#Tes buta warna tingkat tinggi
Explore tagged Tumblr posts
Text
Tes buta warna tingkat tinggi
No one has ever won the world and they never will. Neither one of us converted into the others faith nor do we fall into the traps of society and what people think. I love him a lot and our families support us and we are both learned in our own cultures and traditions. My husband and I are from different religions and we are very happy. It doesnât matter what faith you belong to, Iâm simply saying that we should refrain from saying ill about anotherâs. I donât think it works that way, love is different. Iâm not saying convert and disregard your culture and traditions, but to say that whoever falls in love with someone from a different faith is stupid and doesnât know about their culture is ignorance. Whether you like it or not, the world is changing and the youth is taking steps to wipe out the barriers that communities have built. Interfaith marriages have been happening since the times of the Mughal empire, itâs not something new, but people nowadays have 2 sides⌠either they are accepting or very radical and intolerant. They know their culture, we celebrate holidays, they know their language, and I donât need to justify to anyone that my children are happy. I donât think anyone has any right to wish ill upon my children or say that they will grow up confused because they are not. Why do you only look at a personâs faith and nothing else? I did not hide anything from my family and neither did he, nor did we get married against anyoneâs wishes. My family accepted my husband and vice versa because they knew him from the time we were young, and know he is hardworking and a kind individual. Why are others so concerned about my children? My husband and I are happy raising them, and contrary to your narrow-minded beliefs we do speak the same language and are from the same area back home. I always thought that above all God was love, and in my own belief I only believe in one God and that God is everyoneâs, not just the God of a select few. All Iâm trying to say is that itâs wrong to assume that anyone who does is a shame on their culture. She completes me and I thank God everyday for her.ÄŞmrita: I am not here trying to say go and marry out of religion. But if Iâm honest, religion isnât really what comes across my mind when Iâm with her, I just see her as the woman I fell in love with and I donât really care at that point what faith she belongs to or what faith I belong to. I think I did get lucky because I get to learn new things from her side of the family everyday. We both believe in One God, and we share the same language and homeland, and giving to charity, being a good human being is the foundation of all great religions. The more the merrier is what I always say, who wouldnât mind having more excuses to celebrate? Before we got married, my wife actually asked me the same and I told her nothing she believes contradicts my own beliefs. I was always raised liberal and my wife is also tolerant, so we donât see anything wrong in celebrating holidays and customs from both faiths. And we have even decided on names which are found in both religions. My wife and I will teach our children the main tenets of BOTH our faiths. you should stay within your faith because it is your identity. We are happy and I donât think someone should say it just to âpleaseâ their spouseâs family, because I think your faith is a part of who you are, and even though I am Muslim, whatever you are raised as, Hindu, Sikh, Jain, etc. She is Sikh and will remain Sikh and I am still Muslim. If I cannot change my faith, who am I to ask her to do the same? Thatâs hypocrisy. My thinking is more open minded and liberal, so I will never ask my wife to do something which I know I could not do. But I think it depends on the spouse in question, these kinds of things should be discussed before the wedding ceremony so that both parties know where they stand. No one in our families had a problem with that, and we are happy. We had a reception after, just to celebrate and it was fine. When we got married, she never said the Shahadah because in Islam that is a form of accepting Islam (which is the mainstream view) so she did not say it and we had a simple ceremony in the court, because we belonged to different religions. Salman: My wife is Sikh and I am a Muslim.
1 note
¡
View note
Text
Ma, Pa, Aku ingin jadi dokter
Fakultas Kedokteran, kata yang sangat tidak asing kita dengar di kehidupan sehari2, dan menjadi cita2 terfavorit sejak aku masih di bangku SD. Aku bersyukur bisa mengenyam Pendidikan di jurusan ini, karena sejak usia kurang dari 5 tahun cita2 yang selalu ku katakan kepada orang ketika menanyakanku aku ingin menjadi apa ketika besar nanti adalah dokter. Entah apa yang menyebabkan seorang anak kecil polos sepertiku dulu tiba2 menyeloteh ingin jadi dokter. Aku sempat memikirkan itu, bahkan aku sempat menanyakan hal itu kepada orang tuaku. Ma, sebenernya kenapa sih dari kecil aku bilang aku pengen jadi dokter? Apa karena mama yang menanamkan itu kepadaku? Karena ku fikir bagaimana bisa seorang anak kecil yang belum tau apa2, tapi malah ia bisa menemukan kata dokter dan malah menjadikannya sebuah cita2. Tapi mamaku menjawab kalo ternyata ia tidak pernah menanamkan sengaja kepadaku akan hal itu, mamaku juga bilang kalo sebelumnya aku ga pernah punya cita2 lain selain dokter. Abang dan adikku juga dibesarkan dari keluarga yang sama, tapi mereka sejak kecil gaada tuh bilang pengen jadi dokter. Artinya ya, bukan orang tuaku yang menanamkan keinginan itu kepadaku, tapi murni kata2 tu keluar dari mulutku atas keinginanku sendiri. Seiring berjalannya waktu, ternyata aku mulai sadar menjadi dokter itu bukanlah hal yang mudah, aku mendengar sulitnya masuk fakultas kedokteran, karena pada saat itu diantara semua keluarga dan lingkungan tempat tinggal hanya sedikiit sekali yang berprofesi sebagai dokter. Selain itu aku juga mulai berfikir bahwa masuk kedokteran itu butuh biaya yang besar, yang mana aku juga berfikir apakah bisa aku masuk kedalam jurusan itu dengan keadaan ekonomi keluargaku yang menurutku tidak bisa dikatakan mewah, namun juga tidak bisa dikatakan rendah. Anehnya, aku tau semua konsekuensi itu tapi cita2ku tak pernah berubah, aku tetap ingin jadi dokter. Apa karena fikiranku belum matang, atau aku yang tipikal ambisian dengan sebuah keinginan aku kurang tau. Aku hanya berfikir saat ini aku pengen jadi dokter, bagaimanapun caranya aku yakin dimana ada kemauan pasti akan ada jalannya. Ditambah lagi dukungan kedua orang tuaku yang selalu mengatakan jangan pernah menghkhawatirkan biaya, ada kok tenang saja :â). Yaa allah yang maha pengasih dan maha penyayang, aku bersyukur Engkau memberikan kedua orang tua seperti kedua orang tuaku. Saat itu aku mulai masuk SMP, dimana pada pertemuan pertama kita masing2 harus maju kedepan kelas untuk memperkenalkan diri. Satu per satu dipanggil dengan mengenalkan dirinya, dari nama lengkap, nama panggilan, tinggal, asal SD, dan cita2. Dan pada saat itu, hampir seluruhkan temanku, y mungkin sekitar 75-80% mengatakan bahwa cita2 nya ingin jadi dokter, teman2ku yang kini menjadi sahabatku. Disitu aku mulai terpacu untuk giat belajar, karena menurutku saat itu temen2 yang ingin menjadi dokter pastilah pintar, dan aku tidak mau ketinggalan, karena aku takut kalau aku tidak rajin belajar maka aku tidak bisa mengikuti dinamika kelas tersebut. Aku juga sempat berfikir, apakah akan sebanyak ini nantinya dokter, karena dikelasku saja sudah banyak sekali yang mengatakan ingin menjadi dokter, belum kelas2 lainnya. Aku juga berfikir kalau aku tidak rajin belajar bagaimana aku bisa bersaing dengan teman2ku yang lain saat masuk kedokteran nantinya.Â
Kemudian aku melanjutkan sekolah ke SMA, dan saat itu aku sedang duduk di bangku kelas 3. Aku merasa sejak SD pelajaran yang paling aku senangi adalah pelajaran yang berbau hitung2an, aku senang dan aku merasa tertantang jika disuruh megerjakan soal hitung2an. Sedangkan bagaimana dengan hafalan2 seperti IPS, Biologi dan lain2. aku sadar aku sangat tidak menyukasi IPS sejak SD, karena menurutku terlalu banyak hafalan, sehingga saat SMP pun aku belajar IPS rasanya ogah2an karena fikirku saat SMA aku juga tidak akan mengambil jurusan IPS ditambah lagi Ujian Nasional SMP saat itu tidak ada mata pelajaran IPS. Tapi bagaimana dengan biologi? Biologi banyak hafalan, walaupun hafalannya memang lebih menarik dibandingkan harus menghafal sejarah yang aku tidak tau gunanya untuk apa kedepannya. Tapi dari dalam diriku tetap saja aku merasa hafalan lebih sulit dibandingkan bermain logika hitung2an. Namun kembali berfikir, aku ingin jadi dokter, bagaimana bisa aku mewujudkan cita2ku kalau aku tidak sepenuh hati belajar dengan menghafal. Menurutku biologi adalah hafalan yang disertai logika, sehingga sedikit lebih menarik dalam mempelajarinya. Aku saat itu terus berjuang untuk semua mata pelajaran ya di ujiankan. Tapi setiap menerima hasilnya, aku selalu merasa mata pelajaran hitung2an seperti fisika, matematika selalu jauh lebih tinggi dibandingkan biologi. Masalahnya lagi aku tidak tau kesalahanku dimana saat mengerjakan soal biologi, tapi kenapa aku selalu kesulitan mendapatkan hasil maksimal tidak seperti saat aku mengerjakan soal matematika dan fisika yang mana aku bisa memprediksi nilaiku sendiri karena tau akan kesalahanku. Sampai sempat aku merasa apakah aku cocok menjadi dokter, mengapa aku tak berfikir untuk mencari jurusan yang berbau hitung2an ataupun yang berbau tilawah karena profesiku yang sudah sangat mencintai dunia mtq saat itu. Sempat ku renungkan dalam beberapa waktu saat aku mulai galau memilih tempat kuliah. Kemudian aku menceritakan apa yang ku rasakan kepada orang tuaku, ma pa apakah aku cocok kalau mengambil jurusan kedokteran? Padahal aku merasa jiwaku lebih hidup kalau aku mempelajari hal2 yang berbau hitung2an, aku merasa kenapa sulit sekali mendapatkan hasil maksimal pada mata pelajaran biologi. Tapi orang tuaku malah menjawab, tentu beda razty antara biologi dengan kedokteran. Jangan pernah berfikir dengan kesenanganmu yang berbeda itu kemudian kamu ngerasa jurusan kedokteran itu bukanlah jurusan yang cocok untukmu. Dannn banyak hal2 lain yang menjadi masukkan ku saat itu, sampai akhirnya aku kembali memilih kedokteran sebagai masa depanku. Pada saat itu juga aku mulai merasa banyak perubahan2 jurusan yang terjadi pada teman2ku, hingga akhirnya yang kekeh ingin masuk kedokteran berkurang banyak. Tentu berkurangnya itu atas pertimbangan banyak hal, mulai dari sulitnya masuk FK, masalah biaya, masalah passion, sampai kuliahnya yang tergolong sangat lama dibandingkan jurusan lain. Aku tau itu, aku tau kuliahnya lama dan aku sudah mempertimbangkan itu. Aku tau masalah biaya yang tidak kecil, dan karena itu aku janji pada diriku sendiri akan mencari beasiswa untuk meringankan kedua orang tuaku. Aku tau selama perkuliahan akan sangat sibuk, dan sulit mencari waktu libur, dan aku tidak mempermasalahkan itu. Aku juga tau untuk lulus dari FK itu pasti perlu perjuangan, dan aku selalu yakin kalau aku pasti bisa, karena aku percaya dimana ada kemauan pasti kita akan menjalaninya dengan sungguh2, dan pasti ada pintu kemudahan yang terbuka. Ya aku sudah mempertimbangkan semua itu diawal, dan sekarang aku merasa malu jika aku mengeluh, karena ini adalah kemauanku dan aku ga pantas mengeluhkan itu.
Saat2 pendaftaran perguruan tinggi pun dimulai, mulai dari swasta hingga tes2 untuk masuk perguruan tinggi negeri. Universitas pertama yang ku daftar adalah UII. Aku mengenal UII sejak aku masih berada di kelas 1 SMA, karena abangku terlebih dahulu mengenyam Pendidikan disana. Ia juga beberapa kali memberikan pandangan kepadaku, kalau UII bagus, akreditasinya A, dan FK nya saat itu juga sudah A. lingkungan UII juga sangat islami, yang mana aku merasa saat itu aku ingin berkuliah di sekolah islam, karena sejak SMP dan SMA aku negeri maka aku ingin merasakan kuliah di lingkungan yang islami, sehingga aku berharap dengan kuliah ditempat yang mendukung keagamaan aku juga tetap bisa mengembangkan profesi qoriâahku yang saat itu menjadi hobiku. Selain itu abangku juga mengatakan tinggal di Jogja sangat nyaman, kamu ga akan menyesal kalau memilih perkuliahan di Jogja. Aku juga mempertimbangkan biaya Pendidikan FKUII saat itu, dan ternyata memang tergolong murah dibandingkan FK lainnya di seluruh Indonesia. Selain itu, jalur tes nya juga ada melalui prestasi, sehingga tekadku bulat untuk mencoba mendaftar di Universitas tersebut. Sejak sebulan sebelum bukanya pendaftaran UII, aku dan keluargaku sudah terus memantau website UII, karena harapannya jika aku mendaftar di gelombang pertama aku bisa mendapatkan uang catur dharma yang paling murah. Sampai kemudian pendaftaran UII dibuka, aku dan papaku mengurus syarat2 yang diperlukan itu dan kemudian mengirimnya ke alamat UII. Ku lihat satu per satu syarat tersebut dan alhamdulillah aku tidak terkendala di masalah administrasi. Syarat yang pasti harus terpenuhi ialah orang tersebut dari jurusan IPA di SMA nya, rata2 raport minimal 8, surat keterangan sehat, tidak buta warna, tidak ada gangguan jiwa, dan penyakit2 kronis lainnya. Karena aku mendaftar lewat jalur penelusuran siswa berprestasi, maka ada syarat tambahan yaitu minimal juara di tingkat nasional dalam 5 tahun terakhir. Alhamdulillah lagi2, al-qurâan memudahkanku untuk mencapai cita2 yang aku idam2kan sejak kecil. Dengan beberapa pencapaian yang ada aku mencoba memasukkannya sebagai lampiran sehingga harapanku itu bisa menjadi pertimbangan agar aku bisa diterima di fakultas kedokteran UII. Satu per satu ku urus persyaratan, mulai dari legalisir berkas2yang diminta, periksa ke dokter untuk mendapatkan surat keterangan sehat, dan ke rumah sakit jiwa untuk mendapatkan surat keterangan sehat jiwa dan bebas narkoba. Sedikit cerita yang kuingat saat memeriksakan diri ke psikiatri saat itu. Pertama aku disuruh mengisi form pendaftaran yang ada, kemudian mengisi angket penilaian kesehatan jiwaku, sampai wawancara ke psikologi dan dokter psikiatri. Aku sempat syok saat wawancara ke dokter tersebut, karena sejak awal aku dilayani petugas dengan sangat ramah tapi kemudian bertemu dengan dokter psikiatri yang membuatku berfikir apa salahku dan apakah dokter ini yang gila hehe. Ya karena saat aku masuk ke ruangan dokter, tiba2 aku ditanya2 dengan sangat judes kemudian dimarah2i oleh dokter itu. Awalnya aku ditanya surat ini untuk apa?. Kemudian ku jawab, untuk daftar sekolah dok, eh bukan, daftar kuliah. Terus dokternya langsung menanyakanku dengan nada tinggi dan sinis, oh ternyata sekolah dan kuliah berbeda ya. Terus kamu ngerasa diatas sekarang karena sudah mau kuliah? Bangga kamu udah mau masuk kuliah, terus sekolah kamu anggap lebih rendah? Kan ada sekolah tinggi untuk kuliah, bukannya itu sama berarti antara kuliah dan sekolah? Haha aku berkata2 dalam hati, lah ini dokter kenapa, padahal aku mengatakan itu hanya untuk memperjelas agar tidak rancu, karena menurutku kata sekolah lebih umum daripada kuliah. Setelah aku terus diintrogasi dengan menekan batinku, yang membuat ku berfikir apa setiap ke dokter jiwa kita harus diperlakukan seperti ini. Kemudian aku keluar dan aku sempat kesal dan heran, apa jangan2 dokternya kelamaan menangani orang sakit jiwa kemudian ia menjadi tertular hehe, apa karena aku akan memasuki dunia kedokteran sehingga aku harus dipastikan tidak mudah down dalam berbagai tekanan, dan banyak fikiran2 lain yang muncul dari otakku. Tapi saat ini aku sadar ternyata dokter itu benar, karena setelah 3,5 tahun aku menjalani kehidupan sebagai mahasiswa kedokteran aku merasa tekanan2 seperti itu hanya rintangan kecil sama perkuliahn FK, karena banyak sekali system perkuliahan yang membuat kita lebih merasa down, sehingga saat tes kita benar2 perlu dipastikan bahwa kita bukan termasuk orang yang mudah depresi, mudah stress dengan tekanan mental sepeti itu.
Pengumuman tahap pertama pun keluar, alhamdulillah aku lulus untuk masuk tes tahap 2 :â). Jumlah calon mahasiswa yang diterima saat itu adalah 20 orang dengan 5 orang lewat jalur psb, dan 15 orang jalur pbt. Kemudian kami yang telah keterima di tahap 1 harus melanjutkan tes tahap 2, yang isi tesnya mulai dari psikotes, tes mata pelajaran matematika, kimia, fisika, dan biologi, dan tes wawancara. Aku mulai dari mempersiapkan diri untuk psikotes dengan berlatih kepada keluargaku yang merupakan psikolog, dan ia melatih serta mengajarkan ku bagaimana cara pengisian tes tersebut. Kemudian tes mata pelajaran, aku juga terus memantapkan pelajaran inti tersebut yang padahal aku saat itu belum tau pelajaran apa yang di jadikan tes untuk tahap 2, aku berlatih soal2, dan lain sebagainya. Kalau wawancara aku memang bingung cara berlatihnya, sehingga aku tidak begitu mempersiapkan tes wawancara itu. Tes tahap 2 pun tiba, aku datang ke jogja dengan membawa baju dan jilbab putih serta rok hitam. Aku pelan2 berjalan ke rektorat uii, ditemani abangku yang mengantarkan aku tes. Saat masuk ruangan aku sudah melihat calon mahasiswa lainnya sudah duduk rapi di meja dan tampak siap mengerjakan soal2 yang akan diberikan. Kemudian setelah beberapa lama kami mengerjakan soal, datang seorang calon mahasiswa lainnya yang juga akan mengikuti tes. Ia terlambat, dan saat itu langsung di umumkan kepada kami, jika nanti ada yang terlambat maka ia tidak akan diluluskan, masa ingin jadi dokter tapi terlambat, bagaimana jika ada pasien gawat terus dokternya terlambat, bisa keburu meninggal nanti. Kata2 itu mulai mengetuk hatiku saat itu, ternyata jadi dokter itu punya beban yang tinggi, masalahnya adalah nyawa.
Tes terus berjalan, mulai dari psikotes yang menurutku hampir mirip dengan tes2 yang sudah ku latih sebelumnya. Kemudian dilanjutkan tes mata pelajaran yang menurutku ada yang mudah dan banyak yang sulit hehe. Jantungku mulai berdegup saat ada soal yang tidak bisa ku kerjakan, aku meliat teman2 yang lainnya dan mengapa mereka bisa mengerjakannya dengan tenang. Bahkan ada yang sudah menutup lembaran soal sebelum waktu habis. Jujur aku merasa apa hanya aku yang merasa bahwa tes ini sulit, dan aku merasa apa bisa aku lulus dari tes ini :â). Test tertulis pun selesai, selanjutnya adalah tes wawancara. Sambil menunggu panggilan masuk, kami duduk dan mendengarkan orang yang sambil bercerita didepan mengenai perkuliahan di FK. Satu kalimat yang masih kuingat ialah, ketika kalian kuliah di FK, maka kalian harus masuk terus, kalian tidak boleh sakit, karena di FK gaboleh ga masuk kuliah. Aku kaget dengan pernyataan itu, karena aku langsung berfikir bagaimana dengan lomba2 MTQ seperti yang telah aku lakukan selama sekolah, yang membuatku meninggalkan sekolah hingga berbulan2. Apakah aku akan menguburkan karir tilawahku selama kuliah. Kemudian namaku pun dipanggil untuk memasuk ruangan wawancara. Dalam ruangan sudah ada 4 orang, namun hanya 3 orang yang mewawancaraiku, sedangkan 1 orang sepertinya hanya pengamat. Saat masuk aku tidak begitu merasa tegang, karena berdasarkan pengalaman orang lain yang wawancara saat masuk kerja ataupun lainnya, mereka mengatakan wawancara hanya perlu menjawab apa adanya dan jangan berbohong. Jadi aku hanya berfikir yasudah aku hanya butuh menjawab apa adanya kan, dan tidak ada yang perlu aku takuti. Ku buka pintu ruangan itu perlahan, dengan mengucapkan salam dan merendahkan suara. Aku lupa pertanyaan apa untuk membuka wawancaraku saat itu, namun ada beberapa pertanyaan yang masih ku ingat. Kamu tau UII darimana?, kenapa milih UII, ada universitas lain atau tidak yang ingin kamu daftar setelah ini?, kelebihannya kamu bisa mengaji, coba saya pengen dengar kamu ngaji, bagaimana sekolah kamu selama ini dan kamu berada di peringkat berapa selama ini, kenapa ingin masuk FK, dan pertanyaan terakhir adalah tentang biologi yang kebetulan aku mendapat pertanyaan tentang system urinaria. Aku tau UII dari abangku dan aku jelaskan kenapa aku milih UII dengan pertimbangan yang sudah sebutkan diatas tadi, aku ingin jadi dokter karena cita2ku sejak kecil, aku akan daftar di UI untuk universitas negerinya, kemudian aku disuruh mengaji dengan apa yang aku bisa, sebenarnya aku bingung karena saat itu aku tidak membawa al-qurâan sehingga aku hanya disuruh membaca ayat kursi dengan hafalan yang ada. Aku baca dengan tilawah, dan kemudian mereka menanyakan kembali kepadaku seputar tilawah, apakah di keluarga pada bisa, bagaimana aku belajar tilawah dan sejak kapan. Pertanyaan berikutnya, aku jawab alhamdulillah sampai semester 5 kemarin saya masih dalam 5 besar di kelas, dan pertanyaan yang tak terduga ialah mengenai materi biologi. Aku sempat kaget ditanya kamu tau system urinaria? Dengan ragu ku jawab yang ada tiga tahap itu ya bu, ada filtrasi, absorbsi dan eksresi? Ya, jawab mereka, coba jelaskan bagaimana itu. Aku takut, karena aku tidak mempersiapkan materi itu sebelumnya, jadi aku hanya menjawa seingatku saja waktu itu, dan sempat aku blocking karena lupa. Hatiku sudah mulai berdegup, karena takut tidak menjawab 1 langkah terakhir, seingatku aku lupa dengan kata tubulus distal hehe. Kemudian diakhir sesi alhamdulillah aku diingatkan oleh Allah dan kemudian aku bisa menjawabnya. Ternyata setelah masuk FK itu jadi pelajaran hari2 kita hehe, dan ternyata itu sangat dasar, dan pantas saja ditanyakan saat tes. Pertanyaan semacam itu barvariasi, dan tiap orang mendapatkan pertanyaan yang berbeda, ada yang ditanya system perdarahan di manusia, system pencernaan, respirasi, dan lain2 yang intinya di manusia bukan di hewan atau tumbuhan. Aku pun keluar dengan perasaan lega, karena setidaknya pertanyaan tentang materi aku bisa jawab, walaupun mungkin tidak lengkap. Setelah beberapa hari di jogja kemudian aku pun pulang ke Pontianak.
Hari pengumuman tiba, aku sedikit cemas apakah akan keterima atau tidak. Saat itu sore hari sekitar jam 4, aku baru sampai di rumah guru les kimiaku, dan aku mengangkat telfon dari orang tuaku. Kemudian ia mengucapkan selamaatt alhamdulillah kamu keterima di FK, sudah buka belum websitenya? Perasaanku saat itu senang sekali, bersyukur, dan bahagia sekali. Aku merasa sangat dipermudah oleh Allah, diantara cerita teman2ku yang mengatakan belum lulus saat tes sana sini, dan aku hanya bisa bersyukur dan malu kepada Allah, aku bertanya kenapa aku rasanya mudah sekali jalannya untuk masuk kuliah ini. Karena tahap pertama aku hanya mengumpulkan berkas kemudian diterima, selanjutnya tes tahap 2 dan alhamdulillah langsung diterima. Entah kenapa sejak saat itu aku merasa sangat tenang, karena hatiku merasa sangat yakin untuk kuliah di UII dengan lingkungan islam seperti itu. Sejak itu, aku sudah malas untuk mencoba tes kesana kemari lagi, karena aku merasa sudah sangat cukup dan sangat bersyukur sudah diterima di FKUII sebagai calon mahasiswa baru. Sehingga saat SNMPTN pun, ketika aku tau tidak lulus di FKUGM, aku tidak begitu kecewa. Aku hanya kecewa saat itu karena banyak dari teman2ku saat itu mengatakan mereka lulus di jalur SNMPTN. Aku sempat merasa lebih rendah karena bersekolah di swasta, tapi masukkan dan nasihat dari orang tua, saudara, lingkungan membuatku yakin dan percaya diri UII adalah yang terbaik untukku. Dan ternyata memang iya, saat ini aku tidak merasa malu mengatakan aku kuliah di FKUII, aku bangga dengan alamamaterku, karena kualitas, fasilitas dan kenyamanan yang kurasa saat ini sangat jauh lebih dari cukup. Aku bersyukur, dengan masuk kedalam lingkungan mindset ku berubah, orientasiku berubah, dan pelan-pelan lingkungan ini mengubah akhlakku menjadi lebih baik. Orientasiku mengenai nilai adalah segalanya pelan-pelan berubah, dan sedikit demi sedikit aku mulai mengerti bahwa dokter bukanlah seperti SD, SMP, ataupun SMA yang cukup hanya mendapatkan nilai tinggi dan IPK cumlaude. Dokter bukanlah suatu pekerjaan yang hanya semata-mata untuk mendapatkan uang yang banyak. Dokter juga bukanlah suatu kedudukan yang dengannya kalian merasa bangga. Tapi dokter adalah suatu profesi yang bersangkutan dengan nyawa manusia, nyawa yang bukan mainan, bukan percobaan, bukan hanya semata-mata gagal kemudian di perbaiki. Karena sekalinya gagal, maka nyawa akan melayang, atau kalaupun tidak, maka pasien yang ditangani mungkin akan cacat seumur hidup, keluhannya memburuk, dan banyak lagi lainnya. Ya itulah dokter, dokter butuh ilmu bukan butuh nilai. Nilai itu penting, tapi ilmu lebih penting, percuma kalau nilai tinggi tapi hanya saat ujian yang kemudian ilmunya hilang dimakan waktu.
Intinya aku bersyukur akan ketentuan dari Allah yang sudah diberikan kepadaku saat ini, dan alhamdulillah đÂ
0 notes
Text
   Akhir-akhir ini timeline mendadak dipenuhi kalimat-kalimat bijak. Setelah ditelusuri ternyata ini berulang setiap tahun, #SNMPTN dan #SBMPTN. Izinkan saya disini berbagi cerita sedikit tentang fenomena tahunan ini.
   Semenjak kelas 10, sudah menjadi cita-cita saya untuk diterima di jalur SNM. Jelas dong, tinggal ngasih nilai raport, sertifikat2, bakal langsung diterima di PTN, plus gaperlu lagi berurusan dengan soal-soal SBM yang katanya horror itu ( emang iya ternyata ).
Selama 3 tahun perjalanan, berbagai macam lomba saya ikuti, masih dengan dalih yang sama : Sertifikat untuk SNMPTN. Lomba Ekonomi Islam tingkat nasional, pidato Bahasa inggris  nasional dan provinsi, langganan 3 besar di kelas, ini menjadi modal saya waktu itu. Plus, jurusan yang saya pilih adalah jurusan Bisnis yang umurnya baru 2 tahun, toh peluang makin gede dong secara baru dan pasti yang minat dikit.
Waktu terus berjalan, saya sudah yakin dengan semua pencapaian di atas. Waktu itu salah satu guru saya bilang
âDonât put all your eggs in one basketâ.
SNM itu cuman bonus, udah gausah dipikirin, fokus ke SBM, jangan percaya SNM, jangan jadi korban PHP, dll. Parahnya, ketika sekolah menyediakan waktu tambahan untuk belajar SBM ( saya sekolah di boarding school yang tidak memungkinkan bimbel pada saat itu ), saya belajar malas-malasan, dengan alasan âInsya Allah ini mah keterima SNMâ. Alhasil ketika pendaftaran hanya satu pilihan saya ambil.
Libur telah tiba, temen-temen sibuk belajar dan bimbel.
âYo, lu gak bimbel ?â,
âKagak ah, males gua buang-buang duitâ,
âLah kalo gak keterima SNM gimana lu ?â,
âGatau dah, Insya Allah keterimaâ
Hari yang ditunggu-tunggu pun datang, semua anak kelas 12 hari itu ngerasain kalo waktu berjalan lebih lama dari biasanya. Â Tepat pukul 14.00, saya buka pengumuman dengan perasaan campur aduk Â
"Gimana kalo gak keterima ?â,
"Kuliah dimana gua?â,
"SBM gangerti apa-apaâ.
Pertanyaan itu semua terjawab dengan satu kotak berwarna merah bertuliskan "Anda dinyatakan tidak lolos". Syok, kacau-balau, sedih, semua jadi satu, rasanya kayak hidup ini udah kelar. Notifikasi grup pun ramai, âAlhamdulillah, gua keterimaâ âGak nyangka gua lolosâ, dan pernyataan lain yang bikin makin sedih, galau, kecewa, kesel, sakit hati. Saat itu, jujur saya gak tau harus ngapain, SBM 3 pekan lagi, SBM gak ngerti apa-apa, bimbel udah pada tutup, dan lain-lain.
Keadaan pun berbalik 180 derajat, saya yg dulu males-malesan sekarang yg belajar mati-matian, ngejar materi sbm sebanyak itu dari 0 dalam waktu 3 pekan itu ga mungkin. Ditambah kekecewaan SNM dan melihat temen-temen sudah keterima di PTN nya, saya sudah menyerah pada saat itu. Support orang tua dan temen2 saat itulah yang membangkitkan, Â buku-buku dari berbagai bimbel punya temen, dan modal nyari informasi dll. Masih belum bisa menerima kenyataan, saya pun hijrah ke Bandung dengan tujuan mencari suasana belajar dengan temen2 yg sudah bimbel disana. Belajar pagi-malem siang-sore dengan harapan SBMPTN.
Hari itu pun datang, dengan persiapan apa adanya soal itu pun selesai, hanya bisa pasrah. Lalu Ibu saya pun bilang
âDek, ikut ujian mandiri ya tanggal 17 nanti, ikut aja Insya Allah keterimaâ
Waktu itu saya menolak, bukan apa-apa. Pertama, waktu itu bulan Ramadhan dan saya mengikuti program hafalan Al-Quran di Lembang, dan rasanya gak mungkin ikut ujian di tengah-tengah program. Kedua, ujian mandiri di PTN ini terkenal sulit, dengan prosentase penerimaan mahasiswa hanya 10%, dan benar tercatat 5.283 peserta memperebutkan 320 kursi (sumber : Republika) dan itu menurut saya tidak mungkin. Dengan berat hati saya meng-iyakan dan akhirnya mendaftar dan mengikuti tes tersebut tanpa persiapan, hanya bermodalkan sbm kemarin.
Hari pengumuman SBM pun tiba, waktu itu kami seluruh peserta program yang kelas 12 membuka pengumuman bersama. Bergiliran, satu orang membuka, dan gagal. Orang ke-2 , masih gagal, Orang ke-3, masih sama. Sampai akhirnya datanglah giliran saya terakhir, dan ternyata, masih cerita yang sama, kotak merah bertuliskan permintaan maaf yang gapernah saya maafkan. Kami semua gak ada yang lolos. âSebodoh itukah saya?â , itu adalah pernyataan yang pertama muncul. Wajar, karena jurusan-jurusan yang saya piih itu jurusan baru dan menurut handbook dari berbagai bimbel, jurusan2 pilihan saya ini memiliki Passing Grade dan Nilai Nasional yang rendah. âSelesai sudahâ, kata itu yang pertama muncul, entah mau kemana saya setelah ini, dulu dengan sombongnya yakin diterima di SNM denga nilai2 raport, sekarang pun tidak diterima di jurusan yang sedikit peminatnya.
Kami semua dipanggil oleh seorang Ustadz disana, dan beliau mulai menyampaikan ceramahnya. Satu kalimat yang membuat saya terdiam waktu itu
â Barang siapa yang meninggikan dirinya, maka Allah akan merendahkannya, dan barang siapa yang merendahkan hatinya makan Allah akan meninggikannyaâ
Ya, benar, waktu itu saya terlalu sombong, terlalu meninggikan diri, dengan sombongnya dengan nilai2 dan sertifikat2, bahkan tidakmemperhatikan guru ketika pembelajaran SBM berlangsung, dengan alasan yakin akan diterima di jalur SNM. âSekarang, Allah saya sedang menguji saya, merendahkan saya, dengan kesombongan2 ituâ. Setelah itu, Ustadz melanjutkan
âTapi kalian harus tetap percaya dan PD, bukan PD percaya diri, tapi Percaya Dia, bahwa semua yang diberikan Dia, pasti yang terbaik. Allah yang paling mengetahui hamba-hamba-Nya. Rezeki sudah ada, jika memang bukan rezeki kita, buat apa, jika memang bukan rezeki kita, buat apa bersedih ?â
Saat itu saya mulai paham, tugas kita hanya berusaha dan berdoa, urusan hasil ? kita serahkan kepada Yang Maha Kuasa, rezeki gak bakal nyasar kok. Saat membuka hasil pengumuman ujian mandiri ( 1 hari setelahnya ) saya sudah yakin dan pasrah akan hasilnya. Â SBM aja gak keterima kan, apalagi Mandiri yg lebih ketat. Diterima Alhamdulilah, ditolak juga Alhamdulillah.
Dan benar, untuk ketiga kalinya saya dimintai maaf (lagi) oleh perguruan tinggi yang sama. Â Oke, mungkin ini bukan jalannya.
"Yang penting saya sudah berusaha, dan berjuang sampai akhir"
Keesokan harinya, orang tua menelepon âAlhamdulillah ya dek keterima. Selamat yaaâ, sontak saya kaget, jelas2 kemarin saya membuka dan teman2 melihat tidak lolos. âBercanda aja nih heheâ, âCoba cek lagi, kemarin kayknya server errorâ. Langsung saya membuka computer dan membuka website pengumuman, dan benar
âSelamat, anda dinyatakan lulus UTM 2016.â
Speechless, saya gak bisa ngomong apa2, antara gak percaya dan senang luar biasa, spontan saya sujud syukur, Alhamdulilah.
   Saya diterima dijurusan teknik. Qaddaralah, saya menderita buta warna parsial, seperti yang kalian tau, sebagian jurusan teknik melarang mahasiswanya yang menderita buta warna. Tentu akan menganggu proses pembelajaran, apalagi saya akan berhubungan langsung dengan laboratorium, dimana membedakan warna adalah sesuatu yang signifikan. Saya hanya berharap semoga ini tidak mengapa dan merupakan jalan terbaik.
Ada tawaran beasiswa dari kakak kelas saya di negeri sebelah. Saya pun coba-coba mengirim dokumen dengan nilai UN paspasan ( 3 nilai kurang, 2 nilai cukup, 1 nilai baik ), bermodalkan CV apa adanya. Alhamdulillah, saya lolos tahap dokumen, tes tulis dan wawancara, dan Alhamdulillah sekarang menjadi bagian dari Awardees of Al Muntada Trust Full Scholarship ( based in UK ) di Universitas no 1 di Malaysia. Â Jurusannya ? Bisnis, pilihan pertama saya dulu.
 Teman teman sekalian, kalian boleh merasa sedih, kalian boleh galau, kalian boleh kecewa, kalian boleh sakit hati, kalian boleh nangis, tapi kalian gaboleh yang namanya nyerah.
3 pekan? itu waktu yang sangat cukup untuk mempersiapkan SBM. Cari informasi dan strategi. Selama masih ada peluang, entah itu ujian mandiri, dll, terus coba, kita gak tau dimana rezeki kita.
Sampai kapan kalian mau mengeluh ? Bukankah anak panah akan melaju kencang jika ditarik lebih dulu ? Begitulah kalian, kalian sedang ditarik terlebih dahulu, diuji dahulu, diberi rintangan dan cobaan dulu, agar kita nanti melaju kencang.
Ingatlah akan kesalahan2 kita dahulu, mungkin dulu kita lalai, mungkin dulu kita sombong, dulu niat kita dalam menuntut ilmu salah, ini adalah peringatan dari Allah, kita terbuat dari tanah, makan yang tumbuh dari tanah, dan kita akan kembali ke tanah, kenapa masih bersikap langit ?
Bukankah setelah kesulitan pasti ada kemudahan ? Bisa jadi yang kita anggap baik itu buruk di mata Allah, dan bisa jadi apa yang kita anggap buruk itu baik di mata Allah. Kita berencana, mereka membuat rencana, tapi Allah lah sebaik-baik pembuat rencana. Allah tau yang terbaik untuk kita, dan tau kapan yang terbaik itu akan kita miliki. Â
Ingatlah ketika Ali bin Abi Thalib berkata :
"Saya meminta sesuatu kepada Allah. Jika Allah mengabulkannya untuk saya maka saya gembira SEKALI saja. Namun, jika Allah tidak memberikannya kepada saya maka saya gembira SEPULUH kali lipat. Sebab, yang pertama itu pilihan saya. Sedangkan yang kedua itu pilihan Allah.â
Tinggal bagaimana kita berjuang dan tidak mengeluh. Turuti perintah orang tua, karena ridho Allah bersama ridho orang tua, mereka tau yang terbaik untuk kita.
Berdoa dan bertawakallah, karena dalam keadaan paling putus asapun, doa adalah senjata kita. Â Barang siapa yang bertawakkal, maka Allah akan memberikan jalan keluar, dan memberi kita lewat jalan yang tidak disangka-sangka.
Saya harap, ini bisa menjadi pelajaran untuk kita semua, ambil yang baik dan buang yang buruknya.
Min baab tahadduts bi anniâmah . âDan terhadap nikmat Tuhanmu lah, kamu ceritakanâ (QS Ad-Duhaa : 11 )
Kuala Lumpur
Mind/e worh sharing
0 notes
Text
Pengalaman Mengikuti Seleksi Pengajar Muda Indonesia Mengajar (Bagian 3) âMedical Check Upâ
Tulisan ini menjadi tulisan terakhir cerita pengalaman saya mengikuti seluruh rangkaian seleksi pengajar muda Indonesia Mengajar. Dua tulisan saya sebelumnya, saya bercerita tentang seluk beluk seleksi online dan tentunya pengalaman menyenangkan saya ketika mengikuti tes direct assesment. Kali ini, saya akan sedikit bercerita mengenai pengalaman saya mengikuti tes medical check up yaitu tahapan paling akhir menuju pelatihan pengajar muda.
Setelah saya mendapatkan email pada tanggal 6 Februari 2017 yang intinya saya lolos pada tahap direct assesment dan diberikan kesempatan untuk mengikuti tes medical check up, nantinya kita akan diberikan opsi untuk memilih tempat tes tersebut. Saya selalu mendapatkan kesan yang menyenangkan ketika saya mengikuti setiap rangkaian tes Indonesia Mengajar. Kenapa? Karena kita selalu diberikan pilihan untuk menentukan sendiri dimana tempat tes tersebut, sehingga kita jauh lebih fleksibel untuk mengikuti tesnya. Waktu itu, saya memilih tes pada tanggal 13 Februari 2017 di Pramita Lab di Jogja.
Pada tes medical check up ini, kita akan melalui 7 rangkaian tes. Sebelum hari H tes, kita akan diberikan arahan untuk mengikuti tesnya. Salah satunya, kita diminta puasa kurang lebih 10 jam sebelum jam tes tersebut. Waktu itu, saya sudah puasa dari hari minggu tanggal 12 Februari jam 22.00 karena saya akan tes pada jam 8 pagi. Kalo ada arahan dari panitia seleksi, sekecil apapun arahanya, kita harus ngikutin ya hehe. Oia, pada tes kali ini, saya bareng kak devi, dia asli Muntilan, Magelang. Dia lulusan UNS jurusan akuntansi. Balik lagi ke rangkaian tes, nanti kita akan melawati tes sebagai berikut :
1.     Darah
Pada tes ini, kita akan diambil darahnya oleh petugas lab. Ini salah satu tujuan mengapa kita harus puasa sebelum melakukan tes. Katanya biar darah kita tidak tercampur dengan kandungan yang berasal dari makanan.
 2.     Urine
Sesuai dengan namanya, urine kita akan di tes. Tujuannya untuk mengetahui apakah kita sedang mengkonsumsi zat psikotropika atau tidak.
 3.     ECG
Pada tes ini, kita akan menggunakan alat yang akan ditempelkan tepat di beberapa bagian tubuh kita. Alhamdulilah, saya cukup familiar dengan alat ini, karena sebelumnya saya sudah pernah melakukan tes yang serupa. Tujuannya untuk mengetahui alur jantung kita. Hasilnya nanti kaya semacam lembaran struk belanja yang isinya garis-garis naik turun.
4.     Rontgen
Nantinya, paru-paru dan organ sekitarnya kita akan difoto oleh alat yang gede banget. Tujuanya mengetahui organ dalam kita, khususnya kondisi paru-paru kita.
5.     Audiometri
Naah, disini pendengaran kita akan di tes. Teknisnya nanti kita akan dipasangkan semacam headset yang nantinya akan keluar suara-suara dari headset tersebut.
6.     Autospirometri
Menurut saya, ini adalah tes yang paling berkesan haha. Kenapa? Karena saya harus mengulang-ngulang sampai saya bisa melakukannya. Jadi tes ini tujuanya adalah mengetahui panjang nafas kita. Nanti kita akan meniup dan menarik nafas sesuai dengan arahan petugas lab tersebut. Pengalaman yang sangat menyenangkan pernah mengikuti tes ini haha
7.     Pemeriksaan Fisik
Pada tes ini, kita akan bertemu dengan seorang dokter. Nantinya dokter tersebut akan mengecek berat badan, tinggi badan, tingkat kerabunan dalam mata (plus minus) dan buta warna. Setelah menyelesaikan tes tersebut, nantinya kita akan berkonsultasi mengenai kesehatan kita.
Itulah sedikit gambaran mengenai tes medical check up. Saran saya sebelum nantinya kita akan mengikuti tes medis tersebut, patuhilah setiap arahan dari panitia pelaksana. Karena, arahan sekecil apapun dari panitia akan sangat berpengaruh pada kita. Selanjutnya, dari sekarang temen-temen harus pandai-pandai menjaga kesehatan dan berolahraga. Dan akhirnya, setelah menunggu 8 hari dari tes medical chek up, saya mendapatkan email dari panitia seleksi yang intinya saya mendapatkan kesempatan untuk mengikuti pelatihan calon pengajar muda Indonesia Mengajar, itu yang artinya semua rangkaian seleksi sudah saya lewati dan artinya juga salah satu mimpi saya akan terwujud.Â
Insya Allah, tingal 3 hari lagi menjelang masa pelatihan tersebut. Saya mohon doa dari teman-teman semuanya, agar saya dapat menjalankan masa pelatihan tersebut dengan baik dan nantinya dapat diberikan kesempatan untuk menjadi Pengajar Muda Indonesia Mengajar angkatan XIV.
Ada beberapa tips bagi teman-teman yang ingin mendaftar menjadi pengajar muda Indonesia Mengajar :
1.     Luruskan Niat
Niatkan untuk tujuan kebaikan, karena pengajar muda akan ditempatkan di tempat yang sangat terbatas dari segala fasilitas. Niat saya dari awal (termasuk di essay yang saya buat) untuk belajar. Ya, belajar dengan budaya baru, dengan orang-orang baru dan tentunya belajar menjadi pribadi yang lebih mengenal dunia.
2.     Pengalaman
Jika teman-teman masih memiliki banyak kesempatan untuk meng-upgrade diri dengan menambah pengalaman selama kuliah, maka lakukanlah. Jujur, saya sangat terbantu dalam setiap rangkaian seleksi yang saya lalui, hal tersebut menurut saya tentang pengalaman.
Selama saya kuliah, saya banyak mengikuti kegiatan-kegiatan dan organisasi yang dapat menambah softskill. Pengalaman tersebut biasanya dibarengi dengan berbagai macam permasalahan, nah disanalah kita akan belajar dari satu permasalahan ke permasalahan lainnya untuk mencari tau penyelesaian atas permasalahan tersebut. Nah mumpung masih banyak kesempatan untuk menambah pengalaman selama kuliah, maka lakukankan.
Ikutilah banyak kegiatan, terutama yang berkaitan dengan masyarakat, hal tersebut akan membantu kita untuk mudah bergaul dengan orang yang sebelumnya tidak kita kenal.
3.     Ridho orang tua
Ridho orang tua adalah ridho Allah SWT. Saya sangat meyakini hal tersebut, maka, sebelum kita melangkah jauh untuk mengikuti program dari Indonesia Mengajar ini, kita perlu juga ridho dari orang tua kita. Agar setiap prosesnya akan terasa ringan untuk dilakukan terutama pada tahap-tahap seleksi Indonesia Mengajar.
0 notes