#Penghapusan Data Elektronik
Explore tagged Tumblr posts
realitajayasaktigroup · 4 days ago
Text
Diduga Hapus Data Warga Miskin, Kades Sidomulyo Jadi Sorotan Warga dan LBH Teratai
Diduga Hapus Data Warga Miskin, Kades Sidomulyo Jadi Sorotan Warga dan LBH Teratai HARIANSOLORAYA.COM, Demak || Kepala Desa Sidomulyo, Mahfudin, kembali menjadi sorotan tajam masyarakat dan Lembaga Studi dan Bantuan Hukum (LBH) Teratai. Mahfudin diduga menghapus data elektronik warga miskin secara sepihak, yang berdampak pada hilangnya hak 135 warga untuk menerima bantuan sosial dari…
0 notes
baliportalnews · 1 year ago
Text
Serentak Sasar Empat Kecamatan, Sebanyak 328 Orang Manfaatkan Jemput Bola Pelayanan Pembuatan KTP El Disdukcapil Denpasar
Tumblr media
BALIPORTALNEWS.COM, DENPASAR - Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Kota Denpasar terus menggenjot kepemilikan Identitas Kependudukan KTP Elektronik. Hal ini dilaksanakan dengan melaksanakan Jemput Bola Pelayanan serentak pembuatan KTP El bagi masyarakat Kota Denpasar yang tersebar di empat Kecamatan se-Kota Denpasar pada Minggu (14/1/2024). Adapun pelaksanaannya dipusatkan di beberapa titik, yakni Kelurahan Peguyangan, Kecamatan Denpasar Utara, Desa Dauh Puri Kangin, Kecamatan Denpasar Barat, Kantor Camat Denpasar Selatan, Kecamatan Denapsar Selatan dan Kelurahan Sumerta, Kecamatan Denpasar Timur. Dimana, dari pelaksanaan kegiatan tersebut, sebanyak 328 masyarakat memanfaatkan pelayanan yang tersebar di empat kecamatan. Dari jumlah tersebut terbagi atas beberapa pelayanan, yakni Rekam KTP El usia 16 Tahun sebanyak 101 orang, Rekam KTP El usia 17 Tahun sebanyak 54 orang, Cetak KTP El sebanyak 48 orang, Cetak Revisi sebanyak 46 orang, PRR sebanyak 3 orang dan Aktivasi Identitas Kependudukan Digital (IKD) sebanyak 76 orang. Kadisdukcapil Kota Denpasar, Dewa Gde Juli Artabrata disela kegiatan menjelaskan, Disdukcapil Kota Denpasar terus mendorong kepemilikan identitas kependudukan bagi masyarakat yang sudah memenuhi syarat. Hal ini guna mendukung terciptanya data kependudukan yang valid di Kota Denpasar. Terlebih saat ini menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2024. Lebih lanjut dijelaskan, selain untuk mendukung validasi data dan melindungi hak pilih masyarakat, percepatan kepemilikan identitas KTP El ini juga mengacu pada target yang telah ditetapkan oleh Kementrian Dalam Negeri. Sehingga masyarakat yang hendak mengurus KTP El dapat memanfaatkan pelayanan di beberapa titik. Mulai dari pelayanan di masing-masing kecamatan, Jemput Bola di setiap Desa/Kelurahan, dan Jemput Bola di masing-masing sekolah. "Jadi lokasi pelayanan juga sudah banyak, tentu sebagai identitas diri, KTP El memiliki manfaat yang memdasar, termasuk salah satunya melindungi hak pilih saat Pemilu dan Pilkada untuk meningkatkan partisipasi pemilih, selain juga untuk memastikan semua masyarakat telah memiliki KTP El sesuai target nasional," ujarnya. Dewa Juli memaparkan, hingga tanggal 2 Januari 2024, tercatat sebanyak 4.136 masyarakat Kota Denpasar yang sudah berhak memiliki KTP El namun belum melaksanakan perekaman. Sehingga pihaknya mendorong kepada perbekel/lurah, kaling dan kadus untuk berperan aktif dalam mengawasi masyarakatnya untuk melaksanakan perekaman. Selain itu, Dewa Juli berharap agar masyarakat yang keberadaanya tidak diketahui, termasuk juga yang telah meninggal dunia agar melapor ke Disdukcapil. Sehingga dapat segera dilaksanakan proses penghapusan NIK sebagai bentuk validasi data kependudukan. Hal ini mengingat masih banyak masyarakat yang tidak melaporkan jika ada sanak saudaranya yang telah meninggal dunia. "Tentu yang pertama kami mengajak semua masyarakat Kota Denpasar yang sudah berusia 16 dan 17 Tahun ini melaksanakan perekaman KTP El dengan hanya membawa Kartu Keluarga, selain kegiatan rutin, Jemput Bola juga akan terus kami laksanakan," ujarnya. "Dan dengan partisipasi aktif masyarakat ini semoga target nasional perekaman dapat dipenuhi, dan seluruh masyarakat Kota Denpasar memiliki identitas kependudukan yang lengkap," imbuh Dewa Juli.(bpn) Read the full article
0 notes
infopembuatanbrand · 3 years ago
Text
Legalkan Lembaga Kursus, Begini Caranya!
Tumblr media
Berikut beberapa update terbaru mengenai syarat dan tata cara pendirian Lembaga Kursus dan Pelatihan (LKP):
1. Penyelenggara pendidikan nonformal
Dengan mengacu pada Pasal 5 ayat (3) dan (6) Permendikbud 25/2018, pihak yang dapat mengajukan izin sebagai penyelenggara pendidikan nonformal adalah pelaku ekonomi perorangan dan pelaku korporasi non perseorangan. Pelaku ekonomi non perseorangan antara lain:
Perseroan Terbatas (PT)
entitas komersial yang didirikan oleh Yayasan
badan usaha nirlaba yang didirikan oleh badan hukum lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
2. Nomor Pendaftaran Usaha (NIB)
NIB mulai dikenal sejak kemunculan platform OSS. NIB merupakan identitas pelaku korporasi yang diterbitkan oleh lembaga OSS setelah terdaftar di sistem OSS. Pendaftaran dapat dilakukan dengan mengakses halaman OSS, dimana nantinya Anda akan diminta untuk memasukkan data. Selanjutnya, Pasal 6 (1) Permendikbud 25/2018 juga mewajibkan pelaku ekonomi untuk mendaftarkan kegiatan komersial dalam sistem OSS.
Setelah memperoleh NIB berupa angka acak 13 (tiga belas) digit yang dilindungi dan disertai tanda tangan elektronik, NIB tersebut dapat bertindak sebagai:
Tanda Daftar Perusahaan (TDP)
Angka Pengenal Importir (API)
Hak akses bea cukai
Dengan kata lain, jika PT untuk lembaga kursus yang didirikan sudah memiliki NIB, Anda tidak perlu khawatir untuk melakukan TDP karena fungsinya telah digantikan oleh NIB.
3. Penggunaan KBLI 2017 dalam Uraian Tujuan
Dalam penjelasan Pasal 22 ayat (2) huruf b PP tentang OSS disebutkan bahwa "bidang usaha" adalah bidang usaha yang diatur dalam Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI). Saat ini sistem OSS menggunakan KBLI 2017 yang mengacu pada Peraturan Kepala BPS 19/2017. Jadi, jika Anda mendirikan PT untuk lembaga kursus setelah OSS, Anda perlu memastikan bahwa bidang usaha yang tercantum dalam maksud dan tujuan dalam piagam PT telah menggunakan KBLI 2017.
Perlu diketahui bahwa penggunaan KBLI 2017 harus sudah dilakukan pada saat penandatanganan akta pendirian PT. Jika tidak, proses di OSS akan terhambat dan kemungkinan besar Anda perlu melakukan perubahan pada tindakan sebelum Anda dapat melanjutkan proses di OSS.
4. Penghapusan SKDP dan SKDU di wilayah Jakarta
Untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) DKI Jakarta telah memutuskan untuk menghapus Surat Keterangan Domisili (SKDP) dan Surat Keterangan Domisili Usaha (SKDU) sebagai bagian dari proses perizinan. . Kebijakan ini tertuang dalam Keputusan DPMPTSP 25/2019. Penghapusan ini merupakan salah satu cara untuk memutus mata rantai perizinan usaha, sehingga memudahkan pelaku ekonomi untuk memulai usahanya sendiri.
Walaupun tidak lagi membutuhkan SKDP dan SKDU, namun saat membuat PT untuk lembaga pelatihan di wilayah Jakarta tetap perlu mencantumkan alamat PT secara lengkap dan jelas, hal ini diperlukan untuk melihat apakah alamat tersebut sudah sesuai dengan kota. ketentuan perencanaan yang tertuang dalam Perda DKI 1/2014.
Artikel Terkait:
Hibra Consulting
Pengurusan Perizinan
Lembaga Kursus
0 notes
gatotwardhanasworld · 4 years ago
Text
Capaian Kementerian/ Lembaga, Pemerintah Daerah dalam Pelaksanaan Aksi Pencegahan Korupsi Tahun 2020
Oleh Gatot Wardhana
Salah satu Program Pemerintah yaitu StranasPK (Strategis Nasional Pencegahan Korupsi). Program yang dijalankan sebagai arahan kebijakan nasional yang memuat fokus dan sasaran pencegahan Korupsi. digunakan sebagai acuan K/L, Pemda dan Pemangku Kepentingan. dalam melaksanakan aksi pencegahan korupsi di Indonesia.
StranasPK didirikan dengan berlandaskan Peraturan Presiden No 54 tahun 2018 mengenai strategis Nasional Pencegahan Korupsi. diperkuat dengan Surat Keputusan bersama oleh 5 Kementerian Lembaga
Kementerian Dalam Negeri, Kantor Staf Presiden, Bappenas, Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Komisi Pemberantasan Korupsi.
Stranas Berkaloborasi dengan 87 Kementerian Lembaga, 542 Pemda, dalam menjalankan aksi pencegahan, berfokus pada 3 point yaitu perizinan dan tata niaga, keuangan Negara, serta reformasi Birokrasi
Implementasi dan keberhasilan aksi juga sangat bergantung pada komitmen Kementerian Lembaga(K/L) sebagai penanggung jawab aksi. Ccapaian K/L/D sampai Triwulan VII Tahun 2020 Bulan ke 21, di Tingkat Pusat, Progres capaian dari 87 K/L yang menjadi Penanggungjawab Aksi, terdapat 23 K/L yang masuk Kategori Baik; 23 K/L masuk kategori Kurang; Sementara 41 K/L lainnya masuk Kategori Cukup
Ditingkat Pemerintah Provinsi, Progres capaian dari 34 Pemerintah Provinsi, 3 Pemprov masuk kategori Baik, 13 Pemprov masuk Kategori Kurang, 18 Pemprov masuk kategori Cukup
Ditingkat Pemerintah Kabupaten/ Kota, Progres Capaian dari 508 Pemerintah Kabupaten/ Kota, 12 Kab/Kota masuk kategori Baik, 312 Kab/ Kota masuk kategori Kurang, 184 Kab/ Kota masuk kategori Cukup.
Penilaian ini dilihat dari 27 Sub aksi yang diantara nya sebagai berikut Penghapusan Surat Keterangan Domisili Usaha dan Izin Hinder Ordonantie/ Gangguan (SKDU-HO) , Implementasi Percepatan Pelaksanaan OSS, Implementasi Kebijakan Satu Peta, Penetapan Kawasan Hutan, Penguatan dan Pemanfaatan Basis Data Beneficial Ownership (BO), Utilitas NIK untuk Bantuan Sosial, Integrasi dan Sinkronisasi Data Impor Pangan Strategis, Penerapan Manajemen Anti Suap, Integrasi Perencanaan dan Penganggaran Berbasis Elektronik, Pembentukan UKPBJ, Implementasi E-Katalog, Konsolidasi Pengadaan
Sentralisasi Pengadaan, Penyempurnaan Sistem Informasi Kinerja Penyedia (SIKaP), Reformasi Pajak dan Penerimaan Bukan Pajak, Optimalisasi dan Perluasan Konfirmasi Status Wajib Pajak (KSWP), Implementasi Rekomendasi Base Erotion Profit Sharing (BEPS), Implementasi National Data Repository (NDR), Percepatan Pelaksanaan Sistem Merit, Pembangunan Zona Integritas (ZI)/ UPG, Penguatan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), Penataan Kelembagaan (Right Sizing), Percepatan Pembangunan Sistem Pemerintah Berbasis Elektronik (SPBE), Implementasi Strategis Pengawasan Keuangan Desa, Sistem Peradilan Pidana Terpadu Berbasis Ternologi Informasi (SPPT-TI), Implementasi Surat Perintah dimulainya penyelidikan Online (SPDP Online), Penyusunan Pedoman Penuntutan.
untuk melihat kabupaten/ kota yang memiliki kategori kurang dapat dilihat di Website stranaspk.kpk.go.id
Achievements of Ministries / Agencies, Local Government in Implementing Corruption Prevention Actions in 2020
By Gatot Wardhana
One of the Government Programs is the National Strategy for Corruption Prevention (National Strategy for Corruption Prevention). A program that is run as a national policy direction that contains the focus and target of preventing corruption. used as a reference for Ministries / Agencies, Local Government and Stakeholders. in carrying out actions to prevent corruption in Indonesia.
StranasPK was established based on Presidential Regulation No. 54 of 2018 concerning the National Strategy for Prevention of Corruption. strengthened by a joint decree by 5 Ministry of Institutions
Ministry of Home Affairs, Presidential Staff Office, Bappenas, Ministry of State Apparatus Empowerment and Bureaucratic Reform, Corruption Eradication Commission.
The National Strategy for Collaboration with 87 Ministries of Institutions, 542 Local Governments, in carrying out preventive actions, focuses on 3 points, namely licensing and trade administration, state finances, and bureaucratic reform
The implementation and success of the action also greatly depends on the commitment of the Ministry of Institution (K / L) as the person in charge of the action. Achievements of K / L / D until the VII Quarter of 2020 the 21st month, at the Central Level, the progress of the achievements of the 87 K / L who became Responsible for Action, 23 K / L were included in the Good Category; 23 K / L is in the Poor category; Meanwhile, the other 41 K / L are in the Enough Category
At the Provincial Government Level, the progress of the achievements of 34 Provincial Governments, 3 Pemprov is in the Good category, 13 Pemprov is in the Poor category, 18 Pemprov is in the Enough category
At the Regency / City Government level, the Progress of Outcomes of 508 District / City Governments, 12 Regencies / Cities in the Good category, 312 Districts / Cities in the Poor category, 184 Districts / Cities in the Enough category.
This assessment is seen from 27 Sub-actions, among which are the following: Abolition of Business Domicile Certificate and Hinder Ordinance / Disturbance Permit (SKDU-HO), Implementation of Accelerated Implementation of OSS, Implementation of One Map Policy, Determination of Forest Areas, Strengthening and Utilization of Beneficial Ownership Database (BO), NIK Utilities for Social Assistance, Integration and Synchronization of Strategic Food Import Data, Implementation of Anti-Bribery Management, Integration of Electronic-Based Planning and Budgeting, Establishment of UKPBJ, Implementation of E-Catalog, Consolidation of Procurement
Procurement Centralization, Improvement of Provider Performance Information Systems (SIKaP), Tax Reform and Non-Tax Revenue, Optimization and Expansion of Taxpayer Status Confirmation (KSWP), Implementation of Base Erotion Profit Sharing (BEPS) Recommendations, Implementation of National Data Repository (NDR), Acceleration of Implementation Merit System, Development of Integrity Zones (ZI) / UPG, Strengthening of the Government Internal Supervisory Apparatus (APIP), Institutional Arrangement (Right Sizing), Accelerating Development of Electronic-Based Government Systems (SPBE), Strategic Implementation of Village Financial Supervision, Integrated Criminal Justice System Based on Technology Information (SPPT-TI), Implementation of an Order for the start of an Online investigation (SPDP Online), Preparation of Prosecution Guidelines.
To see districts / cities that have less categories, please visit the stranaspk.kpk.go.id Website
1 note · View note
wartakanlah · 6 years ago
Text
Bincang Digital: Facebook dan Bangunan Etika
Oleh: Retha K. 
OMONG DENG, dawainusa.com – Facebook adalah salah satu pemain raksasa internet. Mark Zuckerberg, pendiri Facebook, menulis dalam status akun resminya pada 31 Oktober 2018 bahwa pengguna yang mengakses Facebook setiap bulannya mencapai 2,3 miliar dan setiap harinya sebesar 1,5 miliar pengguna.
Bandingkan dengan populasi dunia. Badan Pusat Statistik (BPS) Amerika Serikat memprediksi jumlah penduduk dunia akan mencapai 7,5 miliar pada 19 September 2018 kemarin.
Artinya, bila dihitung secara kasar sekitar 20 persen penduduk dunia mengakses Facebook setiap harinya. Ini berarti lalu lintas komunikasi yang membawa miliaran pesan terjadi dalam rel kereta Facebook setiap detik setiap hari di seluruh belahan dunia.
Bagaimana dengan Indonesia? Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mencatat penetrasi internet di Indonesia pada 2017 sebesar 54,68 persen atau 143,26 juta jiwa dari 262 juta populasi penduduk. Berdasarkan data statista.com, pengguna Facebook di Indonesia yang mengakses aplikasi yang berdiri pada 2004 tersebut pada Oktober 2018 tercatat mencapai 131 juta orang.
Facebook tidak lagi perihal siapa mengenal siapa.
Hampir seluruh masyarakat Indonesia yang memiliki internet mengakses Facebook dalam kesehariannya. Indonesia pun menduduki peringkat tiga teratas pengguna Facebook terbesar setelah India dan Amerika. Mark mengakui, aplikasi buatannya tersebut terus tumbuh dengan cepat di negara-negara berkembang dan cenderung stabil bahkan hampir jenuh di negara-negara maju.[1]
Lalu, apa implikasi sosial yang terbentuk dengan mudahnya akses Facebook dari layar ponsel 5.5 inci? Jawabannya adalah tak terbatas. Berbagai tindakan terbentuk, mulai dari tindakan ekonomi, politis, hingga penipuan.
Pengguna yang memiliki motif ekonomi memanfaatkan Facebook untuk menyebarluaskan produk yang ia jual. Pengguna juga bisa menciptakan isu atau aksi dan menggalang dukungan suara dari Facebook. Di sisi lain, melalui “What’s on your mind” atau dalam bahasa “Apa yang sedang Anda pikirkan?” yang menjadi fitur terkenal Facebook dapat digunakan untuk menulis konten negatif seperti berita bohong (hoaks).
Data Pengguna Internet Indonesia Januari 2018 – Credit: We Are Social & Hootsuite
Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) mencatat saluran penyebaran hoaks terbesar terjadi di Facebook. Pada periode Juli-September 2018 jumlah hoaks  yang tersebar melalui Facebook mencapai 47,8 persen dari total 230 hoaks.
Hoaks sebagian besar tersusun dari gabungan narasi dan foto (50,43 persen) yang didominasi oleh konten politik (58,7 persen). Jumlah penyebaran hoaks sendiri secara keseluruhan melalui internet dari Januari hingga September 2018 adalah 861 hoaks.
Baca juga: Antara Media Online yang Tidak Laku, Bujang Lapuk dan Perawan Tua
Terang, Facebook tidak lagi perihal siapa mengenal siapa. Ia bergerak mempengaruhi dari satu pengguna ke pengguna lainnya. Tujuannya adalah untuk menularkan suatu informasi ke pengguna-pengguna lainnya agar bisa diikuti dan disebarluaskan kembali, atau paling tidak mempercayai informasi tersebut.
Dengan karakteristik media sosial dan penetrasi internet yang tinggi, berbagai konten baik positif ataupun negatif dengan mudahnya berkembang secara cepat. Perilaku suatu individu atau kelompok pun dalam kehidupan nyata, entah itu disadari atau tidak disadari, mendapatkan pengaruh dari pertemanannya di jejaring sosial.
Dalam kompleksitas ini, muncul substansi baru yang saat ini semakin ramai diperbincangkan, yaitu kebutuhan akan etika dunia digital. Dampak sosial Facebook memunculkan implikasi etis yang tidak bisa ditolak. Apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam interaksi dunia maya.
Pada satu sisi, Facebook menjadi salah satu cara manusia hidup dalam kelompok yang memiliki persamaan dan keterikatan dengan dirinya. Di sisi lain, kebenaran informasi dan konten-konten positif adalah kebutuhan manusia yang perlu disediakan dalam platform yang ada sejak 2004 ini.
Bagaimana kemungkinan ini dimungkinkan? Jawabannya adalah penerapan etika.
Bangun Kesadaran Etika Digital
Sebelum masuk dalam pembahasan etika digital, konteks etika perlu dimengerti dengan baik. Menurut J. Sudarminta, etika adalah  nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan hidup atau sebagai pedoman penilaian baik buruknya perilaku manusia, baik secara individual ataupun sosial dalam suatu masyarakat.[2]
Sudarminta menjelaskan, salah satu relevansi etika adalah menyediakan alat intelektual untuk menanggapi masalah-masalah moral baru yang muncul sebagai dampak modernisasi dan perkembangan pesat ilmu pengetahuan serta teknologi.
Misalnya, ketika dikaitkan dengan Facebook, etis atau tidak jika memberikan komentar ujaran kebencian dalam laman pemimpin tertinggi negara yaitu Presiden Repulik Indonesia.
Etika muncul bukan semata-mata karena suatu hidup bersama dalam lingkup komunitas atau masyarakat. Etika harus dimengerti sebagai pegangan yang sudah harus dimiliki oleh setiap individu manusia sebelum ia bergabung dengan individu-individu lainnya.
Bagaimana dirinya sebagai manusia seharusnya hidup, yang sesuai dengan kodrat dan martabatnya. Dalam konteks dunia digital, meskipun seorang pengguna tidak berteman dengan siapapun dalam Facebook, ia tetap harus memiliki etika. Etika ini yang sedari awal harus ia pahami, bahkan sebelum masuk dalam pembuatan akun.
Konsep mengenai etika tidak bisa disamakan dengan naluri manusia yang dengan sendirinya dari dalam hati ingin membantu ketika melihat orang lain terjatuh. Untuk mengetahui etika harus dipicu dengan kesadaran. Pengguna harus sadar bahwa dirinya sebagai manusia perlu beretika dalam memanfaatkan Facebook.
Argumen yang dibangun adalah apa yang seseorang lakukan dalam dunia maya memiliki dampak yang berkali-kali lipat dibanding dunia kasatmata. Internet menghapus jarak dan waktu sehingga memungkinkan adanya penyebaran perspektif yang mendatangkan perubahan, baik positif ataupun negatif.
Maka dari itu, masyarakat digital perlu ditempatkan dalam posisi masyarakat nyata pada umumnya yang membutuhkan pertanggungjawaban atas tingkah laku seorang individu.
Dalam konteks dunia digital, meskipun seorang pengguna tidak berteman dengan siapapun dalam Facebook, ia tetap harus memiliki etika.
Kesadaran pun tidak bisa hadir tanpa pengetahuan. Manusia membutuhkan inteligensi digital. Literasi-literasi digital yang pedagogis harus dimiliki sejak dini. Misalnya, pengetahuan akan segala aktivitas yang dilakukan dalam dunia digital akan tetap tersimpan meskipun telah kita hapus.
Fakta ini memunculkan wacana the right to be forgotten (hak untuk dilupakan) yang menjadi perhatian pemerintah dunia. Indonesia sendiri mengaturnya dalam Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Dalam pasal 26 ayat 3 disebutkan bahwa setiap penyelenggara sistem elektronik wajib menghapus informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan.
Artinya, penghapusan jejak masa lalu digital hanya bisa dilakukan atas permintaan orang bersangkutan melalui penetapan pengadilan. Pengetahuan ini akan memunculkan implikasi logis yaitu manusia dalam praktiknya akan memiliki etika sehingga dapat berhati-hati dalam menulis, mengunggah, mengkomentari, dan membagikan informasi dalam media Facebook.
Konsep tentang Digital Intelligence – Credit: dqinstitute.org
Pertanyaan problematis selanjutnya adalah bagaimana jika manusia yang telah memiliki inteligensi digital namun tetap saja tidak memiliki kesadaran beretika sebagai wujud nyata? Dalam tataran ini muncul pemaksaan kesadaran.
Negara sebagai lembaga yang berwenang mengatur warga negaranya mengambil peran pembentukan kesadaran. Langkah-langkah yang mengikat para pengguna media sosial yang tidak berkesadaran masuk dalam ranah hukum.
Pemerintah Indonesia sebagai contoh, mempunyai UU ITE yang mengatur masyarakat dalam menggunakan media sosial. Implementasi ini dapat terlihat dari penangkapan para pelaku penyebar berita bohong dan ujaran kebencian yang dilakukan Bareskrim Polri.
Baca juga: ‘Dapur, Sumur dan Kasur’ dalam Bingkai Hak Asasi Manusia
Pada wilayah penerapan etika digital yang bersinggungan dengan kebenaran informasi yang merupakan hak publik, negara menjadi institusi yang bertanggung jawab membangun dan menerapkan kesadaran.
Jelas terlihat bahwa penerapan kesadaran etika digital tidak bisa dilihat dalam kacamata yang sederhana. Seperti yang digambarkan Aristoteles dalam Nicomachean Ethics di mana ia mendiskusikan antara pertumbuhan moral dan perkembangan individu.[3]
Menurutnya, manusia secara biologis akan terus bertumbuh menjadi manusia yang lengkap. Namun, sama seperti manusia yang membutuhkan kerja untuk mendapatkan fisik terbaik, untuk menjadi manusia yang sepenuhnya berkembang, secara etis, juga tidak akan terjadi tanpa kerja keras.
Karenanya, menciptakan kesadaran etika digital merupakan bentuk kerja manusia itu sendiri yang membuka diri akan kesadaran dan negara yang memaksa kesadaran itu terjadi jika manusia tidak mampu melakukannya.
Facebook Sadar Etika?
Facebook adalah aplikasi buatan manusia. Sebagai platform bagi miliaran manusia untuk berkomunikasi, Facebook memiliki andil untuk menciptakan pengguna yang beretika. Sejauh mana Facebook membangun ekosistem tersebut?
Untuk memberikan pendasaran, saya menganalogikan Facebook sebagai sebuah jalan raya tempat pengguna berlalu lintas secara digital. Di dalam jalan raya terdapat rambu-rambu lalu lintas yang mengatur manusia bertindak. Facebook menyediakan baik jalan dan rambu-rambu agar pengguna memahami apa yang boleh dan tidak boleh ia lakukan.
Dalam halaman layanan standar komunitas, Facebook menjelaskan mengenai apa yang dapat pengguna lakukan dan bagikan dengan cukup komprehensif. Elemen-elemen negatif seperti kejahatan tidak boleh diproduksi dalam Facebook. Lalu, persoalan integritas dan keaslian juga menjadi perhatian.
Pertanyaan bukan lagi mengenai apakah Facebook perlu bertanggung jawab terhadap penyebaran konten SARA. Namun, lebih tajam lagi yaitu di mana tanggung jawab Facebook ketika ujaran SARA disebarluaskan.
Dalam elemen ini, Facebook mengakui bahwa mengurangi penyebaran berita bohong adalah sebuah tanggung jawab yang mereka upayakan. Menurutnya, terdapat perbedaan yang tipis antara berita bohong dan sindiran atau opini. Atas dasar itu, Facebook tidak menghapus berita bohong dan memilih untuk mengurangi distribusinya dalam laman berita (News Feed).
Sebagai media penyebaran, Facebook telah masuk dalam lingkup permasalahan etika. Namun, yang dibangun Facebok tidak cukup memadai dalam menjawab persoalan-persoalan problematis yang terjadi di masyarakat. Misalnya, masih kita ingat konflik antara Muslim Rohingya dan penduduk Myanmar.
Dalam laporan utamanya 15 Agustus 2018, Reuters menemukan lebih dari 1.000 unggahan, komentar, dan gambar pornografi yang menyerang Rohingya dan pemeluk agama Islam lainnya di Facebook.[4] Hampir sebagian besar konten tersebut berbahasa lokal Myanmar yaitu Bahasa Birma.
Fakta yang ditemukan Reuters adalah minimnya karyawan Facebook yang mampu berbahasa Birma. Di awal 2015, hanya ada dua orang yang mampu berbicara Birma dan meneliti unggahan-unggahan yang bermasalah. Sebelum itu, kebanyakan pegawai Facebook hanya meninjau konten Birma yang berbahasa Inggris.
Hingga sekarang ini, Facebook tidak mempunyai satupun karyawan di negara dengan jumlah penduduk 50 juta tersebut. Monitoring ujaran kebencian pun dilakukan dari luar Myanmar. Mark Zuckerberg pun pada April 2018 memberikan pernyataan.
Ia mengatakan kepada para senator Amerika bahwa pihaknya telah mempekerjakan puluhan pembicara Birma untuk meninjau postingan ujaran kebencian di Myanmar.
Mark Zuckerberg dalam konferensi tahunan pengembang Facebook di San Jose, California, Mei 2018 – Credit: abc.net.au
Memakai analogi jalan, Facebook belum membangun infrastruktur jalan yang cukup jauh. Tidak hanya kurang jauh, jalan yang dibangun pun harus menyesuaikan dengan kultur setempat. Ketika Facebook membuka diri untuk bisa diakses oleh pengguna dari berbagai belahan dunia, pada saat yang sama Facebook pun harus menyiapkan prasarana dari berbagai belahan dunia pula.
Nilai Facebook sebagai bentuk tanggung jawabnya membangun ekosistem pengguna yang beretika menemui keutamaannya di sini. Pada titik ini, hadirnya kantor perwakilan Facebook di negara-negara setempat menjadi penting. Bagaimana karakteristik masyarakat dan apa saja isu potensial yang mampu memicu konten-konten negatif perlu diklasifikasi.
Di Indonesia, Facebook baru saja membuka kantor perwakilannya pada Agustus 2017. Sebagai negara dengan pengguna tiga teratas dunia, jelas Facebook harus menempatkan Indonesia dalam prioritas.
Dalam keseharian kita menggunakan Facebook, ujaran-ujaran kebencian terhadap seseorang dan bahkan seorang presiden serta berita-berita bohong menjadi fenomena sehari-hari. Ketika informasi tersebut menyebar luas, bagaimana Facebook bertindak? Apakah cukup hanya dengan mengurangi distribusi kontennya saja jika berhubungan dengan hajat hidup orang banyak?
Pertanyaan tersebut menjadi fundamental ketika masuk dalam persoalan nyata. Salah satu kasus terkenal yang pernah terjadi adalah penyebaran informasi terkait unsur SARA (Suku, Agama, Ras, Golongan) yang dilakukan oleh Buni Yani terhadap Mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Buni Yani mengunggah cuplikan video yang menayangkan Ahok saat bertugas di Kepulauan Seribu dalam status Facebook-nya. Video tersebut diunggah berikut pernyataan status yang berpotensi menimbulkan rasa kebencian.
Akibat video yang beredar luas tersebut, Ahok mendapat tekanan politis melalui demonstrasi muslim skala besar dan akhirnya dijatuhkan hukuman dua tahun penjara karena menistakan agama. Di sisi lain, Buni Yani pun akhirnya ditetapkan sebagai tersangka pelanggaran UU ITE dengan dalil penghasutan SARA.
Baca juga: Soal Keyakinan Zuckerberg dan Intervensi Pemilu dalam Facebook
Problematika etis muncul dalam lingkup yang kompleks. Pertanyaan bukan lagi mengenai apakah Facebook perlu bertanggung jawab terhadap penyebaran konten SARA. Namun, lebih tajam lagi yaitu di mana tanggung jawab Facebook ketika ujaran SARA disebarluaskan.
Ketidakmampuan Facebook untuk bisa mengatasi penyebaran informasi buruk membuat pemerintah pun masuk membangun etika kesadaran. Pemerintah Jerman ambil contoh, berencana untuk menyusun peraturan yang memuat ketentuan denda bagi Facebook dan platform media sosial lainnya atas setiap konten palsu yang terpublikasi dalam laman mereka.[5]
Pemerintah masuk membangun kesadaran dengan tekanan. Platform yang berpusat di California ini  pun berjanji akan mendirikan badan independen untuk memeriksa konten apa saja yang perlu dihapus.[6]
Bukan Persoalan Mudah
The Economist belum lama ini mengulas kegelisahannya mengenai perkembangan internet. Majalah internasional yang bermarkas di London ini mengeluarkan seri tulisan utama “Fixing The Internet” pada 30 Juni 2018. The Economist memulai laporan utamanya dengan pertanyaan yang tendensius: Apakah internet telah gagal?
Paragraf pembuka dalam tulisan “How to fix what has gone wrong with the internet” datang dari Sir Tim Berners-Lee, penemu world wide web (www) yang ketika diwawancara menyebut dengan jelas, “Aku tidak akan mengatakan internet telah gagal dengan sebuah huruf kapital F (False), tetapi internet memang telah gagal untuk menyampaikan hal yang positif, untuk masyarakat konstruktif yang sebelumnya kita harapkan.”[7]
Tim Berners-Lee menjadi satu dari sejumlah pelaku internet yang diwawancara. Dalam ulasannya, The Economist mencatat bahwa hingga beberapa tahun lalu kebanyakan pengguna, ketika ditanyakan apa yang mereka pikirkan mengenai internet, mereka akan menjawab deretan jawaban yang positif seperti tetap berhubungan dengan teman, menyediakan akses yang instan terhadap informasi yang begitu luas, hingga membantu merusak rezim otoriter.
Namun, tepat di bawah seperempat abad setelah browser web pertama dirilis, dan sekitar setengah dari populasi dunia melakukan online, terjadi perubahan. Seperti Tim Berners-Lee, kebanyakan orang mulai menjadi lebih kritis terhadap internet.
Tidak hanya para pelaku internet, akademisi ataupun masyarakat sipil yang menyangsikan keberadaan internet. Lembaga keagamaan seperti Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) juga turut gelisah sehingga mengeluarkan buku “Pedoman Menggunakan Media Sosial” sebagai bentuk literasi masyarakat.
Pekerjaan negara yang tidak akan selesai selama internet menjadi bagian dari kebutuhan dasar manusia.
Bagaimana kesadaran etika digital menjadi suara yang secara masif digerakkan dari seluruh kalangan. Apalagi, seperti yang ditulis oleh The Economist, internet saat ini menjadi lebih tersentralisasi daripada kondisi sepuluh tahun lalu.
Baik negara barat ataupun China, aktivitas jaringan dunia didominasi oleh sedikit pemain raksasa seperti Facebook dan Tencent. Facebook mengakuisisi aplikasi media sosial ternama seperti Instagram dan Whatsapp. Pada 2017 pendapatan bersih Facebook mencapai 15,9 miliar dollar AS.
Oleh karena itu, mengatur lalu lintas digital pemain raksasa seperti Facebook bukan perkara mudah. Segala elemen harus saling membangun kesadaran, mulai dari level terendah yaitu pengguna, Facebook sendiri hingga negara. Negara memiliki andil yang besar sebagai pengawas tertinggi dalam mendidik dan membangun kesadaran, serta memaksakan kesadaran jika itu dibutuhkan.
Pekerjaan negara yang tidak akan selesai selama internet menjadi bagian dari kebutuhan dasar manusia. Yang dalam pertumbuhan-pertumbuhan selanjutnya, mungkin akan jauh lebih problematis dari era saat ini.
Lantas, apakah butuh bertindak seperti China yang menurut The Economist adalah negara dengan sistem internet yang paling tersentralisasi?
Negara yang dikenal dengan konsep The Great Firewall tersebut membendung aplikasi-aplikasi asing seperti Facebook, Whatsapp, Instagram hingga Google dan mengandalkan aplikasi lokal yang bisa diatur sepenuhnya oleh negara.
Untuk konteks Indonesia, tidaklah tepat dengan sistem demokrasi, di mana kebebasan akan informasi adalah hak setiap warga negara. Akan tetapi, jangan sampai kebablasan.
Harus selalu diingat bahwa rekam jejak digital sulit bahkan cenderung tidak bisa untuk dihapus. Kita tidak berbicara perihal hari ini saja, namun juga hari esok. Generasi selanjutnya mempunyai hak untuk mendapatkan warisan yang sehat termasuk ekosistem digital yang baik.
Filsuf Jerman Hans Jonas menyebutnya sebagai etika tanggung jawab masa depan. Ia mengatakan, “Bertindaklah sedemikian rupa sehingga akibat-akibat tindakanmu dapat diperdamaikan dengan kelestarian kehidupan manusiawi sejati di bumi!”[8] Dan hemat saya, kelestarian kehidupan manusia ke depan pun ditentukan dari perilaku digital yang baik pada masa sekarang.*
[1] Mark Zuckerberg menulis dalam status Facebook resminya pada 31 Oktober 2018: “On the Facebook app overall, what we see is that we are generally stable although we may be close to saturated in developed countries, while we contine to grow quickly in developing countries.”
[2] J. Sudarminta, Etika Umum : Kajian tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika Normatif (Yogyakarta: Kanisius, 2013), 3.
[3] Deni Elliot dan Edward H. Spence, Ethics for A Digital Era (United States: Wiley Blackwell, 2017), 78-79.
[4] https://www.reuters.com/investigates/special-report/myanmar-facebook-hate/
[5] https://katadata.co.id/berita/2016/12/21/jerman-akan-denda-facebook-rp-7-miliar-per-satu-berita-hoax
[6] https://www.voaindonesia.com/a/facebook-luncurkan-badan-independen-untuk-periksa-kontan/4661265.html
[7] Berners-Lee mengatakan: “I wouldn’t say the internet has failed with a capital F, but it has failed to deliver the positive, constructive society many of us had hoped for.”
[8] Hans Jonas, dalam Frans Magnis-Suseno, 12 Tokoh Etika Abad Ke-20, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), 176.
Selengkapnya: Bincang Digital: Facebook dan Bangunan Etika
https://www.dawainusa.com/bincang-digital-facebook-dan-bangunan-etika/
0 notes
kemocengrapi · 6 years ago
Text
Bincang Digital: Facebook dan Bangunan Etika
Oleh: Retha K. 
OMONG DENG, dawainusa.com – Facebook adalah salah satu pemain raksasa internet. Mark Zuckerberg, pendiri Facebook, menulis dalam status akun resminya pada 31 Oktober 2018 bahwa pengguna yang mengakses Facebook setiap bulannya mencapai 2,3 miliar dan setiap harinya sebesar 1,5 miliar pengguna.
Bandingkan dengan populasi dunia. Badan Pusat Statistik (BPS) Amerika Serikat memprediksi jumlah penduduk dunia akan mencapai 7,5 miliar pada 19 September 2018 kemarin.
Artinya, bila dihitung secara kasar sekitar 20 persen penduduk dunia mengakses Facebook setiap harinya. Ini berarti lalu lintas komunikasi yang membawa miliaran pesan terjadi dalam rel kereta Facebook setiap detik setiap hari di seluruh belahan dunia.
Bagaimana dengan Indonesia? Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mencatat penetrasi internet di Indonesia pada 2017 sebesar 54,68 persen atau 143,26 juta jiwa dari 262 juta populasi penduduk. Berdasarkan data statista.com, pengguna Facebook di Indonesia yang mengakses aplikasi yang berdiri pada 2004 tersebut pada Oktober 2018 tercatat mencapai 131 juta orang.
Facebook tidak lagi perihal siapa mengenal siapa.
Hampir seluruh masyarakat Indonesia yang memiliki internet mengakses Facebook dalam kesehariannya. Indonesia pun menduduki peringkat tiga teratas pengguna Facebook terbesar setelah India dan Amerika. Mark mengakui, aplikasi buatannya tersebut terus tumbuh dengan cepat di negara-negara berkembang dan cenderung stabil bahkan hampir jenuh di negara-negara maju.[1]
Lalu, apa implikasi sosial yang terbentuk dengan mudahnya akses Facebook dari layar ponsel 5.5 inci? Jawabannya adalah tak terbatas. Berbagai tindakan terbentuk, mulai dari tindakan ekonomi, politis, hingga penipuan.
Pengguna yang memiliki motif ekonomi memanfaatkan Facebook untuk menyebarluaskan produk yang ia jual. Pengguna juga bisa menciptakan isu atau aksi dan menggalang dukungan suara dari Facebook. Di sisi lain, melalui “What’s on your mind” atau dalam bahasa “Apa yang sedang Anda pikirkan?” yang menjadi fitur terkenal Facebook dapat digunakan untuk menulis konten negatif seperti berita bohong (hoaks).
Data Pengguna Internet Indonesia Januari 2018 – Credit: We Are Social & Hootsuite
Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) mencatat saluran penyebaran hoaks terbesar terjadi di Facebook. Pada periode Juli-September 2018 jumlah hoaks  yang tersebar melalui Facebook mencapai 47,8 persen dari total 230 hoaks.
Hoaks sebagian besar tersusun dari gabungan narasi dan foto (50,43 persen) yang didominasi oleh konten politik (58,7 persen). Jumlah penyebaran hoaks sendiri secara keseluruhan melalui internet dari Januari hingga September 2018 adalah 861 hoaks.
Baca juga: Antara Media Online yang Tidak Laku, Bujang Lapuk dan Perawan Tua
Terang, Facebook tidak lagi perihal siapa mengenal siapa. Ia bergerak mempengaruhi dari satu pengguna ke pengguna lainnya. Tujuannya adalah untuk menularkan suatu informasi ke pengguna-pengguna lainnya agar bisa diikuti dan disebarluaskan kembali, atau paling tidak mempercayai informasi tersebut.
Dengan karakteristik media sosial dan penetrasi internet yang tinggi, berbagai konten baik positif ataupun negatif dengan mudahnya berkembang secara cepat. Perilaku suatu individu atau kelompok pun dalam kehidupan nyata, entah itu disadari atau tidak disadari, mendapatkan pengaruh dari pertemanannya di jejaring sosial.
Dalam kompleksitas ini, muncul substansi baru yang saat ini semakin ramai diperbincangkan, yaitu kebutuhan akan etika dunia digital. Dampak sosial Facebook memunculkan implikasi etis yang tidak bisa ditolak. Apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam interaksi dunia maya.
Pada satu sisi, Facebook menjadi salah satu cara manusia hidup dalam kelompok yang memiliki persamaan dan keterikatan dengan dirinya. Di sisi lain, kebenaran informasi dan konten-konten positif adalah kebutuhan manusia yang perlu disediakan dalam platform yang ada sejak 2004 ini.
Bagaimana kemungkinan ini dimungkinkan? Jawabannya adalah penerapan etika.
Bangun Kesadaran Etika Digital
Sebelum masuk dalam pembahasan etika digital, konteks etika perlu dimengerti dengan baik. Menurut J. Sudarminta, etika adalah  nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan hidup atau sebagai pedoman penilaian baik buruknya perilaku manusia, baik secara individual ataupun sosial dalam suatu masyarakat.[2]
Sudarminta menjelaskan, salah satu relevansi etika adalah menyediakan alat intelektual untuk menanggapi masalah-masalah moral baru yang muncul sebagai dampak modernisasi dan perkembangan pesat ilmu pengetahuan serta teknologi.
Misalnya, ketika dikaitkan dengan Facebook, etis atau tidak jika memberikan komentar ujaran kebencian dalam laman pemimpin tertinggi negara yaitu Presiden Repulik Indonesia.
Etika muncul bukan semata-mata karena suatu hidup bersama dalam lingkup komunitas atau masyarakat. Etika harus dimengerti sebagai pegangan yang sudah harus dimiliki oleh setiap individu manusia sebelum ia bergabung dengan individu-individu lainnya.
Bagaimana dirinya sebagai manusia seharusnya hidup, yang sesuai dengan kodrat dan martabatnya. Dalam konteks dunia digital, meskipun seorang pengguna tidak berteman dengan siapapun dalam Facebook, ia tetap harus memiliki etika. Etika ini yang sedari awal harus ia pahami, bahkan sebelum masuk dalam pembuatan akun.
Konsep mengenai etika tidak bisa disamakan dengan naluri manusia yang dengan sendirinya dari dalam hati ingin membantu ketika melihat orang lain terjatuh. Untuk mengetahui etika harus dipicu dengan kesadaran. Pengguna harus sadar bahwa dirinya sebagai manusia perlu beretika dalam memanfaatkan Facebook.
Argumen yang dibangun adalah apa yang seseorang lakukan dalam dunia maya memiliki dampak yang berkali-kali lipat dibanding dunia kasatmata. Internet menghapus jarak dan waktu sehingga memungkinkan adanya penyebaran perspektif yang mendatangkan perubahan, baik positif ataupun negatif.
Maka dari itu, masyarakat digital perlu ditempatkan dalam posisi masyarakat nyata pada umumnya yang membutuhkan pertanggungjawaban atas tingkah laku seorang individu.
Dalam konteks dunia digital, meskipun seorang pengguna tidak berteman dengan siapapun dalam Facebook, ia tetap harus memiliki etika.
Kesadaran pun tidak bisa hadir tanpa pengetahuan. Manusia membutuhkan inteligensi digital. Literasi-literasi digital yang pedagogis harus dimiliki sejak dini. Misalnya, pengetahuan akan segala aktivitas yang dilakukan dalam dunia digital akan tetap tersimpan meskipun telah kita hapus.
Fakta ini memunculkan wacana the right to be forgotten (hak untuk dilupakan) yang menjadi perhatian pemerintah dunia. Indonesia sendiri mengaturnya dalam Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Dalam pasal 26 ayat 3 disebutkan bahwa setiap penyelenggara sistem elektronik wajib menghapus informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan.
Artinya, penghapusan jejak masa lalu digital hanya bisa dilakukan atas permintaan orang bersangkutan melalui penetapan pengadilan. Pengetahuan ini akan memunculkan implikasi logis yaitu manusia dalam praktiknya akan memiliki etika sehingga dapat berhati-hati dalam menulis, mengunggah, mengkomentari, dan membagikan informasi dalam media Facebook.
Konsep tentang Digital Intelligence – Credit: dqinstitute.org
Pertanyaan problematis selanjutnya adalah bagaimana jika manusia yang telah memiliki inteligensi digital namun tetap saja tidak memiliki kesadaran beretika sebagai wujud nyata? Dalam tataran ini muncul pemaksaan kesadaran.
Negara sebagai lembaga yang berwenang mengatur warga negaranya mengambil peran pembentukan kesadaran. Langkah-langkah yang mengikat para pengguna media sosial yang tidak berkesadaran masuk dalam ranah hukum.
Pemerintah Indonesia sebagai contoh, mempunyai UU ITE yang mengatur masyarakat dalam menggunakan media sosial. Implementasi ini dapat terlihat dari penangkapan para pelaku penyebar berita bohong dan ujaran kebencian yang dilakukan Bareskrim Polri.
Baca juga: ‘Dapur, Sumur dan Kasur’ dalam Bingkai Hak Asasi Manusia
Pada wilayah penerapan etika digital yang bersinggungan dengan kebenaran informasi yang merupakan hak publik, negara menjadi institusi yang bertanggung jawab membangun dan menerapkan kesadaran.
Jelas terlihat bahwa penerapan kesadaran etika digital tidak bisa dilihat dalam kacamata yang sederhana. Seperti yang digambarkan Aristoteles dalam Nicomachean Ethics di mana ia mendiskusikan antara pertumbuhan moral dan perkembangan individu.[3]
Menurutnya, manusia secara biologis akan terus bertumbuh menjadi manusia yang lengkap. Namun, sama seperti manusia yang membutuhkan kerja untuk mendapatkan fisik terbaik, untuk menjadi manusia yang sepenuhnya berkembang, secara etis, juga tidak akan terjadi tanpa kerja keras.
Karenanya, menciptakan kesadaran etika digital merupakan bentuk kerja manusia itu sendiri yang membuka diri akan kesadaran dan negara yang memaksa kesadaran itu terjadi jika manusia tidak mampu melakukannya.
Facebook Sadar Etika?
Facebook adalah aplikasi buatan manusia. Sebagai platform bagi miliaran manusia untuk berkomunikasi, Facebook memiliki andil untuk menciptakan pengguna yang beretika. Sejauh mana Facebook membangun ekosistem tersebut?
Untuk memberikan pendasaran, saya menganalogikan Facebook sebagai sebuah jalan raya tempat pengguna berlalu lintas secara digital. Di dalam jalan raya terdapat rambu-rambu lalu lintas yang mengatur manusia bertindak. Facebook menyediakan baik jalan dan rambu-rambu agar pengguna memahami apa yang boleh dan tidak boleh ia lakukan.
Dalam halaman layanan standar komunitas, Facebook menjelaskan mengenai apa yang dapat pengguna lakukan dan bagikan dengan cukup komprehensif. Elemen-elemen negatif seperti kejahatan tidak boleh diproduksi dalam Facebook. Lalu, persoalan integritas dan keaslian juga menjadi perhatian.
Pertanyaan bukan lagi mengenai apakah Facebook perlu bertanggung jawab terhadap penyebaran konten SARA. Namun, lebih tajam lagi yaitu di mana tanggung jawab Facebook ketika ujaran SARA disebarluaskan.
Dalam elemen ini, Facebook mengakui bahwa mengurangi penyebaran berita bohong adalah sebuah tanggung jawab yang mereka upayakan. Menurutnya, terdapat perbedaan yang tipis antara berita bohong dan sindiran atau opini. Atas dasar itu, Facebook tidak menghapus berita bohong dan memilih untuk mengurangi distribusinya dalam laman berita (News Feed).
Sebagai media penyebaran, Facebook telah masuk dalam lingkup permasalahan etika. Namun, yang dibangun Facebok tidak cukup memadai dalam menjawab persoalan-persoalan problematis yang terjadi di masyarakat. Misalnya, masih kita ingat konflik antara Muslim Rohingya dan penduduk Myanmar.
Dalam laporan utamanya 15 Agustus 2018, Reuters menemukan lebih dari 1.000 unggahan, komentar, dan gambar pornografi yang menyerang Rohingya dan pemeluk agama Islam lainnya di Facebook.[4] Hampir sebagian besar konten tersebut berbahasa lokal Myanmar yaitu Bahasa Birma.
Fakta yang ditemukan Reuters adalah minimnya karyawan Facebook yang mampu berbahasa Birma. Di awal 2015, hanya ada dua orang yang mampu berbicara Birma dan meneliti unggahan-unggahan yang bermasalah. Sebelum itu, kebanyakan pegawai Facebook hanya meninjau konten Birma yang berbahasa Inggris.
Hingga sekarang ini, Facebook tidak mempunyai satupun karyawan di negara dengan jumlah penduduk 50 juta tersebut. Monitoring ujaran kebencian pun dilakukan dari luar Myanmar. Mark Zuckerberg pun pada April 2018 memberikan pernyataan.
Ia mengatakan kepada para senator Amerika bahwa pihaknya telah mempekerjakan puluhan pembicara Birma untuk meninjau postingan ujaran kebencian di Myanmar.
Mark Zuckerberg dalam konferensi tahunan pengembang Facebook di San Jose, California, Mei 2018 – Credit: abc.net.au
Memakai analogi jalan, Facebook belum membangun infrastruktur jalan yang cukup jauh. Tidak hanya kurang jauh, jalan yang dibangun pun harus menyesuaikan dengan kultur setempat. Ketika Facebook membuka diri untuk bisa diakses oleh pengguna dari berbagai belahan dunia, pada saat yang sama Facebook pun harus menyiapkan prasarana dari berbagai belahan dunia pula.
Nilai Facebook sebagai bentuk tanggung jawabnya membangun ekosistem pengguna yang beretika menemui keutamaannya di sini. Pada titik ini, hadirnya kantor perwakilan Facebook di negara-negara setempat menjadi penting. Bagaimana karakteristik masyarakat dan apa saja isu potensial yang mampu memicu konten-konten negatif perlu diklasifikasi.
Di Indonesia, Facebook baru saja membuka kantor perwakilannya pada Agustus 2017. Sebagai negara dengan pengguna tiga teratas dunia, jelas Facebook harus menempatkan Indonesia dalam prioritas.
Dalam keseharian kita menggunakan Facebook, ujaran-ujaran kebencian terhadap seseorang dan bahkan seorang presiden serta berita-berita bohong menjadi fenomena sehari-hari. Ketika informasi tersebut menyebar luas, bagaimana Facebook bertindak? Apakah cukup hanya dengan mengurangi distribusi kontennya saja jika berhubungan dengan hajat hidup orang banyak?
Pertanyaan tersebut menjadi fundamental ketika masuk dalam persoalan nyata. Salah satu kasus terkenal yang pernah terjadi adalah penyebaran informasi terkait unsur SARA (Suku, Agama, Ras, Golongan) yang dilakukan oleh Buni Yani terhadap Mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Buni Yani mengunggah cuplikan video yang menayangkan Ahok saat bertugas di Kepulauan Seribu dalam status Facebook-nya. Video tersebut diunggah berikut pernyataan status yang berpotensi menimbulkan rasa kebencian.
Akibat video yang beredar luas tersebut, Ahok mendapat tekanan politis melalui demonstrasi muslim skala besar dan akhirnya dijatuhkan hukuman dua tahun penjara karena menistakan agama. Di sisi lain, Buni Yani pun akhirnya ditetapkan sebagai tersangka pelanggaran UU ITE dengan dalil penghasutan SARA.
Baca juga: Soal Keyakinan Zuckerberg dan Intervensi Pemilu dalam Facebook
Problematika etis muncul dalam lingkup yang kompleks. Pertanyaan bukan lagi mengenai apakah Facebook perlu bertanggung jawab terhadap penyebaran konten SARA. Namun, lebih tajam lagi yaitu di mana tanggung jawab Facebook ketika ujaran SARA disebarluaskan.
Ketidakmampuan Facebook untuk bisa mengatasi penyebaran informasi buruk membuat pemerintah pun masuk membangun etika kesadaran. Pemerintah Jerman ambil contoh, berencana untuk menyusun peraturan yang memuat ketentuan denda bagi Facebook dan platform media sosial lainnya atas setiap konten palsu yang terpublikasi dalam laman mereka.[5]
Pemerintah masuk membangun kesadaran dengan tekanan. Platform yang berpusat di California ini  pun berjanji akan mendirikan badan independen untuk memeriksa konten apa saja yang perlu dihapus.[6]
Bukan Persoalan Mudah
The Economist belum lama ini mengulas kegelisahannya mengenai perkembangan internet. Majalah internasional yang bermarkas di London ini mengeluarkan seri tulisan utama “Fixing The Internet” pada 30 Juni 2018. The Economist memulai laporan utamanya dengan pertanyaan yang tendensius: Apakah internet telah gagal?
Paragraf pembuka dalam tulisan “How to fix what has gone wrong with the internet” datang dari Sir Tim Berners-Lee, penemu world wide web (www) yang ketika diwawancara menyebut dengan jelas, “Aku tidak akan mengatakan internet telah gagal dengan sebuah huruf kapital F (False), tetapi internet memang telah gagal untuk menyampaikan hal yang positif, untuk masyarakat konstruktif yang sebelumnya kita harapkan.”[7]
Tim Berners-Lee menjadi satu dari sejumlah pelaku internet yang diwawancara. Dalam ulasannya, The Economist mencatat bahwa hingga beberapa tahun lalu kebanyakan pengguna, ketika ditanyakan apa yang mereka pikirkan mengenai internet, mereka akan menjawab deretan jawaban yang positif seperti tetap berhubungan dengan teman, menyediakan akses yang instan terhadap informasi yang begitu luas, hingga membantu merusak rezim otoriter.
Namun, tepat di bawah seperempat abad setelah browser web pertama dirilis, dan sekitar setengah dari populasi dunia melakukan online, terjadi perubahan. Seperti Tim Berners-Lee, kebanyakan orang mulai menjadi lebih kritis terhadap internet.
Tidak hanya para pelaku internet, akademisi ataupun masyarakat sipil yang menyangsikan keberadaan internet. Lembaga keagamaan seperti Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) juga turut gelisah sehingga mengeluarkan buku “Pedoman Menggunakan Media Sosial” sebagai bentuk literasi masyarakat.
Pekerjaan negara yang tidak akan selesai selama internet menjadi bagian dari kebutuhan dasar manusia.
Bagaimana kesadaran etika digital menjadi suara yang secara masif digerakkan dari seluruh kalangan. Apalagi, seperti yang ditulis oleh The Economist, internet saat ini menjadi lebih tersentralisasi daripada kondisi sepuluh tahun lalu.
Baik negara barat ataupun China, aktivitas jaringan dunia didominasi oleh sedikit pemain raksasa seperti Facebook dan Tencent. Facebook mengakuisisi aplikasi media sosial ternama seperti Instagram dan Whatsapp. Pada 2017 pendapatan bersih Facebook mencapai 15,9 miliar dollar AS.
Oleh karena itu, mengatur lalu lintas digital pemain raksasa seperti Facebook bukan perkara mudah. Segala elemen harus saling membangun kesadaran, mulai dari level terendah yaitu pengguna, Facebook sendiri hingga negara. Negara memiliki andil yang besar sebagai pengawas tertinggi dalam mendidik dan membangun kesadaran, serta memaksakan kesadaran jika itu dibutuhkan.
Pekerjaan negara yang tidak akan selesai selama internet menjadi bagian dari kebutuhan dasar manusia. Yang dalam pertumbuhan-pertumbuhan selanjutnya, mungkin akan jauh lebih problematis dari era saat ini.
Lantas, apakah butuh bertindak seperti China yang menurut The Economist adalah negara dengan sistem internet yang paling tersentralisasi?
Negara yang dikenal dengan konsep The Great Firewall tersebut membendung aplikasi-aplikasi asing seperti Facebook, Whatsapp, Instagram hingga Google dan mengandalkan aplikasi lokal yang bisa diatur sepenuhnya oleh negara.
Untuk konteks Indonesia, tidaklah tepat dengan sistem demokrasi, di mana kebebasan akan informasi adalah hak setiap warga negara. Akan tetapi, jangan sampai kebablasan.
Harus selalu diingat bahwa rekam jejak digital sulit bahkan cenderung tidak bisa untuk dihapus. Kita tidak berbicara perihal hari ini saja, namun juga hari esok. Generasi selanjutnya mempunyai hak untuk mendapatkan warisan yang sehat termasuk ekosistem digital yang baik.
Filsuf Jerman Hans Jonas menyebutnya sebagai etika tanggung jawab masa depan. Ia mengatakan, “Bertindaklah sedemikian rupa sehingga akibat-akibat tindakanmu dapat diperdamaikan dengan kelestarian kehidupan manusiawi sejati di bumi!”[8] Dan hemat saya, kelestarian kehidupan manusia ke depan pun ditentukan dari perilaku digital yang baik pada masa sekarang.*
[1] Mark Zuckerberg menulis dalam status Facebook resminya pada 31 Oktober 2018: “On the Facebook app overall, what we see is that we are generally stable although we may be close to saturated in developed countries, while we contine to grow quickly in developing countries.”
[2] J. Sudarminta, Etika Umum : Kajian tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika Normatif (Yogyakarta: Kanisius, 2013), 3.
[3] Deni Elliot dan Edward H. Spence, Ethics for A Digital Era (United States: Wiley Blackwell, 2017), 78-79.
[4] https://www.reuters.com/investigates/special-report/myanmar-facebook-hate/
[5] https://katadata.co.id/berita/2016/12/21/jerman-akan-denda-facebook-rp-7-miliar-per-satu-berita-hoax
[6] https://www.voaindonesia.com/a/facebook-luncurkan-badan-independen-untuk-periksa-kontan/4661265.html
[7] Berners-Lee mengatakan: “I wouldn’t say the internet has failed with a capital F, but it has failed to deliver the positive, constructive society many of us had hoped for.”
[8] Hans Jonas, dalam Frans Magnis-Suseno, 12 Tokoh Etika Abad Ke-20, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), 176.
Selengkapnya: Bincang Digital: Facebook dan Bangunan Etika
#dawai
0 notes
seputarbisnis · 7 years ago
Text
Medan (SIB) -Pasca 'penghapusan' atau 'penghilangan' paket proyek renovasi gedung laboratorium dari data atau jadwal tayang layanan pengadaan secara elektronik (LPSE)  Dinas Lingkungan (DLH) Provsu pada Rabu malam 5 Juli lalu (SIB 7/7), pihak rekanan yang merasa dirugikan akhirnya melayangkan pengaduan resmi ke Inspektorat Provinsi Sumut (Irprovsu), pada 22 Agustus kemarin. Wakil Direktur CV Artpank Project Citra Sarana (APCS) Medan, Ronald GI Sinambela, menegas kan pihaknya secara khusus mempertanyakan kinerja dan motif pihak kelompok kerja (Pokja) 052-PK di Unit Layanan Pengadaan (ULP) Provsu atas pembatalan sepihak lelang pekerjaan tersebut, dengan modus penghapusan atau penghilangan nama atau data pekerjaan dari daftar paket pekerjaan. "Kami terpaksa mengadukan kasus ini ke Inspektorat Provsu karena terkesan tidak ada itikad baik dari pihak Pokja 052-PK di DLH Sumut, setelah sebulan kasus ini didiamkan begitu saja tanpa ada penjelasan logis dan tindakan kepada pihak Pokja. Dalam pengaduan ini, kami minta agar Inspektorat segera memeriksa Kepala DLH Sumut (Dr Ir Wan Hidayati MSi)," ujar Ronald Sinambela kepada SIB di Medan, Kamis (24/8). Bersama rekannya sesama rekanan, Ronald mengutarakan hal itu sembari menunjukkan copy surat pengaduan dan copy data LPSE Propsu yang tidak mencantumkan nama paket pekerjaan 'renovasi gedung laboratorium DLH Sumut di Jalan HM Said Medan (di seberang kantor Polrestabes Medan) senilai Rp1,9 miliar. Pada 5 Juli lalu yang merupakan jadwal tayang paket pekerjaan di lingkungan DLH Sumut bersama sejumlah paket proyek lainnya, nama atau judul paket renovasi tersebut mendadak hilang atau tak tercantum pada daftar paket-paket dari Pokja 052 tersebut. Ketika itu, Kepala DLH Sumut Hidayati menyatakan pembatalan proyek atau terjadi karena ada kesalahan atau perbedaan anggaran pada rencana anggaran biaya (RAB) antara angka yang ditetapkan pihak DLH (Rp 1,9 miliar), dengan angka yang dibuat pihak konsultan Rp1,8 miliar. Dengan gambling, Hidayati ketika itu menegaskan terjadinya penghapusan proyek itu merupakan 'kesalahan kita semua' Padahal, menurut Wakil Ketua Persatuan Konsultan Indonesia (Perkindo) Sumut Ir Yustan Siregar, terjadinya perbedaan angka biaya pekerjaan antara konsultan dan Pokja, tidak serta merta harus terjadi pembatalan atau penghilangan nama proyek dari Pokja. Bahkan, dalam situasi ini juga tidak harus dilakukan addendum karena pihak pengguna jasa, dalam hal ini PPK (panitia pembuat komitmen) telah membuat anggaran dengan harga perhitungan sendiri. "Artinya, kalau terjadi kasus seperti ini (penghapusan data paket DLH dari Pokja 052) terindikasi ada suatu gelagat permainan yang biasanya akan mengarahkan pekerjaan itu kepada kalangan rekanan tertentu," katanya kepada SIB, Kamis petang (24/8) yang mencermati kasus ini dari awal. Sebelumnya, Jumat pekan lalu, kepala ULP Provsu Ir Eric Aruan SE MM yang ditemui SIB di kantornya menegaskan pembatalan proyek dengan cara menghapus atau meniadakan nama atau judul paket pada daftar pekerjaan pada perangkat tayang LPSE, sepenuhnya menjadi tanggung jawab pihak DLH selaku pemilik atau penyelenggara proyek. "Kalau perlu kita telusuri bersama ke kantor DLH, bagaimana sebenarnya kronologinya sampai proyek atau paket pekerjaan itu dibatalkan. Kita di ULP belum bisa menentukan proses atau sikap karena paketnya memang belum sampai pada tahap lelang, masih pada tahap tayang. Tapi yang jelas, saya yakin pembatalan ini biasa dan wajar saja karena terkait dengan RAB," katanya kepada SIB dalam perjalanan menuju kantor DLH Sumut. Namun, kepala DLH Sumut Hidayati ternyata tidak berada di kantornya dan Eric Aruan dipandu untuk menemui staf yang khusus menangani proyek di LPSE setempat, namun staf tersebut disebutkan baru saja keluar dari kantor. Akhirnya pers bersama ULP tidak juga memperoleh jawaban atau penjelasan apapun tentang pembatalan proyek tersebut. Adapun Hidayati tidak dapat dikonfirmasi melalui telepon selulernya pada Kamis petang kemarin karena nomor ponselnya tidak aktif walau berulangkali dihubungi. Sementara, Kepala Irprovsu Dr OK Henry yang dikonfirmasi petang kemarin, mengaku belum mengetahui surat dari pihak CV Artpank Project Citra Sarana yang mengadukan kepala DLH Sumut tersebut. "Waduh belum tahu saya itu, nanti saya cek dulu ke kantor, karena memang banyak sekali surat pengaduan pasca sanggah banding tentang kasus proyek-proyek begitu," katanya singkat kepada SIB, melalui hubungan ponselnya. (A04/l) http://dlvr.it/PhRqXD
0 notes
realitajayasaktigroup · 4 days ago
Text
Diduga Hapus Data Warga Miskin, Kades Sidomulyo Jadi Sorotan Warga dan LBH Teratai
Diduga Hapus Data Warga Miskin, Kades Sidomulyo Jadi Sorotan Warga dan LBH Teratai HARIANSOLORAYA.COM, Demak || Kepala Desa Sidomulyo, Mahfudin, kembali menjadi sorotan tajam masyarakat dan Lembaga Studi dan Bantuan Hukum (LBH) Teratai. Mahfudin diduga menghapus data elektronik warga miskin secara sepihak, yang berdampak pada hilangnya hak 135 warga untuk menerima bantuan sosial dari…
0 notes
realitajayasaktigroup · 4 days ago
Text
Gugatan PMH Dilayangkan: Polres Demak Dinilai Lalai Tangani Kasus Kepala Desa Sidomulyo
REKONFUNEWS.COM, DEMAK || Seiring dengan aksi unjuk rasa ratusan warga Sidomulyo yang mendatangi Polres Demak, lembaga hukum kembali bergerak untuk menuntut kejelasan dalam kasus yang melibatkan Kepala Desa Sidomulyo, Mahfudin. Pada Kamis (6/2), Lembaga Studi dan Bantuan Hukum Teratai, melalui kuasa hukumnya Dr. Nimerodi Gulo, SH, MH, mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) kepada…
0 notes
realitajayasaktigroup · 1 year ago
Text
Proses Hukum Laporan Penghapusan Data Bansos Warga Desa Sidomulyo Di Anggap Bertele-tele
REALITANEWS.OR.ID, DEMAK || Laporan kepolisian terkait Dugaan tindak pidana penghapusan data elektronik sejumlah 135 orang warga desa Sidomulyo Kecamatan Dempet Kabupaten Demak yang dilakukan oleh oknum Kepala desa setempat sudah berjalan lima bulan. Namun proses hukum nya sampai sejauh ini belum ada titik terang. Kantor Lembaga studi dan bantuan hukum Teratai Dr. Nimerodi Gulo, SH, MH dan…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes