Hei! What am I doing here? Let's find what kind of Potret Jakarta that I catched from my camera. Psst, here's some other opinion and journey that I'm writing too!
Don't wanna be here? Send us removal request.
Photo

JAKARTA - Senin (16/1) saat Radit dan kakaknya sedang duduk bersenda gurau di depan rumahnya di kawasan pemukiman padat, Gang Venus RT 13 RW 03, Jembatan Besi, Tambora, Jakarta Barat.
3 notes
·
View notes
Photo

Photo Journalist by: Nadila Nurwijayantri
Keep reading
1 note
·
View note
Photo
Photo Journalist by: Nadila Nurwijayantri

JAKARTA - Senin (16/1) saat Radit dan kakaknya sedang duduk bersenda gurau di depan rumahnya di kawasan pemukiman padat, Gang Venus RT 13 RW 03, Jembatan Besi, Tambora, Jakarta Barat.
3 notes
·
View notes
Text
Ini Cerita Saya, Cerita Senja di Sunda Kelapa
Ditulis oleh: Nadila Nurwijayantri
Sore itu saya dan teman saya, yaitu Gita mengunjungi Pelabuhan Sunda Kelapa. Tentunya kami mengunjungi tempat ini bukan tanpa tujuan, kami kesini untuk tugas liputan tentang Sunda Kelapa. Pelabuhan Sunda Kelapa berlokasi di Kelurahan Penjaringan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Pelabuhan ini dikenal sebagai salah satu tujuan tempat wisata yang berada di kawasan Kota Tua Jakarta. Cukup membayar tarif hanya Rp 2.500/orang, kami pun dapat menikmati sisi baharinya Indonesia. Pasalnya selain melihat laut lepas, umumnya puluhan kapal pinisi akan bersandar di pelabuhan ini. Jika pintar mengambil angle foto, kita dapat “mencetak” banyak foto menarik, mulai dari suasana pantai utara Jawa, sisi unik kapal pinisi hingga aktivitas bongkar muat barang yang terjadi di sini.
Rute busway dari kampus kami ke Pelabuhan Sunda Kelapa sangat mudah. Dari Halte Gor Soemantri naik transjakarta ke arah Monas. Setelah sampai ke halte tujuan akhir Monas, kami pun transit dan melanjutkan menuju halte Jakarta Kota. Sesampainya di halte tujuan akhir Jakarta Kota, kami masih lanjut menumpangi angkutan umum M15 jurusan Tj.Priok-Ancol. Sampai di pintu masuk Pelabuhan Sunda Kelapa, kami langsung turun dari dari angkot dan berjalan 10m ke loket pintu masuk.
Menariknya, di Pelabuhan Sunda Kelapa kita juga dapat menyewa jasa sampan atau perahu kecil milik para nelayan. Dengan sampan yang disewakan tersebut, kita dapat berkeliling sembari menikmati suasana yang ditawarkan Pelabuhan Sunda Kelapa. Biaya sewanya pun sekitar Rp 50.000 rupiah saja. Akan bisa lebih murah jika kita pintar menawar. Sebelum kami berangkat kesini, kami merencanakan untuk menumpangi sampan atau perahu kecil sambil mengambil foto dan video terbenamnya matahari disana. Setelah lamanya kami tawar menawar dengan pemilik sampan, akhirnya kami cukup membayar Rp 30.000.
Dengan menaiki perahu, kami dapat melihat permukiman penduduk di balik perahu-perahu yang bersandar. Banyak juga perahu yang berlalu-lalang membawa penumpang menyeberang dari pemukiman penduduk ke pelabuhan atau sebaliknya. Terlihat juga perahu-perahu yang membawa air bersih. Ada juga yang mencari ikan. Saat itu yang saya rasakan adalah seolah sedang tidak berada di Jakarta.
Kami pun dibawa oleh tukang perahu sampai di ujung luar pelabuhan dan ombak pun mulai terasa lebih kuat. Cemas juga jika air hitam itu masuk ke dalam perahu atau perahu ini terbalik. Membayangkan harus berenang di air yang hitam, kotor dan berbau busuk tersebut benar-benar membuat hati ini cemas, saya pun juga tidak bisa berenang. Ditambah lagi tukang perahu yang membawa kami sudah agak tua.
Saat sedang menaiki perahu di tengah-tengah pelabuhan, saya langsung mengeluarkan kamera dan mengabadikan suasana itu dengan memotret dan merekam video. Suasana sore makin terasa saat saya mengabadikan langit senja di sore itu. Akhirnya perahu kami menepi dan kami pun naik ke daratan. Setelah mengucapkan terima kasih, kami pun berlalu dari situ.
Perjalanan liputan kami tak hanya sampai menaiki perahu, kami pun lanjut berjalan semakin jauh ke arah bagian dalam Pelabuhan Sunda Kelapa. Semakin jauh memang semakin debu. Debu-debu ini dikarenakan banyaknya kontainer yang berlalu lalang. Tetapi hal ini tak kami hiraukan. Toh kami sudah biasa terkena debu dan panas-panasan saat liputan. Mungkin karena kami perempuan dan hanya berdua saja, sepanjang perjalanan tak henti-hentinya ada suara-suara yang mengganggu dan mecoba menggodai kami dengan genit. Tapi lagi-lagi tak kami hiraukan. Justru kami balas dengan senyuman dan teguran sapa agar mereka menghargai kami. Mereka pun merespon dengan baik ketika kami menyapa.
Satu lagi, di sini kita juga dapat menikmati romantisnya senja ala pelabuhan ibu kota. Bedanya, moment matahari tenggelam di Sunda Kelapa akan berhiaskan siluet indah dari puluhan pinisi yang berjajar rapi di pinggir dermaga. Tinggal cekrek, cekrek, upload! Jadi jangan heran lagi ya jika menemukan banyak foto menarik yang diambil dari pelabuhan ini.
Tak terasa sudah pukul 17:33, beberapa menit sebelum waktu berbuka puasa. Waktu sudah tidak memungkinkan kita untuk melanjutkan liputan karena Pelabuhan Sunda Kelapa hanya buka sampai jam 18:00 sore. Kami pun terpaksa untuk pulang dan melanjutkan liputan di sini esok hari.
3 notes
·
View notes
Text
Spotlight (2015)
Reviewed by: Nadila Nurwijayantri
Keep reading
2 notes
·
View notes
Text
Spotlight (2015)
Reviewed by: Nadila Nurwijayantri
Film berjudul “Spotlight” yang rilis pada November 2015 ini menceritakan tentang kisah nyata yang sangat memukau dengan berlatar belakang tahun 2001. Sebuah media, yaitu Spotlight membentuk tim investigasi untuk membongkar peristiwa kelam salah satu kota di Boston. Tim investigasi ‘Spotlight’ harus menyelidiki sebuah tuduhan pelecehan seksual di Gereja Katolik setelah selama puluhan tahun lamanya ditutupi dari segi agama, media, polisi, sistem hukum pemerintah di Boston, hingga kasus ini diketahui seluruh dunia. Film ini mengajarkan cara untuk melakukan liputan, bahkan membongkar sebuah kasus yang sangat sensitif dari segala sisi.
Banyak sekali halangan dan rintangan yang dihadapi selama proses investigasi. Kasus tersebut dirasa mustahil untuk dipecahkan, hal ini terkait dengan melibatkan puluhan pendeta yang terdapat di Boston. Tak sedikit pengacara ataupun hakim yang akhirnya menyembunyikan kasus tersebut dikarenakan mereka melawan satu agama, yaitu Katholik.
Hal yang membuat saya tertarik pada film ini adalah tim investigasi yang terdiri dari beberapa jurnalis melakukan investigasi dengan sangat baik. Seperti ketika melakukan wawancara, mereka menanyakan terlebih dahulu kesediaan para narasumber untuk diketahui atau disembunyikan identitasnya. Hal ini sangat berdampak besar bagi masyarakat, khususnya umat Katholik karena menyangkut pelecehan seksual terhadap puluhan anak di Boston yang pelakunya adalah pemuka agama sehingga laporan Spotlight layak untuk disebut sebagai laporan investigatif. Cara wartawan bagaimana bisa mewawancarai para korban pun juga sangat personal, ada unsur hati ke hati (indepth). Dari hal tersebut dapat dilihat bahwa mereka mematuhi dan benar-benar mengerti etika jurnalistik.
Dalam mendapatkan informasi, para tim Spotlight juga meminta bantuan kepada beberapa pengacara yang sebenarnya mengetahui tentang masalah tersebut namun memilih bungkam. Tak jarang dari mereka menolak untuk memberikan informasi, tetapi ada beberapa yang memberikan informasi dan membantu tim tersebut. Tak hanya itu, mereka juga berhasil mengumpulkan beberapa informasi tentang korban dari kelompok “SNAP” yaitu sekelompok orang yang mengaku bahwa pada masa kecil mereka telah dilecehkan oleh para pendeta.
Pada saat pencarian bukti awalnya tim spotlight mendapatkan informasi bahwa terdapat 13 Pendeta yang melakukan pelecehan seksual terhadap anak-anak. Namun, setelah berbicara dengan salah seorang korban, ada yang mengatakan bahwa terdapat 90 pendeta yang melakukan tindakan tidak pantas tersebut. Akhirnya para tim spotlight mencari tahu sendiri berapa kira-kira pendeta yang terlibat dengan menggunakan data yang mereka miliki dan melihat ada berapa pendeta yang berpindah-pindah dalam kurung waktu sebentar dan pada akhirnya mereka menemukan 87 pendeta di Boston yang mungkin melakukan pelecehan seksual terhadap anak-anak.
Secara ringkas, cara yang dilakukan oleh Tim Spotlight dalam menyelidiki kasus pelecehan seksual tersebut adalah leader Tim Spotlight Robby membagi tugas kepada reporternya untuk menghubungi narasumber yang tersedia seperti pengacara, korban, dan lainnya. Kemudian Tim Spotlight membentuk hipotesa berupa dugaan keterlibatan beberapa pastor yang terlibat dalam pelecehan seksual terhadap anak-anak kecil. Awalnya mereka menduga hanya satu pastor yang melakukan hal tersebut, namun seiring jalannya penyelidikan dan temuan fakta serta wawancara dengan narasumber terdapat 13 pastor yang terlibat seantero Boston hingga pada akhirnya ada 87 pastor yang pernah melakukan pelecehan tersebut. Tim Spotlight lalu melakukan pencarian, seperti dokumen pengadilan, korban, pengacara korban, pengacara pastor, dan ahli atau dalam hal ini mantan pastor yang melakukan penelitian terhadap kasus tersebut.
Setelah itu mereka dengan cepat melakukan wawancara narasumber primer dan sekunder diiringi dengan pencarian arsip-arsip tentang daftar nama pastor yang dipindahkan atau dimutasi. Hingga kemudian arsip tersebut didalami oleh Tim Spotlight dengan mengerucutkan pastor-pastor yang tercatat cuti dan hasilnya terdapat 87 nama pastor yang melakukan pelecehan seksual terhadap anak-anak. Namun, Tim Spotlight tak serta merta bisa mempublikasikan hasil temuannya sampai bisa mengonfirmasi nama-nama yang ada. Hingga pada akhirnya Robby berhasil membujuk temannya bernama Jim Sullivan yang menjadi pengacara pastor-pastor bersalah tersebut untuk memastikan nama-nama yang didapat Spotlight.
Dalam film spotlight ada beberapa sumber, yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer dalam kasus pelecehan seksual terhadap anak-anak di Boston adalah korban sekaligus aktivis SNAP Phil Saviano, korban lainnya bernama Patrick dan Joe, pengacara Mitch Garebedian, dan pengacara Jim Sullivan, serta mantan pastor bernama Joe Albano yang memberikan perkiraan jumlah pastor yang terlibat. Sementara sumber sekunder adalah pengacara pastor bernama Eric Macleish. Film spotlight mengajarkan banyak cara menjadi jurnalis investigasi, meskipun ada beberapa yang melanggar, namun kita bisa belajar banyak ketika menonton film spotlight.
2 notes
·
View notes
Text
Kenapa Blaming Victim Dalam Pemerkosaan?
Penulis: Nadila Nurwijayantri
Tiga hari yang lalu, saya menumpangi bus Transjakarta jurusan Stasiun Manggarai – Blok M. Pagi itu jalanan di kawasan Manggarai sangat macet dan bising. Beberapa pengendara motor bahkan pejalan kaki pun yang tak sabaran mencoba melewati jalur busway dan berjalan di pinggir pembatas busway untuk menyeberang. Bus yang saya tumpangi tiba-tiba mengerem, hampir menyerempet pejalan kaki yang sedang menyeberang menerobos jalur busway. Si pejalan kaki mengumpat kesal, “liat-liat woy!! Hati-hati dong, goblok!”. Semua terdiam dan tak ada reaksi apa-apa. Hanya suara gerurtuan sang sopir yang kesal dengan si pejalan kaki.
Logika saya jelas berpihak kepada sang sopir busway. Memang sangat wajar jalur busway digunakan khusus untuk bus Transjakarta. Lantas saat kecelakaan terjadi, sang sopir bus Transjakarta yang menjadi korban malah dimaki dan dianggap penyebab kecelakaan. Kedunguan seperti apa yang menyalahkan korban dan memuliakan penyebab kecelakaan?
Dalam banyak hal yang terjadi, mereka adalah korban yang justru disalahkan karea dianggap sumber masalah.
Kejadian yang saya alami tiga hari yang lalu tersebut, serupa pada kasus pemerkosaan. Ya, saya akan menulis opini saya tentang fenomena blaming victim yang kerap terjadi pada perempuan... Perempuan yang menjadi korban kejahatan pelecehan dan pemerkosaan. Pada kasus pemerkosaan, terjadi kerap karena perempuannya yang berpakaian ketat, menggoda atau bahkan berpenampilan seksi.
Dengan memberi statement bahwa perempuan diperkosa karena ia berpakaian seksi dan menggoda, menurut saya ini tidak masuk akal. Hal ini justru menunjukkan bahwa laki-laki tidak bisa menahan godaan dan secara otomatis terlahir dengan potensi sebagai pemerkosa. Bukannya mengadili pelaku pemerkosaan, tapi entah mengapa untuk kasus pemerkosaan ini masyarakat kerap kali menghakimi si korban. Tak ayal, komentar-komentar yang diskriminatif, seperti “salah sendiri, kenapa pake baju seksi?”, seringkali diloantarkan kepada korban.
Seolah penampilan seseorang memberikan pernyataan yang wajar dalam melakukan pelecehan atau tindakan pemerkosaan. Perilaku blaming victim ini akibat dari cara pandang masyarakat yang menganggap bahwa standar moral perempuan dilihat dari sikapnya yang pemalu, tertutup dan sejenisnya. Justru pelaku penghakiman blaming victim itu sendiri adalah kaum perempuan. Mereka kerap merendahkan dan menyalahkan sesamanya.
Di sini muncul persaingan antara kaum perempuan untuk menjadi siapa yang lebih suci daripada siapa.
Pakaian bukanlah alasan yang relevan yang membuat kaum perempuan menjadi korban pelecehan, khususnya pemerkosaan. Pakaian atau atribut pada tubuh perempuan bukan merupakan faktor yang membuat seorang perempuan mengalami pelecehan seksual atau pemerkosaan. Perempuan dan pakaiannya hanya menjadi korban masyarakat patriarki.
Salah satu riset yang menjadi acuan saya dalam menulis opini ini adalah riset Moor (2010), yang menejelaskan tentang perbandingan antara laki-laki dan perempuan terhadap kecenderungan dari segi atraktif seksual yang muncul akibat cara berpakaian.
Riset tersebut menunjukkan bahwa gelagat seksual yang ditunjukkan perempuan tidak memiliki korelasi yang kuat dengan cara berbusananya.
Riset tersebut juga menunjukkan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki pandangan yang berbeda dalam hal mengekspresikan gelagat seksual melalui pakaian. Hasil riset menunjukkan bahwa perempuan tidak memiliki intensi menggunakan pakaian sebagai sebuah “atraksi” seksual. Perempuan berpakaian tertutup pun, masih banyak yang menjai korban pelechan.
Hal ini mengakibatkan fenomena blaming victim pada korban kekerasan seksual, terutama perempuan. Melalui penjelasan dari riset tersebut, sudah jelas tidak ada hubungan antara penggunaan pakaian tertentu oleh perempuan dan terjadinya suatu kejahatan pelecehan dan pemerkosaan pada perempuan.
REFERENSI :
http://www.ayowaca.com/2017/02/psikologi-victim-blaming-tendecies-pada.html
Moor, Avigail. 2010. She Dresses to Attract, He Perceives Seduction: A Gender Gap in Attribution of Intent to Women’s
0 notes
Text
Ini Cerita Saya, Cerita Senja di Sunda Kelapa
Ditulis oleh: Nadila Nurwijayantri
Sore itu saya dan teman saya, yaitu Gita mengunjungi Pelabuhan Sunda Kelapa. Tentunya kami mengunjungi tempat ini bukan tanpa tujuan, kami kesini untuk tugas liputan tentang Sunda Kelapa. Pelabuhan Sunda Kelapa berlokasi di Kelurahan Penjaringan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Pelabuhan ini dikenal sebagai salah satu tujuan tempat wisata yang berada di kawasan Kota Tua Jakarta. Cukup membayar tarif hanya Rp 2.500/orang, kami pun dapat menikmati sisi baharinya Indonesia. Pasalnya selain melihat laut lepas, umumnya puluhan kapal pinisi akan bersandar di pelabuhan ini. Jika pintar mengambil angle foto, kita dapat “mencetak” banyak foto menarik, mulai dari suasana pantai utara Jawa, sisi unik kapal pinisi hingga aktivitas bongkar muat barang yang terjadi di sini.
Rute busway dari kampus kami ke Pelabuhan Sunda Kelapa sangat mudah. Dari Halte Gor Soemantri naik transjakarta ke arah Monas. Setelah sampai ke halte tujuan akhir Monas, kami pun transit dan melanjutkan menuju halte Jakarta Kota. Sesampainya di halte tujuan akhir Jakarta Kota, kami masih lanjut menumpangi angkutan umum M15 jurusan Tj.Priok-Ancol. Sampai di pintu masuk Pelabuhan Sunda Kelapa, kami langsung turun dari dari angkot dan berjalan 10m ke loket pintu masuk.
Menariknya, di Pelabuhan Sunda Kelapa kita juga dapat menyewa jasa sampan atau perahu kecil milik para nelayan. Dengan sampan yang disewakan tersebut, kita dapat berkeliling sembari menikmati suasana yang ditawarkan Pelabuhan Sunda Kelapa. Biaya sewanya pun sekitar Rp 50.000 rupiah saja. Akan bisa lebih murah jika kita pintar menawar. Sebelum kami berangkat kesini, kami merencanakan untuk menumpangi sampan atau perahu kecil sambil mengambil foto dan video terbenamnya matahari disana. Setelah lamanya kami tawar menawar dengan pemilik sampan, akhirnya kami cukup membayar Rp 30.000.
Dengan menaiki perahu, kami dapat melihat permukiman penduduk di balik perahu-perahu yang bersandar. Banyak juga perahu yang berlalu-lalang membawa penumpang menyeberang dari pemukiman penduduk ke pelabuhan atau sebaliknya. Terlihat juga perahu-perahu yang membawa air bersih. Ada juga yang mencari ikan. Saat itu yang saya rasakan adalah seolah sedang tidak berada di Jakarta.
Kami pun dibawa oleh tukang perahu sampai di ujung luar pelabuhan dan ombak pun mulai terasa lebih kuat. Cemas juga jika air hitam itu masuk ke dalam perahu atau perahu ini terbalik. Membayangkan harus berenang di air yang hitam, kotor dan berbau busuk tersebut benar-benar membuat hati ini cemas, saya pun juga tidak bisa berenang. Ditambah lagi tukang perahu yang membawa kami sudah agak tua.
Saat sedang menaiki perahu di tengah-tengah pelabuhan, saya langsung mengeluarkan kamera dan mengabadikan suasana itu dengan memotret dan merekam video. Suasana sore makin terasa saat saya mengabadikan langit senja di sore itu. Akhirnya perahu kami menepi dan kami pun naik ke daratan. Setelah mengucapkan terima kasih, kami pun berlalu dari situ.
Perjalanan liputan kami tak hanya sampai menaiki perahu, kami pun lanjut berjalan semakin jauh ke arah bagian dalam Pelabuhan Sunda Kelapa. Semakin jauh memang semakin debu. Debu-debu ini dikarenakan banyaknya kontainer yang berlalu lalang. Tetapi hal ini tak kami hiraukan. Toh kami sudah biasa terkena debu dan panas-panasan saat liputan. Mungkin karena kami perempuan dan hanya berdua saja, sepanjang perjalanan tak henti-hentinya ada suara-suara yang mengganggu dan mecoba menggodai kami dengan genit. Tapi lagi-lagi tak kami hiraukan. Justru kami balas dengan senyuman dan teguran sapa agar mereka menghargai kami. Mereka pun merespon dengan baik ketika kami menyapa.
Satu lagi, di sini kita juga dapat menikmati romantisnya senja ala pelabuhan ibu kota. Bedanya, moment matahari tenggelam di Sunda Kelapa akan berhiaskan siluet indah dari puluhan pinisi yang berjajar rapi di pinggir dermaga. Tinggal cekrek, cekrek, upload! Jadi jangan heran lagi ya jika menemukan banyak foto menarik yang diambil dari pelabuhan ini.
Tak terasa sudah pukul 17:33, beberapa menit sebelum waktu berbuka puasa. Waktu sudah tidak memungkinkan kita untuk melanjutkan liputan karena Pelabuhan Sunda Kelapa hanya buka sampai jam 18:00 sore. Kami pun terpaksa untuk pulang dan melanjutkan liputan di sini esok hari.
#jakarta#indonesia#sunset#sea#jakarta utara#sunda kelapa#journey#travel#journalist#photography#vacation#liputan#travel blogger#reblog#like4like
3 notes
·
View notes
Text
Media Sosial Tak Menentukan Kepribadian
Penulis: Nadila Nurwijayantri
Memiliki kesulitan dalam mengungkapkan perasaan dan isi hatinya secara langsung membuat dirinya lebih memilih media sosial daripada berinteraksi langsung dengan temannya. Keberadaan media sosial sangat mempermudah menuangkan isi hatinya. Dia adalah Nana, Mahasiswi Ilmu Komunikasi semester 4 ini memang memiliki hobi menulis. Semua yang ia pikirkan dan ia rasakan akan lebih banyak tertuang dalam bentuk teks, tak heran ia lebih aktif mencurahkan segalanya dalam wadah yang disebut media sosial.
Nana bahkan sudah mulai aktif menggunakan media sosial sejak tahun 2009 ketika dirinya masih duduk di bangku SD. Media sosial yang ia gunakan pun tak hanya satu atau dua macam dan bahkan media sosial yang ia gunakan selalu aktif seiring berkembangnya teknologi. Mulai dari Friendster, Facebook, Twitter MSN, AOL , Tumblr, Blogspot, Wordpress, Line, Instagram, Whatsapp dan Tinder.
Meski Nana adalah orang yang sangat aktif di media sosial, selalu mengeluarkan kekesalan dan isi hatinya di media sosial, selalu memposting foto sebagai bagian self-loving, justru dalam dunia nyata ia adalah orang yang sangat tertutup. Bisa dikatakan Nana adalah orang yang memiliki karakter introvert.
Memiliki pengalaman buruk sejak SD hingga SMA, pernah tidak dipedulikan, tidak didengar setiap kali ia bercerita, sering di bully dari mulai sekedar sindiran atau nyinyiran sampai kekerasan fisik yang dilakukan teman SD nya. Pengalaman buruknya membuat ia sulit untuk percaya dan terbuka pada seseorang, sehingga dirinya memilih media sosial sebagai tempat untuk mengeluarkan segala isi hatinya.
“Sisi introvert nya paling kalo cerita gitu sih, gua lebih tertutup gitu. Kalo orang ekstrovert kan dia cerita yaudah ngomong aja kan ke siapa aja. Kalo misalnya gua tuh lebih aware gitu sih lebih berhati-hati,” ujar Nana.
Dikutip dari halaman website http://psikologid.com/introvert-ekstrovert-dan-ambievert/ terdapat 3 jenis kepribadian manusia, yaitu Introvert, Ambievert, dan Ekstrovert. Ketiga kepribadian tersebut memliki perbedaan dalam hal pengambilan keputusan, respon terhadap masalah, komunikasi verbal dan non verbal, dan interaksi sosial.
Manusia dengan kepribadian introvert cenderung menutup diri dari dunia luar. Tipe ini lebih banyak menghabiskan sebagian besar waktu mereka untuk kegiatan soliter, seperti membaca, menulis, menggunakan komputer, serta lebih menyukai berada dalam kesunyian atau tempat tenang. Mereka analitis sebelum berbicara, merasa kurang nyaman karena terlalu banyak pertemuan dan keterlibatan sosial, lebih senang bekerja sendirian, serta lebih suka berinteraksi secara 1 on 1 interaction.
Kepribadian ekstrovert cenderung lebih membuka diri terhadap dunia luar. Mereka menyukai keramaian, dengan banyak interaksi dan aktivitas sosial. Tipe kepribadian ini lebih mudah mengungkapkan perasaan melalui kata-kata, mudah bosan dengan kesendirian, dan lebih senang bercerita daripada mendengarkan.
Sedangkan ambievert merupakan kepribadian gabungan antara introvert dan ekstrovert. Kelebihan dari tipe ini, mereka nyaman berada di tengah keramaian dan berbagai aktivitas sosial, tetapi juga rileks dengan kesendirian.
Menurut Dosen Psikologi Komunikasi Universitas Bakrie, Dianingtyas Murtanti Putri, orang yang sangat aktif di media sosial tetapi dia adalah orang yang introvert di dunia nyata adalah orang yang tidak mendapatkan pengakuan di dunia nyata dan self esteem-nya yang turun. Menurut teori psikologi komunikasi, dalam diri manusia terdapat banyak jenis self, yaitu self esteem, self awareness, self anxiety, dll.
Ketika seseorang tidak mendapatkan salah satu dari unsur self tersebut, maka mereka akan melakukan atau mencari penyalurannya salah satunya yaitu menggunakan media sosial sebagai wadah mereka untuk mecurahkan isi hati.
“Quote atau status yang kita tampilkan di timeline atau di media sosial itu menggambarkan who you are. Soalnya itu kan unknown area , kita gak akan tahu siapa yang follow kita,” ujar Dian.
Menurut Dian, seseorang akan sangat mudah mengetahui karakter kita walaupun di media sosial kita jarang menampilkan foto tetapi dari status saja sudah terbaca karakter seperti apa. Justru akan lebih sulit mengenali karakter orang secara langsung. Kita akan bisa melihat bahwa orang itu bahagia atau tidak terlihat dari postingan-postingan dia di media sosial.
Berbeda dengan Nana yang memiliki karakter kepribadian introvert dan sangat aktif di media sosial. Yesela yang juga Mahasiswi Ilmu Komunikasi ini memiliki karakter kepribadian ektrovert justru mengaku dirinya sangat tertutup di media sosial. Dirinya justru lebih memilih mencurahkan isi hatinya secara langsung dengan teman-temannya di bandingkan di media sosial.
Walaupun jarang menggunakan media sosial, tak dapat dipungkiri Yese juga memiliki beberapa akun media sosial. Media sosial hanya ia gunakan sekedar untuk mencari informasi bukan untuk mencurahkan atau menulis status pribadi.
“Di media sosial gue gak pernah keliatan tapi gue sebenarnya menggunakannya. Aktifnya itu paling cuma sekedar buka doang. Gue lebih membaur di dunia nyata daripada di media sosial,” ujar Yesela.
Menurut Dian, jika dikatakan orang ekstrovert lebih memilih dunia nyata dibandingkan media sosial, itu benar. Kebanyakan dari orang yang memiliki karakter pribadi ektrovert itu sadar bahwa terlalu terbuka di media sosial dapat menjadikan efek ancaman buat diri kita sendiri.
Orang ekstrovert biasanya tahu apa yang mereka laukan dengan media sosialnya. Mereka tau cara penggunaan media sosial itu buat apa, untuk apa, bukan untuk mengeluarkan unek-unek. Mayoritas orang ekstrovert hanya sekedar memanfaatkan dari fungsi media sosial saja, tapi gak sedikit juga orang yang ekstrovert tetap menggunakan media sosialnya.
0 notes
Text
Kumpul Kebo di Indonesia, Sudah Biasa?
Ditulis oleh: Nadila Nurwijayantri
Siapa sangka negara Indonesia yang sangat menjunjung tunggi budaya ketimuran, segala norma yang baik oleh masyarakatnya, justru kini memiliki banyak generasi muda yang melakukan “living together” atau yang dikenal dengan istilah kumpul kebo.
Mengenai konteks “living together” dalam disiplin ilmu psikologi atau ranah sosial, dikenal dengan terminologis sebagai Cohabitation atau kohabitasi. Yaitu perilaku antara individu dengan individu lainnya melakukan seksual pranikah atau kegiatan seksual pranikah sekaligus tinggal bersama tanpa adanya ikatan pernikahan.
Bagaimana dengan kumpul kebo di Indonesia? Rupa-rupanya kultur Indonesia tetap memandang kumpul kebo sebagai hal yang tabu. Norma-norma Indonesia tidak menyediakan ruang bagi pelaku atau kumpul kebo itu sendiri. Oleh karena itu berita seseorang menjalani kehidupan kumpul kebo akan menjadi kegaduhan sosial.
Jika mengacu pada UU yang berlaku di Indonesia yaitu UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pernikahan, itu di dalamnya jelas sangat tidak melegalkan adanya kohabitasi. Karena UU No.1 Tahun 1974 itu meyatakan bahwa, pernikahan atau perkawinan merupakan ikatan yang sah, yang sakral antara pria dan wanita untuk membentuk suatu rumah tangga. Selain menurut UU No.1 Tahun 1974, dalam Pasal 484 ayat (1) huruf e RUU KUHP berbunyi,
Laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan dipidana 5 tahun penjara.
Namun demikian norma yang menabukan kumpul kebo dan sanksi sosial yang mengancam pelakunya ternyata tidak cukup kuat untuk sekedar mengerem laju percepatan pasangan kumpul kebo. Dari hari ke hari semakin banyak pasangan melakukan kumpul kebo.
Sepasang kekasih, SY dan SV yang menjadi narasumber kami menyadari bahwa “living together” di Indonesia ini masih menjadi hal yang dianggap negatif dan merupakan aib oleh mereka.
“…Ya gak cuma gue doang yang cohabitation kaya gini, yang kumpul kebo kaya gini. Jadi karena mindset gua, zaman gua udah beda sekarang dan mereka pun bisa ya otomatis ya gue kebawa. Emang sih dibilang jelek ya jelek sih cuman ya gimana udah ada tempat bebas yang mumpuni terus juga di dukung sama lingkungan gua yang menghalalkan itu lah kasarnya.. Iya udah lumrah. Kalo di sekitaran kampus gua kan juga banyak tuh kosan nyampur gitu,” kata SV saat diwawancarai beberapa hari yang lalau.
“…cuman ya gimana udah ada tempat bebas yang mumpuni terus juga di dukung sama lingkungan gua yang menghalalkan itu…”
Menurut Psikolog Pendidikan dan Psikolog Klinis Dewasa sekaligus Dosen Psikologi Universitas Tarumanaga, Rahmah Hastusti, sejauh ini belum ada rujukan data secara empris mengenai apakah lebih banyak pasangan yang melakukan kohabitasi itu berasal dari kalangan mahasiswa . Tentunya hal tersebut harus dibuktikan dengan survei dan hasil yang sangat objektif. Tetapi tidak menutupi kemungkinan, kosan yang heterogen ditambah lagi mungkin akses keamanan , controlling-nya atau power control-nya kurang tentu saja memiliki regulasi yang minim, kebijakan yang minim mengenai tata kelola kos, aturan kos yang seperti apa tentunya ini bisa disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu, sehingga membuka peluang lebih besar untuk mahasiswa melakukan kohabitasi dibandingkan dengan kos-kosan yang homogen artinya kosan khusus wanita atau putri, atau khusus remaja pria tentu akses para mahasiswa yang menghuni kos untuk melakukan kohabitasi pun lebih terbatas. Siapa pun bisa melakukan kohabitasi, tetapi apakah untuk membuktikan pelakunya lebih banyak mahasiswa perlu ada data lebih lanjut.

(Foto: Rahmah Hastuti, M.Psi, Psikologi)
Sementara menurut pelaku kohabitas sendiri, “living together” justru memiliki hal yang positif baik untuk kepuasan jasmani maupun rohani. Menurut mereka kohabitasi ini dapat mengajarkan mereka menjadi lebih mandiri, sebagai pembelajaran awal sebelum menikah agar mereka lebih aware dalam hubungan interpersonal, meningkatkan kerjasama dengan pasangan sekaligus bisa menenagkan jiwa karena merasa puas melihat seseorang yang dicintai selalu berada disampingnya.
Tetapi mereka juga tidak bisa lepas dari kesadaran mereka bahwa apa yang mereka lakukan sebagai pelakunaya itu merupakan aib dan hal yang sangat negatif.
“Ya gitu deh. Kalo negatifmya, personal sih gua menganggap agak binal gitu, di dalam naruli gua diri gua tuh agak binal, bebas, gak mau diatur sama orang tua. Terus kalo dari segi sudut pandang agama juga pasti kan udah dilarang keras, udah haram.” ujar SV.
Ada 3 jenis cinta menurut Sternberg yaitu IPC (Intimacy, Passion and Commitment). Cinta yang lengkap yang pada akhirnya berujung pada orang menagmbil keuputusan menikah, to decision making menikah itu adalah yang IPC, ada karakteristik intimacy, passion dan ada commitment.
“Sternberg juga sudah pernah bilang, bagusnya sih ada ketiga-tiga komponen tersebut sehingga yang namanya cinta lengkap, consummate love. Jadi gak cuma romantic love, gak cuma fates love, tapi ada commitment yang penting.” ujar Rahmah.
Lalu dari sudut pandang psikologi yang kedua, ada 2 teori dari Cartensen mengenai Socio Emotional Selectivity Theory. Seseorang yang melakukan kohabitasi mungkin merasa lebih banyak kemiripan, banyak kesamaan tetapi pada akhirnya ragu atau bahkan takut untuk melakukan komitmen. Dapat disimpulkan bahwa, kohabitasi hanya komponen intimacy dan passion-nya saja yang tinggi, tetapi commitment rendah.
1 note
·
View note
Photo

JAKARTA - Meski tinggal di daerah yang padat, tak menghalangi warga untuk membuka usaha dagangan atau sekedar warung jajanan kecil yang setiap hari pembelinya adalah anak-anak di kawasan Kampung Venus RT 013 RW 003, Kelurahan Jembatan Besi, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat.
0 notes
Photo

JAKARTA- Selasa (17/1), seorang anak perempuan berkerudung biru saat menghampiri kawan-kawannya untuk segara berkumpul ke mushola melakukan kegiatan TPA (Taman Pendidika Al-Quran) yang dilaksanakan rutin setiap sore di Kampung Venus RT 013 RW 003, Kelurahan Jembatan Besi, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat.
0 notes
Photo

Photo Journalist by: Nadila Nurwijayantri
JAKARTA - Kampung Tanpa Matahari atau Kampung Venus, Tambora, Jakarta Barat, tidak menghalangi keceriaan anak-anak saat bermain di siang hari usai mereka pulang sekolah, Senin (16/1).
1 note
·
View note
Photo

JAKARTA - Minimnya sinar matahari yang masuk ke kawasan pemukiman Gang Venus RT 13 RW 03, Senin (16/1).
0 notes
Photo

JAKARTA - Namanya Fuqron kelas 2 SD, ia tinggal di Kampung Venus RT 13 RW 03. Saat difoto, ia memakai kaos hijau yang tak sengaja matching dengan warna motor yang ada dibelakangnya.
0 notes
Photo

JAKARTA - Siswa SMP yang melewati sepanjang jalan sempit di kawasan Kampung Venus, Selasa (17/1).
0 notes
Photo

JAKARTA - Senin (16/1) sore hari disela-sela kegiatan bermain dengan teman-temannya, Puput sambil menyapu halaman depan rumahnya di Kampung Venus, Tambora, Jakarta Barat.
0 notes