#Pers Dibungkam
Explore tagged Tumblr posts
Text
Mafia BBM dan Tambang Ilegal Kuasai Sijunjung, Wartawan yang Berani Dibungkam!
Pantau24jam.com– Kasus persekusi terhadap empat wartawan di Tanjung Lolo, Kecamatan Tanjung Gadang, Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat, menguak realitas mengerikan: mafia BBM subsidi dan tambang emas ilegal beroperasi bak “pemerintah bayangan” yang kebal hukum. Wartawan Disiksa, Dirampok, Nyaris Dibakar Hidup-Hidup Empat wartawan—Suryani (Nusantararaya.com), Jenni (Siagakupas.com), Safrizal…
#Hukum Tumpul#Investigasi Kriminal#Jurnalis Diserang#Kekerasan Terhadap Wartawan#Krisis Kebebasan Pers#Mafia BBM#Mafia Tambang#Pers Dibungkam#Polisi Bungkam#Sumatera barat#Tambang Ilegal
0 notes
Text
Militer Israel Serbu Kantor Al Jazeera, Kebebasan Pers Dibungkam
http://dlvr.it/TDZ9zr
0 notes
Text
Gelar Teatrikal, Jurnalis Bogor Tolak RUU Penyiaran
BOGOR – Belasan Jurnalis se-Bogor, secara tegas menolak Rancangan Undang Undang (RUU) Penyiaran. Penolakan itu digelar melalui aksi teatrikal di Simpang Gadog, Ciawi Bogor, Minggu (26/05/2024). Aksi yang teatrikal menjadi simbol pesan penolakan dalam kebebasan pers. Teatrikal tersebut menceritakan kebebasan pers, yang telah dibungkam oleh pemerintah, dengan penolakan RRU Nomer 32 Tahun 2002…

View On WordPress
0 notes
Text
KEBEBASAN BEREKSPRESI

Apa itu kebebasan berekspresi?
Kebebasan berekspresi adalah hak setiap orang untuk mencari, menerima dan menyebarkan informasi dan gagasan dalam bentuk apapun, dengan cara apapun. Ini termasuk ekspresi lisan, tercetak maupun melalui materi audiovisual, serta ekspresi budaya, artistik maupun politik.
Hak ini juga berhubungan dengan kebebasan berserikat, yaitu hak membentuk dan bergabung dengan kelompok, perkumpulan, serikat pekerja, atau partai politik pilihanmu, serta kebebasan berkumpul secara damai, seperti ikut demonstrasi damai atau pertemuan publik.
Kebebasan berekspresi juga mendukung hak asasi manusia lainnya seperti hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama.
Kenapa kebebasan berekspresi penting?
Kalau kebebasan berekspresi dilindungi, kita bisa menyampaikan, mencari, menerima, dan membagikan berbagai macam informasi. Dari mulai ikut webinar, kelas online, streaming serial dan dokumenter favorit, sampai baca berita dari media mancanegara. Kebebasan berekspresi juga memungkinkan kita mencari informasi seluas-luasnya, mengembangkan diri, hingga mendapat gambaran utuh tentang apa yang sedang terjadi di dunia dari sebanyak-banyaknya sumber.
Selain itu, kita bisa berkumpul dan berdemonstrasi menuntut hak kita dan orang lain. Kita juga bisa berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan, mendesak transparansi dan akuntabilitas pihak berwenang, bahkan mendorong pemberantasan korupsi dan penghapusan impunitas (ketiadaan hukuman bagi pelaku kejahatan), yang sangat penting bagi perlindungan HAM!
Bagaimana kondisi kebebasan berekspresi di Indonesia sekarang?
Sepanjang 2020, banyak aktivis, jurnalis, akademisi, mahasiswa dan masyarakat yang dibungkam, diintimidasi, dan dikriminalisasi saat menyampaikan pendapat secara damai. Amnesty mencatat setidaknya 119 kasus pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi menggunakan UU ITE sepanjang 2020, jumlah terbanyak dalam enam tahun terakhir.
Selain kriminalisasi dengan UU ITE, pada tahun 2020 ada setidaknya 60 kasus serangan dan intimidasi digital yang dialami organisasi, aktivis, jurnalis dan akademisi per 30 November 2020.
Kebebasan sipil di Indonesia tahun 2020 juga menurun, bahkan terburuk sejak 10 tahun terakhir. Kebebasan sipil adalah salah satu indikator indeks demokrasi yang disusun oleh Economist Intelligence Unit (EIU), mencakup kebebasan berekspresi, kebebasan berkumpul, dan kebebasan pers. Dari skor 1-10, kebebasan sipil Indonesia jatuh di angka 5.59.
1 note
·
View note
Text
Perkembangan Kesusastraan Indonesia Pada Masa Orde Baru
Orde baru merupakan tata pemerintahan dengan sistem baru di Indonesia, berlangsung sejak tanggal 11 Maret 1966 hingga 20 Mei 1998. Menurut Basori, orde baru merupakan rezim yang otoriter dan rakyat dibungkam untuk menyuarakan, baru di era reformasi rakyat berani berbicara. Rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto mampu berkuasa selama 32 tahun di Republik Indonesia. Melalui proses yang cukup panjang, pemerintah Orde Baru berusaha menciptakan stabilitas politik dan keamanan nasional pasca peristiwa 1965. Lahirnya Orde Baru diawali dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) oleh Presiden Soekarno kepada Letjen Soeharto. Surat berisi instruksi presiden agar Letjen. Soeharto sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan dalam rangka menjamin keamanan, ketenangan, dan stabilitas pemerintahan demi keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia.

Pada periode atau kurun waktu 1966-1980 bisa dikatakan sebagai tahapan dari era konsolidasi Orde Baru dan Soeharto. Sebagai upaya untuk menggantikan posisi Soekarno, kemunculan dari Jenderal Soeharto yang bahkan sebelumnya tidak dikenal, menjadi aktor yang cukup berperan dalam perubahan tatanan politik pasca peristiwa 65. Namun pada awalnya perubahan yang dilakukan oleh Jenderal Soeharto tidaklah cukup radikal. Setiap pengarang memiliki pandangannya sendiri-sendiri mengenai keadaan sosial pada masyarakat. Selain itu, setiap pengarang juga memiliki pertanggungjawaban besar untuk karya-karya yang mereka buat, apalagi ketika membicarakan mengenai keadaan sosial politik di Indonesia. Pada rezim Orde Baru, pers dibungkam serta segala sesuatu yang menyinggung politik pemerintahannya akan segera dihilangkan jejaknya dari peradaban. Maka dari itu, beberapa pengarang melakukan perlawanan melalui karya sastra, seperti cerpen “Malam Terakhir” dalam kumpulan cerpen Malam Terakhir karya Leila S. Chudori, cerpen “Eksodus” dalam kumpulan cerpen Iblis Tidak Pernah Mati karya Seno Gumira Ajidarma, cerpen “Jaring-Jaring Merah” dalam kumpulan cerpen Juragan Haji, dan cerpen “Penguburan Kembali Sitaresmi” dalam Koleksi Cerita Pendek Kompas Minggu 2015 karya Triyanto Triwikromo. Keempat cerpen tersebut merupakan suatu bentuk kritik sosial terhadap rezim Orde Baru yang akan menjadi bahan penelitian.
Pada rezim Soeharto (1966-1998), disebut juga era orde baru, melalui Kejaksaan Agung pemerintah melarang beberapa buku sastra untuk dimiliki, disimpan, diedarkan, dan dibaca. Buku-buku sastra yang dimaksud terutama adalah buku-buku yang ditulis oleh para pengarang Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang dianggap pemerintah pada waktu itu berafiliasi pada komunis. Salah seorang korban pelarangan buku tersebut adalah Bambang Isti Nugroho, mahasiswa Universitas Gadjah Mada yang dijatuhi hukuman penjara karena membaca dan mengedarkan buku Bumi Manusia, salah satu buku seri pertama Tetralogi pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer.
Mengapa rezim Soeharto yang disebut juga era Orde Baru begitu represif terhadap karya sastra dan karya jurnalistik? Menurut Heryanto (1996) Barangkali regim menganggap bahwa karya sastra sebagai isme punya tradisi panjang untuk merayakan keterbukaan makna ketidakterpaduan, kemajemukan, ketidakpastian atau ambigiusitas. Tentu saja sastra yang dimaksud adalah sastra yang tidak terkungkung oleh romantisme dan humanisme, namun sastra yang postmodernisme, satu diantaranya adalah otokritik terhadap kecongkakan ilmu dan kekuasaan Barat di dunia dalam pembangunan di Indonesia.
Pengaruh dimensi eksternal dalam bahasa memunculkan istilah kekuatan (force) dan dan hegemoni (hegemoni) kekuatan lebih ditafsirkan sebagai penggunaan daya paksa untuk membuat orang lain menaati syarat-syarat tertentu. Hegemoni sebagai kepatuhan aktif dari kelompok-kelompok yang didominasi oleh kelas yang berkuasa melalui penggunaan kepemimpinan intelektual, moral, politik atas teks dan penafsirannya. JIka pada orde Soeharto mampu menciptakan kata-kata yang dapat menekan, menyudutkan, mengerem, dan menyeragamkan kata, puisi-puisi Wiji Thukul pun, mampu memberikan kekuatan moral rakyat yang anti Soeharto untuk melakukan perubahan. Akibat dari kuasa rezim waktu itu, Wiji Thukul sampai saat ini dihilangkan dan tak tak tahu dimana berada. Dengan kata lain, rezim akan melalui konstruksi bahasa yang diciptakan mengembangkan dan memperluas kekuasaannya dan pengkritik rezim menggunakan bahasa untuk mematahkan pengaruhnya.
Bukan hanya puisi Wiji Thukul yang memberi kekuatan moral, puisi-puisi Cak Nun (Emha Ainun Najib), Linus Suryadi AG, Gus Mus (KH Mustofa Bisri), dan lain-lain. Gus Mus dicekal tidak boleh membacakan puisinya dalam Poetry Reading Solidaritas Bosnia pada pertengahan tahun 1990-an. Dramawan Ratna Sarumpaet juga dicekal di beberapa kota ketika mementaskan drama “Marsinah Menggugat” oleh Teater Satu Merah Panggung. Drama tersebut berkisah pembunuhan Marsinah, aktivis Buruh Pabrik di Sidoarjo yang diculik, disiksa, diperkosa, dibunuh, dan mayatnya dibuang di hutan jadi di Kabupaten Nganjuk. Aparat keamanan bersenjata lengkap membubarkan pentas teater Marsinah Menggugat di Bandung, bagaikan menghadapi satu batalyon tentara musuh. Walaupun tidak secara langsung mengkritik pemerintah Drama N. Riantiarno, Puisi Taufik Ismail dalam Tirani dan Benteng dan Malu Aku jadi Orang Indonesia (MAJOI) , puisi Sutardji Calzoum Bachri, dan Cerpen Putu Wijaya, menggunakan bahasa yang memiliki hegemoni berdampak pada para pembacanya. Kritik dalam karya sastra dapat dilakukan secara tidak langsung seperti yang terjadi di Thailand, Hongkong, Korea, dan Negara-negara Asia lainnya.
Kini zaman sudah berubah, novel-novel dan karya sastra penulis Lekra yang pernah dilarang oleh pemerintah sudah tercetak dan dijual bebas di toko buku dan dengan mudah pembaca memilikinya. Masihkan penguasa melihat bahwa karya sastra dianggap sebagai “produk membahayakan”? Paradigma ini harus ditinggalkan ketika persoalan keberaksaraan nasional kita masih dalam titik nadir. Perlu publikasi karya sastra besar-besaran. Perlu penerjemah profesional yang menduniakan karya sastrawan Indonesia, peru regulasi yang memudahkan penulis dan penerbit agar pembaca bisa memperoleh bacaan yang murah dan mudah. Bangsa Indonesia menjadi melek aksara dengan memperoleh berita dan cerita melalui karya sastra anak bangsa.
Beberapa gagasan yang dikemukakan oleh Rosidi (1984:123) mengenai pendidikan sastra yang saat ini masih belum dilaksanakan sepenuhnya diantaranya (1) menyediakan buku-buku sastra Indonesia secara lengkap, baik buku terjemahan, saduran baik dari sastra daerah maupun sastra dunia baik klasik maupun modern; (2) memberikan rangsangan bagi karya kreatif dengan memberi hadiah tahunan berdasarkan karya, baik yang dilakukan pemerintah maupun swasta; (3) memberi rangsangan bagi penerbitan karya sastra dan pasar pembelinya. Penerbit minimal mencetak 1000 eksemplar untuk disebarkan ke 1000 perpustakaan atau 500 perpustakaan dengan mendapatkan 2 eksemplar. Melalui politik pendidikan kesastraan diharapkan bangsa Indonesia mampu memahami kebudayaan dan pikiran bangsanya, mampu berkepribadian Indonesia dan menghargai karya-karya kemanusiaan bangsa lain melalui penerjemahan karya sastra. Sastra akan mempu memberikan pencerahan manakala pembaca mendapatkan kemanfaatan dengan memahami ekspresi para tokoh latar yang digambarkan jalan cerita, dan tema yang ditulis pengarangnya.
Dapat disimpulkan bahwa orde baru merupakan tata pemerintahan dengan sistem baru di Indonesia, yang berlangsung sejak tanggal 11 Maret 1966 hingga 20 Mei 1998. Menurut Basori, orde baru merupakan rezim yang otoriter dan rakyat dibungkam untuk menyuarakannya, baru di era reformasi rakyat berani berbicara. Rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto mampu berkuasa selama 32 tahun di Republik Indonesia. Melalui proses yang cukup panjang, pemerintah Orde Baru berusaha menciptakan stabilitas politik dan keamanan nasional pasca peristiwa 1965. Lahirnya Orde Baru diawali dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) oleh Presiden Soekarno kepada Letjen Soeharto. Surat berisi instruksi presiden agar Letjen Soeharto sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan dalam rangka menjamin keamanan, ketenangan, dan stabilitas pemerintahan demi keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia. Salah satu perkembangan kesusastraan Indonesia pada masa orde baru yaitu novel-novel dan karya sastra penulis Lekra yang pernah dilarang oleh pemerintah sudah tercetak dan dijual bebas di toko buku dan dengan mudah pembaca memilikinya. Masihkan penguasa melihat bahwa karya sastra dianggap sebagai “produk membahayakan”? Paradigma ini harus ditinggalkan ketika persoalan keberaksaraan nasional kita masih dalam titik nadir. Perlu publikasi karya sastra besar-besaran. Perlu penerjemah profesional yang menduniakan karya sastrawan Indonesia, peru regulasi yang memudahkan penulis dan penerbit agar pembaca bisa memperoleh bacaan yang murah dan mudah. Bangsa Indonesia menjadi melek aksara dengan memperoleh berita dan cerita melalui karya sastra anak bangsa.
4 notes
·
View notes
Text
Gubernur Sumatera Utara, Edy Rahmayadi : Kritik Boleh Tapi Jangan Karena Sentimen
Gubernur Sumatera Utara, Edy Rahmayadi : Kritik Boleh Tapi Jangan Karena Sentimen
Gubernur Sumatera Utara (Gubsu) Edy Rahmayadi sangat mengapresiasi tumbuhnya pers di daerah dan sepakat pers tidak boleh bungkam. Pers harus merdeka. Hal ini dinyatakan Edy Rahmayadi ketika menerima kunjungan Ketua Umum PWI Pusat Atal S Depari. Atal bersilahturrahmi seusai jalan pagi bersama dengan Gubsu Edy Rahmayadi. Edy Rahmayadi menilai pers tidak boleh dibungkam. Salah satu peran pers…

View On WordPress
0 notes
Text
Penguntit dan peretas digital (terkait kekerasan dan kejahatan) itu biasanya menguntit dan meretas perangkat semua orang yang dikenalnya. Korbannya tidak hanya satu. Tapi banyak, bahkan bisa sampai semua.
Semoga ada UU yang bisa memberikan denda Rp 4 kuadriliun minimal, per orang, per akun yang dikuntit dan diretasnya, per detik.
Ada pola dimana para penguntit dan peretas kini mulai menonaktifkan medsos mereka (termasuk akun-akun samaran yang mereka gunakan untuk melakukan aksi kejahatan tersembunyinya), menghapus percakapan mereka dengan timnya di chat grup soal rencana menjebak (hingga menghabisi nyawa) calon korban mereka, menghapus dan menghilangkan barang bukti kejahatan, dan menyembunyikan diri.
Siapapun yang bisa bantu ekspos kejahatan dan rencana jahat mereka, gue sangat mendukung. Proteksi diri kalian, terutama secara spiritual 5D, ya. Alias minta perlindungan ke Tuhan supaya perjuangan kalian diberkahi Tuhan selamanya.
Kita sudah masuk ke zaman detoks dari narsisisme alias ekspos-mengekspos kejahatan dan kekerasan yang selama ini disembunyikan dari banyak orang. Semua korban kejahatan dan kekerasan yang selama ini dibungkam (dan berjuang sendirian) akan bersuara, membela hak-haknya.
Semua ketidakadilan di dalam permukaan, akan terkuak, muncul ke permukaan. Atas izin Tuhan.
Gue dukung mereka.
Loe, gimana?
Hikmah: Pastikan niat kita selalu baik terhadap Tuhan dan sesama. Untuk menolong dan menyelamatkan, bukan menjebak dan menjerumuskan. Yah?
0 notes
Text
Aksi Damai FKJ di Palopo Menolak Pers Dibungkam; Bebaskan Wartawan Asrul
Aksi Damai FKJ di Palopo Menolak Pers Dibungkam; Bebaskan Wartawan Asrul
BERITA.NEWS, Palopo – Puluhan jurnalis yang tergabung dalam Front Kepedulian Jurnalis (FKJ) menggugat dan menyuarakan kekecewaannya mereka terhadap adanya pembungkaman kebebasan pers yang dilakukan oleh penegak hukum di wilayah hukum Sulawesi Selatan. Mereka menilai Jurnalis Asrul yang dituntut Satu Tahun Enam Bulan menyalahi undang-undang pers. Asrul didakwa melanggar Undang-Undang ITE, karena…

View On WordPress
0 notes
Text
TELAK!! PDIP: Balapan Formula E Gak Bikin Kenyang, Netizen: Yang Bikin Kenyang itu Korupsi Bansos


KONTENISLAM.COM - Anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PDIP, Agustina H alias Tina Toon, memprotes rencana balapan dunia Formula E. Tina Toon menilai balap Formula tak bikin kenyang. "Balapan nggak bikin kenyang, Ketua, kita masih COVID, masih banjir, masih terancam banyak, Ketua, sebagai warga. Banyak prioritas, mohon ketua jangan sampai rapat ditutup. Tolong berikan kami kesempatan menyampaikan usulan!" kata Tina Toon, dalam rapat, Selasa (28/9/2021). Ocehan politikus PDIP Tina Toon ini langsung dibungkam netizen. "Yang bikin kenyang tuh, Korupsi Bansos 🤭😅🤣. Dah gitu aja! @tinatoon101," balas @marlina_idha. Seperti diketahui, Wakil Bendahara Umum PDIP yang merupakan mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara akhirnya divonis 12 tahun penjara dalam kasus korupsi Bantuan Sosial untuk pandemi covid-19. GIMANA GAK KENYANG? TOTAL KERUGIAN NEGARA DALAM KASUS KORUPSI BANSOS DITAKSIR MENCAPAI RP 2 TRILIUN Penyidik nonaktif KPK Andre Dedy Nainggolan menyebut kasus suap bantuan sosial (bansos) Covid-19 yang menyeret eks Menteri Sosial Juliari Peter Batubara berpotensi merugikan negara hingga Rp 2 triliun. Hal itu disampaikan eks kepala satuan tugas (Kasatgas) penyidik kasus suap tersebut dalam diskusi yang diselenggaran Indonesia Corruption Watch (ICW). Andre mengatakan timnya menemukan data yang mengindikasikan bahwa nilai sembako yang disalurkan ke masyarakat disunat hampir setengah dari total Rp 270 ribu per paket. Ia mengatakan, ada salah satu perusahaan hanya menyediakan bansos dengan nilai Rp 170 ribu per paket. Dari data itu, Andre mengasumsikan ada Rp 90 ribu uang negara yang menguap dari setiap paket bansos. Bila nilai itu dikalikan dengan total paket Bansos, maka nilai kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 2 triliun. "Setidaknya ada 90 ribu per paket sudah hilang nilainya. Kalau kita kalikan dengan jumlah seluruhnya itu bisa mencapai Rp 2 triliun," kata Nainggo. https://ift.tt/39SvySK
Yang bikin kenyang tuh, Korupsi Bansos 🤭😅🤣 Dah gitu aja!@tinatoon101 pic.twitter.com/G7TZETfnuk
— Marlina ▪︎ mawar 🌹 (@marlina_idha) September 29, 2021
from Konten Islam https://ift.tt/39UOZKA via IFTTT source https://www.ayojalanterus.com/2021/09/telak-pdip-balapan-formula-e-gak-bikin.html
0 notes
Link

Surabaya. lintasbatasnews.com - Mara Salim Harahap, wartawan senior di media online Laser News Today, tewas dengan beberapa luka tembak di dalam mobilnya. Dia diduga diberondong tembakan oleh kelompok tak bertanggungjawab.
Kematian wartawan itu menggenapi beberapa kasus kejadian yang menimpa wartawan Indonesia, termasuk terakhir wartawan Kontributor Majalah Tempo di Surabaya, disekap dan diancam bunuh oleh oknum aparat saat hendak mewawancarai salah seorang tersangka KPK yang menggelar resepsi pernikahan anaknya.
Menyikapi itu, Komunitas Jurnalis Jawa Timur (KJJT) melalui penasehat hukumnya, Erles Ray Rego Raja Laka SH. MH, selain menyampaikan duka cita yang mendalam, juga turut perihatin akan situasi kebebasan berpendapat di Indonesia melalui media.
Bahkan ada ancaman serius di dalam profesi jurnalis yang merupakan pilar demokrasi dunia.
Erles mengajak semua jurnalis bersatu. Bahkan mendesak kepada Jendral Pol Lestyo Sigit selaku Kepala Kepolisian Republik Indonesia ( Kapolri ) untuk mengusut tuntas kasus penembakan terhadap wartawan Marsal (Mara Salem Harahap) tersebut.
Pengacara kondang ibu kota ini meyakini bahwa Polri akan mengungkap dan menginvestigasi seluruh kekerasan yang menimpa terhadap wartawan.
"Kasus seperti ini harus menjadi perhatian semua pihak, dan dikawal sampai kepada persidangan," ujarnya pada Senin (21/06/2021).
Secara komprehensif KJJT juga mengajak Dewan Pers, dan organisasi wartawan seprofesi untuk menjadikan fokus utama perhatian, agar kasus serupa tidak terjadi di kemudian hari.
KJJT adalah bagian kecil dari organisasi profesi di Indonesia, selain PWI, AJI dan IJTI KWRI, PWRI, PPWI atau lembaga Asosiasi Pers lainnya, sehingga kejadian seperti ini harus jadi fokus perhatian agar tidak terjadi menimpa kepada yang lain.
"Kalau perlu kita akan minta hearing dengan Komisi III DPR RI karena negeri ini bukan negara "bar bar" atau hukum rimba. Tapi hukum positif yang berlaku, negara kita negara hukum," ujar Erles didampingi Ketua KJJT, Slamet Maulana biasa disapa Ade.
Erles yang diberi kepercayaan untuk menjadi penasehat hukum KJJT juga akan menindaklanjuti kasus tersebut dengan mengirim surat ke Kapolri, DPR RI dan Presiden agar kasus seperti ini jadi perhatian.
"Ini menyangkut demokrasi, menyangkut hajat hidup orang banyak, menyangkut profesi mulia wartawan dan menyangkut nyawa manusia," ujar Erles Rareral.
Masyarakat Indonesia diyakini Erles bukan masyarakat tak bermoral. Cara cara kekerasan dalam menyelesaikan masalah tidak harus melakukan dengan cara tidak manusiawi.
Dia melihat ada kepentingan besar di balik kejadian ini, dan motif-motif tertentu sehingga wartawan jadi sasaran. Padahal, wartawan adalah profesi mulia, pekerjaan wartawan adalah profesi yang dilindungi Undang - undang dan individunya merupakan pribadi yang memiliki sense of crisis tinggi.
"Jangan sampai demokrasi dibungkam dengan peluru dan senjata. Mengungkap kejahatan, menguak mana yang benar dan keliru, adalah bagian tugas profesi wartawan karena nuraninya terpanggil ingin menegakkan kebenaran," ucap Erles.
Selanjutnya, Ade Ketua KJJT dia mengajak seluruh anggota KJJT melakukan konsolidasi, dan meningkatkan kewaspadaan terhadap bahaya profesi yang mengancam belakangan.
Untuk itu, KJJT dalam keberlangsungan oganisasinya akan terus memberikan input, injeksi dan suntikan strategi dan tak tik dalam menjalankan profesi di tengah riuh kondisi carut marut moral bangsa ini.
"Selain Iptek, dan pemberian masukan agar bidang pengamanan dan profesi di KJJT bisa lebih taktis dalam menjalankan tugasnya," jelentrehnya (21/06/2021).
Terakhir, KJJT mendesak semua pihak, mulai Presiden, Kapolri, Ketua DPR dan Penglima TNI untuk memberikan perlindungan secara serius kepada keamanan dan keselamatan masyarakatnya termasuk profesi wartawan.
"Kami seluruh keluarga besar KJJT dari pengurus, pendiri dan anggota menyampaikan duka cita kepada keluarga yang ditinggal, dan berdoa agar diberi kesabaran dan keikhlasan. Meski rekan Marsal telah mendahului kita, kami disini seluruh wartawan bersatu untuk terus melanjutkan perjungannya," tutup Ade. (*)
0 notes
Text
Bayangkan
Ketika aplikasi obrolan menggunakan kecerdasan buatan, idealnya kecerdasan buatan itu dibuat secara visioner dan intuitif juga. Supaya yang sesuai fakta di lapangan pun tidak dianggap hoaks.
Ciri akhir zaman, yang salah dianggap benar, yang benar dianggap salah.
Yang membahayakan dianggap menyehatkan. Yang menyehatkan dianggap berbahaya.
Bahkan aplikasi obrolan pun sudah menerapkan hal ini. Tidak peduli mana yang benar dan salah. Yang menurut mesin mereka salah, meskipun sebenarnya benar, dianggap salah. Yang benar dan sesuai dengan pengalaman orang di lapangan pun dianggap hoaks. Semena-mena. Karena mesin dikendalikan manusia, bukan Tuhan. Manusia biasa pasti bisa melakukan kesalahan. Kalau Tuhan, tidak.
Akibatnya, aplikasi tersebut main blokir. Untuk membungkam kebenaran (selain membungkam hoaks dalam skala global). Otoriter. Toksik. Dan jelas sudah melanggar HAM. Karena ikut campur dengan kebebasan berbicara dalam skala privat. Tidak paham soal batasan sehat dalam menjaga privasi setiap individu. Gue tidak bicara dalam skala grup, ya, tapi ini per individu. Karena dari dulu gue juga tidak tertarik dengan grup yang memang sempat masif banget penyebaran hoaksnya dalam waktu lama. Gue sangat kritis soal itu, secara pribadi, hingga menyeleksi mana yang baik untuk gue dan mana yang tidak. Maaf.
Gue pakai aplikasi hanya untuk yang penting-penting aja. Tapi ketika yang penting-penting aja ikut dibungkam, gue nggak ngerti lagi mesti apa.
Untungnya, kecerdasan buatan belum bisa mengalahkan cara kerja para visioner dan intuitif. Karena mereka punya pola pikir abstrak yang tidak bisa dibuktikan saat ini, tapi baru ketahuan kebenarannya 20 tahun lagi. Mereka tidak bisa menjelaskan dengan bahasa manusia biasa, tapi mereka tahu apa yang terjadi sebenarnya. Untungnya mesin hanya bisa mendeteksi pola tertentu dan punya kelemahan di banyak pola lainnya. Untungnya manusia masih bisa lebih unggul berkat kecanggihan pikiran yang Tuhan berikan kepada mereka yang visioner dan intuitif.
Dan jangan mengajari kita semua jadi pribadi yang konsumtif. Yang karena masih pakai smartphone versi lama, misalnya, kita tidak bisa mengikuti updatean aplikasinya selamanya (sementara aplikasi obrolan lainnya tidak menerapkan standar itu). Hingga terpaksa harus beli smartphone tercanggih. Sekarang lagi resesi. Masuk akallah sedikit. Tolong. Ciptakan aplikasi yang bisa digunakan oleh semua kalangan, terutama kalangan terbawah (juga yang anti peretasan oleh pihak manapun, termasuk oleh aplikasi itu sendiri). Mudahkanlah, jangan persulit. Jika terus mempersulit, dengan sendirinya aplikasi tersebut akan ditinggalkan oleh banyak pengguna. Realistis saja.
Selamat tinggal, WhatsApp.
0 notes
Text
Rebut Ekonomi, Otsus dan Pemekaran Papua Akibat Lebelkan Teroris

Kepentingan penguasa, pengusaha dan elit politik demi alam dan tanah Papua telah terbaca pada akhir-akhir ini, setelah adanya wacana mengevaluasi Undang-Undang Omnibus Law di pemerintah Pusat di akhir-akhir tahun 2020. Perbincangan Undang-Undang Omnibus Law sebagai bentuk memperkecil kekuatan dalam perputaran roda ekonomi tetapi juga memperluas kekuatan demi membuka lahan baru untuk kepentingan tertentu dalam satu wilayah. Tentunya kepentingan untuk pengusaha, penguasa dan elit politik. Dalam pembahasan Undang-Undang Omnibus Law, perusahaan berskala besar yang bekerjama dengan China dan beberapa negara juga ikut membahas persoalan tambang Emas yang berada di sekitara pegunungan tengah Papua, Mulai dai Intan Jaya, Timika, Puncak Jaya, Pegunungan Bintang dan Puncak Papua. Berdasarkan Rilis CNBC Indonesia, bahwa PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) disebut bakal mengelola tambang emas di Papua yakni Blok Wabu, yang merupakan bekas lahan tambang PT Freeport Indonesia di Papua. Sebagai kilas balik, Blok Wabu dikembalikan PT Freeport Indonesia kepada pemerintah pusat pada awal Juli 2015 lalu sebagai bagian dari kesepakatan dalam amandemen kontrak karya di mana saat itu Freeport membutuhkan kepastian perpanjangan operasi tambang yang akan berakhir pada 2021. Dalam salah satu poin renegosiasi kontrak yaitu pemerintah pusat meminta Freeport Indonesia untuk menciutkan luas wilayah operasi tambangnya. Pada saat itu luas wilayah tambang Freeport mencapai 212.950 hektar, sedangkan berdasarkan Undang-Undang no.4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara, luas wilayah pemegang Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi mineral maksimal sebesar 25.000 hektar. Artinya, luas lahan operasi tambang Freeport pun harus diciutkan. Akhirnya, pada awal Juli 2015 Freeport secara resmi mengembalikan sebagian wilayah operasi tambangnya kepada pemerintah Indonesia menjadi 90.360 hektar. Meski masih di atas batas maksimal luas wilayah pertambangan yang diatur pemerintah, namun selebihnya itu disebut hanya sebagai wilayah penunjang operasi tambang. Tak tanggung-tanggung, pengembalian Blok Wabu oleh Freeport ini disampaikan langsung oleh Chairman of the Board Freeport-McMoran Inc, James R. Moffet, didampingi oleh Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Kamis, 2 Juli 2015 di Istana Kepresidenan. "Ada lokasi yang memiliki potensi kandungan yang cukup besar (yang dikembalikan ke pemerintah) yakni Blok Wabu," tutur Maroef, seperti dikutip dari detikFinance pada Kamis, 2 Juli 2015. Adapun luas Blok Wabu mencapai 10.700 hektar dan potensi sebesar 4,3 juta ton bijih emas berkadar emas (Au) 2,47 gram per ton. Berdasarkan sumber CNBC Indonesia, potensi cadangan emas dari Blok Wabu, Papua ini bernilai hingga US$ 14 miliar atau sekitar Rp 207,2 triliun (asumsi kurs Rp 14.800 per US$). Bila margin tambang emas mencapai 30%, artinya Antam bisa memperoleh keuntungan hingga Rp 62,16 triliun selama mengelola tambang emas di Papua ini. Besarnya potensi cadangan emas di Blok Wabu ini turut menarik minat Pemerintah Daerah Papua untuk mengelola blok ini. Dikutip dari berbagai sumber, Pemerintah Provinsi Papua bahkan meminta Menteri ESDM untuk segera menerbitkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) di Blok Wabu, sehingga Pemda bisa mencari investor untuk mengelola blok ini. Berdasarkan UU No.4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara, wilayah tambang yang telah dikembalikan atau berakhir itu dapat ditawarkan kepada badan usaha, koperasi, atau perseorangan melalui mekanisme sesuai dengan ketentuan dalam UU ini. Dengan dikembalikannya Blok Wabu dan penciutan luas wilayah operasi tambang Freeport itu, maka Freeport menyatakan telah menyepakati dan melaksanakan sebagian dari kesepakatan terkait Amandemen Kontrak Karya. Adapun poin lain dalam amandemen kontrak karya yang disetujui Freeport saat itu yaitu menyetujui pengurangan luas wilayah, meningkatkan penerimaan negara, menambah kapasitas dan ekspansi smelter dalam negeri, serta meningkatkan kepemilikan pihak nasional Indonesia atas saham PTFI dan mengutamakan penggunaan tenaga kerja lokal serta barang dan jasa dalam negeri. Setelah perjalanan panjang pembahasan perpanjangan operasi tambang Freeport, pada akhir 2018 akhirnya Indonesia melalui Holding BUMN tambang yakni PT Inalum (Persero) mengakuisisi 51% saham PT Freeport Indonesia senilai US$ 3,85 miliar. Penandatanganan dokumen penyelesaian transaksi ditandatangani oleh Direktur Utama PT Inalum, Budi Gunadi Sadikin, dan CEO Freeport McMoRan, Richard Adkerson, di kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada Jumat, 21 Desember 2018. Rampungnya akuisisi ini karena sudah disepakatinya empat poin penting dengan pemerintah Indonesia, salah satunya yaitu perpanjangan masa operasi Freeport Indonesia selama 2x10 tahun hingga 2041 melalui penerbitan IUPK. Direktur Utama Inalum, Orias Petrus, selaku pimpinan holding BUMN pertambangan mengatakan bahwa pengelolaan gunung emas di Blok Wabu, Provinsi Papua, akan diserahkan kepada PT Aneka Tambang (Antam). Dari Holding MIND ID, yang ahli emas adalah Antam, maka pengelolaan nantinya akan diserahkan kepada Antam (seperti yang dilangsir WE Online, pada pada 29 September 2020 Kata dia, nantinya Antam akan bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua dalam mengelola tambang emas tersebut. Orias mengatakan, saat ini masih dalam tahap awal. Blok Wabu memiliki potensi emas yang diperkirakan mencapai 8,1 juta troy ounce. Area tersebut merupakan lahan bekas PT Freeport, tetapi belum sempat dieksploitasi untuk diproduksi kandungannya. Berdasarkan data dihimpun Antara, Blok Wabu dikembalikan Freeport kepada negara secara resmi pada 2015. Blok Wabu diperkirakan berisi potensi kandungan emas sebesar 4,3 juta ore. Namun, lokasi Blok Wabu berada pada wilayah yang sulit diakses meski cadangan emas cukup tinggi. Pada prinsipnya, dalam ilmu ekonomi dijelaskan pada prinsip-prinsip ekonomi bahwa artinya berusaha dengan pengorbanan sekecil-kecilnya untuk memperoleh hasil tertentu atau dengan pengorbanan tertentu ingin memperoleh hasil maksimal. Prinsip ekonomi berlaku dalam tiga kegiatan ekonomi yaitu produksi, distribusi dan konsumsi. Secara umum, penggunaan prinsip ekonomi mempunyai tujuan: Memaksimalkan keuntungan di mana kita mendapatkan hasil yang sebesar-besarnya. Meminimalkan kerugian dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya. Persoalan diatas dengan kencangnya niat membuka tambang di Intan Jaya, maka munculnya penolakan dari berbgai pihak, terutama dari Mahasiswa. Penolakan beroperasi PT Blok Wabu. Penolakan terhadap perizinan wilayah pengoperasian Blok Wabu menjadi sorotan banyak pihak. Setelah sebelumnya Keuskupan Timika, DPRD Intan Jaya, dan Dewan Pimpinan Daerah Partai Demokrat Provinsi Papua, kini mahasiswa asal Intan Jaya di Sulawesi Utara (Sulut) juga nyatakan sikap tegas untuk menolak pengoperasian Blok Wabu. Ketua Mahasiswa Intan Jaya di Sulut, Aprianus Sani, menegaskan pengorganisasian tersebut akan menyengsarakan rakyat karena belum pernah ada persetujuan rakyat dan mahasiswa. “Ini dirancang oleh Indonesia dan Amerika Serikat demi kepentingan investor asing yang jelasnya akan berujung pada korban berjatuhan korban nyawa rakyat pribumi Intan Jaya. Sekarang sebelum dimulai saja korban berjatuhan sia-sia,” ujar Aprianus Sani kepada Jubi, Edisi 9 Ferbruari 2021. Sani menjelaskan tanggal 7 April 1967 adalah awal malapetaka bagi rakyat Papua melalui hadir perusahaan raksasa di Tembagapura. Sejak perusahaan raksasa itu beroperasi hingga kini, kata dia, pelanggaran hak asasi manusia dan perusakan hutan dan segalanya bukan lagi sedikit yang menjadi korban. Pihaknya meminta kepada Pemerintah Indonesia di Jakarta dan Pemerintah Provinsi Papua dan Kabupaten Intan Jaya bahwa segera mencabut surat izin usaha. “Ini sudah sistem hegemonistik kolonial yang tidak adil dan hanya untuk menghancurkan rakyat sipil dan alam. Maka kepada lembaga eksekutif dan legislatif Intan Jaya segera membuat pernyataan sikap tolak Blok Wabu itu,” ungkapnya. Otonomi Khusus (Otsus) Papua Barat Seperti yang dilangsir Media Nasional bbc.com Edisi 1 April 2021, bahwa Majelis Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua dan Papua Barat merasa "dibungkam" karena tidak dilibatkan dalam proses revisi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. "MRP menganggap tidak ada niat baik dari pemerintah pusat membangun Papua sebagai satu kesatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia," kata Ketua MRP Timotius Murib kepada wartawan BBC News Indonesia, Raja Eben Lumbanrau, Rabu (31/03). MRP meminta dilakukan evaluasi secara menyeluruh dari Pasal 1 hingga Pasal 79 dalam UU Otsus Papua karena dalam 20 tahun pelaksanaannya UU itu "tidak bernyawa" dan tidak memberikan manfaat kepada orang asli Papua. Sebelumnya, Menko Polhukam Mahfud MD mengusulkan dua perubahan pasal yaitu di Pasal 34 tentang dana penerimaan khusus dan Pasal 76 tentang pemekaran, saat menjadi pembicara Workshop Pendapat BPK terkait dengan Pengelolaan Dana Otsus Provinsi Papua dan Papua Barat, Selasa (30/03). Namun, menurut peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cahyo Pamungkas, UU Otsus Papua tidak hanya sekedar pembagian uang. Namun kenyataannya, usai 20 tahun pelaksanaan, evaluasi atas UU itu hanya terkait dengan dana dan pemekaran. "Jadi untuk apa ada Otsus kalau ada kekerasan? Ini kan kegagalan Otsus di dalam menciptakan perdamaian di tanah Papua," katanya. Cahyo menambahkan, UU Otsus Papua dibentuk sebagai jalan tengah antara tuntutan orang Papua yang ingin merdeka dengan pemerintah yang ingin Papua bertahan dalam NKRI. Sejak 2002 hingga 2020, Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat telah menerima dana Otsus hingga Rp126,99 triliun yang meningkat dari Rp1,38 triliun pada tahun 2002 menjadi Rp13,05 trilun pada 2020 kemarin. Dana Otsus itu, kata Menteri Keuangan Sri Mulyani, akan diperpanjang hingga 20 tahun ke depan dengan estimasi total Rp234,6 triliun atau hampir dua kali lipat lebih besar dibandingkan sebelumnya. MRP: 'Kami dibungkam' Majelis Rakyat Papua merasa "dibungkam" oleh pemerintah pusat karena tidak dilibatkan dalam rencana revisi UU Otsus Papua yang kini sudah masuk ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk kemudian dilakukan pembahasan. "Itu adalah langkah sepihak Jakarta, tanpa persetujuan dan tidak sesuai dengan aspirasi rakyat Papua. Kami mengalami pembungkaman demokrasi hak orang asli Papua. MRP menganggap tidak ada niat baik dari Pemerintah Pusat membangun Papua sebagai satu kesatuan dalam NKRI," kata Ketua MRP Timotius Murib. Timotius menjelaskan, usai 20 tahun pelaksanaan UU Otsus Papua, pemerintah pusat dan masyarakat Papua harus duduk bersama "menyisir" satu demi satu pasal untuk melihat kelemahan dan kelebihan pelaksanaan UU ini, bukan hanya tentang dana dan pemekaran. "Contoh, implemetasi UU Otsus Papua tidak bisa dilaksanakan karena dibenturkan dengan UU yang sektoral, seperti UU Otonomi Daerah sehingga menjadi tidak bernyawa dan tidak memberikan manfaat kepada orang asli Papua," katanya. Akibatnya, empat bidang prioritas dalam UU Otsus Papua yaitu pendidikan, kesehatan, ekonomi kerakyatan dan infrastruktur tidak bisa dilaksanakan untuk kepentingan masyarakat Papua. Sementara itu, dalam revisinya, pemerintah hanya mengusulkan perubahan dua pasal dalam UU Otsus Papua ke DPR, yaitu Pasal 34 dengan menaikan plafon alokasi dana otonomi khusus dari 2% menjadi 2,25%. Kedua, pemerintah merevisi Pasal 76 tentang pemekaran yang mana sebelumnya pemekaran dilakukan atas persetujuan MRP dan DPR provinsi menjadi kini pemerintah dapat melakukan pemekaran secara sepihak. ULMWP dan OPM tolak revisi Otsus Papua Sementara itu, Direktur Eksekutif Gerakan Pembebasan Papua Barat (ULMWP), Markus Haluk, menolak seluruh tawaran dan program pemerintah pusat terkait UU Otsus Papua. "Dana Otsus dan pemekaran itu tidak pernah berdampak ke masyarakat. Itu hanya upaya untuk semakin hadir di tanah Papua, militer diperbanyak, polisi diperbanyak, migrasi semuanya ke Papua tanpa mengetahui akar masalahnnya," katanya. Senada dengan itu, juru bicara TPNPB- OPM Sebby Sambom mencurigai upaya pemerintah sebagai upaya untuk mendatangkan semakin banyak orang dari luar Papua untuk mengambil hak-hak tanah dan kekayaan orang asli Papua. Anak-anak pengungsi dari Kabupaten Nduga, Papua. Peneliti dari LIPI, Cahyo Pamungkas, mengatakan tujuan utama dari dibentuknya UU Otsus Papua adalah untuk memanusiakan, meng-Indonesia-kan orang Papua, dan memperlakukan mereka lebih baik dibandingkan masa lalu yang dipenuhi kekerasan. "Tapi prinsip dibentuknya Otsus itu untuk meng-Indonesia-kan orang Papua, memperlakukan orang Papua lebih baik dari masa lalu yang dipenuhi masalah kekerasan. Di situ ada masalah HAM, kesejahteraan, perlindungan adat dan ekologi," kata profesor riset yang banyak meneliti isu tentang Papua tersebut. "Otsus itu tujuannya agar orang Papua bisa menikmati pembangunan, rekonsiliasi masa lalu, seperti kekerasan politik, dan pelanggaran HAM, memanusiakan mereka sehingga menyatu dengan Indonesia. Tapi ini semua tidak dibahas, yang muncul hanya masalah uang saja," kata Cahyo. Cahyo menjelaskan, UU Otsus disahkan pada tahun 2001 setelah sebelumnya pada pasca-reformasi 1998 terjadi pergejolakan politik dan konflik berdarah di mana masyarakat Papua menuntut kemerdekaan. Karena tidak mungkin memenuhi tuntutan itu, pemerintah memberikan otonomi khusus sebagai jalan tengah. Namun kenyataannya, usai 20 tahun pelaksanaan, evaluasi atas UU itu hanya terkait dengan dana dan pemekaran. "Padahal terdapat empat persoalan utama. Pertama, perspektif Otsus yang pelaksanannya tumpang tindih dengan UU sektoral. Kedua, tata kelola yang tidak sesuai. Ketiga, kekerasan masih berlanjut, bahkan semakin meningkat saat Otsus diberlakukan, seperti di Intan Jaya, Nduga. Jadi untuk apa ada Otsus kalau ada kekerasan? Ini kan kegagalan Otsus di dalam menciptakan perdamaian di tanah Papua," katanya. Terakhir, adalah indeks pembangunan manusia orang asli Papua yang lebih rendah dibandingkan pendatang. Sehingga, menurut Cahyo, seberapa pun dana Otsus dinaikkan, bahkan hingga 10 kali lipat, tidak akan membawa manfaat dan perubahan bagi orang asli Papua. "Jika pembangunan tidak mendengarkan, melibatkan aspirasi, dan memperkuat identitas masyarakat Papua, serta menjaga kelestarian ekologi," ujarnya. "Ini adalah momen tepat untuk melakukan evaluasi total UU Otsus yang melibatkan komponen masyarakat adat, MRP, DPRP, gereja dan perempuan. Sehingga revisi UU ini memiliki legitimasi yang kuat dari bawah," tutupnya. Dana Otsus Papua diperpanjang, pengawasan diperketat Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD, menyatakan pemerintah akan memperpanjang kebijakan dana Otsus Papua. Untuk itu diperlukan revisi beberapa pasal dalam UU Otsus Papua yang drafnya telah diserahkan ke DPR. "Kita akan merevisi pasal 76 yaitu untuk memekarkan daerah provinsi mungkin akan tambah tiga provinsi sehingga menjadi lima, melalui revisi undang-undang bukan perpanjangan UU. Revisi 2 pasal, yaitu Pasal 34 tentang dana dan Pasal 76 tentang pemekaran," ujar Mahfud. Pemerintah juga mengeluarkan Kepres No. 20 Tahun 2020 tentang Tim Koordinasi Terpadu Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, serta membentuk tim hukum untuk melaksanakan penelitian penggunaan dana Otsus. Mahfud menyebut, pembangunan di Papua masih belum efektif yang disebabkan di antaranya situasi keamanan yang tidak kondusif, tingginya kasus korupsi dan belum terintegrasinya sejumlah program pemerintah. Untuk itu Mahfud MD meminta agar pengawasan terhadap penggunaan keuangan negara harus lebih ditingkatkan. Mahfud juga menegaskan bahwa hubungan Papua dan NKRI sudah final, "tidak bisa diganggu gugat, dan akan dipertahankan dengan segala biaya yang diperlukan. Sosial, ekonomi, politik dan keuangan sekalipun, akan kita pertahankan," tegas Menko Polhukam. DPR: Kami perlu dengar suara masyarakat Papua Ketua Panitia Khusus Revisi Undang-Undang Otsus Papua, Komarudin Watubun, mengatakan DPR perlu mendengar aspirasi dari masyarakat dan melihat situasi yang terjadi di Papua. Salah satu aspirasinya, kata politisi PDI Perjuangan tersebut, adalah masyarakat Papua tidak hanya ingin dana dan pemekaran, tapi juga perbaikan perlindungan HAM. "Ada soal pelanggaran HAM. Namun itu aspirasi, dalam negara demokrasi boleh-boleh saja namun semua nanti melalui pembahasan di pansus dan sikap serta fraksi akan melihat urgensinya," kata Komarudin seperti dikutip Antara, Selasa, (30/03). "Jadi ada dua pasal yang diajukan pemerintah dalam revisi UU Otsus Papua. Kita tidak bisa menutup mata bahwa Otsus Papua ada kekurangannya jadi mari diperbaiki," katanya. Revisi UU Otsus Papua telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2021. DPR meyakini, revisi UU tersebut akan selesai pada tahun ini. Pemekaran (DOB) Berdasakrana Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI) Mekar yang artinya, proses, cara, perbuatan menjadikan bertambah besar (luas, banyak, lebar, dan sebagainya) contoh: 'pemekaran lahan persawahan dilakukan dengan membuat sawah-sawah baru di bekas tanah tegalan' Tanah Papua terdapat Dua Provinsi, Papua dan Papua Barat. Dan 29 Kabupaten/Kota di Provinsi papua dan 13 Kabupaten/Kota di Provinsi Papua. Sehingga, dengan melihat kondisi dan situasi saat ini di tanah papua membuat segelintir orang atau elit politik melakukan strategi dan konsep untuk melakukan pemekaran di berbagai wilayah, karena dengan alasan, luas wilayah daerah, penduduk dan sumber daya alam yang berlimpah menjadi-menjadikan niat untuk mekarkan daerah otonomi baru (DOB) di sebuah wilayah. Kondisi saat ini, segerembolan tokoh Papua sedang berusaha untuk memekarkan daerah otonom baru. Dan sebagian orang Tokoh Papua berusaha agar tidak ada lagi DOB di tanah Papua. Alasannya banyak macam-macam. Sejak peristiwa Rasisme tahun 2019, ketika Aktivis, Mahasiswa dan Rakyat Papua ditangkap, segelintir Tokoh Papua mengunjungi Presiden RI di Jakarta dengan maksud agar Tanah Papua aman dan tentraman dari segala macam kekerasan yang terjadi. Tetapi, selain itu, juga meminta Daerah Otonom Baru (DOB) di tanah Papua, baik Pemekaran Provinsi Papua dan daerah kabupaten. Sejauh itu, Pemerintah Papua dan Pemerintah Pusat saling menarik, agar pemekaran harus segera terjadi. Namun, sekelompok Tokoh Papua termasuk Gubernur Papua tidak menyetujui adanya DOB baru di tanah Papua. Persoalan pemekaran semakin kencang dibahas di Pusat, baik tingkat Legislatif DPR RI dan Eksekutif dan termasuk segelintir Tokoh-Tokoh Papua. Hingga, terakhir Pemerintah Pusat mengelarkan Pernyataan kalau tidak akan adanya Pemekaran di tanah Papua. Lebel Teroris Pemerintah Pusat telah menetapkan OPM/TPNPB sebagai organiasai Teroris setelah adanya pembahasan. Keputusan yang diambil Pemerintah Pusat merupakan keputusan yang bersifat menaatai hukum yang berlaku di Repubik ini. Read the full article
0 notes
Text
WPFD 2021, AJI dan PFI Gelar Pameran Foto Refleksi Darurat Pers di Aceh
WPFD 2021, AJI dan PFI Gelar Pameran Foto Refleksi Darurat Pers di Aceh
BANDA ACEH | ACEHKITA.COM – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh bersama Pewarta Foto Indonesia (PFI) Aceh menggelar pameran foto dan diskusi Refleksi Darurat Pers di Aceh yang mengusung tema ‘Jurnalis Tak Bisa Dibungkam’ pada Rabu (28/4). Kegiatan ini digelar dalam rangka kampanye kemerdekaan pers menjelang peringatan World Press Freedom Day (WPFD) 2021 yang diperingati setiap 3…

View On WordPress
0 notes
Text
aku sedang di posisi, di mana setiap detiknya aku harus mengatakan kepada diriku sendiri bahwa "aku tidak sendiri". namun pada kenyataannya aku sendirian. aku mengatasi situasi ini, menyangkal dalam hatiku, dengan terus mengatakan "hei, kamu tidak benar-benar sendiri". dan aku perlu memproses isi kepalaku juga, mengajaknya berpura-pura agar bisa sinkron dengan hatiku yang isinya juga palsu.
di satu sisi, aku memang percaya aku tidak sendirian. ada Tuhan dan malaikat-malaikatnya yang ajaib. mereka membersamaiku. selalu. tidak pernah meninggalkanku, seperti mereka. dan karena amat sangat percaya dengan Tuhan, aku menyibukan diri, membuat waktuku yang terbuang sendiri harus tetap dalam kondisi yang produktif.
aku memperhatikan orang-orang di sekitarku. tentu saja secara virtual. karena pandemi, ia mengubah duniaku. tidak sekali dua kali, tapi sampai detik aku menuliskan hal ini, aku ingin sekali berkata "pandemi sialan, kau merusak rencana-rencanaku". tapi aku dibungkam. aku merutukinya sendiri dalam diamku.
kembali kepada aku yang sendirian. aku terkukung di dalam gedung, tepatnya di lantai dua. satu per satu orang-orang yang tersisa di sini pergi, walaupun mereka pergi bukan untuk meninggalkanku, tapi mereka punya tempat untuk singgah, intinya sama saja tetap aku sendiri yang tersisa. untuk sekarang dan sementara waktu aku memilih untuk tidak memiliki tempat seperti itu. karena aku perlu tempat untuk pulang dan beristirahat. bukan tempat singgah. aku perlu tempat untuk bahagia dan tujuanku di sana. bukan di sini.
ada banyak hal yang aku pelajari ketika sendiri seperti saat ini, pertama aku semakin dekat dengan Tuhan, kedua aku mengerti dan semakin berani untuk selalu bertahan, dan yang ketiga baru aku tahu sekarang bahwasannya se-baik-baik saja-nya orang yang sendirian kesepian, rasa takut dan perlunya perlindungan selalu ada meskipun dia sangat handal berpura-pura. dia adalah aku sekarang.
0 notes
Text
Bungkam Saja, Suaranya!
"Apabila usul ditolak tanpa ditimbang. Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan. Dituduh subversif dan mengganggu keamanan. Maka hanya ada satu kata: lawan!" - Wiji Thukul, 1986
Begitu seterusnya di era yang kita ketahui bersama era reformasi ini masih sering ditemui pembungkaman hak hak publik oleh rezim penguasa ataupun pemilik modal. Betapa banyak demonstrasi yang berujung pada dijeruji besikan para demonstran ke rumah tahanan. Betapa banyaknya demonstrasi yang berujung pada dipukul, diseret, dan dinjak injaknya para demonstran oleh pasukan berbaju coklat dan kacang hijau berselimut senjata lengkap dibelakangnya.
Betapa banyaknya suara suara serak bersenjata meghapone yang dilawan oleh senapan lengkap dengan baraccuda-nya. Betapa gampangnya negera yang mengaku demokrasi membungkam suara suara anak bangsa perindu kebangkitan. Kemerdekaan seaakan di rampas di tempat berpijaknya. Seorang Wiji Thukul pernah berbait seperti ini, "Kemerdekaan itu nasi, nasi dimakan jadi tai!" Apakah juga kemerdekaan yang kita rasakan ini hanya sebatas "tai"?
Banyak kasus yang sejatinya ketika disebutkan dalam paragraf-paragraf tulisan ini akan tidak cukup untuk mengulasnya satu per satu. Mulai dari kasus kriminalisasi pejuang lingkungan hidup, sampai pada pembungkaman gerakan mahasiswa dan rakyat. Mulai dari dalam kampusnya sendiri, sampai pada mengingatkan sang penguasa dan pemilik modal.
Sejak Dahulu
Praktik-praktik pembungkaman yang kita rasakan di era sekarang, banyak terjadi sejak dahulu. Pergerakan revolusioner kerakyatan banyak yang berujung pada jeruji besi, penculikan, bahkan sampai pembunuhan ditempat.
Kita semua kenal Tan Malaka. Ia adalah pahlawan. Pejuang Revolusioner asal Padang ini pun mendapat perlakuan sadis dari negara yang ia perjuangkan. Dia dianggap sebagai pentolan pemberontakan oleh rezim penguasa saat itu. Kita semua tahu bahwa bapak yang lebih awal mencetuskan Republik Indonesia dalam bukunya "Naar de Republik" hanya menyerukan "Merdeka 100%". Merdeka 100% dari penjajahan bangsa bangsa diluar pemilik sah tanah dan negeri ini, Indonesia. Namun apa daya, ia harus mati dalam perjuangannya oleh aparat negaranya sendiri. Mengerikan!
Siapa tak kenal Buya Hamka, ia ini adalah sosok yang termasuk bergerak secara revolusioner. Buya Hamka adalah pejuang. Juga sejak zaman penjajahan. Ia tak malu untuk turun dan pergi dari hutan ke hutan Andalas mengkoordinir pasukan pertahanan rakyat melawan cengkeraman kolonialisme. Melalui tulisan-tulisannya, beliau dianggap mengganggu rezim orde lama. Bahkan sampai pada suatu saat, Hamka harus mendekam di jeruji besi selama 2 tahun 4 bulan. Ia dituduh dengan tanpa bukti terlibat dalam rencana pembunuhan Presiden Soekarno. Begitu pun hukuman yang diberikan tanpa melalui pengadilan. Dibungkam!
Lalu kita kenal juga perdana menteri ke-5 Indonesia. Muhammad Natsir. Natsir sudah dalam kandungan berjuang dan lahir di dunia pada era pergerakan nasional. Beliau adalah tandem yang seimbang bagi Soekarno kala itu. Saling adu argumen sudah hal biasa bagi mereka. Natsir yang kental aroma islamnya tidak pernah mengesampingkan nasionalisme yang dijunjung tinggi tinggi oleh Soekarno. Melalui berbagai media cetak yang ada kalau itu. Kalau sekarang kita sebut itu semua adalah kriminalisasi, Natsir pun tak lepas dari kriminalisasi rezim penguasa. Natsir dituduh terlibat dalam pemberontakan PRRI/Permesta dan dipenjara selama 6 tahun dan seluruh asetnya disita oleh rezim Sukarno. Begitupun pada rezim orde baru, sesosok Natsir ini dianggap sebaga musuh penguasa. Bungkam terus!
Masuk pada orde baru, lebih banyak lagi pembungkaman yang dilakukan terhadap siapapun yang dianggap membelot. Kita semua kenal Wiji Thukul. Seorang cadel dari Solo ini kerap berdiri paling depan dalam demonstrasi-demonstrasi pada masa orde baru. Puisi - puisi adalah senjatanya dalam mengingatkan rezim yang berkuasa saat itu. Selalu gagah berani dan tak gentar dengan ancaman-ancaman penguasa. Selalu berani dalam kebenaran. Namun sayang, rezim orde baru terlalu takut dengan tingkah polahnya. Pernah pada suatu demonstrasi, Thukul diinjak-injak hingga cedera dibagian matanya. Wiji Thukul yang dianggap pembelot oleh rezim dan dihilangkan sejak 1998 sampai hari ini. Hilang tak tentu arah!
Masih sangat banyak tentunya, tidak hanya Tan, Hamka, Natsir, pun Thukul. Masih begitu banyaknya para pejuang-pejuang kebenaran, kebaikan, serta kebermanfaatan yang dianggap ancaman bagi rezim penguasa. Dari sejak zaman pergerakan nasional, orde lama, orde baru, bahkan pada era reformasi. Ada Marsinah yang memperjuangkan hak hak buruh. Ada Munir said Thalib, pejuang HAM yang diracun diudara saat akan ke belanda. Dan masih sangat banyak, mampus kau!
Lantas, Hari Ini
Menuju 20 Tahun era yang kita sebut reformasi ini, kalau kata cak nun refotnasi, ternyata masih banyak praktik-praktik pembungkaman dan pengekangan hak-hak publik. Banyak demonstrasi atau penolakan - penolakan yang berujung pada ditangkap dan direpresinya para aktivis. Bahkan beberapa menyatakan "Selamat datang kembali, Orde Baru". Dalam lingkaran kecil gerakan mahasiswa pun negara ini sangat takut.
Diantaranya dari gerakan dalam kampus, maupun luar kampus. Tahun lalu mahasiswa Unnes dipanggil pihak kepolisian atas kritiknya terhadap Menteri Ristekdikti dan kampusnya. Lalu pada aksi massa evaliuasi 3 Tahun pemerintahan Jokowi-JK, 12 mahasiswa ditangkap secara paksa saat aksi berlangsung dan 2 Mahasiswa mendapatkan surat pemanggilan sebagai tersangka oleh pihak kepolisian. Bahkan 2 diantaranya sempat merasakan jeruji besi, selama satu minggu. Paling dekat kemarin, satu mahasiswa pejuang lingkungan juga ditangkap oleh pihak kepolisian. Hampir semua dengan tuduhan yang sama; pengerusakan. Dan tentu tidak hanya itu.
Tidak hanya pada gerakan mahasiswa. Gerakan rakyat pun juga banyak dinilai ancaman. Di kulon progo, beberapa kali warga dan para relawan harus diangkat ke markas kepolisian terdekat karena menolak untuk digusur. Penolak pabrik Semen dikawasan pegunungan kendeng pun juga sama. Bahkan terakhir 2 warga pejuang lingkungan di Sukoharjo juga diciduk oleh aparat.
Menuju 20 Tahun reformasi, masih saja begini. Takut, orde baru yang lebih baru lagi akan muncul kembali. Pembungkaman senantiasa terjadi dimanapun. Kebebasan berpendapat di muka umum seakan bias. Bungkam saja, suaranya! Tentu saja akan berlipat ganda. Dengan atau tanpa bersuara, kebaikan harus menang dan kedzaliman harus tunduk pada kebaikan.
1 note
·
View note
Text
0 notes