#daruratperokokanak
Explore tagged Tumblr posts
Text
Darurat Perokok Anak, Indonesia Harus Bergegas
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pasal 1 Ayat 1, Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Artinya, sampai seorang anak berusia 18 tahun, Ia masih harus dipenuhi hak dasarnya sebagaimana yang tercantum dalam Konvensi Hak Anak yang dikelompokkan dalam lima klaster oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yaitu, hak sipil dan kebebasan; lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif; kesehatan dasar dan kesejahteraan; pendidikan, pemanfaatan waktu luang, dan kegiatan budaya; dan perlindungan khusus. Negara memiliki kewajiban untuk turut andil bersama orang tua untuk memenuhi hak-hak dasar anak tersebut. Pekerjaan rumah Indonesia tentang pemenuhan hak dasar anak masih tergolong banyak, bahkan di bidang kesehatan dasar, Indonesia tengah memasuki masa genting: Darurat perokok anak.
Anak-anak sejatinya adalah generasi emas penerus bangsa, pada merekalah Indonesia akan bertumpu di masa depan. Sayangnya, dunia anak-anak tidak selalu cerah dan ceria seperti yang diasosiasikan selama ini oleh para orang dewasa. Banyak ancaman mengintai kepolosan dunia mereka, salah satunya dari industri rokok yang terus berusaha mengamankan konsumennya bahkan sejak mereka masih anak-anak. Indonesia dan rokok memang memiliki sejarah panjang. Mirisnya, kini anak-anak Indonesia yang terus menjadi korbannya. Salah satu hak dasar mereka yang termasuk ke dalam klaster kesehatan dasar dan kesejahteraan, masih jauh dari kata terpenuhi. Buktinya? Indonesia darurat perokok anak, jika tidak bergegas dan tegas menyikapi hal ini, bukan lagi generasi emas yang akan kita tuai, namun menjadi generasi yang harus kita tuntun dengan cemas.
Tercatat dalam Riset Kesehatan Dasar 2013, ditemukan bahwa prevalensi perokok anak di Indonesia mencapai 7,2%, kemudian meningkat menjadi 9,1% pada 5 tahun berikutnya, yaitu pada Riset Kesehatan Dasar 2018. Sedangkan data terbaru yang dikeluarkan oleh World Health Organization (WHO) melalui riset Global Adult Tobacco Survey (GATS) menyebutkan bahwa negara kita juga darurat perokok karena 25% rakyat Indonesia adalah perokok. Berdasarkan data tersebut, maka pada 2021 lalu tercatat sebanyak 69.1 juta penduduk Indonesia adalah perokok. Kemudian, jika menggunakan data ini untuk menarik jumlah total perokok anak, maka 9.1% dari 69.1 juta adalah sebanyak 6.288.100, itu adalah jumlah anak-anak Indonesia yang terjerat bujuk rayu industri rokok dan menjadi perokok. Enam juta sekian anak yang seharusnya bisa mendapatkan kehidupan sejahtera dengan kesehatan baik, harus terenggut haknya karena kelalaian negara dalam membendung gempuran industri rokok yang terus mengepung masyarakat Indonesia, juga anak-anaknya. Perlu digarisbawahi, bahwa data yang tertuang di atas adalah data perokok anak 2018, mari berdoa bahwa jumlahnya tidak naik pada tahun 2022 ini.
Jerat Rokok Pada Anak-Anak
Entah dari mana asal-muasalnya, rokok erat dikaitkan dengan budaya Indonesia. Hal ini yang seringnya dijadikan pembenaran oleh para perokok, bahwa mereka merokok karena memang budaya masyarakat Indonesia merokok. Nyatanya merokok hanyalah kebiasaan, bukan kebudayaan Indonesia. Jika ditarik mundur, kebudayaan merokok justru berasal dari suku Indian di benua Amerika yang kemudian menyebar ke seluruh dunia (dikutip dari laman Tobacco Control Support Center). Perokok dewasa tentunya menjadi salah satu faktor yang menjadikan anak-anak terjerat rokok. Anak-anak secara naluriah akan cenderung selalu meniru semua perilaku orang dewasa di sekitarnya. Mengutip hasil penelitian Health Education Research pada tahun 2006, melalui salah satu artikelnya yang meneliti secara kualitatif persepsi merokok anak-anak Indonesia dengan responden anak laki-laki pada kelompok usia 13-17 tahun, menggunakan metode Focus Group Discussion (FGD), penelitian dengan judul ‘If I don’t smoke, I’m not a real man’—Indonesian teenage boys’ views about smoking (Kalau saya tidak merokok, saya bukan lelaki sejati - Pandangan Remaja Laki-Laki Indonesia tentang Merokok) menemukan bahwa anak-anak mulai merokok karena terbiasa dengan lingkungan mereka. Para anak laki-laki yang berasal dari Jawa Tengah tersebut mengatakan bahwa di rumah, setidaknya salah satu anggota keluarga mereka merokok dan dalam kehidupan sosial mereka sebagian besar teman-teman mereka adalah perokok. Ini cukup menguatkan bahwa perokok dewasa sangat memegang peran penting dalam menjadi perpanjangan tangan industri rokok untuk merekrut konsumen baru, para anak-anak di sekitarnya.
Kemudahan akses terhadap rokok juga menjadi faktor berikutnya yang membuat jerat rokok pada anak semakin mudah. Penelitian dari Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) pada Juni 2021 memaparkan secara gamblang bahwa akses pembelian rokok di DKI Jakarta yang notabene Ibu Kota Indonesia saja, masih sedemikian mudahnya. Dalam radius 1 km2 ada setidaknya 15 warung eceran rokok di DKI Jakarta. Sementara itu, dalam radius sekitar 100 m dari SMP, SMA/SMK negeri dan swasta di DKI Jakarta, terdapat ratusan warung penjual rokok eceran, 124 warung rokok eceran yang berdekatan dengan SMP dan 236 warung rokok eceran yang berdekatan dengan SMA/SMK. Sungguh sebuah data yang cukup menguatkan bahwa rokok adalah komoditas yang begitu mudah diakses oleh generasi anak-anak kita. Meski rokok adalah produk yang dilabeli untuk usia 18 tahun ke atas, pada praktiknya penjual rokok di warung eceran tidak menjadikannya sebagai sesuatu yang serius. Mereka tetap mau menjual kepada para anak-anak sekolah tersebut. Harga rokok batangan yang murah juga menjadi faktor kemudahan lainnya bagi anak-anak untuk membeli rokok. Dalam penelitian ini juga menyebutkan bahwa warung rokok eceran ini juga menggunakan media promosi di warungnya, seperti poster dan spanduk, yang menjadi daya tarik para konsumen anak-anak untuk membeli rokok di warung mereka. Belum adanya aturan tegas mengenai pengaturan penjualan rokok ini telah menjadi bom waktu yang siap meledak di masa depan bagi generasi yang digadang-gadang akan menjadi generasi emas Indonesia ini.
Stigma rokok yang beredar di masyarakat juga menjadi jurus industri rokok berikutnya untuk mengikat erat generasi anak-anak Indonesia. Mengutip kembali penelitian Health Education Research pada tahun 2006, ada salah satu pernyataan dari salah satu anak lelaki yang menjadi responden penelitian tersebut bahwa “Jika saya tidak merokok, saya belum jadi lelaki sejati”, ini adalah bukti bahwa merokok masih memiliki stigma dan asosiasi positif di kalangan anak-anak. Bahwa merokok adalah simbol maskulinitas, merokok itu keren. Dari mana pikiran-pikiran tersebut tertanam di otak anak-anak? Tentunya tidak lain dan tidak bukan dari lingkungan yang terus menggempur mereka dengan rokok itu sendiri. Meski sudah dilarang untuk menampilkan wujud rokok pada tiap iklannya, iklan rokok selalu dibuat sedemikian rupa dengan atmosfer yang positif. Meski sudah diberikan peringatan tertulis dan bergambar pada tiap bungkus rokok mengenai bahaya merokok, iklan rokok dengan penggambaran positif di media televisi dan internet masih menang dalam hal penguasaan atensi masyarakat, utamanya anak-anak remaja. Hal ini didukung oleh temuan riset GATS yang menunjukkan adanya peningkatan media promosi rokok melalui internet yang pada 2011 hanya 1,9% saja menjadi 21,4% di tahun 2021. Jika iklan rokok pada media televisi sudah memiliki regulasi yaitu waktu penayangan pada malam hari, pada media internet ini belum ada pengaturan yang jelas sama sekali, menjadikan anak-anak riskan terpapar iklan rokok melalui internet.
Bagi keberlangsungan bangsa Indonesia, darurat perokok anak adalah sungguh suatu tanda bahaya. Sebaliknya, fenomena ini adalah ladang cuan dan keuntungan sebesar-besarnya bagi segelintir orang, para bos industri rokok. Bagaimana tidak? Mereka berhasil mendapatkan konsumen loyal jangka panjang jika berhasil menyasar anak-anak, karena sifat adiksi rokok yang membuat anak-anak susah lepas dari kebiasaan merokok jika sudah terpapar, yang seiring berjalannya waktu akan menjadikan mereka perokok dewasa atau konsumen loyal industri rokok. Bahaya bagi Indonesia jelas terprediksi nyata, sebagaimana yang dikatakan oleh Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi yang dikutip melalui artikel katadata.co.id bahwa target Sustainable Development Goals (SDGs) terkait penurunan prevalensi perokok di Indonesia menjadi 40% akan terancam gagal, dan tentunya bonus demografi yang dicanangkan maju pada 2030 nanti, bisa menjadi momen antiklimaks bagi Indonesia, karena generasi yang adiksi rokok akan menjelma menjadi generasi yang kurang sejahtera secara sosial dan kesehatan. Alih-alih mendapatkan bonus demografi yang berkualitas, Indonesia hanya akan menanggung beban dari rakyat yang sakit dan kurang kompeten karena terjerat rokok ketika masih anak-anak.
Rayuan Baru Rokok Elektrik
Jika biasanya evolusi diidentikkan dengan perubahan makhluk hidup, rupanya industri rokok kini tengah melakukan evolusi untuk produk mereka dengan menghembuskan rayuan baru berbentuk rokok elektrik. Jika rokok konvensional berbahan baku utama tembakau, rokok elektrik ini memiliki sensasi lain karena bahan utamanya adalah likuid mengandung nikotin dengan beragam varian rasa. Akrab disapa vape, rokok elektrik juga mendoktrin pencandunya bahwa mereka bukan perokok. Padahal bahaya dan resikonya tidak jauh lebih ringan dari rokok konvensional. Di kalangan aktivis anti rokok, jenis rokok elektrik dikenal sebagai rokok yang berganti baju, dari bentuk konvensional, menjadi bentuk yang lebih mutakhir yaitu vape. Rokok elektrik dengan aneka rasanya ini juga menjadi polemik tersendiri dan jurus jitu untuk menarik minat anak-anak, karena ada rasa buah-buahan, anak-anak lebih penasaran dan ingin mencoba. Terbukti, saat menghadiri webinar Hari Anak Nasional pada 28 Juli 2022, yang diselenggarakan oleh Lentera Anak dan FCTC Indonesia, ada salah satu pembicara yang membagikan pengalamannya memiliki seorang adik usia SD, menjadi perokok elektrik dan membeli melalui marketplace. Sekali lagi, regulasi yang belum kuat masih menjadi akar masalah kejadian ini. Rokok elektrik memang dilarang untuk diperjualbelikan kepada anak-anak, namun pada prakteknya, masih banyak anak-anak yang bisa mendapatkan akses terhadap rokok elektrik, dengan membeli melalui marketplace dan juga membeli langsung via titip beli kepada orang dewasa.
Rokok elektrik meski tidak mengandung tembakau, sama bahayanya dengan rokok konvensional. Sebagaimana yang disampaikan oleh dr Agus Dwi Susanto, SpP(K), Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) yang dikutip melalui laman kompas.com, mengatakan bahwa meski tidak mengandung tar, rokok elektrik tetap mengandung nikotin dan bahan karsinogen lainnya yang bisa memicu berbagai penyakit seperti iritasi pada paru-paru, gejala pernapasan, bronkitis, asma, PPOK, pneumonia, paru-paru bocor, kanker paru, pneumonitis, dan evali akut yang menyebabkan sesak nafas tiba-tiba. Jika pengonsumsinya adalah anak-anak, bisa dibayangkan bahaya tersebut dua kali lipat resikonya, karena organ anak-anak yang masih pertumbuhan dan belum mencapai fungsi yang maksimal seperti orang dewasa.
Indonesia Harus Bergegas
Ibu pertiwi tengah bersusah hati, menyambut tahun ke 77 kemerdekaannya, ada masalah pelik yang harus bergegas ditelisik. Pemerintah harus segera melakukan tindakan counter attack agar generasi emas kita tidak hilang karena terjerembab jerat rokok. Salah satu langkah nyatanya adalah dengan percepat revisi PP 109/2012 yang sudah selama 2 tahun lebih tertunda, meskipun presiden sudah memberikan mandat melalui Perpres No.18/2020 dan Menko PMK sudah mengirim surat kepada Menteri Kesehatan agar menyelesaikan pembahasannya. Namun pemerintah melalui Kementerian Kesehatan masih belum menyelesaikan dan mengesahkan revisinya.
Lima poin utama yang terus disuarakan para aktivis dan lembaga pada revisi PP tersebut antara lain: 1.) Perluasan peringatan kesehatan bergambar, 2.) Larangan penjualan ketengan, 3.) Larangan iklan terutama di internet dan media luar ruang, promosi, dan sponsor rokok, 4.) Pengaturan rokok elektronik seperti pada rokok konvensional, 5.) Pengawasan dan sanksi. Kelima pokok utama tersebut harus disahkan dalam revisi PP 109/2012 agar bisa dijadikan sebagai kado terindah dirgahayu ke 77 Republik Indonesia kepada generasi penerus bangsa. Nantinya, dengan disahkannya PP dengan tambahan lima poin tersebut, pemerintah telah membayar hutangnya pada anak-anak Indonesia dengan upaya perlindungan hak kesehatan mereka, agar prevalensi perokok anak juga bisa tercapai pada angka 8.7% pada tahun 2024 sebagaimana yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 -2024.
Indonesia harus bergegas agar tidak kehilangan generasi emas. Mari susul Thailand dan Brunei yang sudah gagah berani patuhi dan tegakkan peraturan tegas pelarangan total, baik iklan langsung, promosi, sponsorship, display di tempat penjualan, CSR, display pack, dan cross border (Data Yayasan Lentera Anak). Indonesia berkejaran dengan waktu, semakin cepat sahkan revisi, semakin banyak anak-anak Indonesia yang akan terlindungi dan terselamatkan dari jerat rokok.
Jika menunggu pemerintah rasanya lama dan entah kapan realisasinya, mari kita mulai dari lingkungan terkecil di rumah kita sendiri. Bangun stigma negatif rokok, jaga dan tuntun anak-anak kita agar tidak terjerat rokok sedari dini. Meski efeknya tidak sebesar jika pemerintah yang bertindak dari hulu, setidaknya kita menjalankan peran kita dengan sebaik-baiknya. Menjaga anak-anak kita masuk ke daftar jutaan anak indonesia yang menjadi korban kepungan industri rokok. Dirgahayu ke 77 Indonesiaku, semoga menjadi maju bisa segera tercapai di negeriku, sejahtera serta sehat jasmaninya, bebas dari adiksi rokok toksik, supaya generasi emas bisa tercapai dengan baik.
Referensi:
https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/2970/indonesia-setelah-30-tahun-meratifikasi-konvensi-hak-anak
http://www.tcsc-indonesia.org/rokok-bukan-budaya-asli-indonesia/
https://protc.id/densitas-dan-aksesibilitas-rokok-batangan-anak-anak-usia-sekolah-di-dki-jakarta-gambaran-dan-kebijakan-pengendalian/https://protc.id/health-education-research-if-i-dont-smoke-im-not-a-real-man-indonesian-teenage-boys-views-about-smoking/
https://katadata.co.id/yuliawati/berita/629a4c7ae4079/indonesia-darurat-konsumsi-rokok-25-penduduk-jadi-perokok
https://www.kompas.com/sains/read/2022/08/13/203100623/vape-tak-lebih-aman-dari-rokok-konvensional-apa-saja-bahaya-vape-rokok-?page=all#:~:text=Vape%20rokok%20menghasilkan%20sejumlah%20bahan,%2C%20asma%2C%20serta%20kanker%20paru.
https://www.lenteraanak.org/content/berita_terkini/darurat_perokok_anak_serbuan_iklan_rokok_dan_regulasi_yang_lemah
https://www.republika.co.id/berita/rghvg4349/darurat-perokok-anak-6-organisasi-minta-segera-disahkan-revisi-pp-tembakau
0 notes
Text
Pictorial Health Warning (PHW) atau peringatan kesehatan bergambar yang dicantumkan dalam bungkus rokok akan meningkatkan pemahaman publik terkait bahaya rokok serta meningkatkan persepsi kekhawatiran dan rasa takut akan dampak negatif dari merokok yang mampu mencegah merokok dan mendorong berhenti merokok.
Semakin besar PHW di bungkus rokok, semakin besar persentasi masyarakat berhenti merokok dan tidak mulai merokok.
Namun sayangnya, PHW di Indonesia masih sangat kecil jika dibandingkan dengan negara lain. Selain ukuran yang kecil, peringatannya ditutupi oleh pita cukai. Praktik ini tidak memenuhi peraturan dalam PP109/2012 tentang pengamanan zat adiktif.
Maka, perlu adanya revisi PP109/2012 untuk mengatur perluasan PHW, sehingga diharapkan dengan ada perluasan PHW memberikan hasil maksimal dalam upaya perlindungan kesehatan anak dan masyarakat terhinddar dari zat adiktif.
#revisiPP109 #warisanjokowi #daruratperokokanak #pantauktr #yayasanpusakaindonesia
Tag: @kemenkes_ri @jokowi @kyai_marufamin @kemensetneg.ri @budigsadikin
1 note
·
View note
Text
Rokok elektronik adalah produk yang saat ini sedang marak dan disinyalir menjadi salah satu produk perantara untuk mulai merokok terutama di kalangan anak muda dan remaja.
Organisasi kesehatan dunia (WHO) telah menyatakan bahwa rokok elektronik tidak aman dan mengandung bahan kimia beracun, yang menyebabkan banyak remaja tidak bisa berhenti menggunakan rokok elektronik yang dapat mengakibatkan masalah kesehatan yang serius.
Sayangnya, rokok elektronik di Indonesia masih menjadi suatu hal yang baru, karena minimnya regulasi yang mengatur mengenai rokok elektronik. Kekosongan hukum dan ketiadaan peraturan dan pengawasan meningkatkan peredaran rokok elektronik menjadi sangat masif.
Presiden perlu segera memperkuat regulasi untuk lindungi anak dari segala jenis bentuk produk nikotin. Bebaskan anak Indonesia dari zat adiktif.
#revisiPP109 #warisanjokowi #daruratperokokanak #bahayarokok
tag: @kemenkes_ri @jokowi @kyai_marufamin @kemensetneg.ri @budigsadikin
1 note
·
View note