#RafifaKamilaAsjraf Comspire2017 KaryaKomunikasi
Explore tagged Tumblr posts
Text
Norax yang Bukan Hanya Sekadar Mengkayuh Pedal
“Pas gowes itu kendalanya suka ada yang kram, mental-nya down, atau ngambek di tengah jalan. Kalau sudah tua sebetulnya kita seperti kembali menjadi anak kecil, ya.” Sebut ketua komunitas sepeda “Norax”, Bundarman Wartoharjono. Beliau sendiri pada tahun ini menginjak umur 59 tahun. Namun, hal itu seakan tertutupi oleh cara beliau yang antusias dalam menyampaikan kisah dan pengalamannya sebagai anggota klub gowes. Mungkin, memang betul jika melakukan hal-hal yang kita cintai akan membuat awet muda, setidaknya dalam hal semangat.
Pak Bundarman bercerita kalau Norax memiliki kepanjangan, yaitu North Rawalumbu X karena beranggotakan masyarakat Rawalumbu Utara RW 10. Sejauh ini, jumlah anggota tetapnya 26 orang. Komunitas bersepeda ini rata-rata diikuti oleh masyarakat yang berumur kisaran 40—63 tahun. Profesi yang digeluti pun juga berbeda-beda. Ada yang merupakan pensiunan seperti Pak Bundarman, ada juga wiraswasta, tentara, polisi, guru, dan lain-lain. Tak ada satu pun di antaranya yang merupakan ibu-ibu atau wanita.
Kegiatan komunitas ini dibagi menjadi dua, ada gowes rutin dalam kota setiap minggu dan gowes luar kota setiap enam bulan sekali. Perkiraan jarak untuk gowes dalam kota adalah 20 km bolak-balik. Sedangkan, gowes di luar kota bisa mencapai 100 km.
Kota-kota yang telah disambangi oleh Pak Bundarman dan kawan-kawan adalah Solo, Yogyakarta, Subang, dan kecamatan Rengasdengklok yang paling baru. Jika ditanya hal yang paling berkesan dari komunitas, kata beliau adalah bagian makan-makan di tengah-tengah gowes. Bukan bagian gowesnya. Beliau berkata, “gowesnya capek.” Hitung-hitung, untuk mengisi tenaga dalam perjalanan bersepeda.
Tidak ada paksaan untuk mengikuti kegiatan dalam komunitas. Terkadang ada anggota yang bergabung di grup chat, namun tidak pernah menyempatkan diri untuk ikut gowes. Masalah kesehatan yang berkaitan dengan umur juga menjadi salah satu alasan tidak adanya tuntutan bagi para anggota. Menurut beliau, hal yang terpenting yang mesti dilakukan adalah merasa fun saja saat gowes.
Sesekali, Pak Bundarman menyesap tehnya sambil memikirkan dan memilih kisah mana yang mau ia sampaikan. Saat ditanyakan tentang kendala yang terjadi dalam komunitas, ia balik bertanya ���Boleh nggak, kalau jawabannya tidak ada?” Istri beliau yang duduk tidak jauh menimpali, “Ada, pak. Masalah kesehatan.” Umur yang tidak lagi muda memang terkadang berpengaruh langsung pada performa. Selain itu, saat mau pergi ke luar kota, terkadang sulit membeli tiket pesawat yang harus menyesuaikan dengan keadaan ekonomi seluruh anggotanya. Satu sama lain sering menalangi uang terlebih dahulu. Dari hal itu, kita dapat melihat rasa persaudaraan yang tinggi antarsesama anggota.
Harapan yang dimiliki oleh Pak Bundarman terhadap Norax adalah ingin menjadikan kegiatan gowes menjadi lebih bermanfaat bagi kesehatan dan orang banyak. Ia juga sudah memulai program gowes dari masjid ke masjid untuk menyumbangkan sarung di berbagai tempat. Begitu pula saat dalam bulan Ramadhan, anggota Norax berbagi takjil selama sepuluh hari di jalan atau musola-musola kecil. Semuanya berangkat dari kesadaran sendiri. Beliau ingin bersepeda tidak hanya bukti kepedulian kepada hal-hal duniawi, namun juga mengejar untuk di akhirat kelak.
Saya, sebelum pamit, sempat menyinggung tentang sepeda pribadinya. Ia mengatakan lebih senang merakit sendiri dibandingkan beli jadi. Ada kepuasan tersendiri yang dapat dirasakan. Sepeda yang sering beliau gunakan menghabiskan dana lima belas juta rupiah. Setelah mengungkapkan harga, beliau langsung menyampaikan kalimat yang menurut saya cukup menarik. “Mending merakit sepeda yang mahal daripada pasang ring di jantung yang satu seharga tiga puluh lima juta,” tandasnya.
0 notes