#Terpilin
Explore tagged Tumblr posts
Text
#baldur's gate 3#bg3#bg3 tav#bg3 lae'zel#bg3 the emperor#tav#lae'zel#the emperor#fanart#art#terpilin#<3
126 notes
·
View notes
Text
commission for @terpilin with Omeluum :) thank you for a chance to finally draw an illithid :D
64 notes
·
View notes
Text
sometimes i forget i have to post my stuff here as well.
so we drew this collab around a month ago.
me (mezarthim) as Mars,
@t0desengel as LC,
@sadeath1 as DB,
@terpilin as Undying,
@bagajewsky as WW,
@muzelure as Slark
and @miamipaaaalms as Bane.
i'm not sure if the FV has tumblr as well..
(MouseHouse as FV)
#dota 2#dota 2 art#art#dota#dota 2 fanart#dota art#dota 2 heroes#dota 2 mars#mars#dota 2 legion commander#legion commander#dota 2 dawnbreaker#dawnbreaker#dota 2 undying#undying#dota 2 winter wyvern#winter wyvern#dota 2 slark#slark#dota 2 bane#bane#dota 2 faceless void#faceless void#collab#collaboration#art collab#color wheel challenge#color wheel character challenge#art challenge#color wheel trend
40 notes
·
View notes
Text
Harapan (Hari) Ke-30!
Harapan Ke-30 dituliskan pada tanggal 30 April 2023. Biasanya tanggal ini menjadi ajang merefleksikan kehidupan yang sudah dijalani selama ini. Tapi tahun ini sedikit berbeda, ada pemaknaan lain yang kutemukan didalamnya. Maka refleksi dan harapan ini kupersembahkan untuk Umi, terimakasih karena telah melahirkanku dan menjadi ibu yang luar biasa!
Umi, tepat di tanggal ini terimakasih karena telah melahirkan dengan penuh perjuangan 26 tahun silam.
Merawat semasa kecil hingga besar. Memenuhi kebutuhan dan melayani dengan sabar. Mengajarkan nilai nilai kehidupan yang begitu berharga dan tak didapat dari orang orang di luar.
Memberikan batasan yang tegas ketika tanpa merasa bersalah aku mulai menyimpang. Meninggikan pondasi Iman agar senantiasa teguh menjalani kehidupan. Dan melangitkan doa doa terbaik di setiap shalat malam.
Umi, terimakasih karena selalu jadi tempat nyaman untuk berpulang. Meski seringkali aku ngambek berkepanjangan, tapi melihat senyum lebar Umi selalu jadi obat penenang. Pun sejauh dan senyaman apapun tempat yang disinggahi, bayangan Umi selalu menari dalam ingatan.
Umi, anak Umi satu ini memang begitu berbeda. Ia lugas menyampaikan isi hati dan kepalanya. Ia suka berkelana mengunjungi orang orang baru di luar sana. Ia sering abai dan kurang waspada terhadap potensi bahaya.
Ia menganggap dunia ini akan selalu baik ketika dia bersikap baik juga. Ia sering membuat Umi gemas karena manajemen waktu yang membuat geleng geleng kepala. Ia suka tertawa keras tak peduli sekelilingnya. Ia suka bosan dengan rutinitas dan kewajiban yang harus dituntaskannya.
26 tahun berjalan dan Umi tetap sigap menarik rem jika ia mulai kebablasan. Umi tak bosan mengisi tangki amunisi semangat agar ia menuntaskan apa apa yang menjadi pilihan. Umi teguh dengan kesabaran meski ia menyerang dengan banyak protes dan gerutuan.
Umi, semakin hari kita sama sama semakin tua. Alih alih menjadi dewasa, malah semakin banyak tuntutan yang kupunya. Sudah berkali kali nasihat Umi terdengar di telinga tapi masih saja anakmu melakukan kesalahan yang sama.
Aku minta maaf karena kelahiranku membuat beban kehidupan Umi bertambah. Minta maaf karena sampai saat ini belum bisa menjadi qudwah. Minta maaf karena seringkali membesar-besarkan masalah. Minta maaf karena seenak hati bersikap tanpa merasa bersalah.
Terimakasih Umi. 26 tahun kehidupan ini, memiliki Umi adalah harta yang paling berharga. Manusia memang tak ada yang sempurna, tapi kebaikan Umi berkali lipat menutupi kurang yang dipunya.
Harapan yang terpilin, semoga bisa menjadi Qurrota A'yun untuk Umi di dunia hingga akhirat sana. Menjadi teman bagi Umi ketika sedang bahagia atau berduka. Dan bisa bersama sama semangat memanen amal kebaikan hingga ke Surga ❣️
Refleksi 26 tahun masa usia, ternyata memang Umi sosok yang paling berhak mendapat hadiah, maaf dan terimakasih yang tak terhingga :")
30 April 1997-30 April 2023
Alhamdulillah #RamadhanPenuhHarapan telah selesai! Saatnya memulai tagar tulisan dengan #KawalSyawal!
Bismillah!
9 notes
·
View notes
Text
di depanku, seorang pria berambut ungu menatap layar biru, memproyeksikan materi presentasinya tentang dosa yang katanya abu
oh bahkan sedetik lalu, ia dengan lantang menyebut dosa itu palsu
cupu, gerutu-ku. ia penuh dosa, lantas mengutak-atik cara kerja dosa yang.. (absolut?)
aku mencintaimu! tunjuknya tiba-tiba, padaku
aku menyapu pandang ke orang-orang disekelilingku, telunjuknya tak membentuk garis lurus pada siapapun, kecuali aku. lalu dengan linglung menunjuk ujung mataku, aku?
ya, aku mencintaimu (menunjukku)
mencintaik.. ku? bisikku terbata.. ia memotong, mencintaimu (menunjuk orang di sebelah kananku) mencintaimu (menunjuk orang di sebelah kiriku) mencintaimu (menunjuk orang di belakang orang di sebelah kananku) mencintaimu (menunjuk orang di belakang orang di sebelah kiriku) mencintaimu (menunjuk orang di timurku) mencintaimu (menunjuk orang di timur lautku) mencintaimu (menunjuk orang di utaraku) mencintaimu (menunjuk orang di tenggaraku) mencintaimu (menunjuk orang di selatanku) mencintaimu (menunjuk orang di baratku) mencintaimu (menunjuk orang di barat daya-ku) mencintaimu (menunjuk orang di barat laut-ku)
aku mencintai semuanya. mau ku peluk utuh, semuanya. dan yang ku gugat adalah.. aku yang penuh cinta ini harusnya tak dihantui dosa. harusnya.. diberikan penghargaan semacam.. si paling (BuCin) budak cinta, atau si paling SeKsi) sebar kasih.
hhh aku mendengus. memutar kedua bola mataku. mendengarnya makin tak jelas, lambungku makin lemas.
pulanglah, dosamu tak bisa ditawar. kau terlalu banyak memesan dosa. sudah ku ingatkan, jatahmu hanya membungkus 3 varian saja, kan? lalu mengapa kau bungkus 13 varian? pulanglah... lanjutkan dosamu.
seorang wanita di meja guru, mematikan layar proyektor. presentasi pria itu, (bak) diusaikan dewan juri.
pria itu buru-buru lari, menyambarku. jantungku meletup meleburkan darah ungu.
13,2 FM.. bisiknya buru-buru. aku akan melanjutkan presentasi di situ. tak ada layar biru, tak tampak rambut unguku, tapi dosa yang abu, akan kujelaskan pelan-pelan padamu. kenali suaraku pukul satu tiga puluh, lalu tunggu giliranmu dipanggil penyiar untuk membacakan satu puisi untukku.
sebuah walkman radio berwarna biru, menyembul dari dalam genggamanku. bersamaan dengan itu.. tubuh pria itu terpilin bak twist donut lalu disedot cahaya biru dari lensa fokus proyektor.
aku membisu. membiru. meletup darah ungu.
(diam-diam) menunggu siaran pukul satu tiga puluh. *ssuuttt!
2 notes
·
View notes
Text
Jumat, 300824
Hari ini jadwal adik imunisasi. Tapi ternyata batuknya masih ada jadi pending. Dan dokter iky kasih no wa beliau utk aku konsultasi. Senang rasanya. Tp ya tetap jg ku bingung.
Aku suka dg kepribadian beliau, aku senang bisa mengenal beliau. Smoga allaah jaga beliau, aamiin.
Oiya adik. Umah sedih deh gimana ini adik. Senin kita sudah sekolah.
Sesek rasanya. Ingin aku resign. Tp aku butuh uang juga ya robb
Hari jumat itu dtutup dengan sedihku. Dan doa yg terpilin. Smoga adik selalu sehaaaaatttttt
0 notes
Text
menengah.docx kenyataan akan dimulai, dan lihat, aku masih bentuk puisi dari diriku. tepatnya puisi serba kurang kata yang tepat. seperti ini, tornado di lubang pusar. jariku bisa terpilin bila kudekatkan. tornado mini ini berbunga dan kemudian mencagun isi batinku yang lalu. kucoba putar langit di batin itu, menjentik-jentiknya siang dan malam, mempertemukan surya dan candra …
0 notes
Text
Selumbari, gw dan sinefil kebanggaan gw, @aduyahud, baru saja membicarakan mengenai apa saja unsur-unsur yang perlu dikembangkan oleh sutradara agar bisa menjadikan sebuah film sebagai sebuah mahakarya. Dan dengan ini, gw mantap memberikan ponten sempurna terhadap Jatuh Cinta Seperti di Film-Film (JTSDFF).
Genuine dan Genius rasanya adalah dua kata yang tepat untuk merangkum komentar gw akan film ini. Yandy Laurens mampu mengemas film ini hingga dapat memuaskan insting dan hasrat para penikmat film, khususnya gw, secara kognitif dan emosional.
Film ini begitu genuine. Sebagai sebuah rom-com, plot yang disajikan begitu tulus dan apa-adanya, bak seutas benang yang terpilin dengan rapi, hingga mudah untuk “berosmosis” ke dalam sukma para penontonnya karena begitu relevan dengan kehidupan sehari-hari. Gw pribadi, ketika menikmati film romance, akan menilai bagaimana film tersebut menyajikan premis/konsep tentang cinta, relasi dan romansa itu sendiri. Semakin sepaham dengan kita, semakin mudah kita untuk jatuh cinta dengan film tersebut. Hal ini akan gw elaborasi lebih lanjut di belakang.
Genius adalah istilah yang rasanya masih merendahkan kemampuan otak mas Yandy dalam menulis dan men-direct film ini. Kesederhanaan benang tadi berhasil dirajut dengan begitu teliti dan presisi sedemikian sehingga menghasilkan gaun yang begitu megah. Plot-line yang kemudian disulam dengan elok, ke kanan, ke kiri, naik, turun, keluar, ke dalam, berhasil menjadikan film ini menjadi suatu meta-movies berlapis-lapis dengan segala foreshadowing dan Chekhov's gun-nya.
This is how i Imagine what Nolan would’ve done, should he’d made a Romance. (sorry Nolan, Laurens got it first). Kendati demikian, berbeda dengan gaya Nolan yang intens dalam menonjolkan kemahirannya bermain alur, (apalagi Tenet yang rasanya terlalu ambisius dijungkirbalikan hingga jadinya kureng, bikin bingung dan ga nyampe apa yang mau disajikan), film ini diracik dengan tetap mempertahankan kesederhanaannya, hingga pelintiran alur yang ada hanya memperkaya rasa dari cerita yang sudah manis dan hangat. Pas.
Mari kita tilik kembali pembicaraan gw dengan aduy selumbari malam. Ketimbang suatu pembicaraan, sebenarnya lebih banyak peran aduy untuk mengulas apa sih yang penting bagi sebuah film untuk jadi mahakarya, dan gw hanya sekadar memvalidasinya.
Satu hal yang kita bahas, rasanya sebuah film tidak usah terlalu ambisius, memasukan segala isu moral hingga akhirnya film tersebut terlalu bercabang, namun tidak ada yang tuntas dan malah menjadi antiklimaks. Film ini simpel, yang ingin disampaikan hanya satu dan sudah disampaikan di tajuknya: Jatuh Cinta seperti di Film-Film. Tema ini begitu konsisten dan kerap diingatkan ulang dalam tiap sequence-nya. Kritik dan satir mengenai dunia perfilman, yang penuh dengan gimmick, diselipkan dengan rapi tanpa mengkontaminasi keutuhan tema dalam film ini.
Hal lainnya adalah tentang penokohan. Film yang legenda adalah ketika karakternya begitu kuat dan tergambar jelas. Ga usah bikin karakter yang ngoyo-ngoyo kalau pada akhirnya justru jadi loyo, dan membuat kita gak kenal dengan siapa sih dia. Misal, karakter Rangga dan Cinta di AADC ya jelas akan abadi karena kita tidak akan pernah terasa asing dengan pribadi mereka serta segala character development-nya. Betul, semua hal itu menjadi tanggung jawab besar aktor/aktrisnya, tapi hanya dengan sentuhan sutradara yang baik yang berhasil mengoptimalkan potensi aktor/aktrisnya, yang mampu membuat karakter itu benar-benar terbentuk dan bisa melekat di hati penontonnya. Jadi inget video mas Riri Reza Riza yang ngomong kurang lebih “Ya ini lah akting, akting itu ga pernah bicara tentang teknis, tentang air mata keluar dari kiri atau kanan”. Jleb.
Aduy juga berpetuah. “Unsur musik tu penting banget tahu. Ga bisa film tu terasa kering tanpa suara”. Ini adalah salah satu ceklis dengan nilai rata kanan yang perlu gw tonjolkan. Terima kasih banget teh Yura Yunani Yunita dan suami telah menyuguhkan telinga kita dengan keindahannya suaranya. Selain itu, penempatan scoring yang jitu bener-bener mempertegas nuansa emosi yang ada dalam film ini hingga kita mudah terlarut dalam menyerap serta mengenali segala sentimennya. Sometimes, the silence is even heard louder. Memang lain dengan Zimmer yang intens, tapi tujuannya sama-sama tercapai. Lagi-lagi Yandy Laurens berhasil unjuk gigi bahwa dirinya punya kemampuan setara dengan Nolan, namun dengan karakter yang bertolak belakang.
Celotehan Aduy lainnya, yang ia sampaikan bak lagi nge-high, adalah “to some extend, film itu harus literal, ga bisa segalanya mesti sesuatu yang kita simpulkan terlebih dahulu tapi ga bisa kita rasakan langsung pas nonton. Bayangin nanti pas lagi screening terus semua pertanyaan dijawab sama sutradaranya ‘itu semua kembali ke interpretasi penonton masing-masing ya’, lho dia sendiri mau menyampaikan apa? Bukannya justru itu yang ingin kita diskusiin sama sutradaranya?” Tenang duy, film ini begitu literal, it is even literally verbalized.
Ponten yang sempurna rasanya sudah disematkan di buku rapor JTSDFF. Namun, satu hal yang waktu itu gak kita bahas, yang menurut gw merepresentasikan tingkat kejeniusan tertinggi dari mas Yandy, adalah kemampuan film ini untuk memverbalisasi semua unsur dalam film itu sendiri. Dengan setting yang berhasil dikembangkan oleh script dan direction mas Yandy, segala hal tentang film ini bisa terverbalisasi dengan spontan, luwes tanpa ada kecanggungan sama sekali. Tapi hal ini ga bisa gw elaborasi lebih jauh karena sangat berpotensi tinggi akan spoiler. Yang jelas beberapa kali gw tertawa renyah tatkala menyaksikan berbagai bentuk verbalisasi yang ngebuat gw berpikir “anjir, ini pikiran gw dibaca?”
Terakhir, yang membuat gw merasa bahwa mas Yandy ga hanya sekedar jenius tapi juga bijak adalah ketika pada akhirnya film ini memfasilitasi kita untuk memahami bahwa jatuh cinta yang relevan adalah jatuh cinta yang disampaikan dengan sederhana. Pada akhirnya, segala kemegahan teknik-teknik sinematografi yang telah diverbalisasi oleh mas Yandy itu justru dilunturkan sepenuhnya oleh dirinya sendiri. Seolah-olah dirinya bertutur bahwa “i could do everything perfectly, but eventually it doesn’t matter at all” (beda banget sama gw yang akan tetap berprinsip “I have to do everything perfectly, because that’s the only one matters”). Gw gak akan pernah paham meditasi yang telah mas Yandy lakukan, Nirvana apa yang telah ia capai atau justru tragedi apa yang pernah ia alami hingga bisa sebijak dan sejenius itu menyampaikan premis mengeni jatuh cinta. (dan ini adalah sesuatu yang ingin gw tanyakan ke beliau secara langsung).
Mas Yandi pada akhirnya berhasil untuk mengingatkan kembali kepada kita bagaimana untuk jatuh cinta, atau mengekspreksikan berbagai emosi lainnya, dengan cara yang sepatutnya: TIDAK seperti di film-film. Untuk selanjutnya, mungkin akan sangat spoiler jadi ya kalau belum tonton, tonton segera sebelum membaca. [SPOILER ALERT]
Satu hal yang paling bikin gw tertegun adalah karena keunikan film ini untuk memverbalisasi segala hal dengan luwes. Cuma film begini rasanya yang bisa melakukannya se-luwes ini. Contoh yang paling nyata betul gw rasain adalah pada scene ketika bertengkar di rumah makan padang. Di sesi pertama: ketika Bagus dan Hana masih diperankan Ringgo dan Nirzub. Gw ngerasa pertengkarannya begitu unik, dengan close up bolak balik yang bikin pertengkarannya terasa intens. Eh terus langsung dilanjutin suara produser sampahnya: 'nah ini unik pertengkarannya gus' Belum sampai di situ. Lanjut lagi scene ini direka ulang ketika Hana dan Bagus dilakoni sama Julie Estelle dan Dion. Scene yang kedua dilakoni Julie Estelle dengan lebih lempeng dan ga dibuat close up bolak balik. Sedangkan isinya ya si Bagus versi Asli (tapi ga asli) ngeliatin si Hana di layar director-nya secara menyeluruh. Di scene itu ga ada Bagusnya sama sekali. pure Hana. Gw mikir 'oh ini si Bagusnya lagi beneran mau coba peka kali ya, bener2 berpusat pada Hana aja tanpa ada Bagusnya. Gak kayak scene pertama pas Bagus masih egois. eh tapi... sebenernya emang lebih jujur kayak gini, tapi jujur lebih keren (secara sinematografi) scene yang awal, yang close up bolak balik'. Pas lagi mikir gitu tiba-tiba nanti ada si Produser Kreatif yang ngomong 'eh bakal keren ni kalau banyak shoot close up nya, nanti bakal close up satu-satu set set set'. LHA GUE JUGA BARU MIKIR GITU BU. ini film bisa baca pikiran gue ya? banyak banget bentuk verbalisasinya. Misal 'ini Bagus sok2an baek tapi sebenernya jahat juga ya, dia masih berduka cuk'. Nanti itu diomongin sama Julie dan Dion. Atau misalnya, 'ini bukannya Bagus keknya' yang punya kognitif eror. Nanti diverbalkan dengan gamblang "bukan kamu yang punya false belief, Na. Gw". Bahkan bentuk verbalisasi yang nunjukin suatu scene itu merupakan titik terendah dengan cara yang super gamblang nulis 'breaking point'. Cuma bisa ketawa deh ngeliatin proses segara verbalisasi ini. Satu bentuk momen "anjir pikiran gw dibaca deh" lainnya adalah ketika scene pertengkaran antara Bagus dan Hana pas scriptnya ketahuan. Gw mikir, ini oke, bagus, intens tapi seperti ada yang off. Kayaknya kok si Hana agak kurang pas ya tiba2 cara berantemnya kayak gini. Agak sedikit Out of Character. SAMPAI PADA AKHIRNYA PAS SEQUENCE TERAKHIR: "Ya gue marah, tapi marah emangnya mesti ngamuk-ngamuk kayak gini?" "Marah kalau di film tu gini, ya ngamuk-ngamuk terus ngeluarin kata-kata yang bagus kayak gitu tu@
Lha pantesan gw ngerasa Hana itu Out of Character. Itu tertanya penghayatannya Bagus terhadap Hana bila Hana dihadapkan sama situasi itu. Keren banget deh sumpah. Foreshadowing di film ini luar biasa. Ada istilah namanya Chekhov's gun, yang analoginya. Kalau di film itu ada scene seseorang ngegantungin pistol, ya pistolnya harus beneran dipake. Scene itu ga boleh kebuang aja. harus ada tujuannya. Itu tu film ini banget. Misal, pas banyak adegan ngambil mie instan berkali-kali, yang salah satu metafor karena di scene itu si Bagus mesti nyelesaiin secara instan filmnya, dan nunjukin kalau orang makan mi instan mulu tu berarti si orang itu bener2 lagi diburu2 deadline banget. Eh terus berikutnya langsung ada scene Bagus masuk rumah sakit karena makan mie instan (ceritanya). Jadi berhubungan banget sama scene sebelumnya. Ga misal ujug2 sakit karena apa gitu. Dan si Chekhov's gun diulang berulang-ulang terutama untuk menyajikan humor yang cerdas. Contohnya: "baju saya udah keujanan lagi deh", terus nanti ada si Dion "eh baju yang dijemur belum kering ya". Ngomongin Film adaptasi "Terlahir Kembali, Reborn" (yup namanya aja udah jenaka. yang bentuknya trilogi. Nanti diliatin di berbagai adegan kalau si Bagus pakai Baju Terlahir Kembali, Reborn beserta dengan berbagai versi sequelnya. Yang nanti si sequel ini jadi epiphany-nya si Bagus. Perfect. Jokes tentang sutradara baru yang tiba2 pergi ga ada alasan jadi foreshadow untuk tingkah Bagus yang serupa. Bahkan jokes tentang Asisten sutradara yang pusing pingin kopi, Ditawarin sama crew teh apa kopi, padahal airnya ga ada. IYA KITA TAHU AIRNYA GA ADA KARENA SI AGUS BAWA BELASAN GALON KALIAN. ini menurut gw humornya jadi lebih bikin ngakak lagi. Kalau ga ada adegan motor galon yang kita tahu bakal dibawa, ya udah jokes itu cuma bakal jadi sekadar jokes. Di sini semua line itu bener2 penting. keren banget deh. Tapi poin terakhirnya tu beneran tamparan sih. Untuk mengungkapkan emosi apa adanya. Scene ketika Bagus di kehidupan nyata (yang paling nyata) ngungkapin perasaan aslinya itu bener2 ga ada teknik sinematografi apapun. FLAT. ga ada romantisasi seperti di film-film. Ya Close up shot lah, ya scoring yang mendadak berubah-ubah, ga ada kata-kata bak pujangga dari bagusnya. bener-bener flat di ruangan yang berantakan. Gw lagi mikir, "eh ya gini ya harusnya jatuh cinta, ga usah pakai banyak gimmick". DAN LAGI-LAGI langsung diverbalisasikan oleh nirzub di dialognya. Udah deh nyerah, bener2 ditelanjangi pikiran gw. Ga cuma jatuh cinta. berduka yang dramatis tapi sebenernya ga natural. Marah yang bagus tapi out of character. Itu semua diomongin di akhir. Bukan gitu cara lo berekspresi di dunia nyata, ga kayak di film yang cuma ada di pikiran sempit seorang pembuat film. Tampak familiar? Ya bener... itu adalah salah satu dialognya Hana pas lagi berantem. Kombinasi antara verbalisasi dan Chekhov's gun. Tapi yang menariknya adalah ga semua yang diverbalkan itu jadi nyata. Misalnya diverbalisasikan kalau scene hitam putih itu karena Hana lagi berduka. Tapi menurut gw pribadi, hitam putih itu menunjukan kondisi di dunia film. yang walau sinematografinya megah, tapi ga ada emosinya, dan cenderung ngelihat sesuatu hitam dan putih. Tapi scene berwarna adalah scene real life, yang meski sederhana tapi itulah emosi yang sesungguhnya dapat terlihat. Sungguh pingin menjaga film ini jangan sampai dimuseumkan ke British Museum. Bener-bener harta karun negara! Genius sekaligus Genuine.
0 notes
Text
Ruang angkasa bukanlah sekadar hamparan kosong yang sangat luas belaka, melainkan, seperti lembaran kain trampoline yang dapat meregang dan terpilin. Benda-benda masif seperti planet, bintang-bintang dan Matahari kita, berada di atas selembar kain yang bisa ditekuk, seperti bola bowling yang menciptakan lekukan diatas kain trampoline. Semakin masif suatu objek, semakin dalam lekukannya.
—Narasi Semesta
Part 01 | Eps 02
#physics#stargazing#cosmos#universe#history#philosophy#science#general relativity#albert einstein#space#time#gravity falls
1 note
·
View note
Text
Happy birthday!
@terpilin 🥳🥳🥳🥳🥳🥳
6 notes
·
View notes
Text
Terima kasih atas beragam arti, yang menyelinap dalam relung tak tersadari. Selembut kapas sekuat baja, terpilin lekat tak mampu pergi. Serangkaian kebetulan tak tercegah, mengukir senyum sepanjang hari, kala itu.
Kita sempat di sana, kita mengalaminya. Layaknya dua orang yang hilang akal, terbenam oleh candu imajinasi yang kita yakini sebagai fakta. Dengan sadar menusuk belati ke lubuk dalam-dalam sambil tertawa. Kita terbius dalam dosis rasa tak terhingga.
Sayangnya, waktu punya kuasanya sendiri, melenyapkan harap menjadi memori. Menerbangkan hadir menjadi pergi. Tanpa ada kata kembali. Kita ternyata bukan abadi. Namun, aku masih dan selalu di sini.
Entah kini atau nanti, tak ada ruang bernama benci. Walau semesta berputar sesuka hati. Aku menyadari. Kita adalah aksara tanpa kata, bukan frasa dalam balada.
2 notes
·
View notes
Text
21 notes
·
View notes
Text
i drew chubby lich specially for my frien :) @terpilin
11 notes
·
View notes
Text
Jemariku Penuh Tinta dan Luka.
Akan aku tulis, sebelum kurobek kertasku. Aku penulis, bukan, aku pengelana dengan lara atas nama rasa yang terbalut asa.
Sepercik api yang kian membara. Membakar habis yang namanya renjana.
Lari, adalah semua yang aku tahu. Saat kulitku kian hari teriris sembilu. Apakah aku hidup atau mati?
Tidak.
Aku berdiri mendekati jurang kenestapaan. Semua aksara untuk mengimortalkan.
Sampai kapan? Aku kerap bertanya-tanya.
Lantas mengapa? Lagi-lagi tanyaku penuh dengan duka.
Pantaskah saya?
Kini tanya itu tenggelam dalam keheningan berkepanjangan.
Kini diksiku tak lagi berupa realita yang terpilin menjadi kata-kata.
Hidupku berada dalam stagnasi yang kupikir aku sedang lupa diri.
Angan-angan akan segera berakhir dengan penyesalan. Izinkan aku untuk merengkuhmu sekali lagi, sebelum kutulis namamu dalam keabadian.
“Aku mengabadikanmu pada puisi, memetaforkan rasa pada baris-baris kata.”
Aku,
Yang pernah menamai diriku Sierra Jacqueline Gauthier.
5 notes
·
View notes
Text
"Apakah kamu bahagia (ridho) dengan hidupmu?"
"Apakah orang-orang bahagia dengan keberadaanmu?"
Sekiranya pertanyaan ini diajukan ketika kita sudah meninggalkan dunia, dan jawaban dari itu semua adalah iya, apakah kita boleh melanjutkan kebahagiaan hidup dalam dimensi yang abadi?
Semua orang pasti akan menemui yang namanya kematian. Tapi hanya segelintir orang yang mampu mempersiapkan diri untuk menyambut kematian tersebut.
Baik dengan cara menuntaskan segala tugas dan janji, menciptakan momen atau interaksi terbaik dengan orang² sekeliling, meletakkan pijakan warisan kebaikan yang harum semerbaknya senantiasa dikenang zaman, atau sebatas menjemput kematian tersebut dengan senyum yang mengembang.
Sejarah telah memberi kabar, tentang manusia-manusia terpilih yang melakukan hal tersebut. Dan mereka adalah orang-orang yang memahat iman dengan sangat kokoh dalam hatinya. Tidak goyah dengan jerat tipu daya syaithan, dan tidak tergelincir dengan jebakan dari pesona dunia yang fana.
Membaca alur hidup mereka membuat berpikir keras, mengernyitkan kening, hingga terpukau tak habis pikir.
Apakah harus sebegitunya ya untuk menjemput kematian yang indah. Apakah mereka benar-benar manusia, kenapa kuat dan teguh sekali melakoni peran kehidupan ini? Apakah tak ada celah bagi hawa nafsu untuk menguasai mereka?
Bolehkah ada kesempatan bagi aku yang hanya berperan sebagai figuran, itupun masih banyak lalai?
Kematian pasti, tapi tidak ada yang tahu kapan akan menghampiri.
Seakan hari-hari yang dijalani dalam hidup ini selayaknya digunakan untuk mempersiapkan kematian yang diharapkan. Diantar oleh keridhaan dari orang-orang tersayang. Dilangitkan doa kebaikan dari mereka yang hari ini tak kita kenal.
Betapa cerdas orang-orang yang menjalani kehidupan dengan berorientasikan pada kematian. Ia percaya bahwa kebaikan, sesederhana apapun yang dilakukan akan menjadi cahaya kelak di kuburan.
Ia percaya bahwa marah yang hari ini diredam, akan menjelma menjadi rumah di tengah Surga. Ia percaya bahwa persaudaraan yang dijalin akan berbuah menjadi doa baik yang terpilin.
Hingga kelak waktu untuk menutup mata tiba, dan liang lahat digali oleh sanak saudara, dari situ dimulai babak baru kehidupan selanjutnya.
Ialah rumah bagi kita hingga sangkakala mengalami tiupan yang kedua. Dan semoga kelak ia adalah tempat yang bermandikan cahaya, terasa luas nan lapang dan menjadi bagian dari taman-taman Surga.
Ya Rabb, meskipun hari ini kami masih bersimbah salah dan dosa. Semoga di akhir hidup kami, mampu memahat senyum bahagia :""
3 notes
·
View notes
Text
yang tak bertulang
Julit. Sungguh aku adalah orang yang julit. Percaya atau tidak, julitku adalah sarana untuk aku menjadi dekat dan melembut dengan seseorang. Menjadikan suasana cair. Membuat tembok-tembok canggung itu meruntuh. Tentu dengan julit yang ada batasnya. Ada perhitungannya. Apalagi dalam dunia brotherhood, ya itu adalah perajut ukhuwah.
Namun tentu perlu hati-hati pada yang berlebihan dan terlewat batas. Bukan-bukan ukhuwah yang terjalin malah zhalim yang terpilin. Membuat hubungan menjadi renggang. Membuat ikatan menjadi melemah.
Lisan, ya tentu ini lah yang menjadi poin utamanya. Menjaganya memangnya susah. Sungguh lidah tak bertulang, maka mudahlah ia melukai hati, rentanlah ia menyakiti. Menjaganya seperti menghijabinya dengan pembatas.
Adalah dzikir yang seharusnya menjadi buah dari lisan. Apa yang terlepas darinya harusnya adalah tentang apa yang banyak kau pikirkan. Jagalah ia, perhatikanlah ia.
3 notes
·
View notes