Aku terbuka untuk diskusi; saran, masukan dan kritikan terkait semua kata yang tersusun dalam rangkaian cerita.
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Gadis bersepatu merah tua.
Sepatu merah tua itu, kesukaannya sejak berumur 4 tahun. Bukan sesuatu yang bernilai beli tinggi. Bukan juga dengan merek yang digandrungi. Hanya sepatu lungsuran dari si baik hati. Lungsuran yang membuatnya tidak bisa tidur di malam hari, karena tak sabar untuk dipakai esok hari. Gadis itu menyadari, ia lahir di bawah sebuah rumah kontrakan yang minimalis dengan keterbatasan diri. Beberapa peralatan sekolah dan seragam miliknya pun lungsuran dari si baik hati. Sesederhana kue putu putri yang jadi bekalnya setiap hari. Namun tak membuatnya berhenti bermimpi. Hai gadis bersepatu merah tua, bagaimana kabarmu saat ini? Masihkah kau bermimpi menjadi seorang dokter atau penari? Masihkan sepatu merah itu menjadi favoritmu di setiap hari?
Hai gadis bersepatu merah tua, kau telah melewati banyak hal. Rintangan demi rintangan menghadang langkahmu, namun tak pernah membuatmu berhenti. Sepatu merah tua itu, meski kini mungkin sudah usang di beberapa bagian, tetap menjadi saksi bisu perjuanganmu. Setiap goresan dan lecetnya adalah cerita tentang jatuh bangunmu, tentang keberanianmu menghadapi dunia yang seringkali tidak memihak kepadamu.
Di balik senyummu, tersimpan ribuan mimpi yang pernah dicemooh, dicibir, bahkan berusaha untuk dimatikan. Tapi kau, gadis bersepatu merah tua, tak pernah menyerah. Kau terus melangkah, dengan sepatu yang sama, membawa semangat dan tekad yang tak pernah pudar. Di usiamu kini, mungkin kau bukan seorang penari atau dokter seperti yang dulu kau impikan, tapi kau adalah pemenang di hidupmu sendiri.
Sepatu merah tua itu, kesukaannya sejak berumur 4 tahun, kini menjadi simbol kekuatan dan ketekunan. Dengan setiap langkah yang kau ambil, kau buktikan bahwa mimpi tak pernah mengenal batas waktu atau kondisi. Dan di hari ulang tahunmu yang ke-25 ini, kau merayakan bukan hanya bertambahnya usia, tetapi juga kemenangan atas semua rintangan yang pernah menghadang.
Selamat ulang tahun, gadis bersepatu merah tua. Teruslah melangkah dengan penuh keyakinan, dan biarkan sepatu itu menjadi penanda perjalanan luar biasa yang kau tempuh. Mimpi-mimpi besarmu, yang dulu hanya menjadi harapan seorang gadis kecil, kini aku tau sedang kau usahakan untuk tumbuh dan berkembang menjadi kenyataan. Kau adalah bukti bahwa semangat yang tak pernah padam mampu menaklukkan.
0 notes
Text
Lalu setelah menutup Juli mu dengan ikhlas yang palsu. Bagaimana hari pertama pada Agustus mu?
Harapan serta untaian yang semalam dicoba 'tuk dipanjatkan barangkali masih dipertimbangan oleh Tuhan. Was-was menjadi wakil dari setiap intuisi yang dirasa oleh sang daksa. Beruntung masih berhembus setiap deru nafas dan kerjapan mata yang menemani pagi. Berat kepala jadi hal yang menyapa. Sebab semalam suntuk hanya berkutat dengan berisik dan ruwetnya isi kepala sang daksa. Lalu, disapa lagi dengan celotehan ayahanda. Tolong, bahkan arunika belum sempat menyapa bentala.
Pun jangan dulu mengasumsikan bahwa ikhlas sang daksa palsu hanya karena eksistensi sang pujaan hati yang menggoyahkan intuisi. Satu dari tiga puluh satu bahkan belum sepenuhnya terlewati dengan penuh dalam satu hari. Masih ada sisa yang bisa diusahakan dengan tekad sepenuh hati walaupun mungkin sambil lari-lari dan mengeluh setiap hari.
Setengah hari untuk awal Agustus, sejauh ini tidak ada yang menganggu sang daksa kecuali sang nini yang terus berceloteh dan menikmati peran untuk celetukan memanas-manasi. Sudah lah was-was atas setiap hal yang sedang dijalani. Ditambah dongkol hati atas setiap tingkah sang nini yang menguji emosi yang naas nya hanya setipis tisu roti.
Jadi untuk Agustus jangan dulu banyak mengambil asumsi, karena sedang coba dijalani.
0 notes
Text
MENUTUP JULI DENGAN INTUSI YANG DIPAKSA BERHENTI.
─ SELESAI TANPA MEMULAI.
Pemberhentian sejenak─atas rangkaian sebuah cerita─ yang dipaksa 'tuk berhenti sebab wara-wara yang tak terduga.
Aku tidak akan pernah lupa rasanya menjadi sosok yang paling diandalkan dalam sebuah jalinan pertemanan. Tanpa mengetahui dari mana mula nya kami berawal─atau mungkin tanpa kami sadari, kami terjebak dalam satu memori yang sama.
Pun sebelumnya, aku tidak pernah tau rasa nya menjadi seseorang yang digantungkan atas semua hal terkait kehidupan satu orang. Namun, kini pada masa nya, ia datang. Katanya.. Ia menggantungkan semua gatra hidupnya pada hidupku. Nyatanya kami─atau sekarang hanya aku yang bergantung kepadanya.
Kemudian, ketika jenama terlontar dari kedua belah bibir milik nya. Aku akan mengusahakan presensi ku di sela-sela kegundahan hatinya dan menawarkan sebuah dekapan. Pun tanpa berpikir panjang, aku akan meninggalkan semua yang sedang ku lakukan semata-mata hanya untuk berada di sekitarnya.
...
Sebuah awalan yang sebenarnya aku anggap bahwa aku memanfaatkan situasi yang sedang ia alami, tanpa disadari malah menjadi hal yang paling menyakiti.
Yang tanpa sadar ketika ia terlalu jatuh, aku pun jatuh disetiap kalimat yang ia lontarkan dengan sayatan-sayatan kasat mata.
Rasanya kalau bisa dijelaskan, kurang lebih seperti ini..
Aku ingin membawa ia lari dari semua hal yang menyakitinya. Aku hanya ingin ada disetiap ia jatuh dan ada di saat ia merasa dunia terlalu jahat─sementara ia hanya berusaha dan berjuang untuk bernafas dengan dirinya sendiri setiap hari. Aku ingin sekedar mendekap kemudian memberikan tempat yang paling aman untuknya. Aku ingin memberikan sebuah tempat 'tuk sekedar beristirahat dari ramai atau berisik isi kepalanya.
Kemudian─kata ingin itu berubah menjadi kata tamak.
Aku ingin dia dengan semua hal baik atau buruk, karena memang hanya dia.
Namun dirinya tak pernah tau, ketika ia datang.. Ada beberapa yang ia ambil dari ku tanpa ia sadari dan ketika ia pergi.. sebagian miliknya tinggal untuk dicari.
...
Hal lain yang aku sadari, ketika presensinya tidak hadir atau tidak nampak dalam edaran ku. Aku akan mencari dan bertanya pada setiap hal yang menjadi bagian dari cerita nya. Walaupun pada awalnya, aku akan berpikir berulang kali untuk melakukan itu. Berusaha mencari sendiri dengan bekal berani untuk bertanya pada bagian dalam ceritanya.
Sekedar mengucap jenama kepada bagian dari ceritanya, maksud ku telah terbaca seperti apa yang sedang aku cari.
“Ya, ia baik. Ia ada denganku beberapa hari ini.”
Lantas, ada satu hal yang tertinggal pada saat beberapa pertanyaan terlontar dari ku, pada bagian dari ceritanya─“tolong jangan beri tau ia siapa dan kenapa aku mencarinya.”
Karena akal dan intuisi ku telah sepakat untuk berhenti─untuk yang kesekian kali.
Kata terlambat adalah kata yang paling mudah mendeskripsi.
Tanpa mengharapkan apapun, aku merasa cukup hanya mendengar ia baik tetapi presensinya hadir kembali. Ia menjelaskan dengan rinci kenapa ia pergi, kenapa ia hilang dan betapa senangnya ia dicari. Nir ku ketahui, banyak hal lain yang sembunyi.
Aku menjadi orang yang paling naif. Mencoba untuk memperjuangkan dan mendekap kembali dirinya, tetapi masih tidak menyadari situasi─ ya mudahnya aku paling bodoh di cerita ini. Ia bahkan berhenti sebelum aku mulai menyadari.
Menebak-nebak isi kepala dan hati. Mengambil banyak asumsi atas kami. Lalu menciptakan delusi yang nantinya akan menjadi bumerang untuk ku sendiri.
...
Ia selalu acuh tak acuh pada setiap genggaman tangan yang ku tawari secara cuma-cuma. Ia selalu hilang disetiap percakapan─ yang hanya satu atau dua kalimat yang ku tunggu presensinya. Ia tak pernah menanggapi beribu cara yang ku lakukan untuk dapatkan atensinya.
Lalu intuisi ku kembali menjanjikan pada diri sendiri untuk berhenti dengan banyaknya rencana yang sebenarnya aku tau itu hanya sebuah ekspetasi diri.
Mencoba memulai seperti biasa lagi. Namun perantara peran dari ceritanya datang dengan sebuah pertanyaan yang bahkan aku sendiri tidak tau jawabannya.
“Dia lagi sama kamu gak? Dari semalam dia ga baik.”
Lalu bertindak menjadi seseorang paling tau dan paling penting. Seolah-olah tau atas segalanya. Riuh dalam diri terus menemani dengan mengharapkan ia baik-baik saja..
Setelah beribu pesan dikirimkan tetap tidak ada jawaban. Dunia ku berantakan dan kalut saat itu..
Dengan segala keberanian, aku berusaha mengungkapkan semua yang intuisi ku coba sembunyikan. Lalu yang ku tau, perantara peran dari ceritanya mencoba mengisahkan kemana dan kenapa ia pergi dan menghilang waktu itu. Rasanya hari itu aku tidak bisa untuk tidak berhenti tersenyum setelah tau semua hal yang semestinya. Kemudian, Ia datang lagi dengan semua delusi yang tadinya hanya ada dalam intuisi ku.
Banyak hal lagi yang ia sembunyikan, tapi dari kalimat-kalimat yang ia lontarkan aku tau ia berusaha baik-baik saja─Kenyataannya tangan dan dekapan ku tak lagi sampai...
Berusaha untuk meyakini pada intuisi ku sendiri, untuk selalu merengkuh dan menawarkan semua yang bisa aku berikan. Berusaha untuk mengalihkan pikirannya dengan membahas semua hal yang ada di bentala─tapi tak sampai.
Mengingatkannya akan beberapa agenda terencana kegiatan berdua untuk mengalihkan atensi. Namun hanya sekedar menjadi imaji karena nyatanya hanya sebuah ingkar yang diagih..
...
Berusaha terus meyakini diri sendiri atau sebenarnya aku ini hanya menyangkal kenyataan yang terpampang di hadapan hati? Dengan urat malu yang sudah hilang. Tanpa berpikir lagi aku mencoba mencari kebenaran atas kami tapi ia tidak bisa menjanjikan apapun lagi..
Mencoba menjelaskan hal yang mungkin bisa kami coba untuk dilalui tapi tak sampai hati untuk memaksakan kehendak diri..
Masih tidak mengerti dengan situasi yang terjadi di antara kami, aku mencari pemahaman dari semua yang terlibat dalam cerita kami. Namun, semua yang ku dapat hanya kenyataan yang memang tidak bisa dihindari. Ketakutan, kekhawatiran akan kehilangan dan hubungan yang diragukan. Aku berhenti dan berusaha memahami.
...
Setelah semua hal yang terjadi, aku masih mencoba untuk menggapainya dengan ikatan kami yang sebelumnya dan mencoba untuk membuang semua harapan atas imaji dan delusi yang telah terangkai─namun tetap tak sampai.
Atas ketidakmampuan ku lagi, banyak hal yang ku cari lewat perantara peran dalam hidupnya seperti...
“Kabarnya baik?”
“Aman?”
Karena sebenarnya dibalik kata bergantung atas─aku─ kami berdua, banyak hambatan tinggi yang tak bisa ku tembus untuk sekedar bertanya tentang bagaimana harinya.
Hambatan itu datang sendiri dari dirinya.
Ia tak pernah memberikan kesempatan untuk kami menciptakan sebuah cerita lain dalam hidup kami.
Ia terlalu sakit untuk mempercayai.
Ia terlalu takut untuk memulai.
Ia terlalu jauh untuk sekedar ku hampiri.
Karena label pertemanan kami─atau atas kamu yang masih terjebak pada kisah lamamu yang belum usai..
Jadi ku sudahi di akhir Juli ini, karena tangan ku tak lagi sampai walaupun dengan label pertemanan kami..
...
Mengisahkan berniat bukan untuk menyakiti, bukan juga untuk memberi tahu semesta dan menyalahkan mu atas semua ini tapi hanya ingin mengakhiri Juli dan menutup bab ini dengan rinci dan dengan ikhlas sepenuh hati. Maaf atas ketidaknyamanan kemarin dan ketidakmampuan ku atas mengendalikan diri. Sampai nanti pemilik hati. Sampai bertemu pada ketidaksengajaan lain hari yang mungkin terpeta pada sebuah singgungan atau mungkin.. tidak sama sekali...
RAMPUNG
2 notes
·
View notes
Text
Jatuh atau tidak?
Barangkali aku bisa membaca situasi lebih awal, mungkin bisa lebih mudah untuk dimengerti.
Rasanya selalu ingin bertanya, kita ini benar-benar jatuh atau ternyata hanya aku saja yang jatuh?
Dering selalu dinantikan,
Kabar selalu ditunggu,
Cerita selalu diharapkan,
Tapi rasanya..
Ya, ternyata aku hanya jadi beberapa skenario saja betul?
Bukan untuk menetap, juga bukan buatmu singgah.
Ya, tidak keduanya.
Banyaknya pertanyaan dalam benak ku, beberapa kali mengganggu.
Rasanya apakah sama dengan yang kamu punya?
Atau memang benar aku sendiri saja?
Kenapa sering kali aku yang menunggu dan kamu yang menghilang?
Jadi ini hanya sebelah saja?
0 notes
Text
Letting Go
Hampir berada dalam genggaman tapi semesta tidak mengaminkan.
Untukmu.
Langit sembilu.
0 notes
Text
LANGIT SEMBILU.
Kali ini, tentang Langit yang menaungi Swastamita. Tentang seseorang yang pernah jadi tempat pulang, tempat bersadar, dan tentunya tempat sejuta cerita untuk senjanya.
Namanya Langit, tinggi badannya sekitar lebih tinggi satu depa dari tinggi Mita. Ia si penganggum hujan juga kemarau di satu waktu. Katanya, yang penting itu rahmat dari Tuhan. Jadi, harus di syukuri. Itu katanya.
Langit juga menyukai segala sesuatu berbau hal etentik pun estetik lainnya. Roll film, kamera analog, film-film lama dan toko buku bekas, tapi sayangnya ada satu yang tak ia suka, kafein. Berkebalikan dengan Mita.
Ia pun pernah bercerita seharian penuh tentang toko di ujung jalan Yogyakarta, hanya karena arsitekturnya mirip seperti toko-toko jaman Belanda.
Ia teruna yang suka diam seribu bahasa namun juga dengan sejuta senyuman yang syarat akan makna.
Ia juga punya seribu cerita, yang anehnya selalu menarik perhatian semesta bahkan untuk Swastamita juga.
♪♪♪
Mentari bangun dari tatapmu
Rembulan hidup dari senyummu
Bibir membisu, tangis tersedu
Tubuhmu tinggal semu
Ia menyukai hal-hal sederhana, seperti mie ayam di sebrang rumah milik bunda. Tanpa sayur, hafalku di luar kepala.
Atau mie instan, dengan mangkuk favoritnya di meja makan ujung lorong rumah bunda.
Ia yang selalu sulit mengatakan tidak untuk orang-orang di sekitarnya.
Ia teruna, dengan segala kelembutan dan kebaikan yang ada. Tapi ini bohong sebenarnya, apabila kamu bisa mengenalnya lebih jauh, ia akan lebih berisik dari biasanya.
Langit.
Ya, ini tentang Langit.
Iya Langit, Langit Sembilu. Katanya Swastamita itu tempat aman untuknya tapi nyatanya nabastala pun tak dapat menyatukannya. Karena Swastamita tau, Langit tak bisa jadi nyata untuk hatinya.
♪♪♪
Lembayung di matamu
Dan layu hangat aroma tubuhmu
Andai kau tinggal lebih lama lagi
Langit adalah definisi jauh dan dekat dalam satu waktu. Karena ia tempat bernaung untuk senjanya. Namun, senja tau bahwa dia bukan satu-satunya.
Lalu jarak adalah salah satu hal yang terbaik untuk keduanya setelah segala kenangan yang ada.
♪♪♪
Rangkullah ia wahai semesta
Lenganku kini tak lagi sampai
Setengah aku ada di dia
Harapku di sukmanya
Ia pernah datang ke bilik kamar Swastamita, dengan raut wajah yang sulit dijelaskan. Hanya saja dengan bibir yang memucat, tapi senyumnya tak jua hilang dari peredaran pandangan Swastamita.
“Mita, aku sakit.” ucapnya seraya mengulurkan kuasa lalu menarik pergelangan tangan Mita dan mengarahkan ke arah dahinya. Demam. Lalu Swastamita bertindak seolah-olah Langit adalah salah satu tanggung jawab yang secara ikhlas dari hatinya.
Dua minggu atau lebih tepatnya 16 hari teruna itu jadi satu-satunya pusat semesta untuk Swastamita. Entah baik atau buruk malah jarak diantara keduanya kian terkikis hingga bahkan jadi sebuah benang merah yang tidak lain seperti perasaan yang mengikat satu sama lain. Namun, tidak ada yang berani untuk berbicara lebih dulu soal apa yang mereka rasakan masing-masing.
♪♪♪
Lembayung
Di matamu
Dan layu hangat aroma tubuhmu
Andai kau tinggal lebih lama lama lagi
Lalu ketika dirasa satu-satunya cara untuk mempertahankan keduanya tanpa ada perasaan yang sama adalah dengan membuat jarak lagi. Ide siapa? Ya tentu, Swastamita.
Mungkin sejak saat itu, Swastamita tau bahwa ia tak sendiri bernaung dalam Langitnya, ada bintang, bulan, bahkan fajar atau Arunika.
Swastamita semakin menarik diri, hingga benar-benar benang itu seperti terputus secara sepihak.
Swastamita hanya tidak menyadari.
Begitupun dengan Langit.
Ketika waktu telah berlalu begitu cepat, mereka hanya saling menyalahkan satu sama lain.
“Kenapa?” tanya Langit
Swastamita hanya menggeleng.
Lalu menjadi sangat terlambat ketika Langit benar-benar jatuh untuk orang lain.
Haruskah Swastamita menyesal?
♪♪♪
Relungku masih inginkan kamu
Tapi semesta bilang kita akan baik saja
“Langit, yang tak pernah suka jika aku panggil dengan embel-embel kakak atau mas. Katanya ia tidak setua itu. Harapanku antara kamu dan aku untuk terakhir ini melambung tinggi lagi. Aku kewalahan kali ini. Pun ekspetasi jadi hal yang paling sering kali ku temui akhir-akhir ini. Tapi lagi-lagi jarak yang hanya bisa menjadi cara paling aman untuk kami.”─ Swastamita 2021
4 notes
·
View notes
Text
Awalan yang sederhana.
...
Benar saja, untuk mendapatkan izin dari ibu maupun bapak lebih sulit lagi dari sebelumnya. Bahkan sempat-sempatnya keluar larangan bahwa aku tidak usah jadi saja untuk berangkat nanti malam. Hingga akhirnya aku meyakinkan mereka sekali lagi, dengan menghubungi pemilik share house tersebut. Ku lihat bapak hanya manggut-manggut dengan gawai disisi rungu kanannya. Mungkin sedang mendengarkan penjelasan.
Tungkai, ku bawa lagi menuju bilik kamar, mengeluarkan beberapa tas yang akan ku bawa nantinya. Bukan berniat menguping pembicaraan ibu dan bapak namun rungu secara tidak sengaja menangkap suara ibu dan bapak yang sedang berbicara di ruang makan.
“Ndak apa-apa, pemiliknya janda. Jadi itu rumahnya dua lantai. Lantai pertama untuk perempuan, sedangkan lantai kedua untuk laki-laki. Di setiap lorong sudah ada cctv, lalu si ibu nur kamarnya di bawah sambil mengawasi.” suara bapak barusan.
“Tapi pak itu dijadikan satu, bahaya.” balas ibu.
“Wes saiki percoyo ae ning anak mu. Mosok ra sido budal mergo ngono.” kata bapak barusan seperti ini sudah sekarang percaya saja ke anak mu. Masa tidak jadi berangkat hanya karena seperti itu.
Kemudian aku melihat raut wajah ibu yang masam, dari jauh tidak sengaja manik kami bertatapan. Lantas aku mengangguk meyakinkan seraya tersenyum. Final, kemudian ucapan izin dari ibu pun terdengar.
“Yowes, tapi peneran dijogo kepercayaan ne ibu mu karo bapak nduk.”
Aku mengangguk menyanggupi. “Nggih, buk.”
Pukul 19.30 WIB aku berangkat diantar bapak dengan sepeda motor. Sebelumnya, pipi ku habis diciumi oleh ibu. Jujur, aku bisa menangkap raut wajah ibu yang tidak rela perihal anak gadis sulungnya yang pergi merantau. Namun, apa boleh buat. Tanggung jawab sudah di depan mata.
Setelah berpamitan dengan bapak, tidak berselang lama kereta ku tiba. Setelah naik dan mencari nomor kursi tempat aku duduk, aku memilih mengistirahatkan mata dan tubuh untuk beberapa kegiatan esok hari.
....
13 jam perjalanan sudah ditempuh, setelah turun di peron kereta aku masih harus naik angkutan umum menuju share house.
Sampai di depan rumah dua tingkat minimalis, aku mengetuk pintunya pelan. Setelah pintu terbuka, aku menangkap kehadiran wira memiliki perawakan yang cukup tinggi. Mungkin penghuni lain rumah ini juga. Ia menatapku lamat. Kemudian suaranya mengalun pelan.
“Swastamita, betul?”
Aku mengangguk cepat.
“Bunda─ eh Bu Nur, tadi menitipkan kamu ke saya untuk memberitahu kamar kamu yang mana. Ayo masuk?”
“Oh iya mas sebentar.”
Tungkai langkah kaki mengikutinya dari arah belakang, hingga sampai pada kamar yang berada di pojok ruangan dekat dengan dapur. Aku melongok seraya melihat-lihat kondisi dalam kamar.
“Nanti kalau butuh sesuatu kamu bisa ke bunda di sana.” sambungnya seraya menunjuk salah satu kamar di dekat kami. Kemudian aku mengangguk lalu tersenyum.
Manik kami bersibobrok lagi, kali ini entah kenapa ada yang berbeda saat aku menatapnya. Terlalu gugup, aku langsung memutus kontak mata di antara kami berdua lalu mengucapkan terima kasih. Hanya dijawab anggukan saja olehnya.
Tanpa mengucapkan apapun bahkan sebait nama, ia pamit pergi ke lantai atas untuk kembali ke kamarnya. Pertanyaanku pun aku urungkan, lalu menatap punggungnya dari kejauhan. Lalu aku masuk dengan beberapa tas dan bawaan ku untuk beristirahat dan bersih-bersih menyiapkan hari esok.
“Ya sudah, mungkin lain kali bisa mengobrol lagi lebih banyak.” Batin ku
─ RAMPUNG.
2 notes
·
View notes