Tumgik
#cara merajut sweater
miftahulfikri · 4 years
Text
Rivera : Chapter 4
(Rivera’s perspective)
Tumblr media
Bandung perlahan tak terlalu ramai mendekati pukul sembilan malam. Perlahan, hujan mulai turun di beranda kostku. Rinai-rinai yang makin lama makin menggenang dimana-mana, tapi aku suka. Dari jendelaku, pohon-pohon ara  tepat di tepian Jalan Babakan Jeruk yang sudah meranggas sejak dua bulan lalu kini harus lebih merunduk menerima kedatangan musim hujan yang sendu. Berpindah ke balkon, lalu-lalang jalan sepanjang Maranatha sudah tidak lagi seberisik tadi sore, hanya ada beberapa orang yang tergopoh menghindari cipratan air di bawah sana.
Bandung lumayan tak ramah untuk orang Jakarta sepertiku karena temperatur udara bisa turun drastis hingga 19 derajat. Aneh? Buatmu mungkin tidak, tapi tubuhku yang aneh. Kulit yang terbiasa dengan 29 derajat ibukota, akan langsung berbintik merah dan gatal-gatal. Untungnya aku sudah terbiasa, meski tetap kesal dibuatnya. Baru beberapa hari ke belakang rasanya dingin sekali, tidak seperti biasanya yang sejuk sepoi-sepoi. Ternyata, musim hujan datang sebulan lebih cepat dari prediksiku. Karenanya, mengandalkan pemanas saja rasanya tak cukup, -Ya, memang aku punya sebuah pemanas bongkar-pasang di kamar.
Malam ini aku lebih banyak menyelimuti badanku dengan selimut dan sweater. Lumayan, aku sedikit berdamai dengan dingin yang cukup menggigit. Tetapi, tidak dengan Albert, Sunu dan Rinan cuma melapisi tubuhnya hanya dengan kaos oblong. Mereka menertawaiku yang berselimut bak ulat masuk kepompong. Aku gusar sebenarnya, mereka cuma jago kandang. Sini kalian ke rumahku di Mangga Besar sana, aku bertaruh kalian takkan kuat memakai baju tipispun.
Di hadapanku, bertumpuk beberapa buku referensi dan jurnal Psychology Reviews dari Elsevier, acak-acakan dengan beberapa helai summary yang barusan dibuat. Satu jam yang lalu, kami bertiga baru selesai membuat workpaper untuk dikumpulkan besok. Mendadak usai kelas berakhir, Profesor Ririn menugasi kelompokku untuk membuat tugas tentang kajian psikoanalisis Freudian. Praktis, Aku, Albert, dan Sunu sejak tadi terus mengoceh dan mengusutkan benak. Sedangkan Rinan? Dia beda kampus denganku, dan sedang tidak ada tugas pula. Iseng benar dia datang kesini. Sejak tadi, kerjaannya hanya asyik bermain gitar dan mencuri wifi kamarku. Cih.
Butuh waktu sampai dua jam untuk menyelesaikan dua puluh lembar hasil ocehan Sunu dan sedikit intisari jurnal hasil kerja Albert. Sementara aku? Hanya duduk dan menjadi sekretaris mereka. Mereka tak banyak bicara soal peranku karena hari ini aku yang jadi tuan rumah. Coretan yang antah berantah ini kujanjikan untuk selesai dalam bentuk ketikan esok hari. Mereka hanya tahu jadi. Setelahnya, tak banyak membuang waktu, Albert dan Sunu langsung angkat kaki dari kostku. Alasannya karena takut begal kalau terlalu malam. Kupikir, mana ada begal beroperasi sambil memakai jas hujan?
Tinggallah aku dengan Rinan, berdua. Sebenarnya dia juga ingin secepatnya pergi bersama Albert dan Sunu, tetapi mengurungkan niat karena malas basah-basahan. Ia berujar kalau sebelum jam 12 malam, hujan akan berhenti. Terserah, mau menginap pun tak apa sih, Nan. Tak ada yang peduli dengan siapa yang kubawa ke kamar, selagi tidak mengganggu. Kostku mirip apartemen mini dengan dua blok terpisah, satu blok berlantai empat dengan sepuluh kamar di tiap lantainya. Satpam disini juga tak mau repot-repot menyatroni satu persatu kamar. Intinya, bebas saja. Kukira, hampir semua penghuni kost disini pernah menginapkan tamunya yang mampir.
*
Tiga puluh menit sudah berlalu. Aku masih belum memulai apa-apa dengan laptopku, masih mencari-cari ilham untuk memulai segalanya. Entah, rasanya sedang malas betul. Aku lebih memilih bergelayut manja dalam selimut dan berselonjor di atas sofa. Kalau aku sampai tertidur, setidaknya masih ada beberapa jam di pagi besok untuk menyelesaikan ketikan paper ini.
“Astari…”
Aku tergerak, Rinan memanggilku dari pojok dapur.
“Do you want Java Robusta or Aceh Gayo?” ujarnya.
Seperti biasa, dia si rajin, yang kini membuatkanku hal yang begitu kubutuhkan. Bahkan, dia juga tadi ikut membereskan buku-buku yang terserak di lantai dan menyusunnya dalam rak seperti semula.
“Aceh Gayo, please,” 
Dia pandai sekali meracik kopi. Sedikit banyak aku tahu, bahwa kelihaiannya itu diwariskan turun-temurun dari keluarganya yang asli penanam kopi. Beberapa referensi kopi tentang kopi bubuk ia beritahu padaku dan sudah jadi stok utama di lemari dapur. Aku tidak terlalu sering sih minum kopi, tapi sepertinya ini waktu yang tepat untuk menyeruputnya. 
“Kopi spesial buat mami koosstt,” ujar Rinan sumringah.
Minuman hangat itu mendarat persis pada meja di hadapanku. Dua cangkir kecil kopi Aceh Gayo yang pekat sungguh menggoda. Harum ranumnya menggugahku. Rinan memang tak pernah gagal soal urusan meracik kopi.
“Thanks a lot, Nan. Lu emang terbaik, deh,”
“Ah biasa aja,” ucapnya terkekeh. “Gimana udah beres?”
“Belum nih, lagi males duh. Untung lu niat bikin kopi, jadi lebih hangat,”
“Okay, then. Ada yang bisa gue bantu?” tawarnya.
“Emang ngerti tentang psikoanalisis?” ujarku mencubitnya. “Baca tuh buku-buku gue, bagus loh. Mahal gue beli, beberapa dipesen bokap dari luar negeri,”
“Yang mana, di rak ini?” ia menunjuk rak kecil paling kanan bawah, lalu menunjuk salah satu buku. “Sigmund Freud, gak asing sih,”
Rinan menyeruput kopinya dengan santai. Berselang semenit, ia sibuk membolak-balik buku yang ada disana. Bersila, ia seperti sedang berperan sebagai pustakawan. Kulihat, buku yang paling lama ia baca berjudul Personality Theories karya George Boeree. Makin malam, anak ini malah makin antusias dengan rak bukuku, sementara aku malah meringkuk bosan membaca coretan Sunu yang miring berantakan.
“Rajin amat baca bukunya, Nan. Gue jadi malu deh…”
Kuseruput kopi di cangkirku sampai tandas. Kepalaku rasanya lebih segar.
“Kalau lu mau, main aja ke perpus gue. Disana banyak buku gituan,” ujarku, sambil meregangkan tangan untuk bersiap mengetik. “Udah lama sih gue ngga ke perpus. Males kalo gaada temen, hahaha”
“Yaelah, elunya aja sibuk ama eksperimen pacaran lu itu,” tukas santainya.
Aku tersedak. “Eh, sialan. Gue udahan, ya. Huuu,” sergahku. “Cukup si Tarra aja terakhiran. Gamau lagi gue, kapok,”
Rinan tertawa sambil mendekatiku. “Yakin niih, seorang Astarivera bakal jadi cewe sepenuhnya? Ngga jadi kecowo-cowoan lagi?”
Ia sepertinya sengaja mengacak-acak rambutku yang kini sudah panjang sebahu. Tapi, entah kenapa, kubiarkan ia melakukannya. Tanpa sadar, ada desir lain yang ganjil dalam hatiku. Entah.
“Kopinya udah kan? Sini gue bersihin,” Ujar Rinan sambil beranjak.
“You are the nicest guy I’ve ever known,” Kali ini aku memujinya dengan tulus.
“Nahh. Just doing what I should do. Kalau perlu, seisi apartemen elu ini gue yang bersihin,” ucapnya tersenyum. 
*
Aku sudah cukup lama kenal dengannya, Adrinandi, seorang pemuda Tumblr yang kukenal lewat gathering hampir empat tahun lalu. Aku masih ingat betul apa yang membuatku sampai saat ini terikat dengannya ; hanya karena sebuah jepitan rambut berwarna ungu ini. Waktu itu, entah kenapa aku merasa sangat menginginkan jepitan rambut baru. Eh, tak disangka, keinginanku terkabul di sore harinya. Kado dari seorang lelaki ini, yang membuatku sangat berpikir hal yang aneh bahwa adakah hal yang spesial darinya? Waktu itu aku tak tahu. Tapi ternyata, hal itulah yang membuat kami tidak memberikan ekspektasi apa-apa sehingga waktu perlahan merajut persahabatan ini. Setidaknya, begitulah yang kami rasa sampai saat ini. Kedekatan yang mungkin cukup memiliki jarak sehingga tak bisa dibilang ‘lebih dari ini’. Well, bagaimanapun aku bersyukur mengenali lelaki ini. Sosok yang bisa dibilang cukup idealis dan taktis. Berbeda 180 derajat denganku yang oportunis dan random, dia melengkapiku betul. Banyak temanku yang menyangka bahwa aku pacaran dengannya, dan aku cuma bisa tertawa menyangkalnya. Setidaknya, bertahun kenal dan bersama, aku merasa tak sedang menumbuhkan bibit rasa apa-apa.
Menurutku, Rinan adalah tipe lelaki yang manis. Dapat dikatakan dia tipeku, meski bertubuh tak terlalu tinggi dan cukup ringkih untuk kategori lelaki yang kusuka. Yang berbeda dari kami hanyalah soal keyakinan saja, sisanya aku tak ambil peduli. Tulisan di Tumblrnya bagus dan aku suka, meskipun jalan ceritanya selalu soal masa lalu. Aku merasa bahwa dia sedang menyublimasi kisah masa lalunya ke dalam bait-bait paragraf yang dia unggah hampir setiap hari. Meski begitu, ia tak mau menceritakan soal kisah cintanya dengan utuh. Hanya samar kudengar nama perempuan bernama Alya yang pernah menjadi seseorang yang menghiasi hidupnya dua tahun terakhir. Barangkali, dia yang bernama Alya itu menjadi pemicu ruang jeda yang dingin dalam hidup Rinan. Semenjak itu, ia menjadi lelaki yang cukup skeptis soal hubungan percintaan.
Sementara aku? Jadi antitesisnya. Aku seringkali gonta-ganti gebetan demi menghilangkan dahagaku tentang karakter lelaki. Gila memang, pemaknaanku soal ini menjadi semacam fetish untuk tahu lebih banyak soal lelaki, bagaimana cara mereka berpikir dan memperlakukan genderku. Entahlah, apakah aku naif dalam menghayati latar belakang pendidikan psikologiku? Buatku, itu adalah bagian dari eksperimen yang membuatku harus total menceburkan diri. Beberapa lelaki membuatku terkesan, beberapa lelaki lain membuatku terheran.
Dan sosok Rinan adalah malaikat penolong yang seketika bisa menolongku dari sesak napas akibat terlalu lama menceburkan diri dalam eksperimen itu. Dia menjadi tempat aku bercerita, berkeluh kesah, sekaligus bounce back ke dalam logika berpikir taktis. Aku juga masih perempuan, yang selalu kebanjiran soal perasaan. Tetapi, bersamanya, aku jadi lebih tegak entah kenapa. Ibaratnya kalau dalam bahasa catur, kelakuanku ibarat sebuah peluncur yang bisa kesana kemari, sedangkan Rinan seperti menjaga raja dan menteriku dengan berposisi sebagai benteng yang diam tak kemana-mana tetapi sigap dan selalu ada. Terbaru, adalah soal Tarra. Baru disana rasanya aku merasa patah hati oleh lelaki yang aku suka. Rinan, adalah ksatria berkuda hitam yang selalu menjemputku saat malam gelap dan mengantarku pulang sebelum matahari menjelang. Ia adalah bagian penting dari titik-titik penting caraku memahami lelaki. Aku cukup memiliki simpati dengannya dan merasakan degup yang berbeda beberapa kali saat bersamanya. Tetapi ia berkata, bahwa aku bukanlah tipenya, sialan memang.
Apakah aku harus menjadi ‘perempuan normal’ agar aku bisa menaklukkan dia? Tidak, aku merasa tak ingin menjadikannya kelinci percobaan nomor sekian. Ia adalah lelaki yang sebaiknya tak kusentuh, kecuali bila aku sudah terlalu bodoh mengenali perasaanku sendiri. Dia adalah sosok hening yang sedang menyembuhkan luka, yang aku tak tahu entah itu sedalam apa.
**
Kuseruput diam-diam kopi miliknya yang masih tersisa di atas meja. Lalu, ada perasaan lain ketika aku membaui harum yang perlahan menggetarkan erosku, tipikal harum tubuh Rinan yang sepertinya sengaja menempel di cangkir itu. Sesaat, aku merasa menjadi wanita paling seksi. Tiba-tiba segalanya menjadi serba romantis. Meski kucoba berpikir lebih jernih, nyatanya aku membiarkan hasratku yang mengambil kendali. Sesaat, aku bahkan berfantasi dengan memandangi bagian tubuhku sendiri. Bagaimanapun, aku adalah manusia yang kadangkala memiliki hasrat terpendam yang kini menyala-nyala. Suasana dingin yang menggigit mendukung otak bagian hipotalamus-ku untuk mencari-cari sesuatu yang bisa menghangatkan malam ini. Tentu, tak cukup hanya secangkir kopi.
“Adri, have you finished? Come here quickly,”
Tak sampai semenit, aku sudah melepaskan sweaterku. Meski sempat ragu, aku akhirnya takluk pada hasrat yang perlahan mendidih ini. Aku seperti rindu oleh hal yang entah apa, dan sesaat timbul nama Rinan sebagai jawabannya. Belum ada lagi lelaki yang merengkuhku dan membawaku ke nirwana. Bila kali ini orangnya adalah Rinan, maka aku takkan enggan. Meski cukup misterius, kurasa Ia tak akan mengecewakanku malam ini. Aku percaya bahwa ia berlaku se-gentle sikapnya. 
“Wait for a minute. Tumben banget sih, haha. Mau ngusir aku ya?” katanya sambil tergelak, dari arah dapur.
“I’ll give you a present. Come here. Oh, take me a muffin also. Di dalam lemari ya, di pinggir kulkas,”
“Okay, Tari,” tukasnya.
-
Langkah kaki Rinan mulai menujuku di ruang sofa. Aku melihat sekelebat bayangnya yang berjalan perlahan sambil membawa nampan berisi chocolate muffin. Sementara aku sudah setengah tak berpakaian, bagian bawahnya sengaja tak kulepaskan agar menjadi bagiannya nanti. Kue muffin akan menjadi pemanis penghujung malam yang kupastikan berakhir dengan hangat.
Rinan, menurutku adalah lelaki biasa yang takkan menolak ajakan wanita sepertiku. Kupandangi Ia dengan senyum mengembang, berharap ini akan tuntas sebagaimana mestinya.  Namun, seketika Ia memekik dan terdiam dalam keheranannya. Sekilas kupandangi matanya, sama saja seperti lelaki lain yang memiliki nafsu seperti ingin menerkam. Aku percaya, area bagian saku celananya mulai menggeliat paksa. Tapi…. Rinan seperti terpenjara atas hasrat manusiawinya sendiri. Lalu aku juga akhirnya terheran dengan pekikannya yang tak biasa, tapi menyelusup ke dalam batinku seketika,
“For God’s sake, Rivera! Ngapain lo kaya gini?”
“Come on, Adam. Tonight, I’m yours. Bite me like a man should do,”
Rinan mendekatiku perlahan, ragu-ragu. Aku merasa ada pertentangan batin dalam dirinya. Diluar sikapnya yang manis, aku percaya bahwa ia juga manusia biasa. Aku kini merayunya dengan bersitatap tanpa kata. Mencoba membuatnya bungkam, merengkuhnya, lalu sama-sama tenggelam.
Tapi, ia duduk disampingku dengan tatapan nanar. Penolakan dari dalam dirinya terasa olehku. 
“Are you…..a gay?”, tanyaku lugas.
“Hell no. What are you thinking about?”, balasnya dengan gusar.
“Jangan awkward ginilah, Nan. I’m okay with this. Is this your first time?”
Aku lalu mendekatinya perlahan, lalu memeluknya. Berharap iblis dalam dirinya adalah yang menang. Aku sudah kadung begitu berhasrat. Takkan kusumbat lagi hormonku yang sudah terlanjur meluap ini. Rinan seketika terdiam ketika kupeluk. Ada semacam genderang degup yang sama-sama beradu dalam dada kami. Hanya saja, ia berpakaian, sedang aku tidak. 
“Astari, ngga! Please. Give me some air,” Ia menolak pelukanku selang beberapa detik.
“Why, Nan… you don’t like me?”
“No. It’s not about that. Lo ngga akan ngerti..”
“Ngga ngerti apa atuh, Nan? Gue benar-benar lagi kepingin,” giliranku yang jadi gusar.
“Maaf, tapi gue ngga bisa. Susah ngejelasinnya,”
Aku hanya terdiam. Menunggu kelumit bibirnya yang bahkan bergetar pun tidak. Menunggu sebaris kata yang mampu membuatku tak menjadi gusar karenanya. Aku sadar bahwa aku bukan perempuan murahan, tapi aku rasa bahwa sikapku kali ini adalah sebagai bentuk hadiah untuknya. Apakah Rinan sepertinya masih tersangkut sekat mitos, budaya, atau agama?
Tumblr media
Aku hanya menutup diriku dengan selimut. Menunggu penjelasan darinya. Nafsuku ibaratkan bara sekam yang sudah tersulut api, tiba-tiba Ia datang memadamkannya dengan seember air es. Aku lalu kehilangan hasrat, terdiam dalam manik-manik waktu yang seakan melambat, sementara Rinan hanya menggosok-gosokkan telapak tangannya ke wajah. Kurasa ia juga sedikit berkomat-kamit, mungkin berdoa dengan lamat-lamat.
“Gue pengin cuci muka dulu. Pakai bajumu, Ver,” ujarnya, masih bernada ketus menuju wastafel. Aku tahu, ketika dia sudah memanggilku dengan nama Rivera, berarti sesuatu sudah jadi biasa.
“Iya gapapa. Ntar jelasin tapi ya,”
Aku sudah berpakaian lengkap ketika Ia datang dengan wajah yang kembali cerah. Setidaknya, dari perilakunya, Ia seperti mencoba amnesia dengan kejadian beberapa menit yang lalu. 
“Kenapa? Kamu lagi ngga pengen ya? Tumben, lelaki loh kamu,” rayuku. Kali ini aku serius memanggilnya dengan frasa ‘aku-kamu’.
“Bukan, bukan itu,”
“Terus, apa? Aku bukan tipemu, gitu? Am I not hot enough for you?”
“You frekking insane, Rivera. It’s not about that. Kamu pasti gak akan terima kalau kuceramahi soal agama,”
“Oh, jelas. Aku ga  percaya ama Tuhan,” ujarku mantap.
“Kalau begitu tak ada alasan lain yang bisa kupaparkan. Semuanya sudah jelas. Kita hanya berbeda prinsip,”
“Uhuh. Just that?”
“Well, that is the point. Bagaimanapun, aku ngga bisa lebih banyak berdebat tentang itu. Budaya kita memang beda, Ver,”
“Oke, Nan. Kalau caraku tadi melanggar budayamu, aku mungkin bisa terima. But, this is sex, as you know that sex is universal! How could you possibly refuse me?” sanggahku berapi-api.
“Cuman berbeda sudut pandang, mungkin. Aku hanya mencoba konsisten dengan prinsipku. Meski harus kuhormati perspektif yang memandang seks dalam konteks kebebasan, tapi maaf, aku tidak menganut itu,”
“Gue ngga paham lagi Nan sama lu,” ketus, seketika aku kembali ke mode biasa.
Lalu, kami terdiam beberapa detik. Begitu menyulitkan untuk kami berdua. Untukku, karena harus menanggung malu atas pengorbananku yang sudah setengah tak berpakaian, bahkan ia tolak mentah-mentah. Juga untuknya, yang harus berperang melawan hasratnya sendiri. 
“Udahlah, lupain aja,” ujarnya sambil menghela nafas panjang.
“Kalau elu begini terus Nan, elu bakalan susah dapat pacar. Kesempatan dengan gue tadi harusnya ngga dilewati.  Elu tuh harus belajar memanjakan wanita,” ujarku berkilah.
“Tahu apa elu soal perasaan gue, Ver?” sergahnya membara. “Gue disini sayang ke elo itu sebagai teman, Ver! Ngga lebih! Ngga mau gue kaya gini…”
“…Gue juga masih terluka, belum bisa buka perasaan. Elu kan udah tahu dari lama, kenapa sih ngga ngasih gue respect dikit?”
Hening, yang sebetulnya sebentar, menderaku seperti sudah bertahun-tahun lamanya. Seketika air mataku meleleh, tanpa sadar. Aku sengaja melukainya, dan tanpa sengaja juga melukai diriku sendiri.
**
Pukul 12 malam lewat. Hujan sudah tak lagi memperdengarkan rintik. Suasana sudah hening, sepertinya segala hal sudah kembali ke peraduannya. Barangkali juga sikap Rinan saat ini jauh lebih tenang.
“I’m so sorry,” Aku memberanikan diri memecah kebuntuan.
“Udahlah, Ver. Gue ngga mau ngomongin itu lagi,” ucapnya lurus. “Gue juga minta maaf, mungkin gue tadi keliatan seksi banget ya di mata elu,”
Secepat mungkin, ia kemas charger handphone dan dompetnya yang ada di lantai. Sementara, aku cuma menguwel-uwel lengan sweaterku. Aku kesal sekaligus gemas padanya, tapi tak ingin membantah.
“Jadi, elu belum pernah making love sebelumnya?”
“Belum. Digoda separah itu aja baru tadi,”
“Little shit. Gue masih heran ke elu, Nan.  Also, my cupid wasn’t working well tonight, padahal gue udah setengah telanjang di depan elu,”
“Gitu ya? Gue bahkan punya dua malaikat dibanding cupid lu itu. Dua-duanya ada di pundak kiri dan kanan gue nih,”
Ngomong apa dia? Aku tak mengerti, sementara ia hanya terkekeh.
“Buat gue, kalau peristiwa tadi itu bukan making love, Vera. Diantara kita mungkin ngga ada perasaan, cuman hasrat sebentar. Cuma beberapa saat dan kemudian dilupakan. Ngga ada cinta disana. Elu masih percaya apa itu cinta, kan?”
“Maybe,”
Sejenak aku lalu teringat Tarra yang meninggalkanku tanpa berat hati, mungkin karena dia tidak merasakan cinta dariku.
“Gue sih mau melakukannya, kalau memang didasari oleh cinta. Karena gue rasa, cinta itu tak hanya sekadar eros, Vera. Bukan hanya dorongan untuk melampiaskan, tapi juga bertanggungjawab dan menghargai sebuah pengorbanan,” tukasnya.
Aku terdiam. mencoba untuk mengunyah padanan makna yang ia sampaikan, mencoba merunutnya dalam pikiran yang lebih jernih. Secara spontan, terbit rasa kagumku terhadap sikapnya. 
“Udahlah, gue pulang ya, Ver. Anyway, to be honest, you were so damn hot! Tapi gue lebih kagum ke elu kalau berpakaian elegan, hehe”
Aku mengernyitkan bibir. “Gue ngga butuh pujian elu, Nan. Udah, pulang sana,”
“Haha, siaap cyin,” Secepat musang, ia melompat menuju gagang pintu. Sejenak melihat kepadaku yang masih tergugu di atas sofa. 
“Hei, jangan kasih tau siapa-siapa ya cerita ini!” teriakku.
“Tenang saja, gue bukan orang yang bocoran kok, I’ll keep it a secret,”
“Yaudah. Hati-hati. Bener-bener dingin loh diluar. Ngga mau nginep disini aja?” Godaku, meski tak berniat merayu.
“Ngga ah, nanti gue malah ngga bisa tidur kalau sama elo disini,” Ia terkekeh. “Jangan lupa, workpapernya diketik. Besok masuk kelas jam 12 siang kan? Sebelum matahari terbit udah bangun ya!”
“Iya, bawel. Dah, sana,” aku mengibaskan tangan ke arahnya.
“Okay. Bye Rivera. Sleep well,”
“Take care, Rinan,”
Gagang ditutup. Ia telah pergi dengan meninggalkan kesan yang aneh pada diriku. 
Masih berselimut, aku mencoba menerka-nerka pelajaran hidup apa yang baru saja terjadi. Tentang sosok seorang teman lelaki yang sudah seperti kakak, yang tiba-tiba membuatku ingin memberikan diriku padanya, tetapi ia tolak. Aku kembali berhadapan dengan sentimen prinsip, moral dan budaya yang berbeda dari orang yang kutemui. Lalu tiba-tiba ia menceramahiku soal cinta, padahal melakukannya saja ia belum pernah. Ia masih berpegang pada prinsip yang menurutku ilusi, setidaknya untuk hal universal seperti seks.
Ah, sudahlah. Aku tak mau banyak memikirkannya. Lagipula, tak baik memaksakan standar hidup dan menyamaratakannya dengan perdebatan tak berujung. Meski begitu, aku salut terhadap pria sepertinya, mampu untuk membawa diri sesuai dengan apa yang dianutnya. Aku menaruh respek terhadapmu, Rinan.
Dan… kata yang terngiang di hatiku sejak tadi adalah.. cinta tak sekadar eros. Sepertinya memang, ia benar soal ini. Mungkinkah selama ini aku hanya bersandar pada nafsuku yang manusiawi ini? Entahlah. Aku saja tak bisa berpikir, apakah nantinya aku harus menikah? Aku masih skeptis soal cinta, setelah terakhir ini Tarra yang mencampakkan harapanku. Atau apakah aku harus berubah menjadi wanita normal yang tampak baik-baik?
Sudahlah. Yang kulakukan sekarang bagusnya berselimut sambil menghabiskan regukan terakhir kopi milik Rinan yang sudah mendingin. Lalu terpejam. Melupakan semuanya.
.
Bersambung...
Bandung, 25 April 2020
Cerita sebelumnya disini 
36 notes · View notes
zonakreatif-blog · 7 years
Text
Tutorial Cara Merajut Sweater Laki-laki Bagi Pemula
Tutorial Cara Merajut Sweater Laki-laki Bagi Pemula
Di musim hujan seperti ini, cocoknya memang mengenakan sweater yang hangat, apalagi sweater rajut dengan jenis benang rajut yang halus, lembut, dan menghangatkan. Sehingga anda masih bisa beraktivitas meskipun cuaca sedang dingin.
Terlebih bagi anda yang ingin jalan-jalan atau berdomisili di luar negeri dengan 4 musim yang berbeda. Karena pada saat musim dingin tiba, anda tidak akan sanggup…
View On WordPress
0 notes
fegiayu23 · 5 years
Text
Cardigan Rajut yang Bikin OOTD-mu Tambah Modis
Tumblr media
Sweater rajut merupakan salah satu fashion Baju Online Murah Jember item yang wajib dimiliki setiap wanita, terutama saat musim penghujan tiba. Hal ini disebabkan karena bahannya yang tebal dan lembut dan sangat pas untuk digunakan untuk menghalau hawa dingin di musim hujan. tidak mengherankan kalau biasanya kita memiliki lebih dari 2 Koleksi Baju Muslim Jember sweater untuk dipakai saat musim penghujan. Cardigan rajut menjadi salah satu model  yang banyak diminati. Sesuai dengan fungsi utamanya untuk mengahangatkan tubuh, cardigan rajut sering diandalkan ketika cuaca hujan atau pun liburan musim dingin ke luar negeri. 
Faktor utama yang membuatnya terasa hangat saat dikenakan ialah material utama yang digunakannya yakni benang wol, katun, hingga benang bali yang dibuat dengan metode merajut.
 Cardigan panjang
Cardigan panjang adalah perpaduan antara nyaman dan anggun. Dikenakan dengan jin, cardigan bisa mengikat seluruh pakaian bersama-sama, atau memilih rok pendek dengan pakaian luar untuk memanjangkan kaki Anda. Jika suhunya berada di ambang dingin dan hangat, sepotong rajutan ringan sebetis akan membuat Anda merasa nyaman tanpa terlalu panas. Jika suhu mulai turun, pilih rajutan tebal yang menahan panas di bahu dan lengan Anda.
 Cardigan shawl berkerah
Menggantung cardigan shawl adalah cara mudah untuk meningkatkan pakaian kasual tanpa terlihat berpakaian berlebihan, dan Anda bisa memakainya di mana saja. Tetap sederhana dengan memasangkan pakaian luar ini dengan T-shirt dan jin polos, atau naikkan penampilan dengan celana kulit. Ini adalah bagian serbaguna yang cocok di setiap usia dan di setiap musim sepanjang tahun.
 Cardigan rajut chunky
Saat musim hujan dan terasa dingin, hangatkan dengan rajutan tebal. Dari panjang ke pendek, dan segala sesuatu di antaranya, pakaian luar ini adalah sentuhan akhir yang bagus untuk pakaian, dan merupakan cara yang ideal untuk menjaga tubuh Anda hangat. Dari gaya klasik hingga menjuntai ke lantai, Anda tidak bisa salah dengan lapisan bagus ini.
0 notes
dailymailcoid · 5 years
Text
Seniman Ini Buat Ilusi Optik Pakai Sweater Rajut, 6 Hasilnya Bikin Takjub
Seniman Ini Buat Ilusi Optik Pakai Sweater Rajut, 6 Hasilnya Bikin Takjub
Dailymail.co.id, Jakarta Membuat pakaian dengan cara merajut bukanlah hal yang mudah. Hanya beberapa orang saja yang punya keahlian merajut benang-benang menjadi pakaian yang layak dipakai.
Berbeda dari menenun yang menyilangkan dua jajaran benang yang saling tegak lurus, merajut hanya menggunakan sehelai benang. Maka tak heran jika merajutsering dianggap sulit. Merajut dapat dilakukan dengan…
View On WordPress
0 notes
zonakreatif-blog · 8 years
Text
Tutorial Merajut Tusuk Penambahan Pada Rajut Knitting Bagi Pemula (Increase Stitch)
Tutorial Merajut Tusuk Penambahan Pada Rajut Knitting Bagi Pemula (Increase Stitch)
Tutorial merajut ini merupakan lanjutan dari tusuk dasar pengurangan dalam rajut knitting bagi pemula (decrease stitch). Seperti halnya tusuk pengurangan, tusuk penambahan juga seringkali digunakan dalam merajut baju, sweater, cardigan/lace, dan rajutan lainnya.
Ada beberapa jenis tusuk dasar penambahan rajut knitting dengan ciri dan karakteristik masing-masing. Terutama variasi berlubang yang…
View On WordPress
0 notes
zonakreatif-blog · 8 years
Text
Bagimana Cara Memperbaiki Rajutan Yang Salah atau Lepas?
Bagimana Cara Memperbaiki Rajutan Yang Salah atau Lepas?
Terinspirasi dari salah satu penanya via facebook, kurang lebih pertanyaannya seperti ini: mau tanya dong, kan aku buat knitting tapi di tengah-tengah aku salah merajutnya (tusuk rajut knitting tidak sesuai dengan pola), cara benerinnya gimana ya?
Nah, dari situ saya mulai terfikir, kalau ada kejadian seperti itu menimpa hasil rajutan saya gimana ya? Akhirnya saya terdorong untuk memposting…
View On WordPress
0 notes
zonakreatif-blog · 8 years
Text
Tutorial Merajut Teknik Dasar Purl atau Purl Stitch Bagi Pemula
Tutorial Merajut Teknik Dasar Purl atau Purl Stitch Bagi Pemula
Seni merajut kali ini (tusuk purl atau purl stitch) merupakan kebalikan dari tusuk dasar knitting sebelumnya, tusuk knit atau knit stitch. Meskipun kebalikan, kedua teknik merajut knitting ini seringkali ada dalam sebuah karya/hasil rajutan (penggabungan kedua tusuk knitting).
Tidak sedikit hasil rajutan yang menggabungkan antara kedua tusuk dasar tersebut, seperti merajut syal misalnya. Karena…
View On WordPress
0 notes
zonakreatif-blog · 8 years
Text
Belajar Merajut Teknik Dasar Knit atau Knit Stitch (K) bagi pemula
Belajar Merajut Teknik Dasar Knit atau Knit Stitch (K) bagi pemula
Setelah belajar merajut slip knot (simpul awal) dan Cast On (tusuk awa/permulaan), saatnya untuk membuat tusuk dasar dalam merajut knitting. Bagi yang baru gabung, silahkan belajar dulu cara merajut slip knot pada artikel cara memegang benang dan membuat simpul awal rajut knitting dan merajut Cast On cara merajut cast on atau tusuk dasar dalam merajut knitting.
Ibarat membuat sebuah bangunan atau…
View On WordPress
0 notes