#emo arthur nightingale
Explore tagged Tumblr posts
Text
When a bunch of crazy people get into a discord and have crazy conversation about a certain man and we go even more crazy... Have this emo looking ass Arthur because we all kinda went crazy for him and- well. Of course I would share.
#warframe#warframe art#warframe 1999#arthur nightingale#emo arthur nightingale#give this man some tattoos and piercings please#i will EAT HIM ALIVE#also yeah he gives major Viktor vibes#exes be exes bitches
397 notes
·
View notes
Text
So. I was told about the Emo Panda thing (not at the Hex quest yet myself). But.... I was inspired....
Arthur Nightingale, 1999, colorized.
#warframe#arthur nightingale#warframe arthur#idle chatter#idle gaming hours#doing this instead of starting the fucking lotus eaters quest#shitposting means you know i truly enjoy something.
41 notes
·
View notes
Video
youtube
[SPOILERS] Arthur Nightingale - Backrooms Romance Dialogue - Warframe 1999
So I finally sat down, had an argument with Davinci Resolve (I’m used to using Avid Media Composer professionally) and made a compilation of Arthur’s dialogue when he moves into your backrooms. Featuring oc Drifter Morrigan. Enjoy 8 mins of Arthur being romantic, horny and emo. The last one is the dirtiest I think.
33 notes
·
View notes
Text
here it is btw. "mostly" tuned to stuff that i think he would like. only like one or two self indulgent songs on here
rip arthur you would've loved early 00's emo rock songs
guh. made an arthur playlist
5 notes
·
View notes
Text
MALANG EMO REVIVAL (raw)






Bicara soal emo, emotive-hardcore atau post-hardcore, tak akan ada habisnya untuk mengulas tentang genre musik yang seakan lahir sebagai anak yang tidak diinginkan dari hardcore punk ini. Sebuah genre yang lahir tak sengaja berkat band bernama Rites of Spring yang dinahkodai oleh Guy Picciotto dan liriknya yang puitisnya mendekati Arthur Rimbaud dan Oscar Wilde namun dengan energi amarah Hardcore Punk di Washington DC 1985 atau dikenal dengan masa Revolution Summer. Emo, mengutip dari artikel “Emo (The Genre That Dare Not Speak Its Name)” oleh Jim Derogatis, merupakan genre yang pernah mengalami masa – masa awkward dalam keberadaannya, mulai dari penolakan yang paradox dari pionirnya dari Washington DC seperti Guy Picciotto dari Rites of Spring dan Ian Mackaye dari Embrace (bandnya setelah Minor Threat), lalu popularitasnya yang menanjak di pertengahan 90an dengan iconnya seperti Jawbreaker, Jimmy Eat World, The Get Up Kids dan Sunny Day Real Estate, dan puncak popularitas mainstreamnya di dekade 2000an dengan iconnya My Chemical Romance, Aiden, Panic At The Disco, Fall Out Boy, Saves The Day dan Alesana yang berbuah dua yaitu penerimaan masif dan pengecaman, bahkan persekusi dari kubu yang membenci elemen “fashioncore” mereka. Akan tetapi sepanjang dekade 2000an, emo memang sebuah genre yang seakan malu “mengakui diri nya sendiri” karena banyaknya kasus persekusi dan cibiran dari berbagai pihak terhadap elemen “menye” dan “lebay” yang bahkan sejak tahun 1985an dan puncaknya di mainstream emo 2000an. Memasuki 2000an akhir dan 2010an, Emo/post-hardcore mulai mengalami fase yang disebut emo revival. Sebuah fase yang ditandai dengan maraknya movement band yang menggali kembali kearifan elemen musik dari masa – masa indie-emo/post-emo 90an bahkan Revolution Summer 1980an, dimana elemen fashion dikesampingkan dan musik lebih diutamakan, meninggalkan cengkok “merengek” yang marak di tahun emo 2000an. Band – band seperti American Football, Braid maupun Cap n’ Jazz seperti revived atau bangkit kembali karena popularitas yang mendadak kembali meroket sejak tahun 2008an.
Midwest emo, sebuah sebutan bagi band – band seperti American Football, Braid dan Cap n’ Jazz yang mengimplementasikan elemen ketukan math-rock yang ganjil, terompet dan elemen jazz. Basicly midwest emo adalah pop-punk yang kebetulan lahir di daerah Midwest Amerika Serikat atau tepatnya di Chicago, Illinois, dengan berbagai variasi elemen yang saat itu bisa dianggap mendahului jamannya. Meloncat ke 20 tahun ke depan dan ke jarak 14.440,78 KM jauh dari pantai barat Amerika ke tepat di timur pulau Jawa, yaitu Kota Malang, Jawa Timur, Indonesia, emo revival mulai mendapat perhatian kembali sejak munculnya Write The Future sebagai band pop punk yang memasukkan sound dari band emo revival Into It Over It, diramu dengan keras namun heartfeltnya Knuckle Puck dan The Story So Far, lalu Shewn dengan ramuan galaunya Prawn, Foxing, spoken word ala La Dispute dan ambience dari Being As An Ocean dan terakhir Beeswax yang kental akan elemen math dari Mock Orange, Braid dan syahdunya American Football. Tiga nama berpengaruh yang membawa nama Malang terkenal dengan Emo Revivalnya itu mendadak menjadi pemicu untuk banyak band tercetus untuk membentuk band emo revival dan bahkan berubah haluan menjadi emo revival. Tapi apakah emo revival di Malang ini terjadi begitu saja atau karena trend? Untuk itu kita perlu mundur ke beberapa tahun ke belakang tepatnya 2007.
EARLY YEARS


Menurut salah satu narasumber dan salah satu scenester emo Malang yaitu Andrean Giovanni, Emo di Malang sudah masuk sejak 2001an ketika band – band seperti Finch mulai mempengaruhi muda mudi skena Malang. Namun pengaruh ini baru mulai terlihat dalam bentuk band sekitar dua tahun kemudian. Band – band seperti Kill My Hero, Evil By Envy, Son Of Sundance, Kids Next Door dan Take This Life mulai muncul di poster – poster acara underground kota Malang. Para anggota dari band band ini juga tidak melulu bermain di band – band emo saja, namun juga band – band metal, punk maupun hardcore di Malang. Seiring waktu kebutuhan untuk pentas yang tematik mulai muncul, akhirnya setelah seringnya nongkrong di kafe di sekitar Samantha Krida yaitu Café Maleo, muncullah ide untuk membuat satu gig tematik emo berjudul Hearts To Be One Heart 10 Juni 2007 dibawah kolektif Flying Nightingale. Gig ini juga mengumpulkan band – band yang berpartisipasi melalui demo submission. Kemunculan kolektif ini juga bukan tanpa rintangan, karena saat itu masih awal tahun 2007 dan masih ada xenophobia terhadap elemen fashioncore mereka, ancaman pun muncul dan puncaknya terjadi kerusuhan yang mewarnai sesi band terakhir gig mereka oleh oknum tak bertanggung jawab. Akhirnya Hearts To Be One Heart menjadi acara pertama dan terakhir yang tematik untuk Flying Nightingale, selebihnya kolektif mereka dihubungi untuk undangan perwakilan band agar ikut serta pentas di event antar kota seperti event Blood Brothers. Studio gig juga menjadi pilihan sejak Hearts To Be One Heart vakum, seperti penuturan Raditia Putra ex Mocking My Friend, sebuah band Malang yang mengaku terinspirasi Underoath, yaitu terdapat tempat langganan studio gig di bilangan Cengger Ayam sebagai jujugan. Selain itu ada juga tempat langganan lain yaitu café seperti di cafe Cinemax Sawojajar sangat support untuk gig underground Malang sampai tahun2014. Setelah beberapa tahun tidak ada kejelasan untuk terjadinya acara sekuel, band – band yang pernah berpartisipasi di Hearts to Be One Heart pun mulai menemukan aktualisasi di sound – sound baru dan identitas baru seperti deathcore maupun metal kecuali band – band seperti Kids Next Door, Son of Sundance dan Take This Life. Band – band emo di Malang pun jarang yang mempunyai rilisan fisik kecuali Take This Life, Ceremonial Victory, Son of Sundance dan Ballad For Romantic, sedangkan Kids Next Door Sendiri bisa ditemui di kompilasi – kompilasi yang beredar di saat itu. Sedikit mengenai kultur rilisan kala itu, band – band tersebut menurut Yogi Yudo dari Leftover, mengedarkan rekaman mereka secara self release yang di labeli sendiri dengan nama record label sendiri, salah bukti bahwa semangat DIY sangat kental di Malang. Keberadaan kolektif Flying Nightingale bisa dibilang redup sampai medio 2010an, namun seakan menolak redup, tahun 2012 kolektif Flying Nightingale kembali bangkit sesaat bertepatan dengan momen Underoath bubar untuk membuat acara tribute to Underoath



INFLUENCE MEDIA
Emo dengan musik dan segala elemen kultural yang mengikuti datang ke Indonesia melalui majalah Alternative Press yang ada di seksi majalah impor di toko – toko buku besar di Indonesia. Namun jasa terbesar ada pada dua media yaitu Internet dan Televisi satelit. MTV yang gencar – gencarnya mempromosikan band – band seperti My Chemical Romance, Cute Is What We Aim For, Dashboard Confessional dan Fall Out Boy menjadi pilihan diantara keterbatasan informasi di malang awal tahun 2000an. Walaupun media MTV memberikan keberlimpahan informasi namun ternyata tidak semua bisa mengakses layanan parabola atau televisi kabel yang saat itu sangat mahal. Masuklah era digital dimana Internet masih muda dan warnet – warnet dengan kecepatan tinggi masih jarang.
Pilihan utama ada di Prima Net menurut Andre, tak hanya download lagu – lagu yang sudah dilist sebelumnyua, layanan streaming youtube juga menjadi sumber untuk asupan gizi kultural, selain itu social media purba seperti Myspace dan Friendster group yang marak digunakan emokids kala itu menjadi opsi untuk membangun jejaring tour dan relasi. Selain itu, peran hacker amatir di kalangan pelaku musik independen di Malang juga besar. Dengan hacking skill yang minimum, impor majalah musik luar negeri dan rilisan – rilisan band – band emo idola menjadi terjangkau dan bahkan dengan budaya sharing yang kuat, teman – teman yang ada di lingkaran tersebut menjadi punya akses untuk produk – produk budaya tersebut. Untuk generasi emo revival seperti Eki Darmawan dari Shewn maupun Rizki Satoto dari Mansfield, layanan streaming yang begitu terjangkau di ponsel menjadi sebuah oase setelah era keterbatasan speed internet di dekade 2000an awal. Dengan layanan streaming, tak hanya band idola yang bisa dinikmati, akan tetapi untuk kebutuhan bermusik, fitur similar artist dan diskografi yang lengkap membuat mereka menjadi lebih eksplor.
Andrean Giovanni sebagai musisi yang mengalami hampir dua dekade di skena musik Malang pun juga menyadari hal itu namun dia melihat dari sisi referensi, bahwa dengan layanan seperti itu perbendaharaan musiknya sedikit terbantu untuk menjadi lebih mengakar atau nge-roots. Seakan menjadi elemen yang tak terpisahkan bahwa perkembangan emo di akhir 90an sampai 2010 tak bisa dipisahkan dari peran internet, bahkan menurut Andy Greenwald di bukunya Nothing Feels Good: Punk Rock, Teenagers and Emo bahwa diantara siklus musik emo yang tak berkesudahan internet menawarkan jalan keluar dan jalan ke depan: sebuah medium yang menghubungkan basement ke panggung besar dan individu ke komunitas (Greenwald, 2001, 58). Internet telah mengubah wajah musik punk, yang dulunya didominasi oleh regionalitas kini menjadi sesuatu yang sama sekali baru dan belum terjelajah: sebuah subkultur nasional, didominasi dan ditentukan oleh orang – orang yang terlalu muda untuk didengar dan terkenal namun cukup cerdik untuk membuat keberadaan mereka dirasakan. (Greenwald, 2001, 58). Dengan Internet, para remaja mempunyai sebuah "perkakas emo tercanggih" sebuah media pribadi yang para orang tua tak bisa pahami, dimana mereka bisa dengan mudah bertukar, mengakses dan berbagi musik, ide, berita, perasaan dan dukungan. Internet membuat sebuah artifak yang terabaikan selama satu dekade seperti "Pinkerton" dari Weezer untuk menjadi lebih dari pada sebuah rahasia (Greenwald, 2001, 56)
Menurut Anizar Yasmeen, media jaman early days tahun 2007an Radio yang mau menampung rilisan Indie yang sekeras emo masih Bhiga FM.Sedangkan menurut Yogi Sinyo, sekarang hampir setiap Radio mempunyai sesi indie di jadwal mereka jadi kesempatan publikasi lebih besar. Apalagi perkembangan ponsel dan sosial media, pengumuman acara bisa menjadi viral dalam sekejap. Yogi Sinyo juga menambahkan bahwa Fanzine juga sangat berpengaruh karena internet yang tidak segampang akses di ponsel sekarang segala pengumuman gigs dan review album teranyar adanya di zine seperti Common Ground dan Bubble zine. Booming distro juga berpengaruh menurut Andrean Giovanni, karena mereka juga tempat distribusi rilisan emo impor maupun lokal dan sebagai tempat promo dengan diputarnya lagu – lagu band emo dan melodic punk Malang oleh distro Red Cross (yang dahulu terletak di Seberang ITN Sigura - Gura lalu pindah ke Dinoyo), di saat distro lainnya memutar lagu metal.
Tak hanya medianya, peran propagandis musik seperti Alfan Rahadi pun juga penting. Menurut Eki, peran propagandis di Malang membuatnya lebih banyak eksplor dan rooting ke band – band sebelum tahun 2000an. Dandy juga mengaku bahwa peran propagandis juga membuat ia lebih percaya diri untuk menyebarkan karya lewat netlabel maupun layanan seperti Soundcloud. Seorang propagandis media juga tak hanya bergerak di media namun jalur promosi lainnya seperti tour organizer maupun mengenalkan ke orang – orang media di luar Malang untuk membuat musik – musik mereka lebih dikenal di luar kota. Peran seorang propagandis walaupun kecil tapi mampu membangkitkan percaya diri sebuah band untuk tak hanya menjadi jago kandang namun jago tandang berkat jembatan relasi yang dibangun bersama. ERA MALANG EMO REVIVAL

Skena musik di Kota Malang adalah skena yang kecil, artinya sering terjadi interaksi karena tempat tongkrongan yang dekat dan banyak juga personil yang bermain di multi band. Sehingga, band – band Emo Revival yang ada di Kota Malang muncul karena pergaulan yang sangat erat dan teman yang saling mempengaruhi baik secara referensi musik maupun dorongan semangat bermusik. Hal inilah yang membuat band – band yang masih bisa dihitung dengan jari bisa terasa ramai karena sering membuat acara bersama baik menyambut band tour maupun acara launching album.

Era Emo Revival di Malang tak bisa dipungkiri tak lepas dari campur tangan Dandy Gilang dan Write The Future, Bagas Yudhiswa dan Beeswax lalu Eki dan Afif dari Shewn. Twinkle sounds yang syahdu dan menggelitik hati itu takkan percaya diri dieksploitasi Bagas Yudhiswa jika tanpa stimulan dari Dandy Gilang dan dua rilisan solonya yang dirilis oleh Tsefula Tsefuelha dan rilisan EP Write The Future oleh Haum Entertainment. Beeswax dan Solo karir Dandy Gilang melesat di era yang sama yaitu tahun 2014, dan nampaknya itulah awal mula kemunculan emo yang berbau midwest maupun ambient post rock di Malang. Mei 2014 Write The Future merilis EP influential berjudul Bury My Trace Someone Will Take My Place dengan lirik penuh ansietas, paduan twinkle sound dan distorsi. EP ini menarik perhatian media musik regional dan bahkan nasional karena soundnya yang fresh dan liriknya yang artikulatif. Saat itu Write The Future belum banyak melakukan manuver tur dan jam terbang masih belum setinggi sekarang, namun diam – diam beberapa mata mengawasi dan mulai terinspirasi. Seperti Eki yang mengaku terdorong untuk mendirikan Shewn setelah pengalaman beberapa bandnya di masa lalu tidak bertahan lama. Spotify dan Youtube dianggap menjadi pembuka cakrawala untuk merangkul sound baru untuk diperkenalkan kepada skena musik Malang.

Lain hal dengan Bagas, ia membentuk Beeswax sebagai proyek bedroomnya, bahkan mengaku tidak mengetahui tentang Emo Revival walaupun dia sudah pernah bersentuhan dengan band seperti American Football dan Mock Orange, namun bagi dia mereka adalah Indie Rock. Ia mengetahui tentang Emo Revival sendiri setelah setahun kemudian disaat format bandnya berubah menjadi 4 personil. Menurut Bagas, emo revival di Malang mulai dikenal karena band band seperti Beeswax dan Shewn lah yang pertama memproklamirkan diri sebagai band emo revival ala midwest, walaupun ada band seperti Write The Future dan Much. Write The Future sendiri secara eksplisit memproklamirkan diri sebagai band pop punk walaupun ada elemen emo revival dan sedangkan Much memproklamirkan diri sebagai band Indie Rock.

Dandy Gilang sebagai manusia yang multiproject selang waktu setelah Beeswax muncul kemudian mempunyai niat membentuk band lagi selain solo act dan Write The Future. Setelah pengalaman spiritual menonton Lemuria di Jakarta, Februari 2014, ia kemudian mengajak pacarnya Aulia Anggi untuk bermain musik dan memainkan indie-emo yang didominasi cerita tentang suka duka hubungan berpacaran. Mengambil influence dari Lemuria, Rainer Maria dan Alvvays, Much melaju dengan pasti untuk mengukuhkan diri mereka di skena musik Malang. Nada yang catchy dan lirik yang sederhana namun penuh hook menjadi andalan mereka.

Disisi lain dua mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya Jurusan Sastra Inggris dipertemukan dengan visi yang sama. Guntur dan Bagas Asfriansyah. Mereka mengaku bahwa Eitherway ada karena kecintaan mereka pada kejujuran, keterusterangan, dan "quirkiness" dari Modern Baseball, jadi kalau ditanya influence terbesar apa, jawabannya pasti merekalah pondasi Eitherway, walaupun musik yang dimainkan sekarang ini tidak "tumpek-blek" sama dengan mereka. Tak hanya itu, lebih personal lagi Bagas dan Guntur sering bertukar pikiran— atau curhat, lebih tepatnya —tentang segala yang dirasa di kehidupan ini, yang jika mereka sebutkan mungkin tidak akan ada habisnya, yang pasti mostly tentang; solitude, lonesomeness, dan segalanya yang berhubungan dengan itu dan si pelakunya; yaitu Eitherway. Setelah diobrolkan matang-matang, karena mereka memiliki selera musik yang sama juga, kenapa tidak dibuat lirik saja semua "curhatan" itu, dan maka terbentuklah Eitherway sebagai media per-curhat-an dan untuk media solidaritas bagi penonton yang relate dengan apa yang mereka nyanyikan.

Lain hal dengan Mansfield, Rizky Satoto aka Dalbo dan Andrew mengawali Mansfield sebagai band beraliran pop punk, namun karena ditinggal dua personil awal mereka akhirnya jadilah Mansfield yang sekarang. Mansfield yang sekarang pun terjadi karena sebuah diskusi mengenai masa depan band, dan apa yang didengarkan akhir – akhir ini. Andrew dan Dalbo ternyata sedang sama - sama menyukai Counterparts. Akhirnya mereka pun menambah personil yaitu Dion, Devrizal dan Bogi jadilah Mansfield yang seperti sekarang. Mereka mengaku untuk beberapa waktu ke depan sreg dengan Mansfield yang post-hardcore/emo ini. Ada pula Mika, band yang diprakarsai Boim dan Nanda ini dibentuk setelah berkenalan dengan spotify dengan band – band melodic hardcore dan post hardcore yang termuat disana. Berasal dari background hardcore dan metal, mereka mencoba bermain di ranah post-hardcore dengan tema yang lebih ekspresif. Adalah momen perkenalan Boim dengan Beeswax yang membuat mereka lebih percaya diri untuk yakin di jalur emo revival. Beeswax membuka cakrawala Boim tentang midwest emo seperti American Football dan jatuh cinta kepada twinkly guitar sound tersebut dan mulai menginkorporasikannya di Mika. Rama sang gitaris mengaku bergabung dengan Mika pun dengan keyakinan bahwa emo revival menawarkan spirit eksperimental yang kental yang memungkinkan dia lebih bebas mengeksplor banyak sisi. Ardian Bagus sang bassist pula ikut bergabung karena sudah suka emo revival ini yang tersirat di bandnya yang bernuansa pop punk Every Rage Away. Menurut Nanda , Mika yang sekarang telah proses yang lama, dengan berbagai macam influence. Kesibukan kerja menjadi faktor lamanya proses brainstorming itu. Namun setelah melihat band seperti Shewn maupun Beeswax, Nanda mengaku terdorong sehingga menjadi Mika yang sekarang ini.


Ada pula band – band emo revival yang berasal dari generasi emo awal di Malang seperti Take This Life dan Leftover. Mereka adalah pelaku – pelaku yang mengalami revival baik secara konten kreatif maupun secara personal. Sebagai band yang pernah mengalami dua dekade Emo di Malang, Leftover diisi oleh orang – orang yang tidak asing di skena musik Malang. Sebut saja anggota – anggota dari Kids Next Door, Ceremonial Victory dan Son Of Sundance, beserta drummer dari War of Badar. Leftover memainkan post-hardcore dengan balutan ambience dan post-rock ala Counterparts dan Touche Amore. Band ini dibentuk saat vokalis Son of Sundance memasuki masa skripsi yang sibuk. Kemudian saat mereka diberi kesempatan pentas, ternyata melirik Andrean Giovanni dari Kids Next Door yang berdiri sejak 2003. Maka muncullah benih chemistry dan mereka sepakat membentuk band baru. Nama Leftover seakan menyiratkan bahwa mereka adalah sisa – sisa semangat Flying Nightingale yang menolak tua.

Take This Life berdiri sejak 2007an sebagai band dari vokalis Julius, terdiri dari teman – teman SMAnya. Yogi sang bassist mengaku bahwa dia sebelumnya adalah kru dari band tersebut. Sebelum menjadi Take This Life yang sekarang, band ini lebih banyak terinspirasi oleh 3rd wave emo Aiden. Kemudian berjalan seiring waktu mereka pun menambah asupan gizi yang lebih cadas dari Converge, Dillinger Escape Plan dan yang paralel dengan emo revival yaitu The Locust, sebuah band dari dedengkot screamo San Diego yaitu Justin Pearson (Swing Kids, Dead Cross, Head Wound City, Retox, dan The Locust). Nuansa ini muncul pasca EP There is No Deer in the Forest yaitu album Animus Animalis (2013). Take This Life kemudian merambah nuansa lebih berat di era Numbers (2015) dan Numbers part II(2017). Mungkin Take This Life bisa dibilang salah satu pionir skramz di Malang. Walaupun kondisi sekarang relatif lebih kondusif daripada 2007, Yogi Sinyo mengaku bahwa lebih ada pride datang ke acara dulu (Hearts to be One Heart) karena dikelilingi band yang setema, dan sevisi walaupun sekarang kesempatan band emo lebih banyak untuk tampil di acara multigenre ataupun acara emo tapi skala lebih kecil.
Emo Revival di Malang bisa dibilang berkembang karena tongkrongan yang sensitif dengan perkembangan terbaru musik – musik di era digital. Bahkan trend emo revival di luar kota Malang bukan menjadi alasan mengapa emo revival di malang booming. Hal ini tidak lepas dari campur tangan label – label rekaman yang mencermati perkembangan band –band emo revival di Malang seperti Haum Entertainment dan Barongsai Records. Menurut Vino Sungepet dari Haum Entertainment bahwa emo revival di Malang adalah selebrasi tersendiri yang tidak sekejap menarik perhatian regional. Menurut Vino, Emo Revival mulai dikenal di Malang karena band – band yang ada berani melakukan manuver laga tandang yang cukup sering seperti Write The Future dan Much yang lebih dulu tur di Jakarta dan puncaknya Beeswax saat bermain di We The Fest 2016 yang membuat publik Malang aware akan Emo Revival di Malang. Bahkan acara – acara bersponsor besar maupun acara kampus yang dulunya masih nyaman dengan band – band yang familiar dan itu – itu saja mulai memainkan Beeswax sebagai line up utama. Sebuah anomali bahwa Emo Revival dikenal di luar kota Malang dahulu baru dilirik di kota Sendiri. Vino sendiri mengaku bahwa ia merekrut band – band seperti Shewn, Beeswax (era First Step) dan Write The Future karena materi yang potensial dan bukan karena trend musik nasional. Kebetulan trend musik emo revival di Malang muncul bersamaan dengan Emo Revival di Jakarta dan Bandung. Yogi Sinyo juga menyadari satu hal bahwa akhir – akhir ini pengaruh emo revival juga sedikit merembet ke melodic hardcore kekinian ala More Than Life yang mulai melanda audience Malang. Ia melihat mulai bermunculan band – band hardcore dengan tema romantik dan bervisualkan floral maupun rumah.




Andi Wahono dari Barongsai Records mempunyai pandangan lain, menurutnya bahwa Emo Revival di Malang adalah skena yang cuek. Dia adalah skena yang menselebrasi dirinya sendiri tanpa terpengaruh skena di daerah Jakarta maupun Bandung. Band – band seperti Leftover maupun Beeswax (era Growing Up Late) pun ia rekrut karena alasan kedekatan dan karena materi yang bagus. Materi yang bagus menurut ia lebih penting karena akan didengarkan orang lain daripada memanfaatkan peluang trend musik yang ada. Bahkan usaha yang dimilikinya tidak profit oriented dan lebih mendekati sebagai usaha dokumentasi. Menurutnya ketika band mendapat review yang bagus, pasti label juga dapat mention, menurutnya itu sudah merupakan reward tersendiri. Kedua label ini juga ikut dalam kompilasi berstatus cult yang berjudul Revolution Autumn hasil prakarsa Indra Menus (vokalis band post rock skramz LKTDOV) dan Akhmad Alfan Rahadi (vokalis Laora dan publicist Beeswax). Revolution Autumn yang sudah sampai volume 2 ini ada untuk usaha dokumentasi skena emo revival yang saat itu masih muda dan belum semasif sekarang. Menurut Andi Wahono sendiri kompilasi ini sendiri juga tidak muncul karena trend, karena ia sendiri kenal kedua orang tersebut yang bertanggung jawab memang penggemar musik post-hardcore/emo yang mencakup berbagai era/wave dan berbagai style. Menurutnya Revolution Autumn saat itu memang diproduksi untuk orang – orang yang memang into dengan emo revival karena diproduksi pun secara terbatas. AFTERMATH




Genre emo dikenal sebagai genre yang mampu bertahan sampai 2-5 tahun namun diisi oleh band – band berusia pendek. Menurut Bagas dari Beeswax yang kini juga menaungi label rekaman Fallyears, band – band emo revival di Malang jika ingin bertahan harus mempertahankan produktifitas. Jam terbang pentas itu bisa didapat dengan mudah namun produktifitas adalah kunci keberhasilan band. Menurut Yogi Yudho dari Leftover, trend rilisan di era 2007an yang lebih ke self released dan kualitas produksi terbatas sudah jauh dilampaui oleh kesadaran produksi yang baik dan rilisan yang kontinu di era Emo Revival 2010an ini. Bahkan menurut salah satu soundman dan crew di Malang yaitu Ananda Khrisna, Emo Revival sekarang punya kans untuk bertahan karena band sekarang lebih aware dengan effect gear dan alat, dengan perkembangan teknologi, tutorial efek gitar, tutorial produksi rekaman, teknik bermain, dan setting audio di panggung lebih terjangkau sedekat kita mengklik Youtube di ponsel. Menurutnya, dengan kondisi skena seperti sekarang, bukan tidak mungkin band –band post-hardcore era 2012 yang sempat menghilang seperti Lights Out dan Laora bisa kembali lagi. Label pun tidak lagi didominasi oleh Barongsai Records maupun Haum Entertainment, kini ada label - label baru seperti Pop Flesh Records yang menaungi Whitenoir, Fourwall yang menaungi Wordsworth, Need Guts yang menaungi Newthings, dan Fallyears yang menaungi Beeswax, Dizzyhead dan Mika. Bahkan untuk kesempatan go-International , bisa terbuka lebar karena kualitas sound, strategi marketing dan International Relation yang lebih baik dari dekade yang lalu. Dengan tercantumnya Beeswax di kompilasi Emo Revival asia yaitu Emotion, No! keluaran Sweaty & Cramped [HongKong] and Qiii Snacks Records [GuangZhou], dan dirilis secara digitalnya First Step dari Beeswax via label Bandcamp Australia Broadcast Syndicate merupakan sebuah bukti bahwa Emo Revival di Malang bukan hanya sebagai selebrasi regional tapi bisa juga sebagai selebrasi Internasional khususnya di kawasan Asia Pasifik.


Originally uploaded at www.Supermusic.id (supermusic.id/supernoize/malang-emo-revival-gelombang-pembaharu-posthardcore-di-timur-jawa)
1 note
·
View note
Text
Mallwalkers: The Best of The Week
Fred Thomas. Photo: Jimmi Francoeur/Riot Act Media
Now that Super Bowl is a distant memory, things are truly starting to feel normal again. This week, the city will see multiple tours from the likes of Fred Thomas, Devendra Banhart, John Doe, and more with locals dropping sets as well. Houston, the next week is all planned out.
Wednesday you can begin at White Oak Music Hall downstairs when the indie rock of California’s Joyce Manor brings their emo-tinged goodness to the big stage. Riding high after the critical acclaim of their previous releases, their latest, Cody from late last year, is a new direction for the four piece. The folk punk of AJJ, formerly Andrew Jackson Jihad will provide direct support while the indie gruff of Philadelphia’s Mannequin Pussy will open the all ages show with doors at 7 pm and tickets between $16 and $20.
Over in the studio at Warehouse Live you can get groovy with the R&B of Ro James. James has been dropping plenty of jams from his latest release ELDORADO, and the sultry nature of his songs means that this show might sell out. Candice Boyd will provide direct support while the soul sounds of California’s MAJOR will open the all ages show with doors at 7 pm and tickets between $24 and $27.
Mockingbird Brother. Photo: Josef Kintley
Thursday you could head to Notsuoh for the post rock indie goodness of St. Louis’ Mariner. This four piece makes some pretty epic sounding songs, and their latest release, Bury You, is definitely worth hearing in person. Houston’s Mockingbird Brother will provide direct support with all their emo goodness while the dream pop of Houston’s Astragal will go on prior. The math rock of Galveston’s Blast Dad will open the 18 & up show with a $7 cover and doors at 7 pm.
Upstairs at White Oak Music Hall you could welcome back the family sounds of Eisley. While it’s been a little over three years since the band dropped a full length album, they’ve been releasing singles as of late with the progressive sounding “Louder Than A Lion” as their most recent. The pop rock of Nashville’s Civilian will provide direct support while the alt rock of Backwards Dancer will open the all ages show with doors at 7 pm and tickets between $15 and $17.
Arlo’s will host the beginning of a new series called Goflex & Chill featuring diverse DJ’s and party games as well. The 21 & up show with doors at 8 pm will feature sets from Mentoz Fresh, Post Boyz, and Lobo and it’s 100% FREE.
Mucky Duck will host the gorgeous vocals of NOLA’s Andrew Duhon. Mixing folk and Americana, Duhon offers up a road weary sound accompanied by subtle melodies that are difficult to shake. His latest release, 2013’s The Moorings, was nominated for a Grammy and it still hits today. The 21 & up show has doors at 9:30 pm and tickets between $20 and $22.
On Friday you can get started at Warehouse Live in the studio for another edition of Kiki Maroon’s Burly Q Lounge. The show that mixes live music, comedy, and burlesque is kind of a throwback to vaudeville while still keeping fresh and inventive. This edition will see music from Ryan Adam Wells as well as a special burlesque performance from Lollie Bombs. The 18 & up show has doors at 7 pm and tickets for $25 seated.
John Doe. Photo: Jim Harrington
Of course, if you’re a fan of LA punk band X, then you might want to head to Mucky Duck to catch a solo set from founding member John Doe. Last year Doe dropped the pretty amazing album The Westerner and having the opportunity to catch him in such an intimate setting doesn’t come often. The 21 & up show has doors at 7 pm and tickets between $25 and $7.
Downstairs on the big stage at White Oak Music Hall, the always engaging tunes of California’s Devendra Banhart. Quirky and without apology, Banhart has always made music that’s hard to compartmentalize, while his live shows are always a blast. His latest release, Ape In Pink Marble, from last year is a little softer while not deterring too much from his previous releases. There’s no word of openers or support, but that will more than likely change on the all ages show with doors at 7 pm and tickets between $25 and $33.
We Were Wolves. Photo: Randy Edwards
Nightingale Room will host a barn burner when We Were Wolves bring their full throttled rock to the Main Street room. These guys are a nonstop party with a live show that’s as intense as the riffs from 2015’s Ruin Your Weekend. The punk rock of Dead To The World will open things for the 100% FREE 21 & up show with doors at 7 pm.
Over at Walter’s the lo-fi garage rock of Detroit’s Tyvek will make their return to our fine city. Kind of like catching a tornado indoors, their live sets are pretty legendary while their latest album Origin of What from last year is pretty amazing. The critically acclaimed sounds of Fred Thomas will be on hand as direct support, and while his previous record was loved by all, his latest, Changer from this year, has him sounding like a modern day Lou Reed. Houston’s indie rock darlings Rose Ette will also be on the bill with a new cassette single to be releases as well, while the college rock of Huntsville’s The Hammer Party will open the all ages show with doors at 8 pm and a measly $10 cover.
The Secret Group will have the tiniest comedy show going, upstairs on their balcony with the Bad Idea show. Hosted by Zahid Dewji, the show is limited to how many people can fit on the club’s rooftop balcony and will have out of town comics alongside Britt Vasicek, Zach Dickson, and many more. The pay what you can show is all ages and has doors at 8 pm.
Satellite Bar will host a set from electronica act Rex Hudson. Started as a one man band, Hudson has grown things into a full band with lush sounds from his debut release No Return. The chillwave of Houston’s Whale Bones will provide direct support where St. Evie will go on prior. Passerby will open the all ages show with doors at 8 pm and a $10 cover for adults or $12 for under 21.
El Lago. Photo: Bayou City Photography
Rockefeller’s will have the album release from Houston’s Dollie Barnes. While the group has grown leaps and bounds since they began as a solo effort, their new album Caught In A Phase is pretty stellar, and their live sets are always fun. Houston’s Young Mammals will bring their indie rock goodness on as support while the dreamy rock of Galveston’s El Lago will open the 18 & up show with doors at 8 pm and a $10 cover.
On Saturday, if you missed Dollie Barnes at Rockefeller’s then you can swing by Cactus to catch an in-store set from the band. Performing songs from their new album Caught In A Phase, the all ages event gets going at 3 pm, and the 100% FREE set will have gratis beer for the adults.
Later on at The Secret Group, California punk legends Agent Orange will swing by to perform. Formed in the late seventies, these guys haven’t slowed down much, their live shows are always full of energy, and their latest release Real Live Sound, a live album, is over 25 years old. Late 90s punks Guttermouth will be on as direct support, while the never grow up pop punk of The Queers will go on prior. The insane energy of garage punks The Atom Age will open the all ages show with doors at 6 pm and tickets between $20 and $23.
Brumes. Photo: Uncredited/Courtesy of Artist/Facebook
Alt rock pop group Save Ferris will take the big stage at White Oak Music Hall downstairs. Converting from ska to pop, the 90s holdovers have recently returned with a new record, Checkered Past from this year. Houston horror punks, Brumes will open the all ages show with doors at 7:30 pm and tickets between $18 and $22.
Over at Walter’s you could get down at the Skin In The Game show. Featuring sets from Tim Woods and Flygerwoods, the show features DJ’s and hip hop acts that are worth making it out for. There’s more information here for the all ages show with doors at 8 pm and tickets for $5.
Big Top will host Splice Records singer/songwriter night featuring the road weary sounds of Arthur Yoria. Yoria has been dropping true gems as of late, his live sets are fun and feel intimate, and his latest single “Shake” is pretty hard to ignore. Buxton’s Sergio Trevino will also be on hand to perform while Heath Ledet is also scheduled to perform on the 21 & up show with doors at 8 pm and an $8 cover.
George West. Photo: Uncredited/Courtesy of Artist/Facebook
Over at Wonky Power Live, Houston’s George West will be on hand to drop his new EP, Palmetto. Of all the acts associated with the Wonky Power label, West is the one to keep the closest eye on as next level sounds, merch, and an intense work ethic mean he’s the sleeper act from their roster. His mix of chill wave and ambient music is something to behold and his live shows are definitely worth checking out. The show also features sets from DJ DNICE, Josiah Gabriel, and an opening performance from Melting Pot with doors at 8:30 pm and tickets for $5.
Grand Prize will have another edition of Love Tempo with Andy V and Luz. The good time get-down jams from these sets are always worth making it out for and this edition will feature a guest slot from Dallas’ P2P. The 21 & up show gets going around 9 pm and it’s 100% FREE.
The Alley Theater is branching out and is hosting a set from Houston’s The Hue. If you’ve never caught this group then you’ve definitely been sleeping, as their latest album, Aurora from last year, is pretty stellar and their energetic sets are pretty amazing, too. The event, titled Top Billin, will get going after the showing of Syncing Ink, it’s 18 & up, and it gets going around 10 pm or so. It’s 100% FREE with RSVP, found here.
On Sunday you could head over to the Bronze Peacock Room at House of Blues for the alt country of Dallas’ Wilderado. The four-piece has been making a steady stream of fans since their debut dropped a couple of years ago. Lately they’ve dropped a steady stream of singles including the catchy “Under The Weather.” They’ll also have the Americana of Houston’s Ruckus on as direct support and the twangy good time sounds of Second Lovers on as openers. The all ages show has doors at 7 pm and tickets for $10.
Tuesday you might want to head to Rudyard’s for the always popular show, Grownup Storytime. Presented by Boo Town, the show usually sells out the early show, so make sure you get there early. The 21 & up show has shows at 8 pm and 10 pm, both with a $5 cover.
Jonathan Richman. Photo: Angelina Castillo/High Road Touring
Continental Club will have the storied tunes of the always impressive Jonathan Richman by to perform. Richman has made quite the name, if not for anything other than his songs and appearances in the film There’s Something About Mary. While his last album came out in 2010, it should be noted that you’ll more than likely hear new songs as well as old favorites. His longtime drummer Tommy Larkins will be in tow for the 21 & up show with doors at 8 pm and tickets for $15.
The Secret Group will host another Sci-Fi Movie Night with Houston rapper Guilla. This edition will show the film “Dune,” and will also feature a DJ set from Mark Drew. The all ages event has doors at 8 pm and it’s 100% FREE.
That’s about all that’s happening around town this week. No matter what you decide, remember that drinking like an adult is in everyone’s best interest, so taking a safe ride home is greatly appreciated.
Mallwalkers: The Best of The Week this is a repost
0 notes