#Umbu Landu Paranggi
Explore tagged Tumblr posts
Text
youtube
karya: Umbu Landu Paranggi
Perempuan tua itu senantiasa bernama: duka derita dan senyum yang abadi tertulis dan terbaca jelas kata-kata puisi dari ujung rambut sampai telapak kakinya Perempuan tua itu senantiasa bernama: korban, terima kasih, restu dan ampunan dengan tulus setia telah melahirkan berpuluh lakon, nasib dan sejarah manusia Perempuan tua itu senantiasa bernama: cinta kasih sayang, tiga patah kata purba di atas pundaknya setiap anak tegak berdiri menjangkau bintang-bintang dengan hatinya dan janjinya
1 note
·
View note
Photo
Ketika waktu melompat ke tahun 2014-an, aku kembali tertarik pada kuda. Tapi berbeda dengan waktu kecil (yang kudanya sebagai pengangkut), di tahun itu aku tertarik pada kuda karena puisi (terutama ketika membaca beberapa puisi kudanya Umbu Landu Paranggi yang kerap aku bicarakan dengan Mira MM Astra via telepon). Dan di dalam ketertarikan ini, aku juga membaca sekian cerita tentang kuda. Mulai dari kuda yang masuk akal, sampai pada yang magis. Dan mulai yang memang sebagai tunggangan, sampai pada yang dipersonifikasikan. Aku merasa kuda bukanlah sekadar binatang yang kuat, gesit, dan kukuh. Ia juga dapat dijadikan simbol-simbol tertentu. Simbol-simbol yang kerap merujuk pada peristiwa yang tak terduga. Seperti: kematian, perjuangan, kerinduan, dan atau mungkin sesuatu yang bukan apa-apa, tetapi selalu ada—seperti rerumputan di halaman rumah, yang tak diharapkan tumbuh, tapi selalu saja tumbuh. Dan itu membuat apa-apa yang terbuka, pun tertutup. Karena memang takdirnya harus tertutup. Takdir, yang belakangan pun berbisik padaku: “Aku selalu berada di sisimu. Jadi, silakan kau menyapaku atau tidak. Tapi, yakinlah, justru akulah yang nanti selalu pertama kali menyapamu.” Mardi Luhung Mardi Luhung, Tiga Kuda di Bulan Tiga dan Lampirannya, Himpunan Puisi, Yogyakarta, Basabasi, Des 2022, 88 hlm, 50.000 #mardiluhung #tigakudadibulantigadanlampirannya #puisi #penerbitbasabasi (di Jual Buku Sastra-JBS) https://www.instagram.com/p/CmFvlrfPfeb/?igshid=NGJjMDIxMWI=
1 note
·
View note
Text
dengan mata pena kugali gali seluruh diriku
dengan helai helai kertas kututup nganga luka lukaku
kupancing udara di dalam dengan angin di tanganku
begitulah, kutulis nyawaMu senyawa dengan nyawaku
Seremoni
(Umbu Landu Paranggi)
2 notes
·
View notes
Text
65 Tahun Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib yang akrab dipanggil Cak Nun adalah seorang seniman, budayawan, intelektual muslim, dan juga penulis asal Jombang, Jawa timur. Ia merangkum dan memadukan dinamika kesenian, agama, pendidikan politik dan sinergi ekonomi. Cak Nun lahir di Djombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953. Ia merupakan anak keempat dari 15 bersaudara. Pendidikan formalnya hanya berakhir di Semester 1 Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM).
Lima tahun hidup menggelandang di Malioboro, Yogyakarta antara 1970-1975 ketika belajar sastra kepada guru yang dikaguminya, Umbu Landu Paranggi, seorang sufi yang hidupnya misterius dan sangat mempengaruhi perjalanan Emha. Selain itu ia juga pernah mengikuti lokakarya teater di Filipina (1980), International Writing Program di Universitas Iowa, Amerika Serikat (1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984) dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985)
Dalam kesehariannya, Emha terjun langsung di masyarakat dan melakukan aktivitas-aktivitas yang merangkum dan memadukan dinamika kesenian, agama, pendidikan politik, sinergi ekonomi guna menumbuhkan potensialitas rakyat. Di samping aktivitas rutin bulanan dengan komunitas Masyarakat Padhang mBulan, ia juga berkeliling ke berbagai wilayah nusantara, rata-rata 10-15 kali per bulan bersama Musik Kiai Kanjeng, dan rata-rata 40-50 acara massal yang umumnya dilakukan di area luar gedung. Selain itu ia juga menyelenggarakan acara Kenduri Cinta sejak tahun 1990-an yang dilaksanakan di Taman Ismail Marzuki. Kenduri Cinta adalah forum silaturahmi budaya dan kemanusiaan yang dikemas sangat terbuka, nonpartisan, ringan dan dibalut dalam gelar kesenian lintas gender. Dalam pertemuan-pertemuan sosial itu ia melakukan berbagai dekonstruksi pemahaman atas nilai-nilai, pola-pola komunikasi, metoda perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan solusi-solusi masalah masyarakat.
Dia selalu berusaha meluruskan berbagai salah paham mengenai suatu hal, baik kesalahan makna etimologi maupun makna kontekstual. Salah satunya mengenai dakwah, dunia yang ia anggap sudah terpolusi. Menurutnya, sudah tidak ada parameter siapa yang pantas dan tidak untuk berdakwah. “Dakwah yang utama bukan dengan kata-kata, melainkan dengan perilaku. Orang yang berbuat baik sudah berdakwah,” katanya.
8 notes
·
View notes
Text
Belajar Puisi Lewat Mimpi, Bisakah?
Barusan saya mimpi didatengin Umbu Landu Paranggi. Diajarin puisi tapi lupa apa yang disampaikan sama Umbu. Enggak ngajarin juga sih, semacam tanya jawab diskusi gitu. Tempatnya di rumah saya dan waktunya asharan.
Pas saya mau pamit salat ashar sambil nyari kumpulan puisi Umbu buat dimintain tanda tangan, lalu balik lagi ke tempat semula, Umbu sudah enggak ada. Mimpi berganti ke mimpi lain tapi enggak terlalu berkesan. Terus saya kebangun deh.
Menarik juga kalau saya ingat apa yang disampaikan Umbu. Terus misalnya saya mimpi didatangin sama Chairil, W.S. Rendra, eyang Sapardi, Iman Budhi Santosa, dan para penyair lain yang sudah berpulang. Jadi bisa belajar puisi lewat mimpi. Kan asik. He.
Maaf enggak menjawab pertanyaan di judul postingan ini karena saya juga enggak tahu jawabannya.
Cikondang, 25 Juli 2021, kurang lebih pukul 16-an.
Sumber gambar: Twitter @kenduricinta via Kompas.com
0 notes
Text
Melodia.
"Cintalah yang membuat diri betah untuk sesekali bertahan karena sajak pun sanggup merangkum duka gelisah."
--selarik puisi Umbu Landu Paranggi.
0 notes
Text
Melodia
cintalah yang membuat diri betah untuk sesekali bertahan karena sajak pun sanggup merangkum duka gelisah kehidupan baiknya mengenal suara sendiri dalam mengarungi suara-suara luar sana sewaktu-waktu mesti berjaga dan pergi, membawa langkah ke mana saja karena kesetiaanlah maka jinak mata dan hati pengembara dalam kamar berkisah, taruhan jerih memberi arti kehadirannya membukakan diri, bergumul dan merayu hari-hari tergesa berlalu meniup seluruh usia, mengitari jarak dalam gempuran waktu takkan jemu-jemu napas bergelut di sini, dengan sunyi dan rindu menyanyi dalam kerja berlumur suka duka, hikmah pengertian melipur damai begitu berarti kertas-kertas di bawah bantal, penanggalan penuh coretan selalu sepenanggungan, mengadu padaku dalam deras bujukan rasa-rasanya padalah dengan dunia sendiri manis, bahagia sederhana di ruang kecil papa, tapi bergelora hidup kehidupan dan berjiwa kadang seperti terpencil, tapi gairah bersahaja harapan impian yang teguh mengolah nasib dengan urat biru di dahi dan kedua tangan
- Umbu Landu Paranggi-
0 notes
Photo
Karya Malam ini ku persembahan, mungkin aku bukan orang pertama yang mengucapkan tetapi aku ingin menjadi paling terakhir yang mengucapkan sebagai tanda penutup kata. Kau tidak pergi hanya saja kembali kesana menuju dunia baru; tunggu aku disana kelak aku kan kesana bekarya “Kepadamu President Malioboro Umbu Wulang Landu Paranggi (lahir di Sumba Timur, 10 Agustus 1943 – meninggal di Sanur, Bali, 6 April 2021 pada umur 77 tahun) adalah seniman berkebangsaan Indonesia yang sering disebut sebagai tokoh misterius dalam dunia sastra Indonesia Beliau merupakan guru, Eyang dan ayah bagi kami. #umbulanduparanggi #penyairberduka #sastraindonesia #emhaainunnadjib #ebietgade (di Pekanbaru) https://www.instagram.com/p/CNVX7P1pi76/?igshid=rzlg7v095iav
0 notes
Text
0 notes
Photo
Riki Dhamparan Putra, Mencari Kubur Baridin, puisi, Yogyakarta: Akar Indonesia, Sept 2014, x+138 hlm, 50,000 . . Pernah Umbu Landu Paranggi menyebut tiga penyair Bali kontemporer dengan gelar Trisula Bali. Dan Riki Dhamparan Putra salah satu dari mereka kedua penyair lainnya adalah Raudal Tanjung Banua dan Wayan Sunarta. Dari sini kita tahu bahwa betapa pentingnya posisi Riki dalam khazanah sastra Bali 1990-an dan 2000-an awal. Riki berproes di Bali dengan mengambil bagian dalam Sanggar Minum Kopi dan Intens Beh (Inspirasi Tendangan Sudut Bedahulu) yang diasuh oleh Umbu. Oleh karenanya tidaklah heran bila gaya ungkap sajak-sajaknya tidak jauh dari gaya ungkap sajak-sajak penyair Bali lain yang segenerasi dengannya. Maka biar pun Riki lahir di Sumatera Barat dan kini tinggal di Jakarta, bagaimana pun, statusnya adalah penyair Bali. Buku Mencari Kubur Baridin adalah antologi puisi kedua Riki antologi pertamanya adalah Percakapan Lilin (2004). Ada 55 sajak Riki yang dihimpun dalam antologi puisinya ini, yaitu sajak-sajak yang ditulisnya dari tahun 2004 sampai tahun 2013. Tema yang dibidik Riki amat beragam: tentang rantau, Jogja, Tirtagangga, Kupang, dendeng kotoklema, burung beo, dalang, ngaben, hari Nyepi, daging kurban, Asyura, gigi palsu dan banyak lagi. Terlebih tajuk buku ini diambil dari sebuah sajaknya berjudul Mencari Kubur Baridin dan Suratminah. Baridin dan Suratminah adalah cerita rakyat Cirebon yang biasa dibawakan dalam pertunjukan Tarling. Baridin, karena ditolak pinangannya lantaran miskin, menjampi-jampi Suratminah dan orang tuanya dengan mantra Jaran Goyang dan puasa 40 hari. Di akhir cerita, Baridin dan Suratminah gila. Apa yang dibidik Riki dari cerita itu? Aku memang terluka/ tulis Riki. Tapi hari ini kupaksa diriku/ untuk tak ikut melepas mantra/Puasa sakit hatiku kututup sudah karena Kita tak pernah bertemu dan Hati tak seperti matahari/Tapi cukup terang untuk menuntunku/di lorong panjang kematian ini . (Fakih) . . #RikiDhamparanPutra #MencariKuburBaridin #AkarIndonesia #KumpulanPuisi #SastraIndonesia #KatalogJBS #PenerbitAkar #BukuAkar (di Kedai JBS) https://www.instagram.com/p/CQgChh3n7WV/?utm_medium=tumblr
#rikidhamparanputra#mencarikuburbaridin#akarindonesia#kumpulanpuisi#sastraindonesia#katalogjbs#penerbitakar#bukuakar
0 notes
Photo
#Repost @kultural.bergerak • • • • • • #Repost @titimangsafoundation • • • • • • Balai Pustaka dan Titimangsa Foundation mempersembahkan: Puisi Cinta untuk Indonesia. Sebuah program kolaborasi yang bertujuan untuk membangun solidaritas kepada para sastrawan Indonesia, seiring dengan kondisi saat ini karena adanya pandemi Covid-19. Mari kita saling menguatkan dengan rasa persaudaraan. Acara ini akan berlangsung pada Selasa, 10 November 2020 Pukul 19.00 WIB Live di YouTube Balai Pustaka Official Menampilkan: Asmara Abigail, Atiqah Hasiholan, Budi Gunadi*, Butet Kartaredjasa, Christine Hakim, Djenar Maesa Ayu, Fajar Merah, Happy Salma, Isbedy Stiawan ZS, Iqbaal Ramadhan, Kartika Wirjoatmodjo*, Kurnia Effendi, M. Aan Mansyur, Marsha Timothy, Reda Gaudiamo, Reza Rahadian, Sha Ine Febriyanti, Slamet Rahardjo, Sri Krishna, Sutardji Calzoum Bachri, Taufiq Ismail, Umbu Landu Paranggi, Vino G. Bastian, Warih Wisatsana, dan Widi Mulia. *dalam konfirmasi Menampilkan puisi-puisi dari: Abdul Hadi W. M., Asrul Sani, Chairil Anwar, D. Zawawi Imron, Dorothea Rosa Herliany, Hasan Aspahani, Isbedy Stiawan ZS, Joko Pinurbo, Kurnia Effendi, KH. A. Mustofa Bisri, M. Aan Mansyur, Mutia Sukma, Sapardi Djoko Damono, Slamet Sukirnato, Subagio Sastrowardoyo, Sutardji Calzoum Bachri, Taufiq Ismail, Umbu Landu Paranggi, Warih Wisatsana, Widji Tukul, dan WS. Rendra. Disponsori oleh: Bank Mandiri, Bank BRI, Bank BTN, PT. Kereta Api Indonesia (Persero), ASKRINDO Insurance, PT. Pelabuhan Indonesia II (Persero), dan Pelindo III. #PuisiCintaUntukIndonesia #SastraIndonesia #BalaiPustaka #TitimangsaFoundation https://www.instagram.com/p/CHVWS5ihMVZ/?igshid=pwwq4w42z4ny
0 notes
Text
Biografi Dan Karya Penyair Jogja: Faisal Ismail
Biografi Dan Karya Penyair Jogja: Faisal Ismail - Faisal Ismail lahir pada 15 Mei 1974 di Prembuan, Sumenep, Madura. Ia merupakan anak pertama dari 3 bersaudara. Keluarganya merupakan keluarga pamong Kalurahan setempat – semacam carik atau sekretaris. Riwayat pendidikan Faisal Ismail pertama (SD), PGAN Pamekasan, PHIN Yogyakarta 1964-1966 dan lulus pendidikan sarjana di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta di tahun 1973. Setelah lulus pendidikan sarjana, Faisal bekerja di Denpasar, Bali sekitar tahun 1974. Akan tetapi, di tahun 1975, Faisal kembali ke Yogyakarta dan mengajar di Fakultas Dakwah, fakultas almamaternya. Tak lama setelah itu, ia juga diangkat menjadi Wakil Dekan I di fakultas tersebut. Sebagai penulis, ia mulai menulis puisi dan esai di tahu 1966. Saat itu, ia ikut bergabung dengan Persada Klub yang diselenggarakan oleh Umbu Landu Paranggi di mingguan Pelopor Yogya. Sejak saat itu, ia mulai sering menuli artikel kebudayaan umum dan banyak menulis buku-buku keagamaan. Beberapa karya Faisal di antaranya: Obsesi (Kumpulan Puisi), dan Nyanyian Musim (antologi). Percakapan Faisal Ismail dengan tim penerbit Antologi Puisi 32 Penyair Yogyakarta: Tugu. - Sering kembali ke Madura? + Ah, jarang sekali. - Kapan Faisal terakhir balik kampung halaman? + Sekitar tahun 1981. - Berapa lama (di rumah)? + Sekitar semingguan - Sekirannya tak tinggal di kota dan menetap di kampung halaman, apa tahan? + Setelah lama di Yogyakarta terasa, di sana panas sekali hawanya. Mana lagi ambil air harus nimba. Meskipun pola hubungan tradisional mulai pudar, tapi rasanya tak bisa pas lagi. Eksistensi individu tak lagi terakomodasi oleh lingkungan. - Bapak Anda tahu kalau Anda menulis puisi? + O, almarhum tahu. Dan senang. Beliau juga ikut baca buku-buku novel dan kumpulan cerita pendek yang saya bawa pulang. - Kalau kumpulan puisi? + Belum sempat saya gemar puisi. Karena itu beliau juga belum sempat ikut gemar membaca puisi. Sudah keburu wafat. Perutnya bengkak. Kata orang karena santet, tapi saya kira karena kanker. Sajak-sajak dari Faisal Ismail Telah Berserah Wajah Ini, Adikku Gelora Laut Malam Hari Itu Nina Bobo Ifa, Sajak-sajakku, Selamat Malam Pada Suatu Batas Dalam Doa Almanak Senja Kemarau Di Muka Jendela Mimpi Seperti Pada Almanak Piatu Bayang-bayang Duka Bagi Si Mati Biografi Dan Karya Penyair Jogja: Faisal Ismail ini disarikan dari buku Antologi Puisi 32 Penyair Yogyakarta: Tugu yang diterbitkan oleh Dewan Kesenian Provinsi DI Yogyakarta bekerja sama dengan Bharata Offset Yogyakarta di tahun 1986. Read the full article
0 notes
Text
CATATAN HARIAN: JALAN SUNYI YANG TERAPUNG
Suatu hari, aku mendapati diriku menangis saat sarapan pagi. Aku duduk sendiri di meja segiempat dengan empat kursi yang mengelilinginya. Saat itu, semua kursi telah kosong ditinggal oleh pemiliknya pergi.Ada seekor kucing berusia delapan tahun yang sedang murung, beberapa hari dia diam saja dengan tatapan kosong. Seorang lelaki tua yang telah merawatnya, sudah menjadi abu yang disebar ke lautan. Seorang lelaki tua yang berpesan padanya, untuk tak membiarkanku menangis sepeninggal nya. Aku duduk di kursi tua tempat laki-laki tua menghabiskan sepanjang harinya untuk membaca buku-buku. Laki-laki tua yang seperti bulan di langit yang kosong. Seperti bulan yang menunggu perjumpaan dengan pesawat yang acap kali hanya melewatinya kemudian lenyap.
Hari ini sepeninggal Ayah, aku masih duduk di kursi tua miliknya. Aku marapikan buku-buku diatas meja kecil yang barangkali tidak sempat Ayah selesaikan membacanya. Aku kembali diam, kali ini lebih diam. Mataku tertuju pada potret yang diletakan di meja kecil bersama buku-buku yang selalu Ayah baca sambil menungguku pulang, potret yang sudah berumur lebih dari dua puluh tahun, potret yang menyimpan seluruh cinta Ayah disana. Potretku dan Ayah.Malam itu aku menahan sekuat tenaga agar tidak menangis. Gugu dalam diam. Menahan sesak yang tak tanggung-tanggung. Pun aku masih bisa merasakan betapa melambatnya bus yang membawaku pulang ke rumah beberapa bulan sebelumnya. Aku tak ingin terlambat untuk suatu apa pun, meski akhirnya aku merasa segalanya sudah sangat terlambat untuk mengutarakan segala penyesalanku yang terasa sumir. Ayah pergi dalam sunyi, bersama angin dan malam yang deru, tubuhnya membeku. Aku memeluk Ayah malam itu, dengan butir-butir air mata yang frekuensinya terus meningkat.
“Kau sudah besar. Dua puluh empat tahun lalu, saat ibumu mengandungmu dalam rahimnya, saat itu keadaan Ayah begitu sulit. Kau tumbuh begitu cepat dengan doa-doa yang senantiasa Ayah dan ibu panjatkan untuk menguatkanmu di sana. Kau tumbuh dengan baik. Saat ibumu bersalin, yang Ayah hanya bisa membawanya bidan desa, saat itu Ayah tidak memiliki uang, kecuali hanya dua lembar uang lima ribuan. Dan Ayah menjual radio tua yang menjadi satu-satunya alat elektronik dirumah kami. Lalu suara tangismu terdengar dari balik ruangan yang dingin. Itu seperti baru kemarin saat menggendongmu di tangan Ayah. Kau tumbuh besar menjadi perempuan yang memiliki mimpi ingin mengubah dunia, duniamu dan dunia orang-orang di sekelilingmu.”
Aku mengenang.
Ayah adalah laki-laki yang kata cintanya selalu terasa begitu dingin. Laki-laki yang tidak romantis. Ayah adalah laki-laki paling khawatir saat anak perempuannya jatuh cinta. Ketika usiaku bertambah menjadi kepala dua. Bukan kepalang Ayah memikirkan segala kemungkinan. Laki-laki seperti apa yang akan anak perempuannya nanti ceritakan.
Kekhawatiran itu tidak berlebihan. Sebab sepanjang pengetahuannya, tidak ada laki-laki yang baik di dunia ini kecuali dirinya sendiri. Untuk kali ini, Ayah boleh menyombongkan diri. Karena kenyataannya memang begitu. Tidak ada laki-laki yang cintanya seperti Ayah, cinta yang penuh tanggung jawab. Bagi Ayah laki-laki mau sebaik apapun tetaplah tak cukup baik baginya.
Malam itu, ketika dikira aku terlelap. Ayah berbicara kepada ibu di ruang tamu. Tentang segala kemungkinan yang terjadi bila anak perempuan satu-satunya diambil orang. Tentang sepinya rumah ini. Tentang masa tua. Tentang hidup berumah tangga. Kukira Ayah berlebihan. Tapi warna suaranya menunjukkan kepedulian.
Aku yang sedari tadi pura pura tidur, mendengarkan. Semoga aku bertemu dengan laki-laki yang lebih bijaksana Seperti Ayah. Karena aku membutuhkan kebijaksanaannya untuk memintanya tidak meninggalkan Ayahdan ibu sendirian.
Aku terbangun setelah meringkuk dikursi tua milik Ayah. Aku merasakan kekosongan yang luar biasa, kesendirian yang sebengis kematian.
Biarlah kuceritakan padamu tentang ayahku. Seorang pria sederhana yang tak banyak bicara. Ia gemar membaca buku. Ia menyukai puisi-puisi Umbu Landu Paranggi dan puisi-puisi D Zawawi Imron. Ayah pun menulis pentas drama untuk teater keliling yang pernah dijalaninya di masa remaja.
Ayahku pria biasa, seorang ayah yang tegas cenderung dingin. Namun teman berbincang yang hangat. Ia menyukai musik keroncong, kecapi suling, pop sunda, buku dan sedikit politik. Semasa hidupnya Ayah selalu berusaha menjaga kejujuran, menghadapi kegagalan dan kekecewaan seperti menjalani kesuksesan dan kebahagian. Ia akan tetap sama, hampir tak ada yang berubah pada dirinya dan apa yang ia percaya sebagai prinsip dalam hidupnya. Dimanapun Ia selalu menjadi dirinya. Ayahku pria penyabar yang kesabarannya telah teruji oleh waktu. Ayah yang mengajariku kebaikan-kebaikan.
MENYANDARKAN DIRI KE PILAR D Zawawi Imron
Menyandarkan diri ke pilar Langit pun menggelegar Aku tak paham, mengapa layang-layang yang sobek itu Masih kuasa menjatuhkan bintang Titik dimana aku harus berdiri Ternyata pusat semesta Bahkan tangga ke sorga akan tegak di tempat ini Memang aku terlambat tahu Hingga jasad terasa hanyalah kelopak duka Tapi aku masih punya sisa gerak Meski bergerak mungkin bernilai dosa Nyawa pun terasa kental tiba-tiba Sesaat heningmu yang kencana Merangaskan waswas yang lebat bunga.
Ayah, dalam rindu aku membacakanmu puisi sekali lagi. Kau disana akan tersenyum sambil menepuk-nepuk bahuku yang luyu. Aku akan menjalani hidup dengan kebaikan-kebaikan yang kau ajarkan. Maafkan aku yang terlambat menemuimu, membuatmu seperti bulan yang menunggu perjumpaan dengan pesawat yang acap kali hanya melewatinya kemudian lenyap. Terimakasih telah mencintaiku dengan seluruh dirimu, dengan seluruh tanggung jawab dan penerimaanmu.
0 notes
Text
Apa ada angin di Jakarta ?
Apa ada angin di Jakarta.
Seperti dilepas desa Melati.
Apa cintaku bisa lagi cari.
Akar bukit Wonosari.
Yang diam di dasar jiwaku.
Terlontar jauh ke sudut kota.
Kenangkanlah jua yang celaka.
Orang usiran kota raya.
Pulanglah ke desa.
Membangun esok hari.
Kembali ke huma berhati.
- Umbu Landu Paranggi
0 notes
Photo
MALIOBORO Seingat saya selama di Jogja belum pernah memotret suasana jalan malioboro, padahal cukup sering berkunjung ke sana, ketika saya buka foto-foto di HP tidak ada kenangan ketika di sana kecuali foto yang saya unggah ini, eh ada lagi ding, tapi tak cari nggak ketemu fotonya, suatu waktu saya pernah foto di depan tulisan Jl. Malioboro yang ikonik sekali itu lho, dan hanya pernah sekali itu saja, itu pun karena terpaksa dan rame-rame. Foto ini diambil di depan Mall Malioboro selepas beli es krim yang dijual di kedai mekdi di sebelah utara kami melakukan swafoto. Saya bukan mau menceritakan tentang foto ini, tapi tentang Jalan Malioboro, tempat foto ini diambil. Sebagai orang jawa, terlebih orang Jogja ya pasti tau lah ya filosofi jalan yang membentang dari tugu pal putih sampai dengan keraton, yang di dalamnya terdapat Jalan Malioboro. Iya, jalan itu antara lain Jalan Margo Utomo - Malioboro - Margo Mulyo - Pangurakan. Orang jawa itu penuh dengan simbol dan filosofis segala laku hidupnya, jalan yang saya sebutkan itu juga memiliki filosofi, tapi saya mau bahas Jalan Malioboro, kapan-kapan saja ceritanya soal jalan yang lain, kalau sudah ke Jogja lagi dan punya potret fotonya 😁. Kalau ada orang ke Jogja pasti selalu mendengar idiom "belum ke Jogja kalau belum ke Malioboro", saya rasa hal tersebut bisa dikatakan benar, jalan malioboro sendiri merupakan pusat ekonomi, pemerintahan, kebudayaan yang ada di Jogja. Bukan hanya itu, di malioboro, dulu (dan sekarang juga) banyak lahir orang-orang hebat, sebut saja misalnya akhir tahun 1960an keberadaan Persada Studi Klub yang dimentori Umbu Landu Paranggi yang punya julukan Presiden Malioboro, memunculkan "bayi-bayi" yang lahir setelah sekian lama di -kawah candradimuka- malioboro. Di masa sekarang, malioboro bukan hanya menjadi ikon Jogja, tapi juga tempat berkesenian, bertamasya, bekerja, bernostalgia, dan juga berkontemplasi. Sesekali, ketika ke Jogja, ambilah beberapa hari dan coba pergi ke Malioboro sendiri di tengah malam, kamu akan merasakan apa yang dimaksud "topo ngrame". Cobalah. Saya sudah pernah mencobanya. ___ #30hbc19 #30hbc1910 #30haribercerita #30hbcrestuak @30haribercerita (di Malioboro) https://www.instagram.com/p/BsdMilClBOG/?utm_source=ig_tumblr_share&igshid=1m5gxhxzt9ugb
0 notes