera beranjak meskipun belum memahami. Aku melihat setiap wajah dalam Masjid memandang ke arahku serta mengharapkan sesuatu dariku. Tetapi aku yang akan menyerukan suara Islām, tak memiliki sesuatu pun untuk dikatakan.
Zaid menyentuh serta menepukkan tangannya kepadaku seraya mengatakan sesuatu yang hingga kini masih membuatku tertunduk karena rasa bangga. “Aku berharap memiliki persembahan yang demikian untuk kuberikan pada Islām.” Maafkan aku yang mengulangi pujian terhadap diriku sendiri, aku mengatakannya kembali karena Zaid-lah yang mengucapkannya, orang yang sangat aku cintai dan yang membantuku begitu banyak.
Kemudian Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wassalām] berdiri dan melihat kepadaku seolah ia hanya menatapku seorang. Tetapi aku mengakui ia berkata lebih singkat dari apa yang dikatakan Zaid. “Engkau memiliki suara paling bagus, Bilal. Gunakanlah.”
“Rasulullāh, apa yang harus kukatakan?”
“Pujilah ALLAH, ikrarkan Utusan-Nya, ajaklah ummat untuk bersembahyang, pujilah ALLAH. Itulah semuanya. Dan itu sudah mencakup semuanya.”
Ketika kemuliaan hidup diberikan kepada seseorang, belum tentu ia menginginkannya. Begitu pula Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wassalām] yang bersembunyi di bawah selimut ketika ia menerima wahyu pertamanya. Aku tak hendak membandingkannya dengan diriku sendiri, aku hanya sekedar mengatakan bahwa aku sangat membutuhkan selimut. Tetapi tak ada satu pun, tak ada tempat untuk berlindung, tak mungkin menghindarinya.
“Pergilah ke atas sekarang dan panggillah mereka dari sana,” ucap Nabi.
Aku melihat ke arah yang ditunjukkannya kepadaku, sebuah atap lumpur dekat Masjid. Engkau semua pernah melihat menara-menaramu…..betapa serasi anak tangganya, kokoh serambi-serambinya, dan tepat ketinggiannya. Seorang muadzin senantiasa dapat mengatur pernapasannya sewaktu menaiki menara tersebut dan melihat terbitnya fajar pertama di ufuk langit – bukan mencari perbedaan antara suatu benang putih dan benang hitam – memberitahukan dia tentang tibanya hari yang baru. Tetapi ketika aku mendaki untuk mengumandangkan panggilan pertama, itu harus kulakukan sebaik yang aku dapat, dengan menyeret diriku sendiri, tangan, perut, lutut dan kakiku. Namun pada kenyataannya, aku masih tetap berada di bawah pohon kurma. Ketika aku sampai di atas atap tersebut, keadaan lebih buruk lagi, karena pikiranku kosong. Tak suatu kata pun dapat kutirukan, kuingat atau kulupakan.
Di bawah kulihat wajah-wajah menengadah.
ALLAH mengetahui bahwa aku, Bilal, muadzin pertama dapat mengisahkan kepadamu tentang wajah-wajah itu dan bagaimana perasaanmu ketika mereka memandangmu, membangkitkan semangatmu. Menaiki tangga sering memusingkan kepala, tetapi wajah-wajah itu tak pernah mengharapkanmu jatuh.
Saat pertamaku di sana, tak satu kata pun aku ucapkan, aku menoleh ke belakang. Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wassalām] berdiri dekat pilar ketiga bersama Abu Bakar dan Umar berdiri di sampingnya – Umar yang begitu tinggi seolah-olah ia mencapai setengah dari tingginya pohon. Nabi mengangkat dan membuka kedua tangannya ke arahku, membuat suatu gerakan yang memberi keberanian sekaligus mengisyaratkanku untuk memulai.
“Pujilah ALLAH, ikrarkan Utusan-Nya, ajaklah ummat bersembahyang, pujilah ALLAH,” ucapnya. Itulah petunjuknya.
Aku berpaling dan memikirkannya. Kemudian kutundukkan kepalaku di kedalaman suaraku.
ALLAH Maha Besar, ALLAH Maha Besar
Aku bersaksi tida tuhan selain ALLAH
Aku bersaksi bahwa Muhammad Utusan ALLAH.
Marilah shalat
Marilah shalat
Datanglah untuk perbuatan yang terpuji
ALLAH Maha Besar, ALLAH Maha Besar
Sekarang setiap hari, lima kali dalam sehari, segenap ummat Islām akan mendengar kata-kata tersebut. Namun aku, yang pertama kali mengumandangkannya, tak tahu dari mana kudapatkan kata-kata itu. Nabi memberikan kepadaku urutannya dengan pasti, dan apabila engkau mengetahui bentuknya berarti engkau memahami dari kata-kata itu lebih dari setengahnya. Walaupun begitu engkau tetap harus mempelajarinya. Ataukah ketika Nabi menggerakkan tangannya yang terbuka, ia mengirimkan kata-kata tersebut kepadaku? Karena aku tak akan pernah yakin bahwa aku telah menyusunnya sendiri. Aku percaya kata-kata tersebut tanpa kusadari meresap dalam hatiku.
“Allāhu Akbar.” “ALLAH Maha Besar.”
Ketika aku turun kembali, Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wassalām] memapahku duduk paling dekat dengannya. Orang-orang berdatangan di sekitar kami dan sekelompok anak tiba-tiba muncul sambil tertawa-tawa dan berlari-lari. Kami berjajar dengan rapi, Rasulullāh duduk berdampingan dengan anak seorang budak. Untuk beberapa lama ia tak mengatakan sesuatu pun dan aku mengakui bahwa aku terlampau bingung dengan misteri yang baru saja kualami. Kemudian ia beranjak memimpin shalat. Ia bangkit dan memelukku dengan lengannya. “Bilal, engkau telah melengkapi Masjidku,” itulah yang dikatakannya.
Setelah itu, ketika sekelompok orang datang memenuhi panggilanku, aku lebih dahulu bersujud kepada ALLAH. Aku, Bilal, yang memperoleh kepuasan jiwa.
0 notes
saturdaynightmatinee · 7 years ago
Photo
Tumblr media Tumblr media
CALIFICACIÓN PERSONAL: 6 / 10
Título Original: Airport '77
Año: 1977
Duración: 114 min.
País: Estados Unidos
Director: Jerry Jameson
Guion: Michael Scheff, David Spector (Historia: H.A.L. Craig, Charles Kuenstle)
Música: John Cacavas
Fotografía: Philip H. Lathrop
Reparto: Jack Lemmon, Lee Grant, Brenda Vaccaro, Joseph Cotten, Olivia de Havilland,James Stewart, George Kennedy, Darren McGavin, Christopher Lee,Robert Foxworth, Robert Hooks, Monte Markham, Kathleen Quinlan, Gil Gerard,James Booth, M. Emmet Walsh, Pamela Bellwood, Chris Lemmon, Monica Lewis
Productora: Universal Pictures
Género: Action, Drama, Thriller
http://www.imdb.com/title/tt0075648/
TRAILER: https://www.youtube.com/watch?v=gZUkfmBCsrE
1 note · View note
rosshalde · 13 years ago
Quote
Hayattakiler kendilerinin ölülerden daha hayırlı olduklarını düşünme alışkanlığına sahiptirler. Ama aslında kendilerine şu soruyu sormazlar: Ölüler onlara katılıyorlar mı? Muhammed (a.s.) o gece mezarlıkta ölüleri şanslı olarak ifade ettiğinde neyi kastetmişti? Gece soğuktu, hatırlıyorum da zemin sertti ve kabir halkı ne kımıldadılar ne de konuştular. Her biri kendi kovuğunda uzanıyordu. Ama onlar ölü müydü yoksa yalnızca nemin kuru kalıntıları mıydılar? Çünkü beden yalnızca ruhu taşıyan bir nehirdir ve ruh adım adım, havuz havuz her bir bedeni kendi akıntısında, nihaî kuraklığına dönüştürür. Yine de Peygamber'in neyi kastettiğini bildiğimi sanıyorum. Bir defasında mescidde beraberce otururken fırtına öncesi karanlıktı, bulutlar Uhud üzerinden geliyor ve akıllı hava tahmincileri tavuklar da gizlenmek için koşuşuyorlardı – onun şöyle dediğini işittim: - "İnsanlar uykudadırlar, ölünce uyanırlar!"
H.A.L. Craig
0 notes
sarisuhaimi · 3 years ago
Text
‎#Catatan—Agung Moehadji Soemo Soemadi
BILAL BERKISAH SEWAKTU MENDIRIKAN MASJID
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
The Manuscript of Bilal ibn Rabah – H.A.L. Craig
Pekerjaan dimulai di saat hari masih dini. Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wassalām] sendirilah yang menorehkan garis pertama untuk Masjid dengan menggunakan ujung tombak. Kami bekerja di antara lima pohon kurma yang tinggi menjulang. Pohon-pohon itu teramat serasi letaknya seakan Tuhanlah yang meletakkan untuk maksud kami, sebagai tiang dari Masjid kami, dan memang ALLAH-lah yang menuntun unta menuju tempat ini.
Sejak kami melihat torehan garis pertama dan rumput pertama yang bertebaran, kami bekerja dengan penuh semangat dan keriangan. Kami menggalinya dengan kaki, membentuknya dengan tangan kami. Kami membuat bata, mengangkut batu-batu, menggergaji kayu, memutar lumpang, meratakan tanah, membersihkan semak-semak, menggali parit, menaiki tangga, mengangkat keranjang, mengikat dan menatahnya dengan sepenuh hati kami. Kami mengerjakan semua itu penuh keriangan sehingga siapa saja yang melihatnya akan menyangka kami sedang menari.
Nabi mengangkut bata-bata dan menaiki tangga tanpa rasa lelah. Sekalipun ia baru saja mengakhiri suatu perjalanan yang sangat buruk yang dapat membuat orang lain berbaring satu minggu, ia menolak sekalipun untuk duduk. Kemana pun ia melangkah selalu diikuti oleh anak-anak yang berlari mengikutinya, semua ingin membantunya, namun tentunya, justru mengganggu pekerjaan. Suatu saat aku pernah berusaha melepaskan dia dari para pengganggunya, namun ia memandang dengan bijak ke arahku, “Tolonglah Bilal,” katanya. Aku harus naik ke atas pohon untuk keluar dari kerumunan anak-anak, sedangkan ia berdiri dengan tersenyum sambil menyeka peluhnya. Kemudian ia menjulurkan lengannya dan memberikan sepotong bata ke dalam genggaman tangan yang kecil. Diangkatnya anak itu ke atas dinding untuk membantunya meletakkan sebuah bata. “Sekarang engkau dapat mengatakan bahwa engkau telah membantu mendirikan Masjidku,” kata Nabi, sambil membiarkan bocah itu menuruni tangga untuk mencari ibunya dengan senyum lebar penuh kebanggaan, lebih lebar dari seluruh wajahnya.
Tak seorang pun yang bisa mengajak Nabi beristirahat, tidak pula Hamzah, yang menepuk mantel Nabi dan membersihkan debu yang menempel di wajahnya sambil mengajak untuk sekedar duduk beristirahat. Dengan demikian kami telah melakukan cara terbaik untuk mengalihkan kerja berat itu dengan bernyanyi-nyanyi. Jika kami duduk-duduk, sedang Nabi terus bekerja, ALLAH akan berkata bahwa kami orang-orang yang lalai.
Aku yakin, ia punya alasan untuk bekerja seperti itu, yakni untuk memberi contoh kepada kami. “Kerja adalah ibādah,” katanya. “Tuhan mengasihi tangan orang yang gemar bekerja,” lanjutnya.
Dia melarang kami membebani binatang melebihi kekuatannya, berdua menunggangi keledai, atau memberati unta di luar kemampuannya. Matanya cepat sekali melihat bila terjadi kekejaman, dan sangat bersedih bila melihat seseorang melukai binatang tanpa sebab – sampai orang itu mungkin merasakan kemuraman wajah Nabi.
Dan akhirnya Masjid itu berdiri.
0 notes
sarisuhaimi · 3 years ago
Text
#Catatan—Agung Moehadji Soemo Soemadi
BILAL BERKISAH TENTANG UNTA YANG MEMILIH
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
The Manuscript of Bilal ibn Rabah – H.A.L. Craig
Di bawah naungan pohon kurma yang paling dekat, bahkan sebelum turun dari untanya, Nabi sudah harus membuat keputusan kenegaraan yang pertama – sebab dalam langkah pertamanya di kota yang baru, dia langsung dihadapkan akan bahaya terpecah-belahnya penduduk di sana. Dari tiap penjuru, undangan diajukan kepada Nabi agar berkenan menginap di tempatnya. Undangan itu tidaklah selalu menunjukkan kemurahan hati. Tamu yang penting akan memberikan kehormatan tersendiri bagi rumah yang ditinggalinya, dan seorang tamu seperti itu seringkali terpenjara oleh keramahan yang diterimanya.
Salul adalah orang munāfik yang paling keras hati. Ia pegang tali kekang unta Nabi, seakan ia mampu menuntun Rasulullāh terperangkap ke dalam ambisinya. “Aku pemilik rumah yang paling baik di Madinah ini,” bujuknya. “Tinggallah bersamaku. Aku memiliki kebun-kebun dan akan menjamu engkau hidangan terbaik.”
Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wassalām] dihadapkan kepada pilihan yang mengandung bahaya – dengan mengikuti kehendak satu pihak, berarti menolak kehendak pihak lainnya. Namun, sebagaimana sering aku saksikan, seseorang yang dihadapkan pada pilihan sulit, suatu waktu menemukan keputusan yang sangat sederhana.
Aku melihat Nabi mengejapkan matanya sambil menepuk leher untanya, Qaswa. “Aku tak mampu memilih di antara sekian sambutan,” katanya, “Aku lebih cenderung biarlah Qaswa yang memilihnya, karena Qaswa sudah teruji kesetiaannya menemaniku di perjalanan.” Engkau akan melihat pancaran wajah-wajah yang kebingungan kecuali Qaswa sendiri, yang termenung dalam permenungan hewani. Nabi memegang kendali dan menghentak-hentakkannya dengan gerakan yang seenaknya. “Di mana untaku memilih untuk berhenti, di sanalah aku akan tinggal dan di sana pula kubangun Masjidku.”
Dia turun dan membiarkan untanya berjalan bebas. Kami semua mengikuti langkah berat dan lamban binatang itu dengan keheranan, ketidakmengertian, menduga-duga, kepastian dan ketidakpastian, menuju ke tengah-tengah oase. Aku tak ingin mengatakan bahwa kami bergantung di bawah ekornya, tapi yang tepat adalah kami berpaling sesuai arah kepala unta. Kami tak tahu bahwa pilihan melalui punuknya merupakan tempat kami untuk tinggal, sekaligus menjadi makam Nabi di kemudian hari. Nabi menyerahkan keputusan politik yang sangat penting dalam hidupnya kepada seekor ternak.
Qaswa berjalan cukup jauh sebelum berhenti. Namun berhentinya itu cuma sekadar untuk menggarukkan kaki ke tanah. Kemudian ia mendengus-dengus ke sekeliling arah, memakan daun, lalu melangkah mundur, dan berjalan lagi. Kami menghembuskan napas lega dan mengikutinya lagi. Aku mendengar Salul mengucapkan pujian pertamanya dari sekian banyak kekaguman kepada Nabi. “Dia lebih pandai dari yang aku duga,” katanya. “Pilihan yang ditentukan seekor unta tak akan menyakiti hati siapa pun.”
Aku mengikuti Qaswa – empat langkah untuk tiap dua langkahnya. Setiap unta, sebagaimana juga anjing, mempunyai hari yang merupakan miliknya, dan aku yakin bahwa mereka akan memperbincangkan unta di hari itu sampai akhir dunia. Ketika Bucephalus, kuda perang Iskandar Agung, dan Incitatus, kuda yang menjadikan Caligula diangkat sebagai senator kota Roma dilupakan, orang-orang akan senantiasa mengingat Qaswa, unta Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wassalām], tunggangan di saat Hijrah. Kulitnya yang putih, lubang hidungnya yang mengembang, dan sorotan matanya bagaikan seorang filsuf, Qaswa adalah seekor unta yang hampir sempurna. Namun di dalam kesempurnaan selalu terdapat kecacatan, Qaswa memiliki cacat pada daun telinga kirinya yang robek akibat perkelahiannya di masa muda. Selain itu tak dimukan lagi cacat.
Tiba-tiba Qaswa menemukan suatu tempat, tanah sempit yang dikelilingi lima pepohonan. Namun Qaswa belum memperlihatkan keputusannya atau menghentikan sikapnya yang penuh teka-teki. Teka-teki masih disimpannya. Ia menekukkan lututnya, berlutut, berpaling ke seluruh arah dan mencium tanah, mengusir lalat yang hinggap di ekornya, memandang ke utara ke arah Yerusalem, dan ke selatan ke arah Makkah, mengeluarkan suara geraman indah dan berlutut lagi. Saat itu Qaswa menjatuhkan tubuhnya hingga berdebum. Seluruh tubuhnya telah terbaring. Qaswa menjulurkan lehernya dan meletakkan dagunya di tanah. Ia telah menentukan pilihannya.
Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wassalām] berdiri di atas untanya yang terbaring dan menyatakan dengan suara keras, “Di sinilah aku akan tinggal. Di sinilah engkau kelak menguburku. Dan di sinilah akan kubangun Masjidku!”
0 notes
sarisuhaimi · 3 years ago
Text
#Catatan—Agung Moehadji Soemo Soemadi
BILAL BERKISAH TENTANG PELARIAN NABI KE MADINAH
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
The Manuscript of Bilal ibn Rabah – H.A.L. Craig
Pada perjalanan Hijrah, sesungguhnya kami masih memiliki perasaan takut yang tidak kami sadari. Hari keenam perjalanan itu, Hamzah menemui kami. Dia berkuda melintasi gurun. Kehadirannya menentramkan rasa takut kami dari ancaman kawanan singa, mengobati kelelahan badan dan hati kami, melindungi dan menuntun perjalanan kami. Dia membawa berita yang tak ingin kudengar – Nabi memutuskan untuk tetap tinggal di Makkah sampai semua pengikutnya berangkat.
Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wassalām] tentunya berhasil menjauhkan kami dari ancaman mereka. Bagi penguasa Makkah, bila ratu lebah sudah di tangan, peduli apa dengan lebah lainnya? Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wassalām] berlenggang dengan terbuka di hadapan mata musuhnya dan para pembunuhnya, ini artinya undangan bagi mereka untuk membunuh Nabi, sedangkan kami bergegas mencari keselamatan. Tindakan kepahlawanannya, seakan-akan turun dari langit.
Beberapa minggu berlalu sebelum kami mendengar seluruh kejadiannya. Namun urutan kisahku menentukan bahwa sekaranglah saatnya kuceritakan padamu.
Para penguasa Makkah merencanakan untuk membunuh Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wasallām], suatu rencana yang diputuskan bersama seluruh kaum cendikiawan. Mereka bermaksud membunuh sekaligus mencuci tangan kotor mereka dalam bejana darah yang sama – suatu tindakan kriminal yang licik yang sering dilakukan lembaga penguasa.
Tujuh orang laki-laki muda dari tujuh suku dilengkapi dengan tujuh tombak akan ditikamkan ke tubuh Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wassalām], satu tikaman bagi satu tombak. Karena tiap tombak dipegang oleh seseorang dari masing-masing suku yang berbeda, maka tak satu suku pun yang bertanggung jawab terhadap pembunuhan itu dan tak seorang pun yang akan menyelidikinya, begitulah biasanya. Tetesan darah yang mengalir tujuh kali tak mudah untuk dibalas. Jadi lebih mudah untuk membersihkannya.
Penyelesaian dengan tujuh buah tombak memang teramat licik, dan seperti yang pernah kudengar bahwa iblislah yang mengusulkannya. Ia ikut berembuk bersama penguasa Makkah dengan menyamar menjadi salah seorang dari mereka. Namun aku takkan terperdaya dengan cerita itu. Iblis senang sekali menyamar sebagai manusia dan berbaur di dalamnya. Ia sulit untuk diduga. Ia mungkin terlalu serius atau justru kurang serius, ia mungkin terlalu licin atau justru sangat kaku…peraturannya ia harus mendekam di Neraka namun ia senantiasa berlalu-lalang di muka bumi dengan berbagai rupa. Makanya kita harus mengetahui tipu dayanya. Pastilah ia pelaku sandiwara yang turun dari langit.
Baik iblis maupun saudagar keduanya gagal. Tombak-tombak sudah direntang namun tak ada satu hunjaman pun. Pada suatu malam tujuh orang laki-laki serentak masuk ke kamar Nabi dan mereka duga bahwa Nabi sedang tidur pulas. Namun Nabi lolos dari bencana itu karena ia meminta Ali, saudara sepupunya, untuk menggantikan di tempat tidurnya. Ali yang kukenal adalah orang yang sangat rendah hati, memperlihatkan senyumnya kepada mereka, sekalipun ia berada di tempat tidur Nabi yang ditinggalkannya.
Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wassalām] telah berada di luar kota Makkah, namun bahaya masih mengancamnya. Abu Sufyan menawarkan seratus ekor unta bagi siapa yang dapat membawa pulang Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wassalām] hidup atau mati ke Makkah. Kuda dan unta serentak disiapkan, kesibukan yang luar biasa memasang pelana dan perlengkapan lainnya. Seratus ekor unta adalah tawaran yang menggairahkan…disamping keasyikan tersendiri bagi para pemburu. Sebagai bekas budak aku merasakan ini suatu kesenangan di atas penderitaan, perburuan yang paling liar yang dilakukan manusia terhadap sesama manusia. Tak ada perburuan liar atau binatang buas yang memberinya kepuasan yang sangat besar selain sepasang kaki, daging dan darahnya sendiri….seperti Namrud, yang memburu dirinya sendiri hanya untuk masuk Neraka.
Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wassalām] cukup cerdik, ia tak mencoba lari ke Madinah melintasi gurun terbuka. Secepat Abu Sufyan menebarkan jaring manusia, gurun pasir menjadi padang maut bagi Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wassalām]. Sesungguhnya ALLAH menuntun dia ke Madinah melalui jalan yang berlawanan arah, dan menyembunyikannya di dalam sebuah gua di gunung Tsur bersama Abu Bakar. Sebagaimana dituturkan dalam Al Qur’ān, “ALLAH Maha Perencana.”
Namun seratus ekor unta adalah hidangan yang terlalu menggoda untuk dibiarkan. Nasib cukup malang karena saat itu Makkah memiliki seorang pencari jejak dari Abesinia yang berkulit hitam seperti aku, yang dikenal sangat memahami seluk beluk gurun pasir. Kata mereka, ia mampu menjejaki burung di langit melalui hirupan udara, dan mengikuti jejak kaki di atas karang terjal. Teman-temannya bahkan menjulukinya seekor babi yang dapat melihat tiupan angin. Ketika semua orang pergi ke arah Madinah, sang jenius ini berpendapat sebaliknya, “Lihat, Muhammad membuat jejaknya, bukan aku,” katanya. Keterampilannya menuntun dia ke gerbang gua gunung Tsur. Kemudian ia mengangkat bahu dan duduk merebahkan diri – ia telah merampungkan tugasnya, orang lainlah yang akan melakukan pembunuhannya.
Umayah, Abu Jahal, dan para pemburunya berada di mulut gua.
“Berakhirlah riwayat kita,” desah Abu Bakar. “Mereka berdua puluh sedang kita cuma berdua.”
“Engkau keliru,” bisik Nabi. “ALLAH senantiasa beserta kita. engkau, aku, dan Dia…oleh karena itu kita bertiga.”
Pada saat itulah seekor laba-laba melayang ke bawah dan membangun sarangnya di mulut gua, di saat itu pula sepasang burung dara berwarna putih dengan ranting di paruhnya mulai pula membangun sarangnya di sana. Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wassalām] dan Abu Bakar mengendap-endap di dalam kegelapan gua, namun tak ada alasan bagi makhluk ALLAH sekalipun kecil untuk merasa takut.
Kemudian Umayah, bekas majikanku, datang menghampiri batu karang dengan pedang terhunus dan seperti biasanya, ia seorang pengecut. burung-burung segera terbang, dan laba-laba menghilang di antara celah dinding gua. Namun hasil karya makhluk itu terlihat oleh Umayah…suatu bukti yang teramat jelas. Tak ada manusia yang bisa masuk tanpa merusak jaring laba-laba, dan burung takkan bersarang jika ada pengganggu di sana. Umayah sangat jengkel terhadap si pencari jejak itu, kemudian ia pergi dengan menaiki kudanya. Pencari jejak pun pergi menuruti jalannya, dan sebagaimana kabar yang sampai padaku, sejak itu ia tak mau lagi menjejaki manusia.
Mungkin semua ini kejadian alami…laba-laba hendak membuat jaring-jaringnya, dan sepasang burung dara hendak membangun sarangnya. Namun saat itu nasib Rasulullāh berayun-ayun pada benang laba-laba, dan kelangsungan agama di kepakan sayap sepasang burung dara.
ALLAH melindungi Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wasallām] dan Abu Bakar tinggal di dalam gua, selama tiga hari sampai para pemburu merasa yakin akan kesia-siaan usahanya. Di malam keempat seorang badui, penyembah berhala bernama Arqat, yang mengenal daerah lengang yang jarang dilalui orang di gurun, membawa kepada mereka dua ekor unta tunggangan dan sekantung makanan. Nabi, sahabatnya, dan Arqat menuruni gunung menyusuri kegelapan malam, berjalan dengan pelan-pelan ke arah barat, arah yang masih jauh dari Madinah. Setelah dua hari perjalanan, hampir sebatas pandang dengan Laut Merah, mereka membuat jalan setengah lingkaran lebar menuju utara, menghindari jalur perjalanan yang sudah dikenali. Namun masih juga seorang pengejar berhasil menemukan mereka, namun ALLAH menjadikan kudanya, kuda jantan terbaik di jazirah Arab, rubuh tersungkur.
Kami senantiasa menantinya. Setiap pagi kami berduyun-duyun pergi ke batas kota menuju gurun, namun matahari selalu saja menghalau kami untuk kembali setelah berjam-jam dalam penantian. Hari itu adalah hari yang paling terik, tak seorang pun mampu bekerja berlama-lama dan di saat itu para pengelana pun harus menghentikan dulu perjalanannya, berteduh di bawah tenda, menunggu matahari condong letaknya. Seminggu lamanya, sebagaimana yang masih sangat kuingat, kami berbicara hanya dengan berbisik-bisik.
Ketika matahari tengah hari baru saja bergeser, tiba-tiba terdengar seseorang berteriak dan orang-orang pun berlarian. Yang pertama melihat mereka adalah orang Yahudi, “Segala Puji bagi ALLAH” yang memberi ketajaman penglihatan. Di kejauhan nampak tiga sosok manusia di atas untanya yang terseok-seok, dengan langkah satu-satu, di bawah panggangan terik matahari yang garang. Kami berlari menembus gurun tersandung, terjatuh, tertawa dalam kegembiraan disertai lambaian daun kurma, menembus gurun menyambut mereka, sambil berteriak penuh kemenangan. Rasulullāh telah sampai di kotanya.
Dalam sejarah agama terdapat dua perjalanan besar: Exodus, yaitu pengungsian kaum Yahudi dari Mesir, dan Hijrah, pengungsian kami dari Makkah. Jika sampai ada yang ketiga, aku tak mampu membayangkannya. Hijrah menyelamatkan Islām dari para penganiayanya.
Nabi memasuki kotanya pada tanggal 28 Juni 622 Masehi, atau tahun 4382 dalam penanggalan Yahudi kuno. Namun bagi kami, Hijrah adalah awal kalender kami, awal penanggalan Islām. Hijrah terjadi pada Tahun Satu.
0 notes
sarisuhaimi · 3 years ago
Text
#Catatan—Agung Moehadji Soemo Soemadi
BILAL BERKISAH TENTANG PERJALANAN KE MADINAH
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
The Manuscript of Bilal ibn Rabah – H.A.L. Craig
Aku, Bilal, sekarang menjadi pemimpin barisan.
Aku tersenyum sebagaimana aku kisahkan kepadamu, namun maafkanlah dengan dosa kebanggaanku ini, karena aku bukanlah pemimpin yang biasa. Sesungguhnya dapat kukatakan dari sedikit yang kudapat, bahwa aku secara alami dilahirkan sebagai pemimpin. Di benak setiap budak senantiasa tersimpan suatu keinginan untuk melarikan diri, dan begitu pula dengan aku, Bilal. Selain desah nafas panas Bapak Api yang Berkobar (Abu Lahab) yang memiliki setan di balik punggungnya, siapa yang tak ingin menjadi pahlawan?
Kami tinggalkan Makkah menuju Madinah dalam kelompok-kelompok kecil dalam selang waktu, di malam hari, memakan waktu beberapa malam. Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wassalām] senantiasa hadir di mana pun kami berada, ia memeriksa kami, menguatkan hati kami dan merencanakan waktu-waktu pemberangkatan kami. Ketakutannya yang paling besar adalah terjadinya pembantaian massal di tengah gurun pasir. Tak ada pilihan lain kecuali, kami harus berangkat melalui jalan yang berlainan sampai keluar dari jangkauan pengejaran. Aku berada pada kelompok yang terdiri dari enam laki-laki, dua wanita, dan tiga anak-anak. Nabi membawa salah seorang dari anak itu dalam menempuh satu mil perjalanan, lalu melepas kepergian kami. Kukatakan kepadamu, jika kujumpai seekor singa di gurun sana, akan kusingkirkan dia. aku sekarang pemimpin sebarisan manusia.
Jarak dari Makkah ke Madinah adalah dua ratus lima puluh mil. Di musim panas jarak tersebut ditempuh dalam sembilan hari perjalanan, apabila bersama anak-anak, bisa mencapai sebelas hari. Jarak itu telah ditempuh jutaan orang selama ribuan tahun, namun tiupan angin menghapus jejak kaki mereka. Kami tentu lain. Kami adalah sebuah pengecualian. Kepergian kami mengemban amanat Tuhan, bukan membawa barang dagangan. Selama waktu berdentang di muka bumi ini, jejak kaki kami akan senantiasa tetap membekas. Bagi kami ini adalah Hari Satu dari Tahun Satu….perjalanan kami, Hijrah kami, penanggalan kalender kami. Langkah-langkah kami adalah tanda dimulainya waktu.
Sekalipun saat itu bulan Juni yang merupakan waktu terburuk untuk melakukan perjalanan, kami tak banyak mengalami kesulitan. Angin yang sempat kami takuti, tidak kami jumpai. Tidak pula ada pengejaran. Bintang-bintang menerangi jalan kami. Pada hari kelima, kami melihat tiga atau empat orang pengembara berjalan tergesa-gesa di kaki langit, namun dalam waktu satu menit mereka lenyap dari pandangan. Seorang anak melihat seekor burung unta, segera kami memburunya untuk dijadikan santapan, namun burung itu lari ditelan bukit. Itulah semua pengalaman kami.
Tentu saja di antara kami ada yang jatuh sakit. Tak mungkin engkau melakukan perjalanan di gurun pasir pada musim panas tanpa sengatan matahari. Semua anak jatuh sakit, sebentar-sebentar tapi mereka merasa senang karena digendong. Ada seorang laki-laki yang terkena infeksi di kakinya. Ia menyembunyikannya selama tiga hari dan aku melihat hanya dari tatapan matanya, bukan dari langkah kakinya. Ketika ia menyadari bahwa aku mengetahuinya dan sebelum sempat mengatakan sesuatu, ia mempercepat langkahnya – seorang laki-laki malang harus berjalan di atas api – sampai ia jauh meninggalkan kami, sehingga nampak seperti sebentuk noktah dalam kesendirian. Kami harus lari mengejarnya. Sebelum luka di kakinya sempat kami lihat, ia telah tiba di kota Madinah dengan satu tangan di pundakku.
Itulah Hijrah kami, pengungsian kami dari Makkah.
0 notes
sarisuhaimi · 3 years ago
Text
#Catatan—Agung Moehadji Soemo Soemadi
BILAL BERKISAH SEWAKTU NABI MEMPEROLEH SEBUAH KOTA
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
The Manuscript of Bilal ibn Rabah – H.A.L. Craig
Mereka mengatakan bahwa malam hari di kota Thaif, langitnya tak berbintang. Menurut mereka, gugusan Pleiades tak hanya menangis – ini adalah wajar – bahkan terdengar isaknya…itu omong kosong belaka. Pada malam itu aku sedang menatap langit, dan tak kudengar suara apapun. Jika peristiwa itu terjadi di lain tempat, itu adalah peristiwa yang luar biasa.
Suatu malam terang bulan, dua belas lelaki dari Madinah datang menjumpai Nabi dan menawarkan kotanya. Aku tak pernah melihat mereka sebelumnya atau mengharapkan akan melihatnya…namun kedatangan mereka cukup beralasan. Mereka membutuhkan Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wassalām] sebagai pendamai bagi sukunya. Madinah adalah kota yang ditinggali dua suku, Aus dan Khazraj, yang senantiasa berperang. Di setiap hati kaum Aus tersimpan luka yang disebabkan perbuatan kaum Khazraj, dan di setiap hati kaum Khazraj tersimpan kepedihan yang disebabkan kaum Aus. Mereka mendengar tentang Nabi yang menyeru persaudaraan, dan mereka sekarang datang untuk mencari perdamaian melalui Nabi. Ayah-bunda Nabi wafatnya di Madinah berselang enam tahun, ini artinya debu Nabi telah bercampur dengan mereka.
Nabi mendengarkan dengan penuh kesabaran. Mereka menawarkan tempat yang didambakan Nabi di Thaif…tempat untuk tinggal dan menyerukan ajaran tanpa penganiayaan dan dikejar-kejar ancaman. Namun di luar keluhuran Nabi untuk bertindak serakah, Nabi menyatakan bahwa mereka memahami Nabi dan diri mereka sendiri. Karena itu ia meminta kepada mereka untuk menerima Mussab sebagai utusannya yang akan mengajarkan Islām kepada mereka. Dan setahun kemudian mereka diminta kembali jika mereka mempunyai faham yang sama.
Sebelum tahun itu berlalu, rasanya kami telah bertambah tua lima tahun. kami hampir mati lemas. Kami berharap kapan kiranya orang-orang Madinah akan datang kembali – bahkan kehadiran mereka sering muncul dalam mimpi-mimpi kami. Kami berada dalam keadaan yang sangat memprihatinkan. Abu Lahab tetap yakin bahwa dirinya dengan cambuknya akan mampu membuktikan eksistensi tuhan-tuhannya. Kami dikurung di rumah-rumah. Sebagian dari kami imānnya mulai luntur, mengeluh bahwa karena Nabi keras kepalalah pertolongan Tuhan tidak turun – seakan-akan dua belas orang yang datang di malam terang bulan itu adalah dua belas malaikat, bukan orang-orang Arab. Namun Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wassalām] yang sangat memahami pribadi para penganutnya, kebaikan maupun keburukannya, memahami pula bahwa ajakan ke Madinah itu bukanlah tali yang direntangkan dari langit, sekalipun ia dapat menggunakannya untuk meningkatkan derajatnya. Tali itu harus diuji kekuatannya, dan itu memang terbukti.
Pada suatu hari, mereka datang kembali dengan tanpa diketahui para pemuka Makkah, seakan mereka menyusup di bawah pasir, sebagaimana dikatakan Mussab, di suatu tempat pertemuan rahasia di Aqabah. Mereka tidak berjumlah dua belas, melainkan tujuh puluh orang yang datang…hampir sama dengan jumlah kami di Makkah. Ketika kulihat jumlahnya, kuduga itu suatu perangkap. Kami benar-benar merasa sangat gelisah. Tapi ketika kudengar gemercingnya bunyi perhiasan, baru kusadari bahwa di antara mereka terdapat beberapa wanita. Yang membesarkan hati kami adalah perjanjian yang kedua kalinya dibuat dengan dihadiri kaum wanita.
Mereka, laki-laki dan wanita, yang datang dari Madinah mengulang lagi permintaannya – mengajak Nabi untuk tinggal dan hidup bersama mereka, serta menjadi pendamai di antara mereka. Suasana menjadi hening. Tak seorang pun di antara kami mengetahui apa yang akan terjadi kemudian – keheningan itu sesungguhnya adalah jurang waktu…dan masa depan dunia kami dari perjalanan sejarah, pertemuan antara bangsa, kesejahteraan manusia di bawah lindungan Tuhan – semuanya bertumpu pada saat itu. Sekalipun kejadiannya sendiri hanya tergantung dari anggukan kepala Nabi saja.
Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wassalām] meminta mereka untuk berjanji. Sejarah menyebutnya Perjanjian Aqabah. Perjanjian yang seakan-akan disahkan dengan darah, segel dan sumpah. Permintaan itu lebih kudengar sebagai suatu ikrar setia. Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wassalām] meminta mereka mempercayainya dan hanya menyembah ALLAH Yang Tunggal; mereka tak akan berbuat sewenang-wenang terhadap kaum wanita dan membunuh anak-anak perempuannya; mereka tidak akan berdusta atau mencuri dan senantiasa tunduk pada hukum dan perintah ALLAH; serta akan melindungi Nabi dengan para pengikutnya yang turut bersama mereka. Ia juga memperingatkan betapa pun ia datang untuk hidup bersama mereka, tak pernah ia hanya menjadi milik mereka; hatinya terbuka bagi semua manusia; ia tak akan condong pada satu kaum, satu ras bangsa, atau satu warna kulit tertentu.
Apa sesungguhnya yang ia minta? Tak pernah kudengar kata diucapkan begitu lembut namun mengandung makna yang sangat tegas. Ia ingin mereka membakar berhala-berhalanya dan melenyapkannya dari seluruh tanah Arab, dan senantiasa siap untuk berperang di pihak Nabi. Mereka tahu bahwa itu hukum ALLAH, sebagaimana mereka terima dari Mussab, yang menghendaki agar mereka berbagi harta milik dengan yang lainnya, sekalipun hanya seiris jeruk yang jatuh dari pohon.
Mereka hanya mengajukan sebuah pertanyaan…”Sebaliknya apa yang akan kami peroleh?” Dan Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wassalām] hanya menjawab dengan satu kata saja, “Syurga”. Kemudian Nabi menyalami mereka satu demi satu, dan hanya menganggukkan kepalanya kepada kaum wanita, sebab tak pantas baginya menyentuh isteri-isteri orang lain.
Begitulah Perjanjian Aqabah. Perjanjian yang diguratkan di palung sungai yang kering, di antara batu-batuan. Sedangkan aku – sebagaimana engkau lihat, aku hanyalah lelaki hitam dari Afrika – aku pikir pada saat malam itu kami tidak berkumpul di suatu tempat namun di haribaan Tuhan. Dari Aqabah Islām berkembang menjadi suatu bangsa, dan Nabi menjadi penegak hukum-Nya.
0 notes
sarisuhaimi · 3 years ago
Text
#Catatan—Agung Moehadji Soemo Soemadi
BILAL BERKISAH TENTANG TAHUN KESEDIHAN
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
The Manuscript of Bilal ibn Rabah – H.A.L. Craig
Tahun itu dinamai tahun kesedihan. Di tahun itu segala cobaan menimpa kami, bencana demi bencana, hingga keimānan kami hampir runtuh berserakan. Kami tengadah menatap langit, dan bertanya pernahkah kami menyimpang dari ajaran ALLAH? Sesungguhnyalah, dalam enam tahun misi Nabi, kami hanya berjumlah seratus orang, karena perkembangannya yang sangat lambat. Seratus, tak ada artinya jika dibanding dengan seluruh penduduk dunia. Tapi biarlah, dulu pun kami cuma bersepuluh. Tiada yang lebih kusukai di hari tuaku di Damaskus, selain bersandar di atas tongkatku memandang ummat Islām yang beriring-iringan. Tiga puluh tahun yang lalu kami bersama mengelilingi sebatang lilin, tapi kini Tuhan melipatgandakan jumlah kami masing-masing, satu juta. Aku bahagia masih bisa tegak di muka bumi ini, walaupun dapat kuungkapkan kepadamu bahwa di hari-hari duka cita, aku berharap segera mati terkubur.
Pertama adalah wafatnya Khadijah. Dua puluh lima tahun lamanya ia mendampingi Nabi, dan sebagaimana pernah kuceritakan kepadamu, di hari-hari pertama dialah yang paling dini mempercayainya. Dia yang menghambur memeluk Nabi, meredakan ketegangan kala Nabi menerima wahyu pertama. Dia serahkan semua harta bendanya, untuk digunakan oleh Nabi. Dalam misteri yang dikandungnya, dialah ibunda kaum Mu’minin.
Pada suatu hari, Khadijah yang kami sayangi, mendadak meninggal dan segera kami menguburkannya sebelum malam tiba.
Disusul kepergian Abu Thalib. Dialah yang semasa hidupnya diombang-ambing dalam cinta dan kebimbangan. Dia sangat mencintai Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wassalām], namun sampai saat kematiannya pun, ia tetap pemuja berhala, karena ia tak mungkin melepaskan diri dari agamanya yang hampir mati terkubur. Ayahnya telah menempa dirinya sedemikian yakin. Sekali pun begitu dia adalah pembela Nabi. Kukira Tuhanlah, Maha Perencana, yang memilihkan Abu Thalib tetap sebagai penyembah berhala – sebab dengan tinggal dalam gelap dia dapat mempertahankan cahaya lebih baik. Apabila dia bersama kami, dia akan diusir sebagaimana kami. Lalu siapa yang akan membela kami? Dengan bersatu bersama mereka, dia menjadi dua bagi kami – sekalipun mungkin engkau berpikir bahwa aku terlampau lancang – jika aku mati, aku berharap, jauh lebih dekat kepada Tuhan daripada Abu Thalib.
Di saat menjelang maut, ia memanggil para penguasa Makkah mendekat ke salah satu sisi pembaringannya, dan Muhammad Rasulullāh, pada sisi yang lainnya. Dia berusaha mendamaikan antar mereka di saat tubuhnya semakin lemah. Tapi itu di luar kemampuan Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wassalām] untuk berdamai dengan pemeluk berhala. Ketika Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wassalām] menyeru mereka untuk menyembah Tuhan Yang Esa, mereka menepukkan tangannya mencegah kata-kata itu masuk ke dalam telinga mereka. Abu Thalib menghembuskan nafas terakhir dalam kegaduhan dan kesedihan.
Nabi dalam kesendirian. Pamannya Abu Lahab musuh terbesarnya, menggantikan kedudukan sahabat dekatnya sebagai pemimpin keluarga Hasyim. Sekalipun ia sekerabat, sedarah daging, tapi ia terpisah dari Abu Lahab, seorang pembual besar, calon penghuni Neraka, hanya karena perbedaan sikap dan agama. Abu Lahab tetap mempertahankan ketiga tuhannya, Al-Lata, Manat, dan Uzza, seakan ketiga berhala itu adalah kekasihnya, dan setiap pagi ia memohon dengan penuh takzim dan khusyu’.
Sungguh malang, sembahannya memberi ia tendangan terakhir dan kemurkaannya yang ditumpahkan kepada Nabi menjadi kobaran api tempat ia melemparkan dirinya sendiri ke dalamnya – ia mati dengan wajah membara dan membengkak. Satu di antara keangkara-murkaannya kini membakarnya dan sebagai api peringatan bagi yang lainnya. Bahkan ketika ia masih hidup, Tuhan telah mengunci pintu hatinya dan menyediakan tempat baginya di Neraka. Tuhan telah menegaskannya dalam sūrah ke-111, sūrah Al Lahab, yang disebut juga sūrah “Api yang Berkobar”.
Binasalah kedua tangan Abu Lahab
Binasalah ia
Tiada kekayaannya
Tidak juga harta bendanya
Akan berfaedah baginya
Ia akan terbakar
Dalam api yang berkobar-kobar
Tabiat isterinya Awra, sama buruknya. Aku masih ingat ketika itu aku masih kanak-kanak, ia datang menghampiri dengan payung putihnya untuk menyaksikan budak-budak yang disiksa. Aku teramat takut kepadanya. Kegemarannya yang lain adalah mengikat semak-semak berduri dengan serat kayu dan membakarnya di pintu rumah Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wassalām]. Tuhan tak memisahkan suami dari isterinya di Neraka….mereka senantiasa di dalamnya.
Dan juga isterinya
Pembawa kayu bakar (penyebar fitnah)
Seutas tali dilingkarkan pada lehernya
Aku sangat menyesalkan mereka. Mereka nampaknya mempunyai sepasukan setan yang senantiasa membayanginya dan ikut menderita seperti dua ribu ekor babi yang digiring Nabi Isa dan terjun ke danau di Gadara. Satu-satunya harapan mereka menanti kemurahan-Nya, karena mereka dan Nabi masih memiliki kesamaan, yaitu berasal dari naungan udara yang sama dengan Nabi. Tuhan masih bisa memberi mereka ampunan, sekalipun itu tak terjadi dan aku pun tak berharap begitu.
Dikucilkan dari masyarakat dan dilarang untuk beribādah, Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wassalām] mulai mempertimbangkan tempat lain yang tak sekejam dan seganas kota Makkah. Orang yang selamat di sisi Tuhan belum tentu selamat di tengah kehidupan. Ia memutuskan untuk mencoba ke Thaif, sebuah kota di kaki bukit di tengah gersangnya gurun, dikelilingi pohon-pohon yang berbuah ranum dan kebun-kebun dengan lebah-lebah dan kupu-kupu yang tak terhitung jumlahnya. Di tempat yang menyenangkan ini penduduknya memuja berhala Al-Lata yang patungnya terbuat dari batu putih yang tinggi menjulang.
Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wassalām] mulai mengembara ke Thaif dengan berjalan kaki tujuh puluh mil ke arah selatan. Dia yang pernah menjadi pedagang yang berhasil dengan tangkas menunggangi unta-untanya, kini begitu miskin karena harta yang diamalkannya sehingga tak ada yang bisa dibawanya untuk perjalanan itu selain sepasang alas kaki. Dia dengan susah payah melindungi wajahnya dengan selendang dari deburan angin yang berpasir dan hanya mengenakan pakaian penuh tambalan. Tak pernah kusaksikan seorang manusia yang begitu piawai dengan pakaiannya – pakaian yang usang sekali menjadi agung ketika dikenakan oleh seorang Nabi.
Ia berangkat hanya ditemani Zaid, putra angkatnya. Kami berusaha untuk turut, tapi ia menyuruh kami kembali. Ia tak mengingini seorang pengiring pun. Kami amat khawatir. Di Arabia bila engkau melakukan perjalanan, nasibmu ditentukan oleh sumur yang kering kerontang, deburan angin, matahari, bencana, musuhmu, dan dirimu sendiri.
Kami benar. Dua minggu kemudian ia kembali, badannya terhuyung-huyung, tangannya menggapai-gapai meminta air, dan luka-lukanya masih menganga. Ia telah menyeret tubuhnya di tengah gurun pasir pada akhir perjalanan pulang. Ia terdiam kaku seperti ada sekepal batu menggantung di lehernya. Ia menuju pembaringan tanpa mengucap sepatah kata pun.
Zaid bercerita kepada kami tentang apa yang terjadi.
Ia sampai di Thaif dengan selamat dan menemui para pemukanya. Mereka sedang duduk di atas bantal sambil menenggak anggur. Nabi memohon izin untuk tinggal dan melaksanakan ibādah. Mereka memperhatikan Nabi melalui bibir cangkir-cangkirnya dengan sikap merendahkan dan hasrat mempermainkan. Kemudian mereka berusaha menjelaskan bahwa Thaif adalah kota kenikmatan dengan anggur yang melimpah ruah. “Jika engkau utusan Tuhan”, kata mereka “maka engkau adalah Malaikat yang tidak boleh kami ajak berbicara. Jika engkau bukan utusan Tuhan, maka engkau adalah pendusta. Dari kedua keadaan itu kami tak hendak berbicara denganmu.”
Dalam kepongahan diri yang berlebihan, mereka bangkit berdiri serta mengambil batu dan kerikil yang berserakan di sana. Mereka biarkan orang-orang tak berdosa, anak-anak yang tak tahu menahu, berteriak-teriak dan bersorak-sorak, berpesta pora dalam kekejaman, melempari Nabi untuk kembali ke padang pasir. Hari itu kata Nabi, adalah hari terburuk dalam hidupnya.
Hanya seorang yang mengasihaninya. Budak yang beragama Nasrani bernama Abbas, yang tengah bekerja di ladang, merasa iba hatinya, oleh karena itu ia membawakan sekeranjang buah anggur untuk Nabi. Betapa bahagianya orang yang bernama Abbas karena telah mendapatkan syurga dengan mempersembahkan sekeranjang anggur! Suatu keberuntungan dalam hidup dan kecelakaan dalam keselamatan! Jalan menuju Syurga bisa dekat dan bisa juga jauh. Aku tak mengetahui jalan yang ditempuh Abbas, tapi aku amat mencintainya.
0 notes
sarisuhaimi · 3 years ago
Text
#Catatan—Agung Moehadji Soemo Soemadi
BILAL BERKISAH TENTANG KEBENCIAN DI MAKKAH
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
The Manuscript of Bilal ibn Rabah– H.A.L. Craig
Mengapa mereka membenci kami? Mereka toh bukan orang-orang jahat…mereka bukan pengikut tradisi purba, bahkan bukan pula pengikut tata krama yang sudah usang. Mereka mengikuti adat istiadat keramahtamahan dan mematuhi aturan hormat menghormati, kewajiban untuk memberi dan menerima yang berlaku dalam kehidupan di gurun pasir. Kekerasan hati mereka terutama sebagai akibat dari kerasnya penghidupan mereka, sebagaimana para penunggang keledai adalah orang yang memberikan lecutan paling keras.
Mereka tidak membenci kami danTuhan kami yang Tunggal karena mereka mencintai berhala-berhalanya. Dalam penyembahan berhala, rasa cinta terhadap tuhan-tuhannya tak pernah begitu dalam. Sembahan-sembahan itu mereka mintai pertolongan sekaligus mereka beri sesaji. Itulah sistem pertukaran, suatu sistem perjanjian antara saudagar dengan iblis. “Aku akan menyembahmu, Hubal, menghormatimu, memberimu sesaji dan menjaga kelangsungan hidupmu dengan mengunjungimu – jika engkau mau menolong menemukan untaku yang hilang.”
Namun aku, Bilal, yang pernah menjadi penyembah berhala, tak boleh terlalu mudah berurusan dengan mereka atau aku akan terjebak dalam kebodohan. Aku harus mengisahkan kepadamu dengan terus terang tentang kekuatan dan kerapuhan berhala-berhala.
Kita berbicara tentang berhala yang dibuat dari kayu dan batu, namun tak ada penyembah berhala yang begitu bodoh untuk menyembah batu yang bisa ia pecahkan atau menyembah kayu yang bisa ia bakar. Ia membayangkan ada ruh yang tinggal di dalam kayu dan batu, dan ruh itulah yang disembah. Masih kisah tentang betapa rapuhnya berhala itu, berhala-berhala memiliki tempat tinggal seperti Ka’bah dan kekuasaannya tak berlaku bagi berhala yang lain, pada tempat penyembahan lain, pada kelompok suku lain, bagi kita dan bagi tuhan yang lainnya. Berhala penguasa pintu di Makkah, tak berdaya apa-apa di Madinah, sekalipun untuk menutupkan pintu. Begitulah kekuatan berhala-berhala.
Namun yang lebih buruk lagi, berhala-berhala itu derajatnya di atas sekaligus di bawah para pemujanya. Bahkan orang-orang Romawi, di masa kekāfirannya, mengetahui bagaimana sembahan-sembahannya begitu tergantung pada manusia. Dewa-dewa itu kehilangan peranannya karena namanya tidak disebut…ketika tidak disembah lagi, kehadirannya pun dianggap tiada. Julius Caesar memiliki tuhan-tuhan dan Augustus Caesar pun memilikinya pula. Sembahan-sembahan itu datang dan pergi seperti bertukarnya baju toga. Manusia membuat atau meninggalkan sembahannya teramat sederhana dengan menaikkan atau menurunkan derajatnya, orang berlutut di hadapannya dan beranjak begitu saja. Sembahan-sembahan merupakan kekuatan yang sangat buruk untuk diandalkan manusia.
Hanya dengan anugerah dari ALLAH, manusia akan menemukan kembali dirinya.
Satu alasan mengapa mereka membenci kami adalah karena ketakpahaman mereka akan kekuatan ALLAH yang Tunggal. Aku teringat bagaimana mereka terguncang hatinya ketika Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wassalām] berceramah tentang kebangkitan setelah mati. Sekali waktu Abu Lahab, yang begitu gemuk sehingga untuk berdiri pun harus dibantu, membawa sepotong tulang manusia ke hadapan Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wassalām] dan mulai meremukkannya di antara jari jemarinya yang halus. “Kamu bilang ini akan bangkit kembali? Apakah ini yang dapat membentuk manusia kembali?” tanyanya sambil menaburkan remukan tulang itu ke wajah Nabi. Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wassalām] mengibaskan remukan tulang itu dan menatap pangeran saudagar yang sedang marah dengan napasnya yang tersengal-sengal. “ALLAH-lah yang menciptakan manusia di tempat pertama,” katanya, “Dan dapat membentuknya kembali seandainya Dia menghendaki.” Aku yang senantiasa merasa takut pada Abu Lahab dan ketakutanku mencapai puncaknya. Tanah pijakan di sekitarnya bergetar karena dibebani bobot tubuhnya yang melewati batas. Sedangkan setan pun mungkin baik hati. Abu Lahab tidak mau menerima bahwa paling tidak sebagian dari kehadirannya di dunia ini, walau bukan atas keinginannya, akan berlanjut di alam yang lain.
Sementara itu setiap pemuja berhala yang sering kutemui menderita karena terlalu bangga terhadap logikanya. Ketakmampuan memahami apa yang terlihat, menyebabkan ia berpendapat bahwa manusia adalah segalanya dan setiap manusia adalah akhir dari riwayat hidupnya. Dunianya kelak adalah di bawah tanah kuburan tanpa lubang. Bahkan Julius Caesar yang perkasa pada hari kemenangannya berdiri di atas altar, menyatakan: “Kematian adalah akhir dari segalanya!” Ini adalah kepongahan menguasai nasib, dan keburukannya hanya bisa disamakan dengan kenekadan dalam bunuh diri. Namun ketika manusia bisa membahayakan jiwanya, ia tak dapat membunuhnya. Hanya ada harapan membunuh raga, namun tidak untuk membunuh jiwa. Setiap manusia harus mempertanggungjawabkan jiwanya yang tak dapat dihancurkan. Sementara itu Abu Lahab mengira ia mampu melawan kekuasaan ALLAH dengan meremas sepotong tulang di antara jari jemarinya.
Namun kemurkaan Abu Lahab itu memiliki satu segi yang patut dihargai. Ia berusaha menghapus ketakyakinannya itu dengan mencari bukti dari dalam kubur. Teman-temannya kurang tanggap, dan kelompok kecil kami yang berpakaian compang-camping, menjadi sumber keriangan dan lelucon dan menjadi suatu dalih untuk meneguk anggur lebih banyak.
Mereka menghina, meludahi, melempari kami dengan kotoran manusia penuh kebencian. Kami mungkin bisa mencuci bersih ludah mereka, yang semata berupa dahak, namun penghinaan kepada Nabi menggoreskan luka yang sangat dalam di hati kami. Bagaimana mungkin ia yang dicintai langit, dihormati para Malaikat, menjadi bahan tertawaan orang-orang yang bakal mati? Kami hanya melihat sangkalan yang ringan. Sekalipun begitu ia menanggung semuanya dengan kesabaran dan kelembutan. Tentunya kesabaran adalah bekal seorang Nabi, perisai yang diberikan ALLAH kepadanya. Sedangkan aku tak memilikinya.
Suatu hari Ikrimah dan lebih dari setengah lusin lainnya mendatangiku dan menudingkan jarinya kepadaku. Tak seorang pun mengatakan sesuatu…tak ada kata-kata, tak ada suara, hanya senyum sinis pada setiap wajahnya. Aku kira, aku menjadi takut. Ya, aku tergagap, terkutuklah mereka. Jika aku berpaling ke sebelah kanan, seorang dari mereka akan menghujamkan tinjunya pada bagian kiriku sampai aku berputar seperti gasing. Aku tak bisa menahan kencing. Air seniku mengalir melalui kakiku. Aku terperangkap dalam jaring-jaring tudingan dan senyum jijik mereka. Mereka tahu bagaimana menjatuhkan dan memperlakukanku, seorang bekas budak.
Mereka meninggalkanku dengan tertawa terbahak-bahak.
Bila mengingat kembali mereka sekarang, aku mengerti bahwa kebencian mereka kepada kami merupakan alasan yang sangat umum. Adalah sebuah hukum yang tak menyenangkan di mana pun kebenaran muncul, engkau akan menyaksikan orang-orang segera ingin melenyapkannya. Seakan-akan suatu monster datang mengancam kehidupan mereka. Kebenaran senantiasa pada mulanya dipandang sebagai musuh dan dikejar-kejar serta selalu dibenci dan diolok-olok.
0 notes
sarisuhaimi · 3 years ago
Text
#Catatan—Agung Moehadji Soemo Soemadi
BILAL BERKISAH TENTANG BERHENTINYA GELAK TAWA
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
The Manuscript of Bilal ibn Rabah – H.A.L. Craig
Cepat atau lambat gelak tawa itu akan berhenti. Abu Sufyan bukanlah pemain komedi, yang menepuk-nepukkan pemukul lalatnya dengan gerak yang monoton dalam pikirannya. Sejak semula ia tahu bahwa Islām adalah suatu revolusi. Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wassalām] tidak hanya menyeru tentang sistem ketuhanan yang baru, ia pun mengajari sistem hubungan antar sesama manusia yang baru. Islām mengatur hak milik, baik yang besar ataupun kecil, menurut aturan-aturan agama. Siapa yang memiliki harus membagi pada yang tak memiliki, apakah itu berupa uang, barang atau harta lainnya. Ya, inilah suatu revolusi. Islām mengancam kukuhnya kekuasaan kebangsawanan kaum saudagar, baik perseorangan maupun politik, dengan mengukuhkan hak bagi yang lemah dan menolak hak khusus berdasarkan kesukuan. Seorang Muslim hanya mempertanggungjawabkan dirinya ke hadapan ALLAH, bukan pada sanak familinya. Tanah Arab tak dapat menerima masa depan seperti ini.
Abu Sufyan mencoba, mereka semuanya mencoba, membujuk Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wassalām] untuk menerima alasan, yang tentunya berarti, alasan menurut pandangan mereka. Mereka menawarkan kepada Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wassalām] kedudukan terhormat, kekuasaan, bahkan penghasilan dari Ka’bah. Mereka kira, karena kedunguannya, bahwa kenabian itu dapat dibeli dengan kekayaan dunia. Namun Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wassalām] mengembalikan kemustahilan kepada mereka. “Sekiranya engkau letakkan matahari di tangan kananku dan rembulan di tangan kiriku, aku tak akan meninggalkan amanahku yang datang dari ALLAH!” Kemudian ia tatap mereka dengan penuh rasa iba terhadap jiwa-jiwa mereka. “Janganlah engkau membunuh anak-anakmu,” katanya, sambil beranjak pergi meninggalkan mereka.
Harus kujelaskan kepadamu apa makna dari kata membunuh anak-anak, karena dalam jangka waktu tiga puluh tahun Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wassalām] telah memutar dunia ini begitu cepat sehingga kadang-kadang aku bertanya apakah aku masih berjalan di atasnya dan tidak terlempar di antara bintang-bintang?
Maksud dari apa yang ia katakan, tepat sekali, “Jangan membunuh anak-anakmu.” Di tanah padang pasir sebelum Islām, nasib seorang anak diketahui bahkan sebelum semua jari kakinya keluar dari badan ibunya. Jika yang lahir laki-laki ia selamat dan akan dipestakan. Jika wanita, keamanannya terancam dan tersebarlah desas-desus. Jika mereka sudah cukup memiliki anak gadis dalam keluarga atau terlalu banyak dalam kemah-kemah sukunya, nasibnya akan malang. Setelah mereka memotong tali ari-arinya, bayi perempuan itu akan dibawanya ke tengah gurun pasir, dan pasir akan menimbun tubuhnya.
Mereka tak akan menjadi pembunuh-pembunuh tanpa maksud tertentu, dan argumen mereka tentang pembunuhan bayi wanita, tentunya masuk akal. Mereka mempertahankan hidup dengan cara demikian….kehidupan ekonomi padang pasirlah yang menentukan mereka bertindak begitu bukan mereka sendiri. Nganga mulut yang baru berarti kekosongan bagi perut yang lain. Disamping itu, wanita akan menambah keturunan dan melipatgandakan kaum mereka sendiri. Demikian terus menerus mereka melakukan itu untuk merubah ketentuan ALLAH. Lebih banyak wanita dilahirkan dibanding laki-laki….mereka ingin memperbaiki ketidakseimbangan ini. Beberapa gadis tentunya ada pula yang diberi kesempatan menempuh kehidupan akil balignya, yang nantinya untuk kepentingan mereka juga.
Amat menyedihkan mendengar kenyataan ini. Gagasan penciptaan bagi mereka tak mempunyai arti kesucian. Lalu siapa yang dapat meneriakkan noda ini pada mereka? Ketika Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wassalām] menyerukan kesamaan hak kaum wanita di tanah Arab, di Perancis dewan uskup-uskup gereja berembuk untuk memutuskan apakah seorang wanita memiliki jiwa atau tidak. Aku tak tahu bagaimana mereka menentukannya – hingga di sini, di Suriah engkau bercerita tentang segala sesuatu yang benar maupun yang tak benar. Sementara aku sering bertanya-tanya tentang berbagai kontradiksi dalam pandangan berbagai agama terhadap wanita dan bagaimana mungkin orang-orang yang begitu menghormati Maryam, ibunda Isa Almasih, dapat merendahkan Hawa, ibunda ummat manusia begitu rupa.
Yang paling membuat mereka marah, bukanlah meniadakan berhala-berhala, atau bukan pula keharusan untuk memelihara anak, akan tetapi pembatasan jumlah isteri. Sebelum Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wassalām], seorang laki-laki bisa saja kawin sebanyak dorongan pangkal pahanya atau sebanyak perbekalan unta-untanya. Kadang-kadang seorang laki-laki memiliki sepuluh sampai dua puluh wanita di tempat tidur yang saling beringsut merayapi yang lainnya untuk mencapai jarak paling dekat dengan maharajanya.
Islām membatasi jumlah isteri sampai empat, dengan anjuran bahwa lebih baik memiliki seorang isteri saja. Keempat isteri harus diperlakukan dengan adil dan tuntutan kehidupan mereka juga harus dipenuhi secara adil pula. Sekiranya tuntutan itu tak mampu dipenuhi, seorang laki-laki hanya dapat memiliki seorang isteri saja.
Apakah kaum wanita dengan serentak menyambut derajat kaum mereka yang baru ini? Tidak, bahkan mereka menghina Nabi. Sungguh masih terngiang di telingaku tentang pertengkaran kaum wanita. Sekiranya isteri kelima diceraikan, siapa yang akan mengawininya lagi? Siapa yang akan mengambilnya, mendekapnya, siapa suaminya, dan yang memberinya makan? Di padang pasir kebiasaan memperisteri beberapa wanita, bukan sekadar keserakahan kaum laki-laki, namun juga karena kedermawanan laki-laki. Oleh karenanya, pembatasan jumlah isteri pada mulanya dipandang sebagai kelancangan, bukan merupakan kebaikan, bahkan kekejaman bagi wanita.
Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wassalām] tak hanya berhenti sampai di situ – bagaimana mungkin ia bisa berhenti sampai di sana, padahal Malaikat ada di atas hatinya? Ia tegaskan bahwa wanita, betapa pun berbeda, adalah sejajar dengan laki-laki. Perbedaannya begitu mudah untuk ditemukan, laki-laki dengan daging tersembul dan wanita dengan daging bercelah, namun untuk membuktikan persamaan dalam hal ini engkau harus menutup kedua matamu. Ia mengatakan pada mereka bahwa wanita merupakan pasangan bagi laki-laki, masing-masing adalah pelindung bagi yang lainnya. Keduanya harus menjalani pengadilan akhir yang sama dan keduanya menyandang nasib yang sama.
Dunia yang kini mencintai Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wassalām] dulu pernah membencinya hanya karena pandangan-pandangannya yang sederhana. Satu zaman akan mencemooh apa yang dipuja zaman berikutnya, dan buah-buahan pun lebih dulu akan pahit sebelum menjadi manis. Berilah kesempatan anjing tua yang ada di tepi jalan itu untuk menggonggong. Demi ALLAH, kadang-kadang aku heran, siapa sesungguhnya di antara kami, isteriku atau aku, yang telah disederajatkan-Nya. Tadi malam isteriku meniup api lilin ketika aku sedang asyik membaca buku karangan Herodotus. Sekiranya tak kucintai isteriku lebih daripada buku Herodotus, mungkin aku akan memukul kepalanya – namun mungkin juga dia menyelamatkanku dari bacaan orang kāfir.
Namun, sebagaimana pernah kukatakan, gelak tawa itu sekarang berhenti.
0 notes
sarisuhaimi · 3 years ago
Text
#Catatan—Agung Moehadji Soemo Soemadi
BILAL MENGISAHKAN PENGANIAYAAN & PENGUNGSIAN KE ABESINIA
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
The Manuscript of Bilal ibn Rabah – H.A.L. Craig
Meskipun aku sudah tua, dan sudah mendekati ajal, aku tetap menentang kekejaman. Aku mengutuk kekejaman. Aku yang sangat akrab dengan kekejaman, melebihi orang lain, mengetahui sekali bagaimana harus berdo’a untuk menentangnya. Pasti langit mau mendengarkan orang yang memahami makna do’anya.
Aku berdo’a agar si pendera dipaksa menyuapi dirinya dalam luka tubuh orang yang dideranya. Berilah dia seulas cahaya akan ketakpeduliannya pada sesama. Aku berdo’a agar si penggantung kepala tak memancung lehernya sendiri atau ia tak diadili peradilannya sendiri. Biarlah mereka menunggu sampai kapak keadilan direntang untuknya. Jangan biarkan penegak hukum membebaskan hukuman untuknya dan meneguk keuntungan di dalamnya, karena hukuman di bumi sebagaimana juga hukuman di langit, semuanya di bawah kekuasaan Tuhan, dan siapa yang tak mempedulikannya, berarti tak peduli juga pada kasih sayang Tuhan. Biarkan para pendera dikucilkan dan dua kali menghadap karena dosanya. Aku berdo’a agar mereka disiksa, walau dosa-dosanya senantiasa melindunginya.
Itulah do’a Bilal, seorang berkulit hitam yang menjadi budak sejak lahir dan mengutuk kekejaman. Tapi aku memiliki moral. Aku menyajikan sejarah kepadamu, dan engkau harus mempertimbangkannya.
Tiba-tiba mereka datang kepada kami, dengan membawa kekejaman dan pembantaian. Tak sehari pun terlewat tanpa tindakan-tindakan ketidakadilan terhadap jiwa manusia, hingga langit sendiri pun menangis dalam bening mata seorang Nabi – begitulah yang kami rasakan, seperti yang kami lihat di dalam dukanya. Tapi ia tak akan dan tak dapat menyimpang dari keyakinannya. Tuhan nampaknya hendak menyusun perjalanan kenabian begitu menyakitkan bagai berjalan di atas batu karang. Sedang bagi siapa yang kemudian mengikuti jalan itu, akan nampak mudah dan bahagia dengan membawa kisah besar dan menyenangkan.
Syuhāda pertama yang gugur untuk Islām adalah seorang wanita. Ia meneguk syurga, ketika Abu Jahal, seorang pemuja berhala dengan angkara murkanya menikamkan tombak ke tubuhnya. Namanya Sumayyah, ibu Ammar. Kesalahannya? Ia menolak untuk menyembah Hubal.
Yang lainnya diikat dan dicambuk sampai mati, atau sampai menjelang ajal. Sebagian kecil menyerah dan bersumpah menolak Islām, demikianlah, tapi aku yang sudah terbiasa akrab dengan cambukan, dagingku tak kenal rasa nyeri lagi. Mungkin Tuhan tak hendak menimpakan derita melebihi apa yang dapat mereka tanggungkan. Tuhan Maha Pengasih, tak pernah membebani pundak melampaui kesanggupannya.
Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wassalām] harus bertindak. Mereka mengambil dari kami seorang demi seorang. Lalu dia memutuskan bagi yang sangat lemah, yang tak satu pun mempunyai sanak saudara yang akan melindunginya, untuk mengungsi meninggalkan negeri….yang lain, yang tak terancam dilukai tanpa menanggung resiko dimusuhi sanak keluarga, atau diserang orang sesukunya, dapat menetap untuk beberapa waktu. Aku, yang kini dilindungi Abu Bakar, memilih untuk tetap tinggal.
Di suatu malam, Jāfar, saudara tua Ali, bersama sepuluh laki-laki dan tiga wanita menyelinap menuju sebuah gurun. Tujuan mereka adalah Abesinia, sebuah negeri di seberang laut yang tak pernah kutahu, yang diperintah seorang raja beragama Nasrani yang terkenal keadilannya. Mereka tak berani menempuh jalur perjalanan biasa, dan yang ditempuh adalah bagian gurun yang paling gersang yang tak ada mata air maupun penghuni. Dapat dikatakan rombongan pertama pengungsi ini hanya dinaungi kepakan-kepakan sayap burung nasar, yang menunggu kematian di antara para pengungsi.
Akan tetapi lebih banyak mata di kota kecil daripada di kota besar. Pengungsian itu segera diketahui. Abu Sufyan bergegas mengirim sepasukan orang berkuda untuk menyeret mereka kembali, atau jika perlu, menghabisi mereka di padang pasir sana. Pengejaran hampir berhasil, jejak kaki para pelarian sudah ditemukan, dan jarak antara mereka tinggal satu mil saja. Tapi Tuhan tak mengizinkan mata mereka melihatnya atau kuda mereka menciumnya. Jāfar melintas tanpa terluka di antara derap kaki kuda dan pedang terhunus dan jika engkau ingin mempercayai mukjizat, dengan peristiwa ini engkau dapat mempercayainya. Aku cenderung mempercayai kemampuan Jāfar memanfaatkan gurun pasir, yaitu memanfaatkan silaunya lecutan sinar matahari, serta bayang-bayang bukit yang memanjang. Jika itu mukjizat, Jāfar-lah mukjizatnya, ia dapat bersembunyi di balik bayangannya. Tapi, tak diragukan lagi, Tuhan mengaruniai Jāfar kecerdasan.
Ketika kami melihat pasukan berkuda yang dikirim Abu Sufyan kembali ke Makkah dengan tangan hampa tetapi mata pedih, kami mengambil kebijaksanaan untuk mengirim pelarian lagi. Kami mulai memberangkatkan yang lainnya sebanyak delapan puluh tiga orang, laki-laki dan wanita, melintasi Laut Merah menuju Abesinia.
Tapi di Abesinia mereka tidaklah aman. Di negerinya, suara Abu Sufyan semakin perlahan, rendah namun lebih berbahaya. Menurut kabar yang kudengar, di saat itu engkau harus lebih mendekat untuk mendengar kata-katanya. Bila kau duduk menyandar, kata-katanya hanya akan menggapai di depanmu, dan kau tak mendengar apa-apa. Tapi bila kau agak mendekat, maka getar suaranya akan terdengar begitu jelas, tajam dan bening dalam susunan kalimat yang baik. Engkau tahu, kehormatannya sedang terguncang. Makkah tak dapat membiarkan delapan puluh tiga orang yang tak sepaham melarikan diri ke negeri tetangga – ini berakibat buruk bagi perdagangan. Jika gagal menangkap mereka di gurun atau di lautan, maka para pengejar akan mencari mereka di negeri persembunyiannya – di bawah perlindungan raja yang menamakan dirinya Singa dari Judah.
Segera utusan yang dipimpin Amr ibn al-Ash dikirim menghadap Singa Judah disertai segala persembahan, permintaan maaf dan salam persahabatan. Amr, yang pernah menaklukkan Mesir, adalah seorang pemuda yang lembut dan memiliki segala kecakapan. Segala puji bagi ALLAH, Amr kemungkinan besar dapat berhasil atau jika tidak, berarti dia akan menggiring delapan puluh tiga jiwa dalam belenggu rantai bersama jiwanya sendiri menuju api neraka. Sebagaimana yang kuceritakan kepadamu, Tuhan menganugerahi Amr kegagalan yang penuh rahmat.
Raja memanggil kaum Muslimin menghadap kepadanya dan menanyakan alasan mereka tidak mau kembali ke kota Makkah dalam keadaan dirantai. Jāfar yang malang sebagaimana Daniel dalam cengkraman singa. Ia menjadi gugup, sekujur tubuhnya bergetar, bahkan dia hampir jatuh rubuh, sangat sulit baginya mengucap satu dia patah kata pun atau menyangga kedua kakinya supaya tetap berdiri.
Amr segera tampil dengan wajah penuh kemarahan – mengemukakan pendapatnya dengan memutar-balikkan fakta, sehingga kenabian nampak seperti keledai dungu yang ditungganginya. Dia menuduh Jāfar menghasut, memanfaatkan dalih dari nabi palsu untuk meruntuhkan golongan sosial, pemfitnahan, berkhianat , dan pada akhirnya dengan tegas mengungkap absurditas seluruh ajaran Islām. Amr tentunya, sebagaimana pemuja berhala, terlalu sedikit mengetahui masalah keagamaan, dan terlalu banyak berolok-olok. Dalam beberapa menit saja ia berhasil membuat seluruh keluarga Abesinia tertawa dan rantai untuk Jāfar segera disiapkan. Tapi Tuhanlah yang memberikan kepandaian pada manusia, juga memberikan kedunguan, dan kadangkala Dia satukan keduanya itu dalam satu batok kepala. Begitulah yang terjadi pada Amr, kemenangan terlepas ketika sudah dalam genggaman – atau, menurut keyakinanku sekiranya aku hadir di sana, Jāfar menang ketika telah kalah.
Beginilah kejadiannya, Jāfar berbicara tentang Isa Almasih, sebagaimana kepercayaan kita sebagai Muslim mengenai Isa. Beliau adalah seorang Nabi di antara rangkaian Nabi sebelum Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wassalām]. Sedemikian besar ia dicintai oleh ummatnya, sehingga ummatnya berbuat salah, yaitu memujanya.
Begitu pula di Abesinia. Isa dicintai tak terhingga dalamnya, dengan mengucap namanya saja, raja yang beragama Nasrani itu bisa menitikkan air mata. Amr melihat titik air mata itu tapi ia mengira sebagai kilauan belaka – tentunya kebutaan hati merupakan keadaan yang sedemikian buruknya sampai Isa sendiri mengorbankan sebagian tubuhnya, yaitu air ludahnya, untuk mengobatinya. Hati Amr pada saat itu pun menjadi buta. Dia melemparkan jubahnya dan berdiri dengan kaki mengangkang seperti algojo dengan kapaknya, begitu cerita Jāfar kepadaku. Kemudian ia mengungkapkan hal yang ia sangka sebagai senjata pamungkas. “Mereka berdusta tentang Isa,” begitu katanya. “Mereka mengatakan Isa-mu hanya seorang Nabi dan bukan anak Tuhan. Menurut mereka engkau memuja tiga tuhan, satu bapak, satu anak, dan satu lagi tak nampak. Mereka menolak ketuhanan Isa-mu dan mengatakan sebagai manusia yang telah mati!”
Demikian baik kata-kata pemuja berhala itu…seolah-olah ia begitu memahami dalamnya ajaran yang dikandung agama….begitu tepatnya dia menyuguhkan pemahaman kaum Muslimin tentang Isa yang bertentangan dengan pemahaman kaum Nasrani yang memandang Isa sebagai Tuhan. Kemudian Raja berpaling kepada Jāfar. “Ceritakan kepadaku tentang kelahiran raja kami ke dunia.” Pada kata “ke dunia”, ia mengangkat tangannya dan melambaikan kepada petugas penjara agar maju ke depan. Namun Jāfar menolak kawalan petugas penjara.
“Akan kuceritakan kepadamu apa yang dikatakan Al Qur’ān tentang kelahiran Isa, yang kesemuanya kuketahui.”
Itu lebih merupakan teriakan keputus-asaan, namun teriakan itu membuat raja mengangkat mukanya. Jāfar menemukan kata-katanya. Dia harus bicara. Satu-satunya harapan adalah berbicara, berbicara dalam belenggu rantai, berbicara kepada raja yang tersinggung, berbicara tentang tahta kepada empat ekor singa yang garang. Maafkan atas keterpaksaanku mengungkapkan ini, menurut beberapa kabar, dia berbicara sebaik Bilal – begitu pula menurut penuturan Amr ibn al-Ash sendiri kepadaku sepuluh tahun kemudian. Namun Bilal hanyalah sebuah corong, seorang muadzin yang menyeru untuk shalat, seorang yang mempunyai kemampuan berbicara dari ketinggian….sedangkan Amr mampu menangkap lebah dalam sarang madunya.
Pada hari itu Jāfar mengetahui bagaimana cara berbicara untuk meyakinkan, seperti orang yang tak punya pilihan lain. Ia tuturkan di hadapan wajah-wajah yang penuh keharuan āyat demi āyat sūrah Maryam, sūrah ke-19 yang mengisahkan kelahiran Isa dari Rahim seorang perawan. Ia menyuguhkan āyat demi āyat yang sesuai dengan pemahaman mereka, sehingga mereka menyadari, semua itu adalah ucapan ALLAH, bukan “Tuhan Bapak,” melainkan ALLAH sendiri.
Dan ingatlah (cerita tentang) Maryam dalam Al-Kitāb
Ketika ia menyingkir dari keluarganya
Ke suatu tempat di timur.
Dipasangnya tirai (untuk melindungi dirinya) dari mereka
Lalu kami utus kepadanya
Ruh Kami (Jibril) yang menjelma
Di depannya sebagai manusia sempurna.
(Maryam) berkata: “Aku berlindung kepada ALLAH
Yang Maha Pemurah terhadapmu
(Janganlah dekati aku) jika kau bertaqwa
(Jibril) menjawab: “Aku hanya pesuruh dari Tuhanmu
Untuk memberikan seorang putra yang suci kepadamu.”
(Maryam) berkata: “Bagaimana aku dapat memperoleh anak,
Sedangkan tiada laki-laki menyentuhku
Dan aku bukan seorang pelacur?”
(Jibril) berkata: “Demikianlah!
Tuhanmu telah berfirman: ‘Itu mudah bagiku.’
Dan Kami hendak menjadikannya suatu tanda bagi manusia
Dan suatu rahmat dari Kami
Dan itu adalah keputusan yang ditetapkan.”
Maka (Maryam) pun mengandung
Dan ia menyingkir dengan (kandungannya) ke tempat yang jauh
Karena sakit akan melahirkan
Ia pun menuju sebatang pohon kurma
Katanya: “Wahai, sekiranya aku mati sebelum ini,
Sekiranya aku dilupakan dan tiada diperhatikan!”
Maka (suatu suara) memanggilnya dari bawah:
“Janganlah bersedih hati,
Tuhanmu telah menjadikan seorang yang mulia di bawahmu.”
“Goyanglah batang kurma ke arahmu
Akan gugur di atasmu kurma segar yang matang.
Maka makan dan minumlah
Dan senangkanlah hatimu.”
Seluruh keluarga istana larut dalam tangis dan keharuan, kemudian Singa Judah turun dari singgasana memeluk Jāfar. Sebagai gantinya rantai ia mendapatkan tangan raja yang memeluk tubuhnya. “Untuk segunung emas pun takkan kuserahkan kau kepada mereka,” katanya. Dan ditorehkannya sebuah garis di lantai bersama pengiringnya untuk menunjukkan betapa kecilnya perbedaan antara Al-Qur’ān dengan Injilnya. Kemudian Amr mengangguk kepada raja dan tersenyum seakan segala yang baru saja terjadi adalah suatu perjudian dan dadu yang dilemparnya bergulir tak sesuai dengan keinginannya.
Itulah Abesinia, sebuah negeri singa dan madu – juga keadilan. Sedangkan Makkah adalah sebuah kota para kafilah dan perniagaan sutera, rempah-rempah dan wewangian, tapi tidak keadilan, sebuah kota tanpa neraca pertimbangan. Di sini kata-kata tetap membisu – telinga mendengarnya, tapi hati mereka tetap buta.
Penganiayaan dengan cara baru, lebih kejam daripada penderaan, sekarang menimpa penganut Islām. Tak kurang kejamnya hukuman masyarakat. Seluruh Bani Hasyim, kaum kerabat Nabi berada dalam pengucilan. Tak seorang pun boleh bertegur sapa dengan mereka, memberi sekadar perlindungan dan keramahan, sejumput garam atau segenggam gula, bahkan memberi naungan dari terik matahari pun dilarang. Mereka dinyatakan sebagai sampah dan diusir ke tengah gurun pasir dengan hanya membawa barang yang mampu dipikulnya. Tak peduli apakah mereka meyakini ajaran Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wassalām] atau tidak, pernah mendengarkan ceramahnya atau tidak, suka atau tidak, mereka semua disiksa seperti Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wassalām]. Tidak saja cukup pada anggota sanak keluarga, bahkan sepupu dari sepupunya, akan menemukan dirinya diasingkan ke gurun pasir bagaikan orang yang menderita penyakit menular. Ini adalah jalan pintas yang amat baik bagi pembuatnya, Abu Sufyan – mengusung Islām menuju kematian karena dirinya sendiri, karena kegilaannya di bawah terik matahari.
Tiga tahun lamanya di padang pasir, kami diamuk lapar dan haus, berbaring di semak berduri yang bisa dijadikan perlindungan. Anak-anak mati di terik siang hari yang memanggang, dan orang lanjut usia menemui ajalnya di malam yang sangat dingin. Kemana pun kami berjalan, langkah kami selalu menemui kesengsaraan. Kami tengadah ke langit tapi tak ada manna yang jatuh pada kami seperti yang terjadi pada Musa. Tetapi, kami bertahan dan yakin, apabila kekejaman tak berhasil mematahkan tulang punggung seseorang, maka ia akan memperkokoh tulang belakangnya. Mungkin itu karunia yang lebih dari “manna”.
0 notes
sarisuhaimi · 3 years ago
Text
#Catatan—Agung Moehadji Soemo Soemadi
BILAL BERKISAH TENTANG TAKLUKNYA HATI ‘RAKSASA-RAKSASA’
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
The Manuscript of Bilal ibn Rabah – H.A.L. Craig
Sekalipun kami tak menyadari, saat kami berada di gurun pasir, kejadian-kejadian membayang kembali bagai gumpalan-gumpalan awan mengelilingi kami. Itu benar, kami jauh terseret ke lembah kesengsaraan yang amat dalam, cobaan-cobaan lain pun nampaknya akan segera menyusul, namun setitik harapan menghampar di hadapan kami. Hamzah dan Umar memeluk agama Islām.
Tunduknya hati kedua orang itu hingga memeluk Islām sungguh mengejutkan karena peristiwanya diawali dengan kegusaran dan wajah penuh kemarahan. Beginilah kisah yang dijalani Hamzah. Dia adalah paman Nabi, seorang laki-laki tinggi dan tegap yang disegani di segenap gurun pasir sebagai pemburu singa dan seorang pendekar perang. dalam pertempuran tak ada pedang yang lebih berat, tak ada tombak yang lebih cepat, tak ada panah yang lebih mematikan, kecuali senjata-senjata miliknya. Begitu juga dalam berburu, tak ada seorang pun yang lebih berani, lebih sigap langkahnya atau lebih peka penglihatan dan penciumannya dari Hamzah sang pemburu singa. Di luar keperkasaan Hamzah, terdapat kelembutan, Hamzah yang gagah adalah orang yang mampu menunggang kuda di padang bunga-bunga tanpa mematahkan setangkai bunga pun. Di saat-saat tertentu, ia senandungkan puisi dengan gaya kepahlawanan yang amat digemarinya.
Tak nampak sebersit pun kelembutan pada diri Hamzah kala di suatu hari dia menunggang kuda memasuki kota Makkah dan mendengar umpatan Abu Jahal bahwa Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wassalām] adalah seorang pendusta dan penipu. Saat itu Hamzah membawa singa mati dengan taring-taring giginya yang masih lengkap dan terikat di belakang kudanya, namun kehadirannya itu tak cukup menghentikan ocehan Abu Jahal. Abu Jahal tetap mengulang umpatannya dan itu berakibat buruk baginya. Hamzah dengan busur berburu di tangan kirinya, menyibak kerumunan orang seakan tak ada seorang pun di sana. Tak sepatah kata yang ia ucapkan, hanya bunyi pukulan punggung busur mengenai Abu Jahal hingga terpelanting dengan wajah yang berlumuran darah. Hamzah, sekalipun seorang penyair, namun ia bukan orang yang suka berdebat. Ia hanya menunjuk ke arah Ka’bah seraya mengangkat bahu dan berkata, “Ketika aku berburu di padang pasir di tengah malam aku tahu, Tuhan tidak berada di dalam rumah.” Sebuah tutur kata yang sederhana. Kemudian Hamzah berdiri tegap dengan kaki mengangkang, memandang semua yang hadir untuk beberapa saat. “Agama keponakanku adalah agamaku, Tuhannya adalah Tuhanku. Siapa yang berani, lawanlah aku!” Tak seorang pun yang bergerak kecuali menyisihkan jalan bagi Hamzah yang pergi menemui Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wassalām].
Beberapa waktu kemudian, seorang laki-laki yang lain dengan pedang di tangan, dan nafsu membunuh dalam benaknya, berjalan cepat mencari Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wassalām]. Dia ingin menamatkan Islām dengan satu tebasan. Dialah Umar ibn Khattāb yang tubuhnya begitu tinggi dan tampak tegap menjulang.
Menurut kabar ia mampu menaiki unta dengan satu loncatan, yang memang sesuai dengan yang biasa ia lakukan karena ia seorang pemuda petualang yang penghidupannya dari menyelundupkan rempah-rempah dan batu mulia menyeberangi perbatasan dengan Bizantium. Ia mempunyai tingkah laku yang buruk seperti untanya.
Kala itu Nabi sedang berdo’a di rumah Arqam, tanpa senjata, tanpa perlindungan, sewaktu Umar datang bergegas menelusuri jalan. Aku lari menemui Nabi untuk memberitahukannya, kukira ia akan panik ketakutan dengan kabar baru yang kubawa itu. Namun ia hampir tidak bergerak sedikit pun. “Tuhanlah yang menentukannya, kapan Umar menemuiku,” katanya.
Aku bisa memandang Umar melalui jendela, kilatan pedangnya yang terhunus, tubuhnya yang tinggi tegap akan membungkuk bila masuk rumah. “Tuhan telah menentukan,” gumamku, “untuk itu sekarang dia ada di sini.”
Mataku melayang ke segala arah mencari senjata namun tak satu pun yang kulihat selain sebelanga air mendidih di atas nyala api. Segera kugenggam periuk air itu untuk ditumpahkan di pintu. Nabi kemudian berdiri, nampaknya ia hedak menahan tindakanku daripada untuk melindungi dirinya sendiri. “Terima kasih Bilal” katanya, lalu diambilnya air mendidih itu dariku, “Seandainya saat ini adalah saat yang ditentukan Tuhan untukku, minyak mendidih sekalipun tak akan menolongku.” Setidaknya itulah ucapan Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wassalām] yang masih tersisa dalam ingatanku, jangan terlalu mengharapkan dari ingatanku yang lemah. Karena sekarang ini apapun yang kau katakan sebagai ucapan Nabi akan menjadi ajaran agama.
Umar berada sekitar lima puluh langkah lagi dari pintu, atau kalau menurut ukuran langkahnya sekitar empat puluh langkah, tiba-tiba seorang lelaki tua maju menghampirinya. Kupikir ia adalah seorang pengemis, orang yang meminta-minta pada waktu yang tidak tepat. Karena sekalipun Umar sedang marah, ia dikenal sebagai orang yang murah hati. Namun saat itu ia tak memberikan apa-apa selain luapan kemarahannya. Ia angkat laki-laki tua itu dan mengguncangnya, mengumpat dan menyumpah semua wanita yang sudah mati terkubur bahwa ia akan membunuh wanita itu – ini sangat melegakanku sebab bukan membunuh Nabi. Lalu Umar serta merta berbalik ke arah mana ia datang seolah iblis sendiri yang menariknya.
Aku tahu bahwa kejadian itu belum berakhir. Umar tak pernah melakukan pekerjaan setengah-setengah, untuk membunuh Nabi sekalipun. Karena itu kutunggu dia dekat jendela dalam perasaan yang tidak menentu. Arqam telah datang – setidaknya sekarang kami bertiga – namun untuk menjaga keamanan aku memegang sesuatu di tanganku, aku raih air mendidih. Aku ingin memanggil Hamzah namun ia ada di tengah gurun. Kukira, kami berada dalam keadaan terkepung.
Sejam berlalu kulihat ia datang kembali menyusuri jalan dengan pedangnya yang masih terhunus. Tanpa diperintah aku bergegas menutupkan pintu dan menguncinya. Nabi menghampiriku dari belakang, “Mengapa pintu kau tutup Bilal?” tanyanya. “Untuk menyelamatkanmu dari pembunuhan, yā Nabi,” jawabku. Namun dia memandangku dengan pandangan yang sungguh-sungguh. “Seorang Nabi tak akan menutupkan pintunya Bilal. Bukalah jika engkau merasa takut kepada Tuhan.”
Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wassalām] menanti di tengah ruangan. Aku dengar ujung pedang memukul daun pintu. Namun ramalan yang terbukti adalah ramalan terbaik. Kubuka pintu itu sebagaimana diperintahkan kepadaku. Umar membungkuk untuk dapat masuk. Aku tak bisa percaya dengan apa yang terjadi. Umar memandang ke arah wajah Nabi, ke arahku, ke arah Arqam, dan menunduk memandang pedangnya. Pergulatan batin terjadi dalam dirinya…kepedihan menyelimuti wajahnya. Ia membuka bajunya sebagaimana ia membuka hatinya. “Aku bersaksi tiada Tuhan selain ALLAH, dan aku bersaksi, engkau Muhammad, utusan ALLAH!”
Kejadian ini persis tatkala Isa mendapatkan Paulus, dan Muhammad [Shallallāhu ‘Alaihi Wassalām] mendapatkan Umar. Sudah tentu bila kami berbicara mengenai “Pertaubatan” baik pada Paulus maupun Umar, kami kira lebih baik menyebutnya sebagai “revolusi”, karena kedua pertaubatan itu menimbulkan akibat yang sangat besar. Keduanya berangkat dengan api kemarahan yang membara. Umar hendak membunuh Nabi, Paulus hendak membunuh Isa. Bahkan sebagaimana cerita yang sampai kepadaku, Paulus sempat bergandengan dengan mereka yang membunuh Stefen, syuhadā pertama, yang merupakan perbuatan menyentuh api. Namun Tuhan menarik keduanya dari tepi neraka, dan menjadikannya pemimpin besar agama.
Sebagaimana yang kukisahkan, aku hanya melihat perubahan yang besar terjadi pada Umar, suatu permulaan yang teramat buruk dan berakhir dengan baik sekali. Aku tak melihat adanya mukjizat dalam kejadian yang berselang satu jam itu. Keterangan itu kudapatkan dari Khabbab, seorang pandai besi yang hadir di sana, seorang yang dapat dipercaya sebagaimana baja hasil tempaannya.
Laki-laki yang menghentikan Umar di tengah jalan itu bukan pengemis, sebagaimana dugaanku, melainkan pedagang anggur, karena Tuhan mengirimkan orang-orang munāfiq dan pendosa sebagai penolong, setidaknya di saat engkau mengharapkannya.
“Kenapa kau hunus pedangmu?” tanya orang tua itu.
“Untuk membunuh orang sombong yang telah menempatkan dirinya di atas dewa-dewa,” jawab Umar.
“Pulanglah. Bunuhlah terlebih dulu adik perempuanmu,” jawab orang tua itu.
Jawaban orang tua itu sangat bijaksana pada saat yang tepat, dan Umar hanya setengah memahaminya, namun itu telah cukup memancing amarahnya sebagaimana kusaksikan dari seberang jendela. Umar sangat mencintai adik perempuannya namun orang tua itu telah menyuguhkan teka-teki yang membuat kegilaannya semakin gila.
Ia bergegas pulang dan mengintai dari balik pintu rumah adiknya. Ia mendengar suara dan menangkap kata-kata yang menurut pikirannya membingungkan. Dengan sekali terjang, ditendangnya pintu hingga rubuh. Seorang laki-laki setinggi tujuh kaki dengan pancaran kemurkaan yang sangat menakutkan dengan pedang terhunus yang berkelebat di atas kepalanya. Di dalam ia dapati saudarinya Fatimah, serta suaminya Said, dan saksi cerita ini Khabbab. Fatimah berusaha menyembunyikan carikan tulisan di bawah gaunnya. Kemudian Umar dengan keras menampar wajah adiknya, sehingga terjengkang, dirampasnya carikan tulisan itu di antara dua lutut adiknya.
Umar tak tahu menahu, dan hanya Nabi sendiri yang tahu, bahwa adiknya secara sembunyi-sembunyi telah menjadi pegikut ajaran Nabi. Apa yang kini digenggamnya adalah āyat Al Qur’ān, sūrah ke-20. Sūrah yang teramat indah dan penuh misteri sehingga tak satu orang pun dapat memberikan nama yang tepat untuknya. Tafsirnya biarlah tetap tersirat di āyat itu saja, karena terlalu sulit untuk diterjemahkan, dan di luar jangkauan syairmu.
اللَّهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ لَهُ الأسْمَاءُ الْحُسْنَى
Umar berdiri dengan cabikan āyat di tangannya dan menatap adiknya yang berlindung di pelukan suaminya dengan cucuran darah di mukanya. Dibenturkanlah kepalanya ke dinding dalam balutan penyesalan. “Apa yang telah kau perbuat terhadapku?”, ia bertanya. Pertanyaan yang menggelikan sekaligus mengherankan. Fatimah yang telah belepotan darah, terlalu takut untuk menjawab. Kemudian Umar mengembalikan carikan tulisan itu kepada Fatimah sebagai permohonan maaf. “Bacalah untukku,” katanya, “jika ini dapat mengobati terkoyaknya persaudaraan kita, maka bacakan itu untukku.”
Namun jari tangan Fatimah kaku terkulai, oleh sebab itu Khabbab, seorang yang mampu menempa besi menjadi sebentuk sayap burung, mengambil carikan tersebut dan membacakannya. Begitu Umar mendengarnya, suatu pesona menyentuh relung hatinya. Diperhatikannya gerak bibir Khabbab, begitu takjubnya mendengar kalimat-kalimat ALLAH dilantunkan. Umar sendiri mengatakan kepadaku bahwa tiba-tiba ia terbenam dalam keharuan hingga bergetar seluruh tulang sumsumnya.
Demikianlah kisah takluknya hati Umar yang kini menjadi pemimpin ummat Islām.
0 notes