#Pernikahan beda agama dilarang dalam UU
Explore tagged Tumblr posts
Text
Viral Foto Nikah Beda Agama, Wamenag Ikut Menanggapi
Viral Foto Nikah Beda Agama, Wamenag Ikut Menanggapi
Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa’adi (Foto Republika) Pernikahan beda agama di sebuah gereja di Semarang yang viral di media sosial menuai sorotan. Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa’adi turut angkat bicara. Viral di Medsos Dalam video yang beredar, terlihat memperlihatkan beberapa gambar sepasang pengantin. Pasangan tersebut menjadi perhatian karena pengantin wanita terlihat memakai hijab…
View On WordPress
#pernikahan beda agama#Pernikahan beda agama dilarang dalam UU#Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa&039;adi#Wamenag tentang pernikahan beda agama
0 notes
Text
Wakil Ketua MUI Tanggapi Perihal Pernikahan Beda Agama, "Nikah Antar Agama Itu Terlarang"
Wakil Ketua MUI Tanggapi Perihal Pernikahan Beda Agama, “Nikah Antar Agama Itu Terlarang”
JAKARTA, SAMBASNEWS.ID – Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas menanggapi perihal pernikahan beda agama yang viral di media sosial dan menyatakan bahwa hal tersebut dilarang, baik secara agama maupun undang-undang. “Di dalam Islam nikah antar agama itu adalah terlarang, begitu juga dalam UU yang berlaku di dalam negara Republik Indonesia. Semestinya kita itu sebagai seorang…
View On WordPress
0 notes
Text
Kumpul Kebo di Indonesia, Sudah Biasa?
Ditulis oleh: Nadila Nurwijayantri
Siapa sangka negara Indonesia yang sangat menjunjung tunggi budaya ketimuran, segala norma yang baik oleh masyarakatnya, justru kini memiliki banyak generasi muda yang melakukan “living together” atau yang dikenal dengan istilah kumpul kebo.
Mengenai konteks “living together” dalam disiplin ilmu psikologi atau ranah sosial, dikenal dengan terminologis sebagai Cohabitation atau kohabitasi. Yaitu perilaku antara individu dengan individu lainnya melakukan seksual pranikah atau kegiatan seksual pranikah sekaligus tinggal bersama tanpa adanya ikatan pernikahan.
Bagaimana dengan kumpul kebo di Indonesia? Rupa-rupanya kultur Indonesia tetap memandang kumpul kebo sebagai hal yang tabu. Norma-norma Indonesia tidak menyediakan ruang bagi pelaku atau kumpul kebo itu sendiri. Oleh karena itu berita seseorang menjalani kehidupan kumpul kebo akan menjadi kegaduhan sosial.
Jika mengacu pada UU yang berlaku di Indonesia yaitu UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pernikahan, itu di dalamnya jelas sangat tidak melegalkan adanya kohabitasi. Karena UU No.1 Tahun 1974 itu meyatakan bahwa, pernikahan atau perkawinan merupakan ikatan yang sah, yang sakral antara pria dan wanita untuk membentuk suatu rumah tangga. Selain menurut UU No.1 Tahun 1974, dalam Pasal 484 ayat (1) huruf e RUU KUHP berbunyi,
Laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan dipidana 5 tahun penjara.
Namun demikian norma yang menabukan kumpul kebo dan sanksi sosial yang mengancam pelakunya ternyata tidak cukup kuat untuk sekedar mengerem laju percepatan pasangan kumpul kebo. Dari hari ke hari semakin banyak pasangan melakukan kumpul kebo.
Sepasang kekasih, SY dan SV yang menjadi narasumber kami menyadari bahwa “living together” di Indonesia ini masih menjadi hal yang dianggap negatif dan merupakan aib oleh mereka.
“…Ya gak cuma gue doang yang cohabitation kaya gini, yang kumpul kebo kaya gini. Jadi karena mindset gua, zaman gua udah beda sekarang dan mereka pun bisa ya otomatis ya gue kebawa. Emang sih dibilang jelek ya jelek sih cuman ya gimana udah ada tempat bebas yang mumpuni terus juga di dukung sama lingkungan gua yang menghalalkan itu lah kasarnya.. Iya udah lumrah. Kalo di sekitaran kampus gua kan juga banyak tuh kosan nyampur gitu,” kata SV saat diwawancarai beberapa hari yang lalau.
“…cuman ya gimana udah ada tempat bebas yang mumpuni terus juga di dukung sama lingkungan gua yang menghalalkan itu…”
Menurut Psikolog Pendidikan dan Psikolog Klinis Dewasa sekaligus Dosen Psikologi Universitas Tarumanaga, Rahmah Hastusti, sejauh ini belum ada rujukan data secara empris mengenai apakah lebih banyak pasangan yang melakukan kohabitasi itu berasal dari kalangan mahasiswa . Tentunya hal tersebut harus dibuktikan dengan survei dan hasil yang sangat objektif. Tetapi tidak menutupi kemungkinan, kosan yang heterogen ditambah lagi mungkin akses keamanan , controlling-nya atau power control-nya kurang tentu saja memiliki regulasi yang minim, kebijakan yang minim mengenai tata kelola kos, aturan kos yang seperti apa tentunya ini bisa disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu, sehingga membuka peluang lebih besar untuk mahasiswa melakukan kohabitasi dibandingkan dengan kos-kosan yang homogen artinya kosan khusus wanita atau putri, atau khusus remaja pria tentu akses para mahasiswa yang menghuni kos untuk melakukan kohabitasi pun lebih terbatas. Siapa pun bisa melakukan kohabitasi, tetapi apakah untuk membuktikan pelakunya lebih banyak mahasiswa perlu ada data lebih lanjut.
(Foto: Rahmah Hastuti, M.Psi, Psikologi)
Sementara menurut pelaku kohabitas sendiri, “living together” justru memiliki hal yang positif baik untuk kepuasan jasmani maupun rohani. Menurut mereka kohabitasi ini dapat mengajarkan mereka menjadi lebih mandiri, sebagai pembelajaran awal sebelum menikah agar mereka lebih aware dalam hubungan interpersonal, meningkatkan kerjasama dengan pasangan sekaligus bisa menenagkan jiwa karena merasa puas melihat seseorang yang dicintai selalu berada disampingnya.
Tetapi mereka juga tidak bisa lepas dari kesadaran mereka bahwa apa yang mereka lakukan sebagai pelakunaya itu merupakan aib dan hal yang sangat negatif.
“Ya gitu deh. Kalo negatifmya, personal sih gua menganggap agak binal gitu, di dalam naruli gua diri gua tuh agak binal, bebas, gak mau diatur sama orang tua. Terus kalo dari segi sudut pandang agama juga pasti kan udah dilarang keras, udah haram.” ujar SV.
Ada 3 jenis cinta menurut Sternberg yaitu IPC (Intimacy, Passion and Commitment). Cinta yang lengkap yang pada akhirnya berujung pada orang menagmbil keuputusan menikah, to decision making menikah itu adalah yang IPC, ada karakteristik intimacy, passion dan ada commitment.
“Sternberg juga sudah pernah bilang, bagusnya sih ada ketiga-tiga komponen tersebut sehingga yang namanya cinta lengkap, consummate love. Jadi gak cuma romantic love, gak cuma fates love, tapi ada commitment yang penting.” ujar Rahmah.
Lalu dari sudut pandang psikologi yang kedua, ada 2 teori dari Cartensen mengenai Socio Emotional Selectivity Theory. Seseorang yang melakukan kohabitasi mungkin merasa lebih banyak kemiripan, banyak kesamaan tetapi pada akhirnya ragu atau bahkan takut untuk melakukan komitmen. Dapat disimpulkan bahwa, kohabitasi hanya komponen intimacy dan passion-nya saja yang tinggi, tetapi commitment rendah.
1 note
·
View note