#etnomusikologi
Explore tagged Tumblr posts
squid-ink-personal · 3 months ago
Text
Marsius Sitohang & Gondang Sabangunan
DIAWALI dengan suara Sulim(Suling/flute) yang mendayu menjeritkan kesedihan dan duka. Suara suling itu persis bagaikan orang yang ‘mangandung’(lamentation), suara suling yang meniru tangisan andung-andung itu sangat kental menebarkan aroma kesedihan, lengkingan panjang dan isak-isak tangis ditransformasikan kedalam suara suling. Taklama, setelah suling itu perlahan berhenti, kemudian disambut oleh suara terisak-isak sarune(Oboe), dan secara bersamaan dengan hasapi(kecapi) dan garantung mereka memainkan lagu Andung-andung parsirangan yaitu salah satu tembang yang ada dalam album ‘Musique Des Batak’ yang direkam pada Juni tahun 1993, pada acara Maison des Cultures du Monde, Perancis. Pemain Suling itu ialah Marsius Sitohang, pimpinan Grup musik Sopo Nauli, Medan. Juni 1993, Lembaga Kesenian USU yang dipimpin etnomusikologi Rizaldi Siagian mengikuti Festival Musik dan Kultur di Perancis. Dalam rombongan Kesenian USU tersebut, turut serta juga beberapa pemain uning-uningan dan Gondang Sabangunan antara lain Marsius Sitohang(Sulim), Osner Gultom(Sarune), Kalabius Simbolon(2nd Sarune), Maningar Sitorus(Taganing/Garantung), Sarikawan Sitohang(Gordang/Hasapi), Janter Sagala(Hasapi). Dalam Rombongan itu juga ikut beberapa pemain Gondang Karo dan Simalungun, dan mereka membawakan beberapa repertoir Gondang dan lagu uning-uningan dalam Festival tersebut.
Sebelumnya juga tahun 1992, di ‘Festival Indonesia in Performance’ di California yg diprakarsai oleh Ford Foundation dan ARCO, Rizaldi Siagian juga tampil di Festival itu bersama para pemain Uning-uningan dan Gondang Sabangunan beserta rombongan Gondang Karo dan Mandailing. Pada festival itu Marsius Sitohang, dan para personil diatas juga beraksi dan kemudian dirilis albumnya dengan tajuk ‘The Batak’. Itulah beberapa dari sekian sepak terjang Marsius Sitohang di dunia internasional dalam mengenalkan musik tradisional Batak-Gondang Sabangunan dan Uning-uningan.
Marsius Sitohang, Ayah dari 6 orang anak kelahiran 1 April 1953, yang juga Dosen praktek etnomusikologi USU ini mengawali Karirnya sewaktu muda dengan bermain di Opera Batak, darah seni dan talentanya turun dari Ayahnya, kebetulan Ayahnya juga pemain dan salah satu pendiri Opera Batak ‘Sinta Nauli’. Seperti ceritanya kepada majalah ‘Nova’, Gondang Sabangunan telah merubah jalan hidup Marsius yang karena desakan ekonomi sempat menjadi tukang becak di Medan. Tapi mungkin Tuhan berkendak lain sehingga talenta dan jiwa seninya membawa ia menggeluti musik tradisional untuk dapat mengebulkan dapurnya. Berikut artikel tentang Marsius dari tabloid NOVA.
Jadi Tukang Becak
Kehadiran enam anak, menambah kebahagiaan rumah tanggaku. Namun, kehidupan bermain opera dari kota ke kota di Sumatera Utara, membuatku berpikir panjang. Anak-anakku tak dapat bersekolah dengan baik karena kami hanya menetap tak lebih dari seminggu di setiap kota. Kasihan mereka, tak punya sekolah tetap, apalagi teman bermain.
Melihat kondisi anak-anak, aku memutuskan untuk berhenti bermain opera dan menetap di Medan. Aku berencana memperbaiki pendidikan anak-anak yang berantakan dan menyusun kembali kehidupan rumah tanggaku.Apalagi ketika itu Bapak sudah meninggal. Ditambah lagi usaha opera kami tidak berkembang, mungkin karena pengaruh masuknya televisi ke daerah-daerah.
Namun, jika aku berhenti bermain opera, bagaimana aku dapat menghidupi keluargaku? Mulailah aku mencari kerja. Berbekal pendidikan kelas 2 SD, rasanya sulit mencari pekerjaan yang bagus. Membaca dan menulis pun, aku tidak terlalu lancar. Akhirnya, nasib membawaku menjadi penarik becak.
Selama jadi tukang becak, aku hanya mendapat penghasilan yang sangat pas-pasan. Hanya cukup untuk biaya hidup kami sekeluarga sehari-hari. Padahal, aku ingin menyekolahkan anak-anak ke jenjang yang tinggi. Aku tak mau anak-anak sepertiku, tanpa pendidikan yang cukup. Aku berdoa, kiranya Tuhan membuka jalan.
Tuhan mendengar doaku. Suatu hari Pak Rizaldi Siagian mengadakan seminar di Medan. Untuk mengisi acara, ia meminta beberapa orang dari sekumpulan tukang becak untuk membawakan musik tradisional Batak Toba. Ada seorang teman bermarga Marpaung yang memang pandai bermain musik. Ia mengajakku turut serta dan mengumpulkan tukang becak lainnya yang pintar bermain musik.
Kami bermain di depan ketua jurusan, dekan, dan rektor-rektor dari berbagai perguruan tinggi di Sumatera Utara, dengan bayaran yang cukup tinggi. Aku tak menyangka, permainan kali ini membawa perubahan besar dalam hidupku. Keesokan harinya aku mendapat surat panggilan dari Universitas Sumatera Utara (USU).
Dapat Penghasilan Lumayan
Aku memenuhi panggilan itu. Ternyata, aku diminta pihak rektorat menjadi pengajar musik tradisional Batak Toba di Jurusan Etnomusikologi USU. Awalnya aku sempat ragu dan mengaku kepada mereka, tak bisa menulis. Lantas bagaimana harus mengajar? Namun, mereka membesarkan hati seraya menjelaskan, aku hanya bertugas mengajar secara praktik, langsung dengan permainan.
Waktu itu sekitar tahun 1985, pihak rektorat juga mengaku tidak dapat membayar honorku dengan layak, hanya berkisar Rp 6 ribu per bulan. Aku sempat berkeringat dingin mendengar honor sekecil itu. Setelah kupikir lagi, tak apalah. Aku cukup senang musik tradisi diangkat.
Selama satu tahun, aku dibayar dengan honor sekecil itu. Setelah bertahun-tahun, honorku naik sedikit demi sedikit, hingga sekarang mencapai Rp 225 ribu sebulan. Seminggu aku mengajar empat kali, selama 1,5 jam dalam satu kali pertemuan. Walau penghasilan pas-pasan, aku merasa bahagia bisa mengajar. Aku ingin anak-anak muda mau belajar supaya musik tradisional ini tidak hilang.
Pekerjaan ini pula yang kemudian mengantarku pertama kali ke Ibu Kota, bahkan ke luar negeri. Dalam menunaikan tugas, aku berkesempatan menjelajahi Jepang, Amerika, Belanda, dan Australia. Ketika pertama kali diajak naik pesawat ke Jakarta tahun 1985, aku rasanya ingin menangis saking bahagia. Bayangkan saja, aku yang berasal dari kampung dan berasal dari keluarga tak mampu, bisa merasakan naik pesawat, bahkan sampai luar negeri.
Setelah jadi pengajar, aku mengumpulkan teman-teman yang bisa dan mau untuk kembali membentuk grup musik tradisional. Akhirnya kami membentuk grup musik bernama Sopo Nauli Musik. Grup ini merupakan penggabungan alat musik keyboard, drum, terompet, suling, dan alat-alat musik tradisional lainnya.
Kami menerima panggilan untuk mengiringi upacara adat dan resepsi perkawinan, upacara adat orang meninggal, dan acara-acara gereja. Termasuk mengiringi paduan suara Bonar Gultom yang sangat terkenal di Sumatera Utara. Grup ini menjadi pekerjaan sampingan selain mengajar di USU. Aku berpikir, tak mungkin bisa membiayai anak-anak hanya mengandalkan gaji yang pas-pasan.
Dengan menerima panggilan, aku mendapatkan penghasilan yang lumayan. Dalam sebulan kami rata-rata mendapat panggilan manggung 15 kali. Dalam sekali main, kami mendapat minimal Rp 100 ribu per orang. Setelah aku hitung-hitung, dalam sebulan aku bisa mendapat penghasilan sekitar Rp 1.500.000. Mungkin penghasilan segitu tak bisa membuatku kaya. Tapi paling tidak, aku bisa membesarkan dan menyekolahkan anak-anak, bahkan ada yang sampai ke tingkat sarjana.
Diajak Rekaman
Semakin lama, grup kami semakin besar dan terkenal. Beberapa kali kami diundang untuk berkolaborasi dengan penyanyi terkenal, bahkan dengan musisi asing. Selain itu, kami juga diajak rekaman. Hingga kini, kami sudah memiliki 20 album rekaman. Lima di antaranya dilakukan di Jakarta.
Sayang, aku tidak tahu menahu sama sekali masalah pembayaran yang seharusnya kami terima. Saat itu kami hanya dibayar sekali saja, ketika selesai rekaman. Bahkan hasil kasetnya pun tidak kami dapatkan, melainkan harus membeli sendiri. Belakangan kami baru tahu, kami seharusnya mendapatkan royalti dari setiap kaset yang terjual.
Di luar itu, aku cukup bangga kasetku beredar di pasaran. Apalagi namaku sempat ditulis di media saat berangkat ke luar negeri. Akibatnya, orang kampung menganggapku kaya. Padahal, penghasilanku hanya cukup untuk biaya sehari-hari dan menyekolahkan anak. Terkadang aku jadi malas pulang kampung. Aku merasa belum mampu memberikan apa-apa kepada saudara-saudara di kampung. Kalaupun pulang kampung untuk bertemu Ibu, aku usahakan di malam hari, biar tidak dilihat orang.
Pahit dan enaknya, semua sudah kurasakan selama menjadi seniman. Yang pasti, aku merasa bangga sekali, karena berkat musik tradisional ini, aku sudah bisa kemana-mana. Suatu saat nanti, anak-anak akan memberitakan kisah dan pengalamanku kepada cucu-cucu, lengkap dengan foto-foto dan piagam-piagam yang pernah kuterima. Dua anakku kini mengikuti jejakku menjadi pemain musik tradisional. Kepada mereka aku berpesan, “Boleh main musik, tapi harus belajar agar lebih maju lagi.” Aku memang selalu memberi nasihat kepada anak-anak, jangan sampai mereka seperti aku yang tidak sekolah.
Tak terasa, sudah 20 tahun aku mengajar musik. Melihat anak didikku, aku sedih karena belum menemukan generasi baru yang bisa menggantikan generasi sebelumnya. Aku bisa merasakan, ada yang hatinya mau belajar, namun tangannya tak mau bergerak. Ada pula yang pikirannya mau, tapi cara bermain tidak bisa. Ada yang bisa bermain, namun hati dan pikirannya tidak berminat.
Rata-rata mahasiswa di kampus itu belajar hanya untuk kepentingan penelitian, tidak ada yang benar-benar ingin memperdalam tradisi ini. Sudah aku perhatikan selama ini, belum ada yang sesuai dengan harapanku. Itu sebabnya, kepada anak-anakku yang suka musik kutekankan, belajar musik tidak pernah ada tamatnya. Tambah pengalaman, tambah pengetahuan, terus belajar terus.
0 notes
ubr30 · 1 year ago
Text
Wahai, Para Inovator Sastra, di Manakah Kalian? [dari kompas.id | 8 Agustus 2021]
Ucapan Endo Suanda, etnomusikolog, pakar arsip musik dan seni tradisi dalam diskusi tentang preservasi seni yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Selasa, 29 Juni 2021 lalu, memantik saya untuk menarik isunya ke dunia sastra.
Beliau pada pernyataan penutup diskusi mengatakan, buku adalah benda mati yang hanya akan hidup kalau dibaca, arsip tak ada artinya apabila tidak dikaji untuk menghasilkan pengetahuan baru. Beliau tampak mengatakan itu dengan geram dan cemas. Kesadaran kita untuk merawat arsip memang rendah, apatah lagi menghidupkannya dan mengembangkan pengetahuan dari situ. Hal itu terjadi di semua bidang, sastra, dan puisi tak terkecualikan.
Puisi adalah sebuah wilayah, atau sebuah daerah, kata Jassin. Penyair berada di sana, meniup tifanya, menyuarakan sajaknya. Wilayah puisi itu tidak mati, ia hidup, berkembang, menghidupi, dan dihidupi oleh penyair-penyair yang datang dan pergi. Di wilayah itu tradisi sastra dibentuk dan dihidupkan, dengan segala jejak pencapaian.
Setiap penyair yang memasuki lalu berada di daerah itu menghadapi ketegangan antara konvensi pencapaian yang tertradisikan dan kesempatan berinovasi menawarkan pembaruan yang bisa ia bayangkan untuk ditawarkan, hal apa yang disebut Teeuw pada 1980 ketika membahas beberapa puisi penyair kita, terutama ketika ia mengulas Sutardji. Setiap penyair yang masuk ke daerah itu sadar atau tidak, ia terlibat dan terbawa arus sejarahnya.
Seorang penyair terseleksi atas pilihannya dan keberaniannya ketika mengatasi ketegangan itu dan tentu saja seberapa berlimpah energi kreatif, bakat, kecerdasan, dan kesungguhan dalam dirinya. Ketegangan itulah yang membuat daerah puisi menjadi hidup, dinamis, bergerak, meluas, dan berkembang. Terciptalah apa yang oleh Jacob Sumardjo sebagai topografi: sastra pop, sastra konvensional atau mainstream, dan sastra avant garde.
Sastra yang sehat adalah ekosistem yang merawat semua yang berada dalam dirinya, yang pop, yang konvensional, juga yang avant garde. Penyair bisa saja bergerak, melompat, berpindah di semua ketinggian topografi itu. Kita ingat Motinggo Busye untuk kasus ini.
Sepanjang bisa kita baca, sejarah puisi kita melahirkan para penyair yang menaklukkan konvensi (bukan menolak atau mengingkarinya) dan dengan kuat menawarkan inovasi. Di ranah prosa, kita bisa melihat bagaimana pengaruh inovasi Armijn Pane, Idrus, dan Iwan Simaptupang, misalnya, berhasil mendobrak dan membuka kemungkinan perkembangan tradisi baru.
Di daerah puisi, kita punya Amir Hamzah, Chairil, Sutardji, Afrizal, dan Jokpin, sekadar mengingat beberapa nama yang kerap disebut ketika kita bicara soal keberhasilan mendobrak konvensi, memperluas daerah penjelajahan puisi, membuka gerbang kemungkinan baru, dan menempatkan diri dan puisinya di gigir avant garde, dalam hal bentuk dan tema.
Penyair hidup dan bernapas dalam konvensi itu. Ia merawat tradisi, tapi harus juga ia lakukan bagaimana ia bisa menaklukkannya, bukan tunduk atau takluk pada kejumudannya. Sajak Chairil yang paling matang dari sisi isi ditulis dalam bentuk kwatrin yang rapi, bukan dalam bentuk sajak bebas. Kwatrin adalah konvensi klasik dalam bentuk.
Konvensi adalah zona nyaman, yang menyinambungkan kehidupan puisi kita, tapi harus diingatkan kita tak boleh terjebak di situ. Kita melihat para penyair berkerumun di sana agar tetap dianggap hadir. Dengan konvensi, mereka memenuhi undangan menerbitkan antologi bersama, dengan mengikut konvensi ia berharap bukunya dilirik penerbit.
Di situlah perlunya para pendobrak, para pembaru, untuk mengganggu keterlenaan perpuisian kita, dan mengusik kenyamanan para penyair yang girang ketawa-ketawa sambil memeluk konvensi persajakan umum.
Kita merindukan dan memerlukan banyak penyair yang dengan gagah mengambil risiko menjadi inovator, mendobrak konvensi, bereksperimen, dengan segala risiko yang kerap tak nyaman. Risiko itu adalah: ia dengan serta-merta disambut tepuk tangan dan dielu-elukan, atau hasil kerjanya tak terpahami, eksperimennya tertolak dan hanya dianggap kenes, lalu ia kelelahan, kehabisan energi kreatif, lalu berhenti dan kembali ke konvensi.
Di situlah pula kita bisa merasa cemas. Kita kekurangan para inovator. Atau bahkan yang kita hadapi adalah ketiadaan. Penyair muda, juga mereka yang sudah matang dengan pengalaman, seperti tak merasa perlu menyadari adanya ketegangan itu. Asyik berkubang saja di wilayah konvensi, jadilah puisi kita seakan menggenang saja, tak mengalir ke mana-mana.
Pada puisi, seni puisi, sebagai mana seni lain, kreativitas adalah mesin, adalah motor penggerak kemajuan. Juga padanya segalanya dipertaruhkan. Seorang inovator berada di garis itu. Sejarah puisi kita akan berisi bahan-bahan catatan yang kaya dan menarik apabila para penyairnya serentak, sendiri-sendiri dan bersama-sama menyinambungkan apa yang telah ada, mengulang hal-hal baik, mengembangkan yang belum maksimal dan masih mungkin dimajukan, dan terutama mengubah ke arah kemungkinan-kemungkinan baru.
Dan, itulah persoalannnya: pengarsipan hasil karya sastra kita jauh dari lengkap, jika tidak ingin dibilang buruk. Ada upaya-upaya pribadi yang harus diberi salut, tapi ketika bicara soal kesadaran untuk memanfaatkannya kita harus berpikir bagaimana membangun sistemnya.
Padahal, itulah bahan utama yang harus dirujuk dan diolah apabila seorang penyair hari ini ingin membangun fondasi persajakan yang kuat dan memperkuat tradisi perpuisian kita, juga apabila ingin mendobrak dengan inovasi baru. Ditambah lagi godaan untuk berkreasi nyaman di jalur konvensinoal—bahkan ngepop—terlalu besar. Sastra kita, dipenuhi orang yang berkreasi setengah hati—memakai istilah Budi Darma—dan kita memang kekurangan para inovator.
Wahai, para inovator sastra, di manakah kalian?
Hasan Aspahani, menerbitkan majalah Mata Puisi, mengelola situs www.haripuisicom, dan Ketua Komite Sastra DKJ 2020-2023.
Sumber: https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/08/wahai-para-inovator-sastra-di-manakah-kalian
0 notes
brazilquiver75 · 5 years ago
Text
link sbmptn 2019 (3)
Ini 12 Link Alternatif Pengumuman SBMPTN 2019
Bagi peserta yang menginventarisasi di program studi faktor seni dan olahraga, diwajibkan untuk mengunggah portofolio. Adapun jenisnya terbagi menjadi sembilan, yaitu portofolio olahraga, tari, teater, musik, seni karawitan, etnomusikologi, fotografi, film dan televisi, serta seni rupa, desain, dan kriya. Itulah informasi mengenai Pengumuman SBMPTN (pengumuman-sbmptn. ltmpt. ac. id)yang siap admin sampaikan. Semoga informasi tersebut dapat bermanfaat dan memberi pencerahan untuk kamu. Bagi anda yang mengalami kebingungan atau bagi yang membutuhkan panduan untuk tahu pengumuman SBMPTN, maka disini admin akan memberikan tersebut untuk anda. TPS menghitung kemampuan kognitif kamu, yakni penalaran dan pengetahuan umum. Kemampuan ini dinilai diperlukan di bangku perguruan menjulung.
Tumblr media
Peserta seleksi PBT, Prestasi, dan Portofolio dapat memilih 2 (dua) pilihan program studi dalam satu fakultas atau dua (dua) program studi di dalam fakultas yang berbeda.
Hal ini dikarenakan adanya mekanisme mahir wilayah.
Penyaringan Reguler adalah seleksi yang dilaksanakan berdasarkan jadwal yang ditetapkan oleh UIN Sunan Kalijaga Yogyakata setiap tahun sesuai dengan gelombang yang dibuka.
Pada tahun ini dijalani juga dengan seleksi memakai hasil dari UTBK yang dilakukan sebelum seleksi SBMPTN.
Peserta Ujian Datang Ke lokasi Ujian 30 Menit sebelum ujian dimulai dengan membawa Fotocopy kebenaran atau Surat keterangan lulus dari sekolah untuk dilakukan verifikasi data oleh dewan ujian. Memiliki berbagai keahlian ilmu yang mempelajari manusia sebagai makhluk sosial dan aspek-aspek yang berhubungan beserta lingkungannya, serta mempelajari budaya dan humanisme. Fakultas yang termasuk dalam rumpun kecakapan sosial dan humaniora ialah Fakultas Ekonomi dan Dagang, Fakultas Hukum, dan Fakultas Ilmu Sosial dan Kapasitas Politik. Calon Mahasiswa Pertama UPN "Veteran" Jakarta yang tidak melakukan pembayaran hingga tanggal yang ditentukan, dinyatakan mengundurkan diri. Siswa pendaftar dari rombongan kurang mampu secara per-ekonomian dapat mengajukan bantuan dana pendidikan KIP Kuliah. Memilih PTN dan program tafahus dengan ketentuan bahwa pendaftar dapat memilih paling tidak sedikit dua program studi pada satu PTN atau 2 PTN. Bagi siswa lulusan SMA/MA/SMK/Sederajat tahun 2018 serta 2019 atau lulusan Paket C tahun 2018, 2019, dan 2020 harus punya ijazah. Membantu perguruan tinggi untuk memperoleh calon mahasiswa yang diprediksi mampu menyembunyikan studi di perguruan tinggi berdasarkan nilai akademik saja atau nilai akademik & prestasi siswa lainnya. Pelajari prosedur pendaftaran program KIP-K dan ADik yang siap dilihat melalui laman kip-kuliah. kemdikbud. go. id serta adik. kemdikbud. go. id. Kampus Undana benar-benar tempat belajar yang luar lazim. Staf kami bekerja untuk melayani mahasiswa dengan standar yang ketat, akademik yang tinggi.
1 note · View note
raducimpoi · 7 years ago
Photo
Tumblr media
Romanian flutes *Iassy, collection*. 🎵#flute #traditional #etnomusikologi #etnic #romania #moldova #collection #instrument #music (la Vorovesti, Iasi, Romania)
0 notes
beritarayaidn · 2 years ago
Text
Etnomusikolog Prihatin Dengan Perkembangan Dan Pelestarian Kesenian Di Lombok Barat
Etnomusikolog Prihatin Dengan Perkembangan Dan Pelestarian Kesenian Di Lombok Barat
kabupaten Lombok Barat – Etnomusikolog, M.A Nur Kholis S.R, S.Sn, M.Sn yang juga ketua Ikatan Keluarga Penting Gambus Sasak ( IKPGS ) menilai perkembangan kesenian budaya di Kabupaten Lombok Barat mengalami kemunduran. Pihak Pemkab Lombok Barat tidak menyentuh secara langsung dan memahami bagaimana persoalan kesenian yang sedang terjadi.Lemahnya trobosan pelestarian kesenian budaya yang…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
jualanbukusastra-blog · 3 years ago
Photo
Tumblr media
PENERBIT SEMUT API ✨ Bedah Buku Homicide Vs Orde Baru ✨ 🗣️ Pembicara : Herry Sutresna a.k.a Ucok. (Eks Homicide) Aris Setyawan (Etnomusikolog dan Musisi) Biko Nabih Fikri Zufar (Penulis buku Homicide Vs Orde Baru) 🗣️ Moderator: Balqisnab (Editor Penerbit Semut Api) 🗓️ Sabtu, 19 Februari 2022 ⏰ 19.00 WIB - selesai 🏠 Zoom Meeting 🔗 Link Pendaftaran: https://tinyurl.com/DiskusiSemutApi Media Patner @kiosojokeos @jualbukusastra @serayabuku @cintaiotakmubook 📲 More info hubungi http://wa.me/6288216183715 #homicidevsordebaru #homicidebandung #homicidebdg #homicide #bedahbuku #bikonfz #musikrap #musik #MembacaAdalahMelawan #penerbitsemutapi @penerbitsemutapi (di Jual Buku Sastra-JBS) https://www.instagram.com/p/CaJfBcHhvA7/?utm_medium=tumblr
0 notes
squid-ink-personal · 3 months ago
Text
Musik Gondang Memerlukan Perhatian
Jika diibaratkan sebagai manusia, Viky Sianipar melihat musik gondang saat ini tengah bernegosiasi dengan malaikat maut di ruang ICU rumah sakit. Tubuhnya terbaring lemah, hidupnya bergantung dengan alat-alat. Musik gondang sekarat. Perlu perhatian serius!
Seperti nasib budaya tradisional lainnya, eksistensi musik gondang saat ini berada di ujung tanduk. Tak banyak yang perduli, bahkan orang Batak sendiri. “Orang batak sendiri sekarang nggak terlalu peduli dengan budayanya,” kata Pengajar Etnomusikologi IKJ Tarsan Simamora kepada Jurnal Nasional, Jumat (25/4).
Menengok ke belakang hampir punahnya musik gondang tak terlepas dari propaganda penjajah untuk memecah orang Batak. Musik gondang digunakan dalam upacara agama untuk menyampaikan doa manusia ke dunia atas. Ketika musik dimainkan, pemain sarune dan pemain taganing dianggap sebagai menifestasi Batara Guru. “Musik gondang dipergunakan untuk berkomunikasi dengan dunia atas dan rupanya tranformasi pemain musik ini terjadi untuk memudahkan hubungan dengan dunia atas,” tutur Viky.
Kemudian, lanjut dia, masuknya agama Kristen ke Tanah Batak mengubah kebudayaan masyarakat di sana. Bahkan gereja menganggap musik gondang yang identik dengan pemujaan roh nenek moyang sebagai bentuk penyembahan terhadap berhala.
Pada awal abad ke-20 Nommensen minta pemerintah kolonial Belanda untuk melarang upacara bius dan musik gondang. Larangan ini bertahan hampir empat puluh tahun sampai pada tahun 1938. “Itu merupakan pukulan telak bagi perkembangan musik gondang,” ujar Viky.
Viky juga mencoba menelaah kondisi sosial ekonomi masyarakat Batak saat itu, yang hidup dibalut kemiskinan. Jadi boro-boro memikirkan kebudayaan, kata Viky, mereka sudah terlalu sibuk memikirkan keluarganya mau makan apa.
Kondisi tersebut semakin diperparah dengan keadaan kaum muda yang tergilas oleh gelombang budaya Barat yang masuk ke Indonesia. Para generasi MTV ini lebih bangga mempelajari musik dari luar negeri. Musik tradisional seperti gondang ditingal karena dianggap kampungan. “Mereka berusaha meniru Amerika, padahal di Amerika mereka juga tidak dianggap,” kata pemilik Viky Sianipar Music Center tersebut.
Jarangnya musik gondang dipakai dalam upacara-upacara adat Batak, seperti penikahan juga menjadi fakta yang membuktikan minimnya kepedulian masyarakat terhadap kelestarian musik gondang. “Mereka malah lebh sering memakai organ tunggal, hanya satu dua yang menggunakan musik gondang,” tukas Jeffar Lumban Gaol.
Musik tradisional yang seharusnya diletakkan sebagai aset berharga, malah dibiarkan menguap begitu saja. Sehingga bukan suatu hal yang mustahil bila kemudian keberadaan musik gondang menguap tergerus zaman. “Padahal di world music, gondang memiliki lapak yang spesial,” ungkap Jeffar.
Keunikan musik pentatonik
Ditinjau dari kacamata etnomusikologi, gondang merupakan salah satu jenis musik tradisi Batak Toba. Namun gondang juga dapat diterjemahkan sebagai komposisi yang ditemukan dalam jenis musik tersebut. Ada dua ensembel musik gondang, yaitu Gondang Sabangunan yang biasanya dimainkan di luar rumah, di halaman rumah, dan Gondang Hasapi yang biasanya dimainkan dalam rumah.
Gondang Sabangunan terdiri dari sarune bolon (sejenis alat tiup-”obo”), taganing (perlengkapan terdiri dari lima kendang yang dikunci punya peran melodis dengan sarune), gondang (sebuah kendang besar yang menonjolkan irama ritme), empat gong yang disebut ogung dan hesek sebuah alat perkusi (biasanya sebuah botol yang dipukul dengan batang kayu atau logam) yang membantu irama.
Sarune Bolon adalah alat tiup double reed (obo) yang mirip alat-alat lain yang bisa ditemukan di Jawa, India, China. Pemain sarune mempergunakan teknik yang disebut marsiulak hosa (mengembalikan napas terus-menerus) dan biarkan pemain untuk memainkan frase-frase yang panjang sekali tanpa henti untuk menarik napas.
Menurut Viky, keunikan musik gondang terletak pada tangga nadanya. Ia menjelaskan, tangga nada pada musik gondang dikunci dalam cara yang hampir sama dengan tangga nada diatonis mayor yang ditemukan di musik Barat. “Sejauh yang saya tahu, tidak bisa ditemukan di tempat lain di dunia ini,” ujar Viky.
Seperti musik gamelan yang ditemukan di Jawa dan Bali, sistem tangga nada yang dipakai dalam musik gondang punya variasi di antara setiap ensembel, variasi ini bergantung pada estetis pemain sarune dan pemain taganing. Kemudian ada cukup banyak variasi di antara kelompok dan daerah yang menambah diversitas kewarisan kebudayaan ini yang sangat berharga.
Ogung terdiri dari empat gong yang masing-masing punya peran dalam struktur irama. Pola irama gondang disebut doal, dan dalam konsepsinya mirip siklus gong yang ditemukan di musik gamelan dari Jawa dan Bali, tetapi irama siklus doal lebih singkat.
Sebagian besar repertoar Gondang Sabangunan juga dimainkan dalam konteks ensembel Gondang Hasapi. Ensembel ini terdiri dari hasapi ende (sejenis gitar kecil yang punya dua tali yang main melodi), hasapi doal (sejenis gitar kecil yang punya dua tali yang main pola irama), garantung (sejenis gambang kecil yang main melodi ambil peran taganing dalam ensembel Gondang Hasapi), sulim (sejenis suling terbuat dari bambu yang punya selaput kertas yang bergetar, seperti sulim dze dari China), sarune etek (sejenis klarinet yang ambil peran sarune bolon dalam ensembel ini), dan hesek (sejenis alat perkusi yang menguatkan irama, biasanya alat ini ada botol yang dipukul dengan sebuah sendok atau pisau).
Tangga nada yang dipakai dalam musik gondang hasapi hampir sama dengan yang dipakai dalam Gondang Sabangunan, tetapi lebih seperti tangga nada diatonis mayor yang dipakai di Barat. Ini karena pengaruh musik gereja Kristen.
Sayangnya kekayaan musik gondang kurang mendapatkan perhatian. Beberapa musisi menyambung napas musik gondang yang tengah tersengal antara mati dan hidup dengan mengadakan acara Gondang Naposo. “Mirisnya acara tersebut diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta,” kata Jeffar.
Ada banyak jalan yang dapat ditempuh untuk menyelamatkan musik tradisional seperti gondang, di antaranya dengan mengadakan pertunjukkan yang dikemas secara modern. “Media berperan besar dalam menciptakan tren,” ujar Viky.
Senada dengan Viky, Jeffar juga menyarankan agar musisi lebih sering melakukan pertunjukkan musik tradisonal. Selain itu, ia juga menghimbau agar para musisi populer menyelipkan satu dua lagu dalam albumnya, untuk mempengaruhi anak muda. “Mereka punya pengaruh yang sangat besar,” tuturnya. (Grathia Pitalok)
0 notes
saungkopi · 4 years ago
Photo
Tumblr media
#SobatParekraf ada yang sudah tahu fakta unik tentang Candi Borobudur di bawah ini? 👇 Bukan hanya dikenal sebagai candi terbesar di dunia, #Borobudur juga menyimpan banyak pengetahuan tentang musik yang bisa ditelaah dalam reliefnya, lho. Ingin tahu lebih dalam bagaimana sejarahnya? Yuk, ikuti Seminar dan Lokakarya Borobudur Pusat Musik Dunia! Acara ini menghadirkan pembicara pakar dari bidang kajian budaya, sejarah, arkeologi, antropologi, dan etnomusikologi. Acara akan diadakan pada: 🗓️ 7 — 9 April 2021 Via Zoom Acara ini GRATIS dan terbuka untuk umum. Peserta TERBATAS hanya untuk 300 orang. Tunggu apa lagi? Yuk, daftarkan dirimu sekarang di: bit.ly/3weXWbJ Ditunggu kehadiranmu, Sob! 👋 #SoundOfBorobudur #BanggaBuatanIndonesia #BangkitBersamaKemenparekraf #WonderfulIndonesia #IndonesiaCare https://www.instagram.com/p/CNSgEDWhIpN/?igshid=bpc2aedtn6yn
0 notes
sinemeter · 5 years ago
Text
cold war
Tumblr media
“Let’s go to the other side. The view will be better there.”
Selama 15 tahun, dari tahun 1949 sampai 1964, di Eropa Timur yang dikerangkeng Tirai Besi Soviet, apakah hal yang bisa membuat cinta bertahan? Ideologi politik? Kebebasan artistik? Atau murni komitmen cinta dengan segala irasionalitasnya itu?
Politik & Seni Berkelindan Mencari Identitas
Polandia, sehabis Perang Dunia II, adalah negara yang sedang mengumpulkan puing-puing identitas mereka yang telah tercerai-berai. Salah satu puing yang coba dipungut lagi itu adalah musik rakyat. Para etnomusikolog menyusuri daerah pedalaman dan pengunungan Polandia untuk menggali musik-musik tradisional yang masih tersisa. Mereka merekam nyanyian para warga dalam bahasa lokal yang kental, komposisi lagu daerah yang dimainkan oleh instrumen tradisional, atau melodi-melodi lain yang begitu asing namun sekaligus juga familier. Familiaritas itu agaknya timbul dari tema-tema yang dinyanyikan musik-musik tersebut: kehilangan, harapan, kematian, kesenduan, dan kekosongan ─ yang kurang-lebih mewakili gambaran sebuah negeri yang nyaris luluh-lantak.
Sebagai upaya pelestarian budaya yang agak terbata-bata, para etnomusikolog itu mengundang para talenta muda Polandia untuk mengikuti audisi musik & tarian nasional di sebuah gedung kosong. Mereka hendak membentuk sebuah kelompok ansambel yang dinamai Mazurek, yang berpentas keliling kota khusus membawakan lagu-lagu serta tari tradisional Polandia. Mereka berusaha membangkitkan kepercayaan diri serta kejayaan bangsa lewat bakat-bakat alamiah dari rakyat yang selama ini tersisih oleh pergerakan zaman (“No more will the talents of the People go to waste!”). Maka penyeleksian dilakukan secara ketat. Peserta audisi yang gagal dipersilakan pulang, sementara yang lolos akan tetap tinggal untuk menjalani latihan yang rutin dan intensif. Bernyanyi dan menari jadi kegiatan utama anggota Mazurek yang penuh cita-cita itu.
Wiktor (Tomasz Kot) salah satu dari etnomusikolog yang mengisi peran sebagai pianis di Mazurek, menemukan sesuatu yang lain dalam audisi. Ia menemukan Zula (Joanna Kulig), gadis pirang berwajah Slavik yang dengan percaya dirinya menyanyikan lagu dari sebuah film Uni Soviet, bukan lagu rakyat khas pegunungan yang dibawakan oleh mayoritas peserta audisi. Suaranya memang bagus, penampilannya juga cukup menunjang sebagai penghibur di atas panggung, namun di luar itu ia menangkap suatu karakter yang di kemudian hari akan ia dapuk sebagai wujud cinta (“This one has something. Energy. Spirit. She’s original”). Mereka pun dengan mudahnya terlibat dalam sebuah hubungan asmara yang sembunyi, pelan, dan asyik melayang di wilayah komitmen.
Dua tahun setelah Mazurek terbentuk, kelompok ansambel itu mendapat kesempatan tampil di ibukota Warsawa. Pertunjukan yang turut dihadiri oleh para politisi dan pejabat negara itu berlangsung sukses, para penonton berdecak kagum dan beberapa menyampaikan langsung kekagumannya selepas acara. Mazurek dipandang sebagai harta karun baru yang berpotensi membawa nama Polandia lebih jauh lagi. Sebuah cita-cita yang sejatinya memang didambakan sebagai pencapaian dari sejak hari pertama.
Namun Mazurek, dan Polandia pada umumnya, sedang berada di era Perang Dingin di mana dunia seakan terbagi jadi dua kelompok ideologi, Blok Barat yang demokratis-liberal, dan Blok Timur yang sosialis-komunis. Polandia termasuk dalam tatanan Tirai Besi Uni Soviet yang sedang gigih membangun kutub kekuatan baru untuk mengimbangi dominasi ekonomi dan politik negara-negara Barat. Maka tak heran kalau Mazurek pun kena bujuk oleh otoritas untuk menyelipkan pesan-pesan propaganda dalam pertunjukan panggung mereka. Gagasan ini ditolak oleh Irena Bielecka, salah satu pendiri yang tak ingin seni rakyat disusupi agenda politik, namun disambut oleh Kaczmarek, salah satu pendiri yang merasa bahwa berkompromi adalah satu-satunya jalan bagi Mazurek untuk merentangkan sayapnya.
Statesman: “I think it’s time to add something new to your repertoire, about Land Reform, World Peace and the threats to it. A strong number about the Leader of the World Proletariat. And we, in turn, will do everything in our power to show our gratitude. And then, who knows… Berlin, Prague, Budapest, Moscow. What do you think?”
Irena: “I would like to express gratitude on behalf of the whole ensemble for your appreciation. But when it comes to our repertoire, it’s based on authentic folk art. The rural population doesn’t sing about Land Reform, Peace and Leaders. Simply doesn’t do it, so it would be difficult.”
Kaczmarek: “If I may, Comrade Bielecka, I assure you that our nation is not so ignorant, including its rural element. Quite the contrary, they will sing about those issues. As long as they are encouraged and given direction. This, I believe, is exactly what the role of our ensemble should be.”
Kaczmarek benar, bahwa dengan pentas di atas panggung yang menampilkan spanduk bergambar wajah Lenin dan Stalin sebagai latarnya, atau menyanyikan puja-puji terhadap keberhasilan program-program Soviet, Mazurek bisa melanglang buana ke Berlin, Moskow, Yugoslavia, dan kawasan Blok Timur lainnya. Penampilan mereka dielu-elukan, dipadati audiens, diberi aplaus meriah yang bergema di dalam auditorium.
Di antara penonton yang duduk sumringah itu mungkin hanya Wiktor dan Irena yang memandang ke arah panggung dengan kaku, terpisah sendiri-sendiri dari keriaan yang berlangsung di sekitar mereka. Tanpa bisa berkata-kata, pikiran mereka seolah berkecamuk menentukan mana yang benar atau salah, yang dibenarkan atau disalahkan secara moral. Secara artistik, jelas mereka menolak kompromi yang terjadi karena seni rakyat Polandia yang mengakar jauh sebelum Soviet terbentuk itu punya kemurnian yang tak layak dinodai. Gagasan pokok itulah yang membuat Wiktor memutuskan untuk menyelundup ke Paris, di malam ketika Mazurek tampil di Berlin. Baginya Polandia masih terlalu lemah untuk lepas dari jerat politik sehingga seni tidak punya keleluasaan gerak seperti seharusnya. Ia memutuskan pergi sebagai seniman eksil karena panggung pertunjukannya berubah jadi meja politik yang memanipulasi patriotisme atau nasionalisme dalam kontrol birokrasi.
Malam itu Wiktor secara tidak resmi melepas kewarganegaraan Polandia karena tinggal di wilayah Blok Barat saat itu otomatis dianggap mengkhianati negara. Tapi ia merasa seni rakyat sudah lebih dulu dikhianati oleh para pemegang tampuk kekuasaan, dan Paris adalah sebuah suaka yang bakal memperbarui kepercayaannya terhadap musik lagi. Polandia juga tidak pantas dipersalahkan. Sekali lagi, negeri itu masih berupaya mengenali dirinya sendiri, dan mungkin mereka baru menyadari bahwa seni belum cukup kuat menunjukkan itu. Maka Wiktor menunggu di perbatasan, niatnya sudah mantap, namun langkahnya masih tertahan karena Zula tak kunjung datang. Malam semakin larut dan Wiktor teryakinkan kalau dirinya harus pergi sendiri. Mungkin Zula juga telah ikut mengkhianati kepercayaan dan cintanya.
Tumblr media
Cinta dalam Pusaran Politik
Butuh sekitar 3 tahun lagi dari sejak Wiktor menyeberang sendirian ke Paris untuk bertemu kembali dengan Zula. Pertemuan itu sebenarnya tidak terlalu romantis, hanya berupa rendezvous singkat yang melepas sepersekian bagian kerinduan saja. Wiktor sudah berkarier di Paris sebagai pianis di sebuah kafe jazz, ia juga sudah punya pasangan seorang penyair eksentrik. Pun demikian Zula yang mengaku sudah berpasangan. Kedatangannya ke Paris hanyalah urusan yang sebentar, tanpa disisipi rencana megah untuk berduaan menghabiskan waktu. Zula hanya punya waktu semalam dan mereka hanya punya waktu berduaan sambil jalan kaki menuju penginapan Zula. Wiktor menyinggung alasan kenapa Zula tidak datang menemuinya di perbatasan sesuai janji waktu itu, dan alasan yang terucap tak lebih dari sekadar nostalgia perasaan yang tak lagi berarti.
Wiktor: “So can you tell me why you never came?”
Zula: “I felt it wouldn’t work. Not the actual escape… but I wasn’t up to it, wasn’t good enough.”
Wiktor: “Not good enough?”
Zula: “Not as good as you… and in general. You know what I mean?”
Wiktor: “I don’t. All I know is that love is love and that’s that.”
Zula: “And I know one thing. I wouldn’t have escaped without you.”
Pertemuan singkat itu meninggalkan kesan mendalam bagi Wiktor. Setelah sekian lama, berada di dekat Zula lagi meskipun itu tidak selalu menguasai harapannya selama ini, sukses membuat perasaannya membuncah. Ia bahkan terus terang mengakui kepada pasangannya sendiri, sepulang dari jalan bareng itu, bahwa ia baru saja bertemu dengan perempuan yang sangat dicintainya.
Setahun berselang, Wiktor mendatangi pertunjukan Mazurek di Yugoslavia. Dari kursi penonton ia memandangi Zula menari-nari sebagai pusat perhatian kelompok itu. Saat keduanya tak sengaja bersitatap, dari atas panggung raut wajah Zula seketika berubah. Mungkin ada rasa syok yang membuat senyumnya tertahan dan batinnya terguncang. Bagi Wiktor, itulah Zula yang sama yang ia kenali saat pertama. Sosok enerjik dan naif yang senantiasa berupaya menjalani hidup tanpa harus memahaminya. Sosok yang saat sedang berpeluk-pelukan bersama Wiktor di atas rerumputan dulu, mengaku kalau dirinya juga memata-matai Wiktor terkait perilaku antikomunis kepada Kaczmarek. Sosok yang di masa lalu pernah menikam ayah kandungnya sendiri demi harga diri.
Wiktor: “So what’s the story with the father?”
Zula: “Whose father?”
Wiktor: “Yours.”
Zula: “What do you mean?”
Wiktor: “What did you do time for?”
Zula: “He mistook me for my mother so I used a knife to show him the difference. He didn’t die, don’t worry.”
Tapi Wiktor tidak bisa terlalu lama duduk menonton Zula. Seseorang melaporkannya, dan ia digelandang oleh orang tak dikenal ke stasiun kereta dan diusir pergi dari Yugoslavia karena statusnya sebagai “pengkhianat” negara. Baru di tahun 1957 Wiktor dan Zula bisa bersatu lagi di Paris. Itu terjadi berkat Zula yang akhirnya menikahi orang Italia yang kemudian membuatnya mudah mendapatkan visa baru untuk tinggal lama di Prancis. Keduanya tinggal bersama, bercumbu, merajut kembali waktu-waktu yang hilang, mengaransemen musik bersama karena Wiktor hendak mengorbitkan Zula sebagai penyanyi solo.
Di Paris, segalanya berbeda dengan Polandia, atau negeri-negeri yang pernah Zula sambangi bersama Mazurek. Kafe, bioskop, jazz, dan pesta adalah gaya hidup yang berlaku sehari-hari. Kedatangan Zula sebagai “produk impor” negara Blok Timur membawa kesan eksotisme tersendiri di mata Parisian yang kemudian membuat Wiktor juga harus melebih-lebihkan kisah hidup Zula bahwa ia membunuh ayah kandungnya sendiri dan pernah menari untuk Stalin di Kremlin. Kisah-kisah tersebut menurut Wiktor akan membuat Zula menonjol sebagai artis pendatang baru karena dunia showbiz membutuhkan nilai jual yang semacam itu (“I wanted to give you more color. That’s how it works here”).
Di sisi lain, itu justru menimbulkan kemuakan bagi Zula. Segala polesan dan kepalsuan yang dibuat-buat itu, terutama yang menyangkut identitasnya sebagai warga negara Polandia, hanya membuatnya terasing dari dirinya sendiri dan juga dari Wiktor. Ia membuang piringan hitamnya sendiri, menghardik Wiktor sebagai eksil yang lemah syahwat, dan kabur pulang ke Polandia, rumah yang ia yakini sebagai miliknya selama ini. Gegar budaya membuat Zula rela mengembalikan dirinya ke tanah yang disebut-sebut kelam dan tanpa kebebasan itu karena justru ketertutupan Polandia telah membentuk identitasnya jadi begitu resisten terhadap perbedaan atau perubahan.
Kenekatan Wiktor untuk menyusul wanita pujaannya ke Polandia justru jadi malapetaka. Statusnya sebagai pengkhianat dan juga sebagai tertuduh mata-mata Barat membuatnya harus mendekam di kamp kerja paksa untuk 15 tahun. Bukan hanya itu, jemarinya pun dipatahkan sehingga ia tidak mungkin bisa lagi memainkan piano. Untuk itu Zula menebusnya dengan menikahi Kaczmarek, orang yang punya pengaruh politik cukup besar dalam mengurangi masa hukuman Wiktor. Ia bahkan “menggadaikan” dirinya dengan menjadi artis solo yang bernyanyi di panggung-panggung besar dengan pakaian terbuka dan wig hitam, sebagai simbol utama kebanggan Polandia dalam dunia hiburan.
Wiktor dan Zula bertemu lagi di tahun 1964, ketika segalanya telah berubah, dan kehidupan tidak lagi punya percikan yang menjanjikan bagi keduanya. Tak ada lagi mimpi-mimpi, hanya sisa-sisa harapan yang tercerai-berai seperti saat pertama kali keduanya bertemu. Keduanya melarikan diri ke perkampungan yang sepi, mengucap janji setia pernikahan berdua di sebuah gereja yang terabaikan, lalu menelan sejumlah pil yang akan membawa mereka menuju kematian. Tak ada lagi yang bisa mereka tunggu selain maut karena kehidupan terlalu berpihak kepada kekuasaan. Tak ada lagi yang bisa membebaskan mereka selain maut karena itulah tujuan akhir dari komitmen cinta mereka yang datang & pergi, putus & sambung, serta segala urusan irasional lainnya yang membuat mereka tarik-menarik bagai magnet.
Sepertinya memang hanya kematianlah yang mampu melanggengkan cinta di tengah putaran-putaran politik dunia yang seringkali abai memanusiakan manusia.
Tumblr media
oleh: Ikra Amesta
1 note · View note
atrfarhana · 5 years ago
Photo
Tumblr media
[MALAM BUDAYA 2019] Salam Budaya! Jangan lupa hadir pada rangkaian kegiatan acara dari Dies Natalis Ke-10 Fakultas Ilmu Budaya, sebagai malam puncak Acara ini Kami mempersembahkan Kegiatan Terbesar Dari Perayaan sejarah Terbentuk nya Fakultas Ilmu Budaya yaitu Malam Budaya dengan tema "Dasawarsa Gunita". Malam Budaya dilaksanakan pada: Hari/Tanggal: Minggu, 27 Oktober 2019 Pukul : 19.00 - 23.00 WITA Tempat : Swiss belhotel Samarinda (Princess Balroom) Guestar: - Irine Sugiarto Special Performance: - Allience - Yohana Yasiska - Etnomusikologi 2019 - Summia - K.Sus - Teater MAHIB'e - Etnomusikologi - Dll. HTM: - Mahasiswa/Umum : 25k - FIB : 20k - VIP : 40K - OTS : 35k Tiket dapat dibeli langsung di Ruang 6 (sebelah wifi corner) Kampus FIB Flores No. 01 Atau dengan pembelian Melalui Online dengan klik link berikut : bit.ly/TiketMalbud2019 Jangan lupa hadir dan pastikan kamu menjadi salah satu yang terkesan akan penampilan-penampilan yang disuguhkan Dari Penyelenggaraan Acara malam budaya 2019. Narabubung : - Hikma : 082323828227 - Fauzan : 081341546359 Salam, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Mulawarman Malam Budaya 2019 "Gemilang Budaya Sinari Nusantara" #MalamBudaya2019 #DasawarsaGunita #FakultasIlmuBudaya #UniversitasMulawarman https://www.instagram.com/p/B360d7LJ-HEpqOuvjPsxSjwVI6XbWqEdliE82c0/?igshid=sv7xib9khgwm
0 notes
kamilarina-blog1 · 8 years ago
Text
Pakar Etnomusikolog Asal Amerika Ungkap Alasan Musik Dangdut Diminati Ibu-ibu di Indonesia
Kamila Rina Pakar Etnomusikolog Asal Amerika Ungkap Alasan Musik Dangdut Diminati Ibu-ibu di Indonesia Artikel Baru Nih Artikel Tentang Pakar Etnomusikolog Asal Amerika Ungkap Alasan Musik Dangdut Diminati Ibu-ibu di Indonesia Pencarian Artikel Tentang Berita Pakar Etnomusikolog Asal Amerika Ungkap Alasan Musik Dangdut Diminati Ibu-ibu di Indonesia Silahkan Cari Dalam Database Kami, Pada Kolom Pencarian Tersedia. Jika Tidak Menemukan Apa Yang Anda Cari, Kemungkinan Artikel Sudah Tidak Dalam Database Kami. Judul Informasi Artikel : Pakar Etnomusikolog Asal Amerika Ungkap Alasan Musik Dangdut Diminati Ibu-ibu di Indonesia Seorang professor dangdut dari Amerika Serikat bernama Jeremy Wallach Ph.D, mengungkapkan penyebabnya. http://www.unikbaca.com
0 notes
malangtoday-blog · 8 years ago
Photo
Tumblr media
Bincang Budaya Timur Tengah di Indonesia Bersama Anne K. Rasmussen
MALANGTODAY.NET - Berkembangnya agama Islam di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari Timur Tengah. Muatan budaya timur tengah ikut masuk ke dalam konstelasi perkembangan Islam di Indonesia hingga saat ini. Profesor musik asal Amerika Serikat, Anne K. Rasmussen menjumpai, bahwa banyak aspek budaya yang menunjukkan keterikatan erat budaya timur tengah di Indonesia.��Hal ini bisa dilihat dari segi budaya melalui seni musik. "Sejak menginjakkan kaki di Indonesia, ketika saya dengar azan, salawat sampai musik dangdut. Dalam pendengaran saya itu ada perpaduan budaya timur tengah dengan budaya nusantara," terangnya kepada MalangTODAY di Kafe Pustaka Universitas Negeri Malang, Rabu (21/6) malam. Latar belakang Anne sebagai pakar sekaligus praktisi musik Timur Tengah ini mengatakan bahwa pengaruh tradisi asli seperti budaya Jawa, membuat warna tersendiri di blantika musik timur tengah di Indonesia. ""Tombo Ati" misalnya, adalah contoh tepat bagaimana dua unsur etnik ini berpadu," imbuhnya. Ia menambahkan bahwa musik-musik Islam di tanah air seperti Hadrah, Terbang Jidor dan Shalawatan. Bahkan musik dangdut menurutnya juga memiliki unsur musik Timur Tengah. Wanita kelahiran 1959 ini juga mengaku sangat terkesan dengan sikap kolaboratif dan keterbukaan para pelaku seni, budaya hingga tokoh agama di Indonesia. Tidak hanya dikenalkan saja, ia bahkan juga diajak berkolaborasi, terlibat langsung dalam kegiatan seni tradisi budaya dari ujung pulau Sumatera hingga ujung pulau Jawa. "Yang paling berkesan ketika saya diundang main dan diskusi bareng Cak Nun di Kenduri Cinta," terangnya. Sosok penuh dedikasi dari Anne K. Rasmussen setidaknya bisa memberikan teladan bagi kita semua. Tidak tanggung-tanggung, riset penelitian selama 15 tahun lebih ia lakoni. "Hanya berdiam diri membaca buku di perpustakaan, tidak akan membuat hasil penelitian kita kaya. Bahwa riset juga perlu untuk melibatkan diri langsung di tengah-tengah masyarakat, sekalipun saya hanya berfokus pada musik," tutupnya untuk berpamitan diri. Dedikasi atas riset budayanya tersebut, ia telah berhasil menelurkan berbagai judul buku dan jurnal penelitian. Diantaranya, yaitu "Women, The Recited Qur`an And Islamic Music in Indonesia" dan Divine Inspirations : Music and Islam in Indonesia.(azm/zuk)
Source : https://malangtoday.net/inspirasi/musik/bincang-budaya-timur-tengah-di-indonesia-bersama-anne-k-rasmussen/
MalangTODAY
0 notes
sumutberitaaja · 5 years ago
Text
Etnomusikologi USU Meriahkan Panggung Apresiasi Medan Berkah
MEDAN, Waspada.co.id – Mahasiswa jurusan Etnomusikologi USU meriahkan Panggung Apresiasi Medan Berkah yang dihelat di Jalan Cik Ditiro Medan, Jumat (13/3) malam. Mereka mengawali penampilan dari tiga bintang tamu yang dihadirkan malam itu. Musik khas Batak dengan alat khas tradisional pula seperti taganing, hasapi, seruling hingga garantung dimainkan dengan apik hingga menghasilkan musik meriah penuh ... http://dlvr.it/RRvXW3
0 notes
squid-ink-personal · 3 months ago
Text
Dari Sekolah Gondang Laguboti
Beberapa etnomusikolog Universitas Sumatera Utara memprihatinkan ‘keberadaan‘ musik etnik yang semakin tersisih oleh perubahan zaman. Tidak ingin meratapinya, mereka justru bergerak dengan pekerjaan besar: mengupayakan pelestarian. Dimulai dari sebuah desa kecil, Hutatinggi, Laguboti, Kabupaten Tobasa. Irwansyah Harahap, salah seorang ‘pejuang‘ kesenian itu, melalui surat elektroniknya, membagi pengalaman dan pandangannya kepada Jurnal Nasional, seperti berikut:
“Sekolah Gondang” di Laguboti merupakan satu bentuk pilot project dari “Program Revitalisasi Musik Tradisi” yang sedang kami (Rithaony Hutajulu dan saya sendiri) kerjakan, disamping tiga lokasi budaya musik tradisi lainnya di Sumatera Utara; Karo, Simalungun dan Pakpak. Pilihan rasional lokasi di Laguboti sebagai center kegiatan karena “tradisi gondang” yang menjadi subyek program revitalisasi berpusat di desa Hutatinggi, Laguboti Tobasa. Konteks aktivitas kegiatan “sekolah”nya sendiri (untuk lecture individual) tersebar di beberapa lokasi, seperti Laguboti, Porsea, dan Panamean.
Proyek kegiatan ini diawali dari pengalaman penelitian kami (sebagai etnomusikolog), khususnya di wilayah Sumatera Utara selama lebih kurang sepuluh tahun ke belakang, memperlihatkan bahwa kehidupan musik tradisi (termasuk Batak Toba) nyaris ditinggalkan. Oleh karena itu kami mengganggap, sangat penting untuk mengantisipasi keadaan ini.
Program revitalisasi yang kami kerjakan untuk tahapan awal ini difokuskan pada kegiatan pentransmisian pengetahuan musik dengan tujuan mempersiapkan regenerasi pemusik ke depan.
SDM-nya, semua etnomusikolog, pemerhati budaya, dan tentu saja para maestro musisi tradisi yang ada. Untuk program Gondang Batak, meliputi tujuh orang guru yang masing-masing memiliki dua-tiga orang murid. Kami sengaja membatasi jumlah murid agar proses pembelajaran bisa dilakukan secara lebih intensif dan juga target secara kualitatif tercapai.
Masing-masing murid difasilitasi dengan alat-alat musik yang menjadi pilihan. Murid yang terlibat adalah mereka yang memang bersedia dan memiliki minat untuk menjadi pargonsi di masa mendatang, jadi tidak hanya sekadar belajar. Mereka diminta memiliki komitmen tersebut sebelum direkrut sebagai murid. Kegiatan ini dibantu oleh yayasan The Ford Foundation Jakarta, bekerjasama dengan Universitas Sumatera Utara.
Dalam masyarakat tradisional Batak Toba, musik (gondang) memiliki peranan yang penting dalam berbagai aktivitas kehidupan mereka, tidak hanya dalam memenuhi berbagai kebutuhan sosialnya, tapi juga meliputi berbagai hal terkait dengan hal yang bersifat spiritual. Gondang utamanya dimainkan dalam kaitannya dengan berbagai ritual dan upacara keagamaan lokal-tradisional. Di samping itu gondang juga dapat dipertunjukkan di dalam konteks aktivitas seremonial adat.
Media Spiritual
Pentingnya peranan musik ini dapat dilihat dari salah satu filosofi dasar spiritual masyarakat Batak Toba tradisional yang menganggap bahwa gondang merupakan alat/media utama untuk mencapai dan membangun hubungan antara manusia dan Sang Pencipta (Mulajadi Na Bolon).
Sebagai konsekuensi, status sosial-spiritual yang demikian tinggi diberikan pada seorang pemusik pemusik gondang. Mereka juga tidak hanya dituntut kemampuan individunya dalam menguasai musik secara praktis, lebih dari itu ia mampu menguasai berbagai pengetahuan yang terkait dengan bentuk hubungan sosial/adat serta berbagai hal yang terkait dengan dunia spiritual dari masyarakatnya.
Dengan kata lain, oleh karena pemusik menjadi mediator utama dalam menjalin hubungan antardunia manusia (natural) dengan dunia para dewa (supernatural), maka ia harus mengerti dengan benar konteks dan tujuan dilakukannya sebuah ritual/upacara tertentu.
Dibandingkan dengan alat musik Batak Toba lainnya, ensembel gondang dipakai khusus untuk kegiatan upacara (walaupun dalam konteks sekarang fungsi ensembel gondang berkembang ke konteks hiburan). Selain ensembel gondang, di masyarakat Batak Toba terdapat juga alat-alat musik yang berfungsi sebagai hiburan pribadi seperti sulim, saga-saga dll.
Dibanding dengan etnis lain di Indonesia, keunikan ensembel gondang khususnya pada alat musik taganing (sejenis drum chime atau gendang bernada) yang dalam tradisi musik di dunia, jenis alat musik seperti ini–selain di tradisi Batak Toba (juga gonrang Pak-pak dan gonrang Simalungun)–hanya ada di Afrika dan Burma.
Proyek revitalisasi musik tradisi dalam format ini sudah berlangsung sejak awal tahun 2007 dan akan berlangsung hingga akhir tahun 2008. Dalam tahap ini kami sedang mencari metodologi yang tepat untuk dikembangkan menjadi semacam “kurikulum” sekolah gondang tradisional. Penting disadari bahwa, guru yang terlibat adalah seniman ahli yang mendapat ilmu secara oral tradisi.
Di samping itu, dalam tradisi Batak Toba, seperti juga hampir di seluruh tradisi musik di Indonesia, tidak ada sistem belajar yang khusus dijumpai di masyarakatnya di mana seorang murid belajar khusus keahlian musik tertentu. Seorang murid biasanya ikut kemana sang guru pergi, membantu pekerjaan gurunya sehari-hari, dan ikut sang guru ketika bermain musik di upacara. Dengan cara seperti itulah murid lambat laun belajar bermain musik.
Pola pengajaran yang kami lakukan adalah dengan mewajibkan setiap murid untuk belajar secara individu kepada guru sekali seminggu, kemudian satu sampai dua kali sebulan dilakukan latihan gabungan di mana seluruh murid dan guru berkumpul untuk melakukan latihan ensambel bersama-sama. Kami juga memberikan alat-alat musik kepada guru dan murid untuk memperlancar proses pelatihan.
Untuk memantau jalannya pelatihan kami meminta salah seorang tokoh budaya Batak Toba dari Hutatinggi untuk memantau proses pelatihan baik individu maupun kelompok. Kami sendiri, pihak organizing committee yang ada di Medan akan melakukan kunjungan untuk monitoring dan pendokumentasian selama satu kali sebulan. Kami juga meminta evaluator dari luar yaitu Prof. Dr Ramon Santos dari University of Philippine untuk melakukan evaluasi terhadap proyek yang kami lakukan. Beliau sudah melakukan satu kali kunjungan untuk mengamati perkembangan, metode dll dari program ini.
Sejak program ini dimulai, hasilnya sangat menggembirakan karena murid-murid yang terlibat telah mampu bermain dengan baik. Mereka sudah menguasai sekitar sepuluh gondang dengan teknik permainan yang sangat baik. Mereka juga sudah mulai terlibat di dalam upacara.
Kesulitan dalam pengajaran adalah dalam hal metodologi, pengajaran. Guru masih belum terbiasa mengajarkan dan menjelaskan bagaimana cara bermain musik, tekniknya, menyederhanakan permainannya agar mudah ditangkap murid. Mereka juga masih kesulitan untuk menyusun tahapan-tahapan atau jenjang pengajaran secara sistematis. Untuk itulah kami sebagai organizing committee yang semuanya adalah etnomusikolog juga bertindak memberikan saran dan masukan kepada para guru sambil mencari metodologi pengajaran apa yang tepat untuk diterapkan oleh masing-masing guru. Sejauh ini, kami belum melibatkan banyak lembaga, namun kami berharap untuk target kerja ke depan mungkin hubungan itu perlu dilakukan.
Kami juga berharap, pengembangan sekolah nantinya dapat dikerjakan di kota-kota provinsi seperti Medan dan Jakarta. Akan tetapi pada saat ini, kami lebih ingin berkonsentrasi pada pilot project yang sedang berlangsung. (Arie MP Tamba)
1 note · View note
tobasatu · 5 years ago
Link
tobasatu.com, Medan | Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Medan menetapkan T-Nol (Si Balkot) sebagai maskot dan Ayo Nyoblos menjadi jingle Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Medan Tahun 2020.
Ketua KPU Kota Medan Agussyah Ramadani Damanik mengatakan berdasarkan hasil penjurian, maskot yang dipilih adalah karya Hadi Oki Cahyadi. Sebuah karya berbentuk Balai Kota Lama Kota Medan yang diambil dengan angle sudut bangunan dan diberi nama T-Nol atau Si Balkot. Sedangkan untuk jingle, ditetapkan lagu berjudul Ayo Nyoblos karya Mahyudi ST.
“T-Nol (Si Balkot) yang berbentuk Balaikota Lama dengan angle sudut gedung karya Hadi Oki Cahyadi dan lagu Ayo Nyoblos karya Mahyudi ST telah ditetapkan sebagai maskot dan jingle Pilkada Kota Medan 2020. Penetapan tersebut berdasarkan hasil penilaian dewan juri yang dipilih dari luar KPU Kota Medan,” ungkap Agussyah kepada di Kantor KPU Kota Medan, Jalan Kejaksaan, No 37, Senin (23/12/2019).
Selanjutnya KPU Kota Medan akan meluncurkan maskot dan jingle Pilkada Kota Medan 2020 secara resmi pada Februari atau awal tahun mendatang. Selain peluncuran, akan dilakukan juga karnaval untuk memperkenalkan maskot dan jingle tersebut ke warga Kota Medan.
Agussyah mengapresiasi seluruh peserta lomba desain maskot dan jingle yang ikut berpartisipasi. Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap karya seni yang sudah didaftarkan seluruh peserta, KPU Kota Medan melalui proses penjurian yang independen akhirnya hanya bisa memilih satu maskot dan satu jingle untuk dipakai. 
“Semua karya seni yang sudah mendaftar bagus-bagus. Juri pun cukup kesulitan dalam pengambilan keputusan karena hanya satu yang bakal digunakan sebagai maskot dan jingle. Untuk itu kami sangat mengapresiasi antusiasme seluruh peserta yang telah berpartisipasi menyukseskan Pilkada Medan 2020,” ujar Agussyah.
Sebelumnya, KPU Kota Medan telah menetapkan tiga juri lomba desain maskot dan tiga juri lomba jingle. Untuk lomba maskot, juri terdiri dari Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara (USU) Dr Budi Agustono, kartunis dan juga praktisi komunikasi Muhammad Harris Putra dan Seniman Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU) Teja Purnama. 
Sedangkan lomba jingle, juri terdiri dari Ketua KPU Provinsi Sumatera Utara Herdensi Adnin, Bambang P. Handoko seniman etnomusikologi yang juga praktisi di bidang musik dan Ibnu Avena seorang antropolog yang juga musisi. Seluruh juri telah melakukan proses penjurian sejak akhir November 2019.(ts-02)
The post “Si Balkot” dan “Ayo Nyoblos” Akan Diresmikan Sebagai Maskot dan Jingle Pilkada Medan 2020 appeared first on tobasatu.com.
0 notes
merisaseana-blog · 6 years ago
Text
Cerita dari UKM Orkes Melayu ISI Solo, Dulunya Bilang Dangdut 'Ndeso', Kini Jadi Cinta Setengah Mati
Merisa Seana Cerita dari UKM Orkes Melayu ISI Solo, Dulunya Bilang Dangdut 'Ndeso', Kini Jadi Cinta Setengah Mati Artikel Baru Nih Artikel Tentang Cerita dari UKM Orkes Melayu ISI Solo, Dulunya Bilang Dangdut 'Ndeso', Kini Jadi Cinta Setengah Mati Pencarian Artikel Tentang Berita Cerita dari UKM Orkes Melayu ISI Solo, Dulunya Bilang Dangdut 'Ndeso', Kini Jadi Cinta Setengah Mati Silahkan Cari Dalam Database Kami, Pada Kolom Pencarian Tersedia. Jika Tidak Menemukan Apa Yang Anda Cari, Kemungkinan Artikel Sudah Tidak Dalam Database Kami. Judul Informasi Artikel : Cerita dari UKM Orkes Melayu ISI Solo, Dulunya Bilang Dangdut 'Ndeso', Kini Jadi Cinta Setengah Mati Semenjak menjadi anggota OM Vegasta, Maha berlatih vokal dangdut dengan Teti Darlenis, dosen Etnomusikologi ISI sekaligus pembina UKM tersebut. http://www.unikbaca.com
0 notes