Tumgik
#aruna and lidahnya
bioskoop · 11 months
Text
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
4 notes · View notes
ambiljarak · 8 months
Text
Nic & Mar - Review Yang Tercerahkan
Saya nge-fans sama Nicholas Saputra. Begitu juga dengan teman saya Novia. Kami biasa saling bertukar postingan media sosial yang ada Nicholas Saputra-nya, dan saling ber-halu ria tentang Nicholas Saputra. Memanggil Nicholas Saputra dengan sebutan pacar atau suami seperti sudah biasa saja. Habis bagaimana lagi, sejak kemunculannya di film Ada Apa Dengan Cinta, tatapan tajamnya seperti menyayat-nyayat hati para perempuan (serta mungkin saja para lelaki), dan kata-kata singkat tapi pedas yang keluar dari bibir tipisnya seakan selalu saja penuh makna dan bikin meleleh sehingga spontan kami yang menonton akan bergumam “Aaaawww”, setiap kali mas itu “bersabda”.
Film Nicholas Saputra sebagian besar sudah saya tonton. Bukan cuma karena gantengnya ya, tapi karena cool dan tatapan matanya. Eh itu sih sama aja ya? Maksud saya, selain karena hal-hal fisik itu, aktingnya juga keren Mas Nicholas ini. Terutama di film Aruna dan Lidahnya. Santai banget dan seperti keluar dari karakter Rangga di film AADC yang membesarkan namanya. Saya juga sudah nonton film-film pendeknya yang ditayangkan di Youtube yang disponsori baik oleh salah satu merk ponsel maupun aplikasi chat. Salah satu yang saya paling suka, adalah yang berjudul Nic & Mar. Tak terhitung sudah berapa kali itu film pendek saya tonton. Nggak ada bosen-bosennya. Setiap kali sedang rindu pada Amsterdam, saya selalu putar itu film pendek. Meskipun latarnya di Paris dan Praha, tapi suasananya nggak jauh beda lah, lumayan mengobati rindu. Yang saya suka juga karena di film pendek itu Nicholas beradu akting dengan Mariana Renata – mantan pacarnya. Saking alaminya itu akting, saya sampai mengira itu nggak pakai naskah lho. Mereka seperti sedang menjadi diri sendiri saja. Kayak ngobrol biasa di antara dua teman lama yang sudah ratusan purnama nggak ketemu. Kalimat-kalimat yang diucapkan juga sangat puitis dan bermakna. Ekspresinya pas betul. Kerlingan matanya, senyum malu-malunya. Hal-hal itu yang membuat saya nggak bosan-bosannya memutar ulang film pendek tersebut. Termasuk ketika saya dan Novia staycation bareng, menonton Nic & Mar tentu saja ada dalam agenda kami.
Setelah berjalan kaki makan bakso di dekat hotel, kami lalu kembali ke kamar dan membersihkan diri. Novia kemudian mengecek TV apakah bisa mengakses Youtube dari situ, yang ternyata tidak bisa. Saya lalu mengeluarkan laptop, membuka Youtube, lalu mencari Nic & Mar. Reaksi kami ketika melihat wajah Nic terpampang di layar adalah seperti biasa, mengeluarkan suara-suara “aaaaaaaaa”, “waaaaaaa”, disusul dengan komentar “ganteng bangeeeettt”, atau “gantenge ra uwis-uwis”, atau “yaampun tatapan matanya setajam silet”. Yaaah, komentar-komentar “biasa” yang kita temukan ketika Nicholas Saputra memperbaharui halaman Instagramnya dengan foto-foto yang bahkan nggak ada rupa dirinya.
Sampai di situ masih aman.
Kami lalu melanjutkan menonton. Mungkin karena sudah sering menonton, komentar-komentar kami jadi naik level. Kami mengomentari soal kenapa dulu Nicholas Saputra dan Mariana Renata putus. Gosipnya sih (gossip ya, karena kami nggak tahu kebenarannya dan untuk tahu kebenarannya harus tanya langsung ke Nicholas Saputra dan kami nggak punya akses ke situ, daaaan kayaknya nggak kuat juga kalau harus berhadapan dan ngobrol langsung dengan yang bersangkutan itu, bisa klepek-klepek nggak konsen) karena Mariana Renata ingin mengejar cita-cita sampai ke negeri Cina – eh salah, itu kan peribahasa ya – sampai ke Amerika dan Eropa maksudnya, untuk sekolah lagi dan jadi model internasional. Sedangkan Nicholas Saputra mau stay aja dan berkarir di Indonesia. Mereka nggak bisa mencapai kata sepakat untuk LDR-an, jadi putus deh. Tapi sekali lagi ini kan cuma gosiiiip yaaa, yang makin digosok makin sip, heuheu. Lalu kami utak-atik gathuk antara alasan mereka putus itu dengan alur cerita miniseri Nic & Mar ini. Kesimpulan akhir kami, Nic itu toksik bangeeeeet sodari-sodari. Sekian lama nonton Nic & Mar, bertahun-tahun, selalu terkagum dengan sosoknya dan jalan ceritanya dan latarnya, kenapa kami baru ngeh sekarang siiih. Lalu kekaguman tadi itu jadi terasa sia-sia dan percuma. Kami agak-agak patah hati.
Kok bisa sih Nic itu toksik? Begini obrolan sotoy kami.
Nic itu sadar kalau walaupun hubungannya dengan Mar sudah selesai, dia masih punya rasa ke Mar. Entah beneran rasa cinta, penasaran, sekedar testing the water aja, atau cuma kangen ketemu dan ngobrol-ngobrol sama Mar. Dia juga tahu Mar seperti masih menyimpan sesuatu di hatinya untuk dia. Secara mereka pisahnya baik-baik kan, bukan karena ada orang ketiga atau apa gitu (sekali lagi, ini sotoy karena based on gossip). Jadi yah, kayanya bisa deh ini dijajaki lagi, mungkin begitu pikir Nic saat mengajak Mar ketemuan saat dia sedang liburan di Paris.
Mar seperti biasa. Cantik, ramah, super baik, dan sangat perhatian. Dia ngajak Nic jajan roti, meminjamkan sarung tangannya ke Nic sehingga dia sendiri nggak pakai meskipun sedang musim dingin (sudah biasa, katanya), ngobrol-ngobrol, dan naik ferris wheel. Pas lagi makan roti, obrolannya jadi rada berat, sedikit banyak membuat keduanya merenung akan masa lalu: rela berpisah demi meraih mimpi masing-masing yang sekarang sudah terwujud (tapi pas terwujud kok juga nggak persis-persis banget seperti yang dibayangkan). Pas di ferris wheel, Mar kedinginan, gosok-gosok tangan. Nic lalu merangkul Mar, ethok-ethok e biar hangat. Di sini kami berkomentar: “Iyuuuuuh, modus bangeeet”. Mar yang sepertinya masih punya rasa, merasa gamang. Mau ditolak nggak enak, kan mereka “teman” lama. Akhirnya ya cuma senyum-senyum aja dirangkul begitu sambil memandang keluar jendela. Lalu pas minum kopi dan Mar lagi cerita tentang masa kecilnya dia, kok bisa-bisanya Nic menimpali “Kalau kata Warhol, people should fall in love with their eye closed”.
Di sini saya dan Novia kompak berseru “Moduuuuuus!”.
Pantas saja Mar lantas bertanya maksudnya apa, yang dijawab Nic dengan nggak ada maksud apa-apa. Tapi di situ jebakan betmen sudah disebar. Mar yang masih gamang, tambah gamang lagi digodain begitu.
Lalu hari berikutnya, saat Nic tersadar kalau sarung tangan Mar tertinggal, alih-alih kirim pesan bilang kalau mau mengembalikan sarung tangan, dia malah kirim pesan bilang “Temenin dong”. Laaaah, jelas aja Mar jadi galau. Meskipun balasannya ceria, tapi di film itu digambarkan Mar sedang berpikir keras setelah menerima pesan itu. Bersandar di tembok, menerawang, lalu ada orang lewat sambil lalu menggumam: kadang-kadang, laki-laki tidak sadar betapa istimewa perempuan yang ada di hadapannya. Nah lho! Nic sukses menciptakan badai di hatinya. Badai itu semakin hebat ketika Nic mengajaknya ke Praha.
“Cheers to our last night” Mar
“Well, does it really have to be our last night?” Nic
“Maksudnya?” Mar
“Ikut ke Praha yuk, kita buktikan mana yang lebih romantis, Paris atau Praha?” Nic
“Ya nggak lah” Mar
“Kenapa? Kita kan udah lama banget gak jalan-jalan bareng.” Nic
Sampai di sini, saya dan Novia sudah bersorak-sorak. Woooy, modus banget woooy Nic ya ampuuuun. Kalau Mar sudah bilang nggak, ya sudahlah ya. Jangan dipaksa, jangan dirayu-rayu. Apalagi setelah Nic pamit dari apartemen Mar, dia masih berusaha membujuk dengan mengirimkan pesan. Yakin deh saya tahu apa yang berkecamuk di hati Mar. Ia masih ingin mencoba. Ia masih kepingin menjadi ‘kita’ dan bukannya ‘aku’ dan ‘kamu’. Nic mungkin tahu itu, ah bukan, Nic PASTI tahu itu. Mungkin dia juga punya keinginan yang sama, mungkin juga enggak. Ya cuma testing the water seperti yang sudah disinggung di atas tadi. Kalau berhasil, syukur, kalau enggak ya sudah.
Tapi Mar sudah terlanjur punya harapan. Dia melihat secercah sinar yang menyeruak dari kegelapan. Mungkin ‘aku’ dan ‘kamu’ itu bisa menjadi ‘kita’ lagi. Mungkin kali ini akhirnya mereka punya sesuatu untuk diperjuangkan bersama. Mar berpikir, mungkin Nic juga merasakan hal yang sama kuatnya. Mungkin Nic juga ingin kembali. Nyatanya, sejak kemarin Nic selalu berusaha supaya pertemuan mereka berlanjut. Setelah menimbang-nimbang, Mar akhirnya mengiyakan dengan membawa harapan. Dan ketika di Praha harapan itu perlahan pudar, Mar tersadar kalau tidak akan pernah lagi ada ‘kita’, Nic cuma sedang rindu masa-masa mereka bersama. Masalah yang mereka hadapi masih sama seperti dulu.
Bagian paling menyebalkan, setelah menebar harapan dengan semua flirting dan modus itu - termasuk menyewa satu kamar dengan double bed alih-alih mencari yang lain -  Nic lalu bilang:
“Hubungan dua orang itu nggak gampang ya. Meskipun udah cocok, udah saling kenal, tapi kayanya itu aja gak cukup” Nic
“Jadi kurang apa?” Mar
“Ya, maksudnya nyaman aja gak cukup. They need to share the same things, they need to want the same things” Nic (Di sini kami berkomentar, ya kan memang sudah sejak lama mereka tidak menginginkan hal yang sama. Yang satu mau melanglang buana, yang satu mau stay aja di Indonesia).
“Trus kamu maunya apa?” Mar
“…….” Nic diam, lalu ada latar narasi: aku cuma ingin semuanya jadi lebih sederhana aja.
Sederhana my ass, Nic. Pikiranmu aja yang bikin rumit, iya gak sih? Ditanyain maunya apa, jawabannya malah abstrak banget. Padahal pertanyaannya Mar sudah konkrit banget itu. Pertama Mar tanya kurang apa, jawabannya sok-sok filosofis. Lalu kedua Mar tanya lagi, maunya Nic apa, tapi jawabannya diam, malah dijawab dalam hati: maunya lebih sederhana. Kampret deh.
Nic juga sudah tahu kan dia masih di Indonesia sedangkan Mar juga masih berkarir sebagai seorang model internasional. Posisi mereka masih sama. Kenapa juga mesti tebar-tebar pesona lagi, flirting-flirting lagi, pake alasan minta ditemenin, ngajakin ke Praha sekamar berdua, pake modus taruhan lebih romantis mana antara Paris dan Praha. Memanfaatkan perasaan Mar yang dia tahu pasti masih menyimpan harapan. Modus banget banget. Inilah yang kami sebut Nic itu sebetulnya toksik, ahahaha.
Kembali ke premis awal, menurut kami jelas kalau Nic sebetulnya sadar kalau hubungannya dengan Mar sudah selesai dan nggak mungkin lagi kembali bersama. Itu bukan cinta. Itu penasaran, itu testing the water. Nic bermain-main dengan keberuntungan – dan dengan hati dan harapan yang dimiliki Mar. Itu jahat. Jadi sebetulnya benar kata Cinta, yang Rangga lakukan ke Cinta itu jahat. Seperti juga yang dia lakukan ke Mar. Kalau Cinta kebetulan bertemu Mar, jadi teman, dan bercerita tentang kehidupan cinta masing-masing, mereka pasti akan curhat tentang Nic dan Rangga. Betapa Nic dan Rangga itu hobi melakukan permainan mental kepada pasangannya, ahli manipulasi, pengecut, dan nggak berani menghadapi kenyataan. Hih.
Jadi begitulah. Malam staycation yang dicita-citakan, leyeh-leyeh sambil menonton wajah ganteng Nicholas Saputra dan pujian yang biasanya dilontarkan, berganti dengan misuh-misuh dan analisis sotoy ala-ala kami. Analisis sotoy yang kalau dipikir dan ditonton lagi ada benarnya juga sih. Jelas yang dirugikan adalah Mar soalnya. Nic memanfaatkan kerapuhan itu untuk dirinya sendiri. Untuk mengetes dirinya sendiri. Nic terlalu pengecut untuk menghadapi kenyataan yang sebenar-benarnya.
So girls, kalau pacarmu ganteng seperti Nic atau Rangga, jangan terlena dulu. Dilihat dulu dia toksik atau enggak. Berani menghadapi kenyataan enggak. Jangan sampai suatu saat nanti harapanmu sudah melambung terlalu tinggi, tiba-tiba dihempaskan oleh sunyi yang menyergap saat kamu bertanya apa maunya dia dan dijawab dalam diam. Kalau sudah begitu, lari! Lari yang jauh dan ciptakan kebahagiaanmu sendiri.
0 notes
journalofautumn · 1 year
Text
Day 7 : Favorite Movie
Aku adalah penyuka film romantis hahaha. Ya genre Rom-Com sih lebih tepatnya. Film apa yang paling disukai dari genre ini? Hmm, ada beberapa seperti 10 Things I Hate About You, ada 500 Days of Summer, ada What's Your Number?, ada Valentine's Day, ada The Devil Wears Prada, hmm ya semacam itu hahaha. Selain genre itu aku juga suka sekali dengan film-film dari MARVEL. Siapa yang aku suka di Marvel? Iron Man (I loveeeeee Tony Stark!) dan Spiderman. Spiderman mana yang paling disukai? Andrew Garfield. Kesimpulannya adalah aku adalah anak yang sangat menyukai happy ending.
Sebenarnya sih aku tidak terlalu suka nonton film hehehe, nonton film hanya sesekali saja itupun kalau filmnya sudah jelas aku pasti suka hahaha. Bertolak belakang dengan suami, suami suka sekali dengan film-film horror, action yang berdarah-darah, thriller, dan semacamnya. Ingat ketika masih pacaran, dia ingin nonton Annabelle (entah yang ke berapa aku tak mau ingat hahaha), akhirnya dengan pasrah aku meng-iya-kan ajakannya. Akhirnya jadilah kami nonton Annabelle di jam midnight hahaha. Si pemberani ini mau-mau aja lagi nonton waktu midnight. Bagaimana caranya aku menonton Annabelle? Aku tutup mata saja.
Oke, mari kita bahas film Indonesia. Ada beberapa film Indonesia yang aku suka. Catatan Akhir Sekolah (film ini soundtrack-nya terrrbaik), Claudia & Jasmine, 3 Hari untuk Selamanya, mungkin film-film ini sudah menjadi top of mind karena aku suka dengan soundtrack-nya. 3 film yang aku suka adalah film sekitar tahun 2005-2007, si anak SMP ini mulai suka film tapi tidak terlalu suka nonton di Bioskop, akhirnya memutuskan untuk sewa film saja dan nonton di kamar. Dulu ada tempat penyewaan film di depan rumah, sebulan sekali aku biasanya pinjam kalau ada film yang menarik.
Aku suka film Indonesia yang soundtrack-nya juga bagus. Ada 1 film yang juga menarik tapi aku tidak terlalu suka hehehe, menarik karena soundtrack tentunya. Badai Pasti Berlalu, versi lamanya diperankan oleh Christine Hakim dan Roy Marten, untuk versi barunya diperankan oleh Raihannun dan Vino G. Bastian. Kebetulan nonton film itu di Bioskop dan nobar dengan aktor-aktrisnya (sempat foto bareng juga hahaha). Entah kenapa film-film tahun 2000an filmnya ringan dan mudah dicerna oleh anak SMP hahahahaha.
Ada juga film yang membuat lidah jadi ingin makan segala, film Chef (Jon Favreau & Sofia Vergara) dan Aruna dan Lidahnya (Dian Sastrowardoyo & Nicholas Saputra). Nonton Chef ketika KKN di pelosok dan harus liat Grilled Cheese itu rasanya... "Ayo kita beli keju dan roti di minimarket" hahaha dan itu terjadi, mana jarak yang ditempuh ke minimarket memakan waktu 15 menit lagi. Beda cerita dengan Aruna dan Lidahnya, nonton dengan teman-teman bertiga di Cihampelas Walk dan pulang-pulang langsung melipir ke The Kiosk (karena ini semacam food court masakan Indonesia). Perut ini tidak sanggup menahan lapar yang turun dari mata.
Si Intan yang tidak terlalu suka nonton, nonton kalau ada film yang menarik atau diajak, yang kadang suka kedinginan hahaha, yang kadang tidak mengerti apa sih ini filmnya, tapiiii... Film itu menghibur dan kadang mengena di hati. Cita-cita saat ini adalah bisa nonton lagi ke Bioskop, karena terakhir nonton di awal tahun 2020 sampai saat ini (menjelang pertengahan 2023) belum sempat nonton lagi.
0 notes
noiscus · 1 year
Text
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
march
lewat djam malam (1954) aruna & lidahnya (2018)
children of men (2006) banyu biru (2005)
0 notes
wennykurniaw · 2 years
Text
Rangkuman bacaan di iPusnas sejak awal, lupa apakah 2020 atau 2021 hingga Desember 2022.
Suka dengan karya Maya Lestari GF berawal dari Cinta Segala Musim, 17 Tahun itu bikin Pusing!, juga Jejak Cinta 20 Tahun Berlalu
Terinspirasi dan serasa ingin ke Belanda gegara kisah Negeri Van Oranje oleh Wahyuningrat, Adept Widiarsa, Annisa Rijadi, Rizki Pandu Permana
Lebih suka Perahu Kertas-nya versi novel mbak Dee Lestari, juga cerpen Madre.
Baca pertama kali karya Sapardi Djoko Damono, Hujan Bulan Juni. Lebih nyaman baca buku fisik dari pinjam teman, kemudian usai di iPusnas.
Suka dengan karya Retni SB, terlebih Megamendung kembar.
Suka dengan karya uda JS Khairen mulai dari 30 Paspor di Kelas Sang Profesir, kemudian katuh hati dan tak henti baca karya uda JS Khairen, Melangkah
Serasa diajak cerita tentang kisah-kisah jaman dulu, ya orde baru, ya tentang perempuan, lewat Entrok, karya Okky Madasari
Seolah diajak cerita tentang Jepang melalui Cahaya di Timur Sakura, karya Riza Perdana Kusuma
Baca Jodoh Terakhir karya Netty Virgiantini lucu juga
Diary La Sorbonne, baca seolah diajak cerita tentang Perancis sama Kak Oky Mustika Sari (Kualakata)
Terpukau dengan Damar Hill, karya Bulan Nosarios
Suka juga sama Disonansi karya Edith PS
Suka dengan A untuk Amanda, karya Annisa Ihsani
Terketuk, terinspirasi cerita Ibuk dan 9 Summers 10 Autumns karya Iwan Setyawan
Berasa refleksi kala membaca Resilience: Remi's Rebellion, karya kak Nellaneva
Nano-nano setelah baca Gadis Kretek karya Ratih Kumala
Suka dengan karya Titi Sanaria, Lost, Love, and Found
Overwhelming, gabisa berhenti baca, gabisa berkata-kata gegara Negeri Para Bedebah, karya Bang Tere Liye
Suka banget menyimak petualangan kuliner melalui Aruna dan Lidahnya, karya Laksmi Pamuntjak
Tersirap kisah di kumpulan cerpen 9 dari Nadira, karya Leila S Chudori
Tersirap dengan karya Sergius Mencari Bacchus: 33 Puisi, Norman Erikson Pasaribu, meskipun belum usai ku baca semua.
0 notes
tee-jay-666 · 3 years
Text
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Food is universal.
19 notes · View notes
shitpcsts · 5 years
Photo
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
“Beberapa makanan tidak pernah pindah tangan.”
Aruna & Lidahnya (2018) dir. Edwin
10 notes · View notes
apleanartha · 6 years
Photo
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Aruna & Her Palate (2018) Feature Film
Dian Sastrowardoyo as Aruna Oka Antara as Farish Hannah Al Rashid as Nad Nicholas Saputra as Bono
Directed by Edwin Based on the Novel by Laksmi Pamuntjak
Watch now on Netflix
1 note · View note
dancingalphabets · 3 years
Text
Makanan
Aku banyak setuju sama bait-bait di film "Aruna dan Lidahnya". Aku setuju banget kalo makanan itu tak hanya sekedar pemenuh kebutuhan. Tapi, juga suatu hal yang mempersatukan manusia, terlepas dari perbedaan-perbedaan yang ada dalam diri para manusia. Semua manusia merasa lapar, terlepas dari ras, kelas sosial, ataupun ideologinya.
Kalo kamu duduk semeja menikmati makanan dengan orang lain, sangat besar kemungkinannya kamu dekat dengan orang itu. Terlebih kalau kalian memakan menu makanan yang sama. Pada tataran politik, makanan bahkan juga menjadi sebuah bahan diplomasi. Ya, bagaimana lagi, katanya, cara termudah untuk memenangkan hati dan pikiran seseorang adalah dari perutnya.
Dan kali ini, aku mau menceritakan tentang sebuah makanan (lebih tepatnya minuman) yang buatku cukup spesial. Minuman itu adalah.....
Teh Hijau
Aku adalah salah satu penikmat teh hijau. Dan di kampusku, ada satu kedai yang menyajikan berbagai olahan teh hijau, sebut saja namanya Kedai Teh. Pada saat yang sama, ada kawanku yang namanya Bima dan Friska (bukan nama sebenarnya) juga seorang penggemar teh hijau. Bedanya, Bima dan Friska merupakan seorang penyuka greentea hardcore. Semua hal yang memiliki rasa teh hijau alias greentea akan mereka coba. Aku, Bima, Friska, dan kawan-kawan lain sering mendatangi Kedai Teh. Tapi, diantara segerombolan pecinta teh hijau, aku memang paling sering ke sana bersama Bima.
Bima dan aku sama-sama bukan anak kos. Jadi, setiap jeda kuliah, bersama anak-anak yang tidak punya tempat kembali alias tidak punya kos, akan pergi ke depan kedai teh hijau tersebut. Lalu kami akan menggelar tikar, bersantai, memesan makanan, dan juga yang pasti : memesan teh hijau. Banyak obrolan mengalir di depan Kedai Teh. Dan bagaimana lagi, jarak terdekat dari dua orang adalah sebuah cerita. Dengan cerita yang mengalir setiap hari di depan Kedai Teh, kami menjadi kawan dekat. Kita selalu pergi ke berbagai tempat bersama; ke kantin bareng, ke perpus bareng, ke mushola bareng, ke kelas bareng. Pokoknya, kalau ada aku, ada juga Bima. Kalau ada Bima, ada juga aku. Begitulah.
Meskipun tidak dianjurkan agama, obrolan di meja makan, harus diakui adalah salah satu hal yang seru dan memberi kita kesempatan untuk menyelami pribadi seseorang lebih dalam. Begitulah aku dan Bima. Setiap perkuliahan selesai, kita berdua akan makan bersama, sebelum akhirnya kita berdua pulang ke rumah masing-masing. Benda kotak sepanjang 50 x 50 cm di sebuah tempat makan di depan kampus menjadi sebuah dunia yang berisi cerita-cerita kita yang tidak lagi terbatas centimeter. Sebuah kedekatan yang diawali dengan segelas Teh Hijau di Kedai Teh.
4 notes · View notes
bioskoop · 11 months
Text
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
2 notes · View notes
themissfits · 4 years
Text
Untuk Nicholas Saputra
Halo Mas Nico,
Perkenalkan, saya Fitri. Saya ngefans banget sama Mas Nico. Sama lah, kayak anak perempuan 90an lainnya, pasti banyak banget tuh yang ngefans sama Mas Nico. Dan, sama juga kayak perempuan seumuran saya, kami semua mengenal Mas Nico dari film AADC.
Waktu film AADC keluar tahun 2002, umur saya 11 tahun. Saya masih kelas 6 SD waktu itu. Teman saya pada waktu itu cerita di sekolah, bahwa dia abis nonton film AADC bersama sepupunya di Depok. Dia menambahkan, aktornya namanya Nicholas Saputra, dia jadi Rangga di film AADC, ganteng deh!
Malam harinya, saya bilang ke Bapak saya, “Kita ke bioskop yuk, nonton AADC.” Sayangnya, Bapak saya waktu itu bilang, “Itu kan film anak SMA, kamu masih SD, belum saatnya nonton film kayak gitu.”
Saya hanya bisa manyun sambal memendam kecewa.
Perjumpaan pertama saya dengan Mas Nico akhirnya terjadi waktu saya SMA. Waktu itu, saya nonton film Gie dan Janji Joni dari DVD yang saya pinjam dari teman sebangku saya waktu SMA, namanya Dyah Ayu. Setelah nonton dua film itu, saya teringat kata-kata teman SD saya. Dia nggak bohong. Nicholas Saputra emang ganteng banget. Sejak saat itu saya memutuskan untuk mengidolakan seorang Nicholas Saputra.
Tapi, perlu dicatat bahwa saya bukan hardcore fans yang memajang poster Mas Nico di kamar, atau bikin kliping tentang berita-berita Mas Nico. Saya bahkan nggak pernah langganan majalah remaja. Saya ngefans, mengidolakan Mas Nico, sekadarnya aja. Sebatas bahwa Nicholas Saputra itu tampan, dan berbakat, dan berpendidikan. That’s it.
Waktu saya SMA dan kuliah, film Indonesia lagi jelek banget. Isinya kebanyakan film horror murahan, atau film drama nggak mutu. Saya pun jarang mengekspos diri saya dengan film-film Indonesia di bioskop. Dan akhirnya, saya pun melewatkan beberapa film Indonesia yang sebenernya bagus. Semisal, 3 Hari Untuk Selamanya. Film ini baru saya tonton tahun 2013. Saya copy film tersebut dari teman saya, yang sekarang sama-sama sedang S3 di Amerika. Awalnya saya ragu, tapi dia—yang seorang antropolog bilang, “Bagus kok ini, lu tonton aja.” Dan emang beneran bagus.
Nonton film 3 Hari Untuk Selamanya bikin saya inget sama mantan saya yang anak ITB. Mungkin, karena salah satu latar film tersebut adalah Bandung. Waktu nonton film ini, saya sedang berada di penghujung masa S2 saya. Sedikit banyak saya bisa relate dengan Ambar, gimana beratnya menghadapi ketidakpastian masa depan. Beruntungnya Ambar, dia punya Yusuf buat jadi temen cerita. Saya juga beruntung, saya punya Aldrin, teman ngobrolin hal-hal mendalam yang sayangnya, setelah saya menikah… kita udah nggak pernah ngobrol lagi. Duh, jadi kangen Aldrin.
Anyway… Aldrin pula lah yang waktu itu cerita ke saya kalau di TIM XXI lagi ada film Mas Nico sedang tayang. What They Don’t Talk When They Talk About Love. Ini film yang bener-bener bikin hangat di jiwa, seriusan. Saya nonton film itu sendirian, waktu itu. Kebetulan TIM dengan kampus saya deketan banget, jadi pulang kuliah bisa jalan kaki melipir sebentar ke TIM buat nonton. Beberapa hari setelah saya nonton film itu, saya ketemuan sama Aldrin. Dia cerita, dia juga udah nonton film itu. Sen-di-ri-an. Ha ha. Entah kenapa, di tahun-tahun itu, saya ngerasa nyambung banget dan nyaman banget sama Aldrin. I think he was my person. Meskipun akhirnya saya paham sih, waktu itu kita jadi deket karena circumstances kita lagi mirip. And that I wasn’t his person.
Setahun kemudian, waktu itu saya udah lulus kuliah udah bekerja. Tahun 2014. Film Pendekar Tongkat Emas lagi main di bioskop. Di suatu Sabtu sore, saya naik angkot dari rumah saya ke bioskop terdekat buat nonton film itu. Kenapa saya nonton film itu? Karena ada Nicholas Saputra. Tapi, entah kenapa, film ini tidak meninggalkan impresi apa-apa buat saya. Beda dengan film sebelumnya dimana Mas Nico berperan jadi Edo.
Dua tahun kemudian AADC 2 tayang di bioskop. Di film ini, saya berpikir, asli, ini Cinta bucin abis. Awalnya saya mikir film ini bakalan berakhir pahit, seperti kebanyakan film garapan Makoto Shinkai. Macam, you’re too late, Rangga. Cinta udah sama orang lain. Tapi, rupanya Riri Riza masih berbaik hati buat ngasih ending yang bikin para hardcore fans Cinta-Rangga bernapas lega.
Okay. Sampai di sini saya mulai berpikir, fase dewasa awal saya kayaknya banyak dihiasi oleh filmnya Nicholas Saputra. 2016 saat film Aruna dan Lidahnya main di bioskop, saya nonton film tersebut sama suami saya. Dia bilang, “Itu Dian Sastro cakep yah,” sementara saya menimpali dengan, “Gila, Nicholas Saputra ganteng banget.”
Kami memang anak 90an banget.
Terinspirasi dari film tersebut, pada tahun 2018, kami—saya dan suami saya, roadtrip Jakarta-Bali. Dan sepanjang perjalanan, di tiap kota yang kami singgahi, kita mampir untuk nyobain makanan khas daerah yang otentik. Dari roadtrip itu kemudian lahirlah roadtrip-roadtrip berikutnya di tanah Paman Sam.
Tahun 2019, Mas Nico pernah mampir ke kantor saya buat ngasih kuliah tentang isu lingkungan hidup. Sayangnya, waktu itu saya lagi ke klinik vaksin buat melengkapi immunization record agar comply dengan persyaratan kampus tempat saya akan sekolah S3. Waktu itu, semua teman saya bragging, “Ada Nicholas Saputra loh tadi,” “Aku udah foto bareng Nicholas Saputra loh,” “Ya ampun, dia tuh aslinya ganteng banget.” Paling epic adalah, rekan kerja saya yang merupakan psikolog senior, dia bilang, “Ini Nicholas Saputra introvert banget, keliatan dari gesturnya, tatapan matanya, ekspresinya.”
Wow.
Saya hanya bisa mendengarkan sambil memendam kecewa, seperti saat saya nggak dibolehin Bapak saya nonton AADC di bioskop.
Saya jadi membayangkan, misalnya semesta mendukung, mungkin saya akan bertemu dengan Mas Nico ketika Mas Nico lagi hiking di Yellowstone sendirian di musim semi. Perjalanan menuju puncak bukit, yang sebenarnya merupakan perjalanan menuju ke dalam diri. Atau, di Central Park NY, ketika Mas Nico lagi duduk sendirian sambil baca buku di musim gugur. Atau, di Seattle, ketika Mas Nico duduk sambil minum kopi di salah satu kedai kopi indie kekinian. 
Hampir seribu kata saya tulis. Seandainya menulis paper semudah menulis surat ini.
Saatnya saya menutup surat ini. Terima kasih banyak Mas Nico, karena telah sesekali hadir menemani perjalanan dewasa awal saya. Best of luck untuk Paranoia!
9 notes · View notes
southeastasianists · 4 years
Link
While some Indonesian authors such as Pramoedya Ananta Toer and YB Mangunwijaya are relatively well known by global readers, many works by contemporary writers are just beginning to gain traction as they have just been translated in recent years. Here are several books by Indonesian authors that have been translated into English, for those who wish to enrich their reading palette.
1. Vengeance Is Mine, All Others Pay Cash
Written by Eka Kurniawan, translated by Annie Tucker
Eka Kurniawan, of Beauty is a Wound fame, tackles the world of street fighting and petty criminals in this book. The story puts Ajo Kawir in the spotlight, along with his impotent genitals and his hopeless romance with female fighter Iteung. Following his break-up with Iteung, Ajo Kawir becomes a fearless fighter with nothing to lose.
The book is written in short, fast-paced chapters with poetic and witty lines that are characteristic of Eka Kurniawan. Through the story of Ajo Kawir, Eka presents hard-hitting jabs on the Indonesian government and society.
2. The Original Dream
Written by Nukila Amal, translated by Linda Owens
Originally published in Indonesian as Cala Ibi in 2003, the novel gained widespread attention after it was shortlisted for the Kusala Sastra Khatulistiwa Nominee that year. The book might put off some readers at first due to its nontraditional plot, which tells a story within a story. However, the lyrical writing and vivid imagery lend the book its strongest appeal.
The book tells the story of Maya/Maia and a dragon named Cala Ibi as they venture into the world of dreams, inviting the reader into a magical realism story.
3. The Adventures of Na Willa
Written by Reda Gaudiamo, illustrated by Cecillia Hidayat, translated by Ikhda Ayuning Maharsi Degoul and Kate Wakeling
Despite being marketed as a children's book, Na Willa also makes an amusing yet nostalgic read for all ages.
The book is told in short stories, as if it is written by Willa herself, portraying the day-to-day adventures of a child growing up in a suburb of Surabaya, East Java. Curious and strong-headed, Willa makes a perfect companion for both children and adults.
4. Paper Boats
Written by Dee Lestari, translated by Tiffany Tsao
Published in 2009, Perahu Kertas was adapted into a two-part movie in 2012 starring Maudy Ayunda, Adipati Dolken and Reza Rahadian. The story centers on a quirky girl named Kugy as she begins her university life in Bandung, where she meets Keenan, an aspiring painter. The book follows Kugy and Keenan's friendship as it takes a romantic turn, complicated by the presence of Remi and Luhde, as well as the diverging paths in their adult life.
5. The Birdwoman's Palate
Written by Laksmi Pamuntjak, translated by Tiffany Tsao
What better way to learn about Indonesia than reading a book about food from across the archipelago? Originally published in Indonesian as Aruna dan Lidahnya, the book was shortlisted for the 2015 Khatulistiwa Literary Award. In 2018, a movie adaptation starring Dian Sastrowardoyo and Nicholas Saputra brought the book to popular attention.
The book follows the story of Aruna, a reporter, as she travels the country for an investigative report. In every local cuisine in the cities that she visits, Aruna discovers so much more than just food.
6. Sergius Seeks Bacchus
Written by Norman Erikson Pasaribu, translated by Tiffany Tsao
The poetry book was the first winner of Jakarta Arts Council's Poetry Competition in 2015, and yet, this is not the most special thing about the collection. Consisting of 33 poems, the book tells the experience of being a minority in Indonesia, in terms of both sexuality and religion. The collection shows the range of Norman's references, from mythology to urban, pop-culture. Consider this poem titled "On a Pair of Young Men in the Underground Parking Garage at fX Sudirman Mall" for instance.
7. The Wandering
Written by Intan Paramaditha, translated by Stephen J. Epstein
In a Faustian story, the protagonist makes a pact with the devil: a pair of red shoes that can take her wherever she wants to go, in exchange for the feeling of belonging and the safety of a home. The novel takes the readers on a journey across the globe, from Jakarta to New York. The novel's original title Gentayangan represents the state of constantly being in-between, as in the book, the journey is more important than the destination.
The Wandering is not just another travelogue, as it allows the readers to make their own story, ala the classic Choose Your Own Adventure series.
8. There is No New York Today
Written by Aan Mansyur, translated by John McGlynn
The poetry anthology is launched near the premiere of hit-movie Ada Apa Dengan Cinta? 2 (What's up with love? 2), as some poems of the book were used in the movie.
The 80-page book also features photographs of the streets of New York, presented as if the pictures were taken by the movie's main character Rangga -- who lives in the Big Apple before going back to Indonesia.
9. Eyewitness
Written by Seno Gumira Ajidarma, translated by Jan Lingard and John H. McGlynn
A journalist cum novelist, Seno Gumira presents history and fiction with a clarity that is more effective than dry, and a somewhat murky story on what actually happened in Timor Leste (formerly Indonesia's province of East Timor).
The short stories focus on individuals that become victims of Indonesia's occupation in Timor Leste, fleshing out the human costs that are often shadowed by the big, nationalistic lens in politics.
49 notes · View notes
tehmaniszerosugar · 4 years
Text
Dari sekian banyak makanan yang nongol di film Aruna dan Lidahnya, kenapa yang bikin kabita malah liat teh manisnya sih.
- Auto nyeduh teh 😁
1 note · View note
rifkihidayat · 5 years
Text
Hati-hati jangan terlalu antipati. Nanti simpati. Lalu empati dan jatuh hati.
(Bono dalam Aruna dan Lidahnya)
4 notes · View notes
tee-jay-666 · 3 years
Text
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
"In just one plate, you can taste the most bitter flavor or the saltiest flavor. If you eat the items separately, if you take a little bit of everything in on bite. Only then will it reveal it's true self." - Aruna & Her Palate
1 note · View note
bagusarisaputra · 5 years
Text
Tumblr media
Day 3 at Ubud Writers & Readers Festival
Attended a panel on the Qandeel Baloch case in the morning, followed that up with a conversation about drugs as vice and how they should be treated, and then listened to Reza Aslan talk for an hour about the history of God.
Then mingled, had lunch with Andi Fischer, bought the books I didn't have money to buy on the first day, and just as I was about to go home bumped into old friends.
Returned in the evening for the film programme to watch Edwin's excellent Aruna & Lidahnya, an adaptation of the novel by Laksmi Pamuntjak of the same name. She was there to answer questions before the screening and is a ridiculously amazing woman: gorgeous, stylish, fluent in multiple languages, successful in her career. The movie is about two boys and two girls eating and hanging out. Like us today. So happy to see my favourite Indonesian friends Ananti Pratiwi and Melisa Setyawan.
1 note · View note