Tumgik
samjunanto · 10 months
Text
Tumblr media
Selumbari, gw dan sinefil kebanggaan gw, @aduyahud, baru saja membicarakan mengenai apa saja unsur-unsur yang perlu dikembangkan oleh sutradara agar bisa menjadikan sebuah film sebagai sebuah mahakarya. Dan dengan ini, gw mantap memberikan ponten sempurna terhadap Jatuh Cinta Seperti di Film-Film (JTSDFF).
Genuine dan Genius rasanya adalah dua kata yang tepat untuk merangkum komentar gw akan film ini. Yandy Laurens mampu mengemas film ini hingga dapat memuaskan insting dan hasrat para penikmat film, khususnya gw, secara kognitif dan emosional.
Film ini begitu genuine. Sebagai sebuah rom-com, plot yang disajikan begitu tulus dan apa-adanya, bak seutas benang yang terpilin dengan rapi, hingga mudah untuk “berosmosis” ke dalam sukma para penontonnya karena begitu relevan dengan kehidupan sehari-hari. Gw pribadi, ketika menikmati film romance, akan menilai bagaimana film tersebut menyajikan premis/konsep tentang cinta, relasi dan romansa itu sendiri. Semakin sepaham dengan kita, semakin mudah kita untuk jatuh cinta dengan film tersebut. Hal ini akan gw elaborasi lebih lanjut di belakang.
Genius adalah istilah yang rasanya masih merendahkan kemampuan otak mas Yandy dalam menulis dan men-direct film ini. Kesederhanaan benang tadi berhasil dirajut dengan begitu teliti dan presisi sedemikian sehingga menghasilkan gaun yang begitu megah. Plot-line yang kemudian disulam dengan elok, ke kanan, ke kiri, naik, turun, keluar, ke dalam, berhasil menjadikan film ini menjadi suatu meta-movies berlapis-lapis dengan segala foreshadowing dan Chekhov's gun-nya.
This is how i Imagine what Nolan would’ve done, should he’d made a Romance. (sorry Nolan, Laurens got it first). Kendati demikian, berbeda dengan gaya Nolan yang intens dalam menonjolkan kemahirannya bermain alur, (apalagi Tenet yang rasanya terlalu ambisius dijungkirbalikan hingga jadinya kureng, bikin bingung dan ga nyampe apa yang mau disajikan), film ini diracik dengan tetap mempertahankan kesederhanaannya, hingga pelintiran alur yang ada hanya memperkaya rasa dari cerita yang sudah manis dan hangat. Pas.
Mari kita tilik kembali pembicaraan gw dengan aduy selumbari malam. Ketimbang suatu pembicaraan, sebenarnya lebih banyak peran aduy untuk mengulas apa sih yang penting bagi sebuah film untuk jadi mahakarya, dan gw hanya sekadar memvalidasinya.
Satu hal yang kita bahas, rasanya sebuah film tidak usah terlalu ambisius, memasukan segala isu moral hingga akhirnya film tersebut terlalu bercabang, namun tidak ada yang tuntas dan malah menjadi antiklimaks. Film ini simpel, yang ingin disampaikan hanya satu dan sudah disampaikan di tajuknya: Jatuh Cinta seperti di Film-Film. Tema ini begitu konsisten dan kerap diingatkan ulang dalam tiap sequence-nya. Kritik dan satir mengenai dunia perfilman, yang penuh dengan gimmick, diselipkan dengan rapi tanpa mengkontaminasi keutuhan tema dalam film ini. 
Hal lainnya adalah tentang penokohan. Film yang legenda adalah ketika karakternya begitu kuat dan tergambar jelas. Ga usah bikin karakter yang ngoyo-ngoyo kalau pada akhirnya justru jadi loyo, dan membuat kita gak kenal dengan siapa sih dia. Misal, karakter Rangga dan Cinta di AADC ya jelas akan abadi karena kita tidak akan pernah terasa asing dengan pribadi mereka serta segala character development-nya. Betul, semua hal itu menjadi tanggung jawab besar aktor/aktrisnya, tapi hanya dengan sentuhan sutradara yang baik yang berhasil mengoptimalkan potensi aktor/aktrisnya, yang mampu membuat karakter itu benar-benar terbentuk dan bisa melekat di hati penontonnya. Jadi inget video mas Riri Reza Riza yang ngomong kurang lebih “Ya ini lah akting, akting itu ga pernah bicara tentang teknis, tentang air mata keluar dari kiri atau kanan”. Jleb.
Aduy juga berpetuah. “Unsur musik tu penting banget tahu. Ga bisa film tu terasa kering tanpa suara”. Ini adalah salah satu ceklis dengan nilai rata kanan yang perlu gw tonjolkan. Terima kasih banget teh Yura Yunani Yunita dan suami telah menyuguhkan telinga kita dengan keindahannya suaranya. Selain itu, penempatan scoring yang jitu bener-bener mempertegas nuansa emosi yang ada dalam film ini hingga kita mudah terlarut dalam menyerap serta mengenali segala sentimennya. Sometimes, the silence is even heard louder. Memang lain dengan Zimmer yang intens, tapi tujuannya sama-sama tercapai. Lagi-lagi Yandy Laurens berhasil unjuk gigi bahwa dirinya punya kemampuan setara dengan Nolan, namun dengan karakter yang bertolak belakang.
Celotehan Aduy lainnya, yang ia sampaikan bak lagi nge-high, adalah “to some extend, film itu harus literal, ga bisa segalanya mesti sesuatu yang kita simpulkan terlebih dahulu tapi ga bisa kita rasakan langsung pas nonton. Bayangin nanti pas lagi screening terus semua pertanyaan dijawab sama sutradaranya ‘itu semua kembali ke interpretasi penonton masing-masing ya’, lho dia sendiri mau menyampaikan apa? Bukannya justru itu yang ingin kita diskusiin sama sutradaranya?” Tenang duy, film ini begitu literal, it is even literally verbalized.
Ponten yang sempurna rasanya sudah disematkan di buku rapor JTSDFF. Namun, satu hal yang waktu itu gak kita bahas, yang menurut gw merepresentasikan tingkat kejeniusan tertinggi dari mas Yandy, adalah kemampuan film ini untuk memverbalisasi semua unsur dalam film itu sendiri. Dengan setting yang berhasil dikembangkan oleh script dan direction mas Yandy, segala hal tentang film ini bisa terverbalisasi dengan spontan, luwes tanpa ada kecanggungan sama sekali. Tapi hal ini ga bisa gw elaborasi lebih jauh karena sangat berpotensi tinggi akan spoiler. Yang jelas beberapa kali gw tertawa renyah tatkala menyaksikan berbagai bentuk verbalisasi yang ngebuat gw berpikir “anjir, ini pikiran gw dibaca?”
Terakhir, yang membuat gw merasa bahwa mas Yandy ga hanya sekedar jenius tapi juga bijak adalah ketika pada akhirnya film ini memfasilitasi kita untuk memahami bahwa jatuh cinta yang relevan adalah jatuh cinta yang disampaikan dengan sederhana. Pada akhirnya, segala kemegahan teknik-teknik sinematografi yang telah diverbalisasi oleh mas Yandy itu justru dilunturkan sepenuhnya oleh dirinya sendiri. Seolah-olah dirinya bertutur bahwa “i could do everything perfectly, but eventually it doesn’t matter at all” (beda banget sama gw yang akan tetap berprinsip “I have to do everything perfectly, because that’s the only one matters”). Gw gak akan pernah paham meditasi yang telah mas Yandy lakukan, Nirvana apa yang telah ia capai atau justru tragedi apa yang pernah ia alami hingga bisa sebijak dan sejenius itu menyampaikan premis mengeni jatuh cinta. (dan ini adalah sesuatu yang ingin gw tanyakan ke beliau secara langsung).
Mas Yandi pada akhirnya berhasil untuk mengingatkan kembali kepada kita bagaimana untuk jatuh cinta, atau mengekspreksikan berbagai emosi lainnya, dengan cara yang sepatutnya: TIDAK seperti di film-film. Untuk selanjutnya, mungkin akan sangat spoiler jadi ya kalau belum tonton, tonton segera sebelum membaca. [SPOILER ALERT]
Satu hal yang paling bikin gw tertegun adalah karena keunikan film ini untuk memverbalisasi segala hal dengan luwes. Cuma film begini rasanya yang bisa melakukannya se-luwes ini. Contoh yang paling nyata betul gw rasain adalah pada scene ketika bertengkar di rumah makan padang. Di sesi pertama: ketika Bagus dan Hana masih diperankan Ringgo dan Nirzub. Gw ngerasa pertengkarannya begitu unik, dengan close up bolak balik yang bikin pertengkarannya terasa intens. Eh terus langsung dilanjutin suara produser sampahnya: 'nah ini unik pertengkarannya gus' Belum sampai di situ. Lanjut lagi scene ini direka ulang ketika Hana dan Bagus dilakoni sama Julie Estelle dan Dion. Scene yang kedua dilakoni Julie Estelle dengan lebih lempeng dan ga dibuat close up bolak balik. Sedangkan isinya ya si Bagus versi Asli (tapi ga asli) ngeliatin si Hana di layar director-nya secara menyeluruh. Di scene itu ga ada Bagusnya sama sekali. pure Hana. Gw mikir 'oh ini si Bagusnya lagi beneran mau coba peka kali ya, bener2 berpusat pada Hana aja tanpa ada Bagusnya. Gak kayak scene pertama pas Bagus masih egois. eh tapi... sebenernya emang lebih jujur kayak gini, tapi jujur lebih keren (secara sinematografi) scene yang awal, yang close up bolak balik'. Pas lagi mikir gitu tiba-tiba nanti ada si Produser Kreatif yang ngomong 'eh bakal keren ni kalau banyak shoot close up nya, nanti bakal close up satu-satu set set set'. LHA GUE JUGA BARU MIKIR GITU BU. ini film bisa baca pikiran gue ya? banyak banget bentuk verbalisasinya. Misal 'ini Bagus sok2an baek tapi sebenernya jahat juga ya, dia masih berduka cuk'. Nanti itu diomongin sama Julie dan Dion. Atau misalnya, 'ini bukannya Bagus keknya' yang punya kognitif eror. Nanti diverbalkan dengan gamblang "bukan kamu yang punya false belief, Na. Gw". Bahkan bentuk verbalisasi yang nunjukin suatu scene itu merupakan titik terendah dengan cara yang super gamblang nulis 'breaking point'. Cuma bisa ketawa deh ngeliatin proses segara verbalisasi ini. Satu bentuk momen "anjir pikiran gw dibaca deh" lainnya adalah ketika scene pertengkaran antara Bagus dan Hana pas scriptnya ketahuan. Gw mikir, ini oke, bagus, intens tapi seperti ada yang off. Kayaknya kok si Hana agak kurang pas ya tiba2 cara berantemnya kayak gini. Agak sedikit Out of Character. SAMPAI PADA AKHIRNYA PAS SEQUENCE TERAKHIR: "Ya gue marah, tapi marah emangnya mesti ngamuk-ngamuk kayak gini?" "Marah kalau di film tu gini, ya ngamuk-ngamuk terus ngeluarin kata-kata yang bagus kayak gitu tu@
Lha pantesan gw ngerasa Hana itu Out of Character. Itu tertanya penghayatannya Bagus terhadap Hana bila Hana dihadapkan sama situasi itu. Keren banget deh sumpah. Foreshadowing di film ini luar biasa. Ada istilah namanya Chekhov's gun, yang analoginya. Kalau di film itu ada scene seseorang ngegantungin pistol, ya pistolnya harus beneran dipake. Scene itu ga boleh kebuang aja. harus ada tujuannya. Itu tu film ini banget. Misal, pas banyak adegan ngambil mie instan berkali-kali, yang salah satu metafor karena di scene itu si Bagus mesti nyelesaiin secara instan filmnya, dan nunjukin kalau orang makan mi instan mulu tu berarti si orang itu bener2 lagi diburu2 deadline banget. Eh terus berikutnya langsung ada scene Bagus masuk rumah sakit karena makan mie instan (ceritanya). Jadi berhubungan banget sama scene sebelumnya. Ga misal ujug2 sakit karena apa gitu. Dan si Chekhov's gun diulang berulang-ulang terutama untuk menyajikan humor yang cerdas. Contohnya: "baju saya udah keujanan lagi deh", terus nanti ada si Dion "eh baju yang dijemur belum kering ya". Ngomongin Film adaptasi "Terlahir Kembali, Reborn" (yup namanya aja udah jenaka. yang bentuknya trilogi. Nanti diliatin di berbagai adegan kalau si Bagus pakai Baju Terlahir Kembali, Reborn beserta dengan berbagai versi sequelnya. Yang nanti si sequel ini jadi epiphany-nya si Bagus. Perfect. Jokes tentang sutradara baru yang tiba2 pergi ga ada alasan jadi foreshadow untuk tingkah Bagus yang serupa. Bahkan jokes tentang Asisten sutradara yang pusing pingin kopi, Ditawarin sama crew teh apa kopi, padahal airnya ga ada. IYA KITA TAHU AIRNYA GA ADA KARENA SI AGUS BAWA BELASAN GALON KALIAN. ini menurut gw humornya jadi lebih bikin ngakak lagi. Kalau ga ada adegan motor galon yang kita tahu bakal dibawa, ya udah jokes itu cuma bakal jadi sekadar jokes. Di sini semua line itu bener2 penting. keren banget deh. Tapi poin terakhirnya tu beneran tamparan sih. Untuk mengungkapkan emosi apa adanya. Scene ketika Bagus di kehidupan nyata (yang paling nyata) ngungkapin perasaan aslinya itu bener2 ga ada teknik sinematografi apapun. FLAT. ga ada romantisasi seperti di film-film. Ya Close up shot lah, ya scoring yang mendadak berubah-ubah, ga ada kata-kata bak pujangga dari bagusnya. bener-bener flat di ruangan yang berantakan. Gw lagi mikir, "eh ya gini ya harusnya jatuh cinta, ga usah pakai banyak gimmick". DAN LAGI-LAGI langsung diverbalisasikan oleh nirzub di dialognya. Udah deh nyerah, bener2 ditelanjangi pikiran gw. Ga cuma jatuh cinta. berduka yang dramatis tapi sebenernya ga natural. Marah yang bagus tapi out of character. Itu semua diomongin di akhir. Bukan gitu cara lo berekspresi di dunia nyata, ga kayak di film yang cuma ada di pikiran sempit seorang pembuat film. Tampak familiar? Ya bener... itu adalah salah satu dialognya Hana pas lagi berantem. Kombinasi antara verbalisasi dan Chekhov's gun. Tapi yang menariknya adalah ga semua yang diverbalkan itu jadi nyata. Misalnya diverbalisasikan kalau scene hitam putih itu karena Hana lagi berduka. Tapi menurut gw pribadi, hitam putih itu menunjukan kondisi di dunia film. yang walau sinematografinya megah, tapi ga ada emosinya, dan cenderung ngelihat sesuatu hitam dan putih. Tapi scene berwarna adalah scene real life, yang meski sederhana tapi itulah emosi yang sesungguhnya dapat terlihat. Sungguh pingin menjaga film ini jangan sampai dimuseumkan ke British Museum. Bener-bener harta karun negara! Genius sekaligus Genuine.
0 notes
samjunanto · 3 years
Photo
Tumblr media Tumblr media
It’s been three years since I learned deeper about psychiatry and six months since I wore this green badge. I must say that the journey was not simple and painless, it’s never meant to be that. I struggled through it with much effort, especially for the last few months. I’d even written some narcissistic and so-called poetic stuff three years back then, hoping it would ignite some sparks should I face some impasse. It doesn’t work anyway, lol. This is the said posting:   https://samjunanto.tumblr.com/post/181585581553/the-passionate-psychiatrist-wannabe
In my experience, however, the pilgrimage to be a prominent psychiatrist is never a journey toward somewhere or to get something. It is a journey toward within, instead. One should look into the abyss of the self to accept something inherently unalterable (a.k.a resistantly alterable). By relating to the patients, we are relating to ourselves. Sometimes, it touches some sides that we fervently and unconsciously avoid. Inversely, by fathoming to our self deeper and being secure with what we are, we could relate to the patient better. Ergo, we could be an adept therapist. Because, no matter what technique you use, no matter how great you perform it, it all becomes futile if we cannot build a unique and meaningful relationship with the patients. Have I become a better person after being in this residency? I am not sure. Since I keep avoiding it. I am not even sure why, what and whom I avoid to. I am adamantly and pathetically resistant as my heart keeps oscillating hitherto between the eagerness to be better and the reluctance to change. Not only do I volatilize my past self, whence I started this odyssey, but I also jeopardize the rest of it. Since what I face onward is something that is indeed more painful and challenging. Therefore, by the power vested in that origami bird, I hope I could soar higher, and dive deeper into whatever journey lay ahead. In my erstwhile stated postings, I wrote: “my fondness toward the psychiatry grows from merely admiring it cognitively, into loving it emotionally”. I thought it might not necessarily be true. Until now, I might have learnt an astronomical amount of knowledge, albeit I might have not learnt to conquer my rage, my morose, my doubts, my dismissing habit and whatnot, emotionally. The last picture of this posting depicts my favourite quote from my favourite trilogy. I hope I could not only soar higher but also, I could know myself better. Not sure, though. Lol. (lha jadi nulis ini buat apaan?)
1 note · View note
samjunanto · 5 years
Text
Splitting
Lagi-lagi seorang Samjunanto ini ingin berbagi mengenai pengetahuannya yang masih seumur jagung di dunia psikiatri ini. Kenapa gw saat ini ingin berbagi, karena gw yakin sebagian dari kita merasa jengah dengan perhelatan akbar kedua terbesar di bulan April nanti. Maaf, tapi ini memang bukan tentang Endgame, You know that Endgame is the first one, akan tetapi mengenai pertikaian politik yang kita nanti-nantikan untuk segera berakhir (dan jelas ini bukan tentang Game of Thrones, karena umat manusia justru mungkin berduka karena GoT akan segera berakhir).
Yang ingin gw sampaikan adalah kesedihan gw ketika pesta politik yang harusnya membuat rakyat Indonesia benar-benar berpesta dan berbahagia dalam kembang api demokrasi yang ceria, justru menjadi momen yang membuat rakyat Indonesia menggerutu dan merasa muak. Lebih dari itu, Era pemilihan ini juga memaksa kita untuk menggunakan suatu mekanisme pertahanan ego yang sangat imatur, yaitu splitting.
Di sini gw akan mencoba berbagi pengetahuan gw yang sangat superficial mengenai apa itu splitting, dan betapa penggunaan splitting itu menunjukan bahwa mental kita tidak sehat, dan kenapa kita harusnya aware akan hal ini hingga akhirnya kita berusaha untuk tidak menggunakan hal ini sama sekali. Sebelum sampai situ mungkin gw harus menjelaskan sedikit mengenai mekanisme pertahanan ego atau lebih beken dikenal sebagai defense mechanism. Defense mechanism adalah suatu mekanisme alam bawah sadar yang kita lakukan agar Self (gw saat ini belum tahu padanan kata bahasa Indonesia yang tepat untuk ‘self’) kita tidak retak dan rusak hingga akhirnya kita jatuh pada kondisi psikopatologis. Tapi mekanisme pertahanan itu tidak selamanya baik, dalam usaha untuk mempertahankan keutuhan Self kita, seringkali kita menggunakan mekanisme pertahanan yang imatur dan tidak sehat. Contohnya adalah denial atau penyangkalan. Ketika ada peristiwa yang sangat menyakitkan hati kita, untuk mempertahankan keutuhan Self kita, Ego kita akan membuat penyangkalan bahwa peristiwa menyedihkan itu seakan-akan tidak pernah ada, itulah denial. Tapi denial itu bukanlah salah satu contoh mekanisme pertahanan yang matur dan mungkin akan dilakukan pada orang-orang yang secara kejiwaan belum cukup matang dan dewasa.
Splitting pun juga bukan  mekanisme pertahanan yang baik. Namun, sebelum bicara splitting, mau tidak mau gw harus sedikit bercerita tentang teori dari madam Melaine Klein . Seluruh psikoterapis pasti kenal dengan pelopor teori object-relation ini. Nah, oma Klein berpikir bahwa pada saat masih bayi kita sudah punya kecemasan yang berasal dari insting manusia untuk menghindari kematian. Karena si bayi masih bocah piyik, kemampuan mental dia belum cukup baik untuk mengembangkan mekanisme pertahanan yang matang bak orang dewasa yang sehat jiwanya. Karena kemampuan mental si bocah singkong masih primitif dan masih belum bisa memahami konsep tentang dunia ini dan tentang Self itu sendiri, si bocah bayi menginternalisasi hubungan dengan primary caregivernya (biasanya ibu) kedalam suatu objek (yang menurut oma Klein adalah payudara). Long story short, ibunya dicitrakan ke dalam payudara. Nah, lagi-lagi, karena ni bayi masih cupu, dan hubungan dia dengan ibunya mungkin tidak selalu baik baik saja, dia meng-“split” payudara ini menjadi Good Breast vs Bad Breast, dimana si bayi akan mendapatkan rasa nyaman dan aman dari Good Breast dan mencoba “menghancurkan” Bad breast yang menjadi ancaman bagi si bayi karena memberikan rasa cemas. Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan si bayi, “split” yang dilakukannya akan pulih, karena si bayi secara berangsur-angsur akan memahami bahwa kedua payudara itu, baik yang Bad atau Good, berasal dari satu insan yang sama, yakni ibunya. (duh, maaf banget ya kalau masih ada yang ga paham, gw juga belum se expert itu untuk menjelaskan hal ini ke dalam hal yang lebih sederhana, teori object relation dan Good Breast vs Bad Breast pun ga Cuma sebatas apa yang gw jelaskan. Lebih maaf lagi kalau ternyata pemahaman gw mengenai teori tante Klein ini ternyata keliru).
Sayang sekali, ternyata tidak semua bayi bisa melalui fase tersebut, dan akan menggunakan mekanisme pertahanan splitting ini hingga dewasa, orang-orang kurang beruntung ini yang lebih sering dikenal sebagai orang-orang dengan gangguan kepribadian ambang / borderline personality disorder. Splitting yang dimiliki oleh orang dengan gangguan kepribadiaan ambang membuat mereka meyakini bahwa dunia ini bersifat Hitam-Putih, dan seseorang hanyalah bisa memiliki satu warna. Karena memang kemampuan mental mereka tidak berfungsi dengan baik dan lebih mudah bagi mereka untuk mengkotak-kotakan manusia kedalam dua stereotype: hitam ATAU putih, tidak ada yang keduanya, tidak ada yang diantaranya. Bisa kita lihat, bahwa pada orang-orang dengan gangguan kepribadian ambang, biasanya mereka tidak mampu mempertahankan hubungan interpersonal dengan baik. Kenapa? Karena ketika mereka mencoba menjalin hubungan lebih dalam kepada seseorang (tentunya yang dikotakan sebagai Putih), akan ada suatu masa dimana seseorang ini mengecewakan dirinya. Pada saat itu, akan terjadi konflik batin pada dirinya, “kenapa orang yang Putih, bisa berperilaku Hitam”. Dan ini akan memunculkan kecemasan serta rasa yang rasa tidak nyaman, dan karena orang dengan kepribadian ambang  adalah orang yang impulsif, sering kali dia akan mencoba menyakiti dirinya sendiri untuk mencapai ketenangan jiwa (ketenangan yang fana tentunya). Gangguan kepribadian ambang menurut gw adalah salah satu gangguan mental yang sulit untuk ditangani, gw pribadi mungkin lebih prefer menangani gangguan-gangguan mental lain seperti schizophrenia daripada gangguan kepribadian ambang.
Seperti yang bisa kalian lihat, Splitting adalah suatu mekanisme pertahanan diri dengan cara memberi pandangan pada penggunananya bahwa manusia itu cuma bisa Hitam atau Putih. Orang dengan splitting tidak memahami hakikat manusia yang sebenarnya, bahwa sifat manusia berada pada spektrum warna yang luas, tidak hanya sekedar hitam dan putih, terlalu banyak zona abu-abu pada manusia. Akan tetapi, sungguh disayangkan bahwa pada pesta politik kali ini, rakyat Indonesia justru sering kali menggunakan mekanisme pertahanan ini. Kubu 01 akan menganggap calonnya putih dan melihat seluruh pendukung 02 sebagai hitam, begitupun sebaliknya. Dengan cara pandang seperti ini, segala hal yang dilakukan sang Putih, akan menjadi suci dan benar, dan segala hal yang dilakukan sang Hitam, akan selalu nista dan salah. Mari kita instropeksi lagi bahwa kedua calon tersebut sebenarnya manusia, mereka tentu bisa melakukan hal yang salah SEKALIGUS hal yang benar. Terlebih lagi, kita harus paham, bahwa mereka berdua adalah politician. Walaupun mereka berdua mungkin punya niat yang sama untuk membangun negeri, yang menjadi incaran utama mereka tentu adalah elektabilitas. Jika kalian memilih calon karena kalian merasa berada pada pihak yang sama, coba renungi lagi, karena politician mungkin tidak benar-benar berpihak pada kalian, tapi berpihak pada Elektabilitas. Jika kalian memilih Prabowo karena kalian sangat mencintai Islam, apakah benar Prabowo berada di pihak orang Islam? Begitupun sebaliknya, bagi kalian yang memuja pluralism, anti dengan mereka yang kalian cap sebagai Islam fanatic maupun Islam radikal, apakah kalian yakin bahwa Jokowi berada di pihak yang sama dengan kalian? He plays the same game, though. Jika kalian yakin bahwa calon kalian 100 persen berada di pihak kalian, hati-hati, mungkin kalian sudah mulai menggunakan mekanisme splitting. Jika kalian yakin bahwa calon kalian berada di pihak yang sama dengan kalian dan kalian juga yakin bahwa kalian tidak sedang menggunkan mekanisme splitting, hati-hati jangan-jangan kalian sedang menggunakan mekanisme Splitting DAN Denial. Dan itu yang diharapkan dari kedua kubu. Kedua kubu sama-sama memberikan teror bahwa kubu lawannya adalah kubu yang akan memberikan kehancuran pada negeri ini. Dan kita sudah muak akan hal itu. Tunjukan pada para tokoh politik ini, bahwa kita tidak akan menggunakan mekanisme splitting yang sangat primitif dan prematur itu. Buktikan bahwa kita mampu dan akan berpikir dengan dewasa dan dengan kepala dingin. With a belief, that there is no Total Evil nor Complete Saint in this world. (except Trump, Trump is hands down a lunatic heinous person)
2 notes · View notes
samjunanto · 6 years
Text
[STETHOSCOPE]
/ˈste-thə-ˌskōp also -thə-/
(n.) An instrument for performing mediate auscultation, through which respiratory, cardiac, pleural, arterial, venous, uterine, fetal, intestinal, and other internal body sounds are conveyed to the ear of the examiner; numerous different forms and sizes are available
-Dorland’s Medical Dictionary 31st Edition-
Stethoscope for me is more than just an auscultation device. Like a wand for a wizard in Potter-World, I feel like this tool did choose me as I bought it in the store (Nah, I did a thorough research before I bought it). Yet, I really have a great affinity with my own stethoscope. I spend most of my time with it every time I do my errand as a general practitioner. I bought it with my own earnings. Moreover, I cannot do examination without it, and I prefer to not use any other stethoscope.
Nevertheless, from this moment on, I might rarely use it anymore as I would live my next years as a “peculiar” physician. Rather than using a Stethoscope, I would’ve used another listening device, an intangible albeit a powerful one: An Empathy. With that, I will be listening the agony and the emptiness in my patients’ “heart” in lieu of the gallop and murmur in their actual heart.
So, Adios, my bestest partner. See you when I see you.
Plot twist: In the future, there might be a sophisticated method in psychiatric examination where the examiner literally listen the Depression through a bruit in brain’s gyrus. LOL
P.S: Since there are a lot of people asking me why I choose psychiatrist as my future career. Here’s the reason.
Tumblr media
0 notes
samjunanto · 6 years
Text
The Passionate Psychiatrist (wannabe)
Seluruh umat manusia yang mengenal saya (or at least sejak SMA sampai saat ini), pasti tahu bahwa saya sangat mengagumi ilmu psikiatri dan bercita-cita untuk menjadi psikiater. Sejak awal kuliah pun, bila ditanya “memang niatnya jadi spesialis apa?” akan selalu terlontar jawaban yang sama. Dan tak ayal, pertanyaan berikutnya akan segera muncul: “seriously? Kenapa mau jadi psikiater?”. Senyum tersimpul pada bibirku dan akan kukatakan dengan lantang: “Passion”. Dengan satu kata tersebut, pastilah menyusul pusaran pertanyaan berikutnya: “kok bisa?”, “lo yakin?”, “ga salah?”, “gimana ceritanya?”. Tapi yah mau bagaimana lagi? Namanya juga “Passion”. Sejatinya, satu kata tersebut merangkum sejumlah cerita dari belasan hidup yang telah saya alami. So be ready and let’s start unboxing THE word: “Passion”.
Tapi sebelumnya, mari kita bahas kebutuhan psikiater secara general yang mungkin akan terdengar cliche. Gangguan jiwa mungkin tidak letal bila dibandingkan dengan beberapa penyakit lain. Tapi, gangguan jiwa mampu menimbulkan hendaya yang luar biasa, tidak hanya pada sang penderita tapi juga pada orang-orang di sekitarnya yang mencintainya. Dan bila memperhitungkan stigma yang berkeliaran terkait gangguan jiwa, gangguan jiwa juga mampu membentuk dekandensi moral di masyarakat. You might not be dead by these disorders (well, actually you COULD, by having suicidal thought), but you could have been in agony for your eternity, what could’ve been worse? Tidak cuma itu, prevalensi gangguan jiwa itu cukup luas bila dibandingkan penyakit-penyakit kronis lain yang lebih umum menyerang orang tua. Sebagai orang yang bekerja di RSJ, bukan sekali dua saya menemukan pasien yang sudah mengidap gejala-gejala psikosis sejak belia. Untuk membuat hal ini menjadi lebih miris, psikiater di Indonesia hanya berjumlah sekitar 1000an. Mereka hadir untuk mengatasi masalah jiwa dari 260 juta penduduk Indonesia.  Soooooo saaaad. Apakah kini kalian terbayang betapa dibutuhkannya kehadiran lebih banyak psikiater di negeri ini?
Itulah alasan yang selalu jadi pembuka bila saya melakukan wawancara atau menulis essai formal/ semi formal. Now let’s move on to something more personal.
[WARNING FOR AN ULTRA LONG POST, I HAVE NO POTATOES]
[ALSO WARNING FOR BILINGUAL LANGUAGES]
Since long time ago, I am always into a math; not a prodigy, though. But I’ve dwelled in that world of logic and counting for straight six years since I’m 13. I could stand its complexity because it is beautiful and honest. It is intriguing because the math is both tangible and intangible at the same time. And you cannot lie or be lied by the math. It’s so pure and sincere, you cannot deny it. Notwithstanding, I was still no genius in math, and my parents and I knew that I might not be able to depend my life on it (no offense to all the math geniuses). In that moment, I learnt something new, something fascinating, and that was psychology. I found the similarity between psychology and math: both are abstract albeit well patterned. Moreover, although human mind is well patterned, each individual still has their distinctiveness. In addition, I was still a naive and reckless teen back then, I thought it would be cool, should I be able to know what is going on in someone’s mind ( the very first thing I would deny nowadays, and NO, psychiatrists is not clairvoyants) . Nevertheless, I failed to get myself into Psychology Department in Universitas Indonesia. I also failed at my second option: Medicine, in Universitas Indonesia (Putting the Psychology before the Medicine is obviously foolish. what a naive teen I was)
Begitulah sampai pada akhirnya diriku ‘terdampar’ di Kedokteran UNPAD. Awalnya tentu berat menjalani hidup sebagai mahasiswa yang mungkin tidak terlalu eager dengan pelajarannya. Tapi untungnya saya masih mencintai ilmu pengetahuan, hal ini membuat belajar kedokteran menjadi tidak se-melelahkan itu. Dan saya dulu juga sempat membaca novel Doctors karya Erich Segal. Novel itu memberi insight baru bahwa dunia kedokteran juga bisa seru, terlebih lagi tokoh utamanya juga seorang yang tidak terlalu senang di dunia kedokteran dan berakhir jadi psikiater. Honest confession: beberapa bulan lalu juga merasa relate kembali dengan novel ini karena dekat dengan mbak-mbak yang mau jadi pediatrician. Persis seperti pasangan si tokoh utama novel tersebut, LOL.
Sejak saat itulah diriku cukup menetapkan hati untuk terus berjuang sebagai seorang dokter agar bisa segera menjadi seorang psikiater. Terus kok bisa seorang Samjunanto bisa bertahan tanpa berganti-ganti pendirian? Well, no. The Samjunanto is never known for having a faithful trait. Tentunya banyak banget keraguan sampai saat ini, salah satu keraguan yang saya hadapi saat itu adalah apakah saya akan sanggup bila harus berhadapan dengan “calon klien”. Real patient, not a paper. Namun kehidupan koas jiwa yang hanya beberapa pekan memberikan jawaban yang lebih dari cukup. Memang benar, ada saja temen saya  (inisialnya R) yang ditampar oleh pasien, tapi saya tetap dapat menikmati apa yang saat itu saya jalani. Saat menjalani koas jiwa, pasien psikiatri tidak tampak menakutkan sama sekali, mereka kadang justru jujur atau terlalu jujur mengutarakan apa yang dirasakan, walau memang seringkali pasien menjadi tertutup atau manipulatif bila mereka tidak percaya dengan pemeriksa.
One of my biggest doubts came as I was struggling for National Exam for Medical Student in Indonesia. In that moment, I learnt a lot of stuff from every existing medical department and I love to be in that moment; a moment of having an astronomical amount of knowledge in my head. I am afraid, were I a psychiatrist, I should’ve let all those knowledge gone, especially Internal Medicine. Because as one could see, psychiatrist might not need that knowledge anymore: they are dealing with the Mind, not the Body. Or so I thought. Very fortunately, there came a moment of revelation, recent research found the correlations among psychiatry, neurology, endocrinology and immunology. Not to mention, there is a sub-field in psychiatry called CLP (Consultation Liaison Psychiatry), a bridge between the Body and the Mind per se. Ergo, I could still apply my knowledge as a general practitioner into my future practice.
Another doubt came regarding its development. Human mind and behavior is rather vague, it seems not feasible to have a scientific research in this field. How could one improve the diagnostic and therapeutic method regarding mental disorder since no one could “see” the disorder per se? But miracles are real, and they did come in the right moment to enlighten my naive mind. Nowadays, technology is very advanced, especially technology regarding psychiatric research. PET-Scan, fMRI, qEEG and all those sophisticated methods to “look” into someone’s mind is stunning. And I do believe that in the next hundreds years, human mind will become so tangible, one could even palpate it, or even more, modified it.
All those previously mentioned story I told you probably made you think that my intimacy to the psychiatry is all about the scientific infatuation. But no, as I stroll along the pathway toward a great psychiatrist, it also taught me something beyond understanding, it taught me to feel.  Erstwhile, I might be a pompous narcissistic person (probably i still am), yet psychiatry help me learn to be more humble, to listen more, to be more grateful, to realize that mankind is so diverse and one could earn experiences from each differences. Psychiatry is a teaching about humanity. Hence, it makes me love human-beings more, it lets me gain more insight from every human I met, and it drives me to preserve the harmony among the offspring of Sapiens. All in all, psychiatry is one of many things that help me to be a better Samjunanto. That is why my fondness toward the psychiatry grows from merely admiring it cognitively, into loving it emotionally.
Dengan dorongan itulah, pemuda ini mencoba terus dan selalu berusaha untuk menjadi psikiater yang handal. Perjuangan menjadi residen sama sekali tidak mudah, terlebih diri ini baru saja mengalami kegagalan dalam menggapai beasiswa LPDP (kalau berhasil niatnya buat tulisan tentang LPDP, tapi apa daya, lol). The abyss of despair of having a fiasco is never and would never be easy. Tapi kegagalan di LPDP ini berhasil menjadi salah satu milestone saya untuk terus berusaha. Pada akhirnya, kegagalan itu justru menjadi pelajaran bahwa ketika kita mempersiapkan diri untuk menggapai sesuatu, kita tidak hanya mempersiapkan diri untuk menang, tapi juga untuk kalah. Dan ketika saya sudah berlapang dada akan apapun hasil yang akan saya terima, justru saat itulah saya merasakan kegembiraan yang syahdu kala mendapat kabar bahwa saya diterima untuk menjadi salah satu residen psikiatri di FKUI. Thank God/Deities/Supreme Being(s)/ whomever up there my prayer always goes to.
Sungguh kisah yang jenaka. Beberapa tahun yang lalu saya gagal untuk menjadi mahasiswa psikologi maupun kedokteran di universitas jaket kuning. Kini, saya justru mampu belajar psikiatri (amalgamasi dari keduanya) di bawah panji universitas yang sama.
It, however, felt a little bit awkward. When I am usually the only one in the house who has the most passion towards psychiatry; for the next four years and many years ahead, I will be surrounded by the passionate psychiatrists, even more passionate than me.
Tentunya, ini hanya langkah kecil yang tidak bermakna mengingat masih banyak relung dan bukit perjuangan yang harus saya hadapi kelak.  Akan tetapi, tulisan ini dibuat bukan sebagai simbol kemenangan karena semuanya telah berakhir. Tetapi untuk mempersiapkan diri dan sebagai pengingat bahwa apabila di masa mendatang saya tersungkur tak berdaya, diri ini pernah sampai di tahap ini, di langkah awal ini: Ketika seorang pemuda tengah memanjatkan syukur dengan khidmat karena apa yang dicita-citakannya sedari dulu akhirnya tercapai.
Tumblr media
1 note · View note
samjunanto · 6 years
Text
Di tengah keripuhan bikin essay yang bikin insecure: tiap jam dicek lagi, edit lagi, cek lagi sampe bisa afal verbatim, dapet kabar kalau anak-anak yg diajarin ukdi kemarin lulus semua. Selalu bikin seneng sih kalau ada kabar-kabar happy kayak gini, jadi bikin kangen ngajar dan duitnya, dan agak nyesel memutuskan ga ngajar dulu buat beberapa batch ke depan. Tapi apa daya diri ini rasanya begitu ringkih pabila harus ngajar, jaga dan beberes. Semoga cepet jadi spesialis biar bisa ngajar lebih banyak dan lebih luas lagi. Amin.
0 notes
samjunanto · 7 years
Text
Villains are commonly portrayed as geniuses and mad scientists who use advanced science to take over the world. In reality, the most evil comes out of ignorance and the rejection of science.
14K notes · View notes
samjunanto · 7 years
Text
Hmmm
Are dicks commonly referred as ‘cocks’ because they are up in the morning?
2K notes · View notes
samjunanto · 7 years
Text
Maybe ‘Are You Smarter Than a 5th Grader?’ isn’t a show that displays how stupid grown adults can be, but rather, a show that depicts how much useless information we teach grade schoolers that won’t be retained or applicable later in life.
24K notes · View notes
samjunanto · 7 years
Text
I really hate how the lowercase L looks like the capital i.
4K notes · View notes
samjunanto · 7 years
Photo
Well so much relatable to me. The (un)perk of having so much fun (sad)
Tumblr media
For more content follow PSYCH2GO ¦ Check out our MAGAZINE
2K notes · View notes
samjunanto · 7 years
Text
The odds of winning the lottery is 1 in 14,000,000 but we still think we have a chance. The odds of dying in a car accident is 1 in 5000 but we think it would never happen to us
3K notes · View notes
samjunanto · 7 years
Text
Do the cars in the film Cars have car insurance or life insurance?
2K notes · View notes
samjunanto · 7 years
Text
The odds of winning the lottery is 1 in 14,000,000 but we still think we have a chance. The odds of dying in a car accident is 1 in 5000 but we think it would never happen to us
3K notes · View notes
samjunanto · 7 years
Text
E-Class 111 (the last ONE): Being the solo wanderlust is so much wander-ful
Class number one-one-and-one: what a perfect number to tell you my gratitude of having a chance to do a ONE-person-Travelling, My odyssey in Europe (a very long ago) was my very first experience to go alone in almost terra incognito place. Being anxious was indeed my biggest hindrance. But believe me, in the end, it would be paid off.
You might certainly see the similar post about solo-travelling. But this is my post, my journey, so let me tell you my perspective about the perks and good and privileges (and a little disadvantages) of Solo-travelling.
1.       No Compromising
You ARE the captain of your own boat; you even control the wind and the wave itself; you are practically the Poseidon of your voyage, unless the true Poseidon drowned you in his Tsunami (lame joke detected).
Wherever you go, just go. No need for unnecessary arguing and bargaining which might take a whole day. You win, you would feel guilty; you lose, It’s even worse. You know what you are capable for: you don’t need to take a rest due to your partner’s heels making her toe sore; you don’t need to stop because someone’s bladder is going to explode; the best part is you could just take a pause to enjoy the view and feel the breeze around you when you are terribly exhausted, whenever you like, without being somebody’s hindrance.
Want to buy some stuff? Just pick a store. Cancel your plan? Well, just undo it. Finally decide to buy it after a twelve-minute of internal conflict? No one would complain. Meeting the locals, visiting the museums, taking an eternal stroll, trying new pasta, praying in church, preaching instead, fooling around, watch striptease, or even be the stripper itself. Once again, just do it, no com-pro-mise.  
2.       Meeting more people
It’s always nice to have a partner in your expedition,someone who could immediately hear your sarcastic gag and someone who accompanies you so that you would never feel lonely. But believe me, Solo-travelling somehow paradoxically made you meet more people.  Here’s the thing: Given two choices: first, a girl, not really attractive but alone. Next, a dozen girls who are talking an unknown-Himalayan-alike language between themselves. Between whom,which one did you prefer to greet? Especially when you, yourself, are also single and lonely. Get it? Good, let’s move on.
3.       Deep conversation with stranger without no one judging you
I’ve made the certain story about this (click here). Long story short, when you are alone, you will be enforced to make some communication with a total stranger, even though as simple as asking a direction. But if you are lucky enough, you’ll get some enlightening-not-wishy-washy chat that open your mind that the world itself is so wide and wonderful. You could speak anything, because probably (just probably) you will never get to meet them again.
4.       Challenging yourself, learn anything new
You planned your itinerary perfectly, very calculating meticulous. You thought it is not without undoubt that your vacation will never stray for the blueprint you’ve made. Well, you could never be so wrong. It is obviously unavoidable that you will face some difficult or even embarrassing moments whatever perfect your plan was.
But that’s it; it is one of millions way that could upgrade yourself to be a better you. The least you could improve is your language skill; not only English, but also gesture and body language, the word that’s way more universal beyond music and Love.
And believe me, that hard moment, (if you’re still alive) would be just another story to tell. And if you are going with your friend, you might miss some opportunity to challenge yourself, especially if you’re very dependent to your buddy.
5.       Recovering your faith in humanity
This morning newspaper is telling us about evil terrorism and horrible massacre. You got bored, you scrolled your timeline and found another news about corruption and silly leader. Finally, you decide to go outside, but mommy hold you, freaking out about rape and homicide that happened nowadays around your neighborhood. We are currently living in an era when you would believe that the mankind is heinous and world is perilous. And do you think the solo-travelling will change that conviction? Well, it does, at least for me.
Like I told you before, I have faced many obstacles, but in my experiences, I almost always get helped from strangers, no matter how unfamiliar we are. I was a browned-skin Asian Moslem stranded in Europe, I was practically an alien! However, Either locals or fellow travellers, they DID help me, just sincerely helped without expecting anything from me, no matter how many differences we had. I dropped my tear, a tear full of hope, realizing that there is a chance for humanity to prevail in this world, an evil world as we thought it was.
p.s: you still need to be careful, though.
6.       Being the one who recover whomever’s faith in humanity
After restoring your faith for humanity, you would know that it would be your turn to pay it forward. When you open your eyes wider a bit, you would find there’s abundance people whom might need your help. An old lady with a terribly heavy luggage: give her a hand. The tourist guy looks confused: ask him why. A family tried to do some we-fie but they didn’t realize that ten people were just a little bit too much: offer them to take their picture. You’d get a different way of response: graceful, ignored, or doubting looks. Whatever, just do it for free then you’d realize that you just have already found another way to upgrade yourself to be a better you.
7.       Get the true ambiance of the place
If you, by any chance, know me, you would agree that I am just another negative cynical guy, exactly like Chandler from F.r.i.e.n.d.s. When I hanged out with my friend, I always threw sarcastic jokes to whatever stuff I saw. This gloomy pessimistic side of me would exactly hinder myself to see the genuine nature of the place I visited. Without any of my inner circle around me, I will stop uttering satire and start sensing the real ambiance around me: The true romance of Eifel, the real charm of Notre Dame, The honest horror of St Vitus Cathedral, the sincere innocence of Manneken Pis, the genuine beauty of Mediterranean Sea, the palpable firmness of Coliseum, and so on, you name it.
8.       Self-Reflection and meditating
By being alone, you would not look more truthfully only to the place around you, but more importantly, to the inner you. Little did i know about self-introspection nor self-motivation, but i believe that there is no other perfect environment for self-contemplating than the serene atmosphere under the pure sacred moonlight, altogether with clean European breeze. Well I am a little bit being melodramatic poet here, but it is true. Just try it.
9.       Be Grateful to what we’ve already had
After some time you’d already devoted in complete strange places, alone, you would realize that every pieces thing that you always took for granted, actually worth everything when they exist around you: Your family, your friend, your homey cooks, your easily accessible permit to pray or eat or whatnot, your own mother language, your toilet shower (really, I need it for my excreting life), your rational sensible level of spiciness (i did yearn for sambal as inflaming as they should be), The INDOMIE (yes indeed, I actually seldom eat it, but I just simply crave it when I’m abroad) and so much more. So when all of those thing gone for months, you would be the epitome of idiom “the thing you need the most, is the thing that doesn’t exist”
This is it; I’m not indebted with myself anymore. This is the end of my class. I hope there is something that you could actually learn from all this bullshit. LOL. One last advice: after going through priceless and memorable journey, it would be better if you write all of it down. I know that a picture worth thousand words,and your Instastory could best describe all the places you visited perfectly. But only through Words i could fathom the thought and the feeling of your thrilling experiences.
0 notes
samjunanto · 7 years
Text
E-Class 110: When E stands for Economy (part 2)
Oke ini postingan yang harusnya udah ga gw buat lagi, soalnya kisahnya dah lapuk dan ga seru lagi, tapi karena belakangan ini nganggur ya udah gue terusin. Lagian Draftnya udah dibuat. Daripada jadi anak yang kentang. So here we go, lanjutannya.
First thing first, sebelum ngomongin gimana caranya berhemat, alangkah lebih baik jika kita bicara tentang currency. Namanya negara Eropa, currency nya udah super kuat, jadi basically segala yang ada disana itu mahal. Jadi menurut gw kalau emang mau jalan-jalan ke negara yang currency nya kuat, jangan terlalu sering meng-convert ke Rupiah yang pada dasarnya lemah. Because believe me. If you do, you’d probably never buy anything, go anywhere and starve to death.
Kalau kita gradasi murah dan mahalnya emang agak samar, jadi kayak Cuma beda 10-20 ribu rupiah itu masih tolerable kan. Tapi disana tu beda 1 euro tu kan bermakna banget gitu. Terus semua yang 1 euro kebawah itu di-consider murah banget, dan biasanya benda-benda yang emang murah, kayak croissant, gantungan kunci, even toilet. Tapi kalau di convert kan jadi kesannya mahal gitu. Kayak mau pipis aja bayar 15 ribu. Gitu lah, jadi ketika make a budget plan, ya boleh lah di convert. Tapi ketika udah disana, jangan terlalu sering meng-convert ( kecuali belanja barang branded kali ya)
1.       Make a Good Itinerary
Cara terhermat dalam melakukan suatu perjalanan adalah membuat Itinerary yang bagus. Lagipula hal ini buat apply visa harus ada bukti booking transport dan akomodasi. Ga bisa yang namanya “terserah kemana angin membawa”. Percayalah itu bikin boros dan eventually end up ga bisa meng eksplor banyak tempat (especially if you concern quantity over quality). At least harus buat Itinerary tentang rute kota-kota yang mau lo tuju dan dimana lo tidur tiap malamnya. Ini sangat feasible sih, soalnya jadwal transportasi di Eropa itu punctual.
Jangan lupa lo harus memperhitungkan kalau lo itu bawa koper gede. Kalau gw untungnya itu sebulan pertama tinggal di hostel gratis, terus sisanya, koper gede gw gw titip di keluarga gw di Belanda, jadi gw banyak tidur di kereta atau bis malam, lumayan hemat sih ini walau rada pegel. Terus mandi nya di toilet stasiun (jadi yang namanya punya stock tisu basah itu penting). Jadi di compare aja yg lebih murah mana, apakah satu rute panjang membentuk garis lurus, atau rute bolak-balik matahari dari suatu hostel super murah.
Walaupun nanti banyak terjadi hal di luar dugaan, at least kita udah punya fondasi. Di lapangan mah bisa bebas berkreasi.
Dan ini beberapa tips buat bikin good Itinerary
a.       Do research
Riset itu super penting, terlebih lagi sangat feasible dilakukan, mengingat akses internet begitu mudah dan memang informative. Dan kalau bisa sih konsul dulu ke kenalan yang pernah ke kota terkait. Worth-it nya berapa hari. Misal, menurut gw venice itu setengah hari juga cukup, kalau paris minimal 2 hari.
Perhatikan juga hari-hari khusus yang pastinya bisa bikin budget berkurang atau at least ga nambah. Contoh, First Sunday in Every month, semua situs wisata terkenal di Roma itu gratis. (ya tapi ngantrinya juga jd sepanjang naga cina). Terus Louvre dan mayoritas museum di Paris itu tutup tiap selasa, jadi kan keki gitu kalau udah cape-cape eh ga tahunya tutup. Jadi bingung deh.
 b.      Always Compare
Setelah ngeriset, jangan lupa compare sama alternatif yang lain. Misal buat akomodasi gitu bisa di cek di hostelword.com, booking.com, airbnb.com atau couchsurfing.com. kalau buat transportasi gitu ada goeuro.com. Buat ngapain aja di kota terkait ada tripadvisor.com. Udah simple sih, terus semua booking-an bisa dilakukan secara online. Oh iya karena nanti kita bakal Wifi-dependent, jadi kalau bisa semua persiapan Itinerary itu dibuat pas masih di area dengan akses internet, daripada kelabakan. Jangan lupa kalau bisa sih cari yang cancelation fee nya enak, soalnya ga menutup kemungkinan bakal terjadi banyak hal di luar dugaan.
 c.       Book early
Super penting, terutama kalau mau pake pesawat, beda sehari aja bisa naik sampe 10-20 euro.
2.       Plan your budget and stick with it
Ga ada yang lebih penting dari pada membuat budget. Sebenernya ga perlu detil-detil banget kali ya, Pertama buat budget sama hal-hal spesifik yang mau lo beli. Apakah itu Jam Tangan Fossil, Tas Guess, atau baju Hermes (asal emang ada budgetnya), sama budget oleh-oleh (because we are Indonesian). Terus baru sisa uangnya dibagi jadi budget harian. Menurut gw budget harian sih cukup 100euro perhari (udah sama transport dan akomodasi), 150 tops. Tapi biasanya kurang sih. Biar budget nya ga membludak perhatikan beberapa hal dibawah ini.
a.       Spend your penny wisely
Maksudnya apa? maksudnya nanti harus teliti sebelum ngeluarin uang. Contoh, kalau misalnya mau beli tiket terusan buat subway, lo perhatikan lagi, emang lo bakal naik sering-sering? Kayak di Roma, subway nya itu ga terlalu kepake, jadi kalau beli tiket terusan jatuhnya malah mahal. Terus di negara-negara dengan dua currency, kayak ceko, ada harga pake euro ada harga pake CZK, diitung lagi lebih murah mana. Atau misalnya ada CityCard gitu, jatuhnya emang lebih murah kalau misalnya kita mau dan emang bisa mengunjungi semua tempat wisata yang di cover kartu tersebut.
b.      Don’t be pound-foolish
Kalau ini sih, sebisa mungkin jangan hedon di hal-hal yang ga perlu hedon. Hal yang gw maksud adalah transport dan akomodasi. Kalau masih kekejar pake bis, kenapa mesti pake kereta/pesawat?
Terus kalau milih kamar di hostel, mixed dorm itu bakal selalu lebih murah daripada private room. Jadi kalau misalnya lo single atau ga berniat untuk having sex sama pasangan lo, dorm itu bisa lebih menyenangkan dan memangkas biaya. “Tapi gw orangnya ga suka bergaul sama orang baru”, menurut gw sih ga masalah, karena keliatan gitu orang yang mau mingle atau emang mengisyaratkan “gw pingin sendiri”, jadi walaupun sekamar rame-rame ga bakal diajak ngobrol. Tp ga bisa dipungkiri mungkin bisa jadi agak lebih berisik sih kalau di dorm. “Tapi gw cewek” ini juga ga masalah sih kata gw, karena sepanjang gw nginep ketemu banyak cewek, dan ga ada yang sampai diperkosa. Maksudnya kita kan sama-sama warga negara asing, ga ada gitu yang mau berbuat criminal.  Pake toilet umum juga jangan hambur, kan biasanya 1 euro-an, jadi kalau ga kebelet banget mending nanti aja pas lagi makan atau ke tempat yang ada free toiletnya, terus kalau emang terpaksa sekalian aja sikat gigi dan membersihkan diri yang lain, biar ga rugi. Lol.
c.       Use coins first
Ini lebih ke arah ketika nuker-nuker currency sih. Karena coin itu ga bisa dituker di money exchange gitu. Jadi kalau kebanyakan coin jadi sayang gitu. Terus kalau bisa jangan nuker uang di tempat-tempat umum pertama kali datang (bandara/terminal,stasiun), soalnya suka mahal. Jalan jauh dikit gapapa lah nyari tempat nuker yang lebih friendly. Tp kalau emang mendesak, ya nukernya sedikit dulu.
d.      Record your expenses
 Berhubung gw satu bulan lebih, tiap pengeluaran selalu gw catet, gw emang bawa notes kecil gitu sih, tapi bisa aja ini dilakukan di HP, bahkan katanya ada beberapa app khusus budget manager gitu. Untungnya apa sih dari nyatet pengeluaran. Menurut gw sih untung banget, lo jadi bisa tahu rata-rata pengeluaran lo, (yang kalau tiba-tiba gede banget lo jadi tahu lo harus segera berhemat sebelum lo terjebak jadi pengemis di negara orang), terus karena tiap pengeluaran lo catet, dan karena males nyatet lo jadi males mengeluarkan uang (teori ini berlaku buat gw doang kali ya). Tapi yang paling penting lo jadi aware biaya harian maksimal yang bisa lo belanjain tiap harinya. Awalnya gw maksimal 30 euro perhari, terus berhemat tiap harinya, lama-lama bisa jadi 100 euro per hari. Jadi kalau bisa jalan-jalannya itu dari tempat yang murah ke yang mahal.
 3.       Be Healthy, Do some exercise and diet before the trip
Selain karena sakit itu super mahal di negara orang, menjadi sehat dan bugar itu banyak untungnya. Pertama, banyak biaya transport yang bisa dikuras dengan lo berjalan kaki. Suer disana itu lingkungannya ramah pedestrian banget, jadi enak gitu jalan kaki, tapi kalau misalnya lo dari GI ke Plaza Indonesia aja pake gojek, ya udah langsung jebol tu dompet. Ga cuma itu, kalau misalnya lo bugar lo jadi kuat mengunjungi beberapa situs wisata dalam sehari, jadi efisien gitu,
4.       Do whatever you could to get cheaper price (share, be young, be student)
Wahana- wahana wisata itu biasanya punya special price buat apapun. Ada situs yang murah kalau lo punya kartu pelajar (and guess what? Even pake kartu pelajar Indonesia dari kampus lo juga bisa). Ada beberapa situs yang ngasih special price kalau lo masih muda (atau terlalu tua, tapi kalau udah terlalu tua udah ga shanggup jalan-jalan kayaknya). Ada juga yang ngasih special price kalau lo tangguh: Misalnya menara eifel, kalau naik lift lebih mahal daripada tangga, Obvious sih, tapi lumayan banget. Sama ada beberapa hal yang bisa sharing gitu, macem gondola nya venice yang 80 euro satu gondola, kalau sendirian kan super tajir gitu kayaknya. Hahaha Intinya hampir selalu ada cara untuk mendapatkan harga yang lebih murah. Kalau dipikir-pikir tipsnya kayak diulang-ulang ya, haha. Intinya, do research and get cheaper price.
0 notes
samjunanto · 7 years
Text
Semalam, gw super ga ada kerjaan, ngeliatin iklan di salah satu TV swasta: Iklan produk kesehatan ala-ala yang lebih ga scientific dibanding kalung jimat yang mampu mengubah aura. At first, i found it extremely hilarious. lumayan mengocok perut sih ngeliat “teori” yang disampaikan si pembicara. tentang gelombang infrared dari batu giok yang dipanasin mampu memberikan manfaat kesehatan dan mampu menumpas hampir seluruh penyakit kronis di dunia. Selama nonton, lumayan bisa bikin ketawa2 bego, berasa lagi nonton dumb-sci-fi gitu. Sampai akhirnya salah narasumber (yang KATANYA DOKTER) angkat bicara. Dia mengiyakan segala efek yang disampaikan presenter sebelumnya. Terus ngasih suatu eksperimen yang lebih abal dibandingkan percobaan ipa di majalah Bobo. Ada relawan yang ngukur suhu tangannya, didapatkan suhu 26,6 derajat celcius. Meeen, maksudnya apa deh, itu bahkan ga merepresentasikan suhu tubuh inti . terus dipanasin di atas karpet-batu-giok, suhunya meningkat jadi 27,6 derajat. dan kemudian si “dokter” menjelaskan segalanya tentang kenaikan satu derajat tersebut dan efeknya terhadap kesehatan. Sedikit spoiler dari gw: TANGAN LO DIMASUKIN KE AIR PANAS SUHUNYA JUGA BISA MENINGKAT KALI, and let me debunk it for you: it doesn’t affect your health, kecuali bikin lo luka bakar grade 1. sungguh super superficial, ga paham lagi. Saking geregetannya gw telfon lah call center nya: Kurang lebih seperti ini percakapakannya. “mbak, ini saya lagi nonton iklan produk mbak di *channel, bisa jelasin ga mbak tentang produknya, kok manas-manasin tangan orang ya mbak?” “iya jadi mekanismenya blablablaba” “oh gitu mbak, ada buktinya ga mbak?” “iya jadi udah banyak orang yang membaik dengan produk ini” “iya mbak, tapi saya minta bukti penelitiannya mbak, bukan sekedar testimoni” “ngg sebentar ya mas” terus dioper ke another mbak-mbak “kenapa mas?” “iya saya minta bukti penelitiannya ya mbak, yang ada ada angka statistiknya, saya mau lihat p value nya” “oh gitu ya mas, jarang sih ada customer yang minta bukti penelitiannya, nanti saya tanyakan dulu ke bagiannya, tapi mas dah paham belum tentang cara kerja alatnya?” “saya dah denger sih mbak, tapi gak sesuai teori, makanya saya nanya” “oh emang kalau disesuain sama teori jadinya gak masuk akal, tapi ini emang ngikutin ilmu pengobatan dari luar, dari Korea” “o gitu ya mba? saya ga peduli sih mbak kalau dari luar, saya minta buktinya dikirim ke email saya ya mba, bisa?” “nanti dikabarin lagi ya mas” “oke mbak, terimakasih banyak, ngomong-ngomong dokter yang di iklan itu dokter beneran mbak?” “ngg iya mas” “oke makasih mbak” Gw ga tahu, itu beneran dokter atau gak, tapi plis, lo ngejual ilmu kedokteran lo cuma buat bikin orang keluar uang 3 juta demi kenihilan efek batu giok? Gw bukannya sok pinter, tapi ya menjadi dokter itu hakitatnya adalah memiliki ilmu dan skill kedokteran (seperti yang gw selipkan sampaikan di salah satu postingan gw) jadi kalau lo abaikan ilmu lo, practically you denounce your title. Dan Ga dikit juga dokter yang menjual kemandirian profesinya buat produk-produk kesehatan yang super superstitious dan surreal. Menurut gw hal ini jauh lebih rendah daripada dokter yang malpraktik sih...
2 notes · View notes