#Pernikahan Dini
Explore tagged Tumblr posts
Text
Cegah Pernikahan Dini dan Stunting, Mahasiswa UNG - KT Wonggarasi Tengah Gelar Sosialisasi
Rekonfunews.com, Pohuwato – Mahasiswa Kuliah Kerja Nyata Profesi Kesehatan (KKN-PK) Desa Wonggarasi Tengah, Kecamatan Lemito, Kabupaten Pohuwato melaksanakan kegiatan sosialisasi pencegahan stunting dan pernikahan dini di aula Kantor Desa Wonggarasi Tengah, Minggu (28/07) Sosialisasi ini dikhususkan kepada anggota Karang Taruna Wonggarasi Tengah untuk mengukur seberapa dalam pengetahuan mereka…
0 notes
Text
Promosi Program GenRe: Upaya Pemkot Bengkulu Cetak Generasi Muda Berkualitas
Promosi Program GenRe: Upaya Pemkot Bengkulu Cetak Generasi Muda Berkualitas KANTOR-BERITA.COM, KOTA BENGKULU|| Pemerintah Kota (Pemkot) Bengkulu melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) menggelar acara Promosi dan Sosialisasi Kelompok Kegiatan Ketahanan dan Kesejahteraan Keluarga untuk Generasi Berencana (GenRe) Kota…
#Generasi Berencana#GenRe#ketahanan keluarga#pembinaan remaja#Program BKKBN#Remaja cerdas#Risiko pernikahan dini#Kota Bengkulu#Pemkot Bengkulu#Program#Sosialisasi
0 notes
Text
The number of early marriages in Blora reaches hundreds of cases, dominated by decline and todanan || Blorainfo
Panitera Hukum Muda Pengadilan Agama Blora, Fathul Hadi Blorainfo – The number of marriage dispensation figures in 2022 in Blora Regency is 531 cases filed.Of these, by the end of December 2022, 490 marriage dispensation cases had been terminated. The dispensation rate for early marriage or underage marriage in Blora Regency. This is because the party applying for a marriage dispensation is…
View On WordPress
0 notes
Note
punteun kakak, apa pandangan kakak tentang menikah di usia muda yaa kak? Kumaha kak?
Dasar Teori
Ngomongin tentang nikah mah nggak pernah bisa lepas dari ngomongin kehidupan bersistem (bernegara). Bapakku pernah bilang, kalau merujuk kepada Qur'an, narasinya adalah "nikahkanlah" bukan "menikahlah".
(*ada sih narasi "menikahlah" di ayat lain tapi perlu dikaji lagi)
Ini juga argumen serupa yang baru saja kemarin seniorku katakan sebelum menikah, ketika kutanya, "apa yang membuat kakak yakin, he's the one?"
Beliau jawab bahwa, dengan dalil tersebut, maka yang kita yakini/beri kepercayaan pertama kali adalah Allah, lalu kemudian "yang diberi perintah menikahkan". Karena dengan itulah kita dapat memahami bahwa perintah itu datangnya dari Allah, bukan dari yang menikahkan/menjodohkan. Maka siapapun orang yang dinikahkan dengan kita, maka dialah "the one" itu.
Artinya, siapa yang diberi tugas? Apakah sang pengantin? Kurasa tidak. Ada petugas (dalam hal ini boleh ditafsirkan menjadi orang tua/guru/pemegang) yang diamanahkan melakukan jobdesk tertentu mulai dari:
melakukan pendidikan pra-nikah
memilihkan dan memastikan calon yang baik dan sekufu (screening bibit, bebet, bobot)
mempertemukan dan menta'arufkan
menghantarkan pada pernikahan sesuai syariat Islam
bahkan menjadi saksi pernikahan hingga akhir hayat pasangan itu (mencakup sebagai tempat konsultasi yang turun tangan ketika pasangan tersebut dilanda ujian)
(Petugas KUA tidak termasuk, karena hanya memfasilitasi akad dan mencatatkan pernikahan saja)
Frasa "keluarga itu miniatur negara" perlu benar-benar dipahami bahwa setiap keluarga seharusnya menegakkan nilai-nilai negaranya dalam bahtera rumah tangganya.
Studi Kasus
Kasus nikah muda ini perlu disamakan persepsinya:
semuda apa?
siapa yang menikahkan?
atas dasar apa mereka dinikahkan?
Pandanganku
Yang namanya pandangan mah nggak lepas dari hukum fiqih. Asumsi deh, misal mudanya tuh kisaran umur 17-24 tahun, maka menurutku, ya halal dan sah selama memenuhi syarat fiqih lainnya. Udah itu aja. (ya daripada pacaran, kan jelas haram :v)
Tapi kalau penyikapan, kurasa di zaman ini, kedewasaan emosional, intelektual, dan spiritual berjalan lebih lambat. Mungkin dulu Sayyidah Aisyah menikah di usia yang muda secara angka, namun sudah mencapai kedewasaan emosional, intelektual, dan spiritual lebih dini.
Dan ini berkaitan dengan fungsi pernikahan secara sosial juga pada konteks zamannya. Zaman dulu, para perempuan dinikahkan di usia muda untuk melindunginya dari perbudakan/penjajahan (prioritasnya untuk keselamatan). Banyak "why" yang jadi landasan pernikahan di usia muda pada zaman dulu yang perlu dikaji. Tapi selama mampu dan perintahnya sudah tiba, kenapa tidak?
Namun di zaman ini, fungsi pernikahan pada umumnya bukan untuk mempersatukan dua kabilah/suku/negara, kan? Paling hanya mempersatukan dua insan yang saling jatuh cinta aja. Tidak berangkat dari perintah Allah melalui petugas pula. Apalagi dengan maraknya budaya pacaran, ceunah mempersatukan dua insan tak perlu lagi dengan menikah. Dengan segala dalihnya, mereka terus bersantai menunda pernikahan. Apalagi dengan menebarkan wabah takut miskin, childfree, dan segala gagasan yang berakar dari materialisme. Ya begitulah kegamangan jika hidup tidak berjamaah/tidak bersistem.
Padahal jelas di Al-Qur'an Allah bilang jangan membunuh anak-anak (generasi) karena takut miskin. Dan langsung dilanjutkan dengan ayat larangan berzina. (17 : 31-32)
Balik lagi, emang mau fungsi pernikahan kita di hadapan Allah hanya berangkat dari perasaan? Enggak sebatas itu, kan? Kita tentu pengen pernikahan kita dipandang sebagai "tim kerja kelompok/pasukan kecil" yang dipakai Allah untuk turut ambil bagian dalam kemenangan Islam.
Seperti siapa? Seperti pernikahan Najmuddin Ayyub dan istrinya yang mewariskan cita-cita pembebasan pada anaknya Salahuddin. Seperti pernikahan Nabi Ibrahim dan Sayyidah Hajar yang menyuburkan lembah tandus dengan lahirnya Ismail. Seperti pernikahan Nabi Muhammad dan Sayyidah Khadijah yang memberdayakan umat.
Oke, balik lagi ke umur, ada satu poin penting tentang "sekufu" dan "selesai" dengan diri sendiri yang juga perlu dibedah. Intinya tentang kemapanan framework. Boleh dibaca di sini:
Selesai dengan Diri Sendiri (I)
Selesai dengan Diri Sendiri (II)
Kesimpulan pandangan:
Secara hukum, halal dan sah, selama memenuhi persyaratan fiqih lainnya. Namun secara pribadi, aku meyakini bahwa pembentukan framework seseorang itu butuh waktu yang lama untuk mencapai kematangan/keajegan, terlebih jika tidak diakselerasi oleh willingness diri sendiri, learning capacity, dan fasilitas mentor yang mau diajak sparing pemikiran.
Jadi semuda apapun usia seseorang ketika dinikahkan, para orang tua, guru, murabbi, pemegang, atau apapun sebutannya perlu memastikan dan memfasilitasi agar framework berkehidupan si kedua calon pengantin cukup mapan untuk menjalani rumah tangga, sebelum melihat kemapanan lainnya.
Catatan: rasanya ini pertanyaan yang aku belum merasa pantas menjawabnya (sebab bukan ahli fiqih + belum menikah + belum pernah menikahkan orang apalagi :v) tadinya mau aku skip dulu pertanyaan ini sampai aku nikah, hahaha, bercanda. Udah pernah nikah berkali-kali di Harvest Moon, kok. Itu juga nge-cheat ☺️👌🏻
Sebelum ditanyai pertanyaan lain yang senada, sengaja sudah aku tuliskan hampir sebagian pemahamanku di link yang terlampir tadi, tentang selesai dengan diri sendiri. Jawabanku ini semoga memancing rasa penasaran lainnya, misal:
Bagaimana kehidupan bersistem?
Bagaimana kalau orang tua/murabbi/pemegang tidak dapat dipercaya?
Kok bisa sepercaya itu ke orang tua?
Gimana kalau lebih yakin dengan pilihan sendiri?
Maksudnya miniatur negara tuh apa?
Dsb.
Tolong jangan jadikan jawabanku sebagai pegangan 😅 mangga dicari sumber lain yang lebih kredibel seperti ustad di YouTube atau diskursus di Quora atau X.
— Giza, takut tambah dewasa jawabin pertanyaan begini 😅
19 notes
·
View notes
Text
“Kemudian, apa alasamu untuk menikahi anak putriku Nak?”
Tiba-tiba pertanyaan itu terlontar dari laki-laki paruh baya yang berada didepanku. Disampingnya, duduk seorang gadis teduh berdandan sederhana, ditemani oleh ibunya yang juga berpakaian rapi ketika itu.
Aku yang sudah sedari tadi berbicara panjang lebar basa basi dengan dua orang paruh baya ini mulai memutar otak untuk menjawab pertanyaan ini dengan baik, tertata dan mengena.
Aku menegakkan punggungku, menghirup nafas dengan rileks, dan merapikan sedikit bajuku yang sudah cukup lusuh karena tebaran angin sore itu.
Disituasi itu, apa yang harus aku lakukan? Kamu sebagai pembaca, apa hal yang bakal kamu lakukan jika kamu berada disituasi itu? Kalau aku, mungkin, aku akan cukup bingung menjawabnya.
Karena, kadang, apa yang kita lakukan sering kali tanpa alasan. Tentang makanan yang kita makan, apakah kita betul memikirkan nutrisinya? Tentang kebiasaan scrolling social media yang kita lakukan setiap hari, apakah kita membatasinya? Tentang mengerjakan tugas sekarang atau nanti, apakah kita memang sudah menghitungnya betul-betul? Sepertinya banyak hal didalam hidup kita yang dilakukan secara otomatis, tanpa sadar.
Tapi untuk ini, aku tak bisa melakukan secara otomatis, aku harus mempunyai alasan. Tapi apa. Aku masih mencarinya.
Aku berhenti sejenak, menghidup nafas cukup dalam dan melepaskannya dengan perlahan. Pikiranku menelusuri ruang perasaan didalam hati, berharap aku bisa menemukan jawaban itu. Aku menyelam kedalam diriku dengan serius, ada hal yang harus aku jawab. Ada seseorang yang membutuhkan jawabannya. Kenapa ya aku memilih dia? Apakah karena cantik? Sepertinya bukan itu poin utamanya. Apakah karena dia pendengar? Iya memang, tapi hatiku berkata bahwa aku mempunyai alasan yang lebih tinggi daripada itu. Apakah karena pekerjaannya? Sebentar-sebentar, sepertinya aku tahu. Oke, aku menemukan alasannya!
“Saya ingin menyelamatkan diriku dan anak keturunanku, Ayah.” Kataku
Sejenak ruangan tamu rumah ini menjadi hening. Suara detikan jam dinding terdengar lebih keras dari sebelumnya. Suara angin dari sebuah kipas di pojok ruangan juga menjadi terdengar lebih kencang. Waktu seperti berhenti ketika itu. Dan nampaknya perempuan itu juga tidak paham dengan apa yang baru saja aku sampaikan.
“Aku kurang paham dengan jawabanmu, bisa tolong jelaskan lebih lanjut?” Kata pria paruh baya itu
Baik, aku menghela nafas lebih dalam, mengatur intonasi dan ritme paragraf-paragraf panjang yang akan aku keluarkan. Tak lupa, aku juga membaca doa untuk memperlancar lisanku, yaitu doa yang sama ketika Nabi Musa diperintah oleh Allah untuk menghadap penguasa Mesir ketika itu .
“Robbis rohlii shodrii, wa yassirlii amrii, wahlul 'uqdatam mil lisaani yafqohu qoulii.”
Paragraf pertama aku buka dengan sebuah teori psikologi
Jadi maksud saya seperti ini, Ayah. Saya selalu percaya, bahwa baik buruknya seseorang sangat bergantung pada lingkungannya. Orang akan menjadi baik jika dia berkumpul dengan orang baik. Dan juga sebaliknya, orang akan menjadi “jahat” jika dia berkumpul dengan orang yang kurang baik. Iman juga seperti itu. Bahkan Rasulullah pun pernah bersabda, bahwa hati manusia itu sangat lemah. Dia harus terus diikat dengan pertemanan yang baik.
Saat ini, dunia sudah tidak seaman dahulu. Banyak orang menganggap bahwa berpacaran adalah hal yang lumrah. Menonton tayangan tidak senonoh juga sepertinya sudah menjadi bagian hidup bagi beberapa orang diluar sana. Bahkan, beberapa waktu yang lalu, banyak anak SMP dan SMA di suatu kabupaten mengajukan pernikahan dini. Bukan karena memang sudah siap menikah, tetapi mereka telah hamil diluar nikah.
Kejadian seperti ini yang membuat saya takut. Bagaimana jika anak saya juga seperti itu. Bagaimana jika pada suatu saat nanti anak saya merengek untuk pergi satu malam bersama pacarnya. Apa jadinya jika dia pergi bersama pacarnya kemudian dengan rela pahanya dipegang-pegang oleh pacarnya dan dia tidak merasa risih sedikitpun. Mungkin terlihat klise, tapi saya benar-benar pernah melihatnya di jalan, dengan kedua mata kepala saya.
Disisi lain, orangtua juga tak kalah berzinanya. Ada isteri yang selingkuh dengan rekan sekantornya karena dia lebih mendengarkan dan menerima apa adanya daripada suaminya. Ada juga suami yang mempunyai hubungan asmara lain dengan asistennya, yang lebih muda, yang lebih cantik, dan yang lebih sering bertemu dikantornya. Bahkan ada juga orang yang sampai sengaja check in di hotel bersama teman sekantor atau asistennya untuk melakukan hubungan haram itu.
Saya takut jika itu akan terjadi di keluarga saya. Saya boleh menerima cobaan apapun, asal jangan cobaan dalam keluarga dan agama. Karena konon itu adalah cobaan yang paling berat di dunia dan jarang ada orang yang bisa melewatinya dengan baik.
Oleh karena itu, saya harus memilih pasangan yang salihah. Orang yang telah menjaga dirinya. Perempuan yang juga telah berkomitmen lama untuk menjaga hawa nafsunya dengan tidak bermesraan dengan seseorang jika belum sah. Dan, aku melihat, bahwa puteri bapak adalah muslimah yang taat.
Saya pernah mendengar dari sahabatnya bahwa dia selalu shalat hajat sebelum tidur, menjaga shalat tahajjudnya seperti dia menjaga barang yang dicintainya, bahkan sahabatnya juga pernah melihat dia tak sengaja tertidur diatas sajadahnya dengan memeluk mushafnya akibat lelah menuntaskan target bacaan hariannya.
Saya mempercayakan hidupku untuk dilengkapi oleh dia.
Saya sangat selektif dalam memilih teman, maka saya juga berhak selektif dalam memilih pasangan.
Orang yang membeli sepatu mungkin hanya menyesal satu atau dua minggu ketika dia memilih barang yang salah. Orang hanya akan kesal selama satu atau dua tahun jika salah memilih pekerjaan. Tapi, soal pasangan, akan seberapa menyesal jika orang telah salah memilih pasangan?
Saya ingin menyelamatkan diri dari lingkungan yang tidak sehat. Saya ingin menyelamatkan anak dan isteriku dari zina yang telah dihiasi sedemikian rupa. Aku, juga ingin memilihkan ibu yang cerdas dan salihah untuk anakku nanti. Itulah satu alasanku untuk memilih dia sebagai pasangan saya.
Satu paragraf gagasanku telah terucap dengan lancar. Aku melihat orang tuanya mengangguk-angguk setuju dengan jawabanku. Hope it will be. Aku menghela nafas sejenak, menyadari ternyata keren juga ya aku bisa mempunyai gagasan yang kuat seperti itu. Ternyata berdebat di kelas tentang teori psikologi ketika S1 ada gunanya juga hari ini.
181 notes
·
View notes
Text
(Cerbung) Dear, Aksa
Hai, Aksa.
Suara rintik hujan yang jatuh di atas genteng malam ini membuatku kembali mengingatmu. Sudah sewindu berlalu, namun cerita tentangmu masih menjadi tema besar dalam hidupku. Entah sampai kapan.
Rintik yang turun di halaman rumah ternyata juga membasahi pipiku. Tanpa ada kamu yang siap mengeringkannya seperti dulu. Sapu tangan biru tua penuh garis itu, masihkah setia di kantung celanamu?
Begitu banyak kisah, Aksa. Begitu banyak memori yang terpaksa kusimpan dalam ingatan. Saat banyak orang menyarankan untuk membuangnya, tetap saja kujawab iya dengan pura-pura. Kau tak akan kemana-mana. Memori tentangmu akan tetap di sana.
Kini kuakui, Aksa. Tanpamu duniaku serta merta berubah. Yang dulu ada perlahan tiada. Seiring kepergianmu yang tak membiarkanku menahan sedetik saja.
Bagaimana kabar harimu di sana? Benarkah kau telah bahagia? Kau tega sekali, Aksa. Membawa seluruh impian kita berdua dan membiarkanku sendirian dalam hampa.
Kini kunikmati rintik hujan di bibir jendela, sembari memutar kembali kenangan kita di bawahnya. Saat kita menolak kalah dengan terus melaju di aspal yang basah.
***
Move On, Please
Tak kutahu jika cinta akan membawa luka sesakit ini. Setelah kepergianmu saat mimpi kita sedikit lagi.
“Tolong jangan menolak lagi. Ini sudah orang ke sekian yang kamu tolak tanpa alasan.” Suara itu lagi-lagi memaksaku menyumpal telinga dengan earphone.
Ya, aku tahu tindakan itu tidak sopan. Namun, bukankah lebih tidak sopan memaksa seseorang menerima apa yang semestinya ia tolak? Bagiku laki-laki di depanku ini sangat tidak sopan.
Ia masuk ke kamar tanpa permisi, lalu ngomel tanpa henti. Padahal ini masih dini hari. Tepatnya pukul tiga pagi. Apa di kamarnya tidak ada jam? Sampai lupa waktu begini.
“Kamu denger, kan?” Kini wajahnya turun tepat di depan hidungku. Nyaris saja kepala kami terbentur sebab kini kepalaku refleks maju, terkejut.
“Iya,” jawabku singkat dan tidak semangat.
Dialog dini hari ini sudah sering terjadi. Tepatnya setelah Ayah menolak proposal pernikahan yang Bayu ajukan. Ya, laki-laki yang kini berkacak pinggang di hadapanku. Dia kakakku, kakak satu-satunya yang selalu menjahiliku. Kami dua anak kembar yang berbeda jauh.
Kini Bayu sudah dewasa. Sudah menemukan tambatan hati dan berencana menikah, layaknya pria dewasa mapan lainnya. Sayangnya, Ayah tidak serta merta memberi Bayu izin. Ada satu hal yang menjadi penghalangnya dan itu aku. Anak perempuan satu-satunya yang masih diperlakukan layaknya bocah 13 tahun.
Ayah sangat menjagaku, melebihi Bayu. Bagi Ayah sedikit goresan di tubuhku merupakan bencana. Berbeda dengan Bayu yang memang hobi menyakiti dirinya sendiri dengan uji nyali. “Tolong bantu aku. Jangan jadiin aku korban gagal move on kamu itu."
Tanganku seketika geram hendak menyumpal mulutnya dengan buku di tanganku ...
(Bersambung)
8 notes
·
View notes
Text
Sebuah pernikahan akan sangat melelahkan terkhusus bagi perempuan jika kita salah memilih teman hidup. Perempuan tetap memegang peran lebih dalam sebuah perjalanan panjang itu, dan apabila seorang laki-laki tak tahu betul peran dan andilnya dalam sebuah hubungan. Maka ... akan banyak hal-hal yang akan menggores kisah itu sendiri.
Mari sadar peran dengan terus belajar. Baik lebih dini mengerti daripada menyesal tak segera mengerti. Edisi menuju jalan panjang itu. Mari belajar bersama!
10 notes
·
View notes
Text
Sabtu dan Ahad lalu, adalah hari yang panjang dan cukup menguras energi.
Sabtu pagi, kami dapat kabar, mbah putri kami dari pihak ayah masuk ICU karena keadaannya drop sejak jumat malam. Pagi itu juga, bapak minta dipesankan tiket kereta. Sorenya kami jemput sekaligus ikut tilik simbah yang ternyata sudah dirujuk ke IGD rumah sakit lain. Hingga malam, IGD masih mengobservasi keadaan simbah. Simbah berusia 92 tahun tapi kondisi kesehatan beliau baru drop 1 tahun belakangan ini. Simbah yang kukenal sangat aktif bergerak, dan masih bisa aktivitas mandiri. Bahkan hampir tak pernah absen di acara pernikahan cucu-cucunya termasuk saat aku dan adekku nikah.
Hingga suatu hari, simbah dikabarkan drop setelah ikut persiapan haji yang diketahui beban aktivitasnya cukup padat. Simbah sakit (detailnya kurang paham), sampai saat itu kujenguk, simbah tidak mengenaliku. Biasanya simbah bisa mengenali cucu dan cicitnya meski banyak sekali jumlahnya. Tapi simbah yang kulihat saat itu sungguh berbeda. Alhamdulillah, beberapa hari di rumah sakit simbah bisa pulang. Tapi simbah tak lagi aktif seperti sebelumnya. Mulai sulit ingat cucu dan cicitnya, bahkan anaknya. Aktivitas mandi dan lainnya harus dibantu. Kadang kondisi simbah bisa fit dan normal lagi tapi naik turun. Hingga kemarin kami dapat kabar simbah masuk rumah sakit lagi bahkan dirujuk. Kondisinya menurun bahkan sempat kritis. Hingga akhirnya berhembus nafas terakhirnya pada ahad pagi, 18 Februari 2024 pukul 02.40 wib...
Dua hari itu aku ikut membersamai proses dari simbah kritis hingga wafat. Aku banyak merenung. Simbah insyaAllah adalah seorang ibu yang sholihah... Sebagian besar dari 9 anak beliau datang menemaninya. Kita serasa kumpul lebaran ramenya. Memang, kalau yang mendampingi penuh, hanya beberapa anak beliau yang tinggal dekat dengan beliau. Tapi maasyaAllah, yang lain langsung datang saat dengar kabar simbah kritis.
Aku juga sempat melihat bagaimana kondisi simbah saat menjelang wafat. Aku awalnya sempat ragu untuk masuk ruangan, gak tega setelah dengar kabarnya. Tapi kuberanikan diriku... Simbah mengalami penurunan saturasi oksigen sehingga nafasnya sesak. Pakde yang stand by disamping simbah mulai memperdengarkan kalimat tauhid berulang-ulang. Yang aku pikirkan, bagaimana akhir hidupku nanti ya Rabb...
Saat kudengar simbah wafat dan dibawa ke rumah, proses begitu cepat. Tetangga dan kerabat langsung sigap menyiapkan proses pemakaman meski itu dini hari. Simbah pun dimandikan setelah azan shubuh berkumandang. Dan anak-anak beliaulah yang memandikan. Aku merenung lagi, ya Allah... Mampukah aku menunjukkan baktiku untuk orangtuaku kelak sebagaimana mereka?
Aku merenung panjang sekali... Bagaimana dengan akhir hidupku?
Bagaimana aku nanti saat sakaratul maut? Mudahkah? Beratkah?
Adakah orang-orang mau mengurus jenazahku? Adakah yang menyolatkanku? Adakah yang tulus mendoakanku?
Sungguh, hakikatnya yang kita butuh di akhir usia hanya maaf dan doa. Bukan lagi harta atau tahta. Masalahnya, banyak dari kita yang terlena dengan waktu, merasa hidup mati kita aman-aman saja...
Kita menyibukkan diri dengan hal-hal receh, dan membesar-besarkan masalah dunia
Padahal kain kafan kita mungkin sedang ditenun...
4 notes
·
View notes
Photo
KEPUTUSAN BESAR
"Hari ini gimana kerjanya mas? Lancar?"
"Seperti biasa. Tumben kamu telpon, ada apa?" Jarang-jarang Sarah menelepon Arman lebih dulu, jika diingat kembali mungkin hanya 1 atau 2 kali dalam 1 bulan, itupun jika ada masalah atau ada keperluan tertentu.
"Nggak papa, cuma pingin telpon aja." Sarah masih berusaha menyusun kalimat untuk membuka percakapan dengan Arman. Sunyi menggantung untuk beberapa saat.
"Mas Arman punya mimpi nggak?" To the point. Sulit ternyata jika harus berbasa-basi.
"Punya lah."
"Kenapa nggak pernah cerita? Padahal aku selalu menekankan tentang mimpiku."
"Kan aku sudah pernah bilang, aku pingin kita bisa tinggal sama-sama dalam satu rumah."
"Bukan itu maksudnya, tapi mimpi pribadinya Mas Arman. Ada yang mau kamu capai nggak mas?"
"Apa ya, mungkin bisa pensiun dini dan menikmati waktu sama keluarga. Memang kenapa Sar, do you want to grant my wish?" Arman tertawa kecil di ujung telepon, jika istrinya mau untuk ikut tinggal dengannya jelas ia akan sangat bahagia.
Sarah menghela nafas panjang, mimpi-mimpi Arman membuatnya semakin merasa egois. Kenapa yang dipikirkan suaminya selalu tentang mereka, bukan dirinya sendiri. Padahal selama ini Sarah selalu mengutamakan keinginannya.
"Honey, are you okay?" Sarah yang hanya diam membuat Arman khawatir, apakah ia tadi sudah salah bicara.
"I'm okay. Aku tidur dulu ya mas, capek tadi pasiennya agak banyak." Sarah mengakhiri telepon. Ia berbohong, rasa kantuknya sudah hilang setelah berbicara dengan Arman. Pikiran-pikiran di kepalanya saling bersahutan memaksanya untuk terus terjaga hingga dini hari.
Sarah kembali memikirkan pernikahannya dengan Arman. Bukankah pernikahan ini terjadi atas persetujuannya dan bukan paksaan orang lain? Jika bisa mengulang waktu ia pasti akan tetap mengiyakan untuk melanjutkan hubungan mereka ke jenjang yang lebih serius. Sosok Arman yang lembut dan mengayomi telah meluluhkan hati Sarah. Tapi setelah pernikahan ini berjalan, mengapa hanya Arman yang terus berusaha untuk menyesuaikan dengan dirinya? Dulu Sarah akan menganggap hal itu sebagai keharusan tapi kini ia melihat dari sisi yang berbeda, yang nampak hanyalah keegoisan perempuan yang masih kekanak-kanakan.
—
Haris datang menjemput Tasya untuk mengajaknya makan di luar, rencananya mereka akan melanjutkan pembicaraan mereka beberapa hari yang lalu. Tasya sudah mengungkapkan keinginannya untuk membuat perjanjian pranikah, tapi rupanya Haris masih sulit untuk menerima permintaan itu. "Seolah-olah kamu menuduh aku akan melakukan kesalahan-kesalahan itu Sya." Begitu tutur Haris saat itu. Bisa dibilang ia cukup tersinggung dengan usulan Tasya. Haris paham kondisi pernikahan orang tua Tasya menjadi salah satu penyebab Tasya ragu untuk menikah, tapi dirinya jelas berbeda dengan ayah Tasya.
Beruntung tempat makan yang mereka tuju sedang tidak terlalu ramai, setidaknya jika nanti terjadi adu mulut diantara mereka maka tidak akan banyak yang mendengar dan terganggu. Tasya pesan satu porsi bebek goreng lengkap dengan sambal dan lalapannya sedangkan Haris pesan satu porsi udang bumbu mentega. Di jalan mereka sudah sepakat untuk makan terlebih dahulu sebelum lanjut berbicara, perut yang lapar hanya akan memperburuk keadaan. Dan itu adalah keputusan yang tepat, rasa makanan yang enak sedikit mengendurkan ketegangan yang ada. Kini mereka siap untuk berbicara.
"Jadi maksud dari perjanjian pranikah yang kamu minta itu seperti apa Sya?"
"Intinya perjanjian yang mengikat suami dan istri terkait hak dan kewajiban, pengaturan harta dan hak asuh anak. Kurang lebih mirip dengan yang aku kirim ke kamu."
"Apa harus sejauh itu? Rasanya bahkan sebelum menikah kamu sudah nggak percaya sama aku."
"Aku nggak mau mengulang kisah orang tuaku Ris. Lagi pula perjanjian ini bukan hanya mengikat kamu tapi juga aku, kalau kelak aku melanggar maka aku juga harus menerima konsekuensinya."
Perkataan Tasya ada benarnya, perjanjian ini mengikat bukan hanya kepada Haris tapi juga dirinya. Jika dipikir kembali, kalau memang tidak akan melanggar janji itu maka ia tidak sepatutnya merasa tersinggung atau dicurigai, toh perjanjian ini dibuat untuk melindungi semua pihak, suami istri dan anak mereka kelak.
"Oke Sya aku bisa menerima, tapi aku minta kita susun ulang perjanjiannya dari awal sama-sama."
Tasya tersenyum mendengar jawaban Haris, akhirnya mereka menemukan titik temu. Ia segera mengeluarkan pena dan salinan perjanjian pranikah dari dalam tasnya. Malam ini Tasya dan Haris mulai merumuskan isi dari perjanjian pranikah mereka, dan diskusi ini berlanjut sampai berhari-hari kemudian. Tak selamanya mulus tapi diskusi ini menuntun mereka untuk lebih mengetahui apa saja batasan-batasan yang harus lebih diperhatikan kelak.
—
"Apa kabar perjanjian pranikahnya Sya?" Riani sama bersemangatnya dengan Tasya terkait hal ini, ia tidak mau sahabatnya mengulang kesalahannya dahulu.
"Sudah hampir selesai Ri, Haris juga sudah mulai nyari notaris untuk pengesahannya. Makasih ya sarannya Ri." Tentu saja ini adalah kabar baik untuk semua sahabatnya. Tasya akhirnya bisa mengatasi ketakutannya dan melanjutkan hubungannya ke tahap pernikahan.
"I'm happy for you Sya. I'm happy for you too Fi. *Hug*"
"Alfi? Kalian hutang cerita ke aku!" Sarah membuat Riani bingung, ada yang belum diceritakan oleh sahabat-sahabatnya. Dua hari lagi mereka bertemu tapi Riani sudah tidak sabar ingin segera mendengar langsung cerita sahabat-sahabatnya.
—
Sarah dan Tasya sampai di Ambrosia lebih dulu, disusul Riani dan kemudian Alfi. Ada banyak cerita yang akan dibicarakan hari ini. Jika diperhatikan baik-baik, ada senyum di setiap wajah mereka, entah apakah karena masing-masing membawa kabar gembira atau ada yang ingin disembunyikan di balik senyum yang ditunjukkan.
“Akhirnya aku sudah menentukan tanggalnya, 9 September 2023.” Senyum manis tergambar dengan jelas di wajah Tasya. Siapapun yang melihatnya akan tahu bahwa dirinya sedang berbahagia. Kabar yang ia berikan jelas disambut dengan suka cita oleh sahabat-sahabatnya, jujur saja meski selama ini mereka banyak diamnya tapi mereka telah lama menantikan tanggal ini sama seperti keluarga Haris.
“Kamu hebat Sya sudah bisa mengatasi keraguanmu dan sampai ke tahap ini." Riani memeluk Tasya yang berada di sebelahnya.
"Aku tunggu undangan resminya loh Sya."
"Undangan resmi? Memang mau datang sama siapa sih Fi." Sarah menggoda Alfi yang segera berpura-pura tidak mendengar ucapannya barusan.
"Meskipun kamu nggak cerita kita tetep tahu kok, kan Radit sukanya koar-koar ke kita." Tasya menanggapi ucapan Sarah sambil tertawa puas.
Kabar gembira lain datang dari Alfi. Ia memutuskan untuk membuka hatinya kembali. Asumsinya selama ini salah, ternyata ketika Radit tahu apa yang menjadi masalahnya justru ia mendukung Alfi untuk merawat ibunya. Tidak ada drama "perebutan waktu" seperti yang ada dalam pikirannya. Selama ini ia salah dalam menilai. Radit yang menemaninya bukanlah Radit yang ia kenal saat pertama kali masuk kuliah. Tasya lupa bahwa yang selama ini sedang mendewasa bukan hanya dirinya tapi juga orang-orang di sekitarnya termasuk Radit.
"Cerita dong Fi, kita kan juga pingin denger langsung dari kamu. Mereka sih bisa denger dari Radit, lah aku, selalu aja ketinggalan kalo soal kamu." Riani memprotes sikap sahabatnya yang begitu tertutup. Alfi selalu siap mendengarkan keluh kesah sahabat-sahabatnya, tapi ia sendiri sangat jarang bercerita terkait masalahnya.
"Iya nanti, aku susun ceritanya dulu. Gimana akhirnya Prasetya sama Aruni?" Alfi masih saja mencoba menghindar.
"Prasetya sibuk, belum bisa ketemu Aruni."
"Kebangetan emang laki-laki satu itu..."
"Tapi Aruni nggak sedih kok, dia bisa menerima waktu aku bilang papanya sibuk." Sebelum Sarah menghujat Prasetya, Riani segera melanjutkan ceritanya. Ia tidak ingin sahabatnya semakin membenci Prasetya. Biarkan laki-laki itu berhenti di masa lalu saja, tak perlu dipikirkan lebih lanjut.
“Eh iya, dengar-dengar katanya kamu mau resign?” Tasya teringat percakapannya dengan salah satu pegawai di kantin kemarin siang. Ia tak sengaja berkata bahwa Sarah akan resign, tentu saja kabar itu sangat mengagetkan Tasya.
“Hehehe, iya nih guys, aku kemarin lusa sudah menyerahkan surat resign.” Sarah berusaha tersenyum kepada teman-temannya. Sengaja ia belum bercerita karena tidak ingin mengganggu momen bahagia yang sudah terbangun.
“Kamu mau fokus menyiapkan ujian PPDS?” Riani mencoba mencari tahu alasan Sarah.
“Enggak Ri, sepertinya aku mau ikut Arman dulu sementara waktu, kami butuh bicara banyak.”
“Kamu serius Sar? Terus persiapan PPDSmu gimana?” Alfi tidak menyangka Sarah akan melepaskan apa yang telah ia perjuangkan, bukankah selama ini Sarah selalu memegang teguh mimpinya itu.
“Tergantung nanti hasil diskusiku dengan Arman.” Sebenarnya Sarah masih sedikit ragu dengan keputusan yang diambilnya, tapi ia juga tidak mau jika sampai kehilangan Arman karena keegoisannya.
“Kamu sudah membuat keputusan yang baik Sar.” Riani kagum dengan sahabatnya yang akhirnya bisa mengesampingkan egonya, di mata Riani keluarga adalah nomor 1, dan butuh usaha besar untuk mempertahankan keutuhannya.
“Meksipun kamu udah jauh, please tetap dateng ke nikahku ya.”
“Hahaha iya lah Sya, lagian aku juga bakal sering pulang ke sini kok, aku juga belum tahu bakal di sana berapa lama.”
Membayangkan akan sulit untuk bertemu sahabat-sahabatnya lagi membuat Sarah menjadi sedih. Salah satu penguatnya adalah tiga sahabatnya itu, kapanpun ia butuh bercerita mereka akan siap sedia mendengarkan. Sunyi tiba-tiba menggantung di antara mereka. Alfi, Riani dan Tasya juga merasakan kesedihan yang sama, meski tetap bisa bertemu tapi tentu akan berbeda tanpa kehadiran Sarah.
“Masih 2 bulan lagi kok guys.” Sarah mencoba menyelamatkan suasana yang tiba-tiba berubah, dan disambut senyuman semua sahabatnya.
Hari ini pertemuan mereka dibuka dengan kabar-kabar gembira dan ditutup dengan satu pelukan hangat. Keputusan Sarah bukanlah kabar buruk, meski sedikit sedih tapi mereka semua sadar ini adalah bagian dari perjalanan hidup yang sedang mereka jalani. Mereka akan selalu ada untuk sahabat mereka, dimanapun mereka berada.
9 notes
·
View notes
Text
Obrolan Warung Kopi - Episode 3
Kali ini kami memilih mengobrol dalam arti yang sebenarnya. Butuh dua jam untuk menyampaikan situasi dan pendapat satu sama lain. Menariknya, antara kami berdua sibuk untuk menjadi pendengar alih alih pencerita.
Dia hadir dengan beberapa pertanyaan di awalnya, lalu bercerita tentang situasi terbaru yang dihadapi. Uniknya, situasi seperti itu juga baru dia alami dalam hidupnya. Sedangkan aku, sudah beberapa kali mendapatkan kisah sejenis dari orang orang yang pernah aku kenal.
Kisahnya tentang CLBK - Cinta Lama Bersemi Kembali, tentang ego dan distraksi, tentang menjaga, tentang menemukan kewarasan diri atau membuka kesempatan baru.
Satu hal yang membuatku terdiam cukup lama saat dia bilang bahwa kisah sebelumnya gak serumit ini karena dia menjaga prosesnya untuk tidak larut pada perasaan yang belum perlu muncul jika belum waktunya. Dia pun cukup setuju bahwa proses yang baik mengambil peran dalam keberkahan sebuah hubungan, meski bukan jadi penentu.
Begini katanya:
Sakinah Mawaddah Warrahmah adalah hasil dari pernikahan yang visinya terjaga. Lalu kenapa ada orang yang gak bahagia dalam pernikahannya? Ya karena dia rusak (secara sengaja maupun tidak) visinya. Kalau pihak yang tetap menjaga visi pernikahannya karena Allaah, ya bakalan baik baik aja. Bisa baik baik aja karena Allah jaga, masa orang baik gak Allah jaga?
Lucunya, ngobrol sama orang ini sebenernya effortless. Dia udh tau jawaban atas pertanyaannya sendiri. Dia udah punya alternatif dan opsi yang kuat dari keraguan yang dia hadapi. Dia udah punya dugaan, meski gak pernah mau menilai duluan. Ngobrol sama orang ini cuma perlu jadi cermin aja, sederhana.
Di sini aku malah jadi takut.
Takut kalau aku mulai berharap lebih. Lebih dari sekadar mengharapkan kesembuhannya. Semoga saja tidak.
Dan aku menanti sesi obrolan berikutnya, sesuai dengan apa yang dia katakan di akhir obrolan kami dini hari tadi.
#menulis#cerita#CLBK#distraksi#menjaga#tujuan#sembuh#proses#obrolanwarungkopi#episode 3#mencariyangke12#belajar#bertumbuh#berbagi#bermanfaat
5 notes
·
View notes
Text
Setengah Marathon: Sebuah Permohonan Maaf Terbuka untuk Lutut Kananku
Sekali lagi setengah marathon. Bedanya dibungkus pargelaran lomba lari. Sebulan lebih ketika mendaftar tentu terbayang akan diselesaikan dengan mudah. Lari jauh adalah rekreasi rutin saban minggunya. Mungkin apabila yang dituju adalah marathon penuh, barulah agak bergidik.
Maka ketika seminggu sebelum lomba didera flu, masih yakin. Toh porsi latihan mendekati lomba niscaya harus dikendurkan. Sabtu, selepas sesi santai 10k, gejala mulai terasa. Minggu makin terasa. Senin dan Selasa agak reda setelah memutuskan tidak berlari. Rabu kembali 5k dengan daya menengah. Kamis, istirahat. Jumat kembali santai habiskan 8,08 km.
Sabtu pagi, sehari sebelum “angkat bendera”, benar-benar demam. Yang paling ditakutkan terjadi. Pun hari itu tidak memungkinkan untuk benar-benar beristirahat. Ada pernikahan yang harus dihadiri. Temanku, yang bersama mendaftar dan profil pelarinya mirip, tumbang dan dirawat di rumah sakit. Dia batal ikut. Terbayang berlari 21k tanpa yang diajak bicara. Harusnya ada teman untuk memulai dengan kecepatan bercakap.
Obat dan vitamin ditenggak. Malamnya mengajak istriku menandaskan nasi pecel Madiun, hitung-hitung angkut-muat karbohidrat. Tetap saja badan tidak begitu bisa diajak kompromi. Aku tidak berani mencari termometer karena pasti suhu cukup tinggi. Satu-satunya harapan adalah tidur lekas dan bangun lebih bugar esoknya.
Minggu dini hari, pukul tiga. Angkat bendera tinggal dua setengah jam. Bermalam di rumah ibuku yang dekat dengan arena berlari cukup membantu memangkas pergi ke arena. Bangun begitu dini untuk memastikan tidak ada ampas yang mengendap saat berlari dan membuat sakit perut. Dua kali menguras isi perut -bahkan sedikit dipaksa.
Istriku tidak ikut berlari bahkan dalam nomor paling ringan, 5k. Dia sepakat menemaniku, jaga-jaga apabila aku kolaps. Mungkin juga bisa diberdayakan mengendarai mobil apabila kakiku kram. Maka berangkatlah kami di pagi buta, menuju sebuah pusat perbelanjaan yang tak begitu jauh dari arena berlari. Memarkir mobil, berjalan menyusuri jembatan penyeberangan, menyelinap ke sebuah stasiun kereta yang menjadi penghubung pintu belakang arena lomba. Sebuah kampus yang bagiku lebih berguna sebagai tempat latihan berlari dan kebetulan tempatku bekerja sehari-hari.
Ternyata tidak semudah itu. Sepuluh menit sebelum angkat bendera, nomor dada ternyata lupa dibawa dan tertinggal di mobil. Istriku sedikit merasa bersalah tapi tentu itu bukan salahnya. Kenapa pula dia yang harus bertanggungjawab menyiapkan semuanya? Jadi, ‘pemanasan’ setengah marathon adalah sprint menuju parkiran pusat perbelanjaan tempat mobil diparkir. Sprint kembali, menapaki tangga jembatan penyeberangan, menuju arena berlari.
Angkat bendera sudah berlangsung tiga menit untuk nomor setengah marathon. Mengintip jam tangan pintar, rasio degup per menit menunjukkan angka 180. Tentu bukan permulaan ideal. Terpaksa memulai dari baris belakang namun memastikan, secara terbalik dari idealnya memulai lari jauh, degup jantung tidak terlalu kencang dan turun perlahan. Pun tetap wajib memastikan tidak benar-benar ketinggalan dari peserta lain. Segala flu dan demam yang meliputi seakan menguar bersama adrenalin.
Adakah ini lari jauh terakhirku? Terbayang meninggalkan istri dan kedua anakku untuk selamanya akibat sekadar lomba lari. Sengau Eric Idle mengingatkan hidup adalah seonggok tahi. Hidup adalah kelakar dan kematian adalah canda. Jadi biarlah, tetap saja berlari walaupun di penghujung hari disolati. Matahari lamat-lamat membumbung. Hari mulai cerah.
Setengah marathon ini adalah soal diriku dan keinginan tolol untuk menyelesaikannya sesuai target waktu dan kecepatan. Aku tidak tahu motivasi peserta yang lain. Tentu selalu gatal untuk memproyeksi isi kepala peserta lain sesukanya. Seorang bapak tua bersama gerombolan teman kantor -mereka memakai baju yang menunjukkan nama tempatnya bekerja- yang mungkin dipaksa daftar oleh CEO maniak lari. Seorang ibu berhijab yang mungkin janda cerai karena suaminya memiliki wanita yang lebih molek dan berlari untuk tetap waras. Beberapa pelari senior yang masih nekat ikut setengah marathon di penghujung hidup. Aku bisa membuat sebuah cerita pendek dari khayalku tentang motivasi masing-masing pelari hari itu.
Keyakinan bahwa ada stasiun air yang memadai membuatku yakin tak membawa sabuk lari yang bisa mengangkut dua botol air masing-masing 150 mililiter. Kantung celana berlari yang kanan berisi telpon genggam yang kiri berisi tiga jel energi yang akan aku sesap setiap tujuh kilometer. Kedua kuping telah dimampatkan pelantam mikro yang karena kecanggihannya dapat terkoneksi dari lagu-lagu yang disimpan di jam pintar. Bandana agar rambut yang mulai gondrong tidak menusuk-nusuk mata.
Sepuluh kilo pertama. Melewati pelari-pelari yang -karena pikiran congkakku- tidak terlaru serius dan memilih nomor 5k. Suara Ozzy Osbourne melengking dan memacu kakiku begitu saja untuk menambah jarak tapak. Menambah kecepatan. Melewati beberapa gerombolan di kampus tempat istriku berkuliah dulu. Berbelok ke sebuah bekas perpustakaan yang meninggalkan beberapa memori termasuk soal asmara jaman kuliah.
Kilometer lima belas. Tinggal enam lebih sedikit. Dua jel energi sudah habis. Beberapa kali minum di stasiun air. Lima lebih sedikit. Sambil menandaskan sebuah pisang yang disediakan di sebuah stasiun air, tempurung kaki kanan mulai terasa nyeri. Keparat. Terbayang dua minggu sebelum lomba tidak terlalu banyak latihan beban. Penyesalan tiada guna karena walaupun harus ngesot, tetap harus selesai.
Menelpon video istriku. Mengatakkan aku mencintainya. Mungkin dia geli dan merasa suaminya terlalu mendramatisir. Tapi memang sedang menderita dan karena lagu-lagu film Rocky terputar secara acak, maka aku ingat Rocky yang mencari Adrian Balboa pasca babak-belur dihajar Apollo Creed.
Tanjakkan terakhir. Iya, tanjakkan. Kelok sekilo terakhir adalah tanjakan. Kaki kananku mungkin begitu bencinya dengan otak yang memerintahkannya terus menapak saat tak mampu lagi. Jadi nanti saja kalau memang harus mengunjungi fisioterapi. Yang penting selesai. Akhirnya memang selesai. Dua jam lebih dua puluh satu menit dengan kecepatan enam pertengahan. Lumayan. Setengah marathon pertama dalam sebuah lomba. Masih ada banyak lagi hingga cukup tolol mendaftar marathon penuh. Harus, kecuali mati atau diamputasi.
2 notes
·
View notes
Text
Penelitian Etnografi untuk Kebijakan Pendidikan yang Lebih Baik
Etnografi secara sederhana adalah suatu cara atau metode untuk mempelajari fenomena sosial maupun kebudayaan di suatu masyarakat. Dijelaskan bahwa penelitian etnografi bersifat mengikuti keseharian penduduk dan peneliti harus berpartisipasi di dalam masyarakat, bukan hanya mengamati dari jauh atau wawancara belaka (Reeves et al., 2013). Selain itu, dalam penelitiannya cenderung terbatas karena apabila terlalu banyak yang diamati, akan terlalu banyak menimbulkan pertanyaan.
Penelitian etnografi merupakan penelitian dengan metode kualitatif yang dilakukan untuk mengetahui dan memahami secara mendalam kebudayaan masyarakat setempat yang menjadi objek penelitian. Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan analisis kebudayaan secara holistik dari hal paling sederhana, seperti keluarga hingga perekonomian suatu masyarakat yang dipengaruhi oleh faktor-faktor lain.
Hasil akhir etnografi bisa berbentuk macam-macam seperti catatan lapangan—barangkali berupa catatan harian—dan bisa juga jurnal, paper, atau karya yang mirip dengan itu (karya ilmiah dan lain-lain) sebagai karya akhir dari penafsiran serta kumpulan data dari catatan lapangan tersebut (Reeves et al., 2013). Seperti buku Margaret Mead (1928) yang berjudul Coming of Age Samoa, buku jurnal perjalanan yang sangat insightful mengenai budaya akil balig suatu suku di Samoa yang pada saat itu berbeda sekali dengan budaya akil balig di Amerika Serikat yang cenderung tertutup atau buku yang ditulis oleh Levison Wood (2019) yang berjudul An Arabian Journey yang menceritakan perjalanannya ke ujung Timur Tengah. Selain itu, karya etnografi juga bisa berbentuk novel (contohnya Puya ke Puya oleh Faisal Oddang (2015), Tarian Bumi karya Oka Rusmini (2007), dan lain sebagainya) atau film (bisa dokumenter maupun tidak). Contoh film non-dokumenter dengan nuansa etnografi adalah Before, Now, and Then karya Kamila Andini dan Ngeri-Ngeri Sedap karya Bene Dion.
Penelitian etnografi dalam bidang pendidikan dapat dilakukan dengan observasi partisipatoris di sekolah-sekolah maupun daerah-daerah secara menyeluruh. Hal ini dikarenakan pendidikan dipengaruhi oleh banyak hal dan memengaruhi banyak hal pula, tak hanya seputar sekolah saja. Seperti misalnya perekonomian penduduk setempat berpengaruh pada pendidikan yang dipilih oleh masyarakat setempat. Apakah pendidikan itu hanya akan berhenti di SD, SMP, SMA, atau bahkan tak sekolah dan memilih untuk bekerja atau menikah saja. Begitu pula pendidikan berpengaruh pada perekonomian warga setempat. Idealnya, apabila pendidikan suatu masyarakat baik, perekonomian juga cenderung membaik. Masalah lain juga akan teratasi sedikit demi sedikit seperti pernikahan dini, angka pengangguran.
Pengetahuan mengenai suku, kebiasaan, ekonomi, kebudayaan, serta sosial masyarakat setempat yang didapatkan dari penelitian etnografi berdampak sangat baik dalam perancangan pendidikan bagi masyarakat setempat. Hampir sama seperti aspek demografi, pengetahuan mengenai kebudayaan setempat diharapkan dapat menjadikan pendidikan tepat sasaran. Akan tetapi, berbeda dengan demografi yang sebagian besar mengandalkan data kalkulatif, pengetahuan dan penelitian etnografi menjadikan seseorang mengetahui dengan mendalam apa yang dibutuhkan masyarakat dalam bidang pendidikan. Pendidikan dan kebudayaan juga memiliki hubungan yang saling terkait. Perubahan-perubahan kebijakan pendidikan perlu memperhatikan dinamika kebudayaan dan perubahan kebudayaan bisa jadi merupakan akibat dari adanya perubahan rancangan pendidikan yang ada (Normina, 2018).
Penelitian etnografi juga dapat dijadikan pertimbangan untuk mengevaluasi kebijakan yang ada agar kedepannya tidak lagi tidak tepat sasaran. Misalnya, kebijakan tentang masuk jam lima pagi di Nusa Tenggara Timur yang bisa dievaluasi menggunakan observasi partisipatoris. Ada baiknya peneliti merupakan bagian dari pemangku kebijakan, mengikuti anak-anak berangkat sekolah pukul lima pagi dan merasakan efeknya sendiri-sendiri lalu menuliskan pengalaman itu dalam catatan lapangan untuk kemudian dianalisis. Hasil analisis ini apabila digunakan untuk mengevaluasi kebijakan diharapkan dapat menjadikan kebijakan lebih tepat sasaran sehingga tak ada lagi kasus menginap di sekolah seperti yang dilansir oleh Tempo pada tanggal 9 Maret 2023 lalu (Pitaloka, 2023).
Pendidikan yang merupakan hal mendasar dalam kehidupan saling mempengaruhi dan dipengaruhi kebudayaan. Hal ini menjadikan kebijakan yang diterapkan harus menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Hasil penelitian etnografi yang berupa analisis secara mendalam tentang kebudayaan (termasuk ekonomi, tradisi, hingga pendidikan) masyarakat setempat dinilai dapat membantu pemangku kebijakan dalam menentukan aturan-aturan yang berlaku dalam bidang pendidikan. Dengan begitu, dipertimbangkannya penelitian etnografi dalam penentuan kebijakan akan menciptakan kebijakan pendidikan yang lebih baik.
Penulis: Salsabila Ananda Nur Fadila
Penyunting: Nur Adzim Aminuddin
Ilustrator: Oktafiani Zahra Indira
DAFTAR PUSTAKA
Andini, K. (Director). (2022). Before, Now, and Then [Film]. Fourcolours Film; Titimangsa Foundation; Wild Bunch.
Dion, B. (Director). (2022). Ngeri-Ngeri Sedap [Film]. Imajinari; Visionari Film Fund; Netflix.
Mead, M. (2001). Coming of Age in Samoa: A Psychological Study of Primitive Youth for Western Civilisation. Harper Collins.
Normina, N. (2018). PENDIDIKAN DALAM KEBUDAYAAN. ITTIHAD. https://doi.org/10.18592/ittihad.v15i28.1930
Oddang, F. (2015). Puya ke puya: surga diciptakan karena. . .. Kepustakaan Populer Gramedia.
Pitaloka, P. S. (2023, March 8). Cara Masuk Sekolah Jam 5 Pagi di NTT, Naik Kuda sampai Menginap di Sekolah Biar Tak Telat. Tempo. https://tekno.tempo.co/read/1700301/cara-masuk-sekolah-jam-5-pagi-di-ntt-naik-kuda-sampai-menginap-di-sekolah-biar-tak-telat
Reeves, S., Peller, J., Goldman, J., & Kitto, S. (2013). Ethnography in qualitative educational research: AMEE Guide No. 80. Medical Teacher, 35(8), e1365–e1379. https://doi.org/10.3109/0142159x.2013.804977
Rusmini, O. (2007). Tarian bumi: sebuah novel. Gramedia Pustaka Utama.
Wood, L. (2019). An Arabian Journey: One Man’s Quest Through the Heart of the Middle East.
2 notes
·
View notes
Text
Dalam satu kesempatan, tahun 2018 bertemu dengan seorang kawan yang bekerja di background yang sama (finance). Saat itu, saya baru beberapa bulan menjalani masa resign, baru dapat pekerjaan di sebuah lembaga pendidikan anak usia dini yang ada di Kota Subang.
Pertemuan kami berawal dari niat hadir di acara pernikahan salah satu teman satu kampus. Ada yang menarik, saat di perjalanan temanku ini seperti mencari tahu kenapa saya bisa resign di perusahaan dan memilih untuk hijrah. Terjadi percakapan di antara kami, yang masih kuingat percakapan itu.
"Han, kenapa kamu bisa memutuskan buat resign?" Tanya temanku penuh rasa penasaran.
"Ehm, hidup itu pilihan. Ya Hana pilih resign biar hidup tenang dan lebih berkah aja." Jawabku dengan santai.
"Kamu siapin apa aja buat resign?" Lanjutnya.
"Tabungan ya sekitar ... juta. Tapi, sayang itu gak cukup. Malah Allah ambil dengan caranya. Mungkin karena gak berkah, jadi uang itu nominal besar tapi sisi kemanfaatannya minim. Bekal lainnya cuma doa dan tekad yang kuat, buat meninggalkan apa yang Allah gak rida."
Dia seperti masih penasaran, kenapa saya bisa bertahan. Padahal, saya terbilang orang yang cukup realistis mengukur segala sesuatu dengan uang. Dengan kata lain, tenaga yang dikeluarkan harus di bayar dengan harga yang sesuai. Jika di rasa tidak sesuai, tak segan saya meninggalkan pekerjaan itu.
"Kamu berapa lama nunggu kerjaan baru?" Tanyanya lagi.
.
"Sekitar 6 bulan lebih lah. Tahu sendiri, data pribadi ada yang ditahan juga sebagai jaminan kerja. Kalau mau balik, ya harus ikuti prosedur." Aku menanggapi dengan santai.
"Terus, berapa lama proses di perusahaan dari ajukan surat pengunduran diri sampai resign?"
"Dulu itu ajukan resign pas pulang dari dinas luar. Baru ngomong mau ajukan surat di suruh nunggu 3 bulan. Nah, 3 bulan berikutnya nunggu pengganti buat handle tugas. Abis itu nunggu lagi sekitar dua bulan lebih, baru deh tuntas resign. Penantian sekitar 8 bulan kayaknya."
"Kuat kamu selama itu buat nunggu?" Tanya dia kembali.
"Awal-awal sempet ngerasa nggak kuat sih. Tapi, ya mau gimana lagi. Setiap keputusan pasti ada resikonya. Kalau ngerasa nggak kuat cuma bisa ngadu sama Allah."
Terlihat dia masih belum puas dengan jawabanku. Mungkin hatinya bergejolak. Dia ingin melakukan hal yang sama, namun dia merasa ragu. Entah apa yang ada dalam benaknya. Kemudian dia membuat sebuah pernyataan.
"Jujur, pengen banget kayak kamu keluar dari perusahaan. Cuma, berat rasanya. Tanggunganku banyak, belum lagi mau nikah. Butuh modal banyak, kalau resign nanti gimana?"
"Percaya gak, apa yang udah di susun sebelum hijrah dan saat jalani itu beda jauh prediksinya. Aturan uang tabungan, ... juta cukup selama lagi nganggur, qadarullah diambil dengan caranya Allah. Nggak paham sih, yang jelas kita harus siapkan mental pas lagi gak punya apa-apa. Terutama omongan orang terdekat atau keluarga. Siap-siap dapat komen unpredictable." Jawabku sambil tersenyum.
"Terus kalau resign aku gimana ya, Han?"
"Tinggal resign aja sih. Kuatkan tekad, banyak doa, siapkan mental aja. Hijrah itu gampang kok, yang berat istiqomah. Abis resign, jujur banyak banget tawaran di perusahaan sama dengan gaji dan jabatan lebih tinggi. Minta Allah aja biar kuat lewati semuanya. Kita itu hamba, cuma bisa ikhtiar. Hasil pasrahkan semua Allah."
Namun, dia menyela dengan mengatakan, "Tapi, gimana nasib aku ke depannya, Han? Itu loh yang dipikirkan."
"Percaya gak sama janji Allah? Apa pernah Allah bohong sama kita? Pernah gak kita merasa, susah baru beberapa bulan ngeluh, padahal Allah kasih nikmat sama kita bertahun-tahun. Brow, sakit pas kamu jalani saat hijrah, kalau kamu tulus dan terus istiqomah itu bisa jadi jalan mengundang cinta-Nya Allah. Bahkan di fase itu, bisa jadi Allah lagi bersihkan dosa-dosa kita. Kebayang, segede apa dosanya kerja di tempat itu. Kita tebus kesalahan di masa lalu dengan menjadi sebaik-baiknya hamba dan pribadi di masa sekarang. Brow, Hidayah itu mahal, gak semua orang itu Allah kasih. Cuma, kita mau gak ambil peluang itu dan berjuang?" Aku menekankan kata di bagian Hidayah itu mahal agar dia menyadari pentingnya mengambil hidayah.
"Oke deh, nanti dipikirin dulu."
"Siap, semoga Allah permudah buat kamu bisa hijrah. Ingat, mati itu tak menunggu taubat kita. Kalaulah Allah kasih hidayah, ambil peluang itu dan berikan seluruh hidup kita untuknya. Jangan sampai kamu ngerasain kayak aku, harus terpuruk dulu baru menyadari arti pentingnya punya iman dan islam. Bahkan aku bilang sama Allah, Allah boleh ambil apapun yang aku punya, baik harta, jabatan, orang dicintai, dan lainnya. Yang penting Allah gak ambil iman di dalam hatiku."
Dia tertegun. Entah apa yang ada dalam benaknya. Yang terpenting, kita sudah menyampaikan sebuah kebenaran. Perkara dia menerima ataupun tidak bukan menjadi urusan kita. Itu semua urusan Allah. Semua hak prerogatif Allah, meskipun kita sangat ingin teman kita berubah. Kita hanya bisa berdoa agar Allah bimbing dia untuk berubah.
Berkali terucap rasa syukur berada di titik ini. Jika flash back beberapa tahun silam, rasanya malu. Banyak maksiat dan keburukan dilakukan. Namun, kita gak boleh putus asa dari rahmatnya Allah, meminta ampunan dari-Nya. Allah menginginkan kita untuk berubah menjadi lebih baik, maka syukuri perjalanan hijrah ini. Menjaga nikmat iman dan islam tertanam erat dalam hati, jangan sampai siapapun hadir mengambilnya dari kita.
Tugas utama setelah hijrah yaitu Taubat, bertekad menjadi pribadi baru yang lebih baik. Dan, mencoba pergunakan kemampuan yang kita miliki, untuk berjuang sepenuhnya di jalan Allah. Apapun itu, kita lakukan semuanya sebagai penebus keburukan kita di masa lalu, dengan melakukan kebaikan tanpa henti di sisa usia kita.
Noted :
Penantian hijrah seorang hamba pada Allah sangat dirindukan. Jangan buat Allah menunggu terlalu lama. Kembali, lakukan yang terbaik dan lupakan. Begitu seterusnya, sampai Allah panggil kita pulang.
4 notes
·
View notes
Text
Tentang pendidikan dan akses terhadapnya
Waktu aku pindah sekolah dari Bandung ke Sukabumi, aku nggak mengenali bangunan sekolah baruku sebagai sekolah. Kupikir itu kantor RT atau kelurahan. Itu karena ukuran sekolahnya jauh lebih kecil dari SD-ku di Bandung dulu.
SD-ku yang baru kurang ruang kelas. Kami harus bergantian menempati ruang kelas dengan murid kelas lain. Kalau belum kebagian ruangan, kami belajar ngemper di teras beralas karpet.
SD-ku yang lama juga kurang kelas, sih. Tapi, solusinya jam masuk sekolah dibagi dua, pagi dan siang. Aku jadi nggak begitu merasakan ada fasilitas yang kurang.
Di SD baru, banyak teman-temanku datang dari kelas ekonomi menengah ke bawah. Sebagian dari mereka harus bantu orangtua berjualan makanan untuk dapat penghasilan tambahan.
Pernah satu waktu aku ketemu teman yang jualan gorengan keliling di hari libur. Aku sapa dia, "Hey! Jualan gorengan?" Tapi, habis itu dia lari tanpa balas sapaanku.
Aku nggak ngerti kenapa dia lari. Kutanya Ibu. Katanya, mungkin dia merasa malu. Setelah itu aku nggak pernah sapa dia lagi kalau jualan lewat rumahku.
.
Selepas SD, aku masuk SMP yang juga diminati teman-teman SD-ku. Dari latar belakang ekonomi muridnya, lingkungan SMP-ku nggak jauh berbeda dengan SD.
Di sana, aku ketemu dengan D dan T. Mereka jadi kawan baikku selama SMP. Tapi, waktu kelas dua D tiba-tiba nggak masuk sekolah. T bilang dia masuk pesantren atas saran bapaknya. Aku sempat kasih dia salam perpisahan, tapi setelahnya aku nggak pernah dapat kabar darinya lagi.
Kabar dari D muncul tiba-tiba waktu aku kelas satu SMA. T yang satu SMA denganku menarik lenganku satu pagi sambil bilang D akan menikah. Aku ketawa kecil, lalu melengos. T tegur aku, dia bilang ini serius lalu dia taruh undangan pernikahan D di tanganku.
Beberapa hari kemudian aku, T, dan temanku yang lain datang ke pernikahan D yang digelar sederhana di rumahnya. Kami datang sepulang sekolah, masih berseragam, lengkap dengan tas di punggung.
Sesampainya di sana, D dan neneknya menyambut kami dengan ceria. Melihat kami, Nenek D bilang, "Wah, teman-temannya masih kecil, ya,"
D menyahut lirih, "Aku juga masih kecil,"
Umur D baru 15 tahun.
.
Bertahun-tahun jauhnya setelah D menikah lalu punya anak, aku membaca satu artikel di The Conversation. Artikel itu bilang rumah tangga miskin cenderung mengirim anak perempuan mereka ke madrasah. Peneliti dan penulis artikel itu berhipotesis, salah satu penyebabnya adalah banyak perempuan di pedesaan terpaksa menjalankan pernikahan dini. Madrasah pun dipilih karena sesuai untuk membangun peran tradisional perempuan sebagai "istri yang baik".
Aku teringat D.
.
Sampai dewasa, topik tentang pendidikan selalu lekat dengan cerita teman-teman yang kutemui semasa sekolah. Terbatasnya akses ke pendidikan, terlebih pendidikan tinggi, buatku bukan cuma berita yang kulihat di media. Tapi, cerita yang kukenal dari dekat.
Beberapa waktu lalu, aku mulai baca buku Moving Up Without Losing Your Way. Buku itu bilang, ada ethical cost yang harus dibayar masyarakat kelas bawah untuk bisa menaiki tangga sosial. Ketika seseorang bersekolah atau bekerja demi kehidupan yang lebih baik, misalnya, nggak jarang mereka harus merantau. Ini nggak cuma membuat mereka jauh dari keluarga, tapi juga tercerabut dari komunitas dan kehilangan identitas.
Ada satu bagian di buku itu yang terasa begitu dekat denganku. Bagian itu bercerita tentang mahasiswa generasi pertama. Banyak hal di dalamnya kualami juga selama kuliah. Salah satunya bahkan turut jadi alasanku lulus terlambat. Aku baru baca buku itu sampai introduction, sih, tapi seenggaknya aku jadi sadar kalau masa-masa sulitku waktu mau lulus itu memang karena dipaksa keadaan.
Sekarang masa-masa itu sudah lewat. Dan di atas kesulitan itu aku lebih dari bersyukur punya orangtua yang tetap mendukung pendidikan anak-anaknya. Bahkan ketika aku tidak bisa lulus tepat waktu dengan keuangan keluarga yang tidak stabil pula.
Liputan Kompas yang kubaca bilang, orangtua Indonesia akan makin kesulitan membiayai kuliah anaknya. Biaya kuliah semakin tinggi sedangkan kenaikan gaji tak seberapa. Ini akan jadi lebih sulit lagi untuk orangtua yang lulusan SMA. Laporan yang cukup bikin pilu hati. Aku cuma berharap selalu ada hal baik untuk mereka yang mau bersekolah.
.
Jakarta, 21 April 2023. Malam Idul Fitri.
5 notes
·
View notes
Photo
“Jadi kaliann???” Ibu membuka mulut nya untuk memastikan, namun Atsila memotong.
“Iya buuu, jadi kami bertukar posisi, kami ketemu tiga minggu lalu, Atsiri yang pertama kali menghubungi Sila. Karena kita sama-sama merindukan sosok ibu dan ayah, jadinya kita tukeran aja deh biar bisa saling ketemu ayah dan ibu.”.
“Ya Ampun Nak, jadi yang dua minggu ini tinggal dengan ibu itu Atsila? kamu sudah sebesar ini nak? Maafin ibu yaaaa Sillll, ibu sampai nggak bisa membedakan kalian.” Ibu memeluk Atsila, air mata nya tak terbendung lagi, kerinduan yang selama ini memuncak kepada sang anak di hari itu berhasil diluapkan. Begitu juga Atsiri yang sedari tadi tak kuasa menahan air mata nya.
“Atsiriiii. Anak ayah, sehat kamu sayang? Maafkan ayah juga ya karena selama ini selalu gagal mencari kalian. Siri dan Sila seharusnya tidak perlu bertukar peran seperti ini, kalau Atsiri mau main kesini silahkan saja, ini juga rumah Atsiri. Kalian bisa bebas mau berkunjung ke rumah ibu atau ayah. Walaupun ibu dan ayah sudah tidak bersama kalian tetap akan bisa merasakan seluruh kasih sayang kami. Benar kan bu?” Ibu mengangguk setuju akan ucapan ayah itu, baginya perpisahan Ia dengan sang istri bukan karena hal yang melukai di dalam rumah tangga, sehingga bisa jadi perpisahan mereka adalah perpisahan yang baik-baik saja bahkan seharusnya tetap berteman untuk membesarkan kedua buah hati mereka bersama-sama.
***
Kami berempat sudah duduk di meja makan, sudah tersaji berbagai hidangan yang sedari pagi Atsiri dan Bi Sari siapkan. Ulang tahun yang semula akan mengundang teman ayah itu menjadi makan malam penuh khidmat yang dihadiri ayah ibu dan anak-anak mereka.
Rasanya seperti makan malam keluarga yang utuh. Atsila tidak lepas dari senyum bahagia nya. Misi kali ini berjalan lancar, andai saja Ia bisa memohon kepada Tuhan, maka mempersatukan kembali keluarga nya adalah hal yang paling ia semogakan.
“Yah, aku boleh nggak meminta klarifikasi ayah dan ibu soal perpisahan kalian ini? sekarang Atsila dan Atsiri kan sudah dewasa nih, jadi udah boleh dong tahu semuanya.” Atsila membuka pembuka pembicaraan itu dengan pertanyaan untuk ayah-ibunya.
“Sedikit banyak ayah yang salah, ayah belum bisa memantaskan diri saat bertemu orangtua ibu dulu. Jadi nenek kakek nggak merestui hubungan kami, alasannya masa depan ayah kurang mapan untuk membersamai ibu, ayah akui itu, karena dulu hanya bermodal cinta, padahal kehidupan butuh modal lainnya termasuk memperkuat financial ayah saat itu. Tapi ayah dan ibu saling cinta, akhirnya kita menikah diam-diam dan punya anak kalian.”
“Nenek dan kakek menemukan kita dan memaksa kami bercerai, saat itu akibat kurang nya ilmu, kami memilih jalur itu, padahal bisa saja ayah membuktikan kepada nenek kakek kalau ayah akan berusaha membahagiakan keluarga kita.”
“Terus gimana lagi yah?” Atsiri menimpali pembicaraan itu dengan penasaran.
“Jadi singkat nya dulu tuh ayah dan ibu bercerai karena nenek dan kakek nggak setuju kalau ibu menjalin kisah asmara sama ayah karena ayah belum sukses?” Atsila menambahkan pembicaraan itu lebih dalam lagi.
“ya namanya orangtua pasti mau yang terbaik untuk anaknya, jadi dulu nenek kakek dari ibu kalian itu nggak suka sama ayah karena baru-baru memulai karir nya,, belum punya apa-apa, karena tidak direstui yaa kita nekat waktu itu.” Ayah memvalidasi jawabannya kepada ibu untuk memberikan komentarnya.
“Sebenarnya ibu juga ada salahnya, karena tidak sedari awal meyakinkan orangtua, apalagi ibu yang saat itu seperti nggak punya pilihan lain untuk mengikuti kemauan orangtua.” Ibu menanggapi ucapan ayah kembali.
“Tapi, ayah dan ibu jadi belajar, besok kalau kalian dekat dengan laki-laki, ayah dan ibu akan dengan senang hati menerima apapun latar belakang laki-laki itu, asalkan dia punya agama yang kuat, bertanggung jawab, sopan, lagi santun. Sehingga kisah ayah ibu ini nggak perlu terulang di hidup kalian ya.” Ayah menambahkan.
“Itulah perlunya memperdalam ilmu pernikahan sejak dini nak, agar selalu dilandasi dengan ilmu dan paham akan peran satu sama lain baik sebelum maupun sesudah menikah” Ibu kembali berpendapat di forum tersebut.
“Terus, kenapa ibu memutus komunikasi dengan ayah dan merahasiakan sosok nya dari aku? padahal ya bu, ayah tu selama ini mencari ibu juga lho, ayah ingin melakukan tugas nya sebagai ayah untuk ku, ayah juga ingin memberikan nafkah pada kita.” Atsiri berkomentar meminta klarifikasi atas apa yang baru Ia tahu akhir-akhir ini.
“Ibu nggak punya pilihan nakk, saat itu nenek masih mengintervensi keputusan ibu. Jadi hanya bisa mengiyakan, termasuk keputusan untuk menutup komunikasi dengan ayah dan Atsila. Ibu juga nggak mau membuat kamu kepikiran kalau kamu punya kembaran.”
“Tapi seharusnya hidup kita bisa terbantu bu dengan kita menerima bantuan dari ayah, Atsiri nggak perlu capek-capek kerja, Atsiri juga bisa kuliah lagi tanpa harus pusing memikirkan biaya nya.” Atsila menyanggah pernyataan ibu tersebut, ia merasa kasihan dengan Atsiri yang harus berjuang demi menghidupi keluarga nya.
“Jadi Atsiri harus bekerja?? dan sekarang kamu nggak kuliah?” Ayah menanggapi diskusi siang itu dengan kaget.
“Iya yah, sejak SMP aku sekolah sambil bekerja untuk membantu ibu, tapi itu semua aku lakukan karena ikhlas kemauanku kok, ibu nggak pernah memaksa Siri untuk bekerja.”
“Tapi kan tetap saja nak, kamu harus fokus terhadap pendidikan mu. Bersekolah sambil bekerja itu akan membuat kamu lebih lelah dan akhirnya tidak maksimal dalam belajar. Kemudian soal kuliah, kamu harus berkuliah ya, coba daftar di kampus manapun yang kamu mau. Soal biaya itu urusan ayah. Ayah juga ingin melunasi hutang-hutang ayah untuk terus menafkahi kamu” Ayah memberikan ultimatum kepada Atsiri.
“Maafkan aku ya mas karena aku kurang maksimal dalam merawat anak kita.” Kali ini giliran ibu yang bicara, ibu meminta maaf pada ayah karena belum bisa memberikan yang terbaik.
“Yaudah yang lalu biarlah berlalu, yang penting kan kita udah saling tahu nih keberadaan masing-masing. Urusan nenek nanti biar ibu yang memberi pengertian itu pelan-pelan. Untuk biaya kuliah Atsiri ayah akan jamin biaya nya sampai kamu lulus.” Ayah menanggapi dengan bijak.
“Jadi ayah dan ibu bersatu kembali?” Atsila memunculkan pertanyaan yang sedari tadi ia tahan untuk ditanyakan.
“Nggak Silaaa, walaupun tidak bersatu, ayah dan ibu akan mensupport kalian menjadi apa saja yang kalian inginkan. Memberikan dukungan terhadap apapun cita-cita kalian. Ayah dan ibu tidak akan memaksakan anak-anak kita menjadi apa yang kita inginkan. Yang penting kalian bisa bertanggung jawab atas setiap keputusan yang kalian ambil.”
Ayah menutup pembicaraan sore itu dengan keputusan terbaiknya, ayah dan ibu memang menjadi masa lalu, tapi mereka siap menjadi masa depan yang baik untuk Atsiri dan Atsila. Perpisahan bukan halangan bagi mereka. dan akan terus berusaha membanggakan kedua orangtua mereka meski tak bersama kembali. Harum tak perlu bertukar dengan Atsiri untuk saling menikmati kehidupan yang layak. Karena mereka adalah hal yang sama-sama pantas untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
[TAMAT]
4 notes
·
View notes
Text
CNY
Selamat hari Senin semua! Rupanya di Indo sedang tanggal merah ya merayakan CNY huhu sangat senang. Selamat liburan aja deh semua orang Indo. Ku pagi ini sampai ofis jam 12 kurang 5 menit, ke Steve nanya kapan bisa lanjutin ngebersihin carius tubes terus dia lupa dong, untung w ingetin, jadi kata dia ketemu lagi di lab jam 14.15. Sekarang lagi contemplating mau makan siang apa sih karena ku laper, tapi sedih banget lupa bawa obat tadi pas berangkat. Jadi sepertinya setelah selesai mencuci dan nunggu kering akan langsung pulang supaya bisa langsung minum obat.
Kemarin weekend ngapain aja? Hm sabtu bangun pagi kelas pagi bahas hukum kepler dan pengaruh hukum newton di solar system (intinya kalau gaada gravitasi/matahari sebagai pusat gravitasi di solar system kita apa yang akan terjadi), terus dari Jumatnya udah diajakin Selly sih emang ke rumah dia abis makan siang. Jadi berangkat lah ke rumah Selly jam 14pm. Sampe rumah Selly buset rame bener ada 6 couples beserta anak-anaknya dan lalu saya (yang single sendirian), ada mas daus juga sih tapi dia mah itungannya ldr kan istrinya di indo (plus sangat senang for him karena bakal balik indo tanggal 29 besok). Untung habis itu diny nyusul sih tapi kan diny nggak single ya, dia punya pacar ☹ Anyway, nggak insecure sama sekali apa gimana sih, cuma kaya ngerasa ‘kok gw outcast ya, kok gw di umur segini nggak kaya orang-orang ini ya?’,: pemikiran ini sejalan dengan my recent tweet dari bacaan Conversations on Love. Tapi yang ku sangat suka adalah orang-orang ini nggak yang nanya-nanya atau ngedesek-desek buat cepet nikah apa gimana sih. Cuma kaya tiba-tiba aku sendiri yang ngerasa beda dan think “wait is there something wrong with me?” then again, itu kalau kata konselorku ya sangat bergantung dengan di mana kalian menaruh standar kalian aja sih.
Anyway, di situ main werewolf, ngomongin politik kampus (kebetulan didominasi oleh dosen dan dokter populasi mahasiswa s3 oxford, jadi kami bisa nyambung). Senang sih, ya karena ku suka aja ngumpul-ngumpul anaknya, dibandingkan di rumah sendirian palingan w ngapain, straykids-an…
Terus hari Minggu pagi ngga ada kelas. Ku juga lupa ngapain aja, sampe akhirnya memutuskan buat nonton Noktah Merah Perkawinan illegally via telegram karena ga masuk netflix uk?? Wtf netflix. Terus ku nonton sambil live-tweeting karena memungkinkan filemnya untuk ditonton sambil live-tweeting (nggak terlalu banyak actionnya dan nggak fast-paced juga). Sesungguhnya banyak banget hal yang kusuka dari filem ini: scene konselingnya, rumah-rumahnya! Semuanya rumahnya bagus, acting orang-orangnya, dan scene di KRL dong omg sangat nostalgic (gak nostalgic sih non, you will have to go trough it everyday juga nanti sebaliknya indo).
Cuma ya yang paling disayangkan di bagian akhirnya aja sih. Duh mau spoiler di sini nggak ya. Intinya ku cukup kecewa sama bagian akhirnya. Emang pasti namanya juga filem ya, pasti dipersingkat kan momen-momen pengambilan keputusan penting. Didramatisir jadi scene yang indah dan kalau nggak tahu konteks seolah-olah keputusan itu diambil hanya di 5 menit terakhir, padahal kalau dari orang yang tahu konteks ya ternyata it took months untuk ngurus sidang cerai in real life jadi nggak semudah itu.
Terus ku mikir keras apa yang bisa kuambil pelajaran dari filem ini: ada banyak sih, tapi mostly apparently ya sangat berhubungan dengan kehidupan pernikahan dan rumah tangga pasca menikah jadi kemarin tuh ku nonton ibarat nonton ‘cara memperbaiki mesin mobil’ tapi ku mobil aja gapunya. Which is fine. Tetap menambah wawasan dan good to know. Cuma ya ga applicable aja di kehidupanku sekarang. Then again nggak semua hal yang kita tonton/baca harus ada take home lessonnya, selama menghibur/in some way help healing ya gapapa juga.
Udah terus tiba-tiba Selly ngewhatsapp lagi akan keluar rumah apa nggak. Dia ngajakin ke westgate yaudah jadinya keluar rumahlah saya dan akhirnya had dinner di Thaikhun (setelah tadinya mau ke Ramen Kultur tapi ngantri banget di luar dingin, dan ke Angrid tapi dia belum buka sejak tutup christmas and new year break). Terus pulang.
Udah deh. Terus Senin sekarang. OH iya! Mita kemarin telpon dia tahun ini akan menikah yeyyy. Jadi mau nggak mau ku akan balik Indo juga. HUFFF. Padahal sudah beritikad untuk tidak akan pulang menjalani 19jam++ flight lagi sampai lulus tapi apa boleh buat circumstancesnya membuat ku harus melakukan itu jadi ya sudah. Tidak boleh mengeluh karena compared to orang-orang yang bolak-balik UK-US routinely kaya sebulan sekali (dan ada banyak yang kaya gini), yang u laluin tu gaada apa-apanya Non. Dah setres emang.
Apa lagi ya.. Udah sih. Minggu lalu mostly ya ngebersihin tubes itu. Jumat ada department-wide introduction meeting which is cool, terus lanjut ke Jardine welcome-back tea juga. Ke GP, ke invigilator training juga… wah I did get a lot of things done last week apparently. Hebat.
Minggu ini ngga ada kerjaan penting sih beneran cuma akan nonton evita aja di oxford playhouse sama Selly dan Dini… terus kayanya mau coba booking badminton court. Sejak Archu lulus jadi gapernah main badminton lagi buset. Dan tidak ada slot available… Yasudah.
Okede sekian gitu aja, mau cari lunch dulu. Bye. Have a good week everyone!
30.18 13:03pm 23/01/2023
2 notes
·
View notes