Tumgik
#ayolah
nonaabuabu · 5 months
Text
Hidup yang Begini-Begini Saja
Aku sering berpikir, sepertinya poin paling besar yang menjadi pembeda seseorang dengan orang lain adalah dirinya sendiri; ceritanya, perjalanannya dan kompleksitas cara berpikirnya. Itu kenapa aku sering sekali merasa seharusnya aku menuliskan ceritaku, perjalananku, dan semua huru-hara hidup yang membuat jatuh bangun.
Namun di sisi lain, masih sering sekali skeptis sama diri sendiri; 'Memang apa yang kau tawarkan dari cerita itu? Hei, lihat dirimu, masih saja terlunta-lunta urusan hidup.' Tapi, itu menariknya kan? Kita sering melihat, cerita duka hanya dibaca jika disampaikan oleh orang yang sudah bersuka ria. Cerita sedih dilirik jika sudah ada titik bahagia. Kegagalan didengarkan saat ada kesuksesan yang turut bisa dijual. Lalu kenapa kita yang seringnya merasa masih begini-begini saja, bersusah payah untuk didengarkan dengan berbagai strategi dan upaya, padahal kisah sendiri adalah kisah yang tiada duanya.  Tapi sebenarnya apa itu menjadi begini-begini saja?
Uang? Kekuasaan? Kecantikan? Popularitas? Semua itukah yang membuat kita menjadi seseorang? Atau terlalu naif kita untuk memahami, bahwa banyak hal yang terjadi dalam hidup ini meski tanpa semua itu.
Aku tak cukup bijak untuk mengambil kesimpulan, tak cukup lainnya untuk didengarkan, namun ayolah, untuk diri sendiri setidaknya kita mau menerima dan mengerti, bertahan sejauh ini menjadi seseorang yang memahami kebaikan bukankah sebuah pencapain? Mari sama-sama hitung orang di sekitar kita, berapa hati yang menghilangkan kebaikan dalam dirinya demi semua hal yang sifatnya materi itu? Bahkan tanpa sadar kita sering melakukannya.
Pemahaman ini, pelajaran ini, bisa jadi sesuatu yang diketahui banyak orang. Tapi ada saja alasan yang digunakan untuk memaklumi bahwa adil menjalani kehidupan yang penuh kelicikan dan kepura-puraan demi semua pencapaian yang hingar bingar. Sehingga hadirlah sentimen bahwa menjadi seseorang yang berintegrasi dengan kejujuran, kebaikan dan prinsip menjalani hidup tidak seperti orang kebanyakan menjadi sebuah pilihan yang terlalu naif. Sayangnya aku juga pernah percaya itu.
Pada satu titik aku juga pernah menjadi si orang paling stress bahkan depresi akan hidup yang masih begini-begini saja. Melihat kiri kanan yang penuh dengan pencapaian, mendengar depan belakang yang penuh tekanan. Titik yang akhirnya membuat diri tak hanya stagnan dalam bergerak namun juga berhenti dalam berpikir. Hanya karena agar sama dengan orang lain, agar diterima di semua kalangan, dan agar-agar lain yang kalau kupikirkan sekarang, untuk apa?
Mungkin jika tidak melalui semua itu tak banyak yang kupelajari soal hidup. Mungkin hidup yang begini-begini saja adalah pengalaman yang tidak sembarang orang miliki, jadi kenapa harus merasa bahwa tak ada hal yang bisa kuceritakan sebab aku masih begini-begini saja?
Aceh, 02 Mei 2024
112 notes · View notes
herupras · 4 months
Text
catatan untuk diri sendiri #3
halo, kamu masih berusaha menghilangkan perasaanmu itu?
apakah kamu ingat ini sudah hari keberapa setelah pertemuan di malam terakhir itu? sudah lupa kan? iya, rasanya sudah lama sekali. bahkan kamu mampu melewati hari-hari tanpa kabarnya sedikitpun. memang seharusnya begitu, kamu harus bisa terima. sorry, bukan “harus bisa” kamu harus terbiasa menerima. apakah kamu mau jadi orang yang egois sebab memaksakan semua maumu? ayolah, jangan jadi manusia yang menyebalkan, jangan jadi penghalang jalan menuju bahagia seseorang. kali ini coba bayangkan hal-hal yang menyebalkan darinya, sekali saja. walau pasti kamu memaklumi tindakan-tindakannya yang lalu, tapi coba sekali saja bayangkan betapa biasanya dia menghilangkan perasaannya untukmu.
sudah ya, kita cari alasan lain untuk melanjutkan hidup. walau kutau salah satu alasan paling masuk akal adalah memastikan senyumnya tetap utuh. dia sudah memutuskan untuk menaruh bahagianya di orang lain, seharusnya kamu juga mampu mencari alasan-alasan lain untuk bahagia hari ini. sudah, jangan berlarut-larut begini. aku tau kamu bisa melalui sepi ini sendirian.
memang hidup hanyalah perihal mengalah atau dikalahkan.
bdg, juni 2024.
26 notes · View notes
Text
Oh, Teman Baru.
Satu jam sebelum pukul tujuh belas tiga puluh sore, hari Jumat.
Aku sengaja datang sejam lebih awal dari jadwal ketibaannya di bandara. Tidak apa kok, aku tidak keberatan harus menunggu sedikit lebih lama dari balik pagar pembatas itu sembari memperhatikan orang-orang di sekeliling.
Mereka semua terlihat begitu biasa.
Ada segerombolan bule yang menggendong tas backpack segera menuju konter selular. Ada sepasang orang Korea yang bergandengan tangan buru-buru mengarah ke pemberhentian taksi. Ada ibu-ibu sosialita yang sedikit heboh berfoto-foto untuk mengabadikan momen tiba mereka. Dan orang-orang lainnya yang melenggang keluar dari terminal kedatangan internasional menuju tujuannya masing-masing.
Dan aku juga pasti terlihat biasa bagi mereka semua.
Tumblr media
Tapi, hari ini aku akan bertemu seseorang—yang tidak biasa bagiku.
Aku mencoba menghilangkan rasa gugupku dengan mondar-mandir. Jujur, jantungku berdegup tak menentu. Setiap ada orang yang muncul, aku selalu menerka-nerka, apa itu dia? Lalu pikiranku maju jauh, membayangkan dia datang melalui pintu itu, keren dan atraktif.
“Sebentar ya, masih nungguin koper,” katanya di DM Instagram. “Okay. Take your time,” balasku.
Semakin deg-degan, hingga aku memutuskan untuk mencari tempat duduk yang kosong demi menurunkan rasa gelisahku. Lalu tiba-tiba, “Haaai Cindy!” terdengar. Aku mendongakkan kepala dan menemukan dia berjalan dengan riang ke arahku.
And, he planted roses on my cheeks. Suddenly, shyly, nervously.
Aku segera menyodorkan Matcha Latte yang kubelikan untuknya. Dia pasti cukup haus setelah penerbangan yang memakan waktu lebih dari 7 jam itu. Tapi, dia tidak mengeluh. Kami mencari taksi untuk segera menuju pemberhetian selanjutnya. Dan di dalam mobil itu, aku, baru tahu, bahwa satu obrolan santai dari dua orang asing yang baru bertemu itu bisa membuat senyum tak berhenti mekar seharian.
Sebelumnya, kami sudah janjian untuk sebuah meet up yang proper. Dia selalu tahu, aku ingin makan di salah satu restoran bintang 5. Jadi, kami random saja memilih di daerah terdekat. Restorannya cukup romantis dengan konsep taman eksotis yang menawarkan menu Asian-fusion yang nikmat. Perhatianku tertuju pada menu dessert-nya yang berbentuk seperti jamur. Dia yang menyadari aku menyukai segala hal yang berbau coklat segera memesannya.
Tumblr media Tumblr media
Sambil menunggu makanannya disajikan, kami memulai pembicaraan dengan basa-basi singkat. Dan, kalian tahu, cara paling mudah untuk tahu apakah kita cocok dengan seseorang atau tidak adalah ketika kita lupa waktu. Di sanalah, aku tidak sadar telah mendamparkan diri pada caranya bercerita. Untuk kesekian detik, aku berusaha untuk menggenggam erat kewarasanku agar tidak gila bayang pada orang asing di hadapanku.
Ayolah, Cindy, dia hanya orang asing, kok.
Tapi, seberapa keras pun aku berusaha untuk mengenyahkan perasaan itu, aku tahu aku akan tetap memilih satu momen bersamanya untuk diabadikan. Cukup satu. Betapa aku rela menukarkan apa pun untuk kembali dipertemukan dengan dia dengan cara yang sama.
Tidak terasa 2,5 jam berlalu begitu saja, dan hanya dalam sejauh spasi pendek itu, aku tidak tahu apa yang membuatku ingin terus berbicara. Aku sudah terbiasa dengan stereotype introvert yang kagok ketika berkomunikasi. Tapi, waktu dengannya, aku menemukan diriku bebas berdiskusi, berargumen, berkisah, tentang apa saja. Dan ternyata untuk dia yang bisa menerima celotehanku dan tidak berekspektasi aku untuk menjadi seseorang yang agung, itu sudah cukup…bagiku.
Sebelum bertemu dengannya, aku telah bertemu banyak orang. Beberapa melewatkanku, beberapa kulewatkan. Beberapa menarik perhatianku, beberapa kutarik perhatiannya. Beberapa tiada, beberapa masih ada dalam hidupku. Beberapa nama masih tersimpan dalam kontak, beberapa terhapus tanpa pikir panjang. Dan, dia, seseorang yang siluetnya langsung membentuk mimpi di saat jumpa pertama, membangkitkan kembali perasaan yang sudah lama terkubur dalam hatiku, membuatku sadar bahwa selama ini aku hanya sedang menunggu.
Malam itu, aku ingin kembali mengalami…perasaan jatuh hati di antara begitu banyak omong kosong tentang cinta pada pertemuan pertama.
Setelah menyadari gerak-gerik pelayan yang mulai beberes piring-piring yang sudah tidak menyisakan makanan, dia bertanya, “Jadi, kita mau ke mana lagi?”
“Kita jalan ke mall seberang, mau?” pintaku.
Dia mengangguk, dan bilang, “Let’s go!”
Tadinya, kukira pertemuan ini hanya akan sesingkat makan malam lalu pulang ke tempat masing-masing lalu melupakan nama satu sama lain, tapi tampaknya, semesta telah mengabulkan desakan doaku kalau: I want more time with him.
Ternyata menyebrang di jalanan yang padat kendaraan tidak semudah yang dibayangkan. Tidak ada mobil yang mau mengalah untuk kedua pejalan kaki yang terlihat takut ini. Tapi, cara dia berdiri di arah kendaraan melaju kembali membuat hatiku berdetak dua kali lebih cepat. “Kamu di sebelah sini aja, kita pelan-pelan saja." Sesaat ada kesempatan untuk menyebrang, dia memegang canggung pergelangan tanganku lalu mengarahkanku untuk berjalan dengan cepat. Tanpa kata-kata, aku sejujurnya ingin mengisyaratkan bahwa detik itu juga, aku sudah jatuh kepada dia.
“Wanna have some ice cream again?” tanya dia, sejujurnya, malam itu aku sudah kenyang dari makan di restoran sebelumnya. But, we all broke our rules for someone, right?—hanya demi agar aku punya alasan untuk memiliki kegiatan lain dengannya. So, yes was an answer.
Jam menunjukkan hampir pukul 10.30 malam. Toko-toko di mall itu sudah banyak yang tutup. Sinar lampu perlahan-lahan meredup, tapi matanya memercikkan kilatan kesima di sana. Lucu ya, bagaimana kita bisa bertemu dengan seseorang. Satu hari, kita hanya saling mengagumi dari balik gaduhnya dunia maya, kemudian di hari lainnya lagi, kita bisa berdiri di sampingnya, merasakan kehadirannya nyata.
Aku percaya, itu bukan kebetulan. Masing-masing dari kita, jika diizinkan semesta, pasti akan saling bersinggungan, entah dengan cara apa pun, di mana pun, dan kapan pun.
And that’s how I met him.
Malam itu, aku pulang lebih larut dari biasanya. Aku menimbang-nimbang, apakah setelah malam ini dia akan menghubungiku lagi? Karena, jujur, aku ingin dia datang lagi.
Aku punya berbagai jenis ketakutan, seperti film horor, reptil, barongsai…; dan kehilangan seseorang yang baru kutemui semalam.
Pagi setelah pertemuan malam itu, kembali seperti pagi-pagi biasanya. Tidak ada satu pun pesan darinya. Sesingkat apa pun itu. Aku hanya bisa memandangi layar ponsel yang tidak memunculkan notifikasi apa-apa.
9 jam. Aku tidak bisa berhenti menghitung waktu yang bergulir tanpa kabar apa-apa darinya. Entah kenapa, aku merasakan hatiku pelan-pelan tergerus. Tidak, aku tidak bermaksud untuk melekat padanya. Alasan utamanya; siapa lah aku untuk boleh mendapat kabar darinya? Tapi, ketika melihat dia aktif di media sosialnya tanpa meninggalkan sepotong pesan untukku, membuatku sedikit merasa jauh darinya dan…terabaikan. Sungguh, aku ingin mengonfirmasi bahwa tidak ada yang istimewa dari dia.
Tapi, untuk kali pertama, dalam waktu sesingkat itu, aku mau tak mau harus mengakui perasaan itu. Cemburu.
Beberapa waktu berlalu, mungkin dia tidak menyadarinya bahwa aku tidak suka terlihat rapuh. Aku bukan siapa-siapa baginya. Aku tidak ingin mengambilnya dari keluarganya, dunianya, hobinya, pekerjaannya, sirkel-sirkelnya… Tapi, bolehkah dia sisihkan saja sedikit ruang untukku yang tidak terjamah siapa-siapa untuk letakkan aku di situ? Aku tahu, aku mulai egois ingin memilikinya.
Apakah dia mengerti perasaan semacam itu?
Namun, sebelum malam jatuh seluruhnya, aku mempertaruhkan diri untuk menyapanya di kesepian itu. Dan beruntunglah aku ketika… “Aku boleh ke rumahmu, sekarang? Kita makan nasi goreng kalau kamu belum makan,” muncul pada kotak notifikasi. Dia menjelaskan kalau dia kesusahan mencari jaringan wifi hingga tidak bisa mengabariku.
Secepat kilat, tanpa pertimbangan, hanya 3 kata yang tertulis sebagai balasan: “Oke, aku tunggu.”
“Menurutmu, aneh nggak, ngobrol apa aja dengan orang yang baru kamu temui 2 hari lalu?” tanyaku setelah diam menggigit sejenak. “Enggak, malahan kita jadi lebih banyak tahu tentang satu sama lain dibanding orang lain. Hubungan kita jadi eksklusif karena itu,” jawabnya ringan sambil menatap mataku.
Tidak pernah terbesit dalam pikiranku untuk merasakan lebih daripada itu. Ketika berhadapan dengan dia, aku tidak yakin apa yang harus kulakukan. Mungkin, dia hanya butuh seseorang untuk menghangatkan bayang kosong di sampingnya. Mungkin, aku juga hanya sedang butuh ditemani saja. Tapi, why not? Mungkin, yang kami butuhkan hanyalah; suasana, teman bicara, selera makan yang sama.
And, maybe, we should try.
Biasanya, aku tidak pernah membiarkan orang lain membaca buku bucket list-ku secara langsung. Namun, dia yang begitu penasaran terus meminta untuk membacanya. “Aku ingin tahu semua keinginanmu,” mintanya. Tidak pernah ada orang yang se-excited itu untuk bertanya tentang keinginanku. Aku melihatnya menggenggam buku kecil itu lalu membacanya kalimat demi kalimat, dan dia… benar-benar ingin tahu dan terlibat. Sungguh, aku sangat menyukai binar di matanya malam itu.
Begitu saja—ya, begitu saja, se-simple itu bahagia tercipta. And I miss the comfort of being loved…
Saat sedang sama-sama membaca, tak sadar poni rambutku terjatuh menyapu dahi dan menghalangi mataku. Reflek, dia mengulurkan jari-jarinya untuk menyelipkan rambut yang terjatuh itu di balik telingaku. Dan pada saat kulit kami bersentuhan, aku merasakan hatiku berdesir. Ini kontak fisik pertama kami. Tapi, sentuhan ringan itu terasa jauh lebih privat dari semua yang telah kami bagi selama ini. Aku telah merasakan berbagai jenis sentuhan. tapi kenapa ya, kali ini, aku tidak mampu menguraikan makna dari sentuhannya?
Dia tidak segera menarik tangannya, tetapi membiarkan jari-jarinya sedikit lebih lama mengelus lembut rambutku. Dia tidak gugup, tidak juga melakukan lebih dari itu. Dia terlihat sedikit menginterpretasi. Sampai pada dia kembali ke posisi semula, aku baru sadar, selama itu aku menahan nafas dan dentuman jantung yang tak karuan. Entah tersipu atau gelisah.
"Why don't you kiss me?" Aku sedikit gemetaran mengirimkan pertanyaan ini. Sejujurnya, aku tidak ingin menanyakannya, karena aku tidak berhak merasakan memiliki dia; aku hanya boleh merasa ragu.
Setelah drama mengelus rambut itu, kukira akan terjadi skenario seperti di film-film roman yang kutonton. Mungkin akan ada sebuah kecupan kecil mendarat di pipiku, tapi dia tidak. Hingga dia berlalu pulang, hatiku tetap mengganjal sesuatu.
Dan, di batas malam itu, sungguh aku menunggu jawabannya.
Lama dia mengetik—menghapus; mengetik lagi—menghapus lagi. Entah narasi apa yang sedang dia siapkan untuk menjawab pertanyaan tidak berdasarku itu. Atau, ucapan itu terlalu blak-blakan untuk dipertanyakan?
"Actually, I want to kiss you so badly—it's killing me, but I'm just afraid to make the first move (?). Aku mau sayang kamu dan kiss you at the right time."
Semburat merah jambu muncul pada pipiku setelah membaca jawabannya. Baiklah, aku mengakui aku kalah, pada dia. Aku merindukan aroma woody blend pada tubuhnya. Aku mencari-cari pertanda demam pada tubuhku sendiri, sebab mendadak tubuhku menghangat di hari berhujan ini. Tapi, justru di saat itulah, aku merasa lebih sadar dan sehat dari sebelumnya.
"I have a bad news," tulisnya via DM Instagram pagi berikutnya. "Ada apa?" tanyaku panik.
Kepulangannya ke negaranya ternyata harus dipercepat dari yang sebelumnya bisa sebulan menjadi 2 minggu saja di sini. Aku terdiam, tidak dapat mendefinisikan gemuruh di dadaku yang kini bercampur dengan emosi dan kesedihan yang tidak mampu aku utarakan. Ada jeda yang menggigit hingga aku sadar aku harus memberikan respons.
"Wah, terpaksa mesti balik ya?" Hanya itu respons paling biasa yang bisa aku berikan—meski sejujurnya, dalam hatiku betapa aku tidak ingin dia kembali lagi ke sana; ke tempat di mana seharusnya dia berada. Betapa jika aku punya tombol tunda, lorong waktu, atau apa pun itu lah alatnya untuk menahannya pergi, maka akan aku bayar mahal deminya.
Mendadak, ini menjadi perpisahan paling sepi yang pernah kualami seumur hidupku. Dan waktu tiba-tiba terasa lebih cepat larut dari sebelumnya.
Kenapa, waktu kami, tidak pernah tepat, ya?
Oh ya, aku belum menceritakan dengan jelas sosok dia yang sedari tadi aku sebut-sebut, ya. Kenalkan, seorang laki-laki kelahiran bulan Maret, berzodiak Pisces, pecinta warna oranye, penyuka makanan Korea, smart, terpelajar, mampu membawa diri, komunikatif, percaya diri, tipe kesukaan mertua, loyal, senang mengobservasi, sweet, loveable, caranya bercerita, caranya meraih respek sungguh tidak ada tandingannya.
Dia menyapaku dari balik Instagram pada suatu malam yang sudah telat. Hey Cindy, nice to know you—begitu isi pesannya. Waktu itu, aku terdiam sejenak, menimbang-nimbang apakah perlu aku membalasnya atau tidak. Pikiranku terbelah antara mengabaikan saja atau murni memulai pertemanan. Dan aku memilih yang kedua.
Atau, sesungguhnya, sempat aku merasa, kalau hari itu aku melepaskannya, mungkin aku akan menyesal…
Dia bilang dia akan pulang ke Indonesia bulan depan. Perkenalan kami memang baru sebulan lewat media sosial, tapi mengapa kehadirannya memberikan isyarat optimisme, aku juga tidak paham. Aku menganggapnya sebagai tawaran untuk menginterupsi waktu. Dan, tanpa sadar, aku mulai menghitung hari.
"Kamu itu unik, gimana jelasinnya, ya? Aku hanya perlu lihat sekilas dari profilmu, lalu ya muncul aja koneksi emosional itu. Aku mau ketemu kamu. Aku mau tau apa makanan favoritmu. Aku mau kenal kamu lebih dekat, lebih jauh, lebih akrab. Aku suka caramu menulis jurnal, caramu merencanakan segala hal, caramu meromantisasi hidupmu. Aku…belum pernah ketemu orang seperti itu dalam hidupku."
Berikut jawabannya ketika aku bertanya kenapa aku yang dia pilih, di saat ada banyak perempuan lainnya yang lebih baik untuk dikenalinya—pertanyaan semacam itu membuatku sedikit resah. Tapi, sering kali aku merasa skeptis, mungkinkah perasaan semacam ini hanya ilusi yang akan luntur suatu saat nanti, hanya seperti dopping yang memabukkan sesaat. Seperti memesan kue cantik dari balik etalase, lalu menemukan rasanya tidak seenak yang dipikirkan. Dan, dia akan kecewa. Bukankah, pada satu titik, rasa penasaran itu akan berhenti dan menghilang, menyatu kembali dengan oksigen, dan membuatnya merasa utang moral, investasi tenaga, waktu, dan perasaannya selama ini jadi sia-sia?
Aku takut.
Tidak ada yang istimewa dari dia, pada awalnya, sekali lagi aku ingin mengonfirmasi. Tapi, setelah sedikit mengenalnya, ada sebagian hati kecilku yang ingin menyusulnya ke alam abstrak tempat di mana hanya nafas kami yang bisa bertemu. Mari kita piknik, melihat bintang, pergi ke aquarium, main ski, melipat origami, naik kuda… Namun, jika boleh aku memilih satu: aku ingin menyentuh spasi di antara kedua alis tebalnya, atau mencuri waktunya, atau menyita perhatiannya, atau memilinnya masuk ke sel-sel tubuhku agar terjamin keberadaannya selalu.
Dan, satu balasan "Hey, nice to know you as well!" dariku itu kemudian menjadi gerbang untuk sebuah perjalanan baru yang panjang.
"Menurutmu, kita bisa berteman saja, nggak?" tanyanya sedikit ragu. "Kurasa, kita nggak bisa cuma berteman. Kita sudah berpandangan penuh makna. Kita telah meyakini adanya potensi untuk bersama. Lalu, kalau kita cuma temenan, kita pasti akan berhenti ketemu sering-sering dan aku nggak akan bisa tau kabarmu lagi, aku nggak bisa melihatmu seperti dulu lagi," selagi menjawab ini, aku tiba-tiba merasa sedih. "Aku pasti sedih kalau kita pada akhirnya nggak jadi," gumamnya pelan. Mataku bersaput air. "Ya, aku juga."
Kami menghabiskan sisa malam berpelukan. Saling mendekatkan kepala masing-masing seolah ingin mentransfer segala yang tengah dipikirkan. Deru napasnya bergerak lembut dan terasa hangat. Aku tidak ingin menyia-nyiakan hari ini, biarkan aku memeluknya lebih erat, karena setelah ini, sebentar lagi, semua tidak akan lagi bersisa.
Berapa jam lagi, hari akan berganti? Aku tidak ingin menghitungnya.
Aku tidak pernah merasa memilikinya.
Aku sudah memiliki kenangan mengenai pertemuan pertama di bandara, sebuah malam di tepi sungai sambil menyantap jajanan hangat, dua tiket film horor yang membuatku bergidik namun di dekapannya aku merasa lebih aman dari kepompong mana pun, atau percakapan dan hening yang terbagi pada setiap kedai kopi yang kami kunjungi. Itu saja telah cukup—
aku belajar untuk tidak mengharapkan lebih.
I will miss you. See you there. Let's meet again for the first time. I'll be waiting for you—kalimat pendek itu terdengar samar namun tertangkap jelas di pendengaranku, bagaimana satu laki-laki akan meninggalkanku lagi, seperti yang sudah-sudah.
Hanya saja, kali ini, tolong Tuhan, dia berbeda.
Jangan pergi—dua kata itu tertahan di lidahku. Dan, aku hanya sanggup menangis, hingga dia kebingungan, namun dia tetap memberiku ruang untuk mengumbar semua kesedihan.
Besok, dia akan kembali, menjalani perannya seperti sedia kala, karena itu adalah hal yang paling tepat. "Andai saja, aku ketemu kamu dari lama," gumamnya sambil menenangkanku. Maka semakin menjadi-jadilah tangisanku, sebab bentuk cinta yang boleh kumiliki saat ini hanyalah melepaskan dia.
"Kalau…kamu pergi…itu tandanya…aku kehilangan…kamu…iya kan? Terus…kenapa kamu harus…datang…kalau pada akhirnya…kamu pergi…juga?" Dengan sekuat tenaga, aku mengatakan kalimat ini meski harus sesunggukan. Pelukannya yang sedari tadi melingkupi sekujur tubuhku mengendur seketika. Maka bangkitlah ia, meraih wajahku yang kusut dengan air mata dan keringat, menatapku lama, menghapus sedikit demi sedikit air terjun dari mataku.
Pikiranku kembali ke perkataannya waktu itu—aku mau sayang kamu dan aku akan melakukannya di waktu yang tepat. Then, the "right time" was right now.
Dan, di bawah hujan malam itu, di balik tirai yang menyemburatkan lampu jalanan itu, dengan lagu Hati-hati di Jalan yang diputar di belakang itu,
…we kissed.
Semua berlalu seperti biasa.
Dia sudah kembali ke negaranya. Sementara, aku, kembali melanjutkan hidup seperti sebelum ada dia. Ah, aku pasti hanya butuh sedikit lebih banyak waktu untuk terbiasa saja.
Namun, seandainya, dia tahu—dia berutang padaku satu hal; satu kepastian bahwa dia akan tetap baik-baik saja di sana. Dan, aku—meskipun dia ragu untuk memintaku menunggunya—berani menjamin akan tetap ada di sini, menunggunya kembali dengan perasaan yang sama dan sebuah senyuman.
Begitu saja.
Malam itu, malam dimana aku menangis untuk pertama kalinya di hadapan dia, sesungguhnya aku ingin bertanya—yang mana yang lebih baik baginya; pernah bertemu lalu berpisah atau tidak pernah bertemu sama sekali? Karena, aku, tak pernah tahu apa jawabannya.
24 notes · View notes
temusukma · 28 days
Text
Keangkuhanmu di waktu terang, begitu saja terbungkam oleh sunyi petang
Di waktu pagi mungkin kau pemenang. Hingga sampai mentari terbenam, tiba-tiba ragamu diam, meringkuk, menjadi tanah bernyawa yang pecundang.
Nalar penuh penyangkalan, namun kenyataan? Ia menghajarmu habis-habisan. Kau babak belur. Namun, siapa peduli? Hidupmu hanya untukmu, juga penghambaan pada Tuhanmu.
Kau kemana-kan nyalimu yang besar? Sudahkah menyerah oleh keadaan, atau masih kuasa untuk berjuang?
Ayolah, jalanmu masih panjang. Teruskan saja sejauh mana kau mampu bernapas. Selama ruh itu masih melekat, semoga kau tak dulu sekarat, ragamu kuat, jiwamu juga tetap sehat. Aamiiinnn.
—Temusukma
11 notes · View notes
paomungbeans · 2 months
Text
mbak, ayolah klarifikasi. jangan bersembunyi karena untuk menyiapkan teknik manipulasi. ini udah banyak lho yang speak-up.
mbak, di dunia ini nyari apa sih mba? :( @rumahati
9 notes · View notes
jejaringbiru · 1 year
Text
Masa iya hanya karena "kata orang" yang kamu sangat pahami itu tidak benar, kamu jadi berhenti?! Ayolah, kita tidak hidup untuk jadi budak mereka!
Penghuni Jejaring Biru
Page 123 of 365
52 notes · View notes
sajak-tinta · 3 months
Text
RASAKU
...
Jika menanti kau sebut seni
Aku sepakat
Karna ratus sajakku TERLAHIR DARI ANDAI
Tapi kini aku mulai berkenalan dengan bosan
AYOLAH !!!
BACA RAMBUKU....
KAU TAK BUKA WARNA BUKAN ?
7 notes · View notes
manusiafajar · 4 months
Text
ayolah di mana letak keimanan-mu itu??
yang milik kita tidak akan melewatkan kita.
11 notes · View notes
abidahsy · 7 months
Text
Februari: Kisah Lama Bersemi Kembali
Aku berniat menulis ini sejak pertengahan Februari, tapi urung karena masih menunggu kabar terbaru yang ternyata belum juga aku dapatkan sampai hari ini.
Di awal Februari, aku kembali teringat pada memori beberapa tahun lalu, di tanggal yang sama. Setelah beberapa hari memikirkan dengan hati-hati, aku pun mencoba memberanikan diri untuk bertanya: apakah dia yang jauh di sana masih sendiri?
Yang jawabannya masih misteri.
Hingga detik ini.
Hidup memang berwarna-warni, lengkap dengan apa yang ada dalam hati. Dulu hati bisa dengan tegas dan lugas bilang tidak pada seseorang ini, tapi siapa sangka tiga tahun kemudian rasa itu hadir lagi tapi berbeda versi.
Secara tiba-tiba dan tanpa permisi, menyelinap masuk ke dalam mimpi.
Meskipun aku akui bahwa kini tidak semudah dulu, aku tidak mau terlalu cepat menghakimi. Lebih banyak hal yang bisa disyukuri dibandingkan harus berandai-andai mengapa dulu aku begitu atau begini.
Andai lebih sabar sedikit lagi, mungkin kisahnya tidak akan seperti ini. Andai aku tidak pergi, lantas menyerah dan menyudahi, mungkin aku dan dia sudah saling membersamai. Tapi, ayolah, jangan sampai andai itu menjadi andai lagi di kemudian hari karena terjebak dalam salah langkah yang sama. Dulu dan kini tentu berbeda, aku masih punya kendali atas hari ini. Agar kelak aku bisa mengatakan pada diri: terima kasih telah bersabar tanpa batas dan berdoa tanpa henti terlepas dari apapun yang akan terjadi nanti.
Aku hanya ingin mengamini rasa ini sekaligus mengimani takdir apapun yang Allah beri.
Akhirnya aku kembali pada titik itu, kembali melihat ke arah dan manusia yang sama, meski dengan diri yang berbeda. Setelah melewati ratusan hari yang berliku tanpa ujung, aku memilih memutar balik. Menguji salah satu memori yang baik. Menunggu, menunggu, dan mensyukuri sekuat cita serta doa yang dia punya hingga mampu menggetarkan langit, menurunkan hujan, dan menumbuhkan kisah lama menjadi bersemi kembali.
8 notes · View notes
mutiarafirdaus · 8 months
Text
Ketika kita dibuat sedih oleh seseorang di ujung hari, ingatlah bahwa Allah telah mengirimkan belasan hingga puluhan orang yang membuat bahagia juga di hari ini. Semisal ada pihak lain yang membuatmu terhentak, ayolah itu hanya satu orang yang bersikap begitu.
Dalam satu hari, memang harus diwaspadai jika dari pagi sampai malam segalanya berjalan mulus, lancar dan seperti tanpa gesekan sosial dengan orang-orang terdekat. Bisa jadi malam menjelang tidur, bom waktu yang memantik kesedihan itu meledak.
Dan memang benar itu yang terjadi. Menghancurkan batu bata kebahagiaan yang sudah tersusun rapi sedari pagi. Membuat berpikir kembali apakah besok-besok harus seterbuka ini menyampaikan informasi. Tapi kita tak akan bereaksi menjadi puing kan?
Kita akan tahan gejolak kesedihan itu dengan tenang dan mengingat pihak-pihak lain yang sudah menorehkan kebahagiaan. Kita tidak akan mengkufuri nikmat ukhuwah yang telah Allah kucurkan dari pagi tersebab lontaran sarkasme dari orang yang bersangkutan. Tidak apa-apa, dengarkan dan terima. Juga diperhatikan solusi dari apa yang terselip dari lontaran kalimatnya.
Karena imam Syafi'i mengatakan kepada pihak lain yang berselisih dengannya, "Pendapatmu salah dan tidak aku terima. Tetapi didalamnya terselip kebenaran juga. Dan perselisihan kita adalah perselisihan pikiran, bukan perselisihan hati. Sehingga meski tak se-iya sekata, kita tetaplah menjadi saudara."
Ahad, 14 Januari 2024
15 notes · View notes
nonaabuabu · 6 months
Text
Aku Kehabisan Energi
Apa iya, bukan karena nggak punya kemampuan mengolah energi?
Tumblr media
Kehabisan energi adalah keluhanku belakangan ini, apalagi sepertinya media sosial bahkan lingkungan sekitar memberikan pengakuan bahwa di usia yang semakin dewasa energi kita mudah terkuras. Tapi sebenarnya energi apa yang terkuras?
Memang rasanya mudah sekali lelah, hingga cenderung menghindari hal-hal yang membutuhkan upaya berpikir juga bergerak. Daripada melakukan kegiatan yang membutuhkan tenaga mending scrooling media sosial, tertawa senang dengan tingkah orang untuk akhirnya iri dengan kehidupan mereka.
Ah, payah memang kita. Atau hanya aku?
Padahal tahu, banyak hal yang bisa dilakukan. Berolahraga dengan rutin saja sulitnya minta ampun. Masih mengaku hemat energi? Ketemu orang lain, malasnya bukan main. Pakai skenario di dalam kepala lagi, nanti mereka banyak tanya, mengkomentari hidupmu, julid dan nyinyir. Waduh, separah itu ternyata aku menilai kehidupan ini.
Bahkan kini memasuki tahap, daripada berdebat dengan keluarga, yasudah tak usah hubungi mereka. Ini benaran lagi set boundries atau nggak berani untuk meningkatkan kemampuan diri? Kok kau kedengaran jadi penakut, sampai menghindari banyak hal untuk hal-hal yang belum tentu terjadi. Kapan bisa menyelesaikan masalah yang kompleks di diri kau dan sampai kapan bawaannya selalu pengen menghindar dan lari?
Kau yakin energimu terkuras, atau sebenarnya nggak bisa mengolah energi dalam dirimu aja?
Ayolah, banyak hal yang bisa kau lakukan untuk terus berkembang baik secara emosional maupun skill bertahan hidup lainnya. Belajar menulis misalnya, bukannya kau suka, kenapa harus dikategorikan menguras energi yang entah kau gunakan untuk apa?
Sudahlah, dewasamu bukan tanda kau kehabisan energi untuk melakukan banyak hal. Selama kau masih punya waktu untuk scrooling laman media sosial, berkomentar di postingan orang, berkhayal tentang hidup yang menyenangkan dan overthinking setiap malam, artinya kau saja yang tak bisa menempatkan energi itu dengan baik.
Toh semua itu butuh energi, masa kau akan terus menerus menggunakannya untuk sesuatu yang akhirnya nggak ngasih kau dampak apa-apa, kecuali pertanyaan-pertanyaan dan rasa lelah berikutnya?
Bangun Yul, energimu bukan terkuras, kamu salah menggunakan aja.
Sedang Belajar, 02 Ramadan 1445
29 notes · View notes
dinisuciyanti · 9 months
Text
Debat capres #2
Senang sekali teman-teman sudah mulai nonton debat capres-cawapres, yang walau bagaimana pun berpengaruh ke hasil 14 februari nanti.
Sesi kedua debat capres kali ini, aku gak expect apapun, kecuali topik pertahanan yang condong ke salah satu kandidat (yang menteri-nya sendiri saat ini).
Pembukaan 4 menit pertama, kaget banget ada yang langsung nyerang wkwk, dan sukses membuat emosi kompetitor. Secara full durasi, bapak ini selalu meng-kritik kinerja kemenhan (ya emang kebetulan diaaaa menterinya hahhaha). Jadi kalo yang gak ngeh, mikirnya serangan personal, padahal enggak.
Kandidat lain datang dengan performa yang jauuuuhh lebih bagus dari sesi 1, lebih siap, jawabannya lugas, enggak nyerang terus, tapi nyerang di akhir dan itu jleb sih wkwkwk.
Lalu kandidat lainnya, yang, duh aku kasihan melihat beliau, kayak capeekkk gitu. Tiap diminta tanggapan seakan males mikir, dan jawabnya selalu "saya sependapat, saya setuju, dll" ya gak salah sih, cuma, ya perlihatkan lah kalo anda siap berdebat malam ini. Rupanya emosi yang udah acak-acakan di 5 menit pertama, berhasil membuat semakin emosi sampai sesi debat selesai. Yah, emang orangtua itu semakin tua semakin sensitif, tapi mbok ya dijaga dong kalimatnya, yang ngerti nepo baby pasti tertawa soal ucapan "anda tidak pantas berbicara soal etik" wkwkkw. Hadeh.
Belum lagi keseleo lain soal genosida di Gaza. Duhhhhhh, pak, ayolah kasian bazer yang nyapuin hhahahha. Di sesi akhir pas ada media, sempet-sempetnya mengeluarkan statement "saya lebih senior", waduuhhh hahhaha. Ya Allah...
Belum lagi soal bazer yang nangis-nagis di tiktok. Udah berhasil disapuin sama gimmick nangis, ehh berulah lagi pake kalimat kasar. Kasian yang nyapuin wkwkkwk. Tapi gapapa lah, hasil HGU 500 ribu hektar kan pasti triliunan yah, kepake 10% buat bazer udah kebanyakan, anggep aja sedekah.
Sesi debat kemarin tuh menarik banget. Kalo kata orang-orang, jadi tau buat Gak milih siapa.
9 Januari 2024
19 notes · View notes
nidzomizzuddien · 1 year
Text
Malam
Entah, sepertinya malam sedang bosan, dulu dia sunyi dan kini dia bising. Dulu dia gelap gulita, kini gelapnya mulai lenyap. Dulu semua orang nyenyak dalam tidurnya, kini sebagian besar orang asik terjaga.
Tumblr media
___
Gelap yang mulai bosan. Ia pergi pada siang hari, duduk dan bercerita ditemani secangkir kopi. Dia berseloroh; 'bayangkan, apa jadinya jika kopi tak lagi hitam, apakah ia disebut kopi lagi? Jika kopi sejatinya pahit, bagaiman jika ia menjadi manis, apakah ia masih disebut kopi? Aku heran, apa sejatinya kopi ini, yang membuatnya dinamakan kopi, dan menjadikannya berbeda dengan minuman lainnya. Layaknya aku yang kini mulai hilang'.
Siang yang bingung menjawab dengan nada sedikit ragu; 'Entahlah kawan, semakin hari orang-orang kian tak peduli dengan hakikat. Kesibukan, hasrat, candu dan dunia ini telah menjebak mereka hingga seringkali mereka terperangkap dalam dunia yang tak mereka kenali. Di sana, mereka seperti merengkuh dunia seluruhnya padahal mereka terpenjara dalam jeruji yang sempit"
'Rumit' kata malam sambil mengernyitkan dahi dan melihat ke arah langit. 'bintang yang kelap kelip di malam hari kini tak seindah dulu. Selain menjadi puisi, ia juga membawa pada kedamaian jiwa. Orang-orang asik menunggu malam hanya untuk mengaguminya, ramai-ramai mencari altar untuk menikmatinya dengan leluasa. Suatu kali saat mereka tak terlihat, semua kecewa. Sedang kini kelap kelip bintang tergantikan oleh megahnya kota dan cahaya di genggaman mereka'
Siang menatap malam yang asik dalam keluhnya dengan raut wajah yang penuh kesedihan. Ia menghibur dengan nada menggoda. 'hei ayolah, mungkin dunia sedang memberikan waktu untuk kita beristirahat. Biarlah, kita tonton saja sampai sejauh mana mereka dapat menikmati kehidupan tanpa keindahan yang kita berikan'.
.
.
@nidzomizzuddien
26 notes · View notes
duniasoputra · 29 days
Text
m o n s t e r
"Mau kuberitahu rahasia agar kau tidak lagi melakukan kesalahan yang sama? Rahasia agar kau urung melakukan sesuatu yang tidak baik sebenarnya."
"Apa?"
"Setiap kau ingin melakukannya, setiap bisikan monster itu merasuki telinga, coba ingat pertanyaan ini: bagaimana jika hari ini aku mati? bagaimana jika saat aku melakukannya aku mati?"
"Kalau itu tidak berhasil, bagaimana?"
"Tidak mungkin tidak berhasil. Kalau kau masih memiliki akal sehat, aku yakin pasti berhasil."
"Monster ini sangat sulit untuk dikendalikan."
"Aku paham. Maka dari itu aku bertanya bagaimana kalau kau mati dalam keadaan kau sedang menuruti apa kata monstermu? Bukankah amat sangat memalukan?"
"Masih ada hari esok. Biarkan aku melakukannya sekali lagi, besok aku akan bertaubat."
"Lucu sekali. Kau yakin hari esok dihidupmu itu ada? Kau tak takut malaikat Izroil tiba-tiba mencabut nyawa?"
"Setidaknya, monsterku sama sekali tidak merugikan orang lain."
"Aku tahu, itu juga urusanmu dengan Tuhanmu. Tapi, ayolah kau pikir setelah mendengar apa kata monstermu kau akan merasa tenang? Kau pikir semua permasalahmu akan cepat terselesaikan dengan kesenangan sesaat? Bukankah monster itu justru akan merugikanmu?"
"Lantas aku harus bagaimana?"
"Dengar ini, monster itu kalau diberi makan terus ia akan selalu meminta lebih, tak akan pernah puas. Diberi satu, minta seratus, diberi seratus, minta lagi seribu. Ia akan semakin ganas bahkan bisa menaklukkan akal sehatmu. Orang-orang sekitar pun akan terkena dampaknya. Saat monster itu membisikkan sesuatu, cobalah untuk melakukan hal lain. Ketika kau mengingat kematian, kau pasti urung menuruti monstermu. Saat itulah monstermu kalah. Posisikan akalmu lebih tinggi dari monstermu. Jangan sampai ia menaklukkanmu. Dan satu hal, ingatlah bahwa Tuhan selalu memperhatikanmu."
"Baiklah, akan kuusahakan. Tapi, tahu tidak apa kata monsterku setelah kau bilang semua ini padaku?"
"Apa katanya?"
"Persetannnn!!"
Ruang Sunyi, 24 Agustus 2024
2 notes · View notes
abdillahblog · 1 year
Text
Tugasmu itu memantaskan diri. Kalau sudah pantas pasti Allah berikan. Ayolah jangan kebanyakan tingkah...
11 notes · View notes
lintangwicaksani · 9 months
Text
Bintang
Anugrah terindah yang datang di tahun 2023 adalah Bintang. Sebuah amanah yang waktu itu terus aku dan mas Bim usahakan dan langitkan lewat doa. Alhamdulillah, Allah kabulkan.
11 Juli adalah hari dimana aku pertama kali menyadari kehadiran Bintang. Setelah sehari sebelumnya mas Bim yang selalu was was dan "ngeyel" untuk segera tes. Bukannya aku tidak mau, tapi hanya belum waktunya saja untuk tes.
Sepulang dari luar kota acara nikahan sahabat kami, di mobil mas Bim bicara dengan nada yang serius tidak seperti biasanya yang selalu bercanda.
"Sayang, mas boleh ga minta 1 hal aja"
"Apa mas?"
"Besok pagi kamu tes yaa, biar mas tau kepastiannya sebelum balik ke surabaya. Biar mas ga bertanya tanya lagi"
Yang ada di bayanganku saat itu adalah sedikit rasa kecewa ketika beberapa bulan yang lalu kami optimis untuk melakukan tes, tapi hasilnya hanya keluar 1 garis.
"Hari rabu atau minggu depan aja yaa"
"Ayolah, sekali ini aja plis. Nothing to loose. Kalau sudah rejekinya pasti dikasih. Kalau belum ya ikhtiar lagi"
Aku hanya diam dan mengiyakan.
Sebelum pulang ke rumah, kami mampir ke apotek.
Keesokan paginya, aku tes. Ku biarkan strip itu di ujung kamar mandi sampai aku selesai mandi. Gemetar tanganku mengangkat strip tespack yang terlihat jelas 2 garis. Rasanya mau nangis. Cepat cepat kuucap rasa syukur.
Di luar kamar mandi mas Bim sudah menunggu. Begitu aku keluar, mas Bim langsung menyergapku dengan semangat "gimana?"
"Ayo kita sholat subuh dulu" jawabku mencoba untuk tenang, menyembunyikan raut muka bahagia ini
Kami sholat subuh berjamaah.
Selesai sholat, kucium tangan mas Bim dan bilang "kapan kita ke panti?"
"Positif?"
Aku mengangguk.
Spontan mas Bim mengucap hamdalah, memelukku, kemudian bersujud sebagai ucapan rasa syukur sambil........menangis.
Ya, pagi itu kami menangis bahagia.
Terima kasih yaa Allah, Kau kabulkan doa doa kami. Alhamdulillah.
Dan fase kehidupan selanjutnya sudah dimulai.
#30haribercerita #30hbc2402
#tulisanlintang
6 notes · View notes