#aktivitas kurang
Explore tagged Tumblr posts
Text
Jurang
Hi semua. Tulisan ini mungkin cukup sensitif dan membutuhkan empati untuk membacanya dengan hati-hati, karena akan menggunakan sudut pandang perbanding-bandingan. Sesuatu yang mungkin tidak nyaman untuk dibaca bagi sebagian orang.
Dalam proses mengamati sekaligus menjalani kehidupan selama 34 tahun ini, terasa sekali bahwa fase yang sedang dijalani saat ini itu benar-benar jelas sekali garis batas kehidupan satu sama lain, antara diri kita dengan orang lain itu kelihatan sekali.
Dulu sewaktu kecil, sewaktu seru-serunya menjadi anak-anak, tidak memandang dunia dari sisi materi, tidak bingung bangun tidur harus bekerja, bahkan ini mungkin terjadi hingga kita SMA. Antara kita dengan teman kita itu sama, sama-sama di fase berjuang. Lagi di fase belajar untuk mewujudkan mimpi masing-masing. Ngerasain kelas yang panas tanpa AC bareng-bareng, naik motor iring-iringan, dan semua aktivitas yang membuat kita terasa tidak ada bedanya satu sama lain. Coba deh perhatikan, teman-teman kita semasa TK, SD, SMP, ataupun SMA dulu. Inget nggak serunya bermain bersama, paling satu-satunya hal yang membuat kita berkompetisi saat itu adalah rangking kelas. Itu pun kadang sadar diri kalau udah ada yang langganan juara kelas berturut-turut, kitanya juga nggak berkecil hati karena tidak juara kelas, enjoy aja, dan ya berjalan sebagaimana biasanya.
Tapi coba lihat semuanya sekarang. Perbedaan antara kita dan teman-teman bisa kayak bumi dan langit dari sisi kehidupan. Di umur yang sama, ada yang masing single, ada yang sudah punya anak mau masuk SD. Ada yang sudah punya rumah, ada yang masih ngontrak. Ada yang kerja dengan gaji puluhan bahkan ratusan juta per bulan, ada yang berjuang biar bisa UMR aja alhamdulillah. Ada yang lagi jalan-jalan ke berbagai kota atau negara, ada yang lagi langganan ke psikolog/psikiater. Ada yang berubah jadi kriminal, ada yang menjadi seorang alim. Ada yang lagi kesulitan finansial, ada yang lagi lapang banget sampai bisa bersedekah tanpa berpikir panjang. Ada yang pernikahannya bahagia, ada yang sudah menjadi duda dan janda.
Perbedaan itu terpampang secara nyata. Dan itu dialami oleh diri kita sendiri dan juga orang-orang yang dulu sekali, tidak begitu lama, mungkin 15 atau 20 tahun yang lalu adalah orang-orang yang bareng sama kita. Yang dulu sama-sama memikirkan tugas sekolah, les bareng-bareng, kalau libur sekolah bikin agenda kelas, kalau ramadan bikin acara bukber kelas. Kalau lebaran, rame-rame keliling antar rumah-rumah.
Tapi perbedaan nasib, garis takdirnya bisa sejauh itu. Kadang, diri sendiri pun merasa begitu asing dengan segala jurang yang ada, begitu tinggi perbedaan yang dimiliki. Kadang, diri juga mengukur-ukur diri sendiri, bertanya-tanya mengapa ada yang bisa sejauh itu sementara kita terasa jalan di tempat, gitu-gitu aja.
Tanpa sadar, bahwa "gitu-gitu aja"nya diri ini juga ternyata jadi sesuatu yang amat berharga bagi teman kita yang lain. Hidup yang saling melihat ini, rasanya semakin membelalakkan mata di umur sekarang. Umur-umur yang menurut kita harusnya sudah bisa mencapai hal-hal tertentu dalam hidup, tapi kita baru mencapai sebagian kecil atau bahkan belum sama sekali.
Kemarin waktu baca threads, ada sebuah utas yang kurang lebih bilang begini : "Umur 42, belum punya rumah sendiri, masih ngontrak pindah-pindah, kendaraan cuma motor ada 1, anak ada dua udah sekolah semua, tiap bulan gaji ngepres buat semuanya. Nggak apa-apa kan?" Dan jawaban orang lain yang membalas, begitu "nyesss" pada baik-baik.
Kadang mulai mikir juga, apa selama ini kita terlalu lama hidup dalam bubble. Hidup dalam perspektif bahwa keberhasilan-keberhasilan itu harus mencapai ini dan itu. Ditakut-takuti jika kita tidak begini dan begitu, nanti hidup kita akan menderita. Hidup kita akan gagal. Gagal menurut orang yang menebar ketakutan tersebut.
Dan kita lupa dan tidak pernah diajari untuk bagaimana caranya bisa bahagia dengan alasan-alasan yang amat sederhana. Kebahagiaan kita penuh dengan syarat, syarat yang kita buat sendiri, tapi sekaligus syarat yang amat sulit untuk kita sendiri penuhi. (c)kurniawangunadi
187 notes
·
View notes
Text
Tidak Sesempit Itu
Dua pekan lalu, aku hadir dalam sebuah temu virtual. Dalam sesi tersebut, dibahas tentang bagaimana pentingnya memperkuat ibadah, bukan hanya tentang yang wajib, namun juga yang sunnah.
Di sesi itu, aku menyempatkan diri bertanya.
"Mbak, gimana sih caranya mengembalikan ritme ibadah setelah futur dalam waktu yang lama? Seperti aku yang secara ibadah nggak bisa semudah dulu saat sebelum menikah ataupun punya anak."
Saat itu pertanyaanku dijawab dengan,
"Intinya, di saat kita merasa futur, ada yang tidak baik-baik saja, langsung gempur dengan ibadah. Dengan tilawah misalnya."
"Memang setiap fase baru, ketika kita mendapatkan suatu amanah baru, cenderung kita akan mengalami penurunan atau futur. Amanah apa pun."
Seketika aku teringat. Iya ya. Entah itu aku yang berubah status dari anak SMA ke anak kuliah, dari kuliah ke sekolah profesi, dari sekolah profesi ke bekerja.. masa-masa futur dalam peralihannya selalu ada.
"..Dan cara terbaik untuk mengatasinya adalah dengan menyegerakan ibadah."
Dijawab seperti itu, ada rasa bersalah menggelayut di hati.
Ah, aku memang kurang bersegera ya....
Melihat kilas balikku beberapa tahun ini dengan amanah baru.. aku merasa masih stagnan dalam hal ibadah. Padahal, ketika dulu sebelum menerima amanah untuk menjadi seorang istri dan ibu, rasanya tak kurang-kurang ikhtiar dan doa yang dilakukan supaya Allah lekaskan, Allah lancarkan.
Aku merasa bersalah, maaf ya Allah...
Usai temu virtual, aku menerima pesan di gawai.
"Bismillah. Mau nambahi jawaban tadi.
Jadi emang ada masa “ibu rentan depresi karena meerasa ibadahnya nggak semantep masih gadis”
Tapiiiii, Allah baik banget mai. Kita nyiapin makanan untuk keluarga juga bisa jadi ibadah, diniatin untuk nabung amal sholih. Sambil “dikejar” kuantitas ibadah yg pernah dilakuin semasa gadis 🥰"
Aku membalasnya dengan emoji menangis.
Aku tersadar. Selama ini aku memandang ibadah hanya sebatas dalam konteks ritual. Sholat, mengaji, bersedekah, puasa, dll.
Aku tahu bahwa mengurus rumah tangga dan mengasuh anak juga adalah bagian dari ibadah. Tapi, kurasa kesalahanku disini adalah, tidak menganggap aktivitas rumah tangga sebagai ibadah yang setara dengan ibadah ritual.
Ya Allah, maafkan aku..
Setelah ini, kuniatkan untuk lebih berkesadaran. Menyadari bahwa dalam setiap aktivitasku saat ini adalah bagian dari ibadah, bentuk penghambaan diri kepada Allah. Semoga, itu membuatku lebih lapang untuk menikmati ritme hidupku sekarang.
Benar. Makna ibadah tidak sesempit itu.
Ya Allah, maafkan diri yang sudah berburuk sangka.
Seringkali aku lupa, sempitnya hidup yang dirasa, itu karena hati yang terbatas dalam memaknai peristiwa.
Sementara karunia Allah, terlampau lapang untuk ternodai dengan buruknya prasangka manusia.
73 notes
·
View notes
Text
Hal yang Membuat Bahagia dan Membuat Tidak Bahagia
Catatan. Hasil dari perjalanan pengalaman dan kontemplasi diri yang coba dibuatkan poin-poinnya. Sebagai pengingat bagi diri. Cobalah baca kembali manakala futur. Hal-hal yang membuat bahagia: 1. Tersenyum 2. Bersyukur. Syukur tidak harus atas hal-hal besar, hal-hal kecil sehari-hari pun sangat pantas menjadi sebab syukur kita. 3. Workout, olahraga. Angkat beban, melakukan hobi kaitannya dengan kegiatan fisik. 4. Belajar. The sense of mendapat pencerahan dan insight bagi hati dan jiwa, itu membuat bahagia. 5. Berinteraksi dengan al-Quran. Setiap hari. Terserah dengan cara apapun. 6. Memulai aktivitas sepagi mungkin. Vibesnya terasa lebih positif. 7. Pay attention to what we eat and what we drink. "Aku suka sesuatu yang berkualitas. Termasuk makanan dan minuman. Aku hanya memberikan tubuhku sesuatu yang dibutuhkannya, sesuatu yang berkualitas." Cobalah berkata demikian pada diri. Ya walaupun kadang-kadang zonk, tapi setidaknya kita punya dasar itu dulu dalam diri, jadi ada rem. Jadi kita kira-kira dan tidak berlebihan saat memakan sesuatu yang sesungguhnya kita tidak butuh-butuh amat. 8. Membaca buku yang bagus. 9. Membuat bahagia orang lain, berbuat kebaikan. 10. Membereskan dan merapikan rumah. Mungkin segala tugas rumah tangga tidak harus dilakukan sendiri, kalau ada rejeki ya nggak masalah dialihkan ke orang lain, hitung-hitung memberi rejeki ke orang lain. Diniatkan begitu supaya berkah dan semua bahagia. Tapi kalau bahasa cinta suamimu adalah act of service yang merasa bahagia banget dan merasa dicintai banget manakala istrinya nyuciin baju dia, ya apa mau dikata. Kerjakanlah dengan hati riang gembira duhai para istri wkwkwkwkwkw. Tapi kalau bahasa cinta suamimu adalah quality time yangmana bakal merasa dicintai manakala kamu ada di sampingnya, mungkin definisi dicintai bakal beda, bukan sibuk ini dan itu dengan pekerjaan rumah yang tiada berakhir. Tergantung sikon juga. Pandanglah suami sebagai jembatanmu menuju surga duhai para istri. Pembahasan agak melebar ya, dari merapikan rumah sampai bahasa cinta. Tapi memang banyak hal yang saling berkaitan jika dipikir-pikir. Ini menarik untuk jadi topik pembahasan lanjutan. 11. Do skincare and bodycare dengan produk-produk sesuai dan cocok dengan kebutuhan kulit kita masing-masing. Seringkali ini perjalanan panjang untuk mencari yang cocok. Semangat! Sunscreen is a must. Ingat itu. The sense of melihat kulit kita yang better than before, itu membahagiakan. Ingat ya, better than before. Bukan membandingkan dengan orang lain. Karena tentu banyak yang lebih uwaw dibanding kita. Terimalah diri. Perbaikilah diri. Dah, gt aja. Hal-hal yang membuat tidak bahagia: pada dasarnya kebalikan dari poin-poin diatas. 1. Terlalu banyak menghabiskan waktu untuk hal-hal yang kurang memberi insight bagi diri. Terlalu banyak scrolling sosial media. 2. Makan dan minum sesuka-sukanya. "I only drink the best". "I only eat the best". "Makanan dan minuman adalah sumber kesehatan atau kesakitanmu" . at least kita berusaha menjaga, walau semua atas takdir Allah. Sekalipun makan dan minumnya ngaco, imbangi dengan workout yang lebih rajin. Konsekuen. 3. Menunda-nunda pekerjaan/ tugas yang harus dilakukan. buat to-do. Supaya clear di otak mengenai apa saja yang perlu kita kerjakan hari ini. Syukur sebelum tidur sudah dibuat agenda untuk esok hari. Jadi esok ada semangat lebih untuk bangun. Kita tau apa saja yang harus kita kerjakan esok. 4. Terlalu banyak berbicara / too much.
16 notes
·
View notes
Text
Yang Terbangun Menghidupkan Sepertiga Malam
Kapan terakhir kali engkau merasa ingin bertambah-tambah menambah sujud, memperpanjang waktu terbentang sajadahmu? Kapan terakhir kali engkau ketagihan dengan nikmat keheningan malam, saat gemercik air menjadi temanmu bangun? Kapan terakhir kali engkau bermunajat dengan tenang, tanpa adanya sisipan pikir bejubel aktivitas duniawi di tengah nuansa dinginnya hawa malam?
Wahai aktivis, engkau tidak kurang-kurang dalam eskloprasi ide, teknis, bahkan tidak jarang engkau begitu berbuih-buih saat mendiskusikan dakwah lengkap dengan tantangannya. Namun engkau begitu kering akan ibadah yang menghidupkan ruhmu. Engkau tampak tak begitu yakin, bahkan engkau sedikit lebih mengakhirkan amal ibadah, sebab engkau mendahulukan dan melandaskan keyakinan atas apa yang engkau usahakan, bukan atas apa yang engkau sandarkan kepada Allah.
Engkau lupa, bahwa Gusti Allah maha besar, lebih besar dari apa pun, maha menguasai, yang menguasai dari penguasa mana pun, maha kaya yang memiliki segalanya. Engkau selalu gemar berbicara teknis, metodologis, empiris bagaimana dakwah bekerja, namun mengakhirkan bagaimana sistem Allah bekerja.
Bahwa memang betul, mendalami metode itu penting, banyak sahabat dan generai pendahulu yang menyongsong kejayaan Islam, bermula tekun mempelajari mesin-mesin altileri, mekanik kapal, konstruksi pelabuhan, bahasa filsafat, dan banyak lagi. Namun, kejayaan itu dalam polanya ditopang karena kehebatan amal yang luar biasa.
Keteguhan generasi pendahulu akan amalnya menyebabkan kalibrasi kapasitas. 1 orang bernilai 1000 orang, begitu seterusnya. Maka tidak heran sedikit pasukan Islam mampu mengoyak barisan musuh. 1 pedang pasukan Islam mampu mematahkan lebih banyak pedang musuh.
Salah satu keteguhannya adalah menjada sepertiga malam. Sepertiga malam tidak dilupakan, sepertiga malam bukan dongeng semata. Maka rindulah sepertiga malam, sebab dari sepertiga malam akan menghujam ruh ruh yang mengakar.
Wahai aktivis, gapailah kedekatan dengan Allah di sepertiga malam, hidupkan sepertiga malammu. Engkau udah lelah, cukupkan aktivitas duniamu, hidupkan sumber-sumber kedekatan dengan Allah, agar hari-harimu berisi, jauh dari kehampaan.
240 notes
·
View notes
Text
EPS 2 (Kopi Dapat Menghilangkan kantuk) ☕
“Ngopi dulu, yuk! ngantuk, nih”
Ternyata omongan tentang kopi yang dapat menahan ngantuk itu FAKTA lhoo guys... yuk yuk kita bahas
Kopi mengandung kafein didalamnya. Rasa kantuk yang terasa menghilang dan badan terasa segar setelah minum kopi terjadi akibat kafein yang ada di dalam minuman ini. Kafein merupakan zat stimulan yang merangsang kerja dan aktivitas sistem saraf. Efek segar dan hilangnya rasa kantuk biasanya akan mulai dirasakan sekitar 30 menit setelah minum kopi dan pengaruhnya bisa bertahan sekitar 5–6 jam.
Sudah minum kopi tapi kok masih ngantuk🧐
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi hal tersebut :
Kebal kafein : Seseorang yang terlalu sering mengonsumsi kafein akan menimbulkan kekebalan pada dirinya. Hal ini menyebabkan konsumsi kafein tidak akan menimbulkan efek. Ketika tubuh sudah kebal kafein, maka ketika mengonsumsinya akan menyebabkan tubuh menjadi tetap lelah dan mengantuk. Tingkat toleransi kafein dapat berubah yang disebabkan oleh beberapa faktor seperti faktor usia, berat badan, dan obat-obatan
Kurang tidur : Seseorang yang kurang tidur akan memproduksi senyawa adenosin dengan jumlah yang banyak. Senyawa adenosin adalah senyawa yang diproduksi oleh otak untuk meningkatkan rasa kantuk, adenosine akan mengirim sinyal kantuk atau lelah ke otak. Ketika seseorang minum kopi dalam keadaan kurang tidur, maka sistem saraf akan menangkap dan mengikat senyawa adenosine terlebih dahulu sehingga tubuh akan merasa ngantuk dan kafein tidak dapat bekerja karena tidak ada tempat lagi di sistem saraf
Kandungan gula tinggi : Banyak orang salah paham mengenai kopi yang dikonsumsi sehari hari. Kebanyakan kopi yang beredar di pasaran merupakan kopi yang tinggi gula. Kopi jenis ini bukan untuk menghilangkan ngantuk. Hal ini disebabkan gula yang merupakan karbohidrat sederhana memiliki indeks glikemik (IG) tinggi. Makanan dengan IG tinggi akan meningkatkan asam amino triptofan. Triptofan ini akan masuk ke otak yang selanjutnya akan diubah menjadi serotonin dan melatonin yaitu hormon yang dapat mempengaruhi rasa mengantuk
Dehidrasi : Kafein yang terkandung dalam kopi akan meningkatkan frekuensi buang air kecil. Banyaknya cairan yang keluar dari buang air kecil dapat mengganggu keseimbangan kadar air dan fungsi normal tubuh hingga menyebabkan dehidrasi. Saat tubuh kehilangan banyak air, darah akan berjalan lebih lambat sehingga oksigen yang beredar juga lebih sedikit. Hal tersebut mengakibatkan tubuh menjadi lelah dan mengantuk
WARNING ⚠️‼️
Beberapa efek samping jika mengonsumsi kopi berlebihan :
Sakit kepala
Sulit tidur (insomnia)
Jantung berdebar kencang (palpitasi)
Tremor
Gugup dan gelisah
Sering buang air kecil
Mudah marah
Adanya efek tersebut kita dianjurkan untuk mengonsumsi kopi sesuai batas wajar. Batas wajar dari asupan kafein per hari adalah tidak boleh lebih dari 400 mg atau sekitar maksimal 4 gelas ukuran 240 ml kopi hitam murni yang diseduh (brewed coffee).
Berikut panduan kandungan kafein pada setiap jenis kopi yang ada :
Segelas kopi hitam murni yang diseduh (brewed coffee) 240 ml mengandung sekitar 70–140 mg kafein
Segelas kopi espresso 30–50 ml mengandung 63 mg kafein
Segelas kopi espresso dengan campuran susu dengan beragam varian, seperti latte, cappuccinos, atau macchiatos, berukuran kecil mengandung 63 mg kafein dan yang berukuran besar mengandung 125 mg kafein
Segelas kopi instan 240 ml mengandung 30–90 mg kafein
Segelas kopi decaf 240 ml mengandung 0–7 mg kafein
Tipe orang yang yang dilarang mengonsumsi kopi ❌
Iritasi usus besar
Glaukoma ( gangguan saraf mata)
Diare
Aritmia (Jantung berdebar)
Asam lambung
Epilepsi
Ansietas dan serangan panik
BIJAK PADA MINUMAN YANG ANDA MINUM
Sampai sini dulu pembahasan terkait fakta kopi👋thank you...
10 notes
·
View notes
Text
Catatan Kemenangan : Kenapa Dakwah?
*Baca judul pake nada, "Kenapa Bandung?
Kenapa dakwah? kenapa harus capek-capek ngurusin orang lain? ngurus diri sendiri saja belum selesai.
Pernahkah kamu ketika aktif di Lembaga Dakwah Kampus merasa lebih baik dari orang lain? pernahkah kamu sekadar membaca satu atau dua buku tentang dakwah lantas merasa paling paham akan masalah umat? Saya pernah!
Satu realitas yang perlu dipahami, ketika aktif dan masih istiqomah dalam agenda dakwah, belum tentu kita lebih baik dari orang lain yang tidak ikut LDK, atau belum tentu juga kita lebih baik dari mereka yang "berguguran di Jalan Dakwah"
Pernah suatu masa saya membuka lockscreen HP seorang kawan yang bukan golongan "ukhti-ukhti LDK". Apa yang terpampang sangat mencengangkan. Checklist amal yaumi yang cukup penuh dan sangat jauh dibandingkan saya yang aktif di LDK.
Boleh jadi mereka itu lebih unggul dalam amalan ibadah lain, bedanya mereka tidak share di medsos seperti kita saat share agenda-agenda LDK. Jangan pernah ujub diri.
Saya sadar bahwa diri ini sangatlah jauh dari kata sempurna, masih banyak melakukan dosa dan tidak memiliki ilmu yang banyak untuk melakukan agenda dakwah yang besar. Maka, prinsip saya adalah menjadikan aktivitas dakwah hari ini sebagai amalan unggulan untuk meraih pahala, bukan untuk menjudge orang lain, sembari memperbaiki diri, dan mencari ilmu dari orang-orang yang shaleh.
Dalam keberjalanya, saya mengetahui realitas kedua bahwa apa yang kita lakukan melalui LDK ternyata belum cukup. Problem erasa lebih baik dari orang lain adalah satu dari banyak sindrom yang menjangkiti ADK. Kita masih dipandang ekslusif oleh mereka. Banyak gunung es yang belum kita lihat. Sungguh, amanah kita begitu berat kalau hanya dipikul oleh satu orang.
Di jalan dakwah ini, alhamdulillah saya banyak bertemu orang-orang yang memiliki kemampuan sebagai pendengar yang baik. Saya menyimpulkan bahwa salah satu kunci keberhasilan dakwah mungkin sesederhana menjadi pendengar yang baik.
Kita tentu memiliki segudang masalah kehidupan dan terkadang kita juga sudah tahu penyelesaianya. Tapi di hati kita yang terdalam butuh validasi dan didengarkan. Mungkin dari tahap ini akan meluluhkan mad'u dakwah dan perlahan siap untuk menerima fikrah islam yang lurus.
Realitas ketiga, banyak yang tidak menyadari bahwa sejak kecil model pendidikan Islam kita adalah membiasakan ibadah tapi minim pemahaman kenapa kita harus berislam. Maka tak heran munculnya gelombang hijrah sebagai sarana mencari jati diri dan alasan untuk berislam. Banyak yang berhasil, banyak juga yang gugur.
Kembali ke bagian sebelumnya, ini menjadi tantangan terkhusus untuk LDK menjadi perantara bagi orang di luar sana, agar kembali memahami esensi kenapa harus berislam, dimulai dengan menjadi teman yang baik, mendengarkan setiap keluh kesah mereka, lalu mengajaknya dalam proyek kebaikan.
Terdengar mudah tapi sulit dipraktekan. Kurang lebih itu alasan saya kalau ditanya kenapa berdakwah.
Arsa Coffee & Library, 13 Syawal 1445 H.
youtube
#menyambutkemenangan#seperempadabad#mengerikan#catatankemenangan#dakwah#dakwahkampus#pemudaislam#Youtube
23 notes
·
View notes
Text
Menghitung KebaikanNya
Beberapa bulan ini, aku kembali melatih diri untuk menulis jurnal syukur. Aku sengaja memilih notes kecil yang kuperoleh dari seminar, notes ini seukuran kepalan tanganku. Kupikir dengan ukuran notes sekecil ini bisa mudah kubawa kemanapun aku pergi, lalu aku hanya perlu fokus menuliskan hal yang ingin kulatih; yakni rasa syukur. Berangkat dari satu pertanyaan saja, apa hal yang bisa kusyukuri hari ini?
Awal menuliskan jurnal syukur ini tentu terasa sulit, aku sempat terdiam beberapa waktu. Kepalaku pusing karena aku merasa begitu banyak hal yang tidak sesuai harapanku tahun ini, ternyata aku berada di fase survival mode ini cukup lama. Lalu aku mencoba untuk melepaskan ekspektasiku kepada diri sendiri, tentang hidup harus begini dan begitu.
Perlahan aku menghembuskan nafas demi nafas, mencoba mengingat dan merasakan kebaikan apa saja yang sudah kuterima dariNya. Jariku mulai menuliskan satu dua poin, lalu berlanjut beberapa poin. Saat membaca ulang kebaikan kecil yang sudah kutulis, aku menyadari satu hal. Ternyata dari sekian banyak hal yang menurutku belum ideal, Allah masih mengirimkan banyak kebaikan kecil yang luput aku sadari. Hari itu, meski air mata bercucuran saat sholat dan berdoa, setidaknya aku menemukan setitik kelapangan hati, bahwa kebaikanNya masih membersamaiku, yang meyakinkanku untuk terus melanjutkan hidup sekecewa apapun hatiku saat itu.
Jurnal syukur ini belum bisa kutulis setiap hari. Kadang aku menulis seminggu beberapa kali. Pernah juga jurnal syukurku ini hilang lebih dari seminggu. Aku merasa ada yang hilang, kepalaku mulai pusing dengan pikiran-pikiranku yang menyeruak kemana-mana. Jadilah kucari ini jurnal syukurku, yang ternyata terselip di bawah springbedku. Alhamdulillah masih bisa menulis jurnal syukur, adalah salah satu poin yang kutulis hari itu. Menyadari bahwa perlahan diriku mulai merasa butuh untuk menghitung kebaikan kecil yang kuterima dariNya.
Hari ini aku membaca seluruh catatan kebaikan kecil yang kutulis dalam jurnal itu, di tengah moodku yang sedang buruk karena haid, tiba-tiba aku menangis, oh ya, banyak juga kebaikan kecil yang tetap kurasakan, bahkan ditambah olehNya. Siapa sangka membaca ulang catatan syukurku ini membantu memperbaiki moodku yang sedang hancur saat haid, dan membantuku melanjutkan aktivitas seharian ini.
Saat menulis jurnal ini, terlintas momen momen sulit yang pernah terlalui, tidak menyangka bahwa diri ini ternyata survive juga, itu kan salah satu bentuk kebaikan dariNya. Rasa syukur ini menjadi energi untuk terus berupaya mengalirkan kebaikan kecil itu di lingkungan sekitar, meski di kondisi tidak ideal sekalipun.
Aku jadi teringat ayat AlQuran yang kurang lebih maknanya “bersyukurlah, maka akan Ku tambah nikmatmu”. Seperti otot, syukur juga perlu dilatih. Semakin sering melatih rasa syukur, semakin mudah diri ini menemukan dan merasakan kebaikan kecil yang diterima, meski di tengah-tengah segala hal ketidak idealan, baik secara pribadi, maupun secara struktur sosial. Setidaknya rasa syukur ini memanjangkan harap, ada hal yang masih bisa dilakukan dengan kedua tangan, juga ada kebaikanNya yang selalu membersamai.
9 notes
·
View notes
Text
Tentang Menjadi Ibu
Mungkin, dahulu aku pernah bercita-cita ingin menjadi atau melakukan sesuatu saat sudah menjadi ibu, sambil mengurus anak. Tapi, kini aku merasa bahwa inginku dahulu itu tidaklah tepat. Sebab, setelah peran ibu benar-benar Allah berikan padaku, aku jadi tahu betapa berharganya makhluk titipan Allah ini, betapa berharganya seorang anak. Yang mana, rasanya kurang tepat bila menjaga apa yang menjadi amanah Allah ini hanya dengan 'disambi''.
Sebab, bukankah apabila seorang yang penting menitipkan sesuatu pada kita, kita akan berusaha menjaga titipan tersebut sedemikian rupanya? Sedangkan anak, jelas adalah titipan Allah, yang bahkan mungkin sudah kita nanti kehadirannya, jauh-jauh hari sebelumnya.
Jadi, untukku sekarang yang memang masih terbatas kemampuannya, bila ada yang bertanya: apa kesibukanmu? Akan aku jawab:
'Aku menghabiskan waktu bersama anakku, sambil melakukan aktivitas lain di sela-sela waktunya.'
Semoga Allah jaga niat baik yang tersimpan di baliknya, dan semoga Ia terima amalannya. :)
(22/08/23)
55 notes
·
View notes
Note
Bismillah, gimana sikap kita sebagai jundiyah ya kak? melihat qiyadah-qiyadah banyak yang berselisih paham? Tidak sedikit juga keputusan mereka yang cenderung bias.
Serial QnA— Sikap Jundiyah
Alhamdulillah senang sekali ada yang bertanya di akun ini, jadi ada ide mau nulis apa..
Jadi gini, dalam bingkai berjamaah itu kita perlu senantiasa mengedepankan husnudzan terutama kepada para qiyadah-qiyadah kita. Betapapun mereka telah dipilih berdasarkan kapabilitasnya, mereka tetap manusia yang tidak luput dari khilaf dan salah—pun tiada qiyadah wal jundiyah, ketika tidak dilandasi dari semangat berjamaah dan tsiqah.
Cuman gini, betapapun keputusan yang dibuat seringkali kita anggap aneh, dan kadang kala mengecewakan... Insyaallah itu adalah keputusan terbaik, sebab lahir dari aktivitas syuro, yang juga diupayakan ada pertolongan dari langit, dengan menghadirkan nilai dan ikhtiar barokah di dalamnya.
Lalu begini, dalam menyikapi keputusan yang dianggap bias, bahkan nggak masuk akal. Setelah sikap husnudzan kita kedepankan, selanjutnya hadirkan helicopter-view, sudut pandang yang lebih luas, melihat dari ketinggian, sehingga nampak berbagai macam sudut pandang.
Saya pernah baca tulisan dalam buku berjudul taujih pekanan di rak buku rumah, sudah kumuh saking lamanya, cuman isinya menurut saya begitu mewah yang membahas perihal ini. Singkatnya seperti ini:
Dalam sebuah rubrik, ada seorang aktivis dakwah menanyakan mengenai fenomena hilangnya tsiqah (rasa percaya) kader dakwah terhadap perubahan sikap, langkah dan kebijakan dakwah para qiyadah.
Dari jawaban panjang yang dikemukan pengasuh rubrik tersebut, terselip pertanyaan balik yang membuat penanya merenung dan membuatnya menemukan jawaban melalui sudut pandang yang berbeda, "Apakah ketidaktsiqohan kader tersebut dikarenakan para qiyadah yang sudah berubah atau kapasitas keilmuan para kader yang terbatas dan tidak mampu memahami sikap, langkah dan kebijakan yang diambil para qiyadah?"
Pertanyaan balik dari pengasuh rubrik itu mengajarkan kita untuk menilai sesuatu harus dengan cara pamdang yang luas. Melihat suatu persoalan hanya dengan satu disiplin ilmu saja hanya akan membuat kita terkungkung dengan asumsi-asumsi atas kesimpulan yang menyesatkan.
Disitulah kemudian kredibilitas keilmuan perlu ditingkatkan, karena kebijakan dakwah di era yang modern dan dinamis ini hal tersebut akan memudahkan kita untuk menyikapi dan mengeksekusi segala potensi dan ancaman dalam dakwah.
Jika ikhtiar-ikhtiar itu dirasa masih kurang, karena keterbatasan kita. Maka, ada adabnya. Tanyakan pada yang berwenang menjawabnya, bukan justru diskusi dibawah dengan tendensi negatif, yang akhirnya justru nirproduktif dan nihil solusi.
Wallahua'lam bish showab.
51 notes
·
View notes
Text
Tentang Bahasa.
Alhamdulillaah, udah dikasih kesempatan sama Allaah tinggal di negeri yang diimpikan dulu, ga terasa udah 1 bulan kurang 2 hari. Negeri yang dulunya ku pikir, "ahh bahasa enggressnya ga perlu bagus bagus, toh orang lokalnya juga ga semuanya bisa bahasa enggrees" ujarku. Pada kenyataannya jenjeng, kalau ga bisa bahasa jepang akan sulit sekali komunikasi untuk aktivitas transaksional, dan setelah mulai mencoba belajar sedikit nihongo atau bahasa jepang, rasanya... wassalamu'alaykum. Baru sadar, betapa pentingnya bahasa untuk komunikasi.
Mindset negatifku berkata, aku tuh dari dulu jelek banget di linguistic, dan average at all di subject lain (jadi kek ga ada yang dominan bagus gitu wkwk). Bahasa Indonesia aja hampir selalu remed, dan nilainya selalu terjelek pada UN baik SMP maupun SMA wkwk. Bahasa inggris? terjelek kedua wkwk meski udah les dari SD sekalipun, rasanya seperti tidak ada peningkatan progressive heu. Dulu juga pernah belajar bahasa Arab, ga tuntas karena mentok di fi'il wkwk susah bund. waktu kecil pertama kali mengaji saja, halaman 1 harus mengulang karena cuma bisa ngikutin apa yang disebut ustadnya, ga bisa nyebut sendiri even cuma alif dan ba. Satu-satunya yang bagus, bahasa jerman di SMA #selfaprecciate, tapi itu juga udah ga diterusin karena pelafalannya agak susah buatku, ku acungkan 2 jempol buat anak sastra!
Balik lagi, sekarang, liat petunjuk dimana-mana kebanyakan kanji, hiragana, katakana, kayak apa kabar alphabet? hurufnya keriting semua, kek tetiba rasanya buta huruf mendadak. Pengen nangis rasanya anxiety 'baru' muncul, cemas gabisa beli apa apa, kadang takut jalan kemana mana juga karena bahasanya se-engga ngerti itu, akhirnya the most still depends on my lovely husband, wkwk, maafkan aku. Paling mentok mungkin pake bahasa isyarat yang cuma bisa nunjuk nunjuk aja :")
Sekarang masih coba belajar dikit dikit (sambil nangis juga, wkwk), agak desperate belajar bahasa tuh, tapi bismillaah harus full of motivate, gapapa pelan-pelan, alhamdulillaah sekarang lebih ada waktu luang dan tenaga yang lebih luang juga karena udah ga sambil kerja (rodi) kayak dulu hehehe. slow progress is still progress, kalau kata buku sidu, practices make perfect.
Bismillaah, semoga segalanya dipermudah!
17 notes
·
View notes
Text
Kenapa Bisa Menjadi Jahat?
Sepertinya benar, bahwa ketidakbahagiaan kita itu hanya ada di dalam pikiran, kenyataannya kita tetap memiliki makanan yang bisa dimakan, tempat tinggal untuk berteduh, masih bisa belanja, masih bisa membaca buku, masih bisa beribadah, masih punya kendaraan, dan banyak hal lain yang sangat layak untuk menjadi sebab syukur.
Tapi di alam pikiran, kita mengeluhkan hari ini. Menyimpan prasangka kepada orang lain. Memupuk rasa kurang saat melihat hal-hal yang tak kita miliki. Juga sangat rajin menilai diri sendiri tidak berharga. Bahkan tidak percaya dengan masa depan diri sendiri akan menjadi lebih baik. Lebih parahnya, berharap mati cepat karena dirasa itu akan meniadakan semua ketidakbahagiaan saat ini.
Kehidupan yang bergulir dalam aktivitas yang itu-itu saja, terus menerus, telah mematikan kepekaan kita terhadap pertanda. Beban pikiran yang tak kunjung berkurang, telah mematikan kayakinan dan optimisme diri yang pernah sangat menyala-nyala sewaktu kecil dulu.
Tanpa terasa, terbiasa mengeluh, terbiasa memaki, terbiasa mencibir, dan juga terbiasa menilai sesuatu yang didapatkan oleh orang lain sebagai sesuatu yang tidak layak mereka dapatkan, tak terasa mendoakan kecelakaan buat orang lain - hasad.
Jika kita akhirnya menyadari demikian, bolehlah kita peluk diri sendiri. Apa sebenarnya yang menyakiti diri hingga kita sejahat itu?
(c)kurniawangunadi
187 notes
·
View notes
Text
Menghadirkan Rasa
Sebuah paragraf di buku yang sedang kubaca, menjadi sangat menarik perhatian. Berikut kutipannya.
Iseng membaca - dengan kata lain, membaca karena suka saja, mungkin berdampak lebih besar terhadap hidup anak daripada yang kita sangka. Bagi banyak orang di antara kita, buku yang kita baca atas pilihan sendiri merupakan yang paling melekat di benak kita. Ternyata, buku tidak lagi terkesan ajaib begitu tercantum di bacaan wajib atau silabus guru. Tindakan memilih buku sendiri dan membacanya semata-mata karena kita suka bisa membuahkan dampak yang signifikan. - Sarah Mackenzie, The Read Aloud Family
Disini penulis mengemukakan pendapat, kenapa membaca karena rasa suka lebih berdampak daripada membaca karena tujuan tertentu yang ingin diperoleh (misal, membaca untuk tugas di sekolah).
Dalam hal ini, aku tidak terlalu sepakat dengan kata-kata, "buku tidak lagi terkesan ajaib begitu tercantum di daftar bacaan wajib atau silabus buku.". Karena bagaimana pun cara hadirnya buku di hidup kita, baik melalui proses yang menyenangkan maupun tidak, tergantung kemudian kita menyikapinya. Buku-buku itu akan tetap terasa ajaib, kok. Tinggal bagaimana setiap orang menemukan cara untuk menyukai aktivitas membaca.
Nah, dan ini yang penting. Aku menyetujui premis: untuk bisa merasakan bahwa membaca adalah kegiatan yang menyenangkan, butuh menghadirkan rasa suka membaca terlebih dulu. Dan rasa suka itu yang biasanya, agak sulit (meski bisa) ditumbuhkan dengan keterpaksaan. Karena bagi sebagian orang, keterpaksaan bisa menimbulkan trauma tertentu. Jika ini dalam konteks membaca, akan berujung menganggap membaca adalah aktivitas yang sangat membebani.
Tentang menghadirkan 'rasa' suka ini, membuatku terkoneksi dengan hal-hal lain di luar membaca. Aku jadi teringat akan sesuatu.
Bertahun-tahun lalu, sebuah status line (zaman kuliah dulu status line ini sempat hits wkwk) menarik perhatianku. Ditulis dalam status tersebut, tentang bagaimana cara untuk menyukai murottal Al Quran.
Menarik, pikirku. Aku merasa membutuhkan life hack nya. Jujur, aku bukan penikmat murottal ataupun senandung sholawat sebagai pemuas auditoriku. Meskipun kuakui, mendengarkan murottal itu rasanya menyejukkan, tapi aku tidak sampai di tahap 'suka'. Suka yang sampai ingin kuulang-ulang terus mendengarkannya.
Di status itu kurang lebih dikatakan begini, biasanya kita cenderung menyukai lagu-lagu pop kekinian kan. Coba, apa yang membuat kita suka dengan lagu-lagu itu? Liriknya kah? Tipe musik kah? Penyanyi nya kah?
Misalnya, kita suka dengan karakter suara penyanyi dan nada lagu. Akhirnya hal itu membuat kita ingin terus mengulang menyetel lagu tersebut. Nah, sekarang tinggal terapkan itu dalam mendengar murottal al quran.
Cari qori' yang karakter suara dan nada tilawahnya paling kamu suka. Pasti beda-beda dong antar qori. Dan itu bisa jadi kunci buat pelan-pelan membiasakan mendengar dan hopefully, menyukai murottal di atas lagu-lagu.
Kalau kita suka dengan seni nada para penyanyi, mungkin kita juga bisa menyukai seni nada qiroat para qori'. Kita mungkin perlu mencoba berpindah-pindah antar satu qiroat ke qiroat lainnya supaya menemukan ritme 'asik'nya.
Setelah membaca dengan seksama status tersebut, aku mencoba menerapkannya. Berhasil! Aku mendapatkan qori yang bacaannya paling terasa cocok buatku. Beberapa kali, itu membuatku lebih bertahan lama dan lumayan sering mendengarkan surah-surah Al Quran yang dibacakan oleh qori tersebut. Sampai sekarang :)
Begitu juga dengan memahami Al Quran. Aku bukan orang yang betah berlama-lama membaca terjemahan Al Quran. Kalaupun membaca, kadang rasanya hambar. Aku seringkali bingung dengan benang merah antar ayat. Namun belakangan, aku mendapati bahwa aku bisa lebih menyelami dan berlama-lama berkutat dengan Al Quran saat aku membaca tafsir atau mencoba mentadabburinya. Karena dengan begitu, aku merasa ada hikmah lain yang terungkap. Dan itu tidak bisa kudapatkan dengan hanya membaca terjemahannya. Tafsirnya pun, tidak semua tafsir. Sejauh ini aku merasa cocok dengan Tafsir Al Azhar karya Buya Hamka.
Ibaratnya, dengan membaca tafsir dan tadabbur aku bisa mendapatkan storyline Al Quran.
Juga memasak. Sebelum menikah, apakah aku suka memasak? Nggak juga, wkwk. Kalaupun memasak di rumah, labelku adalah asisten, bukan koki (yang tentu saja adalah ibuku). Malah seringkali aku mengeluh, 'kenapa sih ibu masak terus, memang nggak capek'.
Tapi rupanya, pekerjaan yang kulihat melelahkan dilakukan ibu dulu, adalah pekerjaan rutin yang sekarang aku lakukan juga setiap hari. Lalu apa yang kemudian membuat rutinitas memasak menjadi tidak melelahkan?
Buatku, kuncinya variasi. Aku mudah bosan ketika sesuatu terasa monoton. Sama halnya dengan memasak. Memasak jenis makanan yang itu-itu lagi kadang rasanya membosankan. Jadi, aku mencoba untuk memasak menu yang lain dari biasanya sebagai selingan (meskipun juga sering failnya XD, yang penting variasi wkwk). Dan ini berhasil menghadirkan 'rasa' untuk memacu semangat untukku tetap melakukan rutinitas harian.
Banyak, banyak hal lain selain itu yang kalau kurenungi, bisa aku lakukan dengan lebih bersemangat karena hadirnya rasa 'suka'. Dan menghadirkan rasa suka itu, yang mungkin akan berbeda resepnya di tiap orang. Bahkan diriku sendiri memiliki cara penyikapan yang berbeda-beda untuk bisa menghadirkan rasa di satu kegiatan dan kegiatan lainnya.
Kita hanya perlu menemukan kuncinya untuk meng-unlock kebiasaan, aktivitas, dan hal-hal baik lain yang ingin kita upayakan. Dan start it inside. Kalau kita benar-benar ingin membiasakan sesuatu, temukan apa sih yang bisa membuat kita mau memulai dan mau mempertahankan kebiasaan tersebut. It may be not easy from the start, but it is possible as long as you don't stop.
Mumpung juga ini Ramadan, mungkin kita bisa menemukan kunci itu dan memulai. Semoga dengan menghadirkan rasa, apa pun hal baik yang kita mulai lebih bertahan lama nantinya. Good luck :D
---
Pamekasan, 28 Maret 2023 19.33 WIB
64 notes
·
View notes
Text
Saya bersyukur, berkat internet saya bisa bertemu Martin Suryajaya. Sejak pandemi, saya sudah mulai mencicil serta mengulang-ulang menyimak beberapa video esseinya di youtube. Tapi baru belakangan ini berlanjut menyimak obrolan terhadap karya novelnya yang ternyata berusaha mengkritik perkembangan sastra Indonesia.
Selain itu, dalam satu cuplikan bedah novelnya secara santai di ruang terbuka UI, ia mengakui menulis novel “Kiat Sukses Hancur Lebur”, adalah upayanya untuk bersepakat dengan realitas.
Sebagai orang yang mengenyam ilmu filsafat, ia menyadari akan adanya risiko mengalami ‘kegilaan’. Risiko itu menurutnya adalah hal lazim diidap mahasiswa filsafat atau orang-orang yang berminat mempelajarinya. Ia bersaksi ada temannya yang tiba-tiba bawa pisau ke kampus bahkan ada yang menelanjangi dirinya lalu ke pergi ke tengah jalan.
Secara khusus bahkan ia membahas fenomena itu di youtubenya dengan judul “Bahaya Baper dalam Filsafat”—yang sebetulnya, memang, belajar filsafat itu aktivitas yang sia-sia, namun sayang buat dilewatkan. Oleh karenanya, dia menganjurkan bagaimana tetap belajar filsafat, tapi pada sisi lainnya dapat meminimalisir risiko mengalami kegilaan, yakni melalui kompermentalisasi pikiran yang kita mesti tahu kapan saatnya berfilsafat dan kapan saatnya ia mesti disimpan pada sebuah lemari dalam pikiran kita.
Kalau orang gagal melakukan itu, atau menjadi baper dengan mencampur adukkan filsafat dengan keseharian maka akan terjadi konslet. Maka ia mengumpamakan mesti punya semacam saklar yang sewaktu-waktu bisa dihidupkan atau dimatikan. Atau, maksudnya ialah orang yang belajar filsafat mesti punya kelenturan berpikir dengan mengubah asumsi-asumsi yang dapat merasionalisasi sebab-akibat yang melahirkan sebuah fenomena yang kurang menyenangkan.
Misalnya, ketika dihadapkan realita tentang manusia yang sampai tega berbuat tidak baik terhadap diri atau ke orang lain. Kita bisa berlatih membongkar-pasang berbagai asumsi yang dapat menjelaskan fenomena itu; di antaranya kita bisa pakai asumsi bahwa manusia bukanlah mahkluk sosial melainkan individu yang akan melakukan segala cara demi mencapai tujuannya, atau manusia memang pada dasarnnya adalah serigala bagi manusia lainnya. Tapi kalau mau pakai asumsi yg lebih sreg, manusia itu tidak ada yang baik atau jahat, ia sebetulnya netral tapi setelah mengalami proses-proses sosial dalam kesehariannya, akan menjadikannya tergantung dari proses yang demikian itu.
Senada dengan hal itu, seseorang yang memoderatori bedah novel itu juga sekilas menjabarkannya, dia bilang “tentu ada sedikit rasa frustrasi ketika ideal-ideal yang kita ketahui, justru berbanding terbalik bila dibenturkan dengan yang faktual”. Tapi, ketika kita berada dalam momentum tersebut, lalu merespon dengan menertawakannya, maka itu sebuah pencapaian.
Saya kira persis pada posisi itu yang telah dicapai oleh Martin. Kalau mau, saksikan saja sendiri, cuplikannya masih ada di youtube berjudul “Belajar Merasakan Alienasi dan Absurditas”. Jadi, di sela-sela Martin memutar cuplikan film karya Roy Anderson yang bertemakan eksistensialisme, betapa enteng rasanya ia menyunggingkan senyumnya sambil meneguk segelas wine.
Dunia yang sudah kadung menuju apokaliptik alih-alih direspon dengan tetap kukuh terhadap pandangan-pandangan ideal yang beresiko jadi gila. Bodo amat dengan dunia, mari kita merayakan dengan bersenang-senang sekalipun di tengah puing-puing dan pusarannya.
Memang kata Dea Anugrah itu benar. Hidup pesimis bikin dunia lebih terasa indah dan bukankah hanya itu yang kita punya?
Batubulan, November 2024
2 notes
·
View notes
Text
Hati yang keras, Jiwa yang lembek
Bagi saya pribadi hati yang keras itu adalah manakala sulit untuk menerima nasehat dan selalu merasa benar dan mencari pembenaran. Hati yang keras disinyalir karena kurangnya siraman ruhani, seperti membaca Quran, taklim, berkumpul dengan orang shalih, memandang orang shalih, berdzikir, dan kurang menumbuhkan nuansa ruh dalam detik demi detik, aktivitas demi aktivitas .
Ini sangat rentan menjangkiti saya bahkan kita sebagai manusia. Oleh sebab itu penting untuk menyirami sekaligus mensirkulasi hati dengan siraman yang sejuk dan mendinginkan.
Sedangkan Jiwa yang lembek adalah jiwa yang suka menghamburkan keluhan daripada muhasabah, mengumbar emosional daripada berkonsultasi, mengibarkan sisi keakuan daripada memandang kebenaran. Selalu ingin dimengerti selayaknya harapan memanjakan jiwa yang selalu ingin mulus-mulus aja atau tidak tersentuh dan tidak mau menyiapkan tersentuh dengan goncangan.
Sebagai seorang yang beriman, Allah melalui Rasulnya telah mengisyaratkan untuk menyirami diri dengan berbagai kebaikan dan selalu berdoa untuk istiqamah bernafaskan kebaikan. Karena Allah membolak-balikkan hati. Allah telah menganugrahi hati untuk memilih mana yang baik dan buruk, menganugrahi akal untuk berpikir jernih tepat atau tidaknya.
24 notes
·
View notes
Text
Candu yang Menggebu
Aku tidak tahu sejak kapan mulai menyukainya. Hari-hari terasa hampa jika aku tak bertemu dengannya. Hidupku ada yang kurang kala sehari tidak mencium aromanya. Perasaan yang tak menentu ketika tak kurasa pahit manis khasnya. Paling tidak, dalam dua puluh empat jam aku harus merasakan nikmatnya. Tidak peduli dalam bentuk panas atau dingin, ia tetap sempurna.
Pagi ini mentari begitu cepat menyapa diri. Rupanya aku terlambat bangun pagi. Tak ada waktu untuk berjumpa dengannya pagi ini. Bergegas aku memulai aktivitas dengan percaya diri. Hingga tanpa sadar mentari telah berada pada puncaknya, di siang hari.
Agenda yang amat padat di akhir pekan sungguh mengganggu. Tak sempat lagi aku meluangkan waktu untuk bertemu. Padahal jumpa denganmu selalu aku tunggu. Namun, aku harus segera menyelesaikan segala jadwal itu. Agar segera bisa kucumbu aroma lezatmu. Tanpa sadar mentari pun kini telah meninggalkan cakrawala, berganti dengan rembulan yang syahdu.
Jam di dinding menunjukkan pukul delapan. Akhirnya selesai sudah segala kegiatan. Aku rebahkan sejenak tubuhku pada dipan. Namun, seketika kepalaku amat kesakitan. Rupanya tak bertemu denganmu satu hari amat memilukan. Bergegas aku mengambil ponsel untuk memesan, dan menanti kedatangan. Kehadiranmu yang pasti akan menyembuhkan. Tak berselang lama, ia pun datang dengan aroma khas yang sungguh menggiurkan. Benar saja, seketika hilang sudah segala sakit pada kepalaku barusan. Segelas kopi susu dengan sedikit es batu telah berada di tangan.
Mungkinkah ini candu? Atau hanya sebuah rasa yang semu?
2 notes
·
View notes
Text
4 Hal Penting dalam Dakwah Kampus
Untuk kalian yang terlibat dalam aktivitas dakwah, penting untuk memperhatikan empat hal berikut agar dakwah yang dilakukan menjadi lebih efektif dan efisien:
1. Sejarah Gerakan
Seperti kata Bung Karno, Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Gerakan Dakwah Kampus itu tidak hadir di ruang hampa, dia memiliki ruh yang dibangun dengan keringat, waktu, dan juga perjuangan para pendahulu. Memahami sejarah Dakwah Kampus membuat kita memiliki bangunan pikiran yang kompleks hingga akhirnya tahu untuk melakukan apa dan memperbaiki apa.
Kalau ditarik garis waktu, gerakan dakwah kampus memiliki dinamikanya di setiap zaman dan patut dijadikan pelajaran di zaman sekarang. Dari sejarah kita akhirnya mengerti tujuan apa sebenarnya dari dakwah kampus itu.
Dari Fase Jong Islamintient Bond sebagai upaya mendukung sumpah pemuda, kemunculan Himpunan Mahasiswa Islam sebagai antitesis gerakan kiri, terbentuknya Latihan Mujahid Dakwah ITB mendidik generasi muslim baru saat orde baru, munculnya FSLDK-BKLDK-KAMMI yang akhirnya mewarnai gerakan dakwah kampus hingga sat ini.
Selain itu, memahami sejarah dapat dilakukan dengan berdiskusi dengan tokoh, ulama atau dengan alumni. Cara ini biasanya mendapatkan gambaran sejarah yang waktunya tak terlalu jauh.
2. Software Gerakan
Software Gerakan dapat diartikan sebagai ideologi dari gerakan. Secara jelas Ideologi gerakan dakwah kampus adalah adalah Islam yang mengacu kepada manhaj pergerakan dakwah Rasullulah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dakwah Rasul mengajarkan kita untuk berpikir secara konstruktif, dari bawah ke atas. Secara sederhananya kita diingatkan lagi dengan Syahadatain sebagai dasar ideologi seorang Muslim. Diterjemahkan dalam bingkai kepemimpinan profetik yaitu berarti mendudukan nalar wahyu diatas nalar akar manusia.
Selanjutnya kita dipahamkan lagi oleh Syumuliatul Islam (Islam Yang Menyeluruh) sebagai cara pandang Islam melihat dunia diluar pribadi seorang muslim, dilanjutkan dengan amalan untuk bermanfaat bagi orang lain dan mendekatkan seorang muslim dengan ketakwaan.
3.Hardware Gerakan
Hardware Gerakan berarti perangkat yang mewadahi ideologi dan juga tujuan dari dakwah itu sendiri.
Halaqah : Ruang pembinaan kader
Dauroh : Pelatihan dalam mengelola sebuah isu
Mabit : Wadah peningkatan keimanan dan konsolidasi
Rihlah : Tafakur alam sebagai sarana healing
Syuro/Muktamar : Tempat penentuan keputusan mengenai agenda-agenda dan kebijakan dakwah
Kurang lebih itu beberapa perangkat dakwah dan bisa fleksibel dalam mengikuti zaman.
4. Realitas Dakwah Hari ini
Tentunya dakwah saat orde baru berbeda dengan masa pasca covid hari ini. Aktivis dakwah perlu jeli dalam melihat realitas zaman agar dapat memberikan solusi yang sesuai dengan zamanya juga.
Minimal lakukanlah survey terhadap kepuasan pelayanan dakwah, kalau bisa mahasiswa umum yang benar-benar awam terhadap dengan LDK, kalau yang mengisi sesama kader dakwah yang beramanah berbeda lembaga ya sama saja, kurang akurat.
Analisislah survey itu dengan metode yang sesuai, kalau merasa kebingungan bisa mendatangkan ahli dari kalangan profesional atau alumni.
Selanjutnya, cobalah untuk diskusi dengan lembaga yang memiliki representasi populasi besar, semisal himpunan mahasiswa atau organisasi kemasyarakatan. Coba gali pandangan mereka terhadap kinerja lembaga dakwah, karena lembaga-lembaga seperti ini terkadang memiliki keresahan akan permasalahan sosial, namun kurang wadah untuk memberikan pandangan. Jadilah aktivis dakwah yang luas pergaulanya.
***
Ketika kita memahami sejarah, software, hardware, dan realitas dakwah hari ini, akan terbentuk bangunan pikiran yang kompleks yang memiliki benang merah yang jelas sebagai pijakan untuk melakukan progam kerja dakwah.
Bahwa dakwah adalah jalan yang panjang, kita hanya ada di satu masa dengan permasalahan tersendiri. Dari 4 hal itu harapannya kita dapat melanjutkanya dengan progam kerja dakwah yang dasar bergeraknya tidak hanya tahun lalu seperti ini, tahun selanjutnya kita samakan saja.
(Buku Bahtera dakwah)
17 notes
·
View notes