#contoh perilaku al mukmin
Explore tagged Tumblr posts
Text
Memahami Arti Asmaul Husna Al Mukmin
Memahami Arti Asmaul Husna Al Mukmin
Sofyan – Memahami Arti Asmaul Husna Al Mukmin
Memahami Arti Asmaul Husna Al Mukmin
Dalam Islam, mengetahui, memahami, dan meyakini nama-nama dan sifat-sifat Allah menempati kedudukan yang sangat tinggi.
Seseorang tidak mungkin menyembah Allah dengan cara yang sempurna sampai ia benar-benar mengetahui dan meyakini nama-nama dan sifat-sifat-Nya.
Dengan dilandasi pengetahuan dan…
View On WordPress
#al mukmin asmaul husna#asmaul husna al mukmin#asmaul husna al mukmin artinya#contoh perilaku al mukmin#kaligrafi asmaul husna al mukmin
0 notes
Text
Pengen simpan tulisan ini:
Tadabbur Surah Al Hadid ayat 8
Ikatan Janji Umat Akhir Zaman
Oleh: Umarulfaruq Abubakar
=====================
وَمَا لَكُمْ لَا تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ ۚوَالرَّسُوْلُ يَدْعُوْكُمْ لِتُؤْمِنُوْا بِرَبِّكُمْ وَقَدْ اَخَذَ مِيْثَاقَكُمْ اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ
"Mengapa kamu tidak beriman kepada Allah, padahal Rasul mengajakmu beriman kepada Tuhanmu? Sungguh, Dia telah mengambil janji (setia)-mu jika kamu adalah orang-orang mukmin”
=====================
Ada lalu tiada. Hadir sebentar di pentas dunia, lalu akhirnya berkalang tanah. Begitulah kisah kehidupan manusia. Semua akhirnya fana. Yang abadi adalah kenangan dan karya. Dalam kisah panjang itu, Iman selalu menjadi sumber kemuliaan. Seperti Rasulullah dan para sahabat dan ulama terdahulu. Keimanan yang menghunjam kuat di dalam dada mereka mampu mengeluarkan segala potensi kecerdasan dan kreativitas yang luar biasa, menebarkan kebaikan ke segala penjuru, melahirkan mahakarya peradaban yang membentang jauh.
Kisah sejarah Islam adalah kisah keimanan yang berhadap-hadapan langsung dengan kekufuran dan kemunafikan, kisah perseteruan petunjuk dan kesesatan. Kala itu, kehadiran Rasulullah menjadi cahaya petunjuk bagi semesta. Sabda Rasul adalah kata pemutus dalam berbagai perbedaan dan keraguan. Namun bagaimana dengan umat Rasul yang datang setelah beliau? Yang terpaut lebih 14 abad dari masa hidup beliau? Dengan jarak yang terbentang luas dari tempat hidup beliau?
Mereka tidak bisa melihat mukjizat, tidak bisa menyaksikan kedahsyatan turunnya wahyu kepada Rasul, tidak bisa melihat pancaran keindahan sempurna dari Baginda Rasul; fisiknya, kata-katanya, akhlaknya, dan segala perilaku hidupnya. Bagaimana mereka bisa percaya, padahal mata mereka tidak melihat secara langsung, telinga tidak bisa mendengar, bahkan fisik pun tidak pernah bersentuhan? Mereka hanya berbekal sebongkah hati untuk percaya. Mereka hanya punya secuil iman untuk tetap kokoh mengikuti jalan sang junjungan. Mereka hanya punya sedikit ilmu tentang sirah kehidupan beliau, untuk berusaha mengikuti sunnah dan akhlak beliau dalam kehidupan sehari hari.
Harapan mereka sederhana: semoga setetes rasa cinta ini dapat menjadikan mereka pantas menjadi umat beliau dan kelak di akhirat bisa berjumpa.
Tentang umat akhir zaman ini, Baginda Rasul pernah berkata di hadapan sahabatnya: Aku ingin sekali berjumpa saudara-saudaraku.’ Mereka (para sahabat) berkata, ‘Wahai Rasulullah, bukankah kami saudaramu?’
Beliau bersabda, ‘Kalau kalian adalah para sahabatku. Saudara-saudaraku adalah mereka (orang-orang beriman) yang belum ada sekarang ini dan aku akan mendahului mereka di Telaga Al Kautsar” (HR. Bukhari).
***
Keimanan Yang Menakjubkan
Di awal tafsir Surat Al Baqarah, lalu kembali diulangi ketika menafsirkan ayat ke 8 Surat Al Hadid ini, Imam Ibnu Katsir menyampaikan sebuah kisah yang (semoga) menyentuh kita semua.
Suatu ketika, Rasulullah pernah bertanya kepada para sahabatnya, "Siapakah orang yang paling menakjubkan imannya?” tanya Rasulullah
"Para malaikat," jawab sahahabat.
“Bagaimana malaikat tidak beriman, sedangkan mereka diciptakan oleh Allah untuk selalu beribadah pada Allah.”
“Ya Rasulullah, kalau begitu berarti para Nabi.”
Kemudian Rasulullah menjawab, “Bagaimana para Nabi tidak beriman, sedangkan mereka diutus untuk jadi contoh bagi umat manusia dan wahyu turun kepada mereka.”
“Ya Rasulullah, kalau begitu, para sahabat yang imannya tinggi.”
Lalu Nabi menjawab, “Bagaimana mereka tidak beriman, sedangkan mereka hidup di zamanku, mereka melihat mukjizatku, hidup bersamaku, melihatku dan mendengarkan wahyu secara langsung.”
"Ya Rasulullah, jadi siapa orang yang paling menakjubkan imannya itu?”
Nabi menjawab, “Kaum yang hidup sesudah kalian.”. “Mereka membenarkan aku, padahal mereka tidak pernah melihatku. Mereka hanya menemukan tulisan dan beriman. Mereka kemudian mengamalkan apa yang ada dalam tulisan itu. Mereka membelaku, seperti kalian membelaku. Alangkah inginnya aku bertemu dengan mereka.”
****
Antara kita dengan Rasulullah terikat sebuah ikatan, itulah ikatan keimanan. Dulu sejak zaman azali, kita pun pernah mengikarkan janji menjadi hamba Allah yang taat, seperti disebutkan dalam Surat Al A’raf ayat 172. Tugas kita saat ini adalah setia dengan ikatan dan janji itu, walaupun seberat menggenggam bara. Semoga kelak kita bisa berjumpa dengan Rasul tercinta di Telaga Al Kautsar.
0 notes
Text
Tasawuf dan Post-Truth
Kata Hamka, “Hendaklah ilmu itu menimbulkan percaya, percaya menimbulkan cinta, tidak diikat oleh dengki, yang dihambat oleh takabur atau hasad atau kemegahan.” Ada ungkapan yang mengatakan, untuk menemukan jalan baru, terkadang kita harus tersesat dahulu, siapa yang tidak merasakannya, tidak akan paham maksudnya. Kalimat yang dapat dijadikan tema untuk menemukan titik balik dalam mencapai jalan kebenaran.
Sebagai manusia biasa tentunya kita tidak luput dari kesalahan-kesalahan yang dilakukan, baik dalam kata ataupun perbuatan, tersembunyi ataupun terang-terangan, direncanakan ataupun tidak. Adapun kesalahan yang dialami dapat dijadikan pengalaman agar mampu memilih pilihan benar di kemudian hari.
Dewasa ini, ternyata kebenaran bukan hanya perihal satu atau dua perspektif, bahkan orang yang berbuat salahpun akan mengklaim dirinya benar meskipun salah dan orang yang benar pada akhirnya akan ragu-ragu dengan pendiriannya. Sebagai contoh, di era digital saat ini perubahan yang terjadi begitu cepat, masyarakat yang semakin kompleks ternyata mendatangkan paradoks bagi umat manusia, berkembangnya fenomena post-truth yang terus menerus, tidak disadari dapat merubah perilaku manusia. Istilah post-truth sendiri dapat didefinisikan kamus Oxford sebagai suatu kondisi dimana fakta tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal.
Beberapa waktu lalu, viral tentang hasil studi Microsoft bertajuk Digital Civility Index (DCI) yang menyebut netizen Indonesia paling “barbar” tidak sopan se-Asia Tenggara. Banyaknya komentar “pedas”, perundungan (bullying) dan berita bohong (hoax) yang silih berganti memenuhi ruang diskusi kita, bahkan sebagian orang-orang itu justru memproduksi kebohongan untuk menciptakan kebenaran “versi” mereka demi tercapainya tujuan yang diinginkan. dikutip kata penyair arab, “kita berada di zaman dimana jika mereka mendengarkan kebaikanmu, mereka menyembunyikannya, jika mereka mendengarkan keburukanmu, mereka menyebarkannya, dan bila mereka tidak mendengar apa-apa tentangmu, mereka akan membuat-buat.”.
Sebagai muslim yang baik tentulah harus mampu menimbang dengan akal dan hati mana perkara yang mampu mendatangkan manfaat atau tidak bagi dirinya dan Takwa adalah merupakan benteng penyelamat bagi tiap-tiap muslim.
Sebagai seorang hamba seringkali abai dengan segala apa yang menjadi kewajiban yang telah diperintahkan-Nya dan membiarkan diri dalam kebodohan, berprasangka tak baik, sehingga terasa ada suasana dimana hati sering gelisah, seolah-olah rasa damai pergi dalam hidup kita, kondisi batin semacam itu yang menyebabkan sesak di dalam hati. Selalu berharap pada orang lain menyebabkan mudah merasa dikecewakan. Kemudian, Saya teringat pada pesan nasihat yang mendalam dari Hasan al-Bashri rahimahullah, “Sungguh, apabila aku dijatuhkan dari langit ke permukaan bumi ini lebih aku sukai daripada mengatakan: Segala urusan berada di tanganku!.”(dalam Aqwal Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman).
Umpama penyakit bila ingin menyembuhkan atau mengobatinya adalah dengan cara memahami penyakit itu dan satu-satunya cara memahaminya adalah dengan mempelajarinya. Lantas obat apa yang bisa menyembuhkan penyakit hati? Kata Allah,��“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran (Al-Qur’an) dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS.Yunus: 57)
Etika seorang Muslim ketika menghadapi kesulitan ialah tetap bertawakal dan penuh pengharapan, dengan begitu kita dapat melihat keindahan cahaya Rahmat-Nya. Disadari atau tidak, sudah berapa banyak doa-doa yang dahulu kita panjatkan telah dikabulkan dan hingga bisa ada sampai pada hari ini pun juga karena doa-doa yang kita minta kepada-Nya. Tentu semua manusia ingin merasakan bahagia dalam hidup ini. Namun, untung atau malang seseorang, susah dan senang adalah tentang pilihan sikap kita. Rasulullah ﷺ bersabda: “Alangkah mengagumkan keadaan orang yang beriman, karena semua keadaannya membawa kebaikan untuk dirinya, dan ini hanya ada pada seorang mukmin; jika dia mendapatkan kesenangan dia akan bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya, dan jika dia ditimpa kesusahan dia akan bersabar, maka itu adalah kebaikan baginya”. (HR. Muslim).
Wallahu a'lam bish-shawab.
-Rizwandra Akbar (Customer Engagement SSP)
11 Ramadhan 1442H // 23 April 2021
0 notes
Text
FADILAH MENCINTAI HABAIB....
MENDIDIK DAN MEMPERHATIKAN AGAMA KELUARGA
Sabda Baginda Rasulullah SAW :
طلب العلم فريضة على كل مسلم ومسلمة
“Sesungguhnya menuntut ilmu wajib bagi setiap orang Islam laki-laki atau perempuan”.
Sesungguhnya wajib bagi orang tua mendidik dan memberi contoh keluarganya tentang kewajiban agama dan akhlaq yang mulia sejak masih kecil agar mereka menjadi terbiasa dan mudah menjalankanya disaat dewasa. Dan bagi suami hendaknya senantiasa mengecek perilaku terutama ibadah isteri dan anak-anaknya agar bisa memperbaiki atas kesalahan mereka dan mengajari yang diperlukanya. Jika ia tidak tahu maka wajib baginya menuntut ilmu demi keselamatan diri dan keluarganya. Karena apapun bentuk ibadah yang tidak didasari dengan ilmu, Allah SWT tidak akan menerimanya.
Sebagaimana yang telah dicantumkan dalam kitab ‘Zubad’:
فكل من بغير علم يعمل ۞ أعماله مردودة لا تقبل
“Sesungguhnya setiap orang yang melakukan amal ibadah tanpa ilmu, maka amalnya ditolak (tidak diterima oleh Allah SWT) “.
Dan hendaknya orang tua memberi pemahaman kepada putra-putrinya tentang kemuliaan Baginda Nabi Muhammad SAW dan keluarganya serta sahabatnya, karena mencintai mereka adalah pondasi agama. Sesungguhnya penyesatan aqidah sudah merajalela ada yang mencintai ahli bait dan membenci para sahabat dan ada yang sebaliknya. namun aqidah ahli sunnah waljamaah telah bersepakat bahwa mencintai Baginda Baginda Rasulullah SAW dan keluarganya serta para sahabatnya secara menyeluruh adalah wajib bagi kita . bahkan keselamatan dan keutamaan ada di dalamnya. Imam Jalaludin Assuyuti dalam kitab tafsir Ad-Durrul-Mansur dalam menafsiri ayat
قل لا أسألكم عليه أجرا إلا المودة في القربى (الشورى 23)
Katakanlah: "Aku tidak meminta kepada kalian semua (wahai umatku) sesuatu upah pun atas seruanku kecuali kebijakan dan kasih sayang pada keluargaku" (Q.S. Asy-Syuuro 23,
beliau menyebutkan hadis Baginda Rasulullah SAW yang diriwayatkan diriwayatkan oleh Sayidina Al-Imam Hasan Bin Ali RA :
عن الحسن بن علي - رضي الله عنه - قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « لكل شيء أساس وأساس الإِسلام حب أصحاب رسول الله - صلى الله عليه وسلم - وحب أهل بيته » . (الدر المنثور للامام جلال الدين السيوطي 9/67)
Sesungguhnya berdirinya sesuatu harus ada pondasinya, dan pondasi islam adalah cinta para sahabat dan keluarga Baginda Rasulullah SAW
Dan di sebutkan dalam kitab Marqotul Mafatih lil-Imam Al-Mula Ali Alqori 17/496 Dari Sayidina Ibnu 'Abbas RA beliau berkata : "Bahwa pada saat turunnya ayat tersebut para shahabat bertanya: " Ya Rasulallah Siapakah para kerabatmu yang wajib bagi kami untuk mencintainya dan berbijaksana kepadanya?".
Baginda Nabi SAW bersabda :
علي وفاطمة وابناهما
"Sesungguhnya mereka adalah Ali, Fathimah dan keturunannya ".(Marqotul Mafatih lil-Imam Al-Mula 'alalqori 17/496)
Dan sesungguhnya orang yang berbijaksana kepada mereka akan mendapatkan berbagai keistimewaan dari Allah SWT, sebaliknya orang yang membenci atau berbuat dholim pada mereka akan mendapatkan kemurkaan Allah SWT. sabda Baginda Rasulullah SAW : من مات على حب آل محمد مات شهيداً ، ألا ومن مات على حب آل محمد مات مغفوراً له ، ألا ومن مات على حب آل محمد مات تائباً ، ألا ومن مات على حب آل محمد مات مؤمناً مستكمل الإيمان ، ألا ومن مات على حب آل محمد بشره ملك الموت بالجنة ، ثم منكر ونكير ، ألا ومن مات على حب آل محمد يزف إلى الجنة كما تزف العروس إلى بيت زوجها ، ألا ومن مات على حب آل محمد فتح له في قبره بابان إلى الجنة ، ألا ومن مات على حب آل محمد جعل الله قبره
مزار ملائكة الرحمة ، ألا ومن مات على حب آل محمد مات على السنة والجماعة ، ألا ومن مات على بغض آل محمد جاء يوم القيامة مكتوب بين عينيه : آيس من رحمة الله ، ألا ومن مات على بغض آل محمد مات كافراً ، ألا ومن مات على بغض آل محمد لم يشم رائحة الجنة " (الكشاف للإمام أبي القاسم الزمخشري 6/192)
"Sesungguhnya orang yang meninggal dengan membawa cinta pada ahli bait Nabi SAW maka dia meninggal dalam keadaan syahid. Dan sesungguhnya orang yang meninggal dengan membawa cinta pada ahli bait Nabi SAW maka dia diampuni dosa-dosanya. Dan sesungguhnya orang yang meninggal dengan membawa cinta pada ahli bait Nabi SAW maka dia diterima taubatnya. Dan sesungguhnya orang yang meninggal dengan membawa cinta pada ahli bait Nabi SAW maka dia ditetapkan sebagai orang mukmin yang sempurna imannya. Dan sesungguhnya orang yang meninggal dengan membawa cinta pada ahli bait Nabi SAW maka dia akan diperlihatkan keindahan sorga oleh Malaikat Maut dan Malaikat Munkar Nakir. Dan sesungguhnya orang yang meninggal membawa cinta pada ahli bait Nabi SAW maka dia meninggal dalam aqidah ahli sunnah waljama'ah. Dan Sesungguhnya orang yang meninggal dengan membawa kebencian pada ahli bait Nabi SAW maka dia pada hari kiamat nanti akan tertulis di jidatnya "Terputus dari Rahmatnya Allah SWT". Dan sesungguhnya orang yang meninggal dengan membawa kebencian pada ahli bait Nabi SAW maka dia akan mati kafir. Dan sesungguhnya orang yang meninggal dengan membawa kebencian pada ahli bait Nabi SAW maka dia tidak akan mencium bau sorga.
0 notes
Photo
Wajibuna Nahwar Rasul (Kewajiban Kita Kepada Rasul)
Keyakinan bahwa Muhammad adalah Rasulullah (utusan Allah) mengandung makna sebagai berikut:
Pertama, tashdiquhu fima akhbar (membenarkan apa-apa yang disampaikan olehnya).
Salah satu ciri ketakwaan seorang muslim adalah senantiasa membenarkan apa yang dibawa oleh Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِي جَاءَ بِالصِّدْقِ وَصَدَّقَ بِهِ ۙ أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُتَّقُون
“Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Az-Zumar, 39: 33)
Salah satu contoh teladan bagi kita dalam hal ini adalah Abu Bakar As-Shidiq, yang dalam berbagai momen selalu menjadi orang yang terdepan dalam membenarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia termasuk golongan laki-laki yang pertama beriman di dalam Islam; Ia pula yang banyak mengorbankan hartanya untuk mendukung dakwah Islam. Dialah orang yang tanpa ragu segera membenarkan peristiwa Isra Mi’raj yang dialami nabi saat orang-orang mendustakan peristiwa itu; dialah yang menjadi teman Nabi dalam perjalanan hijrah ke Madinah, dan seterusnya.
Kedua, tha’atuhu fima amar (mentaati apa yang beliau perintahkan). Inilah konsekuensi yang harus dijalani bagi mereka yang mengaku beriman kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Sesungguhnya jawaban oran-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. ‘Kami mendengar, dan kami patuh’. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. An-Nur, 24: 51).
Dalam ayat lain juga disebutkan,
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36)
Dalam sebuah hadits, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُوْنَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ
“Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian sampai ia menundukkan hawa nafsunya untuk tunduk pada ajaran yang aku bawa.” (Diriwayatkan dalam kitab Al-Hujjah dengan sanad yang shahih menurut Imam Nawawi. Namun penshahihan hadits ini tidak tepat menurut Ibnu Rajab).
Ketiga, ijtanabu ma naha ‘anhu (menjauhi apa yang dilarang olehnya). Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَاب
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (QS. Al-Hasyr, 59: 7)
Sikap seorang muslim, apabila telah mengetahui ada sebuah larangan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih (benar) dan sharih (jelas), maka tidak ada pilihan baginya kecuali menjauhi apa yang dilarangnya tersebut; walaupun larangan itu tidak disebutkan secara langsung di dalam kitabullah.
Sebuah kisah dari Masruq bin Al-Ajda’ menguatkan tentang hal ini; ia berkata, ”Ada seorang wanita yang pernah datang kepada Ibnu Mas’ud seraya berkata, ‘Aku telah dikabari bahwa Anda melarang wanita menyambung rambut (memakai rambut palsu)?’
Ibnu Mas’ud menjawab, ‘Benar’. Wanita itu bertanya, ‘Apakah hal itu Anda dapatkan dalam Kitabullah ataukah Anda pernah mendengarnya dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam?’.
Ibnu Mas’ud berkata, ‘Aku telah mendapatkannya dalam Kitabullah dan dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.’
Wanita itu berkata, ‘Demi Allah, sungguh aku telah membolak-balik diantara dua lembar (jilid) mushaf, tapi aku tak menemukan di dalamnya sesuatu yang Anda nyatakan’.
Ibnu Mas’ud berkata, ‘Apakah engkau menemukan (ayat) di dalam mushaf (yang berbunyi):
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا ۚ
‘Apa saja yang didatangkan oleh Rasul kepadamu, maka terimalah, dan apa saja yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah’. (QS. Al-Hasyr, 59: 7)
Wanita itu menjawab, ‘Ya’. (HR. Ahmad [3749]. Di-shahih-kan oleh Al-Albani dalam Ghayah Al-Maram [93]).
Keempat, la na’budullaha illa bima syara’a (kita tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan apa-apa yang disyariatkan [dicontohkan] oleh beliau).
Tidak dibenarkan bagi seorang muslim melaksanakan peribadatan yang tidak sesuai dengan apa yang disyariatkan oleh Allah Ta’ala melalui rasul-Nya. Perilaku beribadah dengan mengikuti hawa nafsu (sekehendak hati) adalah mirip perilaku orang-orang musyrikin. Allah Ta’ala berfirman,
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ ۚ وَلَوْلَا كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ ۗ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih.” (QS. As-Syura, 42: 21)
Tentu kita masih ingat hadits dari Ummul Mu’minin Ummu Abdillah Aisyah radiyallahu ‘anha, ia mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
‘Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini yang bukan berasal darinya, maka amalan tersebut tertolak’.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim).
Dan dalam riwayat lain milik Muslim,
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak kami perintahkan, maka ia tertolak.”
Penjelasan hadits ini dari Imam Nawawi silahkan dirujuk di materi sebelumnya (Wadhifatur Rasul).
Kewajiban Kita Kepada Rasul
Dengan makna seperti itu, maka kewajiban kita kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah:
Pertama, al-imanu bihi (beriman kepadanya) dengan keimanan yang tidak disisipi oleh keraguan sedikitpun. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al-Hujurat, 49: 15)
Kedua, mahabbatuhu (mencintainya).
Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّىٰ يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Katakanlah: “Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan Nya”. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At-Taubah, 9: 24)
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Tidak beriman salah seorang dari kalian, sehingga aku ia lebih cintai daripada anaknya, orangtuanya dan seluruh manusia.” (HR. Muslim)
Ketiga, ta’dhimuhu (mengagungkannya)
Ta’dhimuhu, artinya memuliakan dan mendahulukan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam atas segala ucapan makhluk serta mengagungkan sunnah-sunnahnya.
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Hujuraat, 49: 1)
Keempat, ad-difa’u anhu (membelanya)
Ad-difa’u anhu adalah membela risalah beserta sunnah-sunnahnya dari gangguan orang-orang kafir dan jahil (bodoh), sebagaimana pembelaan hawariyyun terhadap risalah Nabi Isa ‘alaihissalam.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا أَنْصَارَ اللَّهِ كَمَا قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ لِلْحَوَارِيِّينَ مَنْ أَنْصَارِي إِلَى اللَّهِ ۖ قَالَ الْحَوَارِيُّونَ نَحْنُ أَنْصَارُ اللَّهِ ۖ فَآمَنَتْ طَائِفَةٌ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَكَفَرَتْ طَائِفَةٌ ۖ فَأَيَّدْنَا الَّذِينَ آمَنُوا عَلَىٰ عَدُوِّهِمْ فَأَصْبَحُوا ظَاهِرِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penolong (agama) Allah sebagaimana ‘Isa ibnu Maryam telah berkata kepada pengikut- pengikutnya yang setia: ‘Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?’ Pengikut-pengikut yang setia itu berkata: ‘Kamilah penolong-penolong agama Allah’, lalu segolongan dari Bani Israil beriman dan segolongan lain kafir; maka Kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang menang.” (QS. As-Shaf, 61: 14)
Kelima, mahabbatu man ahabbahu (mencintai orang-orang yang mencintainya)
Orang yang benar-benar mencintai nabi pastilah orang yang beriman. Oleh karena itu sebagai sesama hamba beriman -sebagai sesama pecinta nabi- kita harus saling mencintai dan menyayangi. Allah Ta’ala berfirman,
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ ۚ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ ۖ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا ۖ سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ
“Muhammad adalah utusan Allah; dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud…” (QS. Al-Fath, 48: 29)
Keenam, ihya-u sunnatih (menghidupkan sunnahnya)
Dari ‘Amr bin ‘Auf bin Zaid al-Muzani radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِى فَعَمِلَ بِهَا النَّاسُ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا
“Barangsiapa yang menghidupkan satu sunnah dari sunnah-sunnahku, kemudian diamalkan oleh manusia, maka dia akan mendapatkan (pahala) seperti pahala orang-orang yang mengamalkannya, dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikit pun“ (HR Ibnu Majah [No. 209], Syaikh Al-Albani menshahihkannya dalam kitab “Shahih Ibnu Majah” [No. 173]).
Menghidupkan sunnah Nabi menjadi kewajiban kita, terutama disaat sunnah-sunnah tersebut sudah banyak ditinggalkan oleh umat.
Ketujuh, iktsarus shalawati ‘alaihi (memperbanyak bershalawat kepadanya).
Anjuran bershalawat kepada nabi diperintahkan langsung oleh Allah Ta’ala di dalam Al-Qur’an,
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. Al-Ahzab, 33: 56)
Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَن صلَّى عليَّ صلاةً واحدةً ، صَلى اللهُ عليه عَشْرَ صَلَوَاتٍ، وحُطَّتْ عنه عَشْرُ خَطياتٍ ، ورُفِعَتْ له عَشْرُ دَرَجَاتٍ
“Barangsiapa yang mengucapkan shalawat kepadaku satu kali maka Allah akan bershalawat baginya sepuluh kali, dan digugurkan sepuluh kesalahan (dosa)nya, serta ditinggikan baginya sepuluh derajat/tingkatan (di surga kelak)” (HR an-Nasa’i [No. 1297])
Bershalawat artinya: kalau dari Allah berarti memberi rahmat; dari Malaikat berarti memintakan ampunan; dan kalau dari orang-orang mukmin berarti berdoa supaya diberi rahmat seperti dengan perkataan: “Allahuma shalli ala Muhammad.”
Sedangkan ucapan ‘salam penghormatan’ yang dimaksud dalam surat Al-Ahzab ayat 56 di atas, misalnya ucapan seperti: “Assalamu`alaika ayyuhan Nabi”, artinya: semoga keselamatan tercurah kepadamu Hai Nabi.
Kedelapan, ittiba’u manhajihi (mengikuti manhajnya).
Wajib bagi mereka yang mengaku beriman dan mencintai Allah dan rasul-Nya untuk ittiba’ kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran, 3: 31)
Wajib bagi setiap muslim untuk ittiba’ kepada manhaj (pedoman) yang telah digariskan olehnya. Secara bahasa kata “manhaj” berasal dari kata “nahaja” yang berati jalan yang terang (Al Jauhari, Al-Shihah, 1/346 ). Bisa juga berarti jalan yang ditempuh seseorang.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,
وَاللهِ مَا مَاتَ رَسُوْلُ اللهِ حَتَّى تَرَكَ السَّبِيْلَ نَهْجًا وَاضِحًا
“Demi Allah, Rasulullah tidak meninggal dunia, hingga meninggalkan jalan yang jelas” (HR Al-Darami: No. 83 )
Kesembilan, wiratsatu risalatihi (mewarisi risalahnya). Artinya kita harus melanjutkan risalah beliau dalam rangka menebarkan petunjuk dan agama yang benar sehingga diikuti dan dikenal keunggulannya oleh seluruh umat manusia.
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ
“Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang musyrik membenci.” (QS. As-Shaff, 61: 9)
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا
“Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi.” (QS. Al-Fath, 48 : 28)
Wallahu A’lam.
Baca selengkapnya di: https://tarbawiyah.com/2018/02/09/wajibuna-nahwar-rasul-kewajiban-kita-kepada-rasul/
0 notes