#PustakaPersimmonPie
Explore tagged Tumblr posts
Text
Politik
âSatu atau dua generasi tidak boleh memonopoli harta dan kemewahan hidup yang sebenarnya menjadi jatah generasi setelahnyaâ
Syaikh Yusuf Qardhawiy menulis kalimat di atas dalam penjelasan beliau tentang landasan kebijakan Khalifah Umar bin Khatab.
Khalifah Umar bin Khatab R.A pernah menabrak kebiasaan dengan tidak membagikan harta rampasan perang melainkan menjadikan harta tersebut sebagai milik negara.
Muadz bin Jabal RA turut mendukung kebijakan Umar bin Khatab R.A dengan memberikan pernyataan:
Jika engkau membagikannya, akan ada koloni besar dalam kekuasaan orang-orang tersebut. Kemudian, setelah mereka tiada, koloni akan dikuasai seseorang. Setelah itu, datang generasi muslim yang menggantikan posisinya untuk membela Islam dengan gigih, tetapi mereka tidak mendapatkan sesuatu. Pertimbangkan keputusan (untuk membagikan tanah rampasan perang) yang berdampak kepada generasi sekarang dan yang akan datang.Â
Salah satu hikmah kebijakan Umar bin Khatab ini adalah membuka ruang pikir kita bahwa di masa depan, bentuk futuhat bukan lagi melalui perang melainkan dengan memperdalam ilmu melalui para daâi.Â
Di masa tersebut akan banyak pembela islam yang gigih namun tidak mendapatkan harta rampasan perang. Kebijakan menjadikan rampasan perang menjadi milik negara adalah salah satu upaya untuk melindungi hak-hak generasi ini.
Umar lantas membaca surat Al Hasyr ayat 10.
Berikut saya tuliskan Al Hasyr ayat 8-10
(Harta rampasan itu juga) untuk orang-orang fakir yang berhijrah yang terusir dari kampung halamannya dan meninggalkan harta bendanya demi mencari karunia dari Allah dan keridhaan(-Nya) dan (demi) menolong (agama) Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.
Dan orang-orang (Ansar) yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (Muhajirin), atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan AnÂĄar), mereka berdoa, âYa Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, Sungguh, Engkau Maha Penyantun, Maha Penyayang.â
(Al Hasyir : 8-10)
*
Belakangan ini, banyak bermunculan nasihat bagi kita agar kita tidak buta politik. Ada yang perlu kita ingat bahwa politik bukan hanya perkara elektoral. Ada banyak hal yang harus kita pelajari dari dua Umar (Umar bin Khatab R.A dan Umar bin Abdul Aziz R.A)
Umar bin Khatab R.A adalah khalifah yang visioner dan memiliki kemampuan fiqih yang baik. Dr Jaribah Al Haritsi membukukan fiqih ekonomi Umar bin Khatab dalam satu buku tebal yang merupakan hasil disertasi beliau.Â
Sedangkan Umar bin Abdul Aziz R.A adalah khalifah yang sejak kecil dididik oleh kalangan istana dan ulama. Sebelum menjadi khalifah, beliau dikenal sebagai mujtahid fiqih yang mumpuni, berpengalaman menjadi gubernur dan penasihat khalifah. Dalam diri beliau terhimpun kecerdasan mujtahid dan kecerdasan administrator negara.
Kita kerapkali memandang Khalifah Umar bin Abdul Aziz dalam dua tahun pemerintahan beliau namun kita luput mempelajari bagaimana kecakapan beliau terbentuk.
Perlu kita pahami, untuk membentuk masyarakat yang baik, tidak selalu butuh satu orang dengan kecerdasan individu sebagai mujtahid mutlak seperti dua Umar ini. Mungkin saja di era kita, kita harus mengimpun banyak kecerdasan sehingga menghasilkan kecerdasan komunal. Semua kecerdasan itu tidak harus terhimpun dalam satu orang, ia bisa terwujud dari kerjasama dari banyak orang yang menguasai bidang masing-masing.
Melek politik jangan sampai terdefinisikan dengan kegiatan bergabung di grup WA yang penuh gosip dan hoax lantas kita merasa menjadi yang paling faham politik. Melek politik adalah memahami keputusan-keputusan politik sebagai bentuk ijtihad yang memerlukan usaha untuk memahami kondisi masyarakat serta memahami nash yang mendasari ijtihad tersebut.
Dalam memahami kondisi masyarakat, terdapat proses mencari fakta. Di titik ini, kita harus belaku adil. Diperlukan ikhtiar untuk memverifikasi fakta dalam batas kemampuan kita. Jika ini sudah dilakukan, maka ijtihad kita akan bernilai pahala 1 bila tidak tepat, dan bernilai 2 bila tepat.
Memilih Jokowi, atau Prabowo merupakan suatu perkara yang harus kita lihat dengan sudut pandang demikian agar kita tetap dapat menjaga persaudaraan dengan orang-orang yang berbeda pilihan. Uneg-uneg ini tidak hanya berlaku untuk salah satu pendukung capres. Mengingat dari kedua belah pihak masih banyak yang perlu belajar. Karena baik pendukung nomor 1 atau pendukung nomor 2 masih menggunakan narasi orang baik vs orang jahat.
Memahami politik itu luas maknanya. Salah satu bentuknya adalah memahami kondisi realita masyarakat dan undang-undang. Pemahaman ini akan membantu kita untuk melihat ruang kosong dalam undang-undang yang belum terselesaikan dan rawan mendatangkan kedzaliman seperti pasal karet UU ITE yang menjerat ibu Baiq Nuril.
Memahami politik juga dapat bermakna memahami kebutuhan-kebutuhan para dhuafa dan mencoba mengentaskan mereka dari kondisi tersebut. Seperti kepekaan kita kepada para difabel. Sejauh ini pendekatan kita untuk membantu mereka hanyalah dengan pendekatan romantisasi dan rasa kasihan. Padahal bila kita melek politik, mungkin saja kita bisa mengusulkan kebijakan untuk mereka dengan pendekatan berbasis hak. Hasil kebijakan ini dapat menghadirkan ruang publik yang ramah difabel sehingga temen-temen tuna netra dan teman-teman yang menggunakan kursi roda dapat berada di ruang publik secara mandiri. Kelak juga bukan tidak mungkin teman-teman difabel punya kesempatan yang luas untuk mengembangkan diri.
Ada begitu banyak masalah dalam masyarakat kita.
Memahami politik bukan sekedar datang ke TPS dan membebankan semua pada yang ada di sana. Kita masih harus bekerja untuk membangun kecerdasan komunal juga iklim politik yang sehat dimana rakyat dapat mengkritik kebijakan pemerintah dengan pemahaman yang baik, dan pemerintah dapat menghasilkan kebijakan yang maslahat.
Referensi dapat ditemukan di:
Membumikan Syariat Islam: Keluwesan Aturan Ilahi untuk Manusia karya Syaikh Yusuf Qardhawi
Perjalanan Hidup Khalifah yang Agung, Umar bin Abdul Aziz karya Syaikh Ali Ash Shallabi.
Fiqih Ekonomi Umar bin Khatab karya Dr Jaribah Al Haritsi.
69 notes
¡
View notes
Text
On being human
Topik Essentialisme mulai banyak dibicarakan sejak Marie Kondo booming. Gue sendiri punya tiga buku yang berkaitan dengan Essentialisme. Ada The Life Changing Magic of Tidying Up dari Marie Kondo, ada The Subtle Art of Not Giving A Fuck dari Mark Manson, Filosofi Teras  dari Henry Manampiring sama Essentialism: The Disciplined Pursuit of Less dari Greg McKeown.
Dari ketiga buku tersebut, gue menangkap bahwa benang merahnya adalah kedisiplinan kita untuk tidak menjadi serakah. Untuk melepaskan apa yang seharusnya pergi, dan mengerjakan apa yang seharusnya kita kerjakan.
Tren itu seperti pendulum. Sebelum buku semacam ini banyak bermunculan, tren wacana yang mengisi timeline media sosial dan toko buku adalah tentang bagaimana menjadi produktif, serta YOLO (You only live once) sehingga kita berhak menikmati semua hal. Mungkin karena kita lelah dengan semua tuntutan menjadi produktif, menjadi estetik dan mengejar semua hal yang lewat, maka beberapa kalangan mulai menyuarakan kelelahan itu dengan menulis tentang Essentialisme.
Buat gue, tren ini mengembalikan self-awareness kita sebagai manusia tentang siapa kita, apa yang kita capai dan apa yang kita butuhkan untuk mencapai tujuan tersebut. Hidup itu nggak panjang. Rasanya sayang sekali jika waktu kita digunakan untuk mengejar apa yang sebenarnya tidak perlu kita kejar hingga kita kehilangan sense kita sebagai manusia.
Kita bukan sekedar hitungan tentang to-do list atau bucket list yang sudah kita coret. Sebab selama hidup kita pasti melewati masa-masa sulit yang memberi luka dan membutuhkan waktu untuk sembuh. Dalam hidup, kita juga bertemu dengan banyak orang yang menghangatkan hati dan menumbuhkan karakter kita. Maka membaca banyak buku tentang Essentialism mengingatkan gue pada konsep Qonaah. Hal yang selalu gue pertanyakan tentang konsep tersebut adalah, apa tolak ukur kecukupan kita? Sebatas apa gaya hidup yang tetap membuat kita memiliki awarenes sebagai manusia? Dalam artian kita bisa menikmati hidup dengan keluarga, memiliki pemikiran yang rasional dan punya waktu untuk memperdalam ilmu?
Ada banyak pendekatan untuk menghitung definisi cukup ini.
Dengan menghitung kebutuhan hari ini dan masa depan lalu menyiapkan investasi. Namun, ada kalanya hidup itu tidak mulus. Ada masanya, pemasukan-pemasukan kita tidak cukup untuk berinvestasi jangka panjang :D
Maka di titik ini, kita kembali ke dalam perenungan yang lebih dalam bahwa masa depan adalah milik Allah. Kita mungkin bisa memprediksi, bisa menghitung tapi tetap saja semua ada dalam kendali-Nya.
Maka titik pertama yang membangun kita sebagai manusia adalah tawakkal kita kepada Allah tentang masa lalu, hari ini dan masa depan. Sebab distraksi itu banyak wujudnya. Salah satunya tentang penyesalan kepada masa lalu. Maka bentuk tawakkal kita tentang masa lalu adalah sikap ridha dan baik sangka bahwa semua kehendak-Nya adalah yang terbaik. Tidak perlu pengandaian yang neko-neko karena pengandaian tersebut tidak akan merubah apa yang terjadi hari ini. Parallel Universe memang bukan konsep yang mustahil bila Allah berkehendak. Tapi dalam sunnatullah yang ditetapkan-Nya, hidup itu berjalan ke depan. Bukan berjalan parallel.
Bentuk distraksi lain adalah kekhawatiran kita tentang masa depan. Ini kadang yang agak lucu, di umur 18 kita mengkhawatirkan bagaimana kita di usia 28, di usia 28 kita mengkhawatirkan bagaimana hidup kita di usia 38 hingga kita sendiri lupa menikmati hari ini. Lupa bersyukur tentang nikmat yang kita dapatkan hari ini. Dan yang lebih lucu lagi, kita luput menyapa orang-orang yang kita sayang dengan alasan
âSedang mempersiapkan masa depanâ
Itâs just like gue lagi denger surat pertama dan kedua At Takatsur
Alhaakumut takaatsur, hatta zurtumul maqaabir. Bermegah-megah telah melalaikan kamu, hingga kamu singgah ke dalam kubur.
Di sepanjang perjalanan, kita tidak menikmati hidup dengan alasan menyiapkan masa depan dan tau-tau kita sudah sampai pada masa depan itu sendiri, yaitu maut. Ini agak konyol sih ~XD Jangan dianggep gue mengkritik investasi lho ya. Ga ada hubungannya sama sekali. Ini cuma perkara bagaimana kita memandang diri kita.
Kalau kita hanya memandang diri sebagai to do list pencapaian, maka yang kita persiapkan hanya materi. Tapi jika kita menganggap diri kita sebagai manusia, masa depan adalah tentang bagaimana kita mengisi waktu untuk mendewasakan diri, menyayangi lingkungan sekitar, menambah ilmu, meningkatkan kualitas amal. Semua hanya kita yang bisa mengukur.
Selamat kembali menjadi manusia :D
Regards
Admin Persimmon Pie
61 notes
¡
View notes
Text
giving
Ada beberapa catatan yang gue highlight ketika ustadz NAK membahas surat An Nisa ayat 34. Pertama adalah penjelasan beliau tentang bagaimana sikap seorang muslim ketika menghadapi ayat Al QurĂĄn yang âmengganggu pikiranâ. Yang kedua adalah penjelasan beliau tentang kata qawwam dalam potongan ayat âar rijaalu qawwamuuna aâla an nisaâ. Yang ketiga adalah penjelasan beliau tentang makna âBimaa fadhalallahu baâdahum âalaa baâdhiâ. Dan yang terakhir adalah bagaimana beliau menarik kesimpulan tentang ayat ini yang biasa kita sebut sebagai âayat perintah untuk memukul wanitaâ menjadi ayat yang menjelaskan tentang bagaimana sebuah pasangan menjaga kesetiaan dalam rumah tangga.
Intrepretasi ustadz NAK yang gue highlight di atas agak berbeda dengan interpretasi atau tafsir yang dikemukakan oleh ulama lain. Tapi kita bisa mengambil banyak sekali pelajaran dalam bahasan beliau di tengah banyak perdebatan tentang patriarkhis-feminis.
Kadang gue mempertanyakan tentang ajaran bahwa wanita harus di rumah itu apakah benar-benar berasal dari Al QurĂĄn, ataukah berasal dari budaya Jawa tempat gue lahir? Gue ga bermaksud membahas tentang kesukuan ~XD Cuman karena gue dibesarkan di budaya Jawa, wajar kalau gue mempertanyakan itu. Beda lagi kalo gue dibesarkan di budaya korea, mungkin gue juga bakal mempertanyakan apakah ajaran bahwa wanita harus di rumah itu benar-benar berasal dari Al Qurâan atau dari budaya korea? Gue bakal terus menggali dan menggali. Because i think i have a problem to understand about it. I am not a feminist. I just want to fix the mess inside my head then i can have contentment with my faith.
Anyway,
Sebenernya gue nulis ini bukan buat bahas wanita. Cuman kadang gue kalo nulis suka ngalor ngidul. Well, gue sebenernya tertarik tentang pemaknaan âQawwamâ dari ustadz NAK. Qawwam biasanya diartikan sebagai pemimpin. Sementara ustadz NAK memaknai kata ini dengan makna âCaretakersâ. Lebih jauh lagi beliau menyebutkan bahwa kata qawwam sama sekali tidak mengandung makna âauthorityâ. Berbeda dengan kata Sultan.
Artinya ketika seorang laki-laki memutuskan untuk menikahi seorang wanita, maka dia memutuskan untuk menjadi âcaretakersâ yang sifatnya menjaga, memberi, mensupport dalam banyak hal dan menemani dalam ketaatan. Kata qawwam juga menunjukkan tindakan yang dilakukan secara continue. Dalam artian bahwa pernikahan adalah sebuah komitmen untuk menjalankan kegiatan sebagai caretakers secara terus-menerus.
Beliau bahkan menjelaskan tentang konsep mahar. Selama ini banyak yang menganggap bahwa mahar bermakna âpembelianâ. Sementara menurut beliau, mahar adalah simbol bahwa ketika seorang laki-laki menikahi isterinya, maka laki-laki tersebut memutuskan untuk memberikan apapun yang dia punya. Nafkah, waktu, perasaan, semuanya diberikan. Mahar bukan diberikan sebagai tebusan âaku ngasih kamu mahar, dan kamu harus taat ke akuâ, melainkan âI decide to love you. Ini pemberian pertama saya, dan seterusnya saya akan memberikan apa yang saya punya untuk kamu dan keluarga kita nantiâ
Gue terharu, ternyata ayat ini bisa dimaknai dengan cara selembut ini.
Pelajaran yang gue dapet, dengan siapapun, sebuah hubungan memang harus diusahakan. Jika kita menyayangi seseorang, kita harus memberi dengan tulus secara kontinyu. Menyediakan waktu untuk mereka. Mencintai itu kegiatan aktif yang tidak cukup dengan puisi atau kata-kata.
Gue kapan hari nulis ini. Gue nulis tulisan tersebut karena inget pertanyaan temen gue
âGimana menjaga ketenangan dalam nunggu jodoh pas umur kita menjelang 30?â
Sebenernya gue dari dulu ga risau tentang ini karena gue yakin kalau jodoh sudah diatur sama Allah dengan hitungan yang tepat. Hanya kadang gue suka mikir, kira-kira apa yang belum terselesaikan di usia gue yang sekarang?
Turns out, pas gue ngobrol sama temen, ternyata banyak juga yang di umur segini belum bisa membangun kedekatan dengan keluarga karena pola asuh yang tidak ideal. Menyalahkan orang tua kita, jelas bukan solusi. Tapi yang pasti, nggak ada kata terlambat bagi kita untuk memulai memberikan waktu yang lebih banyak buat orang tua kita, memberikan apa yang kita punya. Selagi beliau masih sama kita, selagi yang kita berikan tidak hanya sebatas doa.
Hidup nggak selalu mulai dari nol. Banyak yang mulainya dari minus. Hanya langkah maju yang bisa mengubah minus menjadi positif.
Entah kita udah nikah atau belum ya, kita perlu mengecek apakah kita sudah cukup memberi ke orang-orang yang kita sayang.
Loving means giving continually. It takes effort. Karena cinta bukan perasaan yang hanya diam dan ketika ketemu keyboard berubah menjadi puisi pecinta hujan dan senja atau pecandu rindu. Mencintai itu kegiatan aktif yang meskipun nggak selalu pakai kata, orang yang kita cinta bisa merasakan bahwa hati kita untuk mereka.
Dan loyalitas dalam cinta itu nothing to do with authority. Dalam artian, ketika kita mencintai seseorang, kita akan mengikuti apa yang dia mau dengan suka rela, tanpa paksaan, tanpa rasa takut akan ditinggal. Hanya ada dua kemungkinan untuk kerelaan yang demikian. Pertama karena cinta buta. Kedua karena kegiatan saling memberi yang terus menerus hingga timbul rasa cinta yang makin mendalam dari hari ke hari.
*
Bila aku pegang kendali penuh pada
cahaya
Aku pastikan jalanmu terang
Cahaya - Tulus
Wkwk, gue nulis ini sambil dengerin lagunya Tulus terus senyum-senyum sendiri. Sebab perasaan cinta yang memerdekakan adalah perasaan cinta yang demikian.
Kita ingin memberi terus menerus bahkan andai cahaya benar-benar di bawah kendali kita, kita bakal memastikan orang yang kita sayang nggak bakal jalan dalam gelap. Karena kita cinta. Bukan karena balas budi atau apapun.
Selamat mencintai dengan tulus dan selamat memberi terus menerus.
Oh ya, bahan buat nulis ini bisa dilihat di sini dan di sini.
Ciaobella
Admin Persimmon Pie
43 notes
¡
View notes