#abiyasa
Explore tagged Tumblr posts
Photo
Prabu Abiyasa & Begawan Abiyasa Pesan Wayang & Pementasan: 08157909176 #Abiyasa #MengenalTokohWayang #PesanWayang #WayangPusaka #PengrajinWayang #DuniaWayang #BudataAdiLuhung #PagelaranWayangKulit #AbiyosoBoyong #OmahDalang #KiPurbojagad https://www.instagram.com/p/CnmGka-pobq/?igshid=NGJjMDIxMWI=
#abiyasa#mengenaltokohwayang#pesanwayang#wayangpusaka#pengrajinwayang#duniawayang#budataadiluhung#pagelaranwayangkulit#abiyosoboyong#omahdalang#kipurbojagad
0 notes
Text
by Abiyasa
29 notes
·
View notes
Text
Haidan Abiyasa Navarez
Due to Twitter's new policy, I'm inclined to mention that I'm not the real LEE HAECHAN not do I have any connection to him to the real. This account was made for roleplayer purpose only.
0 notes
Text
Expost Abiyasa: defisini kelas istimewa daripada yang lain, mungkin nama expost pasaran but “ABIYASA” hit diff. Know each other for one year, dari canggung sampai mulai terbiasa pros cons dinikmatin bareng-bareng. Ada kalanya, kita semangat ada kalanya capek akhirnya istirahat dulu sebentar. Kadang wacana doang, tapi totalitas ga perlu diragukan 🔥. We all as cool kids. I wish, we got ours goals together, fighting all for 2025 soon!
0 notes
Photo
Shadow puppet of the male character Abiyasa, grandfather of the Pandavas.
Java, Late 1700s - early 1800s (Before 1816)
Made of hide, horn and gold leaf. Carved, painted and gilded.
British Museum
32 notes
·
View notes
Text
S U N F L O W E R
Name : Yudhistira Pradhika Abiyasa
Birth date : May 8
Blood type : A
Zodiac sign: Taurus
Likes : sunflower
Dislikes : none
#lecheesysloth#sunflower#yudhistira pradhika abiyasa#concept art#web comic#character art#original character#comicart#comics#digital painting#digital drawing#digital art#drawing#tumblr art#art
0 notes
Text
.
YANG TAK TERKATAKAN
Oleh : Abiyasa
Tahun : May 2012 .
.
.
.
Bagian 1
.
.
Suara dentuman musik yang sedang dimainkan oleh DJ masih memenuhi indera pendengaranku lima belas menit sejak aku memasuki La Barca. Aku tidak terbiasa ke tempat seperti ini dan rekor clubbingku bisa dibilang memalukan untuk ukuran orang yang sudah berdiam di Bali selama hampir dua tahun. Jika bukan karena Tristan, aku lebih memilih untuk menghabiskan malamku ini dengan memandangi langit yang cerah malam ini sambil menikmati rokokku di hammock yang tergantung di luar rumah kontrakanku ditemani lagu-lagi favoritku. Tapi, Tristan tiba-tiba ingin bertemu denganku karena besok dia harus terbang ke Perth. Profesinya sebagai pilot memang membuat kami jarang bertemu.
.
Aku memandang layar ponselku, menunggu pesan dari Tristan karena sudah lebih dari lima menit dia belum juga muncul. Tristan adalah salah satu dari sedikit teman –meski aku lebih suka menyebutnya pacar yang belum bisa kumiliki- yang jarang telat, mengingat juga profesinya yang selalu menghargai waktu, aku selalu khawatir jika Tristan telat.
.
Ponselku bergetar dan aku melihat satu pesan dari Tristan
.
Km dimana?
.
Jariku sudah menekan virtual keypad untuk membalas pesannya ketika sebuah tepukan di bahuku membuatku membatalkan niatku.
.
“Apa kabar Vian?”
.
“Heh! Tumben telat?”
.
Yang ditanya hanya menunjukkan seringaiannya sebelum kami berpelukan. Ini adalah salah satu saat dimana aku bisa merasakan tubuh Tristan bersentuhan dengan tubuhku, meskipun pelukan ini hanyalah sebuah pelukan pertemanan.
.
“Sopir taksinya sempet kesasar dikit tadi. You look great!”
.
Aku hanya tersenyum mendengar pujian dari Tristan meskipun sebenarnya, akulah yang harus mengucapkan kalimat itu untuknya. Meskipun hanya mengenakan polo shirt berwarna kuning gading dan celana jins hitam, sosok Tristan tetap membuatku kesulitan untuk mengatur nafasku. Lima tahun tidak membuatku imun terhadap pesonanya. Semakin bertambah usianya, Tristan terlihat semakin dewasa, matang dan juga semakin menarik.
.
.
Next PART 2
https://www.instagram.com/p/BwteSxgnGAe/?igshid=zcm7yx3hsj5q
1 note
·
View note
Text
Falling Stars - 3
Lisha
Om Sagan
Hari ini pemakamannya Bu Ersa, Sha.
Tolong didoakan ya.
Kamu juga semoga lancar di sana. Baik-baik ya.
Itu pesan yang aku terima tadi subuh. Dan pesan itu juga yang membuatku khawatir dan sedih. Mau bekerja sekarang pun jadinya nggak fokus. Sejak tiga bulan yang lalu, aku tahu Tante Ersa memang sakit-sakitan, tapi tetap saja mengejutkan karena setelah sekian lama mendapat kabar, yang aku dapatkan justru ini.
Dan sayangnya aku nggak bisa datang ke pemakamannya. Dengan alasan apapun, aku memang nggak bisa menemui Tante Ersa.
Tadinya aku ingin menelepon Om Sagan untuk meminta informasi lebih lanjut soal Tante Ersa, tapi sayangnya hanya pesan tadi subuh saja yang jadi komunikasi sepihak dari Om Sagan. Aku sama sekali nggak bisa menghubungi balik.
Sungguh, aku nggak tahu siapa lagi yang bisa aku hubungi untuk bertanya soal Tante Ersa selain Om Sagan. Tapi Om Sagan juga mungkin enggan untuk menjawab pertanyaanku.
Atau akan lebih baik kalau aku langsung datang ke tempatnya Tante Ersa? Tapi sopan nggak ya?
“Sha, udah istirahat. Nggak makan dulu?”
Aku menoleh ke belakang, mendapati rekan kerjaku, Mas Pradnan, berjalan sambil memutar-mutar kunci mobil di tangannya.
“Oh, nanti deh, Mas. Saya masih lagi meriksain email dari klien.”
Yah, oke, aku juga memeriksa email lama sih tadi, tapi atasanku yang satu ini sebaiknya nggak tahu akan itu. Well, it’s better that no one knows.
“Kamu bukannya nanti siang mau pergi, ya?”
Ah, iya. Benar juga. Hari ini aku kebagian mengaudit bagian keuangan rumah sakit cabang salah satu klien di daerah Setiabudhi.
“Nah, lupa lagi jangan-jangan?” Mas Pradnan memandangiku sambil geleng-geleng kepala. “Udah deh, Sha, mending makan dulu. Kalau email sini saya yang balasin aja.”
“Duh, Mas, kan ini kerjaan—”
“Yang ini masih proyek buat nanti kok, klien hanya saja suruh email ke kamu beberapa data sama laporan mereka aja. Mending kamu siap-siap aja, daripada ditinggalin Jevan.”
Nama yang Mas Pradnan sebutkan membuat aku meringis. Oh, iya. Hari ini aku berangkat dengan Jevan. Jangan sampai dia pergi begitu saja seperti tahun lalu, meninggalkanku begitu saja padahal siangnya aku harus sudah ke kantor klien di Menteng. Dia pikir dari Bandung ke Jakarta cukup naik angkot sekali?
Mungkin ringisanku terlalu kuat, sampai-sampai Mas Pradnan tertawa. “Nah, kan udah tahu Jevan gimana. Jangan telat lagi deh.”
15 menit sebelum juga buat Jevan sudah termasuk telat sih. Pusing memang sama maniak aturan kayak dia.
“Ah, jadi pengin berangkat sendiri.”
“Sayang duit, Ra. Biaya transportasi juga kan dipake buat bensinnya Jevan.”
Mending naik angkot. Tapi mengingat waktu, ah, rasanya nggak akan mungkin kekejar. Mau naik ojol juga… I don’t even want to make it as an option.
Pada akhirnya aku nggak punya pilihan lain kecuali mengalah, berdiri dari kursi yang langsung diisi Mas Pradnan. Awalnya aku ingin langsung pergi, namun begitu mengingat sesuatu, aku berhenti dan berbalik.
“Setelah dari sana apa harus balik kantor lagi untuk laporan, Mas?” tanyaku.
“Kalau untuk laporan langsung sih nggak, paling laporan tertulisnya dulu,” jawab Mas Pradnan. “Kenapa, Sha? Mau langsung balik?”
Aku jadi merasa nggak enak sendiri, tapi kalau untuk cabut duluan, memang ke sana arah pertanyaanku.
“Nggak balik sih, Mas. Rencananya kalau bisa aku mau mampir ke tempat lain dulu,” kataku sambil terkikik kecil. “Kalau sempat mau ke sana.”
“Oh,” Mas Pradnan manggut-manggut. “Janjian habis pulang kerja? Ada urusan, Sha?”
“Hehe, iya, Mas.”
“Mau ketemu siapa?”
“Keluarga.”
Hanya satu kata itu yang terlintas dalam kepala sebagai jawaban.
Untungnya Mas Pradnan hanya mengangguk. Karena kalau ditanya lebih jauh, aku nggak tahu harus menjawab apa. Aku belum siap untuk membuat cerita karangan pun mengatakan kejujuran.
Because the truth is just… too complicated to be told.
*
Daka
Bohong namanya kalau gue nggak kepikiran akan apa yang terjadi di rumah sakit. Nama Abiyasa Aradhana terus terngiang dalam kepala gue, dan jelas nggak mungkin gue lupakan begitu saja.
Dan nampaknya, keluarga gue mendukung hal tersebut karena begitu gue, Mikaela, dan Yasa kembali ke rumah, gue langsung ditarik kembali ke perkumpulan ghibah—persetan sudah, mereka bukan diskusi lagi, tapi bergosip—untuk membahas lebih lanjut soal Yasa.
“Harusnya tadi sekalian tes DNA sama darah aja, biar tahu betulan anaknya Ersa atau bukan.”
Untuk makin mengejutkan diri gue? Oh, tidak terima kasih. Bagi gue nama Yasa sudah lebih dari cukup menjadi tamparan juga fakta. Tapi gue nggak perlu cerita itu ke mereka, kan?
Dan kelihatannya, topik soal itu sudah digantikan dengan topik yang lebih ramai. Gue nggak tahu apa yang terjadi selama gue dan Mikaela pergi. Topiknya jelas masih sama, masih tentang Yasa. Bedanya sekarang ada hal baru yang jadi perbincangan mereka.
“Jadi anak itu gimana? Ersa sudah nggak ada.”
Kalau sebelumnya mereka heboh, topik kali ini membuat semuanya cenderung diam. Nggak ada yang bisa langsung menanggapi. Para pasangan suami istri saling tatap, entah tengah mencoba melakukan semacam telepati isi pikiran atau apa, gue juga nggak tahu.
Di tengah keheningan perkumpulan ghibah ini, Mikaela mencondongkan tubuhnya ke arah gue dan berbisik, “Menurut lo gimana, Ka?”
“Gimana apanya?”
“Kira-kira ada yang bakal mau ngurus dia nggak?”
Nggak butuh waktu lama bagi gue untuk memikirkan jawaban atas pertanyaan Mikaela itu. Dari kondisi dan respons orang-orang menanggapi keberadaan Yasa, the answer is just too obvious. Tapi, gue nggak suka jawaban itu, sekalipun gue nggak tahu alasan jelasnya apa.
Gue mungkin nggak begitu mengenal Yasa, tapi dari kenyataan yang ada, membiarkan Yasa begitu saja membuat gue merasa melepas tanggung jawab gue.
But am I really responsible for this?
“Susah mau ngurusnya, asal-usulnya aja masih nggak jelas.” Perhatian gue teralih pada Tante Devia, adiknya Papa, yang akhirnya angkat bicara. Hampir semua orang menanggapi dengan anggukan, menjadi pendukung pendapat Tante Devia barusan.
Well, gue nggak terkejut. Tapi tetap saja kecewa.
“Lagi pula banyak yang sudah terlalu tua untuk mengurus anak kecil begitu,” kali ini Om Tio, suaminya Tante Devia ikut bicara. “Tapi kita juga nggak bisa biarin anak itu sendiri di sini, kan?”
Kali ini gue mengangguk, setuju dengan pendapat Om Tio. Tapi nampaknya yang lain nggak begitu, karena kendati mengangguk, mereka semua kembali ke fase saling tatap, bahkan ada yang sampai menundukkan kepala.
Suasana kembali hening. Kalaupun ada suaranya, yang ada hanya bisik-bisik kecil. Mikaela kelihatan cemas, tapi nggak berkomentar. Gimanapun, hanya kami berdua yang tahu kalau Yasa benar-benar adik gue.
Sekarang gue jadi ikutan waswas. Nasib Yasa seperti ditentukan lewat obrolan orang-orang yang kelihatan enggan melibatkan Yasa dalam kehidupan mereka. Gue juga cukup sadar bahwa itu hal yang wajar.
Tapi kalau menempatkan diri jadi Yasa, dia bakal bagaimana ya?
“Atau, gimana kalau gini.” Kali ini Tante Misa, kakaknya Bapak, yang bersuara. “Teman kamu itu, Sev, ada yang punya panti, kan? Kalau dimasukin ke sana aja bisa nggak? Teman kamu itu coba dihubungin.”
Panti katanya?
“Oh, ada? Kalau begitu lebih bagus.
“Nah iya betul.” Yang lain mulai ikut menambahkan. “Gimana, Sev? Bisa? Kalau soal biaya awal, mungkin kita di sini bisa bantu sedikit.”
Mereka benar-benar mau masukin Yasa ke panti?
“daripada nggak ada yang urus, lebih baik masukin ke panti aja. Kita juga nggak usah repot—”
“Nggak perlu panti,” gue memotong cepat. “Yasa tinggal sama aku aja.”
Meski sempat sedikit gusar—atau bahkan harus dibilang kalau gue cukup terkejut dengan ucapan gue sendiri, secara ajaib kata-kata itu keluar dengan begitu yakin dari mulut gue, sekalipun dengan cepat semua orang melemparkan pandangan heran dan terkejut ke arah gue, bahkan Mikaela sekalipun. Tapi tatapan itu nggak akan pernah cukup untuk membuat gue menarik lagi ucapan yang sudah terlontar.
Gue nggak akan mundur.
Dan untuk saat ini gue hanya bisa berdoa, meyakinkan diri.
Ibu, Daka masih nggak ngerti dengan semua ini. Tapi untuk kali ini, nggak papa kan Daka mencoba menjaga hal terakhir yang Ibu tinggalkan? []
*
3 notes
·
View notes
Text
0 notes
Text
Dari TK sebenarnya aku sudah tidak awam dengan rumah sakit. Waktu TK aku suka ikut menginap di rumah sakit karena mbah kakung dari ibu punya liver yang lumayan berat, yang kadang mengharuskan rawat inap. Rumah sakitnya pun nggak melulu itu, jadi aku semacam touring rumah sakit di purwokerto xixixi. Eyang uti dari bapak pun begitu, qadarallah punya diabetes yang sudsh di level merusak organ luarnya. Aku pun jadi semakin sering bermain di rumah sakit. Dulu, pelataran ruang inap asoka, dahlia, kenanga dan beberapa lainnya lagi yang ada di rumah sakit margono sudah bersahabat denganku. Aku suka main masak-masakan disana. Atau sekedar pinjem sepeda mas mba perawat, terus minta diboncengin. Yaa, rumah sakit ini salah satu rumah sakit terbesar di jawa tengah, perawat-perawatnya biasanya naik sepeda buat berpindah dari satu tempat ke tempat lain kalau dirasa cukup jauh.
Semua itu tidak lama, kakung dan eyang utiku berpulang. Sudah tidak ada lagi jalan-jalan menghabiskan akhir pekan di pelataran ruang asoka.
Lama aku tidak mencium aroma rumah sakit, masuk kelas 3 SD ternyata aku kena DBD. Kembali lah aku pada kehidupan yang dekat dengan rumah perawatan. Sampai SD kelas 6, kalau nggak salah aku masuk rumah sakit 3/4 kali. Dirawatlah aku di sebuah rumah sakit di tengah kota, bukan lagi di asoka xiixixi katanya biar kalau jenuh bisa kabur makan bubur di alun-alun. Wkakaka. Tiga kali dengan kasus yang sama, DBD dan tipes. Masuk smp, sekali aku dirawat, bukan di rumah sakit yang sebelum-sebelumnya, tapi di sebuah paviliun di jalan dokter angka. Yaa paviliun abiyasa. Ingat betul waktu itu aku sudah sakit berhari-hari, tapi tetap kupaksakan berangkat sekolah. Hari terakhir aku sekolah sebelum akhirnya di rujuk rawat inap, smpku waktu itu sedang ada acara perpisahan kelas 9. Aku duduk di bangku-bangku belakang dengan beberapa temanku, aku kedinginan bahkan disaat semuanya sedang merasa gerah di bawah tenda acara perpisahan. Pelan-pelan temanku bilang, baiknya aku pulang. Kalau nggak salah juga, aku sempat mimisan. Yaaa, akhirnya aku dijemput ibu dan pulang.
Satu tahun berlalu sejak hari dimana terakhir aku tidur di ruang inap rumah sakit. Ternyata, aku tetap saja disuruh dekat dengan lingkungan itu. Adik mbahku dinyatakan rusak ginjal dan harus dua kali seminggu melakukan perawatan hemodialisis. Aku selalu jemput beliau di hari jadwal hemodialisisnya, rabu dan sabtu. Biasanya selesai sekitar magrib, jam 6 atau hampir isya, atau kalau lagi gasik bisa juga jam 5. Hemodialisis itu prosesnya cukup lama, biasanya sehari mbahku bisa sampai 5-6 jam. Nggak jarang aku bosan, jadi aku sering jalan-jalan di lingkungan dekat-dekat ruang hemodialisa. Pernah aku masuk bangsal, ruang orang-orang yang sakit karena kecelakaan. Yaaa, jalan-jalanku menguras energi, aku sering dibuat menangis dan sedih setelah melihatnya. Sungguh hari-hariku waktu itu diluputi rasa bersalah dengan Yang Kuasa, patutkah aku tidak bersyukur pada semua nikmatNya?
Dua tahun berlalu, mbahku ternyata memilih kalah bertarung. Aku sudah tidak lagi melakukan rutinitas antar jemput rabu sabtu.
Tapi tidak lama dari itu, salah satu teman kecilku menerima hadiah dari Tuhan, berupa kanker ovarium. Kembali lagi aku akrab dengan HCU, ICU. Namun semua berlangsung sangat kilat, sekitar tiga bulanan terlewati, Tuhan memilih memanggil teman kecilku itu.
Orang-orang tersayangku, semuanyaaa, yang tenang ya disana.
Tidak sampai satu tahun sejak temanku berpulang, kembali aku harus akrab dengan rumah sakit, lagi dan lagi. Ibuku mengalami kecelakaan berat yang membuat sebagian tubuhnya cidera. Ini yang paling terasa menyakitkan, disini aku merasa bahwa rumah sakit adalah tempat yang paling aku tidak suka, tempat dimana aku merasakan banyak kesakitan, kehilangan, dan perpisahan. Aku membenci tempat itu. Satu mingguku full bolak-balik sekolah, rumah, dan rumah sakit. Malam aku di rumah sakit, pagi aku sekolah, lalu pulang dulu sebentar buat masak, beberes rumah dan ngurus adikku, lalu balik lagi ke rumah sakit. Dan repeat. Kalau ada jadwal les, ya dari sekolah les dulu lalu baru pulang dan balik rumah sakit.
Selama kurang lebih 2 tahun, rutinanku adalah mengantar ibu.
Ditengah-tengah aku menjalani rutinan itu, ternyata aku kembali punya rutinan baru yang lain. Yaitu mengantar uti melakukan rawat jalan setiap bulan ke dokter reumatologi dan dokter jantung. Yasss, my grandma akhirnya harus mengakui dan menerima kalau mesin tubuhnya sudah memerlukan perawatan khusus.
Semuaaa itu, akhirnya membuat aku mengenal bagaimana hiruk pikuk sedih senang di rumah perawatan. Sempat terpikirkan untuk aku benar-benar terjun disana, menjalankan tugas kemanusiaan. Tapi rasanya, agaknya aku tidak sanggup.
Yang mahal itu sakit, bukan sehat. Jadi dijaga sebaiknya-baiknya itu perlu, biar uangnya bisa buat hura-hura bukan buat bayar kamar di hotel pesakitan.
0 notes
Text
0 notes
Text
Aku dan Jouska
Awal 2018 nampaknya adalah perkenalan pertama ku dengan intuisi ini. Lewat story kawan kuliah di jogja dulu. Iseng-iseng stalking, dan kemudian hari merasa. Ah bangsat aku ditelanjangi, dikebiri,dan dibuat mengakui akan kebodohan dalam mengelola keuanganku.
Selang waktu kemudian, sekitaran april 2018 aku mencoba mewujudkan keinginanku masa sma. Memiliki sebuah saham. Sesuatu yang sebelumnya aku anggap tabu, utopis. Mengapa demikian? Terlalu jauhnya pengetahuan menjadi alasannya. Lewat postingan dan storynya membuatku tergerak. Ku buka akun RDI pertama lewat POEMS. Sekuritas yang disarankan lewat buku ryan filbert. Kalau tidak salah.
Dorongan lain juga diperoleh melalui tulisan empum nicky hogan. Meski hanya sekadar permukaan. Untuk mengajak dan meningkatkan awarness pentingnya menguasi investasi di negri sendiri. Mencoba membeli beberapa lot saham bri, waskita dan jasa marga. Dengan alasan dangkal. Haha. Semua butuh proses hingga saya dapat alasan yang lebih dalam, mengapa membeli satu lot kelak.
Dan proses itu dimulai pada Kamis 19 September 2019. Semesta agaknya sungguh lucu. Tak terduga. Dan begitu loyalnya diriku, nyoh nyoh nyoh. Ketertarikan akan informasi yang di berikan Jouska membuatku memberikan diri ikut salah satu acaranya saat itu. Stockgasm 1.0 tentang saham. Karena memang saya tertarik mengetahui lebih dalam tentang hal ini.
Masih teringat bagaimana keputusan itu aku ambil. Mengingat biaya pendaftaran yang bagiku saat iku (bahkam saat ini) sangat mahal untuk kelasku. Haha. Namun ku hiraukan keraguan itu dengan alasan everything has the price sesuatu yang selalu ku pegang hingga saat ini. Bahwa binaragawan perlu membayar badan yang kekar dengan rusaknya otot saat angkat beban.
Lanjut pada stockgasm yang dilaksanakan pada hotel Morrisey Jakarta. Lekas saat itu, saya merasa bahwa apa yang saya dapatkan belum saya mengerti sepenuhnya. Waktu terus berjalan ssmenjak saat itu, diiringi belajar otodidak terntunya. Yang tak begitu progresif.
Selanjutnya adalah acara foward yang guest star nya adalah garry vee. Seseorang yang tak ku ketahui sebelumnya. Adalah karena Jouska yang menjadi alasan aku berani ikut acara tersebut. Haha. Berangkat dari foward aku mendapat beberapa insight baru, meski tak banyak. Setidaknya memberi petunjuk dalam dot dot kehidupan ini.
Tak lama kemudian muncul buku jouska, kubeli juga. Dengan alasan dijual terbatas. Haha. Well everything that I do is for simple reason, it start from one name Jouska. Dimulai dari hal sederhana tersebut membawaku pada eksperimen formula excel menentukan saham. Yang tentunya ku sambil tanyakan pasa adviser mereka, juga founder atau bahkan ceo nya.
Seseorang yang kuanggap begitu populer dan begitu sibuk ternyata masih mau membalas DM ku. Dia begitu humble. Lewat dirinya ku tanyakan berbagai macam hal yang tak ku ketahui terkait finansial. Aakar Abiyasa Fidzuno, CEO sekaligus Founder yang selalu keberi pertanyaan ramutu atau receh bagi sekelas adviser. Haha. Tapi itu yang membuatku respek padanya.
Bak gayung bersambut, ditengah kesibukannya terkadang ia masih sempat membaca atau membalas pesanku. Hingga ia menyarankan aku untuk datang langsung ke kantornya. Sesuatu yang tak terfikirkan sebelumnya. Tapi yowislah.
Kamis 19 September 2019 adalah kali perdana aku datang ke kantor Jouska. Aku di dampingi senior advisernya. Melly. Yeah, kali pertama ku lihat dia waktu stockgasm. Namun sedari awal aku ditemani adviser lain, namanya Ruben. Usianya tidak jauh beda dengan ku. 25 tahun.
Pertemuan pertama adalah pembahasan tentang kondisi keuangan, aset, cashflow dan juga posisi dana darurat serta asuransi. Secara garis besar kondisi keuanganku saat ini sudah bagus. Dengan tabungan 30% dari gaji. Dan juga gaya hidup yang wajar lah ya. But masih miskin, belum banyak aset.
Namun ini baru awal, awal dari semua mimpi siang bolongku. Perjalanan masih panjang. Return ribuan persen masih jauh. Kini aku kudu memulai atur strategi lagi. Sebelum november meeting kedua dimulai, aku harus siapkan segala sesuatu sedari sekarang. Sembari urus proyek yang mau kelar, skripsi dan juga rencana investasi ku. Haha. Terimakasih allah. Sudah memberikan kesempatan ini.
0 notes