#creatorfestid
Explore tagged Tumblr posts
bukansulapbukansihir · 1 month ago
Text
Kisah Bu Ningsih dan Warung di Ujung Desa
Di sebuah desa kecil bernama Cibugel, kehidupan berjalan pelan, nyaris seperti detak jam dinding tua di ruang tamu Bu Ningsih. Desa ini terletak di kaki Gunung Halimun, jauh dari gemerlap kota dan hiruk pikuk dunia modern. Sebagian besar warga hidup dari bertani dan berdagang kecil-kecilan, termasuk Bu Ningsih yang sudah belasan tahun menjalankan warung sederhana di rumahnya.
Warung itu bukan sekadar tempat belanja. Warga sering datang bukan hanya untuk membeli sabun atau beras, tapi juga sekadar ngobrol. Bu Ningsih adalah "wikipedia hidup" desa itu, tahu kabar terbaru dari siapa saja. Namun, ada satu hal yang selalu menjadi masalah bagi Bu Ningsih: uang.
Seperti kebanyakan orang di desanya, Bu Ningsih tidak pernah punya rekening bank. Seluruh transaksi di warung dilakukan tunai, dan pencatatan dilakukan di buku besar yang sudah kumal. “Ningsih, catat dulu ya, utang nanti saya bayar pas panen,” kata Pak Darto, salah satu tetangganya, suatu sore.
Hari itu, setelah menutup warung, Bu Ningsih menghitung uang yang tersisa di kaleng kecil tempat ia biasa menyimpan pendapatan hariannya. Sesekali ia mendesah, karena uang itu terasa tidak cukup untuk membeli stok barang baru. Ia ingin mengembangkan warungnya, tapi selalu terbentur pada modal.
Suatu hari, datanglah seseorang ke desa itu. Ia adalah agen BRILink, bernama Pak Arman. Dengan sepeda motornya, Pak Arman keliling dari rumah ke rumah, memperkenalkan layanan yang ditawarkan. Ketika tiba di warung Bu Ningsih, ia disambut dengan tatapan penasaran.
“Bu, apa sudah punya rekening bank?” tanya Pak Arman.
“Belum, Pak. Mau ke bank saja jauh, harus ke kota. Lagipula, saya tidak paham cara pakainya,” jawab Bu Ningsih sambil tersenyum kaku.
Pak Arman mulai menjelaskan bahwa melalui layanan BRILink, siapa pun bisa membuka rekening tanpa harus ke kantor cabang. Semua proses dilakukan secara digital, langsung dari perangkatnya. Ia juga menjelaskan manfaat lainnya, seperti kemudahan transfer, pembayaran tagihan, hingga pencairan dana bantuan pemerintah.
Awalnya, Bu Ningsih ragu. “Kalau saya tidak tahu cara pakainya, bagaimana?” tanyanya dengan nada khawatir. Namun, Pak Arman bersabar. Ia menunjukkan cara menggunakan layanan tersebut dengan langkah-langkah sederhana.
“Bu Ningsih, ini bukan soal teknologi, tapi soal kesempatan. Kalau ibu bisa menyimpan uang dengan aman di rekening, ibu tidak perlu takut kehilangan uang lagi. Kalau ibu punya rekening, ibu juga bisa akses pinjaman kecil untuk tambah modal. Gampang kok, saya bantu,” kata Pak Arman meyakinkan.
Setelah berpikir matang, Bu Ningsih akhirnya memutuskan membuka rekening. Prosesnya ternyata sangat mudah. Dalam beberapa menit, rekeningnya sudah aktif. Tak hanya itu, Pak Arman juga membantu mengunduh aplikasi BRImo di ponselnya.
Hari-hari berikutnya, kehidupan Bu Ningsih mulai berubah. Ia belajar sedikit demi sedikit cara menggunakan aplikasi. Salah satu momen yang paling mengesankan baginya adalah ketika ia berhasil menerima pembayaran dari salah satu pelanggannya melalui transfer.
“Bu Ningsih, saya transfer saja, ya. Ini lebih gampang,” kata Ibu Siti, salah satu pelanggan tetapnya.
Bu Ningsih tersenyum lebar. Kini ia tidak perlu repot menyediakan uang kecil untuk kembalian. Semua transaksi tercatat otomatis di aplikasi, sehingga ia tak lagi pusing mencatat secara manual di buku besar yang sering berantakan.
Beberapa bulan kemudian, dengan bantuan Pak Arman, Bu Ningsih mengajukan pinjaman mikro melalui program kredit usaha rakyat (KUR) dari BRI. Pinjaman itu ia gunakan untuk menambah stok barang di warungnya. Dengan semakin lengkapnya produk yang dijual, warung Bu Ningsih semakin ramai. Bahkan, ia mulai menjual pulsa dan layanan pembayaran tagihan listrik melalui BRILink.
“Saya tidak pernah menyangka bisa sejauh ini,” kata Bu Ningsih suatu sore saat Pak Arman mampir ke warungnya. “Dulu saya pikir bank hanya untuk orang kota. Tapi ternyata, BRI membawa bank ke desa kami. Mereka benar-benar peduli.”
Pak Arman tersenyum. “Itulah tujuan kami, Bu. BRI ingin semua orang, di mana pun, punya kesempatan yang sama untuk maju. Tidak peduli desa atau kota.”
Seiring waktu, perubahan tak hanya dirasakan oleh Bu Ningsih, tapi juga oleh seluruh desa. Dengan adanya layanan BRILink, warga desa kini lebih mudah mengirim dan menerima uang, bahkan tanpa harus meninggalkan desa.
Pada suatu malam, saat sedang menghitung keuntungan hari itu, Bu Ningsih tersenyum sendiri. Ia ingat betapa sulitnya hidup dulu, ketika uang sering hilang entah ke mana karena tidak tersimpan dengan baik. Sekarang, ia merasa lebih aman dan percaya diri.
Warung kecil di ujung desa itu kini bukan hanya sekadar tempat belanja. Dengan layanan keuangan yang inklusif dari BRI, warung itu telah menjadi simbol harapan dan kemajuan.
“BRI itu sahabat kami di desa ini,” gumam Bu Ningsih pelan, sambil memandang warungnya yang semakin ramai setiap hari.
0 notes