#gadis usang
Explore tagged Tumblr posts
Text
Sudah hampir setahun dekapan gadis itu terasa dingin, tidak ada percik api yang menyala saat tangan nya menyentuh lemari itu, di simpan nya segala bentuk kenangan usang yang terlupakan, berharap sang gadis berkenaan mendekap masa lalu nya sekali lagi.
28 notes
·
View notes
Text
SANG PENJAGA MIMPI
Di perut kota tua nan sibuk, tinggallah seorang kakek penjual buku bernama Pak Ali. Warungnya sederhana, penuh dengan buku-buku tua beraroma kertas dan waktu. Suatu hari, seorang gadis remaja bernama Maya masuk ke warung. Dia terlihat murung, matanya sayu menatap deretan buku.
Pak Ali, dengan senyum ramahnya, bertanya, "Sedang mencari sesuatu, Nona?"
"Buku tentang mimpi," jawab Maya lirih.
Pak Ali mengelus janggutnya, lalu beranjak ke rak paling tinggi. Dia turunkan sebuah buku bersampul kulit usang, bertuliskan "Mimpi sang Penjaga Waktu." Maya menerimanya dengan ragu.
"Buku ini bercerita tentang penjaga jam pasir raksasa yang mengendalikan waktu," jelas Pak Ali. "Konon katanya, jika kamu memecahkan teka-teki di dalam mimpi sang penjaga, kamu bisa mengubah nasibmu."
Malam itu, Maya tertidur sambil menggenggam buku tua. Dia bermimpi aneh, berada di gurun pasir luas. Di kejauhan, menjulang jam pasir raksasa. Sosok tua berjubah menyambutnya, memperkenalkan diri sebagai Kael, penjaga waktu. Kael memberinya tiga teka-teki:
Aku selalu datang, tapi tak pernah tiba. Aku selalu pergi, tapi tak pernah pergi. Apakah aku? (Jawaban: Masa Depan)
Aku memiliki banyak wajah, tapi tak punya mata. Aku bisa membuatmu tertawa, menangis, atau takut. Apakah aku? (Jawaban: Mimpi)
Aku berharga, tapi tak bisa dibeli. Aku mudah hilang, tapi tak bisa dicari. Apakah aku? (Jawaban: Waktu)
Maya terbangun dengan keringat dingin. Teka-teki itu mengganggunya. Dia bolak-balik ke warung Pak Ali, berdiskusi tentang arti mimpi dan teka-teki. Perlahan, Maya mengerti. Masa depan tak bisa diprediksi, tapi bisa diusahakan. Mimpi adalah petunjuk, bukan jalan pintas. Waktu adalah harta termahal, gunakan sebaik-baiknya.
Sejak saat itu, Maya berubah. Dia tak lagi murung. Dia mulai belajar giat, mengejar mimpinya menjadi dokter. Beberapa tahun kemudian, Maya berdiri dengan bangga di depan Pak Ali, seorang dokter muda berwajah berseri. Mimpi yang awalnya terasa mustahil, kini terwujud. Semua berawal dari secercah harapan yang ditemukan di antara buku-buku tua milik Pak Ali.
4 notes
·
View notes
Text
Orang-orang itu sudah muak padaku. Mereka tidak ingin lagi mendengar namamu kusebut kembali. Akan tetapi, semuanya masih tertata rapi. Kusimpan dengan sangat baik seolah masih baru. Meski aku tahu, momen-momen itu telah usang dan berdebu di kepalamu. Ribuan kata selamat tinggal, kamu mungkin muak mendengarnya, bukan? Aku pun sama. Bahkan hingga detik ini, aku masih terjebak dalam jiwa seorang gadis berusia lima belas tahun yang dulu sangat bahagia karena potretmu tampak paling jelas di salah satu momen hidupnya. Aku tahu, milyaran lembar kertas bercoret tinta tak akan cukup untuk membuatmu kembali. Setidaknya, jangan sibuk melarikan dirimu sendiri. Pegang tanganku juga, aku pun ingin melupa.
— den
2 notes
·
View notes
Text
Cerita Bercinta Penjaga Kampus
Baca cerita dewasa hanya di : http://feedbet.net/
Sore itu aku baru pulang dari rumah temanku. Karena perjalanan pulang melewati kampusku, maka sekalian aku menyempatkan diri untuk mampir ke sana dengan tujuan melihat nilai UTS-ku dan mencatat jadwal SP (Semester Pendek).
Kumasuki halaman kampus dan kuparkirkan sepeda motor Honda Vario ku. Saat itu waktu telah menunjukkan jam 17.35, di tempat parkir pun hanya terlihat 3-4 kendaraan. Aku segera memasuki gedung fakultasku, di sana lorong-lorong sudah gelap hanya diterangi beberapa lampu downlight,
Sehingga suasananya remang-remang,
Terkadang timbul perasaan ngeri di gedung tua itu sepertinya hanya aku sendirian, bahkan suara, langkah kakiku menaiki tangga pun menggema. Akhirnya sampai juga aku di tingkat 4 dimana pengumuman hasil ujian dan jadwal SP dipasang.
Ketika aku sedang melihat hasil UTS-ku dari lantai bawah sekonyong-konyomg terdengar langkah pelan yang menuju ke sini. Sadar atau tidak kurasakan bulu kudukku berdiri dan membayangkan makhluk apa yang nantinya akan muncul.
Ah konyol, kubuang pikiran itu jauh-jauh, hantu mana mungkin terdengar bunyi langkahnya. Suara langkah itu makin mendekat dan akhirnya kulihat sosoknya, oohh, ternyata lain dari yang kubayangkan, yang muncul ternyata seorang gadis cantik.
Aku pun mengenalnya walaupun tidak kenal dekat, dia adalah mahasiswi yang pernah sekelas denganku dalam salah satu mata kuliah, namanya Vita, orangnya tinggi langsing, p*hanya jenjang dan mulus, buah d*d*nya pun membusung indah,
Kuperkirakan ukurannya 34B, dipercantik dengan rambut panjang kemerahan yang dikuncir ke belakang dan wajah oval yang putih mulus. Dia juga termasuk salah satu bunga kampus bh.
“Hai.. sore, mau lihat nilai ya?” tanyaku berbasa-basi.
“Iya, kamu juga ya?” jawabnya dengan tersenyum manis.
Aku lalu meneruskan mencatat jadwal SP, sementara dia sedang mencari-cari NRP dan melihat hasil ujiannya.
“Sori, boleh pinjam bolpoin dan kertas? gua mau catat jadwal nih,” tanyanya.
“Ooo, boleh, boleh gua juga udah selesai kok,” aku lalu memberikannya secarik kertas dan bolpoinku.
“Eh, omong-omong kamu kok baru datang sekarang malam-malam gini, nggak takut gedungnya udah gelap gini?” tanyaku.
“Iya, sekalian lewat aja kok, jadi mampir ke sini, kamu sendiri juga kok datang jam segini?”
“Sama nih, gua juga baru pulang dari teman dan lewat sini, jadi biar sekali jalanlah.”
Kami pun mulai mengobrol, dan obrolan kami makin melebar dan semakin akrab. Hingga kini belum ada seorang pun yang terlihat di tempat kami sehingga mulai timbul pikiran kotorku terlebih lagi hanya ada sepasang pria dan wanita dalam tempat remang-remang.
Aku mulai merasakan senj*taku menggeliat dan mengeras. Kupandangi wajah cantiknya, wajah kami saling menatap dan tanpa sadar wajahku makin mendekati wajahnya. Ketika semakin dekat tiba-tiba wajahnya maju menyambutku sehingga bib*r kami sekarang saling berp*gutan.
Tanganku pun mulai melingkari pinggangnya yang ramping. Sekarang mulutnya mulai membuka dan l*dah kami saling beradu, rupanya dia cukup ahli juga dalam berc*uman, nampaknya ini bukan pertama kalinya dia melakukannya.
Wangi parfum dan d*sah nafasnya yang sudah tidak beraturan meningkatkan ga*rahku untuk berbuat lebih jauh, tanganku kini mulai turun meremas-remas pant*tnya yang montok dan berisi, dia juga membalasnya dengan melepas kancing kemejaku satu persatu.
Tiba-tiba aku sadar sedang di tempat yang salah, segera kulepas c*umanku.
“Jangan di sini, gua tau tempat aman, ayo ikut gua!”
Kuajak dia ke lantai 3, kami menelusuri koridor yang remang-remang itu menuju ke sebuah ruangan kosong bekas ruangan mahasiswa pecinta alam,
Sejak team pecinta alam pindah ke ruang lain yang lebih besar ruangan ini dikosongkan hanya untuk menyimpan peralatan bekas dan sering tidak dikunci. Kubuka pintu dan kutekan saklar di tembok, ruangan itu hampir tidak ada apa-apa, hanya sebuah meja dan kursi kayu jati yang sandarannya sudah bengkok, beberapa perkakas usang, dan sebuah matras bekas yang berlubang.
Segera setelah tombol kunci kutekan, kudekap tubuhnya yang sedang bersandar di tepi meja. Sambil berc*uman tangan kami saling melucuti pakaian masing-masing. Setelah kulepas t*nk top dan br*nya, kulihat tubuh putih mulus dengan pay*dara kencang dan put*ngnya yang kemerahan.
Saat itu aku dan dia sudah topless tinggal memakai celana panjang saja. Kuarahkan mulutku ke d*d* kanannya sementara tanganku melepas kancing celananya lalu mulai menyusup ke balik celana itu. Kurasakan kem*luannya yang ditumbuhi bulu-bulu halus dan sudah becek oleh cairan kenikmatan.
Put*ng yang sudah menegang itu kusapu dengan permukaan kasar l*dahku hingga dia menggelinjang-gelinjang disertai d*sahan. Dengan jari telunjuk dan jari manis kurenggangkan bibir kem*luannya dan j*ri teng*hku kumainkan di bibir dan dalam lubang itu membuat d*sahannya bertambah hebat sambil menarik-narik rambutku.
Akhirnya dengan perlahan-lahan kuturunkan celana beserta cel*na d*lamnya hingga lepas. Kubuka resleting celanaku lalu kuturunkan C”-ku sehingga menyembullah senj*ta yang dari tadi sudah mengeras itu. Tangannya turut membimbing senj*taku memasuki liang v*ginanya,
Setelah masuk sebagian kusentakkan badanku ke depan sehingga dia menjerit kecil. Aku mulai menggerakkan badanku maju mundur, semakin lama frekuensinya semakin cepat sehingga dia mengerang-erang keenakan, tanganku sibuk meremas-remas pay*dara montoknya, dan l*dahku menj*lati leher dan telinganya.
Aku terus mendesaknya dengan dorongan-dorongan badanku, hingga akhirnya aku merasakan tangannya yang melingkari leherku makin erat serta jepitan kedua p*hanya mengencang. Saat itu gerakanku makin kupercepat, erangannya pun bertambah dahsyat sampai diakhiri dengan jeritan kecil,
Bersamaan dengan itu kurasakan pula cairan hangat menyelubungi senj*taku dan sp*rmaku mulai mengalir di dalam r*himnya. Kami menikmati kl*maks pertama ini dengan saling berpelukan dan berc*mbu mesra.Tiba-tihba terdengar suara kunci dibuka dan gagang pintu diputar, pintu pun terbuka,
Ternyata yang masuk adalah Pak Atmo, kepala karyawan gedung ini yang juga memegang kunci ruangan, orangnya berumur 50-an keatas, rambutnya sudah agak beruban, namun badannya masih gagah. Kami kaget karena kehadirannya, aku segera menaikkan celanaku yang sudah merosot, Vita berlindung di belakang badanku untuk menutupi tubuh tel*nj*ngnya.
“Wah, wah, wah saya pikir ada maling di sini, eh.. ternyata ada sepasang kekasih lagi berasik ria!” katanya sambil berkacak pinggang.
“Maaf Pak, kita memang salah, tolong Pak jangan bilang sama siapa-siapa tentang hal ini,” kataku terbata-bata.
“Hmm.. baik saya pasti akan jaga rahasia ini kok, asal..”
“Asal apa Pak?” tanyaku.
Orang tua itu menutup pintu dan berjalan mendekati kami.
“Asal saya boleh ikut merasakan si cewek ini, he.. he.. he..!” katanya sambil terus mendekati kami dengan senyum mengerikan.
“Jangan, Pak, jangan!”
Dengan wajah pucat Vita berjalan mundur sambil menutupi d*d* dan kem*luannya untuk menghindar, namun dia terdesak di sudut ruangan. Kesempatan itu segera dipakai Pak Atmo untuk mendekap tubuh Vita. Dia langsung memegangi kedua pergelangan tangan Vita dan mengangkatnya ke atas.
“Ahh.. jangan gitu Pak, lepasin saya atau.. eemmhh..!” belum sempat Vita melanjutkan perkataannya, Pak Atmo sudah mel*mat bibirnya dengan ganas. Sekarang Vita sudah mulai berhenti meronta sehingga tangan Pak Atmo sudah mulai melepaskan pegangannya dan perlahan-lahan mulai turun ke pay*dara kanan Vita lalu meremas-remasnya dengan gemas.
Entah mengapa dari tadi aku hanya diam saja tanpa berbuat apa-apa selain bengong menonton adegan panas itu, sangat kontras nampaknya Vita yang berparas cantik itu sedang digerayangi oleh Pak Atmo yang tua dan bopengan itu, seperti beauty and the beast saja, dalam hati berkata, “Dasar bandot tua, sudah ganggu acara orang masih minta bagian pula.”
C*uman Pak Atmo pada bibir Vita kini mulai merambat turun ke lehernya, dijilatinya leher jenjang Vita kemudian dia mulai menc*umi pay*dara Vita sambil tangannya mengobok-obok liang v*gina Vita. Diperlakukan seperti itu Vita sudah tidak bisa apa-apa lagi, hanya pasrah sambil mendesah-desah,
“Pak.. aakhh.. jangan.. eemmhh.. sudah Pak!” Setelah puas “meny*su” Pak Atmo mulai menjelajahi tubuh bagian bawah Vita dengan j*latan dan c*umannya. Setelah mengambil posisi berjongkok Pak Atmo mengaitkan kaki kanan Vita di bahunya dan mengarahkan mulutnya untuk menc*um kem*luan yang sudah basah itu sambil sesekali menusukan jarinya.
Baca selengkapnya di : http://feedbet.net/
0 notes
Text
Lembayung Kala Senja
Di ujung suatu kota kecil, tersembunyi sebuah perpustakaan yang hanya bisa dilihat oleh satu orang terpilih setiap hari. Perpustakaan itu tak berwujud megah ataupun menyeramkan, melainkan sebuah tempat tenang dengan rak-rak kayu usang yang menyimpan buku-buku kuno dan modern, dengan sampul-sampul yang seolah menanti untuk disentuh.
Penjaga tempat ini adalah Senja, seorang gadis dengan aura damai, selalu tersenyum tenang, namun tak ada seorang pun yang tahu asal-usulnya.
Senja memiliki satu aturan penting: Setiap orang yang datang boleh memilih satu buku untuk dibaca, dan mereka akan mengalami kisah di dalamnya sebagai petualangan nyata selama tiga hari waktu buku. Namun, jika mereka tidak kembali tepat waktu, mereka akan terjebak di dalam buku itu selamanya.
Senja akan selalu menunggu dengan senyumnya yang tenang saat orang terpilih itu kembali.
“Kau berhasil pulang tepat waktu,” katanya lembut. “Banyak yang tak kembali.”
“Apakah semua kisah di perpustakaan ini nyata? Siapa Senja sebenarnya?” adalah pertanyaan yang tidak pernah didapatkan jawabannya oleh setiap pengunjung toko buku tersebut. Ketika pertanyaan itu mulai terlontar dari bibir pengunjungnya, Senja hanya meletakkan jari di bibirnya dan berbisik, “Rahasia ini hanya untuk mereka yang berani melangkah lagi.”
Siapapun yang melangkah keluar dari perpustakaan, ia akan mendapati buku yang tadi dimasuki kembali berada di rak—namun dengan judul yang sudah berubah dengan ukiran nama tamu yang memasuki buku tersebut.
Dan seperti sebelumnya, ketika matahari benar-benar tenggelam, perpustakaan itu lenyap dari pandangan. Namun, Senja tetap berdiri di dalam, menunggu pengunjung berikutnya yang akan datang mencari petualangan, dengan waktu dan ingatan sebagai taruhannya.
0 notes
Text
Kebun cinta bunga matahari
Dirumahku ada buku-buku yang lebih tua daripada usiaku. Buku-buku itu disimpan ayah rapih di sebuah perpustakaan kecil di ruang kerja ayah. Salah satu yang paling membuatku tertarik adalah Ensiklopedia Makhluk Hidup.
Buku itu adalah buku pertama yang aku sukai bahkan sejak aku belum bisa membaca karena penuh dengan gambar dah warna. Dari situlah aku belajar berbagai macam hal yang belum pernah aku lihat diluar sana.
Sejak usiaku menginjak angka 3 aku sudah meminta ayah untuk selalu membacakannya. Mendengar ayah bercerita tentang berbagai tanaman dan makhluk hidup lainnya yang membuatku terpesona. Semua itu rutin dilakukan seperti dongeng sebelum tidur.
“Orange! orange!” aku menunjuk sebuah bunga yang belum aku tahu namanya. Bunda bercerita kala itu aku nampak sangat bersemangat, mataku berbinar seperti penuh bintang, dan aku tersenyum lebar memperlihatkan dua gigi depanku yang baru tumbuh.
Dari sebuah momen kecil itu ayah dan bunda membuat sebuah taman kecil di belakang rumah. Ada berbagai macam bunga disana termasuk si bunga orange yang akhirnya aku tau namanya, bunga matahari.
Sekarang si gadis kecil telah menginjak usia dewasa, ia sudah memiliki gigi yang lengkap serta bisa menyebutkan berbagai jenis bunga bukan hanya warnanya saja. Banyak hal yang berubah di dalam hidupnya tapi beberapa hal juga tetap disana tak berubah. Itu adalah cinta Ayah dan Bunda.
Salah satu bentuk cinta yang diberikan dari orang tuanya terbentuk pada sebuah taman kecil yang masih tampak asri dan warna-warni sampai sekarang.
Setiap kali aku pulang ke rumah, langkahku selalu membawaku ke taman kecil di belakang. Rasanya seperti ritual yang tak pernah usang. Di sana, bunga-bunga masih mekar indah, sama seperti masa kecilku dulu. Bunga matahari dengan kelopak oranye mencolok selalu menjadi yang paling menarik perhatian, berdiri tegak seolah-olah menyambutku setiap kali aku datang.
Ayah dan Bunda merawat taman ini dengan penuh cinta, seperti mereka merawatku. Setiap bunga yang tumbuh seakan-akan mewakili momen-momen berharga dalam hidupku.
Kadang, bayangan masa kecilku terlintas—gadis kecil dengan mata berbinar, yang berlari sambil menunjuk ke arah bunga-bunga dan bertanya tak henti-henti tentang setiap makhluk hidup yang ia lihat.
Namun, meski banyak yang berubah, aku tahu satu hal yang tetap: cinta Ayah dan Bunda. Taman kecil ini adalah bentuk cinta yang mereka wujudkan dalam kehidupan nyata. Setiap kali aku melihat bunga-bunga itu, aku bisa merasakan kehadiran mereka.
Di antara bunga-bunga yang bermekaran, aku melihat masa lalu, masa kini, dan masa depan yang terhubung. Taman kecil ini, meski tampak sederhana, adalah simbol dari cinta yang abadi—cinta yang tak akan pernah layu, seperti bunga-bunga yang terus bermekaran, musim demi musim.
0 notes
Text
Aku tak mengenal sosok tua itu dengan vespa usangnya. Warna biru legam, tak mengenal kata lusuh malah ada mewah jika sinar surya menempa. Namun, aku masih tidak mengenali si sosok tua. Siapa dia? Gugusan tanya berkubang di kepala, berharap aku dapat temukan sosok itu dalam gelembung memori yang mengendap.
Dahulu ia gagah. Tinggi tegap badannya, bak pahlawan. Walaupun kau tak akan dapat melihat ia dengan jubah kebesarannya yang tersampir di bahunya. Ia, hanya, pahlawan— bagiku. Setidaknya.
Tak apa, kata ku, jika jubah tak megah dan tak sekuat gatot kaca yang melegenda. Kala itu, ia adalah segalanya. Pusat ketika aku memuja dunia, dan seluruh jiwa menjadi representasi nyata dalam genggam tangan sang lelaki gagah. Jemari itu membelai rambutku bak ruang terhangat yang s’lalu aku damba.
Tirai kelabu nan sunyi itu meredam segala ramai yang menjelma tirani. Sekonyong-konyong singkirkan sorak-sorai di dunia luar tatkala aku sembahkan bahwa diri ini hampir mati. Ia, perlahan, mati dalam kepingan-kepingan afeksi yang masih terpatri. Jelmaan memori bagai hantu di jeruji— merayap dalam senyap ‘tuk berkubang di dalam diri.
Lelaki tua itu kehilangan jiwanya. Terburai seiring waktu yang meranggas dengan ganas. Jiwa ini t’lah lama direnggut paksa. Memang, kau pikir, aku yang ingin ‘tuk berubah? Satu tanya itu terdengar hampa, bagai ruang yang tak mengenal suara. Mulutnya berdecak, tapi bisu merenggut bising suara.
Persetan. Kutukan itu merupa cangkang yang enggan ‘tuk ucapkan selamat tinggal pada tubuh ringkih ini agar ia mengenal salam perpisahan. Dasawarsa demi dasawarsa melampaui tanpa cukup ‘tuk dirasa. Pada siapa tuju labuhan ini tunjuk rasa sesal? Sementara waktu yang terkikis mencambuk diri dan ia berkelindan. Mengikat penuh sesak hingga napas tersengal berat.
Enggan menuduh takdir atas dosa, namun bila saja bukan ia yang beri ikrar setia, maka tak akan pernah kutujukan salah sebagai samsak nan tinggalkan tanda. Katanya, rumah tak selalu sama. Tak mengenal satu, ada dua atau bahkan tiga? Aku tak tahu, sebab ia munculkan rona sangsi yang mendurja.
Lenyap. Lenyap. Senyap! Lelaki tua menatapku masygul dengan vespa biru legam yang usang. Tatapnya menggerabak dalam semanak cita yang merentak karena sedan tangisan anak remaja di bilik jingga. Setangan cokelat mengenangkan luka yang enggan ‘tuk sirna. Nyalang mata tak menggelatar, para batih menjerit dalam sempalan memori yang meruap.
Dalam jarak aku sematkan doa, atas dosa-dosa yang mengundang nestapa. Ia menjelma azimat yang mengamangkan para pendusta. Rikuh anak gadis remaja mendamba tetirah demi puadai bahagia yang luruh dirampas bramacorah.
Pada jati diri kalis Ayahku yang terganti durjana. Aku menyalak pada malam kemukus bintang. Duria mendoa, akan babar duka yang merenggut setengah cinta.
1 note
·
View note
Text
Sudut ruang yang menarik, ada secercah cahaya menyelinap melalui jendela yang sudah usang. Lihat, lantainya sudah berdebu dan tak ada aktivitas manusia di dalamnya.
Namun, dua bangku yang saling berjejeran itu kembali mencuatkan sebuah rasa rindu sekaligus haru...
Dulu, rumah ini adalah tempat tinggal ibuku. Dia anak gadis satu-satunya. Entah dari mana ia mendapatkan keberanian itu, ibuku memutuskan untuk merantau ke kota bernama Bekasi dan bertemu dengan kekasih tercintanya yang kami sebut sebagai, "bapak."
Mengingat ia telah tumbuh dengan baik di rumah penuh cerita ini membuatku kembali nostalgia akan kisah haru tokoh-tokoh di dalamnya..
Kini, kita memasuki episode pertama, "Ruang yang Berdebu."
Menjadi sebatang kara ketika usianya menginjak kepala tiga, saat itu umurku masih belia, belum paham apa arti duka. Namun, setelah kehilangan sandarannya yang berarti, masa kelam kembali datang di tahun 2015.
Kekasihnya bertemu dengan maut. Padahal sudah sering kehilangan, tetapi rasa sedihnya selalu terasa sakit.
Membesarkan anak di negeri rantau adalah hal yang sulit. Di tengah keterpurukannya dan kebangkrutannya, ibu hanya tahu bahwa anaknya butuh makan dan sekolah. Ia bekerja banting tulang, mengerti bahwa meratapi rasa sedih saja tidak membuat perut yang lapar menjadi kenyang.
Di penghujung usia yang semakin tua, ibuku hanya bercita-cita untuk tinggal di rumah tua ini dalam kesendiriannya...
Ia tahu dirinya sedih. Namun, yang lalu adalah kenangan, bukan masa depan.
Terima kasih ibu....sudah mengusahakan rumah yang terbaik bagi anak-anakmu.
Ibuku adalah definisi kekuatan yang kupegang teguh sampai saat ini
.
.
.
Mari kita bertemu di episode berikutnya.
Dokumentasi pribadi; Kuningan, 31 Juli 2024
Rumah nostalgia sejak zaman Belanda.
1 note
·
View note
Text
Gadis bersepatu merah tua.
Sepatu merah tua itu, kesukaannya sejak berumur 4 tahun. Bukan sesuatu yang bernilai beli tinggi. Bukan juga dengan merek yang digandrungi. Hanya sepatu lungsuran dari si baik hati. Lungsuran yang membuatnya tidak bisa tidur di malam hari, karena tak sabar untuk dipakai esok hari. Gadis itu menyadari, ia lahir di bawah sebuah rumah kontrakan yang minimalis dengan keterbatasan diri. Beberapa peralatan sekolah dan seragam miliknya pun lungsuran dari si baik hati. Sesederhana kue putu putri yang jadi bekalnya setiap hari. Namun tak membuatnya berhenti bermimpi. Hai gadis bersepatu merah tua, bagaimana kabarmu saat ini? Masihkah kau bermimpi menjadi seorang dokter atau penari? Masihkan sepatu merah itu menjadi favoritmu di setiap hari?
Hai gadis bersepatu merah tua, kau telah melewati banyak hal. Rintangan demi rintangan menghadang langkahmu, namun tak pernah membuatmu berhenti. Sepatu merah tua itu, meski kini mungkin sudah usang di beberapa bagian, tetap menjadi saksi bisu perjuanganmu. Setiap goresan dan lecetnya adalah cerita tentang jatuh bangunmu, tentang keberanianmu menghadapi dunia yang seringkali tidak memihak kepadamu.
Di balik senyummu, tersimpan ribuan mimpi yang pernah dicemooh, dicibir, bahkan berusaha untuk dimatikan. Tapi kau, gadis bersepatu merah tua, tak pernah menyerah. Kau terus melangkah, dengan sepatu yang sama, membawa semangat dan tekad yang tak pernah pudar. Di usiamu kini, mungkin kau bukan seorang penari atau dokter seperti yang dulu kau impikan, tapi kau adalah pemenang di hidupmu sendiri.
Sepatu merah tua itu, kesukaannya sejak berumur 4 tahun, kini menjadi simbol kekuatan dan ketekunan. Dengan setiap langkah yang kau ambil, kau buktikan bahwa mimpi tak pernah mengenal batas waktu atau kondisi. Dan di hari ulang tahunmu yang ke-25 ini, kau merayakan bukan hanya bertambahnya usia, tetapi juga kemenangan atas semua rintangan yang pernah menghadang.
Selamat ulang tahun, gadis bersepatu merah tua. Teruslah melangkah dengan penuh keyakinan, dan biarkan sepatu itu menjadi penanda perjalanan luar biasa yang kau tempuh. Mimpi-mimpi besarmu, yang dulu hanya menjadi harapan seorang gadis kecil, kini aku tau sedang kau usahakan untuk tumbuh dan berkembang menjadi kenyataan. Kau adalah bukti bahwa semangat yang tak pernah padam mampu menaklukkan.
0 notes
Text
Bermula kisah ku buka bicara bukan purnama tunggal diangkasa berselindung sebalik ketawa sedalam kisah Lara yang dirasa bertemu gadis manis pada rupa tutur kata lembut bak pujangga cantik dipuja mata yang menggoda rapilah muram dengan senyum nista
tanggungan dia ramai, ayah pula tak guna hidup tak pernah santai macam selalu susah tapi tak nak merana
semua sebab adik-adik, Doa ibu baik-baik tolong kulawangsa susah ringan kan beban jadi yang berguna nama dia masyitah tempat tinggal dalam pondok usang dia yang bayar sewa, tiada katil cuma ada tilam
8 orang cukup Selesa, siang malam makan terjaga, ibu perlukan masyitah pasal bagi ibu ayah hanyalah sampahan
dia tak pilih begini, dia pun mahu begitu, kenapa semua macam ni, soalannya itu selalu pernah masyitah nak lari, tapi tak tahu sejauh mana biarpun lari selaju mana masyitah percaya cuma sia-sia
ibu pesan kuatkan semangat hadapi dugaan ibu setia doakan biarlah sehingga Dunia terbelah dan masyitah dengar ibu Masih nak syurga ibu masyitah terus kayuh hidup ni takkan kaku selagi ada nyawa akan macam ni ibu
alir darah ditubuhmu suci murni syahdu cantik madah berkisahmu aku bikin lagu tak ada penusuk sukm buatkan kau jatuh kau masyitah sumayyah Dunia baru
1 note
·
View note
Text
Malam Seorang Gadis Ballerina
Lagi-lagi malam ini dalam sebuah rumah tua gadis dengan kulit pucat itu menari sepanjang malam, dia menggunakan sepatu ballerina usang dengan tali sepatu yang mulai terkoyak seakan-akan memberi tahu siapapun yang melihatnya bahwa gadis ini telah menggunakan sepatu itu tanpa ampun, tapi ada yang berbeda malam ini gadis itu menggunakan gaun berwarna putih salju dengan hiasan bunga mawar merah di kepalanya. apakah ia menikah malam ini??
Aku mulai penasaran dengan gadis itu karena biasanya dia menari dengan pakaian ballerina tak layak pakai dengan noda kotoran dan rambut disanggul acak yang membuat siapapun yang melihatnya merasa ngeri, malam ini dia terlihat sangat indah, dia menari bak seekor angsa putih yang melebarkan sayap indahnya untuk menarik sang angsa jantan.
Pada jendela tua aku masih mengintip setiap gerakan yang dia lakukan, tanpa disadari pagi mulai mendekat dan ia menari semakin indah seakan-akan hari ini adalah hari terakhir ia menari, rasa penasaranku semakin menjadi-jadi, rasa ini mendorongku untuk menghampirinya, langkahku semakin cepat seolah-olah aku tak ingin kehilangan sedetikpun tarian gadis itu. aku sampai pada satu daun pintu berdebu dengan gagang pintu yang penuh dengan karat dengan aroma tua yang membuatku semakin merasakan getaran dan rasa penasaran, mengapa seorang gadis dapat menari dengan begitu indah disebuah rumah tua, usang dan gelap seperti ini?. Langkahku kupercepat seakan-akan aku mulai merindukan setiap ritme gerakan yang ia lakukan, perasaan apa ini karena rasanya seperti di ujung jurang dan seorang siap untuk mendorongku jatuh kedasar jurang.
Langkah kaki yang memaksaku untuk menghapiri gadis itupun terhenti, aku melihatnya sangat dekat, dia ada di depanku dengan gaun indah layaknya seorang putri yang menunggu pangeran berkuda menjemputnya, dia seperti seorang pengantin yang malam ini akan dijemput oleh mempelai pria.
"apa yang kamu lakukan di sini?" ucap gadis itu tanpa sedikitpun ia teralihkan dari tariannya
"kamu dan tarian ballerina mu membuatku melangkah cepat-cepat ke tempat ini" jawabku seolah-olah jantungku akan terhenti sebentar lagi ini seperti mimpi wajahnya bersinar, matanya seperti hamparan air dengan pantulan cahaya pagi, dia betul-betul indah. Siaal..dia indaaaah.
"Mengapa kamu menari setiap hari?? dan apa yang terjadi denganmu ?? kau berpakaian seakan-akan kamu akan menikah malam ini??
"apakah hanya seoarang yang akan menikah saja yang menggunakan gaun putih indah?" jawabnya dengan tetap menari seperti penghibur raja, dia indah
"lantas ?? apa?" jawabku yang tak sabar untuk menariknya dan menari bersamanya, walau aku tak bisa menari tapi malam ini aku ingin berada dalam dunianya.
"seorang yang akan masuk kedalam peti matipun berpakaian indah bukan??"
"kamu akan mati?? malam ini?? mengapa??" jawabku yang semakin ingin masuk kedalam dunianya
"tunggulah, kau akan menyaksikanya, aku tau kamu memandangiku setiap malam pada jendela kamarmu di sebrang sana dan mengapa baru sekarang saat aku berpakaian indah dengan bunga pada rambutku kamu menghampiriku??, apa rupa menjadi nomor satu pada tontonanmu Tuan??" iya masih menari dan semakin cepat bersama dengan irama detak jantung yang tak karuan ini.
Aku masih memandangi dia menari dengan perasaan yang akan meledak, Tiba-tiba terdengar dentuman senapan berteriak ditelingaku, peluru itu menembus tepat pada jantung gadis itu yang membuat terian ballerinanya terhenti, dia terjatuh dan berbaring di lantai, sebagian dari gaun putihnya berubah warna menjadi merah dia tersenyum memandangku "Kamu terlambat, andai tarianku cukup menggiringmu kemari, kamu sudah memiliki ku saat ini".
Malam itu, gaun dengan hiasan bunga dikepalanya menjadi senada dan aku dengan dentuman pada nandiku tak dapat melakukan apapun selain menyesali bahwa sang indah ternyata nyata namun tak dapat kulihat hanya karena usang pada bola mataku.
1 note
·
View note
Text
Membuka lagi laman ini, membaca ulang tulusan-tulisan usang berdebu.. Ternyata hidup sudah banyak berubah, dan terima kasih banyak yaa Allah atas semua nikmatMu sampai hari ini.
Hari ini, gadis kecil yang dulu suka mengeluh-mengeluh hal tak penting.. Kini hidupnya ramai dan bising atas titipan dua gadis kecil yang memanggilku mama. Alhamdulillah, meski naik-turun-berliku-terseok-morat-marit kami bahagia..
Alhamdulillah. Alhamdulillah. Alhamdulillah.
Udah ga ada pantes2nya lagi mengeluh atas semua karunia ini. Malu. Makasih banyak yaa Allah. Akan kuperdalam lagi rasa syukurku..
0 notes
Text
Cerita Bercinta yang Terungkap Penjaga Kampus
Baca cerita dewasa hanya di : http://feedbet.net/
Sore itu aku baru pulang dari rumah temanku. Karena perjalanan pulang melewati kampusku, maka sekalian aku menyempatkan diri untuk mampir ke sana dengan tujuan melihat nilai UTS-ku dan mencatat jadwal SP (Semester Pendek).
Kumasuki halaman kampus dan kuparkirkan sepeda motor Honda Vario ku. Saat itu waktu telah menunjukkan jam 17.35, di tempat parkir pun hanya terlihat 3-4 kendaraan. Aku segera memasuki gedung fakultasku, di sana lorong-lorong sudah gelap hanya diterangi beberapa lampu downlight,
Sehingga suasananya remang-remang,
Terkadang timbul perasaan ngeri di gedung tua itu sepertinya hanya aku sendirian, bahkan suara, langkah kakiku menaiki tangga pun menggema. Akhirnya sampai juga aku di tingkat 4 dimana pengumuman hasil ujian dan jadwal SP dipasang.
Ketika aku sedang melihat hasil UTS-ku dari lantai bawah sekonyong-konyomg terdengar langkah pelan yang menuju ke sini. Sadar atau tidak kurasakan bulu kudukku berdiri dan membayangkan makhluk apa yang nantinya akan muncul.
Ah konyol, kubuang pikiran itu jauh-jauh, hantu mana mungkin terdengar bunyi langkahnya. Suara langkah itu makin mendekat dan akhirnya kulihat sosoknya, oohh, ternyata lain dari yang kubayangkan, yang muncul ternyata seorang gadis cantik.
Aku pun mengenalnya walaupun tidak kenal dekat, dia adalah mahasiswi yang pernah sekelas denganku dalam salah satu mata kuliah, namanya Vita, orangnya tinggi langsing, p*hanya jenjang dan mulus, buah d*d*nya pun membusung indah,
Kuperkirakan ukurannya 34B, dipercantik dengan rambut panjang kemerahan yang dikuncir ke belakang dan wajah oval yang putih mulus. Dia juga termasuk salah satu bunga kampus bh.
“Hai.. sore, mau lihat nilai ya?” tanyaku berbasa-basi.
“Iya, kamu juga ya?” jawabnya dengan tersenyum manis.
Aku lalu meneruskan mencatat jadwal SP, sementara dia sedang mencari-cari NRP dan melihat hasil ujiannya.
“Sori, boleh pinjam bolpoin dan kertas? gua mau catat jadwal nih,” tanyanya.
“Ooo, boleh, boleh gua juga udah selesai kok,” aku lalu memberikannya secarik kertas dan bolpoinku.
“Eh, omong-omong kamu kok baru datang sekarang malam-malam gini, nggak takut gedungnya udah gelap gini?” tanyaku.
“Iya, sekalian lewat aja kok, jadi mampir ke sini, kamu sendiri juga kok datang jam segini?”
“Sama nih, gua juga baru pulang dari teman dan lewat sini, jadi biar sekali jalanlah.”
Kami pun mulai mengobrol, dan obrolan kami makin melebar dan semakin akrab. Hingga kini belum ada seorang pun yang terlihat di tempat kami sehingga mulai timbul pikiran kotorku terlebih lagi hanya ada sepasang pria dan wanita dalam tempat remang-remang.
Aku mulai merasakan senj*taku menggeliat dan mengeras. Kupandangi wajah cantiknya, wajah kami saling menatap dan tanpa sadar wajahku makin mendekati wajahnya. Ketika semakin dekat tiba-tiba wajahnya maju menyambutku sehingga bib*r kami sekarang saling berp*gutan.
Tanganku pun mulai melingkari pinggangnya yang ramping. Sekarang mulutnya mulai membuka dan l*dah kami saling beradu, rupanya dia cukup ahli juga dalam berc*uman, nampaknya ini bukan pertama kalinya dia melakukannya.
Wangi parfum dan d*sah nafasnya yang sudah tidak beraturan meningkatkan ga*rahku untuk berbuat lebih jauh, tanganku kini mulai turun meremas-remas pant*tnya yang montok dan berisi, dia juga membalasnya dengan melepas kancing kemejaku satu persatu.
Tiba-tiba aku sadar sedang di tempat yang salah, segera kulepas c*umanku.
“Jangan di sini, gua tau tempat aman, ayo ikut gua!”
Kuajak dia ke lantai 3, kami menelusuri koridor yang remang-remang itu menuju ke sebuah ruangan kosong bekas ruangan mahasiswa pecinta alam,
Sejak team pecinta alam pindah ke ruang lain yang lebih besar ruangan ini dikosongkan hanya untuk menyimpan peralatan bekas dan sering tidak dikunci. Kubuka pintu dan kutekan saklar di tembok, ruangan itu hampir tidak ada apa-apa, hanya sebuah meja dan kursi kayu jati yang sandarannya sudah bengkok, beberapa perkakas usang, dan sebuah matras bekas yang berlubang.
Segera setelah tombol kunci kutekan, kudekap tubuhnya yang sedang bersandar di tepi meja. Sambil berc*uman tangan kami saling melucuti pakaian masing-masing. Setelah kulepas t*nk top dan br*nya, kulihat tubuh putih mulus dengan pay*dara kencang dan put*ngnya yang kemerahan.
Saat itu aku dan dia sudah topless tinggal memakai celana panjang saja. Kuarahkan mulutku ke d*d* kanannya sementara tanganku melepas kancing celananya lalu mulai menyusup ke balik celana itu. Kurasakan kem*luannya yang ditumbuhi bulu-bulu halus dan sudah becek oleh cairan kenikmatan.
Put*ng yang sudah menegang itu kusapu dengan permukaan kasar l*dahku hingga dia menggelinjang-gelinjang disertai d*sahan. Dengan jari telunjuk dan jari manis kurenggangkan bibir kem*luannya dan j*ri teng*hku kumainkan di bibir dan dalam lubang itu membuat d*sahannya bertambah hebat sambil menarik-narik rambutku.
Akhirnya dengan perlahan-lahan kuturunkan celana beserta cel*na d*lamnya hingga lepas. Kubuka resleting celanaku lalu kuturunkan C”-ku sehingga menyembullah senj*ta yang dari tadi sudah mengeras itu. Tangannya turut membimbing senj*taku memasuki liang v*ginanya,
Setelah masuk sebagian kusentakkan badanku ke depan sehingga dia menjerit kecil. Aku mulai menggerakkan badanku maju mundur, semakin lama frekuensinya semakin cepat sehingga dia mengerang-erang keenakan, tanganku sibuk meremas-remas pay*dara montoknya, dan l*dahku menj*lati leher dan telinganya.
Aku terus mendesaknya dengan dorongan-dorongan badanku, hingga akhirnya aku merasakan tangannya yang melingkari leherku makin erat serta jepitan kedua p*hanya mengencang. Saat itu gerakanku makin kupercepat, erangannya pun bertambah dahsyat sampai diakhiri dengan jeritan kecil,
Bersamaan dengan itu kurasakan pula cairan hangat menyelubungi senj*taku dan sp*rmaku mulai mengalir di dalam r*himnya. Kami menikmati kl*maks pertama ini dengan saling berpelukan dan berc*mbu mesra.Tiba-tihba terdengar suara kunci dibuka dan gagang pintu diputar, pintu pun terbuka,
Ternyata yang masuk adalah Pak Atmo, kepala karyawan gedung ini yang juga memegang kunci ruangan, orangnya berumur 50-an keatas, rambutnya sudah agak beruban, namun badannya masih gagah. Kami kaget karena kehadirannya, aku segera menaikkan celanaku yang sudah merosot, Vita berlindung di belakang badanku untuk menutupi tubuh tel*nj*ngnya.
“Wah, wah, wah saya pikir ada maling di sini, eh.. ternyata ada sepasang kekasih lagi berasik ria!” katanya sambil berkacak pinggang.
“Maaf Pak, kita memang salah, tolong Pak jangan bilang sama siapa-siapa tentang hal ini,” kataku terbata-bata.
“Hmm.. baik saya pasti akan jaga rahasia ini kok, asal..”
“Asal apa Pak?” tanyaku.
Orang tua itu menutup pintu dan berjalan mendekati kami.
“Asal saya boleh ikut merasakan si cewek ini, he.. he.. he..!” katanya sambil terus mendekati kami dengan senyum mengerikan.
“Jangan, Pak, jangan!”
Dengan wajah pucat Vita berjalan mundur sambil menutupi d*d* dan kem*luannya untuk menghindar, namun dia terdesak di sudut ruangan. Kesempatan itu segera dipakai Pak Atmo untuk mendekap tubuh Vita. Dia langsung memegangi kedua pergelangan tangan Vita dan mengangkatnya ke atas.
“Ahh.. jangan gitu Pak, lepasin saya atau.. eemmhh..!” belum sempat Vita melanjutkan perkataannya, Pak Atmo sudah mel*mat bibirnya dengan ganas. Sekarang Vita sudah mulai berhenti meronta sehingga tangan Pak Atmo sudah mulai melepaskan pegangannya dan perlahan-lahan mulai turun ke pay*dara kanan Vita lalu meremas-remasnya dengan gemas.
Entah mengapa dari tadi aku hanya diam saja tanpa berbuat apa-apa selain bengong menonton adegan panas itu, sangat kontras nampaknya Vita yang berparas cantik itu sedang digerayangi oleh Pak Atmo yang tua dan bopengan itu, seperti beauty and the beast saja, dalam hati berkata, “Dasar bandot tua, sudah ganggu acara orang masih minta bagian pula.”
C*uman Pak Atmo pada bibir Vita kini mulai merambat turun ke lehernya, dijilatinya leher jenjang Vita kemudian dia mulai menc*umi pay*dara Vita sambil tangannya mengobok-obok liang v*gina Vita. Diperlakukan seperti itu Vita sudah tidak bisa apa-apa lagi, hanya pasrah sambil mendesah-desah,
“Pak.. aakhh.. jangan.. eemmhh.. sudah Pak!” Setelah puas “meny*su” Pak Atmo mulai menjelajahi tubuh bagian bawah Vita dengan j*latan dan c*umannya. Setelah mengambil posisi berjongkok Pak Atmo mengaitkan kaki kanan Vita di bahunya dan mengarahkan mulutnya untuk menc*um kem*luan yang sudah basah itu sambil sesekali menusukan jarinya.
Baca selengkapnya di : http://feedbet.net/
0 notes
Text
-
Dulu, sempat terlintas dalam seluk beluk benak Gael bahwa Kaila akan kembali.
Bukan persis pada runtutan sekon ini, tentunya. Namun pada jejak-jejak waktu yang lebih mudah ditebak, yang tidak tersapu oleh rintik hujan dengan segala kerapuhannya. Demi Tuhan, dia betul-betul mengira bahwa Kaila akan kembali.
Tetapi ini sudah lima tahun, dirinya telah diseret sampai sempoyongan oleh hari-hari yang seakan mengabur. Dan mungkin karena rasa rindu, atau apapun itu yang seringkali bersemayam di dalam ceruk hatinya, yang kemudian memeras timpaan sendu ini menjadi pahit yang begitu menyiksa--kini, ada sesuatu dalam diri Gael yang ingin merombak kembali kejadian lama itu; amukan antara sepasang manusia yang terlalu rentan akan gesekan maut hidup, yang lantas terlanjur menciptakan luka terdalam itu, dan kian mengusik alam sadarnya untuk menggaruk bekas-bekas hampa, seakan ada cara bagi mereka untuk menguar kembali pada sela-sela permukaan hidup yang sompral ini dan memudar dalam lekuk yang sewajarnya--mustahil, dia tahu. Semua orang di sekelilingnya pun tahu.
Maka, Gael memutuskan untuk tinggal.
Begitu renggang dari segenggam pixel yang akan menalikan lokasi-lokasi tertentu dengan siluet rapuh gadis itu. Gael tak apa, mungkin begini memang lebih baik bagi keduanya—bagi Kaila, atau siapapun itu di atas sana yang senang sekali menggubris jalinan hidup antar dirinya dan dia. Namun riak-riuk di pusat keramaian sana kembali memperbudak indera penglihatan Gael—sialan, memang—yang sekarang kembali menyipitkan mata diseret kebingungan tiada tara ini.
Demi Tuhan, Gael tidak berniat pergi ke sana, sebab begitu ramai, dan dia terlalu malas apabila harus terjun bebas didesak lautan manusia tanpa nama yang kini masih melantunkan lagu pop mengiringi nyanyian mas-mas dengan kacamata bermotif bintang di atas panggung kecil itu. Ya, paling tidak untuk sekarang. Namun dia kembali teringat akan lembaran-lembaran hidupnya yang telah usang itu, yang sebelumnya tidak pernah lekang dari tarikan misterius pada garis bibir Kaila, atau lagu-lagu rahasia hasil gubahannya yang selalu menyenangkan untuk didengar ketika Gael sedang sulit terlelap. Atau mungkin, kenyataan bahwa lelaki itu sejujurnya terlampau sadar bahwa dirinya begitu merindukan sosok manis nan sulit ditebak itu. Dan sebuah kemungkinan dengan tingkat persentase yang begitu minim bahwa mungkin saja, mungkin saja, bayangan yang barusan dilihatnya itu nyatanya memang betul-betul ada.
Yang barusan dilihatnya itu, mungkin memang benar-benar Kaila.
Maka satu detik kemudian--dengan segenap pemikiran super sinting yang masih melekat dalam bilik-bilik otaknya--Gael sudah berlari dengan sekuat tenaga menuju pusat keramaian itu--melawan hasratnya untuk mengasingkan diri yang kini sedang meluap panas. Dia terus mencari, meliuk ke sana kemari, terhempas sekali, bangkit lagi, kembali mencari. Dan bayangan itu kini semakin terasa pada sela-sela jemarinya, sebuah kehangatan yang mengingatkan Gael akan pancaran sinar pada requim-requim yang bersatu padu dengan tenang, dan betapa besar harapan pada hatinya untuk menemukan potongan yang telah lama hilang itu untuk kedua kalinya.
Dia mohon, sekali ini saja.
Namun apapun yang sedang terjadi pada petak-petak kehidupan ini seperti tidak mengizinkan lagi, dan dia sudah terlanjur kehabisan napas perihal didesak-desak rombongan manusia tak tahu ampun ini.
Maka dia berhenti. That’s it.
Sungguh, Gael telah betul-betul paham akan rajutan ganjaran yang kian mengikat segala perbuatan terdahulu seseorang, yang kemudian akan seenaknya mengunci harapan pada sisi lain dari pintu-pintu kecil itu, yang sekarang ini, demi apapun di dunia, rasanya ingin dia dobrak saja demi bisa bertemu dengan kekasih lamanya tersebut.
Sebab Kaila, perempuan itu betul-betul berhak mendengar ribuan kata maaf secara langsung melalui bibir Gael.
0 notes
Text
Kamar Nomor Sembilan.
"Hahaha Loi, geser sedikit ya!" Potret jemari lentik bertabrakan dengan bulu putih dan abu-abu singgah untuk sepersekian detik. Seperti penggalan klise dari lintingan film. Ditemani dengan tawa renyah dari suara merdu yang familiar.
"Seran!" Masih dengan suara dan jemari yang sama. Jika tadi penggalan klise berlatarkan ruang beralaskan permadani, kali ini dapur lah tempat mereka berada. Jemari itu menari lincah mengusap surai hitam legam.
Ditemani dengan Loi, si kucing putih abu-abu yang mendengkur mengeluskan badannya pada kaki putih jenjang yang hanya beralaskan sendal karet. Wajah diantara gelombang panjang berwarna cokelat itu selalu buram.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ. . .
Seran terbangun. Penggalan ketiga diisi dengan teriakan memekkan telinga dan menginjak-injak habis kristal kaca pada ruang diantara rusuk-rusuknya berhasil mendorong si pemimpi keluar dari penggalan-penggalan film yang tak runtut. Bulir peluh membanjiri dahinya, bersama dengan helaan nafas yang tidak karuan.
"Kaluna." Nada kasar penuh tekanan membalut nama indah yang ia sebut. Dua tangan seputih susu bergerak mengacak-acak rambut serta mengusap kasar paras Seran. Mimpinya seperti dibajak tiada henti, tidak beda rasanya dengan terjerat di dalam kapsul waktu. Meski Seran belum pernah benar-benar ditelan paradoks manapun.
Diambilnya pematik dan selembar foto usang. Berisikan dirinya dan gadis berambut ikal berdiri bersama dan tersenyum menatap lensa yang membidik. "Kenapa bebal sekali, kalau sudah mati ya sudah berakhir." Belum sempat api menyambar kertas licin di tangan, bantingan pintu dari ruang tengah berhasil mendebarkan jantung Seran.
"Aduh Tuhan, ampun deh sama ini setan." Gerutuan kesal langsung meluncur bebas. Meski ingin rasanya Seran memaki arwah mantan kekasihnya, tetapi dia masih memikirkan cita-cita terkecilnya. Yakni sampai dengan selamat dan mengikuti kelas sore hari ini. Sebesar apapun nyali yang Seran tunjukkan, semuanya rusak hanya karena getaran foto pada genggamannya.
Urat yang timbul di dahi yang penuh keringat berhasil memecah tawa Kaluna, tentunya di alam lain. Entah digolongan apa Kaluna; si hantu mantan kekasih, ini. Jahat pun tidak, tapi jelas mengusik kedamaian hari-hari Seran. Bukan hanya perihal dendam, Kaluna hanya tidak bisa berpulang. Persis seperti janjinya sebelum nyawa tidak lagi menempati tubuh cantik itu.
Waktu itu, si hantu yang konon masih menempu semester dua menghadiri kelas malam. Memang dua tahun yang lalu, Kaluna dan Seran adalah mahasiswa baru. Sungguh sial, dalam perjalanannya menuju kost Seran ia malah mati terbegal. Sudah hitam pun anyir setelan yang ia gunakan, menyengat pangkal hidung, Kaluna terjatuh bersimbah darah setelah berusaha berjalan hingga kamar nomor sembilan.
Waktu itu, si hantu yang konon masih menempu semester dua menghadiri kelas malam. Memang dua tahun yang lalu, Kaluna dan Seran adalah mahasiswa baru. Sungguh sial, dalam perjalanannya menuju kost Seran ia malah mati terbegal. Sudah hitam pun anyir setelan yang ia gunakan, menyengat pangkal hidung, Kaluna terjatuh bersimbah darah setelah berusaha berjalan hingga kamar nomor sembilan.
Tentunya jika dilihat dari sisi seni, kematiannya bisa dibilang eksentrik. Tergulai lemah di dekapan sang kekasih dan masih sempat mengucap janji. "Aku enggak kemana-mana, jangan sedih ya. Dimanapun kamu berada, aku selalu di samping kamu, Seran." Sudah gila. Seran pikir itu hanyalah kata kiasan sebelum Kaluna dikebumikan. Nyatanya, mantan kekasihnya itu malah terjebak menjadi hantu karena janji anehnya.
Jika ditanya mengapa begitu, sebenarnya Kaluna hanya iseng. Ya dia tahu kalau dia akan menutup usia, tapi dia tidak tahu jika usilnya akan mengikat dia dan Seran seperti ini. Malaikat pun hanya ternganga mendengar kesaksian jiwa yang harum-harum amat juga tidak, menang cantik saja. Mungkin harumnya tercemar gaya pacaran yang terlalu bebas dan hanya mengejar puas.
Si hantu berhasil menjelaskan melalui paranormal yang dipanggil oleh Ibu Seran. Pasalnya anak laki-lakinya berlari terbirit-birit menggedor kamar sebelah karena melihat siluet Kaluna. "Lun, makanya kalau ngomong itu dipikir." Tidak ada satu hari tanpa Seran absen dalam mengomeli hantu di kamarnya. Tak lama ia terjingkat, dengan bulu kuduk yang berdiri dari atas hingga bawah.
"Ya kan aku cuma mau sok keren." Kira-kira begitu bunyi bisikan yang mengagetkan Seran beberapa detik lalu.
"Anjing, Kaluna kamu tuh kayanya ketempelan hantu jahat!" Jika saja Kaluna tidak kasihan karena Seran sudah hampir telat menghadiri kelas sorenya, ia pasti sudah menyahuti laki-laki itu dengan satu hadiah pukulan pada tengkorak belakangnya. "Ah, udah deh. Mau mandi."
Kacau, satu kata yang menggambarkan kehidupan bujang penghuni kamar nomor sembilan. Tentunya juga dengan hantu yang tidak kalah kacau menepati janji konyolnya. Ah iya, terlebih saat Seran tidak berani menggarap gadis manapun karena malu dilihat oleh si mantan.
0 notes
Text
Dulu sinar itu ada, ceria dalam senyumnya, Lelakinya terpesona, meski tak terucap dalam kata-kata.
Waktu berlalu, hati terus bertanya tentang kesalahan yang tak mampu diterima, Mencari arti dalam cermin yang menyakitkan hati.
Dia gadis buruk rupa, penyendiri yang membosankan, Menghadapi kebingungan dalam rahasia hati yang penuh tekanan. Apa benar cinta tak memudar bersama waktu? Namun tampak lelakinya mulai bosan.
Sinarnya kian meredup, tak ada cerita, mulut selalu tertutup. Diam, usang, tak menarik lagi. Seolah menghilang tak terlihat lagi. Jatuh dalam hampa, merasa tak berguna.
Lihat lelakinya mencuri-curi mencari sumber cahaya. Walau ada rasa iri dihatinya, dia palingkan wajah seakan bukan masalah, Lelaki itu masih miliknya namun cintanya tak lagi terarah. Maaf sinarnya tak lagi gemerlap, maaf senyumnya tak lagi ceria. Mungkin ada luka yang tak kasat. Depresi yang orang lain tak lihat.
0 notes