#gadis usang
Explore tagged Tumblr posts
Text
Aku tak mengenal sosok tua itu dengan vespa usangnya. Warna biru legam, tak mengenal kata lusuh malah ada mewah jika sinar surya menempa. Namun, aku masih tidak mengenali si sosok tua. Siapa dia? Gugusan tanya berkubang di kepala, berharap aku dapat temukan sosok itu dalam gelembung memori yang mengendap.
Dahulu ia gagah. Tinggi tegap badannya, bak pahlawan. Walaupun kau tak akan dapat melihat ia dengan jubah kebesarannya yang tersampir di bahunya. Ia, hanya, pahlawan— bagiku. Setidaknya.
Tak apa, kata ku, jika jubah tak megah dan tak sekuat gatot kaca yang melegenda. Kala itu, ia adalah segalanya. Pusat ketika aku memuja dunia, dan seluruh jiwa menjadi representasi nyata dalam genggam tangan sang lelaki gagah. Jemari itu membelai rambutku bak ruang terhangat yang s’lalu aku damba.
Tirai kelabu nan sunyi itu meredam segala ramai yang menjelma tirani. Sekonyong-konyong singkirkan sorak-sorai di dunia luar tatkala aku sembahkan bahwa diri ini hampir mati. Ia, perlahan, mati dalam kepingan-kepingan afeksi yang masih terpatri. Jelmaan memori bagai hantu di jeruji— merayap dalam senyap ‘tuk berkubang di dalam diri.
Lelaki tua itu kehilangan jiwanya. Terburai seiring waktu yang meranggas dengan ganas. Jiwa ini t’lah lama direnggut paksa. Memang, kau pikir, aku yang ingin ‘tuk berubah? Satu tanya itu terdengar hampa, bagai ruang yang tak mengenal suara. Mulutnya berdecak, tapi bisu merenggut bising suara.
Persetan. Kutukan itu merupa cangkang yang enggan ‘tuk ucapkan selamat tinggal pada tubuh ringkih ini agar ia mengenal salam perpisahan. Dasawarsa demi dasawarsa melampaui tanpa cukup ‘tuk dirasa. Pada siapa tuju labuhan ini tunjuk rasa sesal? Sementara waktu yang terkikis mencambuk diri dan ia berkelindan. Mengikat penuh sesak hingga napas tersengal berat.
Enggan menuduh takdir atas dosa, namun bila saja bukan ia yang beri ikrar setia, maka tak akan pernah kutujukan salah sebagai samsak nan tinggalkan tanda. Katanya, rumah tak selalu sama. Tak mengenal satu, ada dua atau bahkan tiga? Aku tak tahu, sebab ia munculkan rona sangsi yang mendurja.
Lenyap. Lenyap. Senyap! Lelaki tua menatapku masygul dengan vespa biru legam yang usang. Tatapnya menggerabak dalam semanak cita yang merentak karena sedan tangisan anak remaja di bilik jingga. Setangan cokelat mengenangkan luka yang enggan ‘tuk sirna. Nyalang mata tak menggelatar, para batih menjerit dalam sempalan memori yang meruap.
Dalam jarak aku sematkan doa, atas dosa-dosa yang mengundang nestapa. Ia menjelma azimat yang mengamangkan para pendusta. Rikuh anak gadis remaja mendamba tetirah demi puadai bahagia yang luruh dirampas bramacorah.
Pada jati diri kalis Ayahku yang terganti durjana. Aku menyalak pada malam kemukus bintang. Duria mendoa, akan babar duka yang merenggut setengah cinta.
2 notes
·
View notes
Text
Sudah hampir setahun dekapan gadis itu terasa dingin, tidak ada percik api yang menyala saat tangan nya menyentuh lemari itu, di simpan nya segala bentuk kenangan usang yang terlupakan, berharap sang gadis berkenaan mendekap masa lalu nya sekali lagi.
28 notes
·
View notes
Text
Bermula kisah ku buka bicara bukan purnama tunggal diangkasa berselindung sebalik ketawa sedalam kisah Lara yang dirasa bertemu gadis manis pada rupa tutur kata lembut bak pujangga cantik dipuja mata yang menggoda rapilah muram dengan senyum nista
tanggungan dia ramai, ayah pula tak guna hidup tak pernah santai macam selalu susah tapi tak nak merana
semua sebab adik-adik, Doa ibu baik-baik tolong kulawangsa susah ringan kan beban jadi yang berguna nama dia masyitah tempat tinggal dalam pondok usang dia yang bayar sewa, tiada katil cuma ada tilam
8 orang cukup Selesa, siang malam makan terjaga, ibu perlukan masyitah pasal bagi ibu ayah hanyalah sampahan
dia tak pilih begini, dia pun mahu begitu, kenapa semua macam ni, soalannya itu selalu pernah masyitah nak lari, tapi tak tahu sejauh mana biarpun lari selaju mana masyitah percaya cuma sia-sia
ibu pesan kuatkan semangat hadapi dugaan ibu setia doakan biarlah sehingga Dunia terbelah dan masyitah dengar ibu Masih nak syurga ibu masyitah terus kayuh hidup ni takkan kaku selagi ada nyawa akan macam ni ibu
alir darah ditubuhmu suci murni syahdu cantik madah berkisahmu aku bikin lagu tak ada penusuk sukm buatkan kau jatuh kau masyitah sumayyah Dunia baru
2 notes
·
View notes
Text
SANG PENJAGA MIMPI
Di perut kota tua nan sibuk, tinggallah seorang kakek penjual buku bernama Pak Ali. Warungnya sederhana, penuh dengan buku-buku tua beraroma kertas dan waktu. Suatu hari, seorang gadis remaja bernama Maya masuk ke warung. Dia terlihat murung, matanya sayu menatap deretan buku.
Pak Ali, dengan senyum ramahnya, bertanya, "Sedang mencari sesuatu, Nona?"
"Buku tentang mimpi," jawab Maya lirih.
Pak Ali mengelus janggutnya, lalu beranjak ke rak paling tinggi. Dia turunkan sebuah buku bersampul kulit usang, bertuliskan "Mimpi sang Penjaga Waktu." Maya menerimanya dengan ragu.
"Buku ini bercerita tentang penjaga jam pasir raksasa yang mengendalikan waktu," jelas Pak Ali. "Konon katanya, jika kamu memecahkan teka-teki di dalam mimpi sang penjaga, kamu bisa mengubah nasibmu."
Malam itu, Maya tertidur sambil menggenggam buku tua. Dia bermimpi aneh, berada di gurun pasir luas. Di kejauhan, menjulang jam pasir raksasa. Sosok tua berjubah menyambutnya, memperkenalkan diri sebagai Kael, penjaga waktu. Kael memberinya tiga teka-teki:
Aku selalu datang, tapi tak pernah tiba. Aku selalu pergi, tapi tak pernah pergi. Apakah aku? (Jawaban: Masa Depan)
Aku memiliki banyak wajah, tapi tak punya mata. Aku bisa membuatmu tertawa, menangis, atau takut. Apakah aku? (Jawaban: Mimpi)
Aku berharga, tapi tak bisa dibeli. Aku mudah hilang, tapi tak bisa dicari. Apakah aku? (Jawaban: Waktu)
Maya terbangun dengan keringat dingin. Teka-teki itu mengganggunya. Dia bolak-balik ke warung Pak Ali, berdiskusi tentang arti mimpi dan teka-teki. Perlahan, Maya mengerti. Masa depan tak bisa diprediksi, tapi bisa diusahakan. Mimpi adalah petunjuk, bukan jalan pintas. Waktu adalah harta termahal, gunakan sebaik-baiknya.
Sejak saat itu, Maya berubah. Dia tak lagi murung. Dia mulai belajar giat, mengejar mimpinya menjadi dokter. Beberapa tahun kemudian, Maya berdiri dengan bangga di depan Pak Ali, seorang dokter muda berwajah berseri. Mimpi yang awalnya terasa mustahil, kini terwujud. Semua berawal dari secercah harapan yang ditemukan di antara buku-buku tua milik Pak Ali.
4 notes
·
View notes
Text
Lembayung Kala Senja
Di ujung suatu kota kecil, tersembunyi sebuah perpustakaan yang hanya bisa dilihat oleh satu orang terpilih setiap hari. Perpustakaan itu tak berwujud megah ataupun menyeramkan, melainkan sebuah tempat tenang dengan rak-rak kayu usang yang menyimpan buku-buku kuno dan modern, dengan sampul-sampul yang seolah menanti untuk disentuh.
Penjaga tempat ini adalah Senja, seorang gadis dengan aura damai, selalu tersenyum tenang, namun tak ada seorang pun yang tahu asal-usulnya.
Senja memiliki satu aturan penting: Setiap orang yang datang boleh memilih satu buku untuk dibaca, dan mereka akan mengalami kisah di dalamnya sebagai petualangan nyata selama tiga hari waktu buku. Namun, jika mereka tidak kembali tepat waktu, mereka akan terjebak di dalam buku itu selamanya.
Senja akan selalu menunggu dengan senyumnya yang tenang saat orang terpilih itu kembali.
“Kau berhasil pulang tepat waktu,” katanya lembut. “Banyak yang tak kembali.”
“Apakah semua kisah di perpustakaan ini nyata? Siapa Senja sebenarnya?” adalah pertanyaan yang tidak pernah didapatkan jawabannya oleh setiap pengunjung toko buku tersebut. Ketika pertanyaan itu mulai terlontar dari bibir pengunjungnya, Senja hanya meletakkan jari di bibirnya dan berbisik, “Rahasia ini hanya untuk mereka yang berani melangkah lagi.”
Siapapun yang melangkah keluar dari perpustakaan, ia akan mendapati buku yang tadi dimasuki kembali berada di rak—namun dengan judul yang sudah berubah dengan ukiran nama tamu yang memasuki buku tersebut.
Dan seperti sebelumnya, ketika matahari benar-benar tenggelam, perpustakaan itu lenyap dari pandangan. Namun, Senja tetap berdiri di dalam, menunggu pengunjung berikutnya yang akan datang mencari petualangan, dengan waktu dan ingatan sebagai taruhannya.
0 notes
Text
Kebun cinta bunga matahari
Dirumahku ada buku-buku yang lebih tua daripada usiaku. Buku-buku itu disimpan ayah rapih di sebuah perpustakaan kecil di ruang kerja ayah. Salah satu yang paling membuatku tertarik adalah Ensiklopedia Makhluk Hidup.
Buku itu adalah buku pertama yang aku sukai bahkan sejak aku belum bisa membaca karena penuh dengan gambar dah warna. Dari situlah aku belajar berbagai macam hal yang belum pernah aku lihat diluar sana.
Sejak usiaku menginjak angka 3 aku sudah meminta ayah untuk selalu membacakannya. Mendengar ayah bercerita tentang berbagai tanaman dan makhluk hidup lainnya yang membuatku terpesona. Semua itu rutin dilakukan seperti dongeng sebelum tidur.
“Orange! orange!” aku menunjuk sebuah bunga yang belum aku tahu namanya. Bunda bercerita kala itu aku nampak sangat bersemangat, mataku berbinar seperti penuh bintang, dan aku tersenyum lebar memperlihatkan dua gigi depanku yang baru tumbuh.
Dari sebuah momen kecil itu ayah dan bunda membuat sebuah taman kecil di belakang rumah. Ada berbagai macam bunga disana termasuk si bunga orange yang akhirnya aku tau namanya, bunga matahari.
Sekarang si gadis kecil telah menginjak usia dewasa, ia sudah memiliki gigi yang lengkap serta bisa menyebutkan berbagai jenis bunga bukan hanya warnanya saja. Banyak hal yang berubah di dalam hidupnya tapi beberapa hal juga tetap disana tak berubah. Itu adalah cinta Ayah dan Bunda.
Salah satu bentuk cinta yang diberikan dari orang tuanya terbentuk pada sebuah taman kecil yang masih tampak asri dan warna-warni sampai sekarang.
Setiap kali aku pulang ke rumah, langkahku selalu membawaku ke taman kecil di belakang. Rasanya seperti ritual yang tak pernah usang. Di sana, bunga-bunga masih mekar indah, sama seperti masa kecilku dulu. Bunga matahari dengan kelopak oranye mencolok selalu menjadi yang paling menarik perhatian, berdiri tegak seolah-olah menyambutku setiap kali aku datang.
Ayah dan Bunda merawat taman ini dengan penuh cinta, seperti mereka merawatku. Setiap bunga yang tumbuh seakan-akan mewakili momen-momen berharga dalam hidupku.
Kadang, bayangan masa kecilku terlintas—gadis kecil dengan mata berbinar, yang berlari sambil menunjuk ke arah bunga-bunga dan bertanya tak henti-henti tentang setiap makhluk hidup yang ia lihat.
Namun, meski banyak yang berubah, aku tahu satu hal yang tetap: cinta Ayah dan Bunda. Taman kecil ini adalah bentuk cinta yang mereka wujudkan dalam kehidupan nyata. Setiap kali aku melihat bunga-bunga itu, aku bisa merasakan kehadiran mereka.
Di antara bunga-bunga yang bermekaran, aku melihat masa lalu, masa kini, dan masa depan yang terhubung. Taman kecil ini, meski tampak sederhana, adalah simbol dari cinta yang abadi—cinta yang tak akan pernah layu, seperti bunga-bunga yang terus bermekaran, musim demi musim.
0 notes
Text
Sudut ruang yang menarik, ada secercah cahaya menyelinap melalui jendela yang sudah usang. Lihat, lantainya sudah berdebu dan tak ada aktivitas manusia di dalamnya.
Namun, dua bangku yang saling berjejeran itu kembali mencuatkan sebuah rasa rindu sekaligus haru...
Dulu, rumah ini adalah tempat tinggal ibuku. Dia anak gadis satu-satunya. Entah dari mana ia mendapatkan keberanian itu, ibuku memutuskan untuk merantau ke kota bernama Bekasi dan bertemu dengan kekasih tercintanya yang kami sebut sebagai, "bapak."
Mengingat ia telah tumbuh dengan baik di rumah penuh cerita ini membuatku kembali nostalgia akan kisah haru tokoh-tokoh di dalamnya..
Kini, kita memasuki episode pertama, "Ruang yang Berdebu."
Menjadi sebatang kara ketika usianya menginjak kepala tiga, saat itu umurku masih belia, belum paham apa arti duka. Namun, setelah kehilangan sandarannya yang berarti, masa kelam kembali datang di tahun 2015.
Kekasihnya bertemu dengan maut. Padahal sudah sering kehilangan, tetapi rasa sedihnya selalu terasa sakit.
Membesarkan anak di negeri rantau adalah hal yang sulit. Di tengah keterpurukannya dan kebangkrutannya, ibu hanya tahu bahwa anaknya butuh makan dan sekolah. Ia bekerja banting tulang, mengerti bahwa meratapi rasa sedih saja tidak membuat perut yang lapar menjadi kenyang.
Di penghujung usia yang semakin tua, ibuku hanya bercita-cita untuk tinggal di rumah tua ini dalam kesendiriannya...
Ia tahu dirinya sedih. Namun, yang lalu adalah kenangan, bukan masa depan.
Terima kasih ibu....sudah mengusahakan rumah yang terbaik bagi anak-anakmu.
Ibuku adalah definisi kekuatan yang kupegang teguh sampai saat ini
.
.
.
Mari kita bertemu di episode berikutnya.
Dokumentasi pribadi; Kuningan, 31 Juli 2024
Rumah nostalgia sejak zaman Belanda.
1 note
·
View note
Text
Gadis bersepatu merah tua.
Sepatu merah tua itu, kesukaannya sejak berumur 4 tahun. Bukan sesuatu yang bernilai beli tinggi. Bukan juga dengan merek yang digandrungi. Hanya sepatu lungsuran dari si baik hati. Lungsuran yang membuatnya tidak bisa tidur di malam hari, karena tak sabar untuk dipakai esok hari. Gadis itu menyadari, ia lahir di bawah sebuah rumah kontrakan yang minimalis dengan keterbatasan diri. Beberapa peralatan sekolah dan seragam miliknya pun lungsuran dari si baik hati. Sesederhana kue putu putri yang jadi bekalnya setiap hari. Namun tak membuatnya berhenti bermimpi. Hai gadis bersepatu merah tua, bagaimana kabarmu saat ini? Masihkah kau bermimpi menjadi seorang dokter atau penari? Masihkan sepatu merah itu menjadi favoritmu di setiap hari?
Hai gadis bersepatu merah tua, kau telah melewati banyak hal. Rintangan demi rintangan menghadang langkahmu, namun tak pernah membuatmu berhenti. Sepatu merah tua itu, meski kini mungkin sudah usang di beberapa bagian, tetap menjadi saksi bisu perjuanganmu. Setiap goresan dan lecetnya adalah cerita tentang jatuh bangunmu, tentang keberanianmu menghadapi dunia yang seringkali tidak memihak kepadamu.
Di balik senyummu, tersimpan ribuan mimpi yang pernah dicemooh, dicibir, bahkan berusaha untuk dimatikan. Tapi kau, gadis bersepatu merah tua, tak pernah menyerah. Kau terus melangkah, dengan sepatu yang sama, membawa semangat dan tekad yang tak pernah pudar. Di usiamu kini, mungkin kau bukan seorang penari atau dokter seperti yang dulu kau impikan, tapi kau adalah pemenang di hidupmu sendiri.
Sepatu merah tua itu, kesukaannya sejak berumur 4 tahun, kini menjadi simbol kekuatan dan ketekunan. Dengan setiap langkah yang kau ambil, kau buktikan bahwa mimpi tak pernah mengenal batas waktu atau kondisi. Dan di hari ulang tahunmu yang ke-25 ini, kau merayakan bukan hanya bertambahnya usia, tetapi juga kemenangan atas semua rintangan yang pernah menghadang.
Selamat ulang tahun, gadis bersepatu merah tua. Teruslah melangkah dengan penuh keyakinan, dan biarkan sepatu itu menjadi penanda perjalanan luar biasa yang kau tempuh. Mimpi-mimpi besarmu, yang dulu hanya menjadi harapan seorang gadis kecil, kini aku tau sedang kau usahakan untuk tumbuh dan berkembang menjadi kenyataan. Kau adalah bukti bahwa semangat yang tak pernah padam mampu menaklukkan.
0 notes
Text
Malam Seorang Gadis Ballerina
Lagi-lagi malam ini dalam sebuah rumah tua gadis dengan kulit pucat itu menari sepanjang malam, dia menggunakan sepatu ballerina usang dengan tali sepatu yang mulai terkoyak seakan-akan memberi tahu siapapun yang melihatnya bahwa gadis ini telah menggunakan sepatu itu tanpa ampun, tapi ada yang berbeda malam ini gadis itu menggunakan gaun berwarna putih salju dengan hiasan bunga mawar merah di kepalanya. apakah ia menikah malam ini??
Aku mulai penasaran dengan gadis itu karena biasanya dia menari dengan pakaian ballerina tak layak pakai dengan noda kotoran dan rambut disanggul acak yang membuat siapapun yang melihatnya merasa ngeri, malam ini dia terlihat sangat indah, dia menari bak seekor angsa putih yang melebarkan sayap indahnya untuk menarik sang angsa jantan.
Pada jendela tua aku masih mengintip setiap gerakan yang dia lakukan, tanpa disadari pagi mulai mendekat dan ia menari semakin indah seakan-akan hari ini adalah hari terakhir ia menari, rasa penasaranku semakin menjadi-jadi, rasa ini mendorongku untuk menghampirinya, langkahku semakin cepat seolah-olah aku tak ingin kehilangan sedetikpun tarian gadis itu. aku sampai pada satu daun pintu berdebu dengan gagang pintu yang penuh dengan karat dengan aroma tua yang membuatku semakin merasakan getaran dan rasa penasaran, mengapa seorang gadis dapat menari dengan begitu indah disebuah rumah tua, usang dan gelap seperti ini?. Langkahku kupercepat seakan-akan aku mulai merindukan setiap ritme gerakan yang ia lakukan, perasaan apa ini karena rasanya seperti di ujung jurang dan seorang siap untuk mendorongku jatuh kedasar jurang.
Langkah kaki yang memaksaku untuk menghapiri gadis itupun terhenti, aku melihatnya sangat dekat, dia ada di depanku dengan gaun indah layaknya seorang putri yang menunggu pangeran berkuda menjemputnya, dia seperti seorang pengantin yang malam ini akan dijemput oleh mempelai pria.
"apa yang kamu lakukan di sini?" ucap gadis itu tanpa sedikitpun ia teralihkan dari tariannya
"kamu dan tarian ballerina mu membuatku melangkah cepat-cepat ke tempat ini" jawabku seolah-olah jantungku akan terhenti sebentar lagi ini seperti mimpi wajahnya bersinar, matanya seperti hamparan air dengan pantulan cahaya pagi, dia betul-betul indah. Siaal..dia indaaaah.
"Mengapa kamu menari setiap hari?? dan apa yang terjadi denganmu ?? kau berpakaian seakan-akan kamu akan menikah malam ini??
"apakah hanya seoarang yang akan menikah saja yang menggunakan gaun putih indah?" jawabnya dengan tetap menari seperti penghibur raja, dia indah
"lantas ?? apa?" jawabku yang tak sabar untuk menariknya dan menari bersamanya, walau aku tak bisa menari tapi malam ini aku ingin berada dalam dunianya.
"seorang yang akan masuk kedalam peti matipun berpakaian indah bukan??"
"kamu akan mati?? malam ini?? mengapa??" jawabku yang semakin ingin masuk kedalam dunianya
"tunggulah, kau akan menyaksikanya, aku tau kamu memandangiku setiap malam pada jendela kamarmu di sebrang sana dan mengapa baru sekarang saat aku berpakaian indah dengan bunga pada rambutku kamu menghampiriku??, apa rupa menjadi nomor satu pada tontonanmu Tuan??" iya masih menari dan semakin cepat bersama dengan irama detak jantung yang tak karuan ini.
Aku masih memandangi dia menari dengan perasaan yang akan meledak, Tiba-tiba terdengar dentuman senapan berteriak ditelingaku, peluru itu menembus tepat pada jantung gadis itu yang membuat terian ballerinanya terhenti, dia terjatuh dan berbaring di lantai, sebagian dari gaun putihnya berubah warna menjadi merah dia tersenyum memandangku "Kamu terlambat, andai tarianku cukup menggiringmu kemari, kamu sudah memiliki ku saat ini".
Malam itu, gaun dengan hiasan bunga dikepalanya menjadi senada dan aku dengan dentuman pada nandiku tak dapat melakukan apapun selain menyesali bahwa sang indah ternyata nyata namun tak dapat kulihat hanya karena usang pada bola mataku.
1 note
·
View note
Text
Membuka lagi laman ini, membaca ulang tulusan-tulisan usang berdebu.. Ternyata hidup sudah banyak berubah, dan terima kasih banyak yaa Allah atas semua nikmatMu sampai hari ini.
Hari ini, gadis kecil yang dulu suka mengeluh-mengeluh hal tak penting.. Kini hidupnya ramai dan bising atas titipan dua gadis kecil yang memanggilku mama. Alhamdulillah, meski naik-turun-berliku-terseok-morat-marit kami bahagia..
Alhamdulillah. Alhamdulillah. Alhamdulillah.
Udah ga ada pantes2nya lagi mengeluh atas semua karunia ini. Malu. Makasih banyak yaa Allah. Akan kuperdalam lagi rasa syukurku..
0 notes
Text
-
Dulu, sempat terlintas dalam seluk beluk benak Gael bahwa Kaila akan kembali.
Bukan persis pada runtutan sekon ini, tentunya. Namun pada jejak-jejak waktu yang lebih mudah ditebak, yang tidak tersapu oleh rintik hujan dengan segala kerapuhannya. Demi Tuhan, dia betul-betul mengira bahwa Kaila akan kembali.
Tetapi ini sudah lima tahun, dirinya telah diseret sampai sempoyongan oleh hari-hari yang seakan mengabur. Dan mungkin karena rasa rindu, atau apapun itu yang seringkali bersemayam di dalam ceruk hatinya, yang kemudian memeras timpaan sendu ini menjadi pahit yang begitu menyiksa--kini, ada sesuatu dalam diri Gael yang ingin merombak kembali kejadian lama itu; amukan antara sepasang manusia yang terlalu rentan akan gesekan maut hidup, yang lantas terlanjur menciptakan luka terdalam itu, dan kian mengusik alam sadarnya untuk menggaruk bekas-bekas hampa, seakan ada cara bagi mereka untuk menguar kembali pada sela-sela permukaan hidup yang sompral ini dan memudar dalam lekuk yang sewajarnya--mustahil, dia tahu. Semua orang di sekelilingnya pun tahu.
Maka, Gael memutuskan untuk tinggal.
Begitu renggang dari segenggam pixel yang akan menalikan lokasi-lokasi tertentu dengan siluet rapuh gadis itu. Gael tak apa, mungkin begini memang lebih baik bagi keduanya—bagi Kaila, atau siapapun itu di atas sana yang senang sekali menggubris jalinan hidup antar dirinya dan dia. Namun riak-riuk di pusat keramaian sana kembali memperbudak indera penglihatan Gael—sialan, memang—yang sekarang kembali menyipitkan mata diseret kebingungan tiada tara ini.
Demi Tuhan, Gael tidak berniat pergi ke sana, sebab begitu ramai, dan dia terlalu malas apabila harus terjun bebas didesak lautan manusia tanpa nama yang kini masih melantunkan lagu pop mengiringi nyanyian mas-mas dengan kacamata bermotif bintang di atas panggung kecil itu. Ya, paling tidak untuk sekarang. Namun dia kembali teringat akan lembaran-lembaran hidupnya yang telah usang itu, yang sebelumnya tidak pernah lekang dari tarikan misterius pada garis bibir Kaila, atau lagu-lagu rahasia hasil gubahannya yang selalu menyenangkan untuk didengar ketika Gael sedang sulit terlelap. Atau mungkin, kenyataan bahwa lelaki itu sejujurnya terlampau sadar bahwa dirinya begitu merindukan sosok manis nan sulit ditebak itu. Dan sebuah kemungkinan dengan tingkat persentase yang begitu minim bahwa mungkin saja, mungkin saja, bayangan yang barusan dilihatnya itu nyatanya memang betul-betul ada.
Yang barusan dilihatnya itu, mungkin memang benar-benar Kaila.
Maka satu detik kemudian--dengan segenap pemikiran super sinting yang masih melekat dalam bilik-bilik otaknya--Gael sudah berlari dengan sekuat tenaga menuju pusat keramaian itu--melawan hasratnya untuk mengasingkan diri yang kini sedang meluap panas. Dia terus mencari, meliuk ke sana kemari, terhempas sekali, bangkit lagi, kembali mencari. Dan bayangan itu kini semakin terasa pada sela-sela jemarinya, sebuah kehangatan yang mengingatkan Gael akan pancaran sinar pada requim-requim yang bersatu padu dengan tenang, dan betapa besar harapan pada hatinya untuk menemukan potongan yang telah lama hilang itu untuk kedua kalinya.
Dia mohon, sekali ini saja.
Namun apapun yang sedang terjadi pada petak-petak kehidupan ini seperti tidak mengizinkan lagi, dan dia sudah terlanjur kehabisan napas perihal didesak-desak rombongan manusia tak tahu ampun ini.
Maka dia berhenti. That’s it.
Sungguh, Gael telah betul-betul paham akan rajutan ganjaran yang kian mengikat segala perbuatan terdahulu seseorang, yang kemudian akan seenaknya mengunci harapan pada sisi lain dari pintu-pintu kecil itu, yang sekarang ini, demi apapun di dunia, rasanya ingin dia dobrak saja demi bisa bertemu dengan kekasih lamanya tersebut.
Sebab Kaila, perempuan itu betul-betul berhak mendengar ribuan kata maaf secara langsung melalui bibir Gael.
0 notes
Text
Kamar Nomor Sembilan.
"Hahaha Loi, geser sedikit ya!" Potret jemari lentik bertabrakan dengan bulu putih dan abu-abu singgah untuk sepersekian detik. Seperti penggalan klise dari lintingan film. Ditemani dengan tawa renyah dari suara merdu yang familiar.
"Seran!" Masih dengan suara dan jemari yang sama. Jika tadi penggalan klise berlatarkan ruang beralaskan permadani, kali ini dapur lah tempat mereka berada. Jemari itu menari lincah mengusap surai hitam legam.
Ditemani dengan Loi, si kucing putih abu-abu yang mendengkur mengeluskan badannya pada kaki putih jenjang yang hanya beralaskan sendal karet. Wajah diantara gelombang panjang berwarna cokelat itu selalu buram.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ. . .
Seran terbangun. Penggalan ketiga diisi dengan teriakan memekkan telinga dan menginjak-injak habis kristal kaca pada ruang diantara rusuk-rusuknya berhasil mendorong si pemimpi keluar dari penggalan-penggalan film yang tak runtut. Bulir peluh membanjiri dahinya, bersama dengan helaan nafas yang tidak karuan.
"Kaluna." Nada kasar penuh tekanan membalut nama indah yang ia sebut. Dua tangan seputih susu bergerak mengacak-acak rambut serta mengusap kasar paras Seran. Mimpinya seperti dibajak tiada henti, tidak beda rasanya dengan terjerat di dalam kapsul waktu. Meski Seran belum pernah benar-benar ditelan paradoks manapun.
Diambilnya pematik dan selembar foto usang. Berisikan dirinya dan gadis berambut ikal berdiri bersama dan tersenyum menatap lensa yang membidik. "Kenapa bebal sekali, kalau sudah mati ya sudah berakhir." Belum sempat api menyambar kertas licin di tangan, bantingan pintu dari ruang tengah berhasil mendebarkan jantung Seran.
"Aduh Tuhan, ampun deh sama ini setan." Gerutuan kesal langsung meluncur bebas. Meski ingin rasanya Seran memaki arwah mantan kekasihnya, tetapi dia masih memikirkan cita-cita terkecilnya. Yakni sampai dengan selamat dan mengikuti kelas sore hari ini. Sebesar apapun nyali yang Seran tunjukkan, semuanya rusak hanya karena getaran foto pada genggamannya.
Urat yang timbul di dahi yang penuh keringat berhasil memecah tawa Kaluna, tentunya di alam lain. Entah digolongan apa Kaluna; si hantu mantan kekasih, ini. Jahat pun tidak, tapi jelas mengusik kedamaian hari-hari Seran. Bukan hanya perihal dendam, Kaluna hanya tidak bisa berpulang. Persis seperti janjinya sebelum nyawa tidak lagi menempati tubuh cantik itu.
Waktu itu, si hantu yang konon masih menempu semester dua menghadiri kelas malam. Memang dua tahun yang lalu, Kaluna dan Seran adalah mahasiswa baru. Sungguh sial, dalam perjalanannya menuju kost Seran ia malah mati terbegal. Sudah hitam pun anyir setelan yang ia gunakan, menyengat pangkal hidung, Kaluna terjatuh bersimbah darah setelah berusaha berjalan hingga kamar nomor sembilan.
Waktu itu, si hantu yang konon masih menempu semester dua menghadiri kelas malam. Memang dua tahun yang lalu, Kaluna dan Seran adalah mahasiswa baru. Sungguh sial, dalam perjalanannya menuju kost Seran ia malah mati terbegal. Sudah hitam pun anyir setelan yang ia gunakan, menyengat pangkal hidung, Kaluna terjatuh bersimbah darah setelah berusaha berjalan hingga kamar nomor sembilan.
Tentunya jika dilihat dari sisi seni, kematiannya bisa dibilang eksentrik. Tergulai lemah di dekapan sang kekasih dan masih sempat mengucap janji. "Aku enggak kemana-mana, jangan sedih ya. Dimanapun kamu berada, aku selalu di samping kamu, Seran." Sudah gila. Seran pikir itu hanyalah kata kiasan sebelum Kaluna dikebumikan. Nyatanya, mantan kekasihnya itu malah terjebak menjadi hantu karena janji anehnya.
Jika ditanya mengapa begitu, sebenarnya Kaluna hanya iseng. Ya dia tahu kalau dia akan menutup usia, tapi dia tidak tahu jika usilnya akan mengikat dia dan Seran seperti ini. Malaikat pun hanya ternganga mendengar kesaksian jiwa yang harum-harum amat juga tidak, menang cantik saja. Mungkin harumnya tercemar gaya pacaran yang terlalu bebas dan hanya mengejar puas.
Si hantu berhasil menjelaskan melalui paranormal yang dipanggil oleh Ibu Seran. Pasalnya anak laki-lakinya berlari terbirit-birit menggedor kamar sebelah karena melihat siluet Kaluna. "Lun, makanya kalau ngomong itu dipikir." Tidak ada satu hari tanpa Seran absen dalam mengomeli hantu di kamarnya. Tak lama ia terjingkat, dengan bulu kuduk yang berdiri dari atas hingga bawah.
"Ya kan aku cuma mau sok keren." Kira-kira begitu bunyi bisikan yang mengagetkan Seran beberapa detik lalu.
"Anjing, Kaluna kamu tuh kayanya ketempelan hantu jahat!" Jika saja Kaluna tidak kasihan karena Seran sudah hampir telat menghadiri kelas sorenya, ia pasti sudah menyahuti laki-laki itu dengan satu hadiah pukulan pada tengkorak belakangnya. "Ah, udah deh. Mau mandi."
Kacau, satu kata yang menggambarkan kehidupan bujang penghuni kamar nomor sembilan. Tentunya juga dengan hantu yang tidak kalah kacau menepati janji konyolnya. Ah iya, terlebih saat Seran tidak berani menggarap gadis manapun karena malu dilihat oleh si mantan.
0 notes
Text
Dulu sinar itu ada, ceria dalam senyumnya, Lelakinya terpesona, meski tak terucap dalam kata-kata.
Waktu berlalu, hati terus bertanya tentang kesalahan yang tak mampu diterima, Mencari arti dalam cermin yang menyakitkan hati.
Dia gadis buruk rupa, penyendiri yang membosankan, Menghadapi kebingungan dalam rahasia hati yang penuh tekanan. Apa benar cinta tak memudar bersama waktu? Namun tampak lelakinya mulai bosan.
Sinarnya kian meredup, tak ada cerita, mulut selalu tertutup. Diam, usang, tak menarik lagi. Seolah menghilang tak terlihat lagi. Jatuh dalam hampa, merasa tak berguna.
Lihat lelakinya mencuri-curi mencari sumber cahaya. Walau ada rasa iri dihatinya, dia palingkan wajah seakan bukan masalah, Lelaki itu masih miliknya namun cintanya tak lagi terarah. Maaf sinarnya tak lagi gemerlap, maaf senyumnya tak lagi ceria. Mungkin ada luka yang tak kasat. Depresi yang orang lain tak lihat.
0 notes
Text
RINGKASAN PREMIS CERITA:
I. DEWI DUYUNG DAN SERIOSA.
Ombak biru kehijauan menghantam karang. Ia membuatku berhenti sejenak sembari mengangkat dua keranjang plastik berisi kawanan udang. Kakiku pun melangkah mengekori Ibuk yang sedang menyapa para nelayan dan pedagang pasar dengan sebuah lengkung manis di sudut bibirnya, serta gerakan jari-jemari yang fasih. Ketika dia menoleh ke arahku, aku tersenyum cerah, membuka-buka bibirku, dan memainkan mimik wajahku supaya ia 'paham.'
Ya, Ibukku ... adalah seorang tuna rungu wicara.
Dalam sekejap mata, senyam senyim senyumku langsung berubah menjadi senyum getir, Nak. Huhihuhu.
Benakku selalu berdesir pedih setiap melihat perangai Ibuk yang terlampau putih. Ibukku hidup di dalam palung batin yang sunyi; tak ada siang dan malam, tak ada suara. Aku pun tak berhasil menemukan luka yang mungkin ia sembunyikan di balik bola matanya. Ia justru nampak seperti Dewi Duyung dalam dongeng kuno.
Tahukah kamu bahwa; Setiap kali menatap laut, pikiranku langsung berkelana pada legenda klasik tentang Putri Duyung yang berubah menjadi buih? Di desa asalku; desa Padhang Bulan, ada cerita rakyat tentang Batari Patma Sani, Dewi Duyung yang menukar suara indahnya demi sepasang kaki manusia. Konon, suaranya adalah sumber kekuatannya. Hanya dengan menyanyikan sebait mantra, Batari Patma Sani mampu memerintah seisi laut.
Satu hal yang membuatku penasaran tentang Sang Dewi; 'Lantas ke mana perginya suara indah nan memikat miliknya?' Manusia beruntung macam apa yang mendapatkan suaranya sebagai imbalan atas KEHILANGAN KAKI KUKU KAKIKUNYA?
Boleh aku saja nggak, se, yang dapet privilege untuk meminjam suaranya? Konon, suara surgawi milik Patma Sani bisa menyembuhkan segala macam teluh, kutukan, dan penyakit bagi para pendengarnya. Bukan nggak mungkin, keajaiban akan datang pada ibukku jika ia mendengarnya. Namun, cara kerja suara Patma Sani tak berbeda jauh dengan susuk, medianya saja yang berbeda. Tentu akan berdampak buruk bagi mereka yang menggunakannya.
Oh, ya. Oh, ya. Kita belum kenalan, heuheu .. heu. Panggil aku RANG, Nak. Panggil aku RANG. Aranggaini, lengkapnya; Rang yang berarti arang dan gaini dari kata geni yang berarti api.
Awalnya aku hanyalah Si Gadis Pantai dekil yang kepengin meneruskan pekerjaan Ibuk sebagai penjual udang di tepi pantai. Aku kerap kali menahan diriku untuk tidak bermimpi karena kondisi keluargaku kepalang pailit. Akan tetapi, nasib Bapak dan Ibuk lebih nelangsa lantaran tak memiliki tempat untuk bersandar.
Lalu, semuanya berubah ketika aku bertemu dengan seorang Mbah misterius yang tinggal di dekat rumahku, namanya Mbah Djuwita. Rumah kami sama-sama reyotnya. Yang berbeda adalah bentuk dan isinya. Rumahku nampak seperti gubuk, sedangkan rumah Mbah Djuwita nampak seperti keraton mini.
Tak ada yang spesial dari rumahku, Nak. Paling-paling isinya, ya, hanya itu-itu saja? Beda cerita dengan rumah Mbah Dju. Aku pernah melihat sebuah piano berdebu yang dipajang di dekat pintu kamarnya, lalu foto-foto masa mudanya saat sedang manggung sebagai PRIMADONA PELANTUN SERIOSA. Ada pula partitur lagu Der Hölle Rache kocht in meinem Herzen (Queen of the Night from 'The Magic Flute') dan sebangsanya di atas sebuah meja yang usang. Benda-benda itu mengetuk hatiku; mereka mencuri minatku sampai-sampai batinku digelitiki! Aku penasaran setengah mampus!
Aku masih ingat tentang pertemuan pertama kami. Hari itu, Ibuk memintaku mengantarkan ikan mas goreng pada Mbah Dju. Ibuk tak bisa mengantarkannya sendiri karena Bapak mendadak tantrum setelah es krimnya direbut oleh tiga remaja bandel di pasar.
Nak, butuh waktu lama untuk menenangkan orang dewasa dengan kondisi autisme seperti bapakku, jadi aku bergegas ke rumah Mbah Dju tanpa mengeluh.
"Tok, tok, tok," tak ada sahutan.
"Dhog, dhog, dhog," belum ada sambutan.
Setelah lima belas menit berdiri di depan pagar rumah Mbah Dju, barulah aku melihat wajahnya yang tahu-tahu muncul dari balik pintu.
"Masuk, Nak," ucapnya serak. Suara musik yang menyentil relung batin terdengar sayup-sayup. Aduhay ...
Setelah memasuki rumahnya, mataku langsung mencari-cari dari mana asal suara itu. Kepalaku kutolehkan ke sana, ke mari, begitu pun dengan kakiku yang berjinjit bak ballerina dadakan. Mataku menyipit, lalu menangkap piringan hitam di dekat piano. Ooo, dari situ ta? Aku manggut-manggut. Kualihkan pandanganku pada Mbah Dju yang berdiri di depan pianonya, lalu menyerahkan ikan masku padanya.
"Mbah, ada titipan dari Ibuk. Dimakan, yo, Mbah, mumpung masih anget-anget, suam-suam kuku. Hihi .. hi."
Aku lalu duduk di atas kursi piano dan menekan tuts-tuts piano dengan lancangnya. Suaranya tentu masih cempreng karena aku tak punya ilmu dasar bermain musik.
"Fa, do, fa. Do, fa, do, fa, si, re .." Kulantunkan nada-nada cantik yang kudengar dari piringan hitam.
"Loh, Rang? Kamu bisa mendengarnya?'"
Saat aku mendongak, aku bertemu pandang dengan wajah Mbah Dju yang berbinar. Ada setitik harapan, bersembunyi di balik senyum tipisnya. Matanya membeliak antusias. Padahal, tadi dia tampak seperti bunga layu, lho?
Aku mengangguk bingung, "Bisa, Mbah?"
Mbah Dju sekonyong-konyong duduk di sampingku, "Aku penasaran, e, Rang .."
".. Penasaran tentang bagaimana musik berbunyi di telingamu. Ayo cerita, *Ngger?"
*Ngger: Nak (Perempuan).
"Sewaktu merem, aku mbayangin acara pesta teh di kebun. Lalu,"
kuhentikan ucapanku ragu, namun, nampaknya Mbah Dju ingin mendengar kisah gratisanku lebih lama lagi. Habisnya, dia mencureng ketika aku menggeleng.
Apa boleh buat?
"Lalu," ulangku menggebu-gebu, "Musiknya ngomong di telingaku, e, Mbah? seolah-olah dia punya mulut." Aku menunjuk-nunjuk telingaku, "Fa, do, fa ..."
"Gitu, eh, Mbah! Oh, Mbah .."
"Rang, pernah denger kisah Dewi Duyung, Patma Sani? Kamu tahu, siapa yang pantes meminjam suaranya?"
Aku menggeleng.
"Suara Patma Sani tercipta untuk Sang Nada Mutlak .."
"Sang ... Nada Mutlak?" Helaan napasku ditunggangi oleh perasaan asing tak-asing yang menyenangkan, lalu bibirku tertarik ke atas.
"Sang Nada Mutlak itu .. sebutan untuk orang-orang yang bisa mendengar nada berbicara; manusia unggul yang ditakdirkan menjadi pemusik sejati. Kamu itu! Kamu itu ... salah satunya, Rang!" Sedang, sorot mata Mbah Dju menyimpan misteri yang membara.
"Jadilah muridku, Rang. Kelak, saat kamu sudah siap, carilah Kitab Suci Patma Sani di Ibu Kota. Pinjamlah suara Sang Dewi. Ah, ndak! Ndak! Rebutlah suaranya dari siapa pun."
Ada perasaan ngeri yang meniup lembut tengkukku. Ada suara 'pu', berhembus dengan cara yang tidak manusiawi di telingaku, namun aku tak mengindahkannya. Aku justru terbuai oleh ucapannya.
"Tapi, kamu harus mengorbankan satu hal, Rang. Batari Patma Sani telah mengorbankan suaranya, maka ..."
"... Aku nggak harus mengorbankan kakiku, 'kan?" potongku.
"Bukan kaki, tapi cinta."
***
II. NONA MUDA RANG.
Rupanya usia manusia tak lebih panjang dari dedaunan yang menguning dalam sekejap. Dua tahun bersama guruku, Mbah Dju, terasa seperti angin lalu. Kutatap kosong kemenyan di hadapanku, serta kembang-kembang kenanga yang turut menjadi hantu ketika Mbah Dju meninggalkan dunia ini. Hujan berjatuhan dari pelupuk mataku, meraung seperti anak kecil.
"Guru, kenapa guru meninggalkanku dengan segudang misteri? Gimana dengan mimpiku? Aku nggak yakin bisa menjadi penyanyi sopran yang hebat tanpamu, Ru, Guru .."
Ibuk mengusap-usap pundakku. Ia turut menangis tanpa suara ketika piluku bertemu pandang dengan pigura foto Mbah Dju yang digantung di dinding rumahnya. Hanya itu yang tersisa sebab jisimnya telah dimakamkan sejak pagi.
"Gimana dengan mimpimu, Ru? Katanya Guru kepengin jadi maestro di hari tua Guru?"
Kasihan Mbah Dju. Sudah hidup sebatang kara, meninggal pun hanya dikelilingi oleh kawan-kawan yang bahkan nggak punya ikatan darah dengannya?
Aku menghela napas dan mengusap pipiku kasar. Aku pun bangkit dari tempat dudukku, bermaksud untuk menenangkan diri di halaman rumah Mbah Dju.
Bapak sempat menahan lenganku sambil bertanya; "Ke, ke mana? Rang, ke mana? Mau beli es krim buat Bapak?"
"Iya, Bapakku sayang. Rang mau beli es krim dulu, buat Bapak seorang! Tunggu ya?" Tak mau membuatnya khuwatir, pada akhirnya aku melayangkan senyum paling hangat yang kupunya sebelum mangkir dari hadapannya.
Kakiku rupa-rupanya betulan membawaku ke minimarket. Di sana, aku langsung memilih es krim rasa cokelat kesukaan bapakku. Lalu, saat aku hendak kembali ke kediaman Mbah Dju, tahu-tahu hujan turun membasahi tanah. Ooo, semprul, mentang-mentang tadi aku nangis, awan dan guntur pun turut menangis?
"Jangan nangis. Cuman aku yang boleh menangis," protesku tak tahu diuntung pada langit kelam. Bertingkah egois sehari saja tidak masalah, 'kan? Aku mengusap-usap lenganku yang mendingin. Baju hitam yang kupakai ternyata belum cukup untuk menghangatkan tubuhku.
Lalu, sebuah mobil hitam lambat laun berhenti di dekatku. Seperti adegan paling klise di opera sabun populer, ada laki-laki berpakaian perlente yang turun dari sana; "Non Aranggaini?"
Alisku pun terangkat lantaran mengira bahwa ia salah mengenaliku sebagai Aranggaini yang lain.
"Ya, saya RANG, tapi bukan Nona. Jangan bicara sembarangan, to, Pak?" kutepuk lengannya tanpa tata krama, "Orang seperti saya kok ya dipanggil Nona? Hahihaha .."
"Saya tidak salah, Non. Sebelumnya, perkenalkan. Saya Takhayul, pengacara keluarga Nyonya Besar Djuwita dari Jakarta. Mari bicara dan duduk di kursi itu sejenak, Non. Ini tentang isi surat wasiat Nyonya Besar."
HAH HIH HUH HEH HOH?! Ooo, sinting!
***
OPERA SABUN IBU KOTA.
Tak pernah terbesit di benakku bahwasannya aku, Rang, akan memboyong Bapak dan Ibuk ke Ibu Kota. Siapa sangka, Mbah Dju menyembunyikan identitasnya sampai meninggal? Aku tentu nggak punya prasangka bahwa Mbah Dju adalah bangsawan kaya raya yang memilih untuk bertapa dan mengesampingkan kehidupan duniawinya.
Diam-diam ia menuliskan nama keluarga kecilku dalam surat wasiatnya; Menyatakan bahwa dia akan menyekolahkanku di sekolah seni bergengsi, SMA SWARA DWIPA, serta membiarkan Ibuk dan Bapak tinggal di rumah gedongannya sebagai asisten rumah tangga. Oh, lala, aku kepengin pingsan saat mendengarnya.
Sekarang aku sedang didudukkan di ruang tamu, Nak. Iya, ruang tamu. Mataku jelalatan dengan bibir planga-plongo lantaran tak pernah melihat rumah bak keraton di dunia nyata. Beberapa pasang mata menatapku dengan pandangan beragam.
"Abu? Sini." Nyonya Mira, menantu Mbah Dju, mendorong pelan bahu anak lelakinya yang bernama Abu. Cowok itu diboyong turun dari tangga bak putra mahkota.
Dia adalah lelaki bongsor berkulit pucat dan tangan keriting. Lalu aku malah salah fokus pada plester luka yang membalut jari manisnya.
"Abu, ini Rang; Murid Mbah Putri yang akan sekolah dan tinggal di asrama Swara Dwipa sama kamu. Orang tuanya kerja sama kita. Tolong jaga dia baik-baik seperti adhekmu sendiri, yo, Le? Rang ini satu-satunya murid Mbah Putri. Seenggaknya ..."
"*... Yo, Mi. Tak jagain," Abu melempar senyum hangat padaku setelah memotong penjelasan ibunya. Dia nampak seperti Tuan Matahari yang memakai mantel bulu-bulu putih. "Hmm," dagunya terangkat, "Adhek, yo? Aku Mas, masmu? Ha .. ha." Disentuhnya batang hidungnya yang bangir. Wajahnya dipenuhi dengan senyuman.
("*Ya, Bu. Aku jagain." )
"Adhekku mau masuk jurusan apa to?" tanyanya lembut.
"Yo, musik, lah!" kukerjapkan mataku sembari menatapnya berani.
Dia terlihat mencurigakan dan senyumnya kelewat ramah. Saat ia mendekat ke arahku, aku refleks mengepalkan tinjuku dengan mata membeliak dan bibir mengerucut! Sayangnya, dia lebih gesit dariku. Seperti pendekar, dia menurunkan tinjuku dan menguncinya di belakang punggungku. HESEMELEH?! DIA MAU APA SE? DEMI DEWI.
Abu berbisik tepat di telingaku, "Ayo taruhan 'a, Dhek?"
"Siapa pun yang nilainya lebih tinggi pada ujian tengah semester nanti, dialah yang berhak untuk mendapatkan Kitab Suci Patma Sani," lanjutnya.
Bisa-bisanya dia masih tersenyum saat mengucapkannya?!
"Kitab itu nyata?" Alisku kuangkat sebelah lantaran sangsi.
"Kenapa, Dhek? Ragu sama gurumu?" Dan tawa renyahnya menjadi penutup atas segala keterkejutanku.
***
Bagaimana kalau keberadaan Kitab Suci Patma Sani sebenarnya akal bulus belaka? Lalu, hidupku tentu tak berhenti pada pertemuanku dengan Putra Mahkota Abu Yang Licik! Aku akan dibuat jatuh cinta dengan musik klasik seiring dengan berjalannya waktu; lalu .. terkena kutukan cinta pada cowok rahasia, si pembuat patung menawan yang 'tak bisa mendengar.' Rang, oh, Rang! Ingatlah petuah Mbah Dju;
"Suara ditukar dengan cinta."
Namun, bukankah, cinta itu luas, ya, Nak? Apakah ketertarikanku terhadap musik klasik tak bisa disebut sebagai cinta?
***
1 note
·
View note
Text
Aku Mencitai Segala Tentang Kamu
Aku Mencintai harumnya hujan saat menyentuh semesta...
Membawa rindu tenang yang selalu ingin dirasa...
Aku Mencintai lautan bintang dimalam kelam...
Membawa begitu banyak harapan wanita kecil yang lelap di balik kelambu malam...
Aku Mencintai getaran ombak yang berlomba-lomba keseberang...
Menyentuh jari-jari kecil menyusuri garis pantai tenang...
Aku mencintai sendu dibalik tawa, mencintai kacaunya ia dikala malam menerpa...
Mencintai ia yang berlari ketepi agar tak tenggelam dalam kelam,
Aku mencintai gadis kecil yang mengusap matanya dibalik dinding kaca usang.
Aku Mencintai harumnya hujan saat menyentuh semesta...
Membawa rindu tenang yang selalu ingin dirasa...
Aku Mencintai lautan bintang dimalam kelam...
Membawa begitu banyak harapan wanita kecil yang lelap di balik kelambu malam...
Aku Mencintai getaran ombak yang berlomba-lomba keseberang...
Menyentuh jari-jari kecil menyusuri garis pantai tenang...
Aku mencintai sendu dibalik tawa, mencintai kacaunya ia dikala malam menerpa.
Bahkan ketika malam kelam menakuti, ia tak pernah membencinya.
Aku mencintai cara gadis kecil itu mengusap matanya dibalik dinding kaca usang, dan tersenyum untuk kesekian kalinya...
0 notes
Text
The way Things go
That's just the way things go
Jungeun mampu saja lemparkan jutaan kata yang kini malah justru buat lidahnya kelu, yang kini benar-benar bisu dibuatnya. Sekaligus cukup buat Jungeun itu tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Jung Jinsoul mungkin hanyalah satu diantara milyaran manusia yang ada di seluruh belahan dunia. Tapi bagi Jungeun, gadis itu adalah seorang pelukis handal yang datang dalam waktu yang singkat di hidup. Bahkan Jungeun masih ingat betul bagaimana Jinsoul selalu sajikan beragam warna untuk isi absensi hari-hari, yang kini bisa Jungeun sebut hanya tinggal memori di buku-buku usang yang masih saja ia genggam.
Jungeun pernah menangis. Jungeun pernah putus asa. Jungeun pernah kutuk seisi bumi atau bahkan semesta. Atau nekat melemparkan dirinya di tengah-tengah padang rumput yang penuh dengan air-air hujan. Tapi yang lebih jelas, Jungeun tak mampu penuhi kedua telinga Jinsoul akan rapalan kata miliknya. Jinsoul lebih pantas mendapatkan sejuta kebaikan.
The thing is, now Jungeun don’t mind what happened between her and Jinsoul anymore. Although Jungeun truly knows that she has a lot to say, simply seeing Jinsoul’s smile alone could lead to the fact that Jinsoul paints another happiest smile on Jungeun’s lips.
hime, 2023
0 notes