#gema tabuhan
Explore tagged Tumblr posts
Text
Festival Pacitanian 2024 Gema Tabuhan 2024 Sukses Meriahkan Akhir Pekan
Festival Pacitanian 2024 Gema Tabuhan 2024 Sukses Meriahkan Akhir Pekan Pacitan, Detikindo24.com – Festival Pacitanian 2024 dengan tajuk “Gema Tabuhan” sukses memeriahkan akhir pekan di Kabupaten Pacitan. Ribuan warga berduyun-duyun memadati kawasan wisata Goa Tabuhan di Desa Wareng, Kecamatan Punung, pada Minggu, 08 Desember 2024, untuk menyaksikan berbagai atraksi budaya dan kesenian yang…
0 notes
Text
TURISIAN.com – Kabupaten Pacitan di Jawa Timur terkenal sebagai daerah yang memiliki banyak objek gua yang memesona. Sebagian besar objek gua di Pacitan terletak di kawasan perbukitan Sewu. Nah berikut ini ada empat objek gua di Pacitan yang memesona dan menarik bagi Sobat Turisian yang berminat wisata susur gua, antara lain: 1. Gua Tabuhan [caption id="attachment_5210" align="aligncenter" width="625"] Gua Tabuhan. (dok. Pemkab Pacitan)[/caption] Objek gua di Pacitan yang pertama ada Gua Tabuhan, yang terletak sekitar 30 km dari pusat kota Pacitan. Posisinya tidak terlalu jauh dari Gua Gong dan hanya memiliki 2 ruangan besar. Tempat wisata gua ini mulai ramai pengunjung sejak 1998. Semula gua ini bernama Gua Tapan karena sering dipakai orang untuk bertapa. Seiring dengan berjalannya waktu, gua ini lebih terkenal dengan Gua Tabuhan. Sebab warga setempat memakainya untuk kegiatan kesenian, dengan cara memukul stalagtit di dalam gua hingga mengeluarkan suara seperti tabuhan gamelan. Baca juga: Jelajahi Keseruan di Desa Wisata Osing Kemiren Banyuwangi Lokasinya berada di Bukit Kapur Tapan dengan pembentukan stalagtit dan stalagmit yang diyakini sudah berlangsung ratusan tahun lalu. Karena adanya reaksi kimia antara hujan dan mineral kapur. Dengan panjang rata-rata stalagtit dan stalagmitnya hingga 7 meter dan diameter satu meter. Tampak menyerupai pilar-pilar raksasa yang sangat menakjubkan. Tempat wisata ini masuk wilayah Dukuh Tabuhan, Desa Wareng, Kecamatan Punung. Sekitar 25 kilometer arah barat kota Pacitan. 2. Gua Song Terus Wisata gua yang satu ini termasuk objek wisata sejarah karena menyimpan situs purbakala. Gua Song Terus ini terletak di Desa Wareng, Kecamatan Punung, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Di tempat ini Sobat Turisian bisa menyaksikan situs purbakala. Berupa tempat yang dulunya dihuni oleh para manusia purba yang hidup di Pacitan. Baca juga: Hirup Udara Segar di Gili Iyang Sumenep, Tempat Wisata dengan Oksigen Terbaik Pada tahun 1999, destinasi wisata ini mulai terkenal karena adanya penemuan sebuah rangka manusia purba yang diperkirakan telah berusia sekitar 10.000 tahun. Oleh para arkeolog dan warga setempat, kerangka manusia purba itu dinamakan Mbah Sayem. 3. Gua Song Keplek Lanjut lagi wisata susur gua Sobat Turisian di Pacitan ke Gua Song Keplek. Di sini Sobat Turisian bisa berwisata sambil belajar sejarah. Di tempat ini pula ada penemuan artefak yang diduga peninggalan manusia purba yang tinggal di gua tersebut. Lokasi Gua Song Keplek ini berada tak jauh dari Gua Song Terus. 4. Gua Gong Pacitan Nah objek gua di Pacitan yang terakhir menjadi yang paling populer di antara yang lain. Gua Gong ini sebagai pemegang predikat Wisata Gua Terindah se-Asia Tenggara. Pesona Gua Gong Pacitan bersumber dari panorama indah stalaktit dan stalagmitnya. Gua ini memiliki kedalaman sepanjang 256 meter dan memiliki stalakmit dan stalaktit berumur ratusan tahun. Keberadaannya muncul sebagai akibat dari aktivitas vulkanik dan gerakan termik yang perkiraannya berlangsung ratusan hingga ribuan tahun silam. Baca juga: Rasakan Sensasi Berbeda di 4 Wisata Susur Gua Paling Ngehits Di Jabar Ini Nama Gong pada gua ini berasal dari sebutan masyarakat. Mereka kerap mendengar adanya suara gema tabuhan seperti suara gong yang berasal dari dalam gua. Gong adalah salah satu alat seni tabuh dalam kesenian gamelan Jawa. Padahal faktanya, suara seperti gong tersebut merupakan hasil dari pantulan tetesan air alam di gua yang menimpa batuan stalaktit atau stalagmit gua tersebut.* Sumber & Foto: Disbudpar Jatim
0 notes
Text
Saat Kaum Milenial Nyinden ‘Lewung’ di Gema Mredangga Candi Tegowangi
https://www.satukanal.com/saat-kaum-milenial-nyinden-lewung-di-gema-mredangga-candi-tegowangi/
Saat Kaum Milenial Nyinden ‘Lewung’ di Gema Mredangga Candi Tegowangi
SATUKANAL, KEDIRI – Sebagai peninggalan bersejarah, relief yang ada di dinding candi tak hanya sebagai hiasan atau cerita kehidupan di masa lalu. Lebih dari itu, kisah dalam relief candi juga dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari di masa kini.
Pesan itulah yang coba dimanfaatkan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kabupaten Kediri melalui relief Candi Tegowangi. Di sisi utara dan selatan Candi Tegowangi terdapat relief mredangga. Dalam bahasa Sansekerta, mredangga berarti penabuh gendang.
Untuk mengejawantahkan cerita di pahatan dinding candi tersebut, Disparbud mengadakan lomba menabuh gendang bagi siswa SMA-SMK negeri se-Kabupaten Kediri, Kamis (19/12/2019). Lomba bertajuk Ekshibisi Perkusi Cagar Budaya “Gema Mredangga” ini diikuti oleh 17 SMA-SMK negeri se-Kabupaten Kediri.
Kepala Bidang Sejarah Purbakala Disparbud Kabupaten Kediri Yuli Marwantoko ingin menjadikan candi sebagai inspirasi bagi masyarakat. “Selama ini candi hanya dikenalkan sebagai peninggalan sejarah. Padahal selain dikenalkan, candi juga bisa dimanfaatkan,” tutur Yuli saat membuka Gema Mredangga.
Melalui Gema Mredangga, ia juga berharap generasi milenial dapat mencintai sejarah dan budaya. “Karena di situ ada nilai sejarah yang bisa menjadi bimbingan untuk kehidupan sehari-hari,” ujarnya.
Tak hanya untuk membuat pertunjukan nyata dari kisah relief candi, Gema Mredangga juga sebagai upaya pelestarian kesenian khas Indonesia bagi generasi muda. Sebab, salah satu penilaian juri selain gendang, ialah vokal melalui lagu yang dibawakan.
Saat Satukanal.com turut menyaksikan penampilan peserta, semua peserta memang membawakan lagu yang mengisahkan sejarah atau lagu-lagu Jawa. Sebut saja di antaranya lagu legendaris Anoman Obong, Prau Layar, atau Lewung.
Salah satu milenial yang membawakan lagu Lewung ialah Nur Kholis Laylatul Afifah. Gadis yang akrab disapa Layla ini membawakan lagu Lewung diiringi tabuhan gendang oleh tiga temannya. Sebagai generasi muda, ia merasa nyaman mendengarkan lagu-lagu Jawa.
“Ya nyaman sih, semua lagu sebenernya suka,” ujarnya.
Meski mendengarkan lagu barat baginya sah-sah saja, namun Layla juga berharap kaum muda seusianya melestarikan lagu-lagu Jawa tradisional. “Ya melestarikan budaya kita sendiri, lah, biar tidak punah. Masa selalu merasa ‘waah’ dengan lagu dari negara lain, tapi lagu dari negara kita, bahkan daerah kita, ya kalau bisa dilestarikan,” pesan siswi SMAN 1 Gurah ini.
Yuli mencita-citakan Gema Mredangga dapat menjadi kegiatan rutin. Mendatang, Yuli ingin melibatkan siswa SMP sebagai peserta. Terlebih, sejak 2018 Disparbud sudah menjalankan program Cagar Budaya Masuk Sekolah ke sejumlah SMP negeri di Kabupaten Kediri.
Candi Tegowangi merupakan candi peninggalan kerajaan Hindu. Candi ini terletak di Dusun Candirejo, Desa Tegowangi, Kecamatan Plemahan, Kabupaten Kediri. (adv)
Pewarta: Isnatul Chasanah
Redaktur: N Ratri
#berita kediri#berita pemerintah kabupaten kediri#candi tegowangi kediri#Pemerintah Kabupaten Kediri#straight news#BERITA#ISU PILIHAN
0 notes
Text
NEWSVIDEO: Riuhnya Gema Takbir dan Tabuhan di Festival Beduk Di Kabupaten Banjar
Aruma Manis NEWSVIDEO: Riuhnya Gema Takbir dan Tabuhan di Festival Beduk Di Kabupaten Banjar Baru Nih Artikel Tentang NEWSVIDEO: Riuhnya Gema Takbir dan Tabuhan di Festival Beduk Di Kabupaten Banjar Pencarian Artikel Tentang Berita NEWSVIDEO: Riuhnya Gema Takbir dan Tabuhan di Festival Beduk Di Kabupaten Banjar Silahkan Cari Dalam Database Kami, Pada Kolom Pencarian Tersedia. Jika Tidak Menemukan Apa Yang Anda Cari, Kemungkinan Artikel Sudah Tidak Dalam Database Kami. Judul Informasi Artikel : NEWSVIDEO: Riuhnya Gema Takbir dan Tabuhan di Festival Beduk Di Kabupaten Banjar Suasana berbeda nampak terlihat di halaman kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banjar Kalsel, Rabu (14/6/2017) siang. http://www.unikbaca.com
0 notes
Text
Manusia Itu Sama tapi Disengat Tawon Bisa Berbeda
By Rusdi Mathari Posted on 24 June 2016
Kehebohan itu terjadi menjelang buka. Orang-orang kampung berhamburan keluar rumah lalu menonton Cak Dlahom yang dikerubungi tawon tapi tenang berjalan di jalan kampung. Kepala, dada, punggung, tangan bahkan betisnya dipenuhi tawon. Beberapa ibu yang melihat pemandangan itu berteriak-teriak agar ada yang menolong Cak Dlahom, tapi tak seorang pun yang berani mendekat. Mereka ketakutan karena mereka tahu tawon yang mengelilingi Cak Dlahom dari jenis yang berbahaya.
Mereka menyebutnya tabuhan. Sarangnya bergantung di satu cabang pohon jati tua di tengah pekuburan kampung. Sarangnya berukuran besar dan tampak menyeramkan. Tidak terlalu jelas sebab-akibat binatang dengan sengat dan bisa yang dapat mematikan itu mengerubungi Cak Dlahom. Orang-orang hanya tahu, sore itu Cak Dlahom memang berjalan dari kuburan.
Dia seperti membiarkan dirinya jadi tontonan atau hiburan orang-orang kampung terutama anak-anak. Agar mereka lupa sejenak bahwa mereka sedang berpuasa. Agar mereka bergembira. Yang dilakukannya hanya menggerakkan tangannya ke kiri dan ke kanan, ke atas dan ke bawah, seperti memberi perintah pada tawon-tawon yang mengerubunginya. Dan aneh, kerumunan tawon itu seperti mengikuti gerak tangan Cak Dlahom. Seperti sekumpulan bebek yang diarak pulang oleh penggembala.
Bila tangan Cak Dlahom bergerak ke atas, tawon-tawon itu mengerubungi kepalanya. Bila tangannya bergerak ke samping, giliran kedua tanganya yang dikerubungi. Begitu seterusnya, tabuhan itu patuh mengikuti gerak tangan Cak Dlahom.
Dia tidak mengadu. Tidak pula cekikikan. Dan Sambil terus berjalan tenang di jalan yang membelah kampung, mulut Cak Dlahom hanya bersuara “Yaa Rahman… Yaa Rahim…” Suara itu diulang-ulangnya bagai mantra.
Orang-orang takjub sekaligus miris melihat pemandangan tawon-tawon sebesar ibu jari mengerubungi Cak Dlahom. Anak-anak yang berjalan mengikuti dari berlakang menyoraki Cak Dlahom.
“Dlahom sakti..Dlahom sakti…”
Sampai di ujung jalan, Cak Dlahom berbalik arah berjalan kembali ke arah kuburan. Dia mengulanginya berkali-kali. Suara anak-anak semakin riuh. Pak RT yang baru tahu belakangan dan melihat kejadian itu segera meminta beberapa orang untuk menolong Cak Dlahom dari kepungan tawon. Mereka menutup kepala mereka dengan sarung, membakar sabut kelapa untuk mengasapi tawon agar menjauh dari Cak Dlahom, tapi yang hendak ditolong malah menolak.
“Pergi. Tak usah menolongku…”
“Kami disuruh Pak RT, Cak…”
“Bagaimana kalian mau menolongku, sementara kalian tak mampu menolong diri kalian?”
Orang-orang itu bingung tidak mengerti, tapi segera menjauh. Cak Dlahom bukan tandingan mereka. Mereka membiarkan Cak Dlahom dikeroyok tawon. Pak RT hanya geleng-geleng mendengar laporan orang-orang itu.
Ketika azan maghrib menjelang, orang-orang segera bubar. Cak Dlahom kembali ke pekuburan dengan masih diikuti kumpulan tawon. Dia baru pulang ke rumah Mat Piti menjelang Isya. Romlah sudah menyiapkan kopi. Mat Piti dan Gus Mut menunggu di teras belakang. Keduanya ingin mendengar cerita Cak Dlahom.
“Kenapa tawon-tawon itu bisa mengeroyok sampean, Cak?”
Mat Piti membuka pembicaraan. Gus Mut menyuap kolak. Nody dan Romlah ikut bergabung ke teras belakang. Cak Dlahom menyalakan kreteknya.
“Meraka ingin jalan-jalan, Mat.”
“Sampean ada-ada saja, Cak. Tawon kok ingin jalan-jalan?”
“Loh, kamu kira hanya manusia yang ingin jalan-jalan?”
“Maksud saya, bagaimana sampean tahu, tawon-tawon itu ingin jalan-jalan?”
“Aku tidak tahu, Mat. Aku hanya tahu, mereka mengikutiku. Itu saja.”
“Lalu kenapa sampean menolak ditolong?”
“Mat, tawon-tawon itu tidak menggangguku dan aku tidak mengganggu mereka.”
“Iya, Cak, tapi tawon-tawon itu berbahaya. Bisa mematikan. Orang-orang itu mau menolong sampean.”
“Mat, banyak orang ketika melihat orang susah, melihat orang melarat, melihat orang menderita, lalu ingin menolong. Ingin membantu.”
“Itu kewajiban manusia, Cak…”
“Betul, Mat. Aku menghargai mereka. Masalahnya, bagaimana mereka mau menolong sementara mereka tidak mampu menolong diri mereka.”
“Maksudnya bagaimana, Cak?”
“Banyak dari mereka yang ingin menolong bukan karena benar ingin menolong. Mereka menolong hanya karena rasa iba. Rasa tidak enak. Rasa ingin dilihat dan dipuji oleh orang lain bahwa mereka bisa menolong. Mereka sibuk melihat orang lain tapi alpa melihat ke dalam diri mereka. Sibuk menilai orang lain dan lupa menilai kekurangan diri sendiri. Orang-orang semacam itulah yang mestinya perlu ditolong.”
Mat Piti manggut-manggut. Gus Mut meneruskan menyuap kolak. Romlah mengelus-elus perutnya. Nody nyuruput kopi. Cak Dlahom meneruskan penjelasannya.
“Kasih sayang Allah itu untuk seluruh alam, Mat. Untuk seluruh makhluk, tapi manusia sering mengingkarinya. Ketika mereka sakit, mereka berdoa meminta untuk disembuhkan. Ketika mereka melarat, mereka berdoa agar diberi kesejahteraan. Ketika kemarau mereka berdoa meminta hujan. Ketika hujan mereka lari menghindar. Doa mereka penuh nafsu. Mereka berdoa karena nafsu.
Padahal ketika mereka sakit, ketika mereka melarat, ketika diberi kemarau, ketika diberi hujan, boleh jadi itulah waktu dan kesempatan bagi mereka untuk mendekatkan diri mereka pada Allah. Tapi mereka tidak paham. Mereka menganggap musibah sebagai cobaan. Mereka tidak menyadari, musibah sebagai anugerah.”
Cak Dlahom mengisap dalam-dalam kreteknya. “Anugerah, Cak?” Mat Piti membuka suara.
“Iya, Mat, musibah itu anugerah bagi orang-orang yang mengerti. Ujian dan cobaan yang paling berat adalah ketika kamu berlimpah nikmat dan diberi kecukupan dalam segala urusan dunia. Bukan pada saat kamu diuji dengan berbagai kesulitan dan keterbatasan…”
“Seperti saya ini ya, Cak?”
Gus Mut memotong. Mat Piti agak kaget. Nody juga terheran-heran.
“Maksudmu, Gus?”
“Mulut saya kan terus menganga, Cak. Jadi saya harus bersyukur karena diberi anugerah mulut yang terus menganga. Begitu, kan, maksudnya?”
Cak Dlahom cekikan. Romlah mesam-mesem.
“Ya ya, semacam itu, Gus. Hidup ini hanya harus dijalani. Kalau kita takut pada ujian dan cobaan, menghindar dari persoalan, kita mestinya tak perlu hidup. Musibah atau ujian apa pun mestinya bisa mengantar seseorang menjadi semakin dekat dengan penciptanya. Lewat musibah, mereka seharusnya menyadari, diri mereka adalah fakir. Tidak punya apa-apa. Tidak punya daya kekuatan apa pun di hadapan Allah.
Mereka mungkin punya kekayaan di dunia ini, tapi mereka fakir. Mereka mungkin bisa beribadah tapi fakir. Mereka mungkin punya kekuasaan tapi dhaif. Mereka semua tidak punya apa-apa dan tak mampu melakukan apa-apa di hadapan Allah.”
“Jadi, kita semua ini fakir ya, Cak?”
Gus Mut kembali menyahut.
“Betul, Gus. Tak satu pun dari kita yang lebih unggul dari yang lainnya. Tak seorang pun. Karena jangan sombong. Jangan takabur. Jangan jumawa merasa diri lebih dari yang lain.”
“Tapi saya merasa punya keunggulan, Cak?”
Mat Piti geleng-geleng mendengar Gus Mut terus menyahut. Cak Dlahom cekikikan.
“Kok sampai tertawa, Cak?”
“Kira-kira aku tahu yang kamu maksud, Gus.”
“Apa keunggulan saya, Cak?”
“Bentuk mulutmu…”
Mat Piti dan Nody tertawa. Romlah yang semula hanya mesam-mesem, kali ini tak kuasa untuk tidak ikut tertawa.
“Ih Mbak Romlah seneng banget. Awas loh anaknya suka menganga kayak saya…”
“Amit-amit jabang bayi, Gus.”
“Loh, kata Cak Dlahom, manusia itu sama kok.Tak satu pun yang punya keunggulan dari yang lain. Iya kan, Cak?”
Cak Dlahom belum menjawab, tapi Gus Mut sudah mengadu. Seekor tawon kecil yang entah dari mana, menyengat bibirnya. Romlah berteriak kaget. Mat Piti meminta Nody mengambil minyak tawon. Bibir Gus Mut membengkak. Cak Dlahom cekikikan.
“Sebentar lagi bibirmu juga kempes, Gus. Tawon itu hanya gemas melihat bibirmu..”
Gus Mut tak bisa menjawab. Dia hanya semakin menganga. Nody, kakaknya, yang mengolesi bibirnya, malah terus tertawa.
0 notes