#adawah
Explore tagged Tumblr posts
Text
Nana-ku
Kenalin.. nama nya nadiah, semua orang panggil dia nana. Aku mau cerita masa SMAku yang ku lewati 3 tahun lamanya bersama nana (mah hobi banget sih skg bikin caption pnjang2 --" weuh gawe ih) Nana adalah orang yang dikirim Allah di smandak untuk menemani imah. Jadi ketika lulus tes k smandak tiba2 terpikir "ada yang mau jadi temen aku ga yah d smandak?" "ada yg mau d ajak jalan kaki ga ya d smandak?" wkwk Lalu ku berdoa semoga d smandak ada satu aja Ya Allah gausah banyak2 gpp satu aja yang mau jadi temenku. Daaaaan JENGJEENGG hadirlah nana dihadapanku ♥ segala puji bagi Allah yang telah menciptakan nana, yang telah mempertemukan kita, dan yang telah mengabulkan doaku ♥ Jadilah nana temanku di smandak. temen seperjuangan, temen jalan kaki dari sabang sampai merauke wkwk, temen bukber tiap hari di adawah, temen ngebopung, temen jjgj (jjgj is jalan2 ga jelas), temen niis, temen curhat, temen menyusuri leuwi goong, temen yg mau nungguin imah nangis wkwk (skg ku ga pernah nangis lagi na, karna nana nyah jauh, skg ku ga pernah nangis teriak2 na krna malu udah gede hehe), temen nyari mangsa khitanan masal wk, temen halaqah, temen sebangku, temen nyikat tempat wudhu, temen hidup? wkwk (ya kalo ada nana versi cowo mau dah ya Allah jodohkan aku dengan nya sajaah *jgn bilang a dani weh) Orang yang paling ngerti imah, yang paling tau imah, yang selalu ngedukung apapun keputusan aku dan kemanapun langkah aku, ga pernah ngehakimin, ga pernah so lebih baik, katakatanya selalu mampu menenangkan hati yang sedang badai wkwk. yang selalu menjadi penghangat penyemangat pengingat dan penguat. Nana adalah pendengar yang baik, pembaca cerita yang baik, dan yang paling penting.. perespon yang baik! terbaik! iyalah terbaik, seneng ga sih kalo kita cerita trus di dengerin di perhatiin dan d respon dg menyenangkan! Itulah nana :)) karna itu bersama nana, imah ga cuma jadi pendengar tapi juga jadi pencerita. tuh! nana itu paket komplit, mana bisa coba aku nolak kalo ada nana versi cowo wkwkwk Dari jaman SMA, nana tuh sering cemburu gitu kalo aku main sama org lain, aku ngurusin koprasi aja dia mah cemburu wkwk. Pernah musuhan sama tuta gegara aku jalan2 kemana2 sama tuta mulu hahaha
Kadang sampe skg, kalo aku bikin caption panjang2 buat temen2 d tsm, aku suka mikir 'nana cemburu ga yaaaa' 'nana marah ga yaaa' hahahah. Sedih itu... ketika nana kepilih jd ketua akhwat T_T rasanya tuh kaya aku bakal kehilangan nanaaa, iyah karena seketika nana berevolusi jadi orang keren, dan tersisalah aku sendiri yg benguk TT Sejak nana jd ketua akhwat, tiap hari jumat kita musuhan wkwk iya nana nya diemin aku gituuuu, karna nana harus ngurusin keputrian sedangkan aku ga mau ikut keputrian, ga mau ngisi keputrian *istigfar bareng2 wkwk. jadi nana marah deh sama akuu lalu berpaling ke cilaaaa T_T gitu yaah mudah berpaling iwh. Padahal yaah sebelum nana jadi ketua akhwat tuh kita sering kabur bareng ga mau keputrian wkwk, maapkeun nana imah yg dulu. Sejak nana jadi ketua akhwat, imah berhenti main hujan2an. Nana yang nyuruh jangan ujan2an tapi aku juga tau diri sih, masa yaah sahabat nya ketua akhwat kelakuan nya kaya gitu -,- Na.. 2 tahun loh aku hanya memandangi hujan d smandak. Sedih sih, tapi aku lebih ga mau liat nana sedih karna aku ga nurut sama nana. Nanti nana berpaling ke cila HAHAHAHAHAH Nana ini yah tiap aku tanya, na kalo aku nikah sama si ini gimana kalo sama si itu gimana, jawabnya selalu 'iyah' mau gimanapun orang nya wkwk katanya "kalau seseorang itu dapat menghantarkan imah menuju ketaatan kpd Allah, nana setuju" kikikikk
Duuuuhh bahagianyaaah punya nana di dunia-yang kejam ini wks. Nana makasih untuk semua waktu nana yang kita habiskan bersamasama. Makasih buat waktu nana yang di pake buat dengerin cerita aku-yang kadang ga penting. Makasih buat waktu nana yang di pake buat ngurusin aku-yg sering merepotkan. Makasih ya udah selalu ada tetep disitu, ga hilang ga kemana mana meski nana sibuk. Makasih ga pernah bosen sama imah hahah. Makasih selalu menjadi penghangat, pencerah bagai mentari dikala badai otak dan badai hati. Makasih untuk doadoa nanaaaa ♥ makasih sudah menjadikan masa SMA ku menyenangkan ketika dijalani juga menyenangkan ketika dikenang ♡
“IMAAAAH” “nyaho teu” “kenapa imahkuuu” “kumaha humas teh?” “imah sekarang lagi apa?” “semoga ada kesempatan buat kita mah, lamaaaa bangeeeeet” “imah ihhh. kan yaaaaaa. kamu teh bisa tanpa aku. iya da Allah sponsornya Allah penyokongnya” “terimakasih imah, sudah berjuang keras disana. tanpa aku disisi. tanpa aku mengiringi” “imaaaah barakallaaaah” “imaaaaah doain aku jugaaaa” “imah aku skg lagi nyoba istiqomah olahraga. supaya rahim aku kuat” “geleuh nana ih. suami orang. bye!” “bodoamat da cuma imah yang tau. dan Allah” “imaaaaaah. Ya Allah...” “imah lagi dimana? pulang gaaaaaaks?” “Ya Allaaaaaaaah kapang bandung-sukabumi ada kereta” “aku juga selalu kangen imah di setiap musim” “kita hanya perlu menegerti orang lain dengan ikhlas. tak perlu terus-terus berpikir agar orang lain mengerti kita juga” “imaaaaah.... kangen kasur aku gaaaaag? wkwkwk” “kadang aku rindu sama slogan ‘hirup mah hirup we’” “nonton BTS, jiga meuli gorengan :’))))))” “maaaaah kamu yakin ga akan nyasar? aku takut ga ketemu imah” “ih hayang ceurik ari diperjuangkan teh T_T” “makasi maaaah sudah mau jadi bagian keluarga nana”
kalo kata masgun, "Rumah yang paling menyenangkan adalah rumah dengan ibu. Perjalanan yang paling menyenangkan adalah perjalanan dengan kamu." Dengan na na ♥♥♥
Na.. semoga ada kesempatan buat kita bareng2 lagi ya. yang lamaaaaaaaa
1 note
·
View note
Link
Asbabut Tafarruqi wa ‘Ilajuha
Kita telah mengetahui dua pilar utama pengokoh takwinu ruhil jama’ah (pembentukan semangat persatuan, kesatuan, atau kebersamaan): Pertama, al-i’tisham bi habli-Llah (berpegang teguh pada tali Allah) dan Kedua, ta’liful qulub (pertautan hati).
Selanjutnya kita perlu mengetahui perkara yang dapat menghancurkan takwinu ruhil jama’ah tersebut, yakni tafarruq (bercerai berai/ berpecah belah). Kita perlu memahami sebab-sebab tumbuhnya tafarruq agar dapat bertindak preventif.
Apa yang dimaksud dengan Tafarruq?
Allah Ta’ala berfirman,
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
“Berpegang teguhlah pada tali Allah dan jangan berpecah-belah” (QS. Al-Imran, 3: 103).
Berkenaan dengan makna ayat di atas Imam At-Thabari rahimahullah menyebutkan penjelasan Ibnu Zaid sebagai berikut,
وَلَا تَتَفَرَّقُوا عَنْ دِين اللَّه وَعَهْده الَّذِي عَهِدَ إِلَيْكُمْ فِي كِتَابه مِنْ الِائْتِلَاف وَالِاجْتِمَاع عَلَى طَاعَته وَطَاعَة رَسُوله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالِانْتِهَاء إِلَى أَمْره
“Janganlah kalian berpecah balah dalam agama Allah dan ketetapan-Nya yang telah ditetapkan bagi kalian di dalam kitab-Nya untuk bersatu dan berkumpul di atas ketaatan kepada-Nya dan taat kepada Rasul-Nya shallallahu’alaihi wa sallam serta mengembalikan kepada kehendak-Nya”.[1]
Sementara itu Imam Al Qurthubi rahimahullah menjelaskan ayat ini sebagai berikut ini,
قَوْلُهُ تَعَالَى: وَلَا تَفَرَقُوْا يَعْنِي فِي دِيْنِكُمْ كَمَا اِفْتَرَقَتْ اَلْيَهُوْدُ وَالنَّصَارَى فِيْ أَدْياَنِهِمْ ; عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ وَغَيْرِهِ . وَيَجُوْزُ أَنْ يَكُوْنَ مَعْناَهُ وَلاَ تَفَرَقُوْا مُتاَبِعِيْنَ لِلْهَوَى وَالْأَغْرَاضِ المُخْتَلِفَةِ
“Firman Allah Ta’ala: ‘Janganlah berpecah-belah’ maknanya: (Janganlah berpecah belah) dalam agama kalian sebagaimana telah berpecah belahnya orang-orang Yahudi dan Nasrani dalam agama mereka’. Disebutkan oleh Ibnu Mas’ud dan juga yang lainnya bahwa makna ‘Janganlah berpecah belah’ di sini adalah jangan kalian mengikuti hawa nafsu dan arah tujuan yang berbeda-beda”.[2]
Sebab-sebab Tafarruq
Dari penjelasan di atas, dapat kita ketahui makna tafarruq adalah berpecah belah atau bercerai berai dalam agama karena menyimpang dari ketaatan kepada Allah Ta’ala dan rasul-Nya, serta mengikuti hawa nafsu dan tujuan lain selain keridhoan-Nya.
Sebab-sebab terjadinya tafarruq berawal dari perilaku fasiq, yakni keluarnya orang-orang dalam suatu umat dari ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya. Mereka melakukan naqdhul mitsaq (melanggar perjanjian).
Perjanjian yang dimaksud adalah meliputi perjanjian antara manusia dengan Rabb mereka, atau juga perjanjian yang terjadi antara sesama manusia yang dikukuhkan dengan ikatan-ikatan yang erat dan komitmen-komitmen, namun mereka tidak peduli terhadap ikatan-ikatan tersebut bahkan mereka membatalkannya dan mereka meninggalkan perintah-perintah-Nya; mereka juga membatalkan janji-janji antara mereka dengan sesama makhluk.[3]
Allah Ta’ala mengungkapkan tentang kaum fasiqin sebagai berikut,
ٱلَّذِينَ يَنقُضُونَ عَهْدَ ٱللَّهِ مِنۢ بَعْدِ مِيثَٰقِهِۦ وَيَقْطَعُونَ مَآ أَمَرَ ٱللَّهُ بِهِۦٓ أَن يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِى ٱلْأَرْضِ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْخَٰسِرُونَ
“(yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS. Al-Baqarah, 2: 27)
Keluarnya manusia dari sikap taat kepada Allah Ta’ala dan rasul-Nya serta melanggar ikatan-ikatan di antara mereka menyebabkan turunnya la’natullah (celaan/kutukan Allah Ta’ala). Mereka dijauhkan dari rahmat-Nya.
Hati-hati mereka pun menjadi keras, qaswatul qulub; tidak dapat menampung kebaikan dan tidak pula memahami dan menerima kebaikan tersebut. Tidak ada satu pun nasihat yang berguna baginya. Sulit melunak untuk menerima keimanan. Tidak peduli dengan kebaikan, tidak dapat menjadi lembut ketika berdzikir dan mendengar nasihat, dan tidak dapat terbuka untuk menerima ayat-ayat Allah agar dapat kembali ke jalan-Nya.
Karena telah terjadi qaswatul qulub, sampai-sampai mereka berani melakukan at-tala’ubu bil manhaji (mempermainkan pedoman), bermain-main dengan ayat-ayat Allah dengan menambahkan, mengurangi, dan mengubah maknanya dengan takwil-takwil sesat dan tidak meletakkan lafadznya pada makna yang tepat, hal ini menjadi tabiat dan kebiasaan mereka.[4]
Kemudian mereka dengan sengaja melupakan pedoman, nisyanul minhaji. Mereka meninggalkan peringatan dari nabi dan rasul mereka, tidak mau mengamalkannya. Mereka melupakan kebaikan dan hidayah serta berbagai perintah agama. Maka, sikap yang akan selalu muncul dari mereka tiada lain adalah al-khiyanah (berkhianat); menipu, berbohong, dan berbuat fujur (perbuatan-perbuatan buruk yang menimbulkan aib).
Hal-hal yang disebutkan di atas pernah terjadi kepada Bani Israil di masa lalu. Allah Ta’ala menyebutkan dalam firman-Nya,
فَبِمَا نَقْضِهِم مِّيثَٰقَهُمْ لَعَنَّٰهُمْ وَجَعَلْنَا قُلُوبَهُمْ قَٰسِيَةً ۖ يُحَرِّفُونَ ٱلْكَلِمَ عَن مَّوَاضِعِهِۦ ۙ وَنَسُوا۟ حَظًّا مِّمَّا ذُكِّرُوا۟ بِهِۦ ۚ وَلَا تَزَالُ تَطَّلِعُ عَ��َىٰ خَآئِنَةٍ مِّنْهُمْ إِلَّا قَلِيلًا مِّنْهُمْ ۖ فَٱعْفُ عَنْهُمْ وَٱصْفَحْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُحْسِنِينَ
“(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuki mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merubah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit diantara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Maidah, 5: 13)[5]
Mengenai ayat ini, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata: “Sifat-sifat buruk ini bisa dimiliki oleh siapa pun yang memiliki sifat-sifat mereka (Bani Israil). Siapa pun yang tidak melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Allah dan menunaikan apa yang telah Dia wajibkan, maka dia mendapatkan bagian laknat, kekerasan hati, ditimpa sikap merubah ucapan Allah. Dia tidak diberi taufik kepada kebenaran, dan melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan darinya, serta dia pasti ditimpa oleh penyakit berkhianat.”
Oleh karena itu, jika dalam tubuh umat—terlebih lagi dari para pemimpinnya—muncul sikap naqdhul mitsaq (melanggar perjanjian), maka akan timbulah fitnah: kekacauan, keonaran, dan kekisruhan. Al-‘adawah (permusuhun) dan al-baghdha-u (kebencian) menjadi tumbuh subur. Terjadinya al-furqah (perpecahan) tidak dapat dielakkan.
Allah Ta’ala pun akan menghukum mereka dengan kehinaan, yakni dikuasainya mereka oleh musuh yang merampas kedaulatan dan harta kekayaan mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَلَمْ يَنْقُضُوا عَهْدَ اللَّهِ وَعَهْدَ رَسُولِهِ إِلَّا سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ عَدُوًّا مِنْ غَيْرِهِمْ فَأَخَذُوا بَعْضَ مَا فِي أَيْدِيهِمْ وَمَا لَمْ تَحْكُمْ أَئِمَّتُهُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ وَيَتَخَيَّرُوا مِمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَّا جَعَلَ اللَّهُ بَأْسَهُمْ بَيْنَهُمْ
“Jika orang-orang membatalkan perjanjian Allah dan perjanjian Rasul-Nya, maka Allah akan menjadikan musuh dari selain mereka (orang-orang kafir) menguasai mereka dan merampas sebagian yang ada di tangan mereka; dan jika pemimpin-pemimpin (negara, masyarakat) tidak menghukumi dengan kitab Allah, dan memilih-milih sebagian apa yang Allah turunkan, maka Allah menjadikan permusuhan terjadi di antara mereka” (HR. Ibnu Majah, Al-Bazzar, Al-Baihaqi; dari Ibnu ‘Umar).[6]
Solusi Atas Perilaku Naqdhul Mitsaq
Solusi dan pencegahan bagi perilaku naqdhul mitsaq ini adalah pengokohan sikap al-wafa-u bil mitsaq (menepati janji). Pengokohan sikap tersebut dapat diupayakan dengan dua hal:
Pertama, tarbiyatul ummah yang berkelanjutan.
Setiap muslim secara individu maupun kolektif harus berupaya menjaga keberlangsungan kehidupan yang islami dengan menegakkan nasihat, dakwah, tarbiyah, dan amar ma’ruf nahi munkar.
Urgensi nasihat dapat kita ketahui dari hadits berikut ini.
عَنْ أَبِيْ رُقَيَّةَ تَمِيْم بْنِ أَوْسٍ الدَّارِيِّ رضي الله عنه أَنَّ النبي صلى الله عليه وسلم قَالَ: الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ قُلْنَا: لِمَنْ يَارَسُولَ اللهِ ؟ قَالَ: للهِ،ولكتابه، ولِرَسُوْلِهِ، وَلأَئِمَّةِ المُسْلِمِيْنَ، وَعَامَّتِهِمْ . رواه مسلم
Dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus Ad-Dari radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Agama adalah nasihat.” Kami berkata: “Untuk siapa wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Untuk Allah, kitab–Nya, Rasul–Nya, para pemimpin kaum muslimin, dan orang umumnya.” (HR. Muslim)
Berkata Imam Al-Khathabi rahmatullah ‘alaih,
وَمَعْنَى الْحَدِيث : عِمَاد الدِّين وَقِوَامه النَّصِيحَة . كَقَوْلِهِ : الْحَجُّ عَرَفَة أَيْ عِمَاده وَمُعْظَمه عَرَفَة .
“Makna hadits ini adalah: tiang agama dan penyangganya adalah nasihat. Ini seperti sabdanya: haji adalah ‘arafah artinya tiang dan mu’zham (unsur yang paling penting) dari haji adalah (wukuf) di ‘Arafah.” (Imam An Nawawi, Al–Minhaj Syarh Shahih Muslim, 1/144. Mawqi’ Ruh Al Islam. Lihat juga Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Syarhul Arba’in An Nawawiyah, Hal. 50. Maktabah Al Misykah)[7]
An–Nashihah (nasihat) diambil dari kata nashaha. Nashaha syai’u bermakna khalasha (memurnikan, menjernihkan, atau menyimpulkan). An–Nashih yakni Al–Khaalish minal ‘asali wa ghairih, yang membersihkan madu dan lainnya (Lisanul ‘Arab, 2/615)
Jadi nasihat adalah upaya untuk memurnikan sesuatu menjadi bersih dari kotoran dan mengaitkan atau menyimpulkannya dengan kebenaran. Syaikh Ismail Al-Anshari rahimahullah mengatakan: “Nasihat adalah upaya pemurnian jiwa dari kekeruhan bagi yang dinasihati (Al Manshuh).” (At Tuhfah Ar Rabbaniyah , Syarh Hadits No. 7)[8]
Perintah menegakkan dakwah, tarbiyah, dan amar ma’ruf nahi munkar diantaranya dapat kita ketahui dari ayat-ayat dan hadits-hadits berikut ini,
ٱدْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلْحِكْمَةِ وَٱلْمَوْعِظَةِ ٱلْحَسَنَةِ ۖ وَجَٰدِلْهُم بِٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِۦ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِٱلْمُهْتَدِينَ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl, 16: 125)
كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ
“Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (QS. Ali Imran, 3: 79)
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ وَأَهْلَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرَضِينَ حَتَّى النَّمْلَةَ فِي جُحْرِهَا وَحَتَّى الْحُوتَ لَيُصَلُّونَ عَلَى مُعَلِّمِ النَّاسِ الْخَيْرَ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta’ala memberi banyak kebaikan, para malaikat-Nya, penghuni langit dan bumi, sampai semut-semut di lubangnya dan ikan-ikan selalu mendoakan orang-orang yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain.” (HR. Tirmidzi dari Abu Umamah Al-Bahili).
عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنْ الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُوشِكَنَّ اللَّهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُونَهُ فَلَا يُسْتَجَابُ لَكُمْ
Dari Hudzaifah bin Yaman radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, kalian harus melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar, atau Allah akan menurunkan hukuman dari-Nya kemudian jika kalian berdoa kepada-Nya, maka Dia tidak mengabulkan doa kalian.” (HR Tirmidzi, beliau berkata: hadits ini hasan).
Kedua, menegakkan hukum secara adil.
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Maidah, 5: 8)
وَإِنْ حَكَمْتَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.” (QS. Al-Maidah, 5: 42)
Diriwayatkan bahwa Usamah bin Zaid pernah meminta keringanan kepada Rasulullah shallallahu wa sallam untuk wanita Makhzumiyah yang mencuri, beliau lalu bersabda,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّمَا ضَلَّ مَنْ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ وَإِذَا سَرَقَ الضَّعِيفُ فِيهِمْ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ وَايْمُ اللَّهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَرَقَتْ لَقَطَعَ مُحَمَّدٌ يَدَهَا
“Wahai manusia, bahwasanya kesesatan orang-orang sebelum kalian adalah karena mereka apabila orang mulia mencuri mereka mengabaikannya, dan apabila orang lemah mencuri mereka menegakkan hukum atasnya. Demi Allah, kalau Fathimah binti Muhammad mencuri, maka Muhammad akan memotong tangannya.” (HR. Bukhari).
Dengan upaya tarbiyatul ummah yang berkelanjutan dan penegakkan hukum yang adil di tengah-tengah masyarakat, insya Allah sikap dan tindakan naqdhul mitsaq dapat dipersempit ruang geraknya. Mereka akan hidup dalam atmosfir al-wafa-u bil ‘ahdi—menepati janji dan patuh pada perintah-perintah Allah Ta’ala. Sehingga turunlah rahmatun minallah (rahmat dari Allah).
وَأَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat.” (QS. Ali Imran, 3: 132)
فَسَأَكْتُبُهَا لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَالَّذِينَ هُمْ بِآيَاتِنَا يُؤْمِنُونَ
“Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami”. (QS. Al-A’raf, 7: 156)
Diantara bentuk rahmat Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya adalah hidayah; petunjuk kepada kebenaran dan kebaikan.
وَإِن تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا۟ ۚ وَمَا عَلَى ٱلرَّسُولِ إِلَّا ٱلْبَلَٰغُ ٱلْمُبِينُ
“…dan jika kalian taat maka sungguh kalian akan mendapat hidayah (petunjuk), dan tidaklah Rasul itu kecuali hanya seorang yang menyampaikan dengan jelas.” (QS. An Nur, 24: 54)
Maka pada diri orang-orang yang taat kepada Allah dan rasul-Nya akan senantiasa tumbuh riqqatul qulub (hati-hati yang lembut). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَدْخُلُ الْجَنَّةَ أَقْوَامٌ أَفْئِدَتُهُمْ مِثْلُ أَفْئِدَةِ الطَّيْرِ
“Akan ada sekelompok orang yang masuk surga, hati mereka seperti hatinya burung.” (HR. Ahmad dan Muslim).
Salah satu makna berhati seperti hati burung adalah cenderungnya seseorang kepada kebenaran karena hidayah ilmu dan pemahaman yang dimilikinya. Sebagaimana pujian yang diberikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada penduduk Yaman. Beliau bersabda,
أَتَاكُمْ أَهْلُ الْيَمَنِ ، أَضْعَفُ قُلُوبًا وَأَرَقُّ أَفْئِدَةً ، الْفِقْهُ يَمَانٍ ، وَالْحِكْمَةُ يَمَانِيَةٌ
“Datang kepada kalian penduduk Yaman. Mereka manusia yang paling lemah lembut hatinya. Pemahaman agama banyak di Yaman, dan hikmah banyak di Yaman.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Di dalam hati mereka tertanam al-iltizamu bil minhaji (sikap komitmen kepada pedoman) dan sikap at-tadzakkaru bil minhaji (mengingat pedoman) serta al-amanah (sikap amanah). Inilah yang akan mengokohkan at-tarahum (rasa saling kasih sayang) dan at-talahum (eratnya ikatan) sehingga terwujud al-wihdah (kesatuan) di tengah-tengah umat.
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni’mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni’mat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. Ali Imran, 3: 103)
Wallahul musta’an.
Catatan Kaki:
[1] Tafsir At-Thabari, http://www.alro7.net/ayaq.php?aya=103&sourid=3
[2] Tafsir Al-Qurtubi, http://www.alro7.net/ayaq.php?aya=103&sourid=3
[3] Tafsir As-Sa’di
[4] Lihat: Tafsir Al-Madinah Al-Munawarah, QS. Al-Maidah ayat 13 di tafsirweb.com.
[5] Disebutkan oleh Syaikh Wahbah Az-Zuhaili rahimahullah dalam Tafsir Al-Wajiz bahwa perintah memaafkan (tidak memerangi) orang-orang Yahudi di ayat ini kemudian di-nasakh oleh firman Allah Ta’ala dalam QS. At-Taubah ayat 29:
قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّىٰ يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.”
[6] Berikut ini redaksi hadits selengkapnya:
يَا مَعْشَرَ الْمُهَاجِرِينَ خَمْسٌ إِذَا ابْتُلِيتُمْ بِهِنَّ وَأَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ تُدْرِكُوهُنَّ لَمْ تَظْهَرِ الْفَاحِشَةُ فِي قَوْمٍ قَطُّ حَتَّى يُعْلِنُوا بِهَا إِلَّا فَشَا فِيهِمُ الطَّاعُونُ وَالْأَوْجَاعُ الَّتِي لَمْ تَكُنْ مَضَتْ فِي أَسْلَافِهِمِ الَّذِينَ مَضَوْا وَلَمْ يَنْقُصُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ إِلَّا أُخِذُوا بِالسِّنِينَ وَش��دَّةِ الْمَئُونَةِ وَجَوْرِ السُّلْطَانِ عَلَيْهِمْ وَلَمْ يَمْنَعُوا زَكَاةَ أَمْوَالِهِمْ إِلَّا مُنِعُوا الْقَطْرَ مِنَ السَّمَاءِ وَلَوْلَا الْبَهَائِمُ لَمْ يُمْطَرُوا وَلَمْ يَنْقُضُوا عَهْدَ اللَّهِ وَعَهْدَ رَسُولِهِ إِلَّا سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ عَدُوًّا مِنْ غَيْرِهِمْ فَأَخَذُوا بَعْضَ مَا فِي أَيْدِيهِمْ وَمَا لَمْ تَحْكُمْ أَئِمَّتُهُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ وَيَتَخَيَّرُوا مِمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَّا جَعَلَ اللَّهُ بَأْسَهُمْ بَيْنَهُمْ
“Hai orang-orang Muhajirin, lima perkara; jika kamu ditimpa lima perkara ini, aku mohon perlindungan kepada Allah agar kamu tidak mendapatinya. Jika perbuatan keji (seperti: bakhil, zina, minum khamr, judi, merampok dan lainnya) dilakukan pada suatu masyarakat dengan terang-terangan, maka akan tersebar wabah penyakit tho’un dan penyakit-penyakit lainnya yang tidak ada pada orang-orang dahulu yang telah lewat; jika orang-orang mengurangi takaran dan timbangan, maka mereka akan disiksa dengan paceklik, kehidupan susah, dan kezholiman pemerintah; jika orang-orang menahan zakat hartanya, maka hujan dari langit juga akan ditahan dari mereka. Seandainya bukan karena hewan-hewan, manusia tidak akan diberi hujan; jika orang-orang membatalkan perjanjian Allah dan perjanjian Rasul-Nya, maka Allah akan menjadikan musuh dari selain mereka (orang-orang kafir) menguasai mereka dan merampas sebagian yang ada di tangan mereka; dan jikapemimpin-pemimpin (negara, masyarakat) tidak menghukumi dengan kitab Allah, dan memilih-milih sebagian apa yang Allah turunkan, maka Allah menjadikan permusuhan terjadi di antara mereka”. (HR Ibnu Majah, No. 4019, Al-Bazzar, Al-Baihaqi; dari Ibnu ‘Umar).
[7] Syarah Arbain Nawawiyah, Farid Nu’man Hasan.
[8] Ibid.
Baca selengkapnya di: https://tarbawiyah.com/2020/05/26/sebab-sebab-tafarruq-dan-solusinya/
0 notes
Text
Fatwa MUI Soal Bermualalah Di Medsos Dan Penggunaan Medsos - FROM RUMAHINJECT
WARTABALI.NET - Sosial media yang dinilai banyak berakibat buruk bagi penggiringan opini, berita Hoax, dan fitnah serta awal mula terjadinya perselisihan akibat ujaran kebencian tampaknya kini mulai diatur oleh MUI, mereka mengeluarkan Fatwa mengenai penggunaan Sosial media simak dan sebarkan
Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa tentang etika bermedia sosial. Komisi Fatwa MUI mengeluarkan Fatwa Nomor 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial, yang diteken pada 13 Mei 2017 oleh Ketua Komisi Fatwa MUI Hasanuddin dan Sekretaris, Asrorun Ni'am Sholeh. MUI mengeluarkan fatwa ini, lantaran melihat dinamika penggunaan media sosial dan digital tak disertai tanggung jawab, sehingga kerap menjadi sarana penyebaran informasi palsu (hoax), fitnah, ghibah (penyampaian informasi faktual seseorang atau kelompok yang tak disukai), namimah (adu domba), gosip, pemutarbalikan fakta sampai ujaran kebencian dan permusuhan. MUI juga melihat banyak pihak juga menjadikan konten media digital sebagai sarana sarana memperoleh simpati, lahan pekerjaan, sarana provokasi, agitasi, dan sarana mencari keuntungan politik serta ekonomi. "Berdasarkan pertimbangan di atas, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia memandang perlu menetapkan fatwa tentang hukum dan pedoman bermuamalah melalui media sosial untuk digunakan sebagai pedoman," tulis MUI dikutip dalam putusannya, Senin, 5 Juni 2017. Pedoman umum Dalam pedoman umum fatwa tersebut, MUI meminta pengguna media sosial untuk memperhatikan beberapa hal dalam menyikapi konten atau informasi di media sosial. MUI menuliskan konten atau informasi yang berasal dari media sosial punya kemungkinan benar dan salah, konten atau informasi yang baik belum tentu benar, konten atau informasi yang benar belum tentu bermanfaat. Kemudian konten atau informasi yang bermanfaat belum tentu cocok untuk disampaikan ke ranah publik dan tidak semua konten atau informasi yang benar itu boleh dan pantas disebar ke ranah publik. Mengingat kualifikasi konten atau informasi tersebut, MUI merumuskan panduan penting yang harus diperhatikan pengguna internet dan media sosial, yakni pedoman verifikasi konten atau informasi, pedoman pembuatan konten atau informasi, serta pedoman penyebaran konten atau informasi. Pedoman verifikasi konten Dalam pedoman verifikasi konten, hendaknya setiap orang yang memeroleh konten atau informasi melalui media sosial tidak boleh menyebarkannya sebelum diverifikasi. "Dan harus dilakukan proses tabayyun serta dipastikan kemanfaatannya," tulis MUI. Proses tabayyun atas konten atau informasi bisa dilakukan dengan langkah sebagai berikut: Pertama, memastikan aspek sumber informasi (sanad)nya, yang meliputi kepribadian, reputasi, kelayakan dan keterpercayaannya. Kedua, dipastikan aspek kebenaran konten (matan)nya, yang meliputi isi dan maksudnya. Ketiga, dipastikan konteks tempat dan waktu serta latar belakang saat informasi tersebut disampaikan. Sedangkan untuk memastikan kebenaran informasi dilakukan dengan dua langkah yaitu, pertama, bertanya kepada sumber informasi jika diketahui. Kedua, permintaan klarifikasi kepada pihak-pihak yang memiliki otoritas dan kompetensi. Terkait dengan upaya tabayyun dilakukan secara tertutup terhadap pihak terkait, tidak terbuka ke ruang publik misalnya melalui grup media sosial. Alasannya, proses itu bisa menyebabkan konten atau informasi yang belum jelas bisa liar beredar luas ke publik. Pedoman pembuatan konten atau informasi MUI menuliskan untuk pembuatan konten yang akan disampaikan ke ranah publik harus berpedoman dengan hal berikut: Pertama, menggunakan kalimat, grafis, gambar, suara dan/atau yang simpel, mudah dipahami, tidak multitafsir, dan tidak menyakiti orang lain. Kedua, konten/informasi harus benar, sudah terverifikasi kebenarannya dengan merujuk pada pedoman verifikasi informasi sebagaimana bagian pedoman umum bermuamalah dalam fatwa ini. Ketiga, konten yang dibuat menyajikan informasi yang bermanfaat. Keempat, konten/informasi yang dibuat menjadi sarana amar ma’ruf nahi munkar dalam pengertian yang luas. Kelima, konten/informasi yang dibuat berdampak baik bagi penerima dalam mewujudkan kemaslahatan serta menghindarkan diri dari kemafsadatan. Keenam, memilih diksi yang tidak provokatif serta tidak membangkitkan kebencian dan permusuhan. Ketujuh, kontennya tidak berisi hoax, fitnah, ghibah, namimah, bullying, gosip, ujaran kebencian, dan hal lain yang terlarang, baik secara agama maupun ketentuan peraturan perundang-undangan. Kedelapan, kontennya tidak menyebabkan dorongan untuk berbuat hal-hal yang terlarang secara syar’i, seperti pornografi, visualisasi kekerasan yang terlarang, umpatan, dan provokasi. Kesembilan, kontennya tidak berisi hal-hal pribadi yang tidak layak untuk disebarkan ke ranah publik. Untuk memastikan kemanfaatan konten atau informasi dilakukan dengan cara: Pertama, bisa mendorong kepada kebaikan (al-birr) dan ketakwaan (al-taqwa). Kedua, bisa mempererat persaudaraan (ukhuwwah) dan cinta kasih (mahabbah) Ketiga, bisa menambah ilmu pengetahuan. Keempat, bisa mendorong untuk melakukan ajaran Islam dengan menjalankan seluruh perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Kelima, tidak melahirkan kebencian (al-baghdla’) dan permusuhan (al-‘adawah). Dalam poin ketiga dan keempat pedoman pembuatan konten, MUI melarang setiap muslim mencari aib, kesalahan atau hal yang tak disukai orang lain baik invidivu atau kelompok. Hal yang dikecualikan yakni tujuan yang dibenarkan secara syar’i, seperti untuk penegakan hukum atau mendamaikan orang yang bertikai (ishlah dzati al-bain). "Tidak boleh menjadikan penyediaan konten/informasi yang berisi tentang hoax, aib, ujaran kebencian, gosip, dan hal-hal lain sejenis terkait pribadi atau kelompok sebagai profesi untuk memperoleh keuntungan, baik ekonomi maupun non-ekonomi, seperti profesi buzzer yang mencari keuntungan dari kegiatan terlarang tersebut," tulis MUI. Pedoman penyebaran konten atau informasi 1. Konten/informasi yang akan disebarkan kepada khalayak umum harus memenuhi kriteria sebagai berikut: Pertama, konten/informasi tersebut benar, baik dari sisi isi, sumber, waktu dan tempat, latar belakang serta konteks informasi disampaikan. Kedua, bermanfaat, baik bagi diri penyebar maupun bagi orang atau kelompok yang akan menerima informasi tersebut. Ketiga, bersifat umum, yaitu informasi tersebut cocok dan layak diketahui oleh masyarakat dari seluruh lapisan sesuai dengan keragaman orang/khalayak yang akan menjadi target sebaran informasi. [ads-post] Keempat, tepat waktu dan tempat (muqtadlal hal), yaitu informasi yang akan disebar harus sesuai dengan waktu dan tempatnya karena informasi benar yang disampaikan pada waktu dan/atau tempat yang berbeda bisa memiliki perbedaan makna. Kelima, tepat konteks, informasi yang terkait dengan konteks tertentu tidak boleh dilepaskan dari konteksnya, terlebih ditempatkan pada konteks yang berbeda yang memiliki kemungkinan pengertian yang berbeda. Keenam, memiliki hak, orang tersebut memiliki hak untuk penyebaran, tidak melanggar hak seperti hak kekayaan intelektual dan tidak melanggar hak privasi. 2. Cara memastikan kebenaran dan kemanfaatan informasi merujuk pada ketentuan pedoman pembuatan dan penyebaran konten atau informasi. 3. Tidak boleh menyebarkan informasi yang berisi hoax, ghibah, fitnah, namimah, aib, ujaran kebencian, dan hal-hal lain sejenis yang tidak layak sebar kepada khalayak. 4. Tidak boleh menyebarkan informasi untuk menutupi kesalahan, membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar, membangun opini agar seolah-olah berhasil dan sukses, dan tujuan menyembunyikan kebenaran serta menipu khalayak. 5. Tidak boleh menyebarkan konten yang bersifat pribadi ke khalayak, padahal konten tersebut diketahui tidak patut untuk disebarkan ke ranah publik, seperti ciuman suami istri dan pose foto tanpa menutup aurat. 6. Setiap orang yang memperoleh informasi tentang aib, kesalahan, dan atau hal yang tidak disukai oleh orang lain tidak boleh menyebarkannya kepada khalayak, meski dengan alasan tabayun. 7. Setiap orang yang mengetahui adanya penyebaran informasi tentang aib, kesalahan, dan atau hal yang tidak disukai oleh orang lain harus melakukan pencegahan. 8. Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam angka 7 dengan cara mengingatkan penyebar secara tertutup, menghapus informasi, serta mengingkari tindakan yang tidak benar tersebut. 9. Orang yang bersalah telah menyebarkan informasi hoax, ghibah, fitnah, namimah, aib, ujaran kebencian, dan hal-hal lain sejenis kepada khalayak, baik sengaja atau tidak tahu, harus bertaubat dengan meminta ampun kepada Allah (istighfar) serta; (i) meminta maaf kepada pihak yang dirugikan (ii) menyesali perbuatannya; (iii) dan komitmen tidak akan mengulangi. Dalam penutupnya, MUI meminta muslim di Tanah Air untuk menyebarkan pedoman dan ketentuan bermedia sosial ini ke publik. "Agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya, mengimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini," tulis MUI. (ase) [fquote] Sumber Berita : VIVA [/fquote]
WARTABALI.NET - Media Informasi Kita Bersama
from Media Informasi Kita http://www.wartabali.net/2017/06/fatwa-mui-soal-bermualalah-di-medsos.html
0 notes
Text
ULFAH (Nyaman Bersama Orang Lain)
Ahibba'i fillah ... Kapan seorang mukmin itu dinilai telah memiliki akhlaq yang baik? Pernyataan ini penting untuk kita jadikan muhasabah supaya kita bisa lebih tepat dalam melakukan pembenahan akhlaq. Pada kesempatan kali ini, mari kita renungkan sebuah hadits yang menerangkan salah satu sisi indikator kualitas akhlaq orang mukmin. Nabi ﷺ bersabda: المؤمن يألَفُ و يُؤْلَف ولا خير فيمن لا يَألَف ولا يُؤْلَف "Orang mukmin itu adalah orang yang nyaman bersama orang lain, dan tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak merasa nyaman bersama orang lain dan orang lain tidak merasa nyaman bersamanya." (Silsilah Ahadits Shohihah no. 426) Di dalam hadits ini dijelaskan bahwa sifat Ulfah itu memiliki hubungan erat dengan sifat iman. Maka jangan heran jika dalam hadits yang lain dijelaskan bahwa orang yang tidak memiliki sifat ini terindikasi sebagai orang munafik di mana Nabi ﷺ bersabda: ان للمنافقين علامات يعرف بها ... مستكبرين لا يالفون و لا يؤلفون "Orang-orang munafik itu memiliki ciri-ciri yang dapat dikenali, yang diantaranya adalah .... mereka itu orang-orang sombong yang tidak nyaman bersama orang lain dan orang lain tidak nyaman berkumpul dengannya." (Ahmad 2/293) Ahbabiyal kirom ... Mari kita bermuhasabah; masihkan kita tidak nyaman berkumpul bersama kaum muslimin yang lain? Masihkah ada kaum muslimin yang tidak nyaman berkumpul dengan kita? Kalau kenyamanan belum terwujud, apa kira-kira penyebabnya? Apakah hasad ? Ataukah 'adawah ? Ataukah ghill ? Ataukah suudzon ? Ataukah kibr ? Atau dosa-dosa besar hati lainnya? Jika suasana Ulfah itu belum terwujud sesama kita, sesama muslim, berarti ada kemungkinan besar akhlak kita bermasalah. Bahkan kemungkinan besar iman kita bermasalah. Mari kita segera berbenah. Tidakkah kita ingat bahwa dengan orang kafirpun ada syariat ta'liful qulub ? Rinciannya bisa dikaji dalam kajian fikih tentang golongan mu'allafah qulubuhum. Juga dalam masalah fikih dijelaskan bahwa dalam kondisi tertentu kita dilarang memilih pendapat yang rojih dan diharuskan memilih pendapat yang marjuh, diantaranya adalah untuk kepentingan ulfah ini. Wallahu a'lam. Luthfi Haidaroh Pagi-pagi buka WA, katanya ada yang "nemu" artikel dan dikirim lah ke saya. Setelah baca jadi reminder untuk diri pribadi :)
0 notes
Text
Diabolisme Intelektual
Diábolos adalah Iblis dalam bahasa Yunani kuno, menurut A. Jeffery dalam bukunya the Foreign Vocabulary of the Qur’an, cetakan Baroda 1938, hlm. 48. Maka istilah “diabolisme” berarti pemikiran, watak dan perilaku ala Iblis ataupun pengabdian padanya. Dalam kitab suci al-Qur’an dinyatakan bahwa Iblis termasuk bangsa jin (18:50), yang diciptakan dari api (15:27). Sebagaimana kita ketahui, ia dikutuk dan dihalau karena menolak perintah Tuhan untuk bersujud kepada Adam. Apakah Iblis atheist? Tidak. Apakah ia agnostik? Tidak. Iblis tidak mengingkari adanya Tuhan. Iblis tidak meragukan wujud maupun ketunggalan-Nya. Iblis bukan tidak kenal Tuhan. Ia tahu dan percaya seratus persen. Lalu mengapa ia dilaknat dan disebut ‘kafir’? Di sinilah letak persoalannya. Kenal dan tahu saja, tidak cukup. Percaya dan mengakui saja, tidak cukup. Mereka yang kafir dari kalangan Ahli Kitab pun kenal dan tahu persis siapa dan bagaimana terpercayanya Rasulullah SAW, sebagaimana orangtua mengenali anak kandungnya sendiri (ya’rifunahu kama ya’rifuna abna’ahum). Namun tetap saja mereka enggan masuk Islam. Jelaslah bahwa pengetahuan, kepercayaan, dan pernyataan harus disertai dengan kepatuhan dan ketundukan, harus diikuti dengan kesediaan dan kemauan untuk merendah, menurut dan melaksanakan perintah. “Knowledge and recognition should be followed by acknowledgement and submission, ” tegas Profesor Naquib al-Attas. Kesalahan Iblis bukan karena ia tak tahu atau tak berilmu. Kesalahannya karena ia membangkang (aba, QS 2:34, 15:31, 20:116), menganggap dirinya hebat (istakbara, QS 2:34, 38:73, 38:75), dan melawan perintah Tuhan (fasaqa ?an amri rabbihi, QS 18:50). Dalam hal ini, Iblis tidak sendirian. Sudah banyak orang yang berhasil direkrut sebagai staf dan kroninya, berpikiran dan berprilaku seperti yang dicontohkannya. Iblis adalah ‘prototype’ intelektual ‘keblinger’. Sebagaimana dikisahkan dalam al-Qur’an, sejurus setelah ia divonis, Iblis mohon agar ajalnya ditangguhkan. Dikabulkan dan dibebaskan untuk sementara waktu, ia pun bersumpah untuk menyeret orang lain ke jalannya, dengan segala cara. “Hasutlah siapa saja yang kau bisa dari kalangan mereka dengan seruanmu. Kerahkan seluruh pasukanmu, kavalri maupun infantri. Menyusuplah dalam urusan keuangan dan keluarga mereka. Janjikan mereka [kenikmatan dan keselamatan]!” Demikian difirmankan kepada Iblis (QS 17:64). Maka Iblis pun bertekad: “Sungguh akan kuhalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus. Akan kudatangi mereka dari arah depan dan belakang, dari sebelah kanan dan kiri mereka!” (QS 7:16-17). Maksudnya, menurut Ibnu ‘Abbas ra, Iblis bertekad untuk menyesatkan orang dengan menebar keraguan, membuat orang ragu dan lupa pada akhirat, alergi dan anti terhadap kebaikan dan kebenaran, gandrung dan tergila-gila pada dunia, hobi dan cuek berbuat dosa, ragu dan bingung soal agama (Lihat: Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-?Az?im, cetakan Beirut, al-Maktabah al-?As?riyyah, 1995, vol. 2, hlm. 190). Tidak sulit untuk mengidentifikasi cendekiawan bermental Iblis. Sebab, ciri-cirinya telah cukup diterangkan dalam al-Qur’an sebagai berikut. Pertama, selalu membangkang dan membantah (6:121). Meskipun ia kenal, tahu dan faham, namun tidak akan pernah mau menerima kebenaran. Seperti ingkarnya Fir’aun berikut hulu-balangnya, zulman wa ‘uluwwan, meskipun dan padahal hati kecilnya mengakui dan meyakini (wa istayqanat-ha anfusuhum). Maka selalu dicarinya argumen untuk menyanggah dan menolak kebenaran demi mempertahankan opininya. Sebab, yang penting baginya bukan kebenaran, akan tetapi pembenaran. Jadi, bukan karena ia tak tahu mana yang benar, tetapi karena ia memang tidak mau mengikuti dan tunduk pada kebenaran itu. Jadi jangan heran bila selalu saja ada cendekiawan yang meskipun nota bene Muslim, namun sifatnya seperti itu. Ideologi dan opini pemikirannya yang liar lebih ia pentingkan dan ia pertahankan ketimbang kebenaran dan aqidah Islamnya. Dalam tradisi keilmuan Islam, sikap membangkang dan membantah (6:121). Meskipun ia kenal, tahu dan faham, namun tidak akan pernah mau menerima kebenaran. Seperti ingkarnya Fir’aun berikut hulu-balangnya, zulman wa ‘uluwwan, meskipun dan padahal hati kecilnya mengakui dan meyakini (wa istayqanat-ha anfusuhum). Maka selalu dicarinya argumen untuk menyanggah dan menolak kebenaran demi mempertahankan opininya. Sebab, yang penting baginya bukan kebenaran, akan tetapi pembenaran. Jadi, bukan karena ia tak tahu mana yang benar, tetapi karena ia memang tidak mau mengikuti dan tunduk pada kebenaran itu. Jadi jangan heran bila selalu saja ada cendekiawan yang meskipun nota bene Muslim, namun sifatnya seperti itu. Ideologi dan opini pemikirannya yang liar lebih ia pentingkan dan ia pertahankan ketimbang kebenaran dan aqidah Islamnya. Dalam tradisi keilmuan Islam, sikap membangkang semacam ini disebut juga al-‘inadiyyah (Lihat: Abu Hafs Najmuddin Umar ibn Muhammad an-Nasafi (w. 537 H/1142 M), al-‘Aqa’id, dalam Majmu’ min Muhimmat al-Mutun, Kairo: al-Matba’ah al-Khayriyyah, 1306 H, hlm. 19). Kedua, intelektual diabolik bersikap takabbur (sombong, angkuh, congkak, arrogans). Pengertian takabbur ini dijelaskan dalam hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (no.147): “Sombong ialah menolak yang haq dan meremehkan orang lain (al-kibru batarul-haqq wa ghamtu n-nas)”. Akibatnya, orang yang mengikuti kebenaran sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an atau hadis Nabi SAW dianggapnya dogmatis, literalis, logosentris, fundamentalis, konservatif dan lain sebagainya. Sebaliknya, orang yang berpikiran liberal, berpandangan relativistik dan skeptis, menghujat al-Qur’an maupun Hadis, meragukan dan menolak kebenarannya, justru disanjung sebagai intelektual kritis, reformis dan sebagainya, meskipun terbukti zindiq, heretik dan bermental Iblis. Mereka bermuka dua, menggunakan standar ganda (2:14). Mereka menganggap orang beriman itu bodoh, padahal merekalah yang bodoh dan dungu (sufaha’). Intelektual semacam inilah yang diancam Allah dalam al-Qur’an : “Akan Aku palingkan mereka yang arogan tanpa kebenaran itu dari ayat-ayat-Ku. Sehingga, meskipun menyaksikan setiap ayat, tetap saja mereka tidak akan mempercayainya. Dan kalaupun melihat jalan kebenaran, mereka tidak akan mau menempuhnya. Namun jika melihat jalan kesesatan, mereka justru menelusurinya” (7:146). Ciri yang ketiga ialah mengaburkan dan menyembunyikan kebenaran (talbis wa kitman al-haqq). Cendekiawan diabolik bukan tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Namun ia sengaja memutarbalikkan data dan fakta. Yang batil dipoles dan dikemas sedemikian rupa sehingga nampak seolah-olah haq. Sebaliknya, yang haq digunting dan di’preteli’ sehingga kelihatan seperti batil. Ataupun dicampur-aduk dua-duanya sehingga tidak jelas lagi beda antara yang benar dan yang salah. Strategi semacam ini memang sangat efektif untuk membuat orang lain bingung dan terkecoh. Contohnya seperti yang dilakukan oleh para pengasong gagasan inklusivisme dan pluralisme agama. Mereka mengutip ayat-ayat al-Qur’an (2:62 dan 5:69) untuk menjustifikasi pemikiran liarnya, untuk mengatakan semua agama adalah sama, tanpa mempedulikan konteks siyaq, sibaq dan lihaq maupun tafsir bi l-ma’tsur dari ayat-ayat tersebut. Sama halnya yang dilakukan oleh para orientalis Barat dalam kajian mereka terhadap al-Qur’an dan Hadis. Mereka mempersoalkan dan membesar-besarkan perkara-perkara kecil, mengutak-atik yang sudah jelas dan tuntas, sambil mendistorsi dan memanipulasi (tahrif) sumber-sumber yang ada. Hal ini tidak terlalu mengejutkan, mengingat kebanyakan mereka adalah Yahudi dan Nasrani yang karakternya telah dijelaskan dalam al-Qur’an 3:71, “Ya ahla l-kitab lima talbisuna l-haqq bi l-batil wa taktumu l-haqq wa antum ta’lamun?” Yang sangat mengherankan ialah ketika hal yang sama dilakukan oleh mereka yang zahirnya Muslim. Karena watak dan peran yang dilakoninya itu, Iblis disebut juga Setan (syaitan), kemungkinan dari bahasa Ibrani ‘syatan’, yang artinya lawan atau musuh (Lihat: W. Gesenius, Lexicon Manuale Hebraicum et Chaldaicum in Veteris Testamenti Libros). Dalam al-Qur’an memang ditegaskan bahwa setan adalah musuh nyata manusia (12:5, 17:53 dan 35:6). Selain pembangkang (‘asiyy), setan berwatak jahat, liar, dan kurang ajar (marid dan marid). Untuk menggelincirkan (istazalla), menjerumuskan (yughwi) dan menyesatkan (yudillu) orang, setan juga memakai strategi. Caranya dengan menyusup dan mempengaruhi (yatakhabbat), merasuk dan merusak (yanzagh), menaklukkan (istahwa) dan menguasai (istah’wadza), menghalang-halangi (yasudd) dan menakut-nakuti (yukhawwif), merekomendasi (sawwala) dan menggiring (ta’uzz), menyeru (yad’u) dan menjebak (yaftin), menciptakan imej positif untuk kebatilan (zayyana lahum a’malahum), membisikkan hal-hal negatif ke dalam hati dan pikiran seseorang (yuwaswis), menjanjikan dan memberikan iming-iming (ya’iduhum wa yumannihim), memperdaya dengan tipu muslihat (dalla bi-ghurur), membuat orang lupa dan lalai (yunsi), menyulut konflik dan kebencian (yuqi’u l-‘adawah wa l-baghda’), menganjurkan perbuatan maksiat dan amoral (ya’mur bi l-fahsya’ wa l-munkar) serta menyuruh orang supaya kafir (qala li l-insani-kfur). Nah, trik-trik inilah yang juga dipraktekan oleh antek-antek dan konco-konconya dari kalangan cendekiawan dan ilmuwan. Mereka disebut awliya’ al-syaytan (4:76), ikhwan al-syaytan (3:175), hizb al-syaytan (58:19) dan junudu Iblis (26:94). Mereka menikam agama dan mempropagandakan pemikiran liar atas nama hak asasi manusia (HAM), kebebasan berekspresi, demokrasi, pembaharuan, pencerahan ataupun penyegaran. Semua ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru atau pertama kali terjadi, seperti segera diketahui oleh setiap orang yang membaca sejarah pemikiran Islam. Semuanya merupakan repetisi dan reproduksi belaka. History repeats itself, kata pepatah bule. Hanya pelakonnya yang beda, namun karakter dan perannya sama saja. Ada Fir’aun dan ada Musa as. Muncul Suhrawardi al-Maqtul, tetapi ada Ibn Taymiyyah. Lalu lahir Hamzah Fansuri, namun datang ar-Raniri, dan seterusnya. Al-Qur’an pun telah mensinyalir: “Memang ada manusia-manusia yang kesukaannya berargumentasi, menghujat Allah tanpa ilmu, dan menjadi pengikut setan yang durhaka. Telah ditetapkan atasnya, bahwa siapa saja yang menjadikannya sebagai kawan, maka akan disesatkan olehnya dan dibimbingnya ke neraka” (22:3-4). Maka kaum beriman diingatkan agar senantiasa menyadari bahwa “sesungguhnya setan-setan itu mewahyukan kepada kroninya untuk menyeret kalian ke dalam pertengkaran. Jika dituruti, kalian akan menjadi orang-orang yang musyrik” (6:121). Ini tidak berarti kita dilarang berpikir atau berijtihad. Berpendapat boleh saja, asal dengan ilmu dan adab. Wallahu a’lam.* Syamsuddin Arif. Penulis adalah peneliti INSISTS, kini menempuh program doktor keduanya di Universitas Frankfurt, Jerman.
0 notes
Photo
Al-Wala’ wal Bara’
Salah satu makna dan konsekuensi yang terkandung dalam kalimat syahadatain adalah munculnya sikap al-wala’ dan al-bara’.
Al-Bara’
Sikap al-bara’ (berlepas diri), adalah manifestasi dari pernyataan: “La Ilaha” (Tidak ada sesembahan). Kata La adalah an-nafy, yaitu kata penolakan. Sedangkan kata Ilah (sesembahan) adalah al-manfiy, yaitu kata yang ditolak.
Jadi, kata La Ilaha mengandung makna al-bara’ (menolak/berlepas diri), seperti sikap berlepas dirinya Nabi Ibrahim alaihissalam terhadap kekufuran dan kemusyrikan. Hal ini diungkapkan dalam firman Allah Ta’ala berikut,
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا ب��كُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّىٰ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: ‘Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dan daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja…” (QS. Al-Mumtahanah, 60: 4)
Dalam kata al-bara’ terkandung makna: al-kufr (mengingkari), al-‘adawah (permusuhan), al-mufashalah (pemisahan), dan al-bughdu (kebencian).
Sikap al-bara’ juga biasanya diiringi sikap al-hadamu (menghancurkan/memerangi). Dalam hal ini, maksudnya adalah menghancurkan/memerangi apa-apa yang dibenci oleh Allah Ta’ala secara terus-menerus dan penuh komitmen.
Al-Wala’
Sedangkan sikap al-wala (loyal), adalah manifestasi dari pernyataan: “Illa-Llah” (kecuali Allah). Kata Illa adalah al-itsbat (kata peneguhan/pengecualian). Sedangkan kata Allah adalah al-mutsbat (yang diteguhkan/dikecualikan). Artinya kepada Allah Ta’ala sajalah ditujukan al-wala’ (loyalitas). at-tha’ah, (ketaatan), an-nushrah (pertolongan), al-qurbu (pendekatan), dan al-mahabbah (kecintaan).
Sikap seperti inilah yang hendaknya senantiasa dibangun (al-bina). Yakni mencintai apa yang dicintai oleh Allah Ta’ala secara terus-menerus dan penuh komitmen.
Tentang al-wala’ dan al-bara’ ini Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَوْثَقُ عُرَى اْلإِيْمَانِ:الْمُوَالاَةُ فِي اللهِ، وَالْمُعَادَاةُ فِي اللهِ، وَالْحُبُّ فِي اللهِ، وَالبُغْضُ فِي اللهِ
“Ikatan iman yang paling kuat adalah loyalitas karena Allah dan permusuhan karena Allah, mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.” (HR. Ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir [no.11537], lihat Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah [IV/306, no. 1728])
Dari penjelasan di atas, al-wala’ dan al-bara’ dapat didefinisikan sebagai penyesuaian diri seorang hamba terhadap apa yang dicintai dan diridhai oleh Allah Ta’ala serta apa yang dibenci dan dimurkai oleh-Nya dalam hal perkataan, perbuatan, kepercayaan dan orang. Dari sini kemudian kaitan-kaitan al-wala’ dan al-bara’ dibagi menjadi empat:
Perkataan; dzikir dicintai Allah, sedangkan mencela dan memaki dibenci Allah Ta’ala.
Perbuatan; shalat, puasa, zakat, sedekah dan berbuat kebajikan, mengerjakan sunnah-Sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dicintai Allah sedangkan tidak shalat, tidak puasa, bakhil, riba, zina, minum khamr dan berbuat bid’ah dibenci Allah Ta’ala.
Kepercayaan; iman dan tauhid dicintai Allah Ta’ala sedang kufur dan syirik dibenci Allah Ta’ala.
Orang yang muwahhid (mengikhlaskan ibadah semata-mata karena Allah) dicintai Allah Ta’ala, sedangkan orang kafir dan musyrik, munafiq dibenci Allah Ta’ala.
Konsekuensi Ucapan: Muhammadur Rasulullah
Berkenaan dengan al-wala’ wal bara’, ucapan Muhammadur Rasulullah dalam kalimat syahadatain bermakna bahwa dalam mempraktikkan al-wala’ wal bara’, setiap kita harus merujuk kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau harus dijadikan minhajul wala wal bara’ (pedoman dalam berloyalitas dan berlepas diri). Jadi, Allah Ta’ala adalah mashdaran, sumber nilai, sedangkan Rasulullah menunjukkan kaifiyat (contoh pelaksanaannya), dan kita selaku mu’min menjadi tanfidan (pelaksananya).
Ringkasnya al-wala’ dan al-bara’ dapat dilaksanakan dengan sempurna jika kita bersikap ittiba’ (mengikuti rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam).
Pembagian Manusia Berdasarkan Al-Wala’ Dan Al-Bara’
Dalam Al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidah al-Islaamiyyah (hal. 195), disebutkan bahwa manusia, dari sudut al-wala’ dan al-bara’, terbagi menjadi tiga bagian:
Pertama, orang yang berhak mendapatkan wala’ (loyalitas) mutlak, yaitu orang-orang mukmin yang beriman kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mereka melaksanakan kewajiban-kewajiban mereka dalam agama mereka dan meninggalkan larangan-larangan agama dengan ikhlas semata-mata karena Allah Azza wa Jalla.
Kedua, orang yang berhak mendapatkan wala’ di satu sisi dan berhak mendapatkan bara’ (pemutusan loyalitas) di sisi lain. Artinya, seorang muslim yang melakukan maksiat, yang melalaikan sebagian kewajiban agamanya dan melakukan sebagian perbuatan yang diharamkan Allah, namun tidak menyebabkan ia menjadi kufur dengan tingkat kufur besar.
Dasarnya adalah riwayat Imam al-Bukhari dari sahabat ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu bahwasanya ada seseorang pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama ‘Abdullah, diberi laqab (gelar) dengan ‘himar’, dan ia sering membuat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam tertawa. Ia pernah didera dengan sebab minum khamr. Kemudian pada suatu hari ia dibawa lagi kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (dengan sebab minum khamr), lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk didera. Lalu ada seseorang dari kaum itu berkata, “Ya Allah, laknat (kutuk)lah dia, betapa sering ia dibawa menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (untuk didera).” Maka Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَلْعَنُوْهُ فَوَاللهِ مَا عَلِمْتُ أَنَّهُ يُحِبُّ اللهَ وَ رَسُوْلَهُ
“Janganlah kamu mengutuknya, sesungguhnya ia (masih tetap) mencintai Allah dan Rasul-Nya.” (H.R. Bukhari)
Ketiga, orang yang berhak mendapatkan bara’ mutlak, yaitu orang musyrik dan kafir, baik ia dari golongan Yahudi atau Nasrani maupun Majusi dan lainnya.
Penerapan Al-Wala’ wal Bara’ dalam pergaulan dengan Non Muslim
Untuk melengkapi pembahasan al-wala’ wal bara’, perlu kiranya dibahas tentang bagaimana sikap yang proporsional yang harus ditunjukkan seorang muslim dalam bergaul dengan non muslim (kafir/musyrik).
Muhammad Al-Ghazali menyatakan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan aturan-aturan yang sangat toleran, melampaui kebiasaan yang berlaku di zaman yang penuh dengan fanatisme kesukuan dan kecongkakan ras. Ketika itu dunia mengira bahwa Islam adalah agama yang tidak dapat menerima prinsip hidup berdampingan dengan agama lain dan mengira bahwa kaum muslimin tidak merasa puas sebelum menjadi umat satu-satunya yang ada di dunia dan menindas setiap manusia yang dianggap keliru, lebih-lebih orang yang berani mencoba hendak melawan!
Ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau menyaksikan orang-orang Yahudi telah lama bermukim di kota itu dan hidup bersama-sama kaum musyrikin. Beliau sama sekali tidak berpikir hendak mengatur siasat untuk menyingkirkan, atau memusuhi mereka. Bahkan dengan niat baik, beliau dapat menerima kenyataan adanya orang-orang Yahudi itu dan adanya paganisme di kota itu. Beberapa waktu kemudian beliau menawarkan perjanjian perdamaian kepada dua golongan itu atas dasar kebebasan masing-masing pihak memeluk agamanya sendiri.[1]
Dalam Al-Mitsaaq al-Islamiy yang disusun oleh Al-Ittihad al-Alamiy li Ulama al-Muslimin (Persatuan Ulama Islam Sedunia) dimuat tentang dasar pijakan hubungan muslim dengan non muslim adalah dua ayat berikut,
لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Mumtahanah, 60: 8-9)
Ayat di atas telah merangkum dua perkara, yaitu berbuat baik dan adil. Berbuat baik adalah memberi lebih dari apa yang menjadi haknya. Sedangkan adil adalah memberi hak kepada pemiliknya tanpa mengurangi. Kedua hal itu dituntut dari setiap muslim dalam bersikap kepada semua manusia meskipun mereka kafir selama tidak menentang dan memerangi orang Islam, serta menindas pemeluknya.
Dua ayat di atas tidak perlu dipertentangkan dengan potongan ayat berikut,
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah…” (QS. Ali Imran, 3: 28)
Karena kelanjutan kalimat dalam ayat ini adalah,
إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
“….kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (QS. Ali Imran, 3: 28)
Tentang ayat di atas, Ahmad Musthafa Al-Maraghi berkata bahwa Allah Ta’ala melarang kaum mu’min memihak orang-orang kafir, baik untuk urusan keluarga, persahabatan jahiliyah, karena tetangga, dan sebagainya, yang sifatnya persahabatan atau teman sepergaulan.
Tetapi jika ternyata memihak dan berteman dengan kaum kafir itu mengandung kemaslahatan bagi kaum mu’min, hal itu dibolehkan. Sebab Nabi Muhammad sendiri pernah bersekutu dengan Bani Khuza’ah, padahal mereka tetap dalam kemusyrikannya. Dibolehkan pula orang Islam mempercayai pemeluk agama lain dan bermu’amalah dengan baik dalam masalah-masalah keduniaan.[2]
Selanjutnya Al-Maraghi menegaskan: “Sesungguhnya orang-orang mu’min meninggalkan orang-orang kafir dalam hal bersekutu adalah suatu keharusan, dalam kondisi bagaimana pun, kecuali jika merasa takut terhadap sesuatu yang mereka khawatirkan dari orang-orang kafir. Dalam keadaan seperti itu, diperbolehkan berjaga-jaga terhadap mereka sesuai dengan rasa kekhawatiranmu, sebab kaidah syariat mengatakan, bahwa menolak kerusakan (mafsadah) hendaklah didahulukan daripada menarik manfaat. Bila mengambil orang-orang kafir hanya sebagai teman, dibolehkan, demi menolak bahaya. Tentunya, dibolehkan dalam rangka mengambil kemanfaatan-kemanfaatan bagi kaum muslimin. Jika demikian tidak ada yang mencegah suatu negara Islam bersahabat dengan negara non muslim, selama dapat menarik keutamaan-keutamaan bagi kaum muslimin, yang terkadang untuk menolak bahaya atau menarik kemanfaatan…”[3]
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling memahami al-wala’ wal bara’. Sikap bara’-nya tidak menghalangi beliau untuk berbuat baik kepada non muslim dan mengambil manfaat dari mereka.
Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memanfaatkan perlindungan Abu Thalib -pamannya yang musyrik- di masa-masa dakwahnya di Makkah? Pernah pula meminta perlindungan Muth’am bin Adiy -yang juga musyrik- saat masuk Makkah sepulang dakwah dari Thaif? Atau pernah pula menggunakan jasa Abdullah bin Uraiqith -seorang musyrik- sebagai penunjuk jalan dalam perjalanan hijrahnya dari Makkah ke Madinah?
Abu Bakar pun pernah memanfaatkan pelindungan Ibnu Daghnah -juga seorang musyrik- agar ia dapat beribadah dengan bebas di kota Makkah. Berkenaan dengan fakta ini, Syaikh Munir Al-Ghadban berkata, “Sesungguhnya, Muth’am bin Adi dan Ibnu Daghnah adalah seorang kafir yang berlainan aqidah dengan kaum muslimin sebagaimana orang Quraisy lainnya. Abu Jahal dan Abu Lahab adalah juga kafir sebagaimana Muth’am bin Adi dan Ibnu Daghnah. Tetapi, ada perbedaan besar antara kedua jenis manusia kafir tersebut. Yang satu adalah golongan kafir yang suka damai dan mendukung kaum muslimin, sedangkan yang lain adalah golongan kafir yang memusuhi dan memerangi kaum muslimin.”[4]
Wallahu A’lam.
Catatan Kaki:
[1] Fiqhus Sirah, hal. 313 – 314
[2] Tafsir Al-Maraghy (terjemahan), hal. 244
[3] Tafsir Al-Maraghi (terjemahan), hal. 244 – 245
[4] Lihat: Manhaj Haraki, Jilid 1, Rabbani Press.
Baca selengkapnya di: https://tarbawiyah.com/2018/01/21/al-wala-wal-bara/
0 notes
Photo
Al-Wala’ wal Bara’
Salah satu makna dan konsekuensi yang terkandung dalam kalimat syahadatain adalah munculnya sikap al-wala’ dan al-bara’.
Al-Bara’
Sikap al-bara’ (berlepas diri), adalah manifestasi dari pernyataan: “La Ilaha” (Tidak ada sesembahan). Kata La adalah an-nafy, yaitu kata penolakan. Sedangkan kata Ilah (sesembahan) adalah al-manfiy, yaitu kata yang ditolak.
Jadi, kata La Ilaha mengandung makna al-bara’ (menolak/berlepas diri), seperti sikap berlepas dirinya Nabi Ibrahim alaihissalam terhadap kekufuran dan kemusyrikan. Hal ini diungkapkan dalam firman Allah Ta’ala berikut,
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّىٰ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: ‘Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dan daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja…” (QS. Al-Mumtahanah, 60: 4)
Dalam kata al-bara’ terkandung makna: al-kufr (mengingkari), al-‘adawah (permusuhan), al-mufashalah (pemisahan), dan al-bughdu (kebencian).
Sikap al-bara’ juga biasanya diiringi sikap al-hadamu (menghancurkan/memerangi). Dalam hal ini, maksudnya adalah menghancurkan/memerangi apa-apa yang dibenci oleh Allah Ta’ala secara terus-menerus dan penuh komitmen.
Al-Wala’
Sedangkan sikap al-wala (loyal), adalah manifestasi dari pernyataan: “Illa-Llah” (kecuali Allah). Kata Illa adalah al-itsbat (kata peneguhan/pengecualian). Sedangkan kata Allah adalah al-mutsbat (yang diteguhkan/dikecualikan). Artinya kepada Allah Ta’ala sajalah ditujukan al-wala’ (loyalitas). at-tha’ah, (ketaatan), an-nushrah (pertolongan), al-qurbu (pendekatan), dan al-mahabbah (kecintaan).
Sikap seperti inilah yang hendaknya senantiasa dibangun (al-bina). Yakni mencintai apa yang dicintai oleh Allah Ta’ala secara terus-menerus dan penuh komitmen.
Tentang al-wala’ dan al-bara’ ini Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَوْثَقُ عُرَى اْلإِيْمَانِ:الْمُوَالاَةُ فِي اللهِ، وَالْمُعَادَاةُ فِي اللهِ، وَالْحُبُّ فِي اللهِ، وَالبُغْضُ فِي اللهِ
“Ikatan iman yang paling kuat adalah loyalitas karena Allah dan permusuhan karena Allah, mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.” (HR. Ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir [no.11537], lihat Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah [IV/306, no. 1728])
Dari penjelasan di atas, al-wala’ dan al-bara’ dapat didefinisikan sebagai penyesuaian diri seorang hamba terhadap apa yang dicintai dan diridhai oleh Allah Ta’ala serta apa yang dibenci dan dimurkai oleh-Nya dalam hal perkataan, perbuatan, kepercayaan dan orang. Dari sini kemudian kaitan-kaitan al-wala’ dan al-bara’ dibagi menjadi empat:
Perkataan; dzikir dicintai Allah, sedangkan mencela dan memaki dibenci Allah Ta’ala.
Perbuatan; shalat, puasa, zakat, sedekah dan berbuat kebajikan, mengerjakan sunnah-Sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dicintai Allah sedangkan tidak shalat, tidak puasa, bakhil, riba, zina, minum khamr dan berbuat bid’ah dibenci Allah Ta’ala.
Kepercayaan; iman dan tauhid dicintai Allah Ta’ala sedang kufur dan syirik dibenci Allah Ta’ala.
Orang yang muwahhid (mengikhlaskan ibadah semata-mata karena Allah) dicintai Allah Ta’ala, sedangkan orang kafir dan musyrik, munafiq dibenci Allah Ta’ala.
Konsekuensi Ucapan: Muhammadur Rasulullah
Berkenaan dengan al-wala’ wal bara’, ucapan Muhammadur Rasulullah dalam kalimat syahadatain bermakna bahwa dalam mempraktikkan al-wala’ wal bara’, setiap kita harus merujuk kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau harus dijadikan minhajul wala wal bara’ (pedoman dalam berloyalitas dan berlepas diri). Jadi, Allah Ta’ala adalah mashdaran, sumber nilai, sedangkan Rasulullah menunjukkan kaifiyat (contoh pelaksanaannya), dan kita selaku mu’min menjadi tanfidan (pelaksananya).
Ringkasnya al-wala’ dan al-bara’ dapat dilaksanakan dengan sempurna jika kita bersikap ittiba’ (mengikuti rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam).
Pembagian Manusia Berdasarkan Al-Wala’ Dan Al-Bara’
Dalam Al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidah al-Islaamiyyah (hal. 195), disebutkan bahwa manusia, dari sudut al-wala’ dan al-bara’, terbagi menjadi tiga bagian:
Pertama, orang yang berhak mendapatkan wala’ (loyalitas) mutlak, yaitu orang-orang mukmin yang beriman kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mereka melaksanakan kewajiban-kewajiban mereka dalam agama mereka dan meninggalkan larangan-larangan agama dengan ikhlas semata-mata karena Allah Azza wa Jalla.
Kedua, orang yang berhak mendapatkan wala’ di satu sisi dan berhak mendapatkan bara’ (pemutusan loyalitas) di sisi lain. Artinya, seorang muslim yang melakukan maksiat, yang melalaikan sebagian kewajiban agamanya dan melakukan sebagian perbuatan yang diharamkan Allah, namun tidak menyebabkan ia menjadi kufur dengan tingkat kufur besar.
Dasarnya adalah riwayat Imam al-Bukhari dari sahabat ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu bahwasanya ada seseorang pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama ‘Abdullah, diberi laqab (gelar) dengan ‘himar’, dan ia sering membuat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam tertawa. Ia pernah didera dengan sebab minum khamr. Kemudian pada suatu hari ia dibawa lagi kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (dengan sebab minum khamr), lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk didera. Lalu ada seseorang dari kaum itu berkata, “Ya Allah, laknat (kutuk)lah dia, betapa sering ia dibawa menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (untuk didera).” Maka Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَلْعَنُوْهُ فَوَاللهِ مَا عَلِمْتُ أَنَّهُ يُحِبُّ اللهَ وَ رَسُوْلَهُ
“Janganlah kamu mengutuknya, sesungguhnya ia (masih tetap) mencintai Allah dan Rasul-Nya.” (H.R. Bukhari)
Ketiga, orang yang berhak mendapatkan bara’ mutlak, yaitu orang musyrik dan kafir, baik ia dari golongan Yahudi atau Nasrani maupun Majusi dan lainnya.
Penerapan Al-Wala’ wal Bara’ dalam pergaulan dengan Non Muslim
Untuk melengkapi pembahasan al-wala’ wal bara’, perlu kiranya dibahas tentang bagaimana sikap yang proporsional yang harus ditunjukkan seorang muslim dalam bergaul dengan non muslim (kafir/musyrik).
Muhammad Al-Ghazali menyatakan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan aturan-aturan yang sangat toleran, melampaui kebiasaan yang berlaku di zaman yang penuh dengan fanatisme kesukuan dan kecongkakan ras. Ketika itu dunia mengira bahwa Islam adalah agama yang tidak dapat menerima prinsip hidup berdampingan dengan agama lain dan mengira bahwa kaum muslimin tidak merasa puas sebelum menjadi umat satu-satunya yang ada di dunia dan menindas setiap manusia yang dianggap keliru, lebih-lebih orang yang berani mencoba hendak melawan!
Ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau menyaksikan orang-orang Yahudi telah lama bermukim di kota itu dan hidup bersama-sama kaum musyrikin. Beliau sama sekali tidak berpikir hendak mengatur siasat untuk menyingkirkan, atau memusuhi mereka. Bahkan dengan niat baik, beliau dapat menerima kenyataan adanya orang-orang Yahudi itu dan adanya paganisme di kota itu. Beberapa waktu kemudian beliau menawarkan perjanjian perdamaian kepada dua golongan itu atas dasar kebebasan masing-masing pihak memeluk agamanya sendiri.[1]
Dalam Al-Mitsaaq al-Islamiy yang disusun oleh Al-Ittihad al-Alamiy li Ulama al-Muslimin (Persatuan Ulama Islam Sedunia) dimuat tentang dasar pijakan hubungan muslim dengan non muslim adalah dua ayat berikut,
لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Mumtahanah, 60: 8-9)
Ayat di atas telah merangkum dua perkara, yaitu berbuat baik dan adil. Berbuat baik adalah memberi lebih dari apa yang menjadi haknya. Sedangkan adil adalah memberi hak kepada pemiliknya tanpa mengurangi. Kedua hal itu dituntut dari setiap muslim dalam bersikap kepada semua manusia meskipun mereka kafir selama tidak menentang dan memerangi orang Islam, serta menindas pemeluknya.
Dua ayat di atas tidak perlu dipertentangkan dengan potongan ayat berikut,
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah…” (QS. Ali Imran, 3: 28)
Karena kelanjutan kalimat dalam ayat ini adalah,
إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
“….kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (QS. Ali Imran, 3: 28)
Tentang ayat di atas, Ahmad Musthafa Al-Maraghi berkata bahwa Allah Ta’ala melarang kaum mu’min memihak orang-orang kafir, baik untuk urusan keluarga, persahabatan jahiliyah, karena tetangga, dan sebagainya, yang sifatnya persahabatan atau teman sepergaulan.
Tetapi jika ternyata memihak dan berteman dengan kaum kafir itu mengandung kemaslahatan bagi kaum mu’min, hal itu dibolehkan. Sebab Nabi Muhammad sendiri pernah bersekutu dengan Bani Khuza’ah, padahal mereka tetap dalam kemusyrikannya. Dibolehkan pula orang Islam mempercayai pemeluk agama lain dan bermu’amalah dengan baik dalam masalah-masalah keduniaan.[2]
Selanjutnya Al-Maraghi menegaskan: “Sesungguhnya orang-orang mu’min meninggalkan orang-orang kafir dalam hal bersekutu adalah suatu keharusan, dalam kondisi bagaimana pun, kecuali jika merasa takut terhadap sesuatu yang mereka khawatirkan dari orang-orang kafir. Dalam keadaan seperti itu, diperbolehkan berjaga-jaga terhadap mereka sesuai dengan rasa kekhawatiranmu, sebab kaidah syariat mengatakan, bahwa menolak kerusakan (mafsadah) hendaklah didahulukan daripada menarik manfaat. Bila mengambil orang-orang kafir hanya sebagai teman, dibolehkan, demi menolak bahaya. Tentunya, dibolehkan dalam rangka mengambil kemanfaatan-kemanfaatan bagi kaum muslimin. Jika demikian tidak ada yang mencegah suatu negara Islam bersahabat dengan negara non muslim, selama dapat menarik keutamaan-keutamaan bagi kaum muslimin, yang terkadang untuk menolak bahaya atau menarik kemanfaatan…”[3]
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling memahami al-wala’ wal bara’. Sikap bara’-nya tidak menghalangi beliau untuk berbuat baik kepada non muslim dan mengambil manfaat dari mereka.
Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memanfaatkan perlindungan Abu Thalib -pamannya yang musyrik- di masa-masa dakwahnya di Makkah? Pernah pula meminta perlindungan Muth’am bin Adiy -yang juga musyrik- saat masuk Makkah sepulang dakwah dari Thaif? Atau pernah pula menggunakan jasa Abdullah bin Uraiqith -seorang musyrik- sebagai penunjuk jalan dalam perjalanan hijrahnya dari Makkah ke Madinah?
Abu Bakar pun pernah memanfaatkan pelindungan Ibnu Daghnah -juga seorang musyrik- agar ia dapat beribadah dengan bebas di kota Makkah. Berkenaan dengan fakta ini, Syaikh Munir Al-Ghadban berkata, “Sesungguhnya, Muth’am bin Adi dan Ibnu Daghnah adalah seorang kafir yang berlainan aqidah dengan kaum muslimin sebagaimana orang Quraisy lainnya. Abu Jahal dan Abu Lahab adalah juga kafir sebagaimana Muth’am bin Adi dan Ibnu Daghnah. Tetapi, ada perbedaan besar antara kedua jenis manusia kafir tersebut. Yang satu adalah golongan kafir yang suka damai dan mendukung kaum muslimin, sedangkan yang lain adalah golongan kafir yang memusuhi dan memerangi kaum muslimin.”[4]
Wallahu A’lam.
Catatan Kaki:
[1] Fiqhus Sirah, hal. 313 – 314
[2] Tafsir Al-Maraghy (terjemahan), hal. 244
[3] Tafsir Al-Maraghi (terjemahan), hal. 244 – 245
[4] Lihat: Manhaj Haraki, Jilid 1, Rabbani Press.
Baca selengkapnya di: https://tarbawiyah.com/2018/01/21/al-wala-wal-bara/
0 notes
Photo
Al-Wala’ wal Bara’
Salah satu makna dan konsekuensi yang terkandung dalam kalimat syahadatain adalah munculnya sikap al-wala’ dan al-bara’.
Al-Bara’
Sikap al-bara’ (berlepas diri), adalah manifestasi dari pernyataan: “La Ilaha” (Tidak ada sesembahan). Kata La adalah an-nafy, yaitu kata penolakan. Sedangkan kata Ilah (sesembahan) adalah al-manfiy, yaitu kata yang ditolak.
Jadi, kata La Ilaha mengandung makna al-bara’ (menolak/berlepas diri), seperti sikap berlepas dirinya Nabi Ibrahim alaihissalam terhadap kekufuran dan kemusyrikan. Hal ini diungkapkan dalam firman Allah Ta’ala berikut,
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّىٰ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: ‘Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dan daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja…” (QS. Al-Mumtahanah, 60: 4)
Dalam kata al-bara’ terkandung makna: al-kufr (mengingkari), al-‘adawah (permusuhan), al-mufashalah (pemisahan), dan al-bughdu (kebencian).
Sikap al-bara’ juga biasanya diiringi sikap al-hadamu (menghancurkan/memerangi). Dalam hal ini, maksudnya adalah menghancurkan/memerangi apa-apa yang dibenci oleh Allah Ta’ala secara terus-menerus dan penuh komitmen.
Al-Wala’
Sedangkan sikap al-wala (loyal), adalah manifestasi dari pernyataan: “Illa-Llah” (kecuali Allah). Kata Illa adalah al-itsbat (kata peneguhan/pengecualian). Sedangkan kata Allah adalah al-mutsbat (yang diteguhkan/dikecualikan). Artinya kepada Allah Ta’ala sajalah ditujukan al-wala’ (loyalitas). at-tha’ah, (ketaatan), an-nushrah (pertolongan), al-qurbu (pendekatan), dan al-mahabbah (kecintaan).
Sikap seperti inilah yang hendaknya senantiasa dibangun (al-bina). Yakni mencintai apa yang dicintai oleh Allah Ta’ala secara terus-menerus dan penuh komitmen.
Tentang al-wala’ dan al-bara’ ini Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَوْثَقُ عُرَى اْلإِيْمَانِ:الْمُوَالاَةُ فِي اللهِ، وَالْمُعَادَاةُ فِي اللهِ، وَالْحُبُّ فِي اللهِ، وَالبُغْضُ فِي اللهِ
“Ikatan iman yang paling kuat adalah loyalitas karena Allah dan permusuhan karena Allah, mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.” (HR. Ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir [no.11537], lihat Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah [IV/306, no. 1728])
Dari penjelasan di atas, al-wala’ dan al-bara’ dapat didefinisikan sebagai penyesuaian diri seorang hamba terhadap apa yang dicintai dan diridhai oleh Allah Ta’ala serta apa yang dibenci dan dimurkai oleh-Nya dalam hal perkataan, perbuatan, kepercayaan dan orang. Dari sini kemudian kaitan-kaitan al-wala’ dan al-bara’ dibagi menjadi empat:
Perkataan; dzikir dicintai Allah, sedangkan mencela dan memaki dibenci Allah Ta’ala.
Perbuatan; shalat, puasa, zakat, sedekah dan berbuat kebajikan, mengerjakan sunnah-Sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dicintai Allah sedangkan tidak shalat, tidak puasa, bakhil, riba, zina, minum khamr dan berbuat bid’ah dibenci Allah Ta’ala.
Kepercayaan; iman dan tauhid dicintai Allah Ta’ala sedang kufur dan syirik dibenci Allah Ta’ala.
Orang yang muwahhid (mengikhlaskan ibadah semata-mata karena Allah) dicintai Allah Ta’ala, sedangkan orang kafir dan musyrik, munafiq dibenci Allah Ta’ala.
Konsekuensi Ucapan: Muhammadur Rasulullah
Berkenaan dengan al-wala’ wal bara’, ucapan Muhammadur Rasulullah dalam kalimat syahadatain bermakna bahwa dalam mempraktikkan al-wala’ wal bara’, setiap kita harus merujuk kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau harus dijadikan minhajul wala wal bara’ (pedoman dalam berloyalitas dan berlepas diri). Jadi, Allah Ta’ala adalah mashdaran, sumber nilai, sedangkan Rasulullah menunjukkan kaifiyat (contoh pelaksanaannya), dan kita selaku mu’min menjadi tanfidan (pelaksananya).
Ringkasnya al-wala’ dan al-bara’ dapat dilaksanakan dengan sempurna jika kita bersikap ittiba’ (mengikuti rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam).
Pembagian Manusia Berdasarkan Al-Wala’ Dan Al-Bara’
Dalam Al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidah al-Islaamiyyah (hal. 195), disebutkan bahwa manusia, dari sudut al-wala’ dan al-bara’, terbagi menjadi tiga bagian:
Pertama, orang yang berhak mendapatkan wala’ (loyalitas) mutlak, yaitu orang-orang mukmin yang beriman kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mereka melaksanakan kewajiban-kewajiban mereka dalam agama mereka dan meninggalkan larangan-larangan agama dengan ikhlas semata-mata karena Allah Azza wa Jalla.
Kedua, orang yang berhak mendapatkan wala’ di satu sisi dan berhak mendapatkan bara’ (pemutusan loyalitas) di sisi lain. Artinya, seorang muslim yang melakukan maksiat, yang melalaikan sebagian kewajiban agamanya dan melakukan sebagian perbuatan yang diharamkan Allah, namun tidak menyebabkan ia menjadi kufur dengan tingkat kufur besar.
Dasarnya adalah riwayat Imam al-Bukhari dari sahabat ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu bahwasanya ada seseorang pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama ‘Abdullah, diberi laqab (gelar) dengan ‘himar’, dan ia sering membuat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam tertawa. Ia pernah didera dengan sebab minum khamr. Kemudian pada suatu hari ia dibawa lagi kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (dengan sebab minum khamr), lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk didera. Lalu ada seseorang dari kaum itu berkata, “Ya Allah, laknat (kutuk)lah dia, betapa sering ia dibawa menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (untuk didera).” Maka Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَلْعَنُوْهُ فَوَاللهِ مَا عَلِمْتُ أَنَّهُ يُحِبُّ اللهَ وَ رَسُوْلَهُ
“Janganlah kamu mengutuknya, sesungguhnya ia (masih tetap) mencintai Allah dan Rasul-Nya.” (H.R. Bukhari)
Ketiga, orang yang berhak mendapatkan bara’ mutlak, yaitu orang musyrik dan kafir, baik ia dari golongan Yahudi atau Nasrani maupun Majusi dan lainnya.
Penerapan Al-Wala’ wal Bara’ dalam pergaulan dengan Non Muslim
Untuk melengkapi pembahasan al-wala’ wal bara’, perlu kiranya dibahas tentang bagaimana sikap yang proporsional yang harus ditunjukkan seorang muslim dalam bergaul dengan non muslim (kafir/musyrik).
Muhammad Al-Ghazali menyatakan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan aturan-aturan yang sangat toleran, melampaui kebiasaan yang berlaku di zaman yang penuh dengan fanatisme kesukuan dan kecongkakan ras. Ketika itu dunia mengira bahwa Islam adalah agama yang tidak dapat menerima prinsip hidup berdampingan dengan agama lain dan mengira bahwa kaum muslimin tidak merasa puas sebelum menjadi umat satu-satunya yang ada di dunia dan menindas setiap manusia yang dianggap keliru, lebih-lebih orang yang berani mencoba hendak melawan!
Ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau menyaksikan orang-orang Yahudi telah lama bermukim di kota itu dan hidup bersama-sama kaum musyrikin. Beliau sama sekali tidak berpikir hendak mengatur siasat untuk menyingkirkan, atau memusuhi mereka. Bahkan dengan niat baik, beliau dapat menerima kenyataan adanya orang-orang Yahudi itu dan adanya paganisme di kota itu. Beberapa waktu kemudian beliau menawarkan perjanjian perdamaian kepada dua golongan itu atas dasar kebebasan masing-masing pihak memeluk agamanya sendiri.[1]
Dalam Al-Mitsaaq al-Islamiy yang disusun oleh Al-Ittihad al-Alamiy li Ulama al-Muslimin (Persatuan Ulama Islam Sedunia) dimuat tentang dasar pijakan hubungan muslim dengan non muslim adalah dua ayat berikut,
لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Mumtahanah, 60: 8-9)
Ayat di atas telah merangkum dua perkara, yaitu berbuat baik dan adil. Berbuat baik adalah memberi lebih dari apa yang menjadi haknya. Sedangkan adil adalah memberi hak kepada pemiliknya tanpa mengurangi. Kedua hal itu dituntut dari setiap muslim dalam bersikap kepada semua manusia meskipun mereka kafir selama tidak menentang dan memerangi orang Islam, serta menindas pemeluknya.
Dua ayat di atas tidak perlu dipertentangkan dengan potongan ayat berikut,
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah…” (QS. Ali Imran, 3: 28)
Karena kelanjutan kalimat dalam ayat ini adalah,
إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
“….kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (QS. Ali Imran, 3: 28)
Tentang ayat di atas, Ahmad Musthafa Al-Maraghi berkata bahwa Allah Ta’ala melarang kaum mu’min memihak orang-orang kafir, baik untuk urusan keluarga, persahabatan jahiliyah, karena tetangga, dan sebagainya, yang sifatnya persahabatan atau teman sepergaulan.
Tetapi jika ternyata memihak dan berteman dengan kaum kafir itu mengandung kemaslahatan bagi kaum mu’min, hal itu dibolehkan. Sebab Nabi Muhammad sendiri pernah bersekutu dengan Bani Khuza’ah, padahal mereka tetap dalam kemusyrikannya. Dibolehkan pula orang Islam mempercayai pemeluk agama lain dan bermu’amalah dengan baik dalam masalah-masalah keduniaan.[2]
Selanjutnya Al-Maraghi menegaskan: “Sesungguhnya orang-orang mu’min meninggalkan orang-orang kafir dalam hal bersekutu adalah suatu keharusan, dalam kondisi bagaimana pun, kecuali jika merasa takut terhadap sesuatu yang mereka khawatirkan dari orang-orang kafir. Dalam keadaan seperti itu, diperbolehkan berjaga-jaga terhadap mereka sesuai dengan rasa kekhawatiranmu, sebab kaidah syariat mengatakan, bahwa menolak kerusakan (mafsadah) hendaklah didahulukan daripada menarik manfaat. Bila mengambil orang-orang kafir hanya sebagai teman, dibolehkan, demi menolak bahaya. Tentunya, dibolehkan dalam rangka mengambil kemanfaatan-kemanfaatan bagi kaum muslimin. Jika demikian tidak ada yang mencegah suatu negara Islam bersahabat dengan negara non muslim, selama dapat menarik keutamaan-keutamaan bagi kaum muslimin, yang terkadang untuk menolak bahaya atau menarik kemanfaatan…”[3]
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling memahami al-wala’ wal bara’. Sikap bara’-nya tidak menghalangi beliau untuk berbuat baik kepada non muslim dan mengambil manfaat dari mereka.
Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memanfaatkan perlindungan Abu Thalib -pamannya yang musyrik- di masa-masa dakwahnya di Makkah? Pernah pula meminta perlindungan Muth’am bin Adiy -yang juga musyrik- saat masuk Makkah sepulang dakwah dari Thaif? Atau pernah pula menggunakan jasa Abdullah bin Uraiqith -seorang musyrik- sebagai penunjuk jalan dalam perjalanan hijrahnya dari Makkah ke Madinah?
Abu Bakar pun pernah memanfaatkan pelindungan Ibnu Daghnah -juga seorang musyrik- agar ia dapat beribadah dengan bebas di kota Makkah. Berkenaan dengan fakta ini, Syaikh Munir Al-Ghadban berkata, “Sesungguhnya, Muth’am bin Adi dan Ibnu Daghnah adalah seorang kafir yang berlainan aqidah dengan kaum muslimin sebagaimana orang Quraisy lainnya. Abu Jahal dan Abu Lahab adalah juga kafir sebagaimana Muth’am bin Adi dan Ibnu Daghnah. Tetapi, ada perbedaan besar antara kedua jenis manusia kafir tersebut. Yang satu adalah golongan kafir yang suka damai dan mendukung kaum muslimin, sedangkan yang lain adalah golongan kafir yang memusuhi dan memerangi kaum muslimin.”[4]
Wallahu A’lam.
Catatan Kaki:
[1] Fiqhus Sirah, hal. 313 – 314
[2] Tafsir Al-Maraghy (terjemahan), hal. 244
[3] Tafsir Al-Maraghi (terjemahan), hal. 244 – 245
[4] Lihat: Manhaj Haraki, Jilid 1, Rabbani Press.
Baca selengkapnya di: https://tarbawiyah.com/2018/01/21/al-wala-wal-bara/
0 notes
Link
Salah satu makna dan konsekuensi yang terkandung dalam kalimat syahadatain adalah munculnya sikap al-wala’ dan al-bara’.
Al-Bara’
Sikap al-bara’ (berlepas diri), adalah manifestasi dari pernyataan: “La Ilaha” (Tidak ada sesembahan). Kata La adalah an-nafy, yaitu kata penolakan. Sedangkan kata Ilah (sesembahan) adalah al-manfiy, yaitu kata yang ditolak.
Jadi, kata La Ilaha mengandung makna al-bara’ (menolak/berlepas diri), seperti sikap berlepas dirinya Nabi Ibrahim alaihissalam terhadap kekufuran dan kemusyrikan. Hal ini diungkapkan dalam firman Allah Ta’ala berikut,
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّىٰ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: ‘Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dan daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja…” (QS. Al-Mumtahanah, 60: 4)
Dalam kata al-bara’ terkandung makna: al-kufr (mengingkari), al-‘adawah (permusuhan), al-mufashalah (pemisahan), dan al-bughdu (kebencian).
Sikap al-bara’ juga biasanya diiringi sikap al-hadamu (menghancurkan/memerangi). Dalam hal ini, maksudnya adalah menghancurkan/memerangi apa-apa yang dibenci oleh Allah Ta’ala secara terus-menerus dan penuh komitmen.
Al-Wala’
Sedangkan sikap al-wala (loyal), adalah manifestasi dari pernyataan: “Illa-Llah” (kecuali Allah). Kata Illa adalah al-itsbat (kata peneguhan/pengecualian). Sedangkan kata Allah adalah al-mutsbat (yang diteguhkan/dikecualikan). Artinya kepada Allah Ta’ala sajalah ditujukan al-wala’ (loyalitas). at-tha’ah, (ketaatan), an-nushrah (pertolongan), al-qurbu (pendekatan), dan al-mahabbah (kecintaan).
Sikap seperti inilah yang hendaknya senantiasa dibangun (al-bina). Yakni mencintai apa yang dicintai oleh Allah Ta’ala secara terus-menerus dan penuh komitmen.
Tentang al-wala’ dan al-bara’ ini Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَوْثَقُ عُرَى اْلإِيْمَانِ:الْمُوَالاَةُ فِي اللهِ، وَالْمُعَادَاةُ فِي اللهِ، وَالْحُبُّ فِي اللهِ، وَالبُغْضُ فِي اللهِ
“Ikatan iman yang paling kuat adalah loyalitas karena Allah dan permusuhan karena Allah, mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.” (HR. Ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir [no.11537], lihat Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah [IV/306, no. 1728])
Dari penjelasan di atas, al-wala’ dan al-bara’ dapat didefinisikan sebagai penyesuaian diri seorang hamba terhadap apa yang dicintai dan diridhai oleh Allah Ta’ala serta apa yang dibenci dan dimurkai oleh-Nya dalam hal perkataan, perbuatan, kepercayaan dan orang. Dari sini kemudian kaitan-kaitan al-wala’ dan al-bara’ dibagi menjadi empat:
Perkataan; dzikir dicintai Allah, sedangkan mencela dan memaki dibenci Allah Ta’ala.
Perbuatan; shalat, puasa, zakat, sedekah dan berbuat kebajikan, mengerjakan sunnah-Sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dicintai Allah sedangkan tidak shalat, tidak puasa, bakhil, riba, zina, minum khamr dan berbuat bid’ah dibenci Allah Ta’ala.
Kepercayaan; iman dan tauhid dicintai Allah Ta’ala sedang kufur dan syirik dibenci Allah Ta’ala.
Orang yang muwahhid (mengikhlaskan ibadah semata-mata karena Allah) dicintai Allah Ta’ala, sedangkan orang kafir dan musyrik, munafiq dibenci Allah Ta’ala.
Konsekuensi Ucapan: Muhammadur Rasulullah
Berkenaan dengan al-wala’ wal bara’, ucapan Muhammadur Rasulullah dalam kalimat syahadatain bermakna bahwa dalam mempraktikkan al-wala’ wal bara’, setiap kita harus merujuk kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau harus dijadikan minhajul wala wal bara’ (pedoman dalam berloyalitas dan berlepas diri). Jadi, Allah Ta’ala adalah mashdaran, sumber nilai, sedangkan Rasulullah menunjukkan kaifiyat (contoh pelaksanaannya), dan kita selaku mu’min menjadi tanfidan (pelaksananya).
Ringkasnya al-wala’ dan al-bara’ dapat dilaksanakan dengan sempurna jika kita bersikap ittiba’ (mengikuti rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam).
Pembagian Manusia Berdasarkan Al-Wala’ Dan Al-Bara’
Dalam Al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidah al-Islaamiyyah (hal. 195), disebutkan bahwa manusia, dari sudut al-wala’ dan al-bara’, terbagi menjadi tiga bagian:
Pertama, orang yang berhak mendapatkan wala’ (loyalitas) mutlak, yaitu orang-orang mukmin yang beriman kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mereka melaksanakan kewajiban-kewajiban mereka dalam agama mereka dan meninggalkan larangan-larangan agama dengan ikhlas semata-mata karena Allah Azza wa Jalla.
Kedua, orang yang berhak mendapatkan wala’ di satu sisi dan berhak mendapatkan bara’ (pemutusan loyalitas) di sisi lain. Artinya, seorang muslim yang melakukan maksiat, yang melalaikan sebagian kewajiban agamanya dan melakukan sebagian perbuatan yang diharamkan Allah, namun tidak menyebabkan ia menjadi kufur dengan tingkat kufur besar.
Dasarnya adalah riwayat Imam al-Bukhari dari sahabat ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu bahwasanya ada seseorang pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama ‘Abdullah, diberi laqab (gelar) dengan ‘himar’, dan ia sering membuat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam tertawa. Ia pernah didera dengan sebab minum khamr. Kemudian pada suatu hari ia dibawa lagi kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (dengan sebab minum khamr), lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk didera. Lalu ada seseorang dari kaum itu berkata, “Ya Allah, laknat (kutuk)lah dia, betapa sering ia dibawa menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (untuk didera).” Maka Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَلْعَنُوْهُ فَوَاللهِ مَا عَلِمْتُ أَنَّهُ يُحِبُّ اللهَ وَ رَسُوْلَهُ
“Janganlah kamu mengutuknya, sesungguhnya ia (masih tetap) mencintai Allah dan Rasul-Nya.” (H.R. Bukhari)
Ketiga, orang yang berhak mendapatkan bara’ mutlak, yaitu orang musyrik dan kafir, baik ia dari golongan Yahudi atau Nasrani maupun Majusi dan lainnya.
Penerapan Al-Wala’ wal Bara’ dalam pergaulan dengan Non Muslim
Untuk melengkapi pembahasan al-wala’ wal bara’, perlu kiranya dibahas tentang bagaimana sikap yang proporsional yang harus ditunjukkan seorang muslim dalam bergaul dengan non muslim (kafir/musyrik).
Muhammad Al-Ghazali menyatakan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan aturan-aturan yang sangat toleran, melampaui kebiasaan yang berlaku di zaman yang penuh dengan fanatisme kesukuan dan kecongkakan ras. Ketika itu dunia mengira bahwa Islam adalah agama yang tidak dapat menerima prinsip hidup berdampingan dengan agama lain dan mengira bahwa kaum muslimin tidak merasa puas sebelum menjadi umat satu-satunya yang ada di dunia dan menindas setiap manusia yang dianggap keliru, lebih-lebih orang yang berani mencoba hendak melawan!
Ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau menyaksikan orang-orang Yahudi telah lama bermukim di kota itu dan hidup bersama-sama kaum musyrikin. Beliau sama sekali tidak berpikir hendak mengatur siasat untuk menyingkirkan, atau memusuhi mereka. Bahkan dengan niat baik, beliau dapat menerima kenyataan adanya orang-orang Yahudi itu dan adanya paganisme di kota itu. Beberapa waktu kemudian beliau menawarkan perjanjian perdamaian kepada dua golongan itu atas dasar kebebasan masing-masing pihak memeluk agamanya sendiri.[1]
Dalam Al-Mitsaaq al-Islamiy yang disusun oleh Al-Ittihad al-Alamiy li Ulama al-Muslimin (Persatuan Ulama Islam Sedunia) dimuat tentang dasar pijakan hubungan muslim dengan non muslim adalah dua ayat berikut,
لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Mumtahanah, 60: 8-9)
Ayat di atas telah merangkum dua perkara, yaitu berbuat baik dan adil. Berbuat baik adalah memberi lebih dari apa yang menjadi haknya. Sedangkan adil adalah memberi hak kepada pemiliknya tanpa mengurangi. Kedua hal itu dituntut dari setiap muslim dalam bersikap kepada semua manusia meskipun mereka kafir selama tidak menentang dan memerangi orang Islam, serta menindas pemeluknya.
Dua ayat di atas tidak perlu dipertentangkan dengan potongan ayat berikut,
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah…” (QS. Ali Imran, 3: 28)
Karena kelanjutan kalimat dalam ayat ini adalah,
إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
“….kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (QS. Ali Imran, 3: 28)
Tentang ayat di atas, Ahmad Musthafa Al-Maraghi berkata bahwa Allah Ta’ala melarang kaum mu’min memihak orang-orang kafir, baik untuk urusan keluarga, persahabatan jahiliyah, karena tetangga, dan sebagainya, yang sifatnya persahabatan atau teman sepergaulan.
Tetapi jika ternyata memihak dan berteman dengan kaum kafir itu mengandung kemaslahatan bagi kaum mu’min, hal itu dibolehkan. Sebab Nabi Muhammad sendiri pernah bersekutu dengan Bani Khuza’ah, padahal mereka tetap dalam kemusyrikannya. Dibolehkan pula orang Islam mempercayai pemeluk agama lain dan bermu’amalah dengan baik dalam masalah-masalah keduniaan.[2]
Selanjutnya Al-Maraghi menegaskan: “Sesungguhnya orang-orang mu’min meninggalkan orang-orang kafir dalam hal bersekutu adalah suatu keharusan, dalam kondisi bagaimana pun, kecuali jika merasa takut terhadap sesuatu yang mereka khawatirkan dari orang-orang kafir. Dalam keadaan seperti itu, diperbolehkan berjaga-jaga terhadap mereka sesuai dengan rasa kekhawatiranmu, sebab kaidah syariat mengatakan, bahwa menolak kerusakan (mafsadah) hendaklah didahulukan daripada menarik manfaat. Bila mengambil orang-orang kafir hanya sebagai teman, dibolehkan, demi menolak bahaya. Tentunya, dibolehkan dalam rangka mengambil kemanfaatan-kemanfaatan bagi kaum muslimin. Jika demikian tidak ada yang mencegah suatu negara Islam bersahabat dengan negara non muslim, selama dapat menarik keutamaan-keutamaan bagi kaum muslimin, yang terkadang untuk menolak bahaya atau menarik kemanfaatan…”[3]
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling memahami al-wala’ wal bara’. Sikap bara’-nya tidak menghalangi beliau untuk berbuat baik kepada non muslim dan mengambil manfaat dari mereka.
Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memanfaatkan perlindungan Abu Thalib -pamannya yang musyrik- di masa-masa dakwahnya di Makkah? Pernah pula meminta perlindungan Muth’am bin Adiy -yang juga musyrik- saat masuk Makkah sepulang dakwah dari Thaif? Atau pernah pula menggunakan jasa Abdullah bin Uraiqith -seorang musyrik- sebagai penunjuk jalan dalam perjalanan hijrahnya dari Makkah ke Madinah?
Abu Bakar pun pernah memanfaatkan pelindungan Ibnu Daghnah -juga seorang musyrik- agar ia dapat beribadah dengan bebas di kota Makkah. Berkenaan dengan fakta ini, Syaikh Munir Al-Ghadban berkata, “Sesungguhnya, Muth’am bin Adi dan Ibnu Daghnah adalah seorang kafir yang berlainan aqidah dengan kaum muslimin sebagaimana orang Quraisy lainnya. Abu Jahal dan Abu Lahab adalah juga kafir sebagaimana Muth’am bin Adi dan Ibnu Daghnah. Tetapi, ada perbedaan besar antara kedua jenis manusia kafir tersebut. Yang satu adalah golongan kafir yang suka damai dan mendukung kaum muslimin, sedangkan yang lain adalah golongan kafir yang memusuhi dan memerangi kaum muslimin.”[4]
Wallahu A’lam.
Catatan Kaki:
[1] Fiqhus Sirah, hal. 313 – 314
[2] Tafsir Al-Maraghy (terjemahan), hal. 244
[3] Tafsir Al-Maraghi (terjemahan), hal. 244 – 245
[4] Lihat: Manhaj Haraki, Jilid 1, Rabbani Press.
Baca selengkapnya di: https://tarbawiyah.com/2018/01/21/al-wala-wal-bara/
0 notes
Link
Salah satu makna dan konsekuensi yang terkandung dalam kalimat syahadatain adalah munculnya sikap al-wala’ dan al-bara’.
Al-Bara’
Sikap al-bara’ (berlepas diri), adalah manifestasi dari pernyataan: “La Ilaha” (Tidak ada sesembahan). Kata La adalah an-nafy, yaitu kata penolakan. Sedangkan kata Ilah (sesembahan) adalah al-manfiy, yaitu kata yang ditolak.
Jadi, kata La Ilaha mengandung makna al-bara’ (menolak/berlepas diri), seperti sikap berlepas dirinya Nabi Ibrahim alaihissalam terhadap kekufuran dan kemusyrikan. Hal ini diungkapkan dalam firman Allah Ta’ala berikut,
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّىٰ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: ‘Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dan daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja…” (QS. Al-Mumtahanah, 60: 4)
Dalam kata al-bara’ terkandung makna: al-kufr (mengingkari), al-‘adawah (permusuhan), al-mufashalah (pemisahan), dan al-bughdu (kebencian).
Sikap al-bara’ juga biasanya diiringi sikap al-hadamu (menghancurkan/memerangi). Dalam hal ini, maksudnya adalah menghancurkan/memerangi apa-apa yang dibenci oleh Allah Ta’ala secara terus-menerus dan penuh komitmen.
Al-Wala’
Sedangkan sikap al-wala (loyal), adalah manifestasi dari pernyataan: “Illa-Llah” (kecuali Allah). Kata Illa adalah al-itsbat (kata peneguhan/pengecualian). Sedangkan kata Allah adalah al-mutsbat (yang diteguhkan/dikecualikan). Artinya kepada Allah Ta’ala sajalah ditujukan al-wala’ (loyalitas). at-tha’ah, (ketaatan), an-nushrah (pertolongan), al-qurbu (pendekatan), dan al-mahabbah (kecintaan).
Sikap seperti inilah yang hendaknya senantiasa dibangun (al-bina). Yakni mencintai apa yang dicintai oleh Allah Ta’ala secara terus-menerus dan penuh komitmen.
Tentang al-wala’ dan al-bara’ ini Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَوْثَقُ عُرَى اْلإِيْمَانِ:الْمُوَالاَةُ فِي اللهِ، وَالْمُعَادَاةُ فِي اللهِ، وَالْحُبُّ فِي اللهِ، وَالبُغْضُ فِي اللهِ
“Ikatan iman yang paling kuat adalah loyalitas karena Allah dan permusuhan karena Allah, mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.” (HR. Ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir [no.11537], lihat Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah [IV/306, no. 1728])
Dari penjelasan di atas, al-wala’ dan al-bara’ dapat didefinisikan sebagai penyesuaian diri seorang hamba terhadap apa yang dicintai dan diridhai oleh Allah Ta’ala serta apa yang dibenci dan dimurkai oleh-Nya dalam hal perkataan, perbuatan, kepercayaan dan orang. Dari sini kemudian kaitan-kaitan al-wala’ dan al-bara’ dibagi menjadi empat:
Perkataan; dzikir dicintai Allah, sedangkan mencela dan memaki dibenci Allah Ta’ala.
Perbuatan; shalat, puasa, zakat, sedekah dan berbuat kebajikan, mengerjakan sunnah-Sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dicintai Allah sedangkan tidak shalat, tidak puasa, bakhil, riba, zina, minum khamr dan berbuat bid’ah dibenci Allah Ta’ala.
Kepercayaan; iman dan tauhid dicintai Allah Ta’ala sedang kufur dan syirik dibenci Allah Ta’ala.
Orang yang muwahhid (mengikhlaskan ibadah semata-mata karena Allah) dicintai Allah Ta’ala, sedangkan orang kafir dan musyrik, munafiq dibenci Allah Ta’ala.
Konsekuensi Ucapan: Muhammadur Rasulullah
Berkenaan dengan al-wala’ wal bara’, ucapan Muhammadur Rasulullah dalam kalimat syahadatain bermakna bahwa dalam mempraktikkan al-wala’ wal bara’, setiap kita harus merujuk kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau harus dijadikan minhajul wala wal bara’ (pedoman dalam berloyalitas dan berlepas diri). Jadi, Allah Ta’ala adalah mashdaran, sumber nilai, sedangkan Rasulullah menunjukkan kaifiyat (contoh pelaksanaannya), dan kita selaku mu’min menjadi tanfidan (pelaksananya).
Ringkasnya al-wala’ dan al-bara’ dapat dilaksanakan dengan sempurna jika kita bersikap ittiba’ (mengikuti rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam).
Pembagian Manusia Berdasarkan Al-Wala’ Dan Al-Bara’
Dalam Al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidah al-Islaamiyyah (hal. 195), disebutkan bahwa manusia, dari sudut al-wala’ dan al-bara’, terbagi menjadi tiga bagian:
Pertama, orang yang berhak mendapatkan wala’ (loyalitas) mutlak, yaitu orang-orang mukmin yang beriman kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mereka melaksanakan kewajiban-kewajiban mereka dalam agama mereka dan meninggalkan larangan-larangan agama dengan ikhlas semata-mata karena Allah Azza wa Jalla.
Kedua, orang yang berhak mendapatkan wala’ di satu sisi dan berhak mendapatkan bara’ (pemutusan loyalitas) di sisi lain. Artinya, seorang muslim yang melakukan maksiat, yang melalaikan sebagian kewajiban agamanya dan melakukan sebagian perbuatan yang diharamkan Allah, namun tidak menyebabkan ia menjadi kufur dengan tingkat kufur besar.
Dasarnya adalah riwayat Imam al-Bukhari dari sahabat ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu bahwasanya ada seseorang pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama ‘Abdullah, diberi laqab (gelar) dengan ‘himar’, dan ia sering membuat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam tertawa. Ia pernah didera dengan sebab minum khamr. Kemudian pada suatu hari ia dibawa lagi kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (dengan sebab minum khamr), lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk didera. Lalu ada seseorang dari kaum itu berkata, “Ya Allah, laknat (kutuk)lah dia, betapa sering ia dibawa menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (untuk didera).” Maka Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَلْعَنُوْهُ فَوَاللهِ مَا عَلِمْتُ أَنَّهُ يُحِبُّ اللهَ وَ رَسُوْلَهُ
“Janganlah kamu mengutuknya, sesungguhnya ia (masih tetap) mencintai Allah dan Rasul-Nya.” (H.R. Bukhari)
Ketiga, orang yang berhak mendapatkan bara’ mutlak, yaitu orang musyrik dan kafir, baik ia dari golongan Yahudi atau Nasrani maupun Majusi dan lainnya.
Penerapan Al-Wala’ wal Bara’ dalam pergaulan dengan Non Muslim
Untuk melengkapi pembahasan al-wala’ wal bara’, perlu kiranya dibahas tentang bagaimana sikap yang proporsional yang harus ditunjukkan seorang muslim dalam bergaul dengan non muslim (kafir/musyrik).
Muhammad Al-Ghazali menyatakan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan aturan-aturan yang sangat toleran, melampaui kebiasaan yang berlaku di zaman yang penuh dengan fanatisme kesukuan dan kecongkakan ras. Ketika itu dunia mengira bahwa Islam adalah agama yang tidak dapat menerima prinsip hidup berdampingan dengan agama lain dan mengira bahwa kaum muslimin tidak merasa puas sebelum menjadi umat satu-satunya yang ada di dunia dan menindas setiap manusia yang dianggap keliru, lebih-lebih orang yang berani mencoba hendak melawan!
Ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau menyaksikan orang-orang Yahudi telah lama bermukim di kota itu dan hidup bersama-sama kaum musyrikin. Beliau sama sekali tidak berpikir hendak mengatur siasat untuk menyingkirkan, atau memusuhi mereka. Bahkan dengan niat baik, beliau dapat menerima kenyataan adanya orang-orang Yahudi itu dan adanya paganisme di kota itu. Beberapa waktu kemudian beliau menawarkan perjanjian perdamaian kepada dua golongan itu atas dasar kebebasan masing-masing pihak memeluk agamanya sendiri.[1]
Dalam Al-Mitsaaq al-Islamiy yang disusun oleh Al-Ittihad al-Alamiy li Ulama al-Muslimin (Persatuan Ulama Islam Sedunia) dimuat tentang dasar pijakan hubungan muslim dengan non muslim adalah dua ayat berikut,
لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Mumtahanah, 60: 8-9)
Ayat di atas telah merangkum dua perkara, yaitu berbuat baik dan adil. Berbuat baik adalah memberi lebih dari apa yang menjadi haknya. Sedangkan adil adalah memberi hak kepada pemiliknya tanpa mengurangi. Kedua hal itu dituntut dari setiap muslim dalam bersikap kepada semua manusia meskipun mereka kafir selama tidak menentang dan memerangi orang Islam, serta menindas pemeluknya.
Dua ayat di atas tidak perlu dipertentangkan dengan potongan ayat berikut,
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah…” (QS. Ali Imran, 3: 28)
Karena kelanjutan kalimat dalam ayat ini adalah,
إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
“….kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (QS. Ali Imran, 3: 28)
Tentang ayat di atas, Ahmad Musthafa Al-Maraghi berkata bahwa Allah Ta’ala melarang kaum mu’min memihak orang-orang kafir, baik untuk urusan keluarga, persahabatan jahiliyah, karena tetangga, dan sebagainya, yang sifatnya persahabatan atau teman sepergaulan.
Tetapi jika ternyata memihak dan berteman dengan kaum kafir itu mengandung kemaslahatan bagi kaum mu’min, hal itu dibolehkan. Sebab Nabi Muhammad sendiri pernah bersekutu dengan Bani Khuza’ah, padahal mereka tetap dalam kemusyrikannya. Dibolehkan pula orang Islam mempercayai pemeluk agama lain dan bermu’amalah dengan baik dalam masalah-masalah keduniaan.[2]
Selanjutnya Al-Maraghi menegaskan: “Sesungguhnya orang-orang mu’min meninggalkan orang-orang kafir dalam hal bersekutu adalah suatu keharusan, dalam kondisi bagaimana pun, kecuali jika merasa takut terhadap sesuatu yang mereka khawatirkan dari orang-orang kafir. Dalam keadaan seperti itu, diperbolehkan berjaga-jaga terhadap mereka sesuai dengan rasa kekhawatiranmu, sebab kaidah syariat mengatakan, bahwa menolak kerusakan (mafsadah) hendaklah didahulukan daripada menarik manfaat. Bila mengambil orang-orang kafir hanya sebagai teman, dibolehkan, demi menolak bahaya. Tentunya, dibolehkan dalam rangka mengambil kemanfaatan-kemanfaatan bagi kaum muslimin. Jika demikian tidak ada yang mencegah suatu negara Islam bersahabat dengan negara non muslim, selama dapat menarik keutamaan-keutamaan bagi kaum muslimin, yang terkadang untuk menolak bahaya atau menarik kemanfaatan…”[3]
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling memahami al-wala’ wal bara’. Sikap bara’-nya tidak menghalangi beliau untuk berbuat baik kepada non muslim dan mengambil manfaat dari mereka.
Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memanfaatkan perlindungan Abu Thalib -pamannya yang musyrik- di masa-masa dakwahnya di Makkah? Pernah pula meminta perlindungan Muth’am bin Adiy -yang juga musyrik- saat masuk Makkah sepulang dakwah dari Thaif? Atau pernah pula menggunakan jasa Abdullah bin Uraiqith -seorang musyrik- sebagai penunjuk jalan dalam perjalanan hijrahnya dari Makkah ke Madinah?
Abu Bakar pun pernah memanfaatkan pelindungan Ibnu Daghnah -juga seorang musyrik- agar ia dapat beribadah dengan bebas di kota Makkah. Berkenaan dengan fakta ini, Syaikh Munir Al-Ghadban berkata, “Sesungguhnya, Muth’am bin Adi dan Ibnu Daghnah adalah seorang kafir yang berlainan aqidah dengan kaum muslimin sebagaimana orang Quraisy lainnya. Abu Jahal dan Abu Lahab adalah juga kafir sebagaimana Muth’am bin Adi dan Ibnu Daghnah. Tetapi, ada perbedaan besar antara kedua jenis manusia kafir tersebut. Yang satu adalah golongan kafir yang suka damai dan mendukung kaum muslimin, sedangkan yang lain adalah golongan kafir yang memusuhi dan memerangi kaum muslimin.”[4]
Wallahu A’lam.
Catatan Kaki:
[1] Fiqhus Sirah, hal. 313 – 314
[2] Tafsir Al-Maraghy (terjemahan), hal. 244
[3] Tafsir Al-Maraghi (terjemahan), hal. 244 – 245
[4] Lihat: Manhaj Haraki, Jilid 1, Rabbani Press.
Baca selengkapnya di: https://tarbawiyah.com/2018/01/21/al-wala-wal-bara/
0 notes
Link
Oleh: M. Indra Kurniawan
Salah satu makna dan konsekuensi yang terkandung dalam kalimat syahadatain adalah munculnya sikap al-wala’ dan al-bara’.
Al-Bara’
Sikap al-bara’ (berlepas diri), adalah manifestasi dari pernyataan: “La Ilaha” (Tidak ada sesembahan). Kata La adalah an-nafy, yaitu kata penolakan. Sedangkan kata Ilah (sesembahan) adalah al-manfiy, yaitu kata yang ditolak.
Jadi, kata La Ilaha mengandung makna al-bara’ (menolak/berlepas diri), seperti sikap berlepas dirinya Nabi Ibrahim alaihissalam terhadap kekufuran dan kemusyrikan. Hal ini diungkapkan dalam firman Allah Ta’ala berikut,
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّىٰ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: ‘Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dan daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja…” (QS. Al-Mumtahanah, 60: 4)
Dalam kata al-bara’ terkandung makna: al-kufr (mengingkari), al-‘adawah (permusuhan), al-mufashalah (pemisahan), dan al-bughdu (kebencian).
Sikap al-bara’ juga biasanya diiringi sikap al-hadamu (menghancurkan/memerangi). Dalam hal ini, maksudnya adalah menghancurkan/memerangi apa-apa yang dibenci oleh Allah Ta’ala secara terus-menerus dan penuh komitmen.
Al-Wala’
Sedangkan sikap al-wala (loyal), adalah manifestasi dari pernyataan: “Illa-Llah” (kecuali Allah). Kata Illa adalah al-itsbat (kata peneguhan/pengecualian). Sedangkan kata Allah adalah al-mutsbat (yang diteguhkan/dikecualikan). Artinya kepada Allah Ta’ala sajalah ditujukan al-wala’ (loyalitas). at-tha’ah, (ketaatan), an-nushrah (pertolongan), al-qurbu (pendekatan), dan al-mahabbah (kecintaan).
Sikap seperti inilah yang hendaknya senantiasa dibangun (al-bina). Yakni mencintai apa yang dicintai oleh Allah Ta’ala secara terus-menerus dan penuh komitmen.
Tentang al-wala’ dan al-bara’ ini Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَوْثَقُ عُرَى اْلإِيْمَانِ:الْمُوَالاَةُ فِي اللهِ، وَالْمُعَادَاةُ فِي اللهِ، وَالْحُبُّ فِي اللهِ، وَالبُغْضُ فِي اللهِ
“Ikatan iman yang paling kuat adalah loyalitas karena Allah dan permusuhan karena Allah, mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.” (HR. Ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir [no.11537], lihat Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah [IV/306, no. 1728])
Dari penjelasan di atas, al-wala’ dan al-bara’ dapat didefinisikan sebagai penyesuaian diri seorang hamba terhadap apa yang dicintai dan diridhai oleh Allah Ta’ala serta apa yang dibenci dan dimurkai oleh-Nya dalam hal perkataan, perbuatan, kepercayaan dan orang. Dari sini kemudian kaitan-kaitan al-wala’ dan al-bara’ dibagi menjadi empat:
Perkataan; dzikir dicintai Allah, sedangkan mencela dan memaki dibenci Allah Ta’ala.
Perbuatan; shalat, puasa, zakat, sedekah dan berbuat kebajikan, mengerjakan sunnah-Sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dicintai Allah sedangkan tidak shalat, tidak puasa, bakhil, riba, zina, minum khamr dan berbuat bid’ah dibenci Allah Ta’ala.
Kepercayaan; iman dan tauhid dicintai Allah Ta’ala sedang kufur dan syirik dibenci Allah Ta’ala.
Orang yang muwahhid (mengikhlaskan ibadah semata-mata karena Allah) dicintai Allah Ta’ala, sedangkan orang kafir dan musyrik, munafiq dibenci Allah Ta’ala.
Konsekuensi Ucapan: Muhammadur Rasulullah
Berkenaan dengan al-wala’ wal bara’, ucapan Muhammadur Rasulullah dalam kalimat syahadatain bermakna bahwa dalam mempraktikkan al-wala’ wal bara’, setiap kita harus merujuk kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau harus dijadikan minhajul wala wal bara’ (pedoman dalam berloyalitas dan berlepas diri). Jadi, Allah Ta’ala adalah mashdaran, sumber nilai, sedangkan Rasulullah menunjukkan kaifiyat (contoh pelaksanaannya), dan kita selaku mu’min menjadi tanfidan (pelaksananya).
Ringkasnya al-wala’ dan al-bara’ dapat dilaksanakan dengan sempurna jika kita bersikap ittiba’ (mengikuti rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam).
Pembagian Manusia Berdasarkan Al-Wala’ Dan Al-Bara’
Dalam Al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidah al-Islaamiyyah (hal. 195), disebutkan bahwa manusia, dari sudut al-wala’ dan al-bara’, terbagi menjadi tiga bagian:
Pertama, orang yang berhak mendapatkan wala’ (loyalitas) mutlak, yaitu orang-orang mukmin yang beriman kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mereka melaksanakan kewajiban-kewajiban mereka dalam agama mereka dan meninggalkan larangan-larangan agama dengan ikhlas semata-mata karena Allah Azza wa Jalla.
Kedua, orang yang berhak mendapatkan wala’ di satu sisi dan berhak mendapatkan bara’ (pemutusan loyalitas) di sisi lain. Artinya, seorang muslim yang melakukan maksiat, yang melalaikan sebagian kewajiban agamanya dan melakukan sebagian perbuatan yang diharamkan Allah, namun tidak menyebabkan ia menjadi kufur dengan tingkat kufur besar.
Dasarnya adalah riwayat Imam al-Bukhari dari sahabat ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu bahwasanya ada seseorang pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama ‘Abdullah, diberi laqab (gelar) dengan ‘himar’, dan ia sering membuat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam tertawa. Ia pernah didera dengan sebab minum khamr. Kemudian pada suatu hari ia dibawa lagi kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (dengan sebab minum khamr), lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk didera. Lalu ada seseorang dari kaum itu berkata, “Ya Allah, laknat (kutuk)lah dia, betapa sering ia dibawa menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (untuk didera).” Maka Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَلْعَنُوْهُ فَوَاللهِ مَا عَلِمْتُ أَنَّهُ يُحِبُّ اللهَ وَ رَسُوْلَهُ
“Janganlah kamu mengutuknya, sesungguhnya ia (masih tetap) mencintai Allah dan Rasul-Nya.” (H.R. Bukhari)
Ketiga, orang yang berhak mendapatkan bara’ mutlak, yaitu orang musyrik dan kafir, baik ia dari golongan Yahudi atau Nasrani maupun Majusi dan lainnya.
Penerapan Al-Wala’ wal Bara’ dalam pergaulan dengan Non Muslim
Untuk melengkapi pembahasan al-wala’ wal bara’, perlu kiranya dibahas tentang bagaimana sikap yang proporsional yang harus ditunjukkan seorang muslim dalam bergaul dengan non muslim (kafir/musyrik).
Muhammad Al-Ghazali menyatakan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan aturan-aturan yang sangat toleran, melampaui kebiasaan yang berlaku di zaman yang penuh dengan fanatisme kesukuan dan kecongkakan ras. Ketika itu dunia mengira bahwa Islam adalah agama yang tidak dapat menerima prinsip hidup berdampingan dengan agama lain dan mengira bahwa kaum muslimin tidak merasa puas sebelum menjadi umat satu-satunya yang ada di dunia dan menindas setiap manusia yang dianggap keliru, lebih-lebih orang yang berani mencoba hendak melawan!
Ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau menyaksikan orang-orang Yahudi telah lama bermukim di kota itu dan hidup bersama-sama kaum musyrikin. Beliau sama sekali tidak berpikir hendak mengatur siasat untuk menyingkirkan, atau memusuhi mereka. Bahkan dengan niat baik, beliau dapat menerima kenyataan adanya orang-orang Yahudi itu dan adanya paganisme di kota itu. Beberapa waktu kemudian beliau menawarkan perjanjian perdamaian kepada dua golongan itu atas dasar kebebasan masing-masing pihak memeluk agamanya sendiri.[1]
Dalam Al-Mitsaaq al-Islamiy yang disusun oleh Al-Ittihad al-Alamiy li Ulama al-Muslimin (Persatuan Ulama Islam Sedunia) dimuat tentang dasar pijakan hubungan muslim dengan non muslim adalah dua ayat berikut,
لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Mumtahanah, 60: 8-9)
Ayat di atas telah merangkum dua perkara, yaitu berbuat baik dan adil. Berbuat baik adalah memberi lebih dari apa yang menjadi haknya. Sedangkan adil adalah memberi hak kepada pemiliknya tanpa mengurangi. Kedua hal itu dituntut dari setiap muslim dalam bersikap kepada semua manusia meskipun mereka kafir selama tidak menentang dan memerangi orang Islam, serta menindas pemeluknya.
Dua ayat di atas tidak perlu dipertentangkan dengan potongan ayat berikut,
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah…” (QS. Ali Imran, 3: 28)
Karena kelanjutan kalimat dalam ayat ini adalah,
إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
“….kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (QS. Ali Imran, 3: 28)
Tentang ayat di atas, Ahmad Musthafa Al-Maraghi berkata bahwa Allah Ta’ala melarang kaum mu’min memihak orang-orang kafir, baik untuk urusan keluarga, persahabatan jahiliyah, karena tetangga, dan sebagainya, yang sifatnya persahabatan atau teman sepergaulan.
Tetapi jika ternyata memihak dan berteman dengan kaum kafir itu mengandung kemaslahatan bagi kaum mu’min, hal itu dibolehkan. Sebab Nabi Muhammad sendiri pernah bersekutu dengan Bani Khuza’ah, padahal mereka tetap dalam kemusyrikannya. Dibolehkan pula orang Islam mempercayai pemeluk agama lain dan bermu’amalah dengan baik dalam masalah-masalah keduniaan.[2]
Selanjutnya Al-Maraghi menegaskan: “Sesungguhnya orang-orang mu’min meninggalkan orang-orang kafir dalam hal bersekutu adalah suatu keharusan, dalam kondisi bagaimana pun, kecuali jika merasa takut terhadap sesuatu yang mereka khawatirkan dari orang-orang kafir. Dalam keadaan seperti itu, diperbolehkan berjaga-jaga terhadap mereka sesuai dengan rasa kekhawatiranmu, sebab kaidah syariat mengatakan, bahwa menolak kerusakan (mafsadah) hendaklah didahulukan daripada menarik manfaat. Bila mengambil orang-orang kafir hanya sebagai teman, dibolehkan, demi menolak bahaya. Tentunya, dibolehkan dalam rangka mengambil kemanfaatan-kemanfaatan bagi kaum muslimin. Jika demikian tidak ada yang mencegah suatu negara Islam bersahabat dengan negara non muslim, selama dapat menarik keutamaan-keutamaan bagi kaum muslimin, yang terkadang untuk menolak bahaya atau menarik kemanfaatan…”[3]
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling memahami al-wala’ wal bara’. Sikap bara’-nya tidak menghalangi beliau untuk berbuat baik kepada non muslim dan mengambil manfaat dari mereka.
Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memanfaatkan perlindungan Abu Thalib -pamannya yang musyrik- di masa-masa dakwahnya di Makkah? Pernah pula meminta perlindungan Muth’am bin Adiy -yang juga musyrik- saat masuk Makkah sepulang dakwah dari Thaif? Atau pernah pula menggunakan jasa Abdullah bin Uraiqith -seorang musyrik- sebagai penunjuk jalan dalam perjalanan hijrahnya dari Makkah ke Madinah?
Abu Bakar pun pernah memanfaatkan pelindungan Ibnu Daghnah -juga seorang musyrik- agar ia dapat beribadah dengan bebas di kota Makkah. Berkenaan dengan fakta ini, Syaikh Munir Al-Ghadban berkata, “Sesungguhnya, Muth’am bin Adi dan Ibnu Daghnah adalah seorang kafir yang berlainan aqidah dengan kaum muslimin sebagaimana orang Quraisy lainnya. Abu Jahal dan Abu Lahab adalah juga kafir sebagaimana Muth’am bin Adi dan Ibnu Daghnah. Tetapi, ada perbedaan besar antara kedua jenis manusia kafir tersebut. Yang satu adalah golongan kafir yang suka damai dan mendukung kaum muslimin, sedangkan yang lain adalah golongan kafir yang memusuhi dan memerangi kaum muslimin.”[4]
Wallahu A’lam.
Catatan Kaki:
[1] Fiqhus Sirah, hal. 313 – 314
[2] Tafsir Al-Maraghy (terjemahan), hal. 244
[3] Tafsir Al-Maraghi (terjemahan), hal. 244 – 245
[4] Lihat: Manhaj Haraki, Jilid 1, Rabbani Press.
Filed under: Aqidah Baca selengkapnya di: http://ift.tt/2yEtHjo
0 notes
Photo
Al-Wala’ Wal-Bara’
Oleh: M. Indra Kurniawan
Salah satu makna dan konsekuensi yang terkandung dalam kalimat syahadatain adalah munculnya sikap al-wala’ dan al-bara’.
Al-Bara’
Sikap al-bara’ (berlepas diri), adalah manifestasi dari pernyataan: “La Ilaha” (Tidak ada sesembahan). Kata La adalah an-nafy, yaitu kata penolakan. Sedangkan kata Ilah (sesembahan) adalah al-manfiy, yaitu kata yang ditolak.
Jadi, kata La Ilaha mengandung makna al-bara’ (menolak/berlepas diri), seperti sikap berlepas dirinya Nabi Ibrahim alaihissalam terhadap kekufuran dan kemusyrikan. Hal ini diungkapkan dalam firman Allah Ta’ala berikut,
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّىٰ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: ‘Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dan daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja…” (QS. Al-Mumtahanah, 60: 4)
Dalam kata al-bara’ terkandung makna: al-kufr (mengingkari), al-‘adawah (permusuhan), al-mufashalah (pemisahan), dan al-bughdu (kebencian).
Sikap al-bara’ juga biasanya diiringi sikap al-hadamu (menghancurkan/memerangi). Dalam hal ini, maksudnya adalah menghancurkan/memerangi apa-apa yang dibenci oleh Allah Ta’ala secara terus-menerus dan penuh komitmen.
Al-Wala’
Sedangkan sikap al-wala (loyal), adalah manifestasi dari pernyataan: “Illa-Llah” (kecuali Allah). Kata Illa adalah al-itsbat (kata peneguhan/pengecualian). Sedangkan kata Allah adalah al-mutsbat (yang diteguhkan/dikecualikan). Artinya kepada Allah Ta’ala sajalah ditujukan al-wala’ (loyalitas). at-tha’ah, (ketaatan), an-nushrah (pertolongan), al-qurbu (pendekatan), dan al-mahabbah (kecintaan).
Sikap seperti inilah yang hendaknya senantiasa dibangun (al-bina). Yakni mencintai apa yang dicintai oleh Allah Ta’ala secara terus-menerus dan penuh komitmen.
Tentang al-wala’ dan al-bara’ ini Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَوْثَقُ عُرَى اْلإِيْمَانِ:الْمُوَالاَةُ فِي اللهِ، وَالْمُعَادَاةُ فِي اللهِ، وَالْحُبُّ فِي اللهِ، وَالبُغْضُ فِي اللهِ
“Ikatan iman yang paling kuat adalah loyalitas karena Allah dan permusuhan karena Allah, mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.” (HR. Ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir [no.11537], lihat Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah [IV/306, no. 1728])
Dari penjelasan di atas, al-wala’ dan al-bara’ dapat didefinisikan sebagai penyesuaian diri seorang hamba terhadap apa yang dicintai dan diridhai oleh Allah Ta’ala serta apa yang dibenci dan dimurkai oleh-Nya dalam hal perkataan, perbuatan, kepercayaan dan orang. Dari sini kemudian kaitan-kaitan al-wala’ dan al-bara’ dibagi menjadi empat:
Perkataan; dzikir dicintai Allah, sedangkan mencela dan memaki dibenci Allah Ta’ala.
Perbuatan; shalat, puasa, zakat, sedekah dan berbuat kebajikan, mengerjakan sunnah-Sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dicintai Allah sedangkan tidak shalat, tidak puasa, bakhil, riba, zina, minum khamr dan berbuat bid’ah dibenci Allah Ta’ala.
Kepercayaan; iman dan tauhid dicintai Allah Ta’ala sedang kufur dan syirik dibenci Allah Ta’ala.
Orang yang muwahhid (mengikhlaskan ibadah semata-mata karena Allah) dicintai Allah Ta’ala, sedangkan orang kafir dan musyrik, munafiq dibenci Allah Ta’ala.
Konsekuensi Ucapan: Muhammadur Rasulullah
Berkenaan dengan al-wala’ wal bara’, ucapan Muhammadur Rasulullah dalam kalimat syahadatain bermakna bahwa dalam mempraktikkan al-wala’ wal bara’, setiap kita harus merujuk kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau harus dijadikan minhajul wala wal bara’ (pedoman dalam berloyalitas dan berlepas diri). Jadi, Allah Ta’ala adalah mashdaran, sumber nilai, sedangkan Rasulullah menunjukkan kaifiyat (contoh pelaksanaannya), dan kita selaku mu’min menjadi tanfidan (pelaksananya).
Ringkasnya al-wala’ dan al-bara’ dapat dilaksanakan dengan sempurna jika kita bersikap ittiba’ (mengikuti rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam).
Pembagian Manusia Berdasarkan Al-Wala’ Dan Al-Bara’
Dalam Al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidah al-Islaamiyyah (hal. 195), disebutkan bahwa manusia, dari sudut al-wala’ dan al-bara’, terbagi menjadi tiga bagian:
Pertama, orang yang berhak mendapatkan wala’ (loyalitas) mutlak, yaitu orang-orang mukmin yang beriman kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mereka melaksanakan kewajiban-kewajiban mereka dalam agama mereka dan meninggalkan larangan-larangan agama dengan ikhlas semata-mata karena Allah Azza wa Jalla.
Kedua, orang yang berhak mendapatkan wala’ di satu sisi dan berhak mendapatkan bara’ (pemutusan loyalitas) di sisi lain. Artinya, seorang muslim yang melakukan maksiat, yang melalaikan sebagian kewajiban agamanya dan melakukan sebagian perbuatan yang diharamkan Allah, namun tidak menyebabkan ia menjadi kufur dengan tingkat kufur besar.
Dasarnya adalah riwayat Imam al-Bukhari dari sahabat ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu bahwasanya ada seseorang pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama ‘Abdullah, diberi laqab (gelar) dengan ‘himar’, dan ia sering membuat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam tertawa. Ia pernah didera dengan sebab minum khamr. Kemudian pada suatu hari ia dibawa lagi kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (dengan sebab minum khamr), lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk didera. Lalu ada seseorang dari kaum itu berkata, “Ya Allah, laknat (kutuk)lah dia, betapa sering ia dibawa menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (untuk didera).” Maka Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَلْعَنُوْهُ فَوَاللهِ مَا عَلِمْتُ أَنَّهُ يُحِبُّ اللهَ وَ رَسُوْلَهُ
“Janganlah kamu mengutuknya, sesungguhnya ia (masih tetap) mencintai Allah dan Rasul-Nya.” (H.R. Bukhari)
Ketiga, orang yang berhak mendapatkan bara’ mutlak, yaitu orang musyrik dan kafir, baik ia dari golongan Yahudi atau Nasrani maupun Majusi dan lainnya.
Penerapan Al-Wala’ wal Bara’ dalam pergaulan dengan Non Muslim
Untuk melengkapi pembahasan al-wala’ wal bara’, perlu kiranya dibahas tentang bagaimana sikap yang proporsional yang harus ditunjukkan seorang muslim dalam bergaul dengan non muslim (kafir/musyrik).
Muhammad Al-Ghazali menyatakan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan aturan-aturan yang sangat toleran, melampaui kebiasaan yang berlaku di zaman yang penuh dengan fanatisme kesukuan dan kecongkakan ras. Ketika itu dunia mengira bahwa Islam adalah agama yang tidak dapat menerima prinsip hidup berdampingan dengan agama lain dan mengira bahwa kaum muslimin tidak merasa puas sebelum menjadi umat satu-satunya yang ada di dunia dan menindas setiap manusia yang dianggap keliru, lebih-lebih orang yang berani mencoba hendak melawan!
Ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau menyaksikan orang-orang Yahudi telah lama bermukim di kota itu dan hidup bersama-sama kaum musyrikin. Beliau sama sekali tidak berpikir hendak mengatur siasat untuk menyingkirkan, atau memusuhi mereka. Bahkan dengan niat baik, beliau dapat menerima kenyataan adanya orang-orang Yahudi itu dan adanya paganisme di kota itu. Beberapa waktu kemudian beliau menawarkan perjanjian perdamaian kepada dua golongan itu atas dasar kebebasan masing-masing pihak memeluk agamanya sendiri.[1]
Dalam Al-Mitsaaq al-Islamiy yang disusun oleh Al-Ittihad al-Alamiy li Ulama al-Muslimin (Persatuan Ulama Islam Sedunia) dimuat tentang dasar pijakan hubungan muslim dengan non muslim adalah dua ayat berikut,
لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Mumtahanah, 60: 8-9)
Ayat di atas telah merangkum dua perkara, yaitu berbuat baik dan adil. Berbuat baik adalah memberi lebih dari apa yang menjadi haknya. Sedangkan adil adalah memberi hak kepada pemiliknya tanpa mengurangi. Kedua hal itu dituntut dari setiap muslim dalam bersikap kepada semua manusia meskipun mereka kafir selama tidak menentang dan memerangi orang Islam, serta menindas pemeluknya.
Dua ayat di atas tidak perlu dipertentangkan dengan potongan ayat berikut,
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah…” (QS. Ali Imran, 3: 28)
Karena kelanjutan kalimat dalam ayat ini adalah,
إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
“….kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (QS. Ali Imran, 3: 28)
Tentang ayat di atas, Ahmad Musthafa Al-Maraghi berkata bahwa Allah Ta’ala melarang kaum mu’min memihak orang-orang kafir, baik untuk urusan keluarga, persahabatan jahiliyah, karena tetangga, dan sebagainya, yang sifatnya persahabatan atau teman sepergaulan.
Tetapi jika ternyata memihak dan berteman dengan kaum kafir itu mengandung kemaslahatan bagi kaum mu’min, hal itu dibolehkan. Sebab Nabi Muhammad sendiri pernah bersekutu dengan Bani Khuza’ah, padahal mereka tetap dalam kemusyrikannya. Dibolehkan pula orang Islam mempercayai pemeluk agama lain dan bermu’amalah dengan baik dalam masalah-masalah keduniaan.[2]
Selanjutnya Al-Maraghi menegaskan: “Sesungguhnya orang-orang mu’min meninggalkan orang-orang kafir dalam hal bersekutu adalah suatu keharusan, dalam kondisi bagaimana pun, kecuali jika merasa takut terhadap sesuatu yang mereka khawatirkan dari orang-orang kafir. Dalam keadaan seperti itu, diperbolehkan berjaga-jaga terhadap mereka sesuai dengan rasa kekhawatiranmu, sebab kaidah syariat mengatakan, bahwa menolak kerusakan (mafsadah) hendaklah didahulukan daripada menarik manfaat. Bila mengambil orang-orang kafir hanya sebagai teman, dibolehkan, demi menolak bahaya. Tentunya, dibolehkan dalam rangka mengambil kemanfaatan-kemanfaatan bagi kaum muslimin. Jika demikian tidak ada yang mencegah suatu negara Islam bersahabat dengan negara non muslim, selama dapat menarik keutamaan-keutamaan bagi kaum muslimin, yang terkadang untuk menolak bahaya atau menarik kemanfaatan…”[3]
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling memahami al-wala’ wal bara’. Sikap bara’-nya tidak menghalangi beliau untuk berbuat baik kepada non muslim dan mengambil manfaat dari mereka.
Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memanfaatkan perlindungan Abu Thalib -pamannya yang musyrik- di masa-masa dakwahnya di Makkah? Pernah pula meminta perlindungan Muth’am bin Adiy -yang juga musyrik- saat masuk Makkah sepulang dakwah dari Thaif? Atau pernah pula menggunakan jasa Abdullah bin Uraiqith -seorang musyrik- sebagai penunjuk jalan dalam perjalanan hijrahnya dari Makkah ke Madinah?
Abu Bakar pun pernah memanfaatkan pelindungan Ibnu Daghnah -juga seorang musyrik- agar ia dapat beribadah dengan bebas di kota Makkah. Berkenaan dengan fakta ini, Syaikh Munir Al-Ghadban berkata, “Sesungguhnya, Muth’am bin Adi dan Ibnu Daghnah adalah seorang kafir yang berlainan aqidah dengan kaum muslimin sebagaimana orang Quraisy lainnya. Abu Jahal dan Abu Lahab adalah juga kafir sebagaimana Muth’am bin Adi dan Ibnu Daghnah. Tetapi, ada perbedaan besar antara kedua jenis manusia kafir tersebut. Yang satu adalah golongan kafir yang suka damai dan mendukung kaum muslimin, sedangkan yang lain adalah golongan kafir yang memusuhi dan memerangi kaum muslimin.”[4]
Wallahu A’lam.
Catatan Kaki:
[1] Fiqhus Sirah, hal. 313 – 314
[2] Tafsir Al-Maraghy (terjemahan), hal. 244
[3] Tafsir Al-Maraghi (terjemahan), hal. 244 – 245
[4] Lihat: Manhaj Haraki, Jilid 1, Rabbani Press.
Filed under: Aqidah Baca selengkapnya di: http://ift.tt/2yEtHjo
0 notes