#Pengembaraan Intelektual
Explore tagged Tumblr posts
eine-weltanschauung · 2 years ago
Text
Tumblr media
Mendaki gunung secara intelektual, hingga spiritual
Dalam sejarah filsafat, gunung memiliki kedudukan yang penting. Beberapa filsuf sengaja menyisihkan sebagian waktunya untuk berkontemplasi di daerah pegunungan, sebutlah Lao Tzu ,Martin Heidegger, Ludwig Wittgensten dan Richard Sylvan.
Gunung telah menjadi semacam tempat pengasingan diri yang tepat untuk melakukan berbagai aktivitas filosofis. Dimensi pengasingan itu juga terbentuk dalam proses pengembaraan, seperti yang terjadi dalam "Grand tour", suatu aktivitas intelektual yang berkembang di Eropa pada abad ke-18 dan menjadi nenek moyang dari kegiatan-kegiatan pariwisata hari ini.
Dari sini jelaslah bahwa pariwisata mulanya adalah merupakan suatu kegiatan intelektual dan perjalanan mendaki gunung pun berakar pada basis filosofis yang sama. Jika ditilik dari prespek spiritual, mendaki gunung merupakan media mendekatkan diri pada Allah SWT. Mendaki gunung juga berarti mentadabburi manifestasi ilahi yang ada di bumi.
Sebagai seorang muslim kita berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Al-Hadits, Firman Allah SWT di dalam Al Quran ada yang berupa qauliyah (tersurat) dan kauniyah (tersirat). Salah satu bentuk ayat-ayat kauniyah-Nya ialah gunung. Gunung merupakan salah satu makhluk Allah yang patut untuk kita perhatikan.
Jika kita menelusuri rekam jejak Rasulullah beliau telah melakukan beberapa kali pendakian. Sebelum diangkat jadi Rasul, Nabi Muhammad SAW memiliki kebiasaan naik-turun Jabal Nur untuk 'uzlah (mengisolasi diri) di gua Hira. Kebiasaan Rasulullah mengisolasi diri di Jabal Nur ini dalam rangka berkontemplasi, me-refresh jiwa dan pikiran dari hiruk-pikuk peradaban kota Makkah.
Sejarah juga mencatat ada tiga gunung lain yang juga pernah didaki oleh Rasulullah. Diantaranya adalah Jabal Tsur, Jabal Uhud dan Jabal Rahmah di Arafah yang menjadi tempat Rasulullah menerima wahyu yang terakhir.
Ada catatan yang menarik menurut saya dari Jabal Rahmah, gunung atau bukit ini merupakan tempat dipertemukannya Adam dan Hawa setelah ratusan tahun berpisah. Saya jadi berpikir, beruntung sekali orang-orang yang menemukan pasangan ketika mendaki gunung, sungguh definisi paripurna dari kisah cinta di jalan kenabian...
Wkwkwkwk.... 😅✌🏻
Wallahu a'lam bisshowaab...
3 notes · View notes
berlianpra · 7 months ago
Text
Tumblr media
Syekh Abdus Somad Al-Falimbani
Dalam perkembangan intelektual ulama Melayu khususnya di era abad 18 M, peran dan kiprah Syeikh Abdush Shamad Al-Palimbani tak bisa dianggap kecil. Syeikh Al-Palimbani, demikian biasa ia disebut banyak kalangan, merupakan salah satu kunci pembuka dan pelopor perkembangan intelektualisme Nusantara. Ketokohannya melengkapi nama-nama ulama dan intelektual berpengaruh seangkatannya semisal Al-Raniri, Al-Banjari, Hamzah Fansuri, Yusuf Al-Maqassari, dan masih banyak lainnya.
Dalam deretan nama-nama tersebut itulah, posisi Syeikh Al-Palimbani menjadi amat sentral berkaitan dengan dinamika Islam. Malah, sebagian sejarahwan, seperti Azyumardi Azra, menilai Al-Palimbani sebagai sosok yang memiliki kontribusi penting bagi pertumbuhan Islam di dunia Melayu. Ia bahkan juga bersaham besar bagi nama Islam di Nusantara berkaitan kiprah dan kontribusi intelektualitasnya di dunia Arab, khususnya semasa ia menimba ilmu di Mekkah.
Riwayat hidup Abdush Shamad al-Palimbani sangat sedikit diketahui. la sendiri hampir tidak pernah menceritakan tentang dirinya, selain tempat dan tanggal yang dia cantumkan setiap selesai menulis sebuah kitab. Seperti yang pernah ditelusuri M. Chatib Quzwain dan juga Hawash Abdullah, satu-satunya yang menginformasikan tentang dirinya hanya Al-Tarikh Salasilah Negeri Kendah (di Malaysia) yang ditulis Hassan bin Tok Kerani Mohammad Arsyad pada 1968.
Sumber ini menyebutkan, Abdush Shamad adalah putra Syekh Abdul Jalil bin Syekh Abdul Wahhab bin Syekh Ahmad al-Mahdani (ada yang mengatakan al-Mahdali), seorang ulama keturunan Arab (Yaman) yang diangkat menjadi Mufti negeri Kedah pada awal abad ke-18. Sementara ibunya, Radin Ranti adalah seorang wanita Palembang. Syekh Abdul Jalil adalah ulama besar sufi yang menjadi guru agama di Palembang, tidak dijelaskan latar belakang kedatangannya ke Palembang. Diperkirakan hanya bagian dari pengembaraannya dalam upaya menyiarkan Islam sebagaimana banyak dilakukan oleh warga Arab lainnya pada waktu itu.
Tetapi selain sumber tersebut, Azyu-mardi Azra juga mendapatkan informasi mengenai dirinya dalam kamus-kamus biografi Arab yang menunjukkan bahwa Al-Palimbani mempunyai karir terhormat di Timur Tengah.
Sejauh yang tercatat dalam sejarah, memang ada tiga versi nama yang dikaitkan dengan nama lengkap Al-Palimbani. Yang pertama, seperti dilansir Ensiklopedia Islam, ia bernama lengkap Abdus Shamad Al-Jawi Al-Palimbani. Versi kedua, merujuk pada sumber-sumber Melayu, sebagaimana dikutip Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Mizan: 1994), ulama besar ini memiliki nama asli Abdus Shamad bin Abdullah Al-Jawi Al-Palimbani. Sementara versi terakhir, tulis Rektor UIN Jakarta itu, bahwa bila merujuk pada sumber-sumber Arab, maka Syeikh Al-Palimbani bernama lengkap Sayyid Abdus Al-Shamad bin Abdurrahman Al-Jawi.
Menurut Azra, informasi ini merupakan temuan penting sebab tidak pernah ada sebelumnya riwayat-riwayat mengenai ulama Melayu-lndonesia ditulis dalam kamus biografi Arab. Dalam literatur Arab, Al-Palimbani dikenal dengan nama Sayyid Abdush Shamad bin Abdur Rahman al-Jawi. Tokoh ini, menurut Azra, bisa dipercaya adalah Al-Palimbani karena gambaran karirnya hampir seluruhnya merupakan gambaran karir Abdush Shamad al-Palimbani yang diberitakan sumber-sumber lain.
Dalam pengembaraan putra mahkota Kedah, Tengku Muhammad Jiwa ke Palembang, ia bertemu dengan Syekh Abdul Jalil dan berguru padanya, bahkan mengikutinya mengembara ke berbagai negeri sampai ke India. Dalam sebuah perjalanan mereka, Tengku Muhammad Jiwa mendapat kabar bahwa Sultan Kedah telah mangkat.
Tengku Muhammad Jiwa lalu mengajak gurunya itu (Syekh Abdul Jalil) pulang bersamanya ke negeri Kedah. Ia dinobatkan menjadi sultan pada tahun 1112 H/1700 M dan Syekh Abdul Jalil diangkat menjadi mufti Kedah dan dinikahkan dengan Wan Zainab, putri Dato’ Sri Maharaja Dewa, Sultan Kedah.
Tiga tahun kemudian Syekh Abdul Jalill kembali ke Palembang karena permintaan beberapa muridnya yang rindu padanya. Di Palembang ia menikah dengan Radin Ranti dan memperoleh putra, Abdush Shamad. Dengan demikian kemungkinan Abdush Shamad lahir tahun 1116 H/1704 M.
Sumber yang menyebutkan silsilahnya sebagai keturunan Arab tidak pernah dikonfirmasikan oleh Al-Palimbani sendiri. Jika keterangan sumber tersebut benar, tentu Al-Palimbani akan mencantumkan nama besar al-Mahdani pada akhir namanya. Ini dapat dilihat dari setiap tulisannya, ia menyebut dirinya Syekh Abdush Shamad al-Jawi al-Palimbani. Kemungkinan dalam dirinya memang mengalir darah Arab tetapi silsilah itu tidak begitu jelas atau ada mata rantai yang tidak bersambung menurut garis keturunan bapak sehingga dia tidak merasa berhak menyebut dirinya keturunan al-Mahdani dari Yaman. Dan barangkali dia lebih merasa sebagai orang Indonesia sehingga mencantumkan ‘al-Jawi‘ dan ‘al-Palimbani‘ di ujung namanya.
Al-Palimbani mengawali pendidikannya di Kedah dan Pattani (Thailand Selatan). Tidak ada penjelasan kapan dia berangkat ke Makkah melanjutkan pendidikannya. Kemungkinan besar setelah ia menginjak dewasa dan mendapat pendidikan agama yang cukup di negeri Melayu itu. Dan agaknya sebelum ke Makkah dia telah mempelajari kitab-kitab para sufi (tasawuf) Aceh, karena di dalam Sayr al-Salikin dia menyebutkan nama Syamsuddin al-Samatrani dan Abdul Rauf al-Jawi al-Fansuri (Abdul Rauf Singkel). Namun sumber lain mengatakan bahwa ia pernah bertemu dan berguru pada Syamsuddin al-Samatrani dan Abdul Rauf Singkel di Makkah.
Di Makkah dan Madinah, Al-Palimbani banyak mempelajari berbagai disiplin ilmu kepada ulama-ulama besar masa itu serta para ulama yang berkunjung ke sana. Walaupun pendidikannya sangat tuntas mengingat ragam ulama tempatnya belajar, Al-Palimbani mempunyai kecenderungan pada tasawuf. Karena itu, di samping belajar tasawuf di Masjidil-Haram, ia juga mencari guru lain dan membaca kitab-kitab tasawuf yang tidak diajarkan di sana. Dari Syekh Abdur Rahman bin Abdul ‘Aziz al-Magribi dia belajar kitab Al-Tuhfatul Mursalah (Anugerah yang Diberikan) karangan Muhammad Fadlullah al-Burhanpuri (w. 1030 H/1620 M). Dari Syekh Muhammad bin Abdul Karim al-Samman al-Madani (w. 1190 H/1776 M) ia belajar kitab tauhid (suluk) Syekh Mustafa al-Bakri (w. 1162 H/1749 M). Dan bersama Muhammad Arsyad al-Banjari, Abdul Wahab Bugis dan Abdul-Rahman Masri Al-Batawi dari Jakarta, mereka membentuk empat serangkai yang sama-sama menuntut ilmu di Makkah dan belajar tarekat di Madinah kepada Syekh Muhammad al-Samman (w. 1162 H/1749 M), juga bersama-sama dengan Dawud Al-Fatani dari Patani, Thailand Selatan.
Selama belajar pada Syekh Muhammad al-Samman, Al-Palimbani dipercaya mengajar rnurid-murid Al-Sammani yang asli orang Arab. Karena itu sepanjarig menyangkut kepatuhannya pada tarekat, Al-Palimbani banyak dipengaruhi Al-Sammani dan dari dialah Al-Palimbani mengambil tarekat Khalwatiyyah dan Sammaniyyah. Sebaliknya, melalui Al-Palimbani-lah tarekat Sammaniyyah mendapat lahan subur dan berkembang tidak hanya di Palembang tetapi juga di bagian lain wilayah Nusantara bahkan di Thailand, Malaysia, Singapura dan Filipina. Beberapa orang guru yang masyhur dan berandil besar dalam proses peningkatan intelektualitas dan spiritualitasnya antara lain Muhammad bin Abdul Karim Al-Sammani, Muhammad bin Sulayman Al-Kurdi, dan Abdul Al-Mun’im Al-Damanhuri. Juga tercatat ulama besar Ibrahim Al-Rais, Muhammad Murad, Muhammad Al-Jawhari, dan Athaullah Al-Mashri.
Al-Palimbani rnemantapkan karirnya di Haramayn (Mekkah dan Madinah) dan mencurahkan waktunya untuk menulis dan mengajar. Meski demikian dia tetap menaruh perhatian yang besar terhadap Islam dan kaum Muslimun di negeri asalnya. Di Haramayn ia terlibat dalam ‘komunitas Jawi’ yang membuatnya tetap tanggap terhadap perkembangan sosio-religius dan politik di Nusantara. Peran pentingnya tidak hanya karena keterlibatannya dalam jaringan ulama, melainkan lebih penting lagi karena tulisan-tulisannya yang tidak hanya menyebarkan ajaran-ajaran sufisme tetapi juga menghimbau kaum Muslimun melancarkan jihad melawan kolonialis Eropa, dibaca secara luas di wilayah Melayu-lndonesia. Peranan dan perhatian tersebut memantapkannya sebagai ulama asal Palembang yang paling menonjol dan paling berpengaruh melalui karya-karyanya.
Al-Palimbani berperan aktif dalam memecahkan dua persoalan pokok yang saat itu dihadapi bangsa dan tanah airnya, baik di kesultanan Palembang maupun di kepulauan Nusantara pada umumnya, yaitu menyangkut dakwah Islamiyah dan kolonialisme Barat. Mengenai dakwah Islam, ia menulis selain dua kitab tersebut di atas, yang menggabungkan mistisisme dengan syariat, ia juga menulis Tuhfah al-Ragibtn ft Sayan Haqfqah Iman al-Mukmin wa Ma Yafsiduhu fi Riddah al-Murtadin (1188). Di mana ia memperingatkan pembaca agar tidak tersesat oleh berbagai paham yang menyimpang dari Islam seperti ajaran tasawuf yang mengabaikan syariat, tradisi menyanggar (memberi sesajen) dan paham wujudiyah muthid yang sedang marak pada waktu itu. Drewes rnenyimpulkan bahwa kitab ini ditulis atas permintaan sultan Palembang, Najmuddin, atau putranya Bahauddin karena di awal kitab itu ia memang menyebutkan bahwa ia diminta seorang pembesar pada waktu itu untuk menulis kitab tersebut.
Mengenai kolonialisme Barat, Al-Palimbani menulis kitab Nasihah al-Muslimin wa tazkirah al-Mu’min fi Fadail Jihad ti Sabilillah, dalam bahasa Arab, untuk menggugah semangat jihad umat Islam sedunia. Tulisannya ini sangat berpengaruh pada perjuangan kaum Muslimun dalam melawan penjajahan Belanda, baik di Palembang maupun di daerah-daerah lainnya. Hikayat Perang Sabil-nya Tengku Cik di Tiro dikabarkan juga mengutip kitab tersebut.
Masalah jihad fi sabililiah sangat banyak dibicarakan Al-Palimbani. Pada tahun 1772 M, ia mengirim dua pucuk surat kepada Sultan Mataram (Hamengkubuwono I) dan Pangeran Singasari Susuhunan Prabu Jaka yang secara halus menganjurkan pemimpin-pemimpin negeri Islam itu meneruskan perjuangan para Sultan Mataram melawan Belanda.
Mengenai tahun wafatnya juga tidak diketahui dengan pasti. Al-Tarikh Salasilah Negeri Kendah menyebutkan tahun 1244 H/1828 M. Namun kebanyakan peneliti lebih cenderung menduga ia wafat tidak berapa lama setelah meyelesaikan Sayr al-Salikin (1203 H/1788 M). Argumen mereka, Sayr al-Salikin adalah karya terakhirnya dan jika dia masih hidup sampai 1788 M kemungkinan dia masih tetap aktif menulis. Al-Baythar – seperti dikutip Azyumardi Azra – menyebutkan ia wafat setelah tahun 1200/1785. Namun Azyumardi Azra sendiri juga lebih cenderung mengatakan ia wafat setelah menyelesaikan Sayr al-Salikin, tahun 1788 M.
Karya Tulis Al-Palimbani
Tercatat delapan karya tulis Al-Palimbani, dua diantaranya telah dicetak ulang beberapa kali, dua hanya tinggal nama dan naskah selebihnya masih bisa ditemukan di beberapa perpustakaan, baik di Indonesia maupun di Eropa. Pada umumnya karya tersebut meliputi bidang tauhid, tasawuf dan anjuran untuk berjihad. Karya-karya Al-Palirnbani selain empat buah yang telah disebutkan di atas adalah:
Zuhrah al-Murid fi Bayan Kalimah al-Tauhid, ditulis pada 1178 H/1764 M di Makkah dalam bahasa Melayu, memuat masalah tauhid yang ditulisnya atas perrnintaan pelajar Indonesia yang belurn menguasai bahasa Arab.
Al-‘Uwah al-Wusqa wa Silsilah Ulil-Ittiqa’, ditulis dalam bahasa Arab, berisikan wirid-wirid yang perlu dibaca pada waktu-waktu tertentu.
Ratib ‘Abdal-Samad, semacam buku saku yang berisi zikir, puji-pujian dan doa yang dilakukan setelah shalat Isya. Pada dasarnya isi kitab ini hampir sama dengan yang terdapat pada Ratib Samman.
Zad al-Muttaqin fi Tauhid Rabb al-‘Alamin, berisi ringkasan ajaran tauhid yang disampaikan oleh Syekh Muhammad al-Samman di Madinah.
Mengenai Hidayah al-Salikin yang ditulisnya dalam bahasa Melayu pada 1192 H/1778 M, sering disebut sebagai terjemahan dari Bidayah al-Hidayah karya Al-Ghazali. Tetapi di samping menerjemahkannya, Al-Palimbani juga membahas berbagai masalah yang dianggapnya penting di dalam buku itu dengan mengutip pendapat Al-Ghazali dari kitab-kitab lain dan para sufi yang lainnya. Di sini ia menyajikan suatu sistem ajaran tasawuf yang memusatkan perhatian pada cara pencapaian ma’rifah kesufian melalui pembersihan batin dan penghayatan ibadah menurut syariat Islam.
Sedangkan Sayr al-Salikin yang terdiri dari empat bagian, juga berbahasa Melayu, ditulisnya di dua kota, yaitu Makkah dan Ta’if, 1779 hingga 1788. Kitab ini selain berisi terjemahan Lubab Ihya’ Ulum al-Din karya Al-Ghazali, juga memuat beberapa masalah lain yang diambilnya dari kitab-kitab lain. Semua karya tulisnya tersebut masih dijumpai di Perpustakaan Nasional Jakarta. (disarikan dari berbagai sumber dan portal palembang.
1 note · View note
belajarislamonline · 5 years ago
Link
Pengembaraan Intelektual.
Bagian 1.
By. Idrus Abidin.
Tulisan ini memadukan antara :
1. Sikap Intelektual Islam Liberal (Mengurai Kejumudan Berfikir, Merusak Citra Agama Atas Nama Pembaharuan). 2. Sikap Intelektual Islam Moderat (Pembaharuan Islam Ala Klasik). Modern tanpa kebablasan. 3. Pengalaman real lapangan.
Titik sentral Pembaharuan (tajdid) yang digelorakan oleh kalangan muslim liberal dunia, termasuk di Indonesia; bertumpu pada realitas. Realitas tersebut umumnya berdasarkan pengertian Barat (Wordfiew) sekuler; termasuk prinsip praktis yang digunakan dalam membaca teks-teks syari’at (framework). Sehingga Islam dibaca dengan penafsiran tertentu dengan memberikan porsi keutamaan pada realitas. Bahkan, realitas tampaknya dianggap patokan pasti (qath’i), sedang teks-teks keagamaan/syariat harus mengikuti panduan realitas tersebut karena dianggap hanya sebatas perkiraan (zhanni). Itulah makna Islam sesuai dengan semangat setiap zaman dan semua tempat dalam nalar kaum liberal. Maka, jungkir baliklah standar baku prosedur memahami teks-teks keagamaan yang dipelopori oleh Nabi, sahabat, tabi’in. Prosedur baku dan terhitung sakral dalam internal Ahlu Sunnah; terutama kalangan Atsariyah. Prosedur baku tersebut dikenal dengan Tafsir bi al-Matsur dalam dunia Tafsir. Yaitu pendekatan dan prosedur pemahaman syariat mengikuti alur riwayat (atsar). Perbedaan ekstrim antara Islam kanan dan Islam kiri inilah yang melahirkan sikap saling tuduh antara dua pola dan dua kecenderungan tersebut. Islam progresif vs Islam Jumud. Islam ingklusif vs Islam Eksklusif. Islam liberal vs Islam Literal. Tampak hanya ada dua pilihan bagi publik awam dan pemula; seolah tidak ada kombinasi baru (sintesis).
Alhamdulillah, kami sudah hidup dalam ke-2 nuansa intelektual tersebut. Yang dibilang (dituduh) Islam fundamental, Literal, eksklusif, Islam Jumud dll kami selami lewat studi perbandingan madzhab di kampus biru; LIPIA, Jakarta. Semua rumpun mata kuliah di kampus ini serba berbeda tinjuan mazhabnya. Walaupun itu bertahap adanya. Di akidah misalnya, diawali dengan akidah sederhana dalam bentuk mudzakkirah (catatan pendek sekedar rangkuman) di kelas persiapan bahasa (I’dad Lughawi) dan pemantapan bahasa (Takmili). Di Fakultas syari’ah, kitab al-Qaul al-Mufidnya Syaikh Utsaimin sebagai Syarah kitab at-Tauhid Muhammad bin Abdul Wahhab dipelajari. Masih satu pendekatan. Namun, di semester 4 kalau tidak salah, perbedaan pendapat dalam ranah teologi Islam dengan pendekatan ilmu Kalam yang serba filosofis bahasanya mulai dipelajari. Kitab Aqidah Washithiyah dijadikan mata kuliah resmi. Kepala kami pun cenut-cenut membaca teks klasik itu dengan perdebatan intelektual dialektis (jadal) tingkat tinggi. Bahkan, sejak selesai fakultas syari’ah tahun 2005 hingga hari ini, masih banyak yang belum saya pahami dengan baik dari kitab tersebut. Mungkin karena nilai intelektualnya yang tinggi; terutama di kalangan Ahlu Sunnah Atsariyah. Kadang harus dihapal jawabannya walau tidak ngerti isinya sebagai pertanggungjawaban di kelas-kelas ujian.
Di fiqih dan Ushul Fikih pun sama. Awalnya satu Mazhab. Fikih Syafi’iyah yg merangkum ragam pendapat di internal mazhab tersebut ada di kitab Kifatyatul Akhyar. Sebagai Syarah dari kitab Matn Abi Syuja’. Lagi-lagi kepala cenut-cenut. Seolah bayi yang dipaksa makan nasi goreng pedes. Hehehe. Itu di Takmili. Ushul Fiqihnya pake kitab Syaikh Shalih Utsaimin. Sastra Arabnya (Balagah) yang berkategori 3 serangkai ; Badi’, Bayan dan Ma’ani tak kalah susahnya. 2 tahun pertama di I’dad Lughawi seolah merangkum 9 tahun belajar resmi di negara-negara Arab dari SD ke SMP. Sedang 1 tahun di Takmili seperti perasan ilmu 3 tahun di SMA Arab yang harus dijilat sempurna. Teks-teks sastra Arab itu seperti mantra-mantra sakti atau azimat yang berisi banyak simbol; susah dimengerti maksudnya. Bagi saya, 1 tahun di Takmili itu lebih “memenjarakan” dibanding 4 tahun di karantina fakultas syari’ah. Gramatika Arabnya (Nahwu) memakai standar Alfiyah Ibnu Malik yang disederhanakan penjelasannya oleh kementerian pendidikan Arab Saudi.
Di Fakultas Syari’ah, semuanya perbedaan pendapat. Hanya sejarah Dakwah Imam Abdul Wahhab saja yang rada-rada standar. Mata kuliah lain serba njelimet. Ushul Fiqih make Raudhatu an-Nazhir karya Ibnu Qudamah. Rekaman dialektik antara Mazhab fuqaha dan mutakkalimin hadir bagai sinetron persilatan Bramakumbara atau Tuturtinular atau sejenisnya di Indonesia. Seru tapi berat. Muktazilah pun selalu ikut serta dalam diskusi ala Indonesia Lawyers Club (ILC) itu. Tampak jauh berbeda dengan muktazilah plus hari ini yang doyan banget dg pluralisme agama. Di Fiqih, kitab Bidayatul Mujtahid karya filosof Ibnu Rusyd dipake. Tambah mumet kepala gue dg beragam perbedaan Mazhab. Di Hadits Hukum, buku Subulussalam; Syarah kitab Bulugulb Maram dijadikan panduan kuliah. Mazhab resmi Syi’ah Zaidiyah dijadikan Mazhab ke-5 oleh Imam ash-Sha’nani. So, jangan anggap anak-anak LIPIA hanya belajar Sunnah tanpa tahu Syi’ah loh ya; terutama di ranah Fiqih.
Di mata kuliah Tafsir pun lagi-lagi perbedaan yang tampak. Pendekatan riwayat (ma’tsur) dan metode rasional (dirayah) ikut meramaikan mata kuliah di ranah tafsir ini. Walaupun kadar jelimetnya lumayan standar. Di pelatihan penulisan karya ilmiah berupa skripsi di Indonesia, malah di Lipia 3 x (semester 4, 6 dan 8). Tentunya pake bahasa Arab resmi. Yaaah… Itulah sekelumit pengembaraan intelektual kami di Islam tekstual kata para kaum liberal. Saya termasuk bersyukur (puas dan bangga) pernah “babak belur” dalam gemblengan naskah-naskah klasik ulama masa lalu di kampus biru itu (Kampus Arab Rasa Indonesia). Walaupun saya sendiri biasa-biasa aja ilmunya. Tidak sepertii alumni lain yang telah menasional, bahkan internasional ; Ust. Anis Matta, Ust. Bahtiar Nasir, Ust. Zaitun Rasmin, (Trio Sul Sel). Ust. KH Dr. Asrorun Ni’am dan KH. Dr. Kholil Nafis di NU, Ust. Ahmad Heryawan, dll. Silahkan ditambahkan gaes ! Hehehe
Tumblr media
6 tahun lamanya penjara ilmiah itu kualami dengan beragam rasa (nano-nano kali
Tumblr media
). Hingga kampus itu kontraksi, lahirlah daku sebagai salah satu sarjana alam ghaib (selevel S.Ag di kampus nasional). 6 tahun lamanya, seperti masa studi fakultas kedokteran, tapi beda jurusan. Mereka di Kesehatan biologis, kami di kesehatan psikologis keislaman
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Catatan :
1. Pengembaraan intelektual di Dunia Akademik “Progresif” ala liberal ntar nyusul aja ya. Biar ga kepanjangan dan ga ngebosenin.
Bersambung. In syaa Allah.
Pagi di Jum’at Berkah, 3 April 2020 (9 Sya’ban 1441 H.)
Baca selengkapnya di: http://almanar.co.id/pengembaraan-intelektual.html
0 notes
belajarislamonline · 5 years ago
Link
Pengembaraan Intelektual.
Bagian 1.
By. Idrus Abidin.
Tulisan ini memadukan antara :
1. Sikap Intelektual Islam Liberal (Mengurai Kejumudan Berfikir, Merusak Citra Agama Atas Nama Pembaharuan). 2. Sikap Intelektual Islam Moderat (Pembaharuan Islam Ala Klasik). Modern tanpa kebablasan. 3. Pengalaman real lapangan.
Titik sentral Pembaharuan (tajdid) yang digelorakan oleh kalangan muslim liberal dunia, termasuk di Indonesia; bertumpu pada realitas. Realitas tersebut umumnya berdasarkan pengertian Barat (Wordfiew) sekuler; termasuk prinsip praktis yang digunakan dalam membaca teks-teks syari’at (framework). Sehingga Islam dibaca dengan penafsiran tertentu dengan memberikan porsi keutamaan pada realitas. Bahkan, realitas tampaknya dianggap patokan pasti (qath’i), sedang teks-teks keagamaan/syariat harus mengikuti panduan realitas tersebut karena dianggap hanya sebatas perkiraan (zhanni). Itulah makna Islam sesuai dengan semangat setiap zaman dan semua tempat dalam nalar kaum liberal. Maka, jungkir baliklah standar baku prosedur memahami teks-teks keagamaan yang dipelopori oleh Nabi, sahabat, tabi’in. Prosedur baku dan terhitung sakral dalam internal Ahlu Sunnah; terutama kalangan Atsariyah. Prosedur baku tersebut dikenal dengan Tafsir bi al-Matsur dalam dunia Tafsir. Yaitu pendekatan dan prosedur pemahaman syariat mengikuti alur riwayat (atsar). Perbedaan ekstrim antara Islam kanan dan Islam kiri inilah yang melahirkan sikap saling tuduh antara dua pola dan dua kecenderungan tersebut. Islam progresif vs Islam Jumud. Islam ingklusif vs Islam Eksklusif. Islam liberal vs Islam Literal. Tampak hanya ada dua pilihan bagi publik awam dan pemula; seolah tidak ada kombinasi baru (sintesis).
Alhamdulillah, kami sudah hidup dalam ke-2 nuansa intelektual tersebut. Yang dibilang (dituduh) Islam fundamental, Literal, eksklusif, Islam Jumud dll kami selami lewat studi perbandingan madzhab di kampus biru; LIPIA, Jakarta. Semua rumpun mata kuliah di kampus ini serba berbeda tinjuan mazhabnya. Walaupun itu bertahap adanya. Di akidah misalnya, diawali dengan akidah sederhana dalam bentuk mudzakkirah (catatan pendek sekedar rangkuman) di kelas persiapan bahasa (I’dad Lughawi) dan pemantapan bahasa (Takmili). Di Fakultas syari’ah, kitab al-Qaul al-Mufidnya Syaikh Utsaimin sebagai Syarah kitab at-Tauhid Muhammad bin Abdul Wahhab dipelajari. Masih satu pendekatan. Namun, di semester 4 kalau tidak salah, perbedaan pendapat dalam ranah teologi Islam dengan pendekatan ilmu Kalam yang serba filosofis bahasanya mulai dipelajari. Kitab Aqidah Washithiyah dijadikan mata kuliah resmi. Kepala kami pun cenut-cenut membaca teks klasik itu dengan perdebatan intelektual dialektis (jadal) tingkat tinggi. Bahkan, sejak selesai fakultas syari’ah tahun 2005 hingga hari ini, masih banyak yang belum saya pahami dengan baik dari kitab tersebut. Mungkin karena nilai intelektualnya yang tinggi; terutama di kalangan Ahlu Sunnah Atsariyah. Kadang harus dihapal jawabannya walau tidak ngerti isinya sebagai pertanggungjawaban di kelas-kelas ujian.
Di fiqih dan Ushul Fikih pun sama. Awalnya satu Mazhab. Fikih Syafi’iyah yg merangkum ragam pendapat di internal mazhab tersebut ada di kitab Kifatyatul Akhyar. Sebagai Syarah dari kitab Matn Abi Syuja’. Lagi-lagi kepala cenut-cenut. Seolah bayi yang dipaksa makan nasi goreng pedes. Hehehe. Itu di Takmili. Ushul Fiqihnya pake kitab Syaikh Shalih Utsaimin. Sastra Arabnya (Balagah) yang berkategori 3 serangkai ; Badi’, Bayan dan Ma’ani tak kalah susahnya. 2 tahun pertama di I’dad Lughawi seolah merangkum 9 tahun belajar resmi di negara-negara Arab dari SD ke SMP. Sedang 1 tahun di Takmili seperti perasan ilmu 3 tahun di SMA Arab yang harus dijilat sempurna. Teks-teks sastra Arab itu seperti mantra-mantra sakti atau azimat yang berisi banyak simbol; susah dimengerti maksudnya. Bagi saya, 1 tahun di Takmili itu lebih “memenjarakan” dibanding 4 tahun di karantina fakultas syari’ah. Gramatika Arabnya (Nahwu) memakai standar Alfiyah Ibnu Malik yang disederhanakan penjelasannya oleh kementerian pendidikan Arab Saudi.
Di Fakultas Syari’ah, semuanya perbedaan pendapat. Hanya sejarah Dakwah Imam Abdul Wahhab saja yang rada-rada standar. Mata kuliah lain serba njelimet. Ushul Fiqih make Raudhatu an-Nazhir karya Ibnu Qudamah. Rekaman dialektik antara Mazhab fuqaha dan mutakkalimin hadir bagai sinetron persilatan Bramakumbara atau Tuturtinular atau sejenisnya di Indonesia. Seru tapi berat. Muktazilah pun selalu ikut serta dalam diskusi ala Indonesia Lawyers Club (ILC) itu. Tampak jauh berbeda dengan muktazilah plus hari ini yang doyan banget dg pluralisme agama. Di Fiqih, kitab Bidayatul Mujtahid karya filosof Ibnu Rusyd dipake. Tambah mumet kepala gue dg beragam perbedaan Mazhab. Di Hadits Hukum, buku Subulussalam; Syarah kitab Bulugulb Maram dijadikan panduan kuliah. Mazhab resmi Syi’ah Zaidiyah dijadikan Mazhab ke-5 oleh Imam ash-Sha’nani. So, jangan anggap anak-anak LIPIA hanya belajar Sunnah tanpa tahu Syi’ah loh ya; terutama di ranah Fiqih.
Di mata kuliah Tafsir pun lagi-lagi perbedaan yang tampak. Pendekatan riwayat (ma’tsur) dan metode rasional (dirayah) ikut meramaikan mata kuliah di ranah tafsir ini. Walaupun kadar jelimetnya lumayan standar. Di pelatihan penulisan karya ilmiah berupa skripsi di Indonesia, malah di Lipia 3 x (semester 4, 6 dan 8). Tentunya pake bahasa Arab resmi. Yaaah… Itulah sekelumit pengembaraan intelektual kami di Islam tekstual kata para kaum liberal. Saya termasuk bersyukur (puas dan bangga) pernah “babak belur” dalam gemblengan naskah-naskah klasik ulama masa lalu di kampus biru itu (Kampus Arab Rasa Indonesia). Walaupun saya sendiri biasa-biasa aja ilmunya. Tidak sepertii alumni lain yang telah menasional, bahkan internasional ; Ust. Anis Matta, Ust. Bahtiar Nasir, Ust. Zaitun Rasmin, (Trio Sul Sel). Ust. KH Dr. Asrorun Ni’am dan KH. Dr. Kholil Nafis di NU, Ust. Ahmad Heryawan, dll. Silahkan ditambahkan gaes ! Hehehe
Tumblr media
6 tahun lamanya penjara ilmiah itu kualami dengan beragam rasa (nano-nano kali
Tumblr media
). Hingga kampus itu kontraksi, lahirlah daku sebagai salah satu sarjana alam ghaib (selevel S.Ag di kampus nasional). 6 tahun lamanya, seperti masa studi fakultas kedokteran, tapi beda jurusan. Mereka di Kesehatan biologis, kami di kesehatan psikologis keislaman
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Catatan :
1. Pengembaraan intelektual di Dunia Akademik “Progresif” ala liberal ntar nyusul aja ya. Biar ga kepanjangan dan ga ngebosenin.
Bersambung. In syaa Allah.
Pagi di Jum’at Berkah, 3 April 2020 (9 Sya’ban 1441 H.)
Baca selengkapnya di: http://almanar.co.id/pengembaraan-intelektual.html
0 notes
belajarislamonline · 5 years ago
Link
Pengembaraan Intelektual.
Bagian 1.
By. Idrus Abidin.
Tulisan ini memadukan antara :
1. Sikap Intelektual Islam Liberal (Mengurai Kejumudan Berfikir, Merusak Citra Agama Atas Nama Pembaharuan). 2. Sikap Intelektual Islam Moderat (Pembaharuan Islam Ala Klasik). Modern tanpa kebablasan. 3. Pengalaman real lapangan.
Titik sentral Pembaharuan (tajdid) yang digelorakan oleh kalangan muslim liberal dunia, termasuk di Indonesia; bertumpu pada realitas. Realitas tersebut umumnya berdasarkan pengertian Barat (Wordfiew) sekuler; termasuk prinsip praktis yang digunakan dalam membaca teks-teks syari’at (framework). Sehingga Islam dibaca dengan penafsiran tertentu dengan memberikan porsi keutamaan pada realitas. Bahkan, realitas tampaknya dianggap patokan pasti (qath’i), sedang teks-teks keagamaan/syariat harus mengikuti panduan realitas tersebut karena dianggap hanya sebatas perkiraan (zhanni). Itulah makna Islam sesuai dengan semangat setiap zaman dan semua tempat dalam nalar kaum liberal. Maka, jungkir baliklah standar baku prosedur memahami teks-teks keagamaan yang dipelopori oleh Nabi, sahabat, tabi’in. Prosedur baku dan terhitung sakral dalam internal Ahlu Sunnah; terutama kalangan Atsariyah. Prosedur baku tersebut dikenal dengan Tafsir bi al-Matsur dalam dunia Tafsir. Yaitu pendekatan dan prosedur pemahaman syariat mengikuti alur riwayat (atsar). Perbedaan ekstrim antara Islam kanan dan Islam kiri inilah yang melahirkan sikap saling tuduh antara dua pola dan dua kecenderungan tersebut. Islam progresif vs Islam Jumud. Islam ingklusif vs Islam Eksklusif. Islam liberal vs Islam Literal. Tampak hanya ada dua pilihan bagi publik awam dan pemula; seolah tidak ada kombinasi baru (sintesis).
Alhamdulillah, kami sudah hidup dalam ke-2 nuansa intelektual tersebut. Yang dibilang (dituduh) Islam fundamental, Literal, eksklusif, Islam Jumud dll kami selami lewat studi perbandingan madzhab di kampus biru; LIPIA, Jakarta. Semua rumpun mata kuliah di kampus ini serba berbeda tinjuan mazhabnya. Walaupun itu bertahap adanya. Di akidah misalnya, diawali dengan akidah sederhana dalam bentuk mudzakkirah (catatan pendek sekedar rangkuman) di kelas persiapan bahasa (I’dad Lughawi) dan pemantapan bahasa (Takmili). Di Fakultas syari’ah, kitab al-Qaul al-Mufidnya Syaikh Utsaimin sebagai Syarah kitab at-Tauhid Muhammad bin Abdul Wahhab dipelajari. Masih satu pendekatan. Namun, di semester 4 kalau tidak salah, perbedaan pendapat dalam ranah teologi Islam dengan pendekatan ilmu Kalam yang serba filosofis bahasanya mulai dipelajari. Kitab Aqidah Washithiyah dijadikan mata kuliah resmi. Kepala kami pun cenut-cenut membaca teks klasik itu dengan perdebatan intelektual dialektis (jadal) tingkat tinggi. Bahkan, sejak selesai fakultas syari’ah tahun 2005 hingga hari ini, masih banyak yang belum saya pahami dengan baik dari kitab tersebut. Mungkin karena nilai intelektualnya yang tinggi; terutama di kalangan Ahlu Sunnah Atsariyah. Kadang harus dihapal jawabannya walau tidak ngerti isinya sebagai pertanggungjawaban di kelas-kelas ujian.
Di fiqih dan Ushul Fikih pun sama. Awalnya satu Mazhab. Fikih Syafi’iyah yg merangkum ragam pendapat di internal mazhab tersebut ada di kitab Kifatyatul Akhyar. Sebagai Syarah dari kitab Matn Abi Syuja’. Lagi-lagi kepala cenut-cenut. Seolah bayi yang dipaksa makan nasi goreng pedes. Hehehe. Itu di Takmili. Ushul Fiqihnya pake kitab Syaikh Shalih Utsaimin. Sastra Arabnya (Balagah) yang berkategori 3 serangkai ; Badi’, Bayan dan Ma’ani tak kalah susahnya. 2 tahun pertama di I’dad Lughawi seolah merangkum 9 tahun belajar resmi di negara-negara Arab dari SD ke SMP. Sedang 1 tahun di Takmili seperti perasan ilmu 3 tahun di SMA Arab yang harus dijilat sempurna. Teks-teks sastra Arab itu seperti mantra-mantra sakti atau azimat yang berisi banyak simbol; susah dimengerti maksudnya. Bagi saya, 1 tahun di Takmili itu lebih “memenjarakan” dibanding 4 tahun di karantina fakultas syari’ah. Gramatika Arabnya (Nahwu) memakai standar Alfiyah Ibnu Malik yang disederhanakan penjelasannya oleh kementerian pendidikan Arab Saudi.
Di Fakultas Syari’ah, semuanya perbedaan pendapat. Hanya sejarah Dakwah Imam Abdul Wahhab saja yang rada-rada standar. Mata kuliah lain serba njelimet. Ushul Fiqih make Raudhatu an-Nazhir karya Ibnu Qudamah. Rekaman dialektik antara Mazhab fuqaha dan mutakkalimin hadir bagai sinetron persilatan Bramakumbara atau Tuturtinular atau sejenisnya di Indonesia. Seru tapi berat. Muktazilah pun selalu ikut serta dalam diskusi ala Indonesia Lawyers Club (ILC) itu. Tampak jauh berbeda dengan muktazilah plus hari ini yang doyan banget dg pluralisme agama. Di Fiqih, kitab Bidayatul Mujtahid karya filosof Ibnu Rusyd dipake. Tambah mumet kepala gue dg beragam perbedaan Mazhab. Di Hadits Hukum, buku Subulussalam; Syarah kitab Bulugulb Maram dijadikan panduan kuliah. Mazhab resmi Syi’ah Zaidiyah dijadikan Mazhab ke-5 oleh Imam ash-Sha’nani. So, jangan anggap anak-anak LIPIA hanya belajar Sunnah tanpa tahu Syi’ah loh ya; terutama di ranah Fiqih.
Di mata kuliah Tafsir pun lagi-lagi perbedaan yang tampak. Pendekatan riwayat (ma’tsur) dan metode rasional (dirayah) ikut meramaikan mata kuliah di ranah tafsir ini. Walaupun kadar jelimetnya lumayan standar. Di pelatihan penulisan karya ilmiah berupa skripsi di Indonesia, malah di Lipia 3 x (semester 4, 6 dan 8). Tentunya pake bahasa Arab resmi. Yaaah… Itulah sekelumit pengembaraan intelektual kami di Islam tekstual kata para kaum liberal. Saya termasuk bersyukur (puas dan bangga) pernah “babak belur” dalam gemblengan naskah-naskah klasik ulama masa lalu di kampus biru itu (Kampus Arab Rasa Indonesia). Walaupun saya sendiri biasa-biasa aja ilmunya. Tidak sepertii alumni lain yang telah menasional, bahkan internasional ; Ust. Anis Matta, Ust. Bahtiar Nasir, Ust. Zaitun Rasmin, (Trio Sul Sel). Ust. KH Dr. Asrorun Ni’am dan KH. Dr. Kholil Nafis di NU, Ust. Ahmad Heryawan, dll. Silahkan ditambahkan gaes ! Hehehe
Tumblr media
6 tahun lamanya penjara ilmiah itu kualami dengan beragam rasa (nano-nano kali
Tumblr media
). Hingga kampus itu kontraksi, lahirlah daku sebagai salah satu sarjana alam ghaib (selevel S.Ag di kampus nasional). 6 tahun lamanya, seperti masa studi fakultas kedokteran, tapi beda jurusan. Mereka di Kesehatan biologis, kami di kesehatan psikologis keislaman
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Catatan :
1. Pengembaraan intelektual di Dunia Akademik “Progresif” ala liberal ntar nyusul aja ya. Biar ga kepanjangan dan ga ngebosenin.
Bersambung. In syaa Allah.
Pagi di Jum’at Berkah, 3 April 2020 (9 Sya’ban 1441 H.)
Baca selengkapnya di: http://almanar.co.id/pengembaraan-intelektual.html
0 notes
belajarislamonline · 5 years ago
Link
Pengembaraan Intelektual.
Bagian 1.
By. Idrus Abidin.
Tulisan ini memadukan antara :
1. Sikap Intelektual Islam Liberal (Mengurai Kejumudan Berfikir, Merusak Citra Agama Atas Nama Pembaharuan). 2. Sikap Intelektual Islam Moderat (Pembaharuan Islam Ala Klasik). Modern tanpa kebablasan. 3. Pengalaman real lapangan.
Titik sentral Pembaharuan (tajdid) yang digelorakan oleh kalangan muslim liberal dunia, termasuk di Indonesia; bertumpu pada realitas. Realitas tersebut umumnya berdasarkan pengertian Barat (Wordfiew) sekuler; termasuk prinsip praktis yang digunakan dalam membaca teks-teks syari’at (framework). Sehingga Islam dibaca dengan penafsiran tertentu dengan memberikan porsi keutamaan pada realitas. Bahkan, realitas tampaknya dianggap patokan pasti (qath’i), sedang teks-teks keagamaan/syariat harus mengikuti panduan realitas tersebut karena dianggap hanya sebatas perkiraan (zhanni). Itulah makna Islam sesuai dengan semangat setiap zaman dan semua tempat dalam nalar kaum liberal. Maka, jungkir baliklah standar baku prosedur memahami teks-teks keagamaan yang dipelopori oleh Nabi, sahabat, tabi’in. Prosedur baku dan terhitung sakral dalam internal Ahlu Sunnah; terutama kalangan Atsariyah. Prosedur baku tersebut dikenal dengan Tafsir bi al-Matsur dalam dunia Tafsir. Yaitu pendekatan dan prosedur pemahaman syariat mengikuti alur riwayat (atsar). Perbedaan ekstrim antara Islam kanan dan Islam kiri inilah yang melahirkan sikap saling tuduh antara dua pola dan dua kecenderungan tersebut. Islam progresif vs Islam Jumud. Islam ingklusif vs Islam Eksklusif. Islam liberal vs Islam Literal. Tampak hanya ada dua pilihan bagi publik awam dan pemula; seolah tidak ada kombinasi baru (sintesis).
Alhamdulillah, kami sudah hidup dalam ke-2 nuansa intelektual tersebut. Yang dibilang (dituduh) Islam fundamental, Literal, eksklusif, Islam Jumud dll kami selami lewat studi perbandingan madzhab di kampus biru; LIPIA, Jakarta. Semua rumpun mata kuliah di kampus ini serba berbeda tinjuan mazhabnya. Walaupun itu bertahap adanya. Di akidah misalnya, diawali dengan akidah sederhana dalam bentuk mudzakkirah (catatan pendek sekedar rangkuman) di kelas persiapan bahasa (I’dad Lughawi) dan pemantapan bahasa (Takmili). Di Fakultas syari’ah, kitab al-Qaul al-Mufidnya Syaikh Utsaimin sebagai Syarah kitab at-Tauhid Muhammad bin Abdul Wahhab dipelajari. Masih satu pendekatan. Namun, di semester 4 kalau tidak salah, perbedaan pendapat dalam ranah teologi Islam dengan pendekatan ilmu Kalam yang serba filosofis bahasanya mulai dipelajari. Kitab Aqidah Washithiyah dijadikan mata kuliah resmi. Kepala kami pun cenut-cenut membaca teks klasik itu dengan perdebatan intelektual dialektis (jadal) tingkat tinggi. Bahkan, sejak selesai fakultas syari’ah tahun 2005 hingga hari ini, masih banyak yang belum saya pahami dengan baik dari kitab tersebut. Mungkin karena nilai intelektualnya yang tinggi; terutama di kalangan Ahlu Sunnah Atsariyah. Kadang harus dihapal jawabannya walau tidak ngerti isinya sebagai pertanggungjawaban di kelas-kelas ujian.
Di fiqih dan Ushul Fikih pun sama. Awalnya satu Mazhab. Fikih Syafi’iyah yg merangkum ragam pendapat di internal mazhab tersebut ada di kitab Kifatyatul Akhyar. Sebagai Syarah dari kitab Matn Abi Syuja’. Lagi-lagi kepala cenut-cenut. Seolah bayi yang dipaksa makan nasi goreng pedes. Hehehe. Itu di Takmili. Ushul Fiqihnya pake kitab Syaikh Shalih Utsaimin. Sastra Arabnya (Balagah) yang berkategori 3 serangkai ; Badi’, Bayan dan Ma’ani tak kalah susahnya. 2 tahun pertama di I’dad Lughawi seolah merangkum 9 tahun belajar resmi di negara-negara Arab dari SD ke SMP. Sedang 1 tahun di Takmili seperti perasan ilmu 3 tahun di SMA Arab yang harus dijilat sempurna. Teks-teks sastra Arab itu seperti mantra-mantra sakti atau azimat yang berisi banyak simbol; susah dimengerti maksudnya. Bagi saya, 1 tahun di Takmili itu lebih “memenjarakan” dibanding 4 tahun di karantina fakultas syari’ah. Gramatika Arabnya (Nahwu) memakai standar Alfiyah Ibnu Malik yang disederhanakan penjelasannya oleh kementerian pendidikan Arab Saudi.
Di Fakultas Syari’ah, semuanya perbedaan pendapat. Hanya sejarah Dakwah Imam Abdul Wahhab saja yang rada-rada standar. Mata kuliah lain serba njelimet. Ushul Fiqih make Raudhatu an-Nazhir karya Ibnu Qudamah. Rekaman dialektik antara Mazhab fuqaha dan mutakkalimin hadir bagai sinetron persilatan Bramakumbara atau Tuturtinular atau sejenisnya di Indonesia. Seru tapi berat. Muktazilah pun selalu ikut serta dalam diskusi ala Indonesia Lawyers Club (ILC) itu. Tampak jauh berbeda dengan muktazilah plus hari ini yang doyan banget dg pluralisme agama. Di Fiqih, kitab Bidayatul Mujtahid karya filosof Ibnu Rusyd dipake. Tambah mumet kepala gue dg beragam perbedaan Mazhab. Di Hadits Hukum, buku Subulussalam; Syarah kitab Bulugulb Maram dijadikan panduan kuliah. Mazhab resmi Syi’ah Zaidiyah dijadikan Mazhab ke-5 oleh Imam ash-Sha’nani. So, jangan anggap anak-anak LIPIA hanya belajar Sunnah tanpa tahu Syi’ah loh ya; terutama di ranah Fiqih.
Di mata kuliah Tafsir pun lagi-lagi perbedaan yang tampak. Pendekatan riwayat (ma’tsur) dan metode rasional (dirayah) ikut meramaikan mata kuliah di ranah tafsir ini. Walaupun kadar jelimetnya lumayan standar. Di pelatihan penulisan karya ilmiah berupa skripsi di Indonesia, malah di Lipia 3 x (semester 4, 6 dan 8). Tentunya pake bahasa Arab resmi. Yaaah… Itulah sekelumit pengembaraan intelektual kami di Islam tekstual kata para kaum liberal. Saya termasuk bersyukur (puas dan bangga) pernah “babak belur” dalam gemblengan naskah-naskah klasik ulama masa lalu di kampus biru itu (Kampus Arab Rasa Indonesia). Walaupun saya sendiri biasa-biasa aja ilmunya. Tidak sepertii alumni lain yang telah menasional, bahkan internasional ; Ust. Anis Matta, Ust. Bahtiar Nasir, Ust. Zaitun Rasmin, (Trio Sul Sel). Ust. KH Dr. Asrorun Ni’am dan KH. Dr. Kholil Nafis di NU, Ust. Ahmad Heryawan, dll. Silahkan ditambahkan gaes ! Hehehe
Tumblr media
6 tahun lamanya penjara ilmiah itu kualami dengan beragam rasa (nano-nano kali
Tumblr media
). Hingga kampus itu kontraksi, lahirlah daku sebagai salah satu sarjana alam ghaib (selevel S.Ag di kampus nasional). 6 tahun lamanya, seperti masa studi fakultas kedokteran, tapi beda jurusan. Mereka di Kesehatan biologis, kami di kesehatan psikologis keislaman
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Catatan :
1. Pengembaraan intelektual di Dunia Akademik “Progresif” ala liberal ntar nyusul aja ya. Biar ga kepanjangan dan ga ngebosenin.
Bersambung. In syaa Allah.
Pagi di Jum’at Berkah, 3 April 2020 (9 Sya’ban 1441 H.)
Baca selengkapnya di: http://almanar.co.id/pengembaraan-intelektual.html
0 notes
belajarislamonline · 5 years ago
Link
Pengembaraan Intelektual.
Bagian 1.
By. Idrus Abidin.
Tulisan ini memadukan antara :
1. Sikap Intelektual Islam Liberal (Mengurai Kejumudan Berfikir, Merusak Citra Agama Atas Nama Pembaharuan). 2. Sikap Intelektual Islam Moderat (Pembaharuan Islam Ala Klasik). Modern tanpa kebablasan. 3. Pengalaman real lapangan.
Titik sentral Pembaharuan (tajdid) yang digelorakan oleh kalangan muslim liberal dunia, termasuk di Indonesia; bertumpu pada realitas. Realitas tersebut umumnya berdasarkan pengertian Barat (Wordfiew) sekuler; termasuk prinsip praktis yang digunakan dalam membaca teks-teks syari’at (framework). Sehingga Islam dibaca dengan penafsiran tertentu dengan memberikan porsi keutamaan pada realitas. Bahkan, realitas tampaknya dianggap patokan pasti (qath’i), sedang teks-teks keagamaan/syariat harus mengikuti panduan realitas tersebut karena dianggap hanya sebatas perkiraan (zhanni). Itulah makna Islam sesuai dengan semangat setiap zaman dan semua tempat dalam nalar kaum liberal. Maka, jungkir baliklah standar baku prosedur memahami teks-teks keagamaan yang dipelopori oleh Nabi, sahabat, tabi’in. Prosedur baku dan terhitung sakral dalam internal Ahlu Sunnah; terutama kalangan Atsariyah. Prosedur baku tersebut dikenal dengan Tafsir bi al-Matsur dalam dunia Tafsir. Yaitu pendekatan dan prosedur pemahaman syariat mengikuti alur riwayat (atsar). Perbedaan ekstrim antara Islam kanan dan Islam kiri inilah yang melahirkan sikap saling tuduh antara dua pola dan dua kecenderungan tersebut. Islam progresif vs Islam Jumud. Islam ingklusif vs Islam Eksklusif. Islam liberal vs Islam Literal. Tampak hanya ada dua pilihan bagi publik awam dan pemula; seolah tidak ada kombinasi baru (sintesis).
Alhamdulillah, kami sudah hidup dalam ke-2 nuansa intelektual tersebut. Yang dibilang (dituduh) Islam fundamental, Literal, eksklusif, Islam Jumud dll kami selami lewat studi perbandingan madzhab di kampus biru; LIPIA, Jakarta. Semua rumpun mata kuliah di kampus ini serba berbeda tinjuan mazhabnya. Walaupun itu bertahap adanya. Di akidah misalnya, diawali dengan akidah sederhana dalam bentuk mudzakkirah (catatan pendek sekedar rangkuman) di kelas persiapan bahasa (I’dad Lughawi) dan pemantapan bahasa (Takmili). Di Fakultas syari’ah, kitab al-Qaul al-Mufidnya Syaikh Utsaimin sebagai Syarah kitab at-Tauhid Muhammad bin Abdul Wahhab dipelajari. Masih satu pendekatan. Namun, di semester 4 kalau tidak salah, perbedaan pendapat dalam ranah teologi Islam dengan pendekatan ilmu Kalam yang serba filosofis bahasanya mulai dipelajari. Kitab Aqidah Washithiyah dijadikan mata kuliah resmi. Kepala kami pun cenut-cenut membaca teks klasik itu dengan perdebatan intelektual dialektis (jadal) tingkat tinggi. Bahkan, sejak selesai fakultas syari’ah tahun 2005 hingga hari ini, masih banyak yang belum saya pahami dengan baik dari kitab tersebut. Mungkin karena nilai intelektualnya yang tinggi; terutama di kalangan Ahlu Sunnah Atsariyah. Kadang harus dihapal jawabannya walau tidak ngerti isinya sebagai pertanggungjawaban di kelas-kelas ujian.
Di fiqih dan Ushul Fikih pun sama. Awalnya satu Mazhab. Fikih Syafi’iyah yg merangkum ragam pendapat di internal mazhab tersebut ada di kitab Kifatyatul Akhyar. Sebagai Syarah dari kitab Matn Abi Syuja’. Lagi-lagi kepala cenut-cenut. Seolah bayi yang dipaksa makan nasi goreng pedes. Hehehe. Itu di Takmili. Ushul Fiqihnya pake kitab Syaikh Shalih Utsaimin. Sastra Arabnya (Balagah) yang berkategori 3 serangkai ; Badi’, Bayan dan Ma’ani tak kalah susahnya. 2 tahun pertama di I’dad Lughawi seolah merangkum 9 tahun belajar resmi di negara-negara Arab dari SD ke SMP. Sedang 1 tahun di Takmili seperti perasan ilmu 3 tahun di SMA Arab yang harus dijilat sempurna. Teks-teks sastra Arab itu seperti mantra-mantra sakti atau azimat yang berisi banyak simbol; susah dimengerti maksudnya. Bagi saya, 1 tahun di Takmili itu lebih “memenjarakan” dibanding 4 tahun di karantina fakultas syari’ah. Gramatika Arabnya (Nahwu) memakai standar Alfiyah Ibnu Malik yang disederhanakan penjelasannya oleh kementerian pendidikan Arab Saudi.
Di Fakultas Syari’ah, semuanya perbedaan pendapat. Hanya sejarah Dakwah Imam Abdul Wahhab saja yang rada-rada standar. Mata kuliah lain serba njelimet. Ushul Fiqih make Raudhatu an-Nazhir karya Ibnu Qudamah. Rekaman dialektik antara Mazhab fuqaha dan mutakkalimin hadir bagai sinetron persilatan Bramakumbara atau Tuturtinular atau sejenisnya di Indonesia. Seru tapi berat. Muktazilah pun selalu ikut serta dalam diskusi ala Indonesia Lawyers Club (ILC) itu. Tampak jauh berbeda dengan muktazilah plus hari ini yang doyan banget dg pluralisme agama. Di Fiqih, kitab Bidayatul Mujtahid karya filosof Ibnu Rusyd dipake. Tambah mumet kepala gue dg beragam perbedaan Mazhab. Di Hadits Hukum, buku Subulussalam; Syarah kitab Bulugulb Maram dijadikan panduan kuliah. Mazhab resmi Syi’ah Zaidiyah dijadikan Mazhab ke-5 oleh Imam ash-Sha’nani. So, jangan anggap anak-anak LIPIA hanya belajar Sunnah tanpa tahu Syi’ah loh ya; terutama di ranah Fiqih.
Di mata kuliah Tafsir pun lagi-lagi perbedaan yang tampak. Pendekatan riwayat (ma’tsur) dan metode rasional (dirayah) ikut meramaikan mata kuliah di ranah tafsir ini. Walaupun kadar jelimetnya lumayan standar. Di pelatihan penulisan karya ilmiah berupa skripsi di Indonesia, malah di Lipia 3 x (semester 4, 6 dan 8). Tentunya pake bahasa Arab resmi. Yaaah… Itulah sekelumit pengembaraan intelektual kami di Islam tekstual kata para kaum liberal. Saya termasuk bersyukur (puas dan bangga) pernah “babak belur” dalam gemblengan naskah-naskah klasik ulama masa lalu di kampus biru itu (Kampus Arab Rasa Indonesia). Walaupun saya sendiri biasa-biasa aja ilmunya. Tidak sepertii alumni lain yang telah menasional, bahkan internasional ; Ust. Anis Matta, Ust. Bahtiar Nasir, Ust. Zaitun Rasmin, (Trio Sul Sel). Ust. KH Dr. Asrorun Ni’am dan KH. Dr. Kholil Nafis di NU, Ust. Ahmad Heryawan, dll. Silahkan ditambahkan gaes ! Hehehe
Tumblr media
6 tahun lamanya penjara ilmiah itu kualami dengan beragam rasa (nano-nano kali
Tumblr media
). Hingga kampus itu kontraksi, lahirlah daku sebagai salah satu sarjana alam ghaib (selevel S.Ag di kampus nasional). 6 tahun lamanya, seperti masa studi fakultas kedokteran, tapi beda jurusan. Mereka di Kesehatan biologis, kami di kesehatan psikologis keislaman
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Catatan :
1. Pengembaraan intelektual di Dunia Akademik “Progresif” ala liberal ntar nyusul aja ya. Biar ga kepanjangan dan ga ngebosenin.
Bersambung. In syaa Allah.
Pagi di Jum’at Berkah, 3 April 2020 (9 Sya’ban 1441 H.)
Baca selengkapnya di: http://almanar.co.id/pengembaraan-intelektual.html
0 notes
belajarislamonline · 5 years ago
Link
Pengembaraan Intelektual.
Bagian 1.
By. Idrus Abidin.
Tulisan ini memadukan antara :
1. Sikap Intelektual Islam Liberal (Mengurai Kejumudan Berfikir, Merusak Citra Agama Atas Nama Pembaharuan). 2. Sikap Intelektual Islam Moderat (Pembaharuan Islam Ala Klasik). Modern tanpa kebablasan. 3. Pengalaman real lapangan.
Titik sentral Pembaharuan (tajdid) yang digelorakan oleh kalangan muslim liberal dunia, termasuk di Indonesia; bertumpu pada realitas. Realitas tersebut umumnya berdasarkan pengertian Barat (Wordfiew) sekuler; termasuk prinsip praktis yang digunakan dalam membaca teks-teks syari’at (framework). Sehingga Islam dibaca dengan penafsiran tertentu dengan memberikan porsi keutamaan pada realitas. Bahkan, realitas tampaknya dianggap patokan pasti (qath’i), sedang teks-teks keagamaan/syariat harus mengikuti panduan realitas tersebut karena dianggap hanya sebatas perkiraan (zhanni). Itulah makna Islam sesuai dengan semangat setiap zaman dan semua tempat dalam nalar kaum liberal. Maka, jungkir baliklah standar baku prosedur memahami teks-teks keagamaan yang dipelopori oleh Nabi, sahabat, tabi’in. Prosedur baku dan terhitung sakral dalam internal Ahlu Sunnah; terutama kalangan Atsariyah. Prosedur baku tersebut dikenal dengan Tafsir bi al-Matsur dalam dunia Tafsir. Yaitu pendekatan dan prosedur pemahaman syariat mengikuti alur riwayat (atsar). Perbedaan ekstrim antara Islam kanan dan Islam kiri inilah yang melahirkan sikap saling tuduh antara dua pola dan dua kecenderungan tersebut. Islam progresif vs Islam Jumud. Islam ingklusif vs Islam Eksklusif. Islam liberal vs Islam Literal. Tampak hanya ada dua pilihan bagi publik awam dan pemula; seolah tidak ada kombinasi baru (sintesis).
Alhamdulillah, kami sudah hidup dalam ke-2 nuansa intelektual tersebut. Yang dibilang (dituduh) Islam fundamental, Literal, eksklusif, Islam Jumud dll kami selami lewat studi perbandingan madzhab di kampus biru; LIPIA, Jakarta. Semua rumpun mata kuliah di kampus ini serba berbeda tinjuan mazhabnya. Walaupun itu bertahap adanya. Di akidah misalnya, diawali dengan akidah sederhana dalam bentuk mudzakkirah (catatan pendek sekedar rangkuman) di kelas persiapan bahasa (I’dad Lughawi) dan pemantapan bahasa (Takmili). Di Fakultas syari’ah, kitab al-Qaul al-Mufidnya Syaikh Utsaimin sebagai Syarah kitab at-Tauhid Muhammad bin Abdul Wahhab dipelajari. Masih satu pendekatan. Namun, di semester 4 kalau tidak salah, perbedaan pendapat dalam ranah teologi Islam dengan pendekatan ilmu Kalam yang serba filosofis bahasanya mulai dipelajari. Kitab Aqidah Washithiyah dijadikan mata kuliah resmi. Kepala kami pun cenut-cenut membaca teks klasik itu dengan perdebatan intelektual dialektis (jadal) tingkat tinggi. Bahkan, sejak selesai fakultas syari’ah tahun 2005 hingga hari ini, masih banyak yang belum saya pahami dengan baik dari kitab tersebut. Mungkin karena nilai intelektualnya yang tinggi; terutama di kalangan Ahlu Sunnah Atsariyah. Kadang harus dihapal jawabannya walau tidak ngerti isinya sebagai pertanggungjawaban di kelas-kelas ujian.
Di fiqih dan Ushul Fikih pun sama. Awalnya satu Mazhab. Fikih Syafi’iyah yg merangkum ragam pendapat di internal mazhab tersebut ada di kitab Kifatyatul Akhyar. Sebagai Syarah dari kitab Matn Abi Syuja’. Lagi-lagi kepala cenut-cenut. Seolah bayi yang dipaksa makan nasi goreng pedes. Hehehe. Itu di Takmili. Ushul Fiqihnya pake kitab Syaikh Shalih Utsaimin. Sastra Arabnya (Balagah) yang berkategori 3 serangkai ; Badi’, Bayan dan Ma’ani tak kalah susahnya. 2 tahun pertama di I’dad Lughawi seolah merangkum 9 tahun belajar resmi di negara-negara Arab dari SD ke SMP. Sedang 1 tahun di Takmili seperti perasan ilmu 3 tahun di SMA Arab yang harus dijilat sempurna. Teks-teks sastra Arab itu seperti mantra-mantra sakti atau azimat yang berisi banyak simbol; susah dimengerti maksudnya. Bagi saya, 1 tahun di Takmili itu lebih “memenjarakan” dibanding 4 tahun di karantina fakultas syari’ah. Gramatika Arabnya (Nahwu) memakai standar Alfiyah Ibnu Malik yang disederhanakan penjelasannya oleh kementerian pendidikan Arab Saudi.
Di Fakultas Syari’ah, semuanya perbedaan pendapat. Hanya sejarah Dakwah Imam Abdul Wahhab saja yang rada-rada standar. Mata kuliah lain serba njelimet. Ushul Fiqih make Raudhatu an-Nazhir karya Ibnu Qudamah. Rekaman dialektik antara Mazhab fuqaha dan mutakkalimin hadir bagai sinetron persilatan Bramakumbara atau Tuturtinular atau sejenisnya di Indonesia. Seru tapi berat. Muktazilah pun selalu ikut serta dalam diskusi ala Indonesia Lawyers Club (ILC) itu. Tampak jauh berbeda dengan muktazilah plus hari ini yang doyan banget dg pluralisme agama. Di Fiqih, kitab Bidayatul Mujtahid karya filosof Ibnu Rusyd dipake. Tambah mumet kepala gue dg beragam perbedaan Mazhab. Di Hadits Hukum, buku Subulussalam; Syarah kitab Bulugulb Maram dijadikan panduan kuliah. Mazhab resmi Syi’ah Zaidiyah dijadikan Mazhab ke-5 oleh Imam ash-Sha’nani. So, jangan anggap anak-anak LIPIA hanya belajar Sunnah tanpa tahu Syi’ah loh ya; terutama di ranah Fiqih.
Di mata kuliah Tafsir pun lagi-lagi perbedaan yang tampak. Pendekatan riwayat (ma’tsur) dan metode rasional (dirayah) ikut meramaikan mata kuliah di ranah tafsir ini. Walaupun kadar jelimetnya lumayan standar. Di pelatihan penulisan karya ilmiah berupa skripsi di Indonesia, malah di Lipia 3 x (semester 4, 6 dan 8). Tentunya pake bahasa Arab resmi. Yaaah… Itulah sekelumit pengembaraan intelektual kami di Islam tekstual kata para kaum liberal. Saya termasuk bersyukur (puas dan bangga) pernah “babak belur” dalam gemblengan naskah-naskah klasik ulama masa lalu di kampus biru itu (Kampus Arab Rasa Indonesia). Walaupun saya sendiri biasa-biasa aja ilmunya. Tidak sepertii alumni lain yang telah menasional, bahkan internasional ; Ust. Anis Matta, Ust. Bahtiar Nasir, Ust. Zaitun Rasmin, (Trio Sul Sel). Ust. KH Dr. Asrorun Ni’am dan KH. Dr. Kholil Nafis di NU, Ust. Ahmad Heryawan, dll. Silahkan ditambahkan gaes ! Hehehe
Tumblr media
6 tahun lamanya penjara ilmiah itu kualami dengan beragam rasa (nano-nano kali
Tumblr media
). Hingga kampus itu kontraksi, lahirlah daku sebagai salah satu sarjana alam ghaib (selevel S.Ag di kampus nasional). 6 tahun lamanya, seperti masa studi fakultas kedokteran, tapi beda jurusan. Mereka di Kesehatan biologis, kami di kesehatan psikologis keislaman
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Catatan :
1. Pengembaraan intelektual di Dunia Akademik “Progresif” ala liberal ntar nyusul aja ya. Biar ga kepanjangan dan ga ngebosenin.
Bersambung. In syaa Allah.
Pagi di Jum’at Berkah, 3 April 2020 (9 Sya’ban 1441 H.)
Baca selengkapnya di: http://almanar.co.id/pengembaraan-intelektual.html
0 notes
belajarislamonline · 5 years ago
Link
Pengembaraan Intelektual.
Bagian 1.
By. Idrus Abidin.
Tulisan ini memadukan antara :
1. Sikap Intelektual Islam Liberal (Mengurai Kejumudan Berfikir, Merusak Citra Agama Atas Nama Pembaharuan). 2. Sikap Intelektual Islam Moderat (Pembaharuan Islam Ala Klasik). Modern tanpa kebablasan. 3. Pengalaman real lapangan.
Titik sentral Pembaharuan (tajdid) yang digelorakan oleh kalangan muslim liberal dunia, termasuk di Indonesia; bertumpu pada realitas. Realitas tersebut umumnya berdasarkan pengertian Barat (Wordfiew) sekuler; termasuk prinsip praktis yang digunakan dalam membaca teks-teks syari’at (framework). Sehingga Islam dibaca dengan penafsiran tertentu dengan memberikan porsi keutamaan pada realitas. Bahkan, realitas tampaknya dianggap patokan pasti (qath’i), sedang teks-teks keagamaan/syariat harus mengikuti panduan realitas tersebut karena dianggap hanya sebatas perkiraan (zhanni). Itulah makna Islam sesuai dengan semangat setiap zaman dan semua tempat dalam nalar kaum liberal. Maka, jungkir baliklah standar baku prosedur memahami teks-teks keagamaan yang dipelopori oleh Nabi, sahabat, tabi’in. Prosedur baku dan terhitung sakral dalam internal Ahlu Sunnah; terutama kalangan Atsariyah. Prosedur baku tersebut dikenal dengan Tafsir bi al-Matsur dalam dunia Tafsir. Yaitu pendekatan dan prosedur pemahaman syariat mengikuti alur riwayat (atsar). Perbedaan ekstrim antara Islam kanan dan Islam kiri inilah yang melahirkan sikap saling tuduh antara dua pola dan dua kecenderungan tersebut. Islam progresif vs Islam Jumud. Islam ingklusif vs Islam Eksklusif. Islam liberal vs Islam Literal. Tampak hanya ada dua pilihan bagi publik awam dan pemula; seolah tidak ada kombinasi baru (sintesis).
Alhamdulillah, kami sudah hidup dalam ke-2 nuansa intelektual tersebut. Yang dibilang (dituduh) Islam fundamental, Literal, eksklusif, Islam Jumud dll kami selami lewat studi perbandingan madzhab di kampus biru; LIPIA, Jakarta. Semua rumpun mata kuliah di kampus ini serba berbeda tinjuan mazhabnya. Walaupun itu bertahap adanya. Di akidah misalnya, diawali dengan akidah sederhana dalam bentuk mudzakkirah (catatan pendek sekedar rangkuman) di kelas persiapan bahasa (I’dad Lughawi) dan pemantapan bahasa (Takmili). Di Fakultas syari’ah, kitab al-Qaul al-Mufidnya Syaikh Utsaimin sebagai Syarah kitab at-Tauhid Muhammad bin Abdul Wahhab dipelajari. Masih satu pendekatan. Namun, di semester 4 kalau tidak salah, perbedaan pendapat dalam ranah teologi Islam dengan pendekatan ilmu Kalam yang serba filosofis bahasanya mulai dipelajari. Kitab Aqidah Washithiyah dijadikan mata kuliah resmi. Kepala kami pun cenut-cenut membaca teks klasik itu dengan perdebatan intelektual dialektis (jadal) tingkat tinggi. Bahkan, sejak selesai fakultas syari’ah tahun 2005 hingga hari ini, masih banyak yang belum saya pahami dengan baik dari kitab tersebut. Mungkin karena nilai intelektualnya yang tinggi; terutama di kalangan Ahlu Sunnah Atsariyah. Kadang harus dihapal jawabannya walau tidak ngerti isinya sebagai pertanggungjawaban di kelas-kelas ujian.
Di fiqih dan Ushul Fikih pun sama. Awalnya satu Mazhab. Fikih Syafi’iyah yg merangkum ragam pendapat di internal mazhab tersebut ada di kitab Kifatyatul Akhyar. Sebagai Syarah dari kitab Matn Abi Syuja’. Lagi-lagi kepala cenut-cenut. Seolah bayi yang dipaksa makan nasi goreng pedes. Hehehe. Itu di Takmili. Ushul Fiqihnya pake kitab Syaikh Shalih Utsaimin. Sastra Arabnya (Balagah) yang berkategori 3 serangkai ; Badi’, Bayan dan Ma’ani tak kalah susahnya. 2 tahun pertama di I’dad Lughawi seolah merangkum 9 tahun belajar resmi di negara-negara Arab dari SD ke SMP. Sedang 1 tahun di Takmili seperti perasan ilmu 3 tahun di SMA Arab yang harus dijilat sempurna. Teks-teks sastra Arab itu seperti mantra-mantra sakti atau azimat yang berisi banyak simbol; susah dimengerti maksudnya. Bagi saya, 1 tahun di Takmili itu lebih “memenjarakan” dibanding 4 tahun di karantina fakultas syari’ah. Gramatika Arabnya (Nahwu) memakai standar Alfiyah Ibnu Malik yang disederhanakan penjelasannya oleh kementerian pendidikan Arab Saudi.
Di Fakultas Syari’ah, semuanya perbedaan pendapat. Hanya sejarah Dakwah Imam Abdul Wahhab saja yang rada-rada standar. Mata kuliah lain serba njelimet. Ushul Fiqih make Raudhatu an-Nazhir karya Ibnu Qudamah. Rekaman dialektik antara Mazhab fuqaha dan mutakkalimin hadir bagai sinetron persilatan Bramakumbara atau Tuturtinular atau sejenisnya di Indonesia. Seru tapi berat. Muktazilah pun selalu ikut serta dalam diskusi ala Indonesia Lawyers Club (ILC) itu. Tampak jauh berbeda dengan muktazilah plus hari ini yang doyan banget dg pluralisme agama. Di Fiqih, kitab Bidayatul Mujtahid karya filosof Ibnu Rusyd dipake. Tambah mumet kepala gue dg beragam perbedaan Mazhab. Di Hadits Hukum, buku Subulussalam; Syarah kitab Bulugulb Maram dijadikan panduan kuliah. Mazhab resmi Syi’ah Zaidiyah dijadikan Mazhab ke-5 oleh Imam ash-Sha’nani. So, jangan anggap anak-anak LIPIA hanya belajar Sunnah tanpa tahu Syi’ah loh ya; terutama di ranah Fiqih.
Di mata kuliah Tafsir pun lagi-lagi perbedaan yang tampak. Pendekatan riwayat (ma’tsur) dan metode rasional (dirayah) ikut meramaikan mata kuliah di ranah tafsir ini. Walaupun kadar jelimetnya lumayan standar. Di pelatihan penulisan karya ilmiah berupa skripsi di Indonesia, malah di Lipia 3 x (semester 4, 6 dan 8). Tentunya pake bahasa Arab resmi. Yaaah… Itulah sekelumit pengembaraan intelektual kami di Islam tekstual kata para kaum liberal. Saya termasuk bersyukur (puas dan bangga) pernah “babak belur” dalam gemblengan naskah-naskah klasik ulama masa lalu di kampus biru itu (Kampus Arab Rasa Indonesia). Walaupun saya sendiri biasa-biasa aja ilmunya. Tidak sepertii alumni lain yang telah menasional, bahkan internasional ; Ust. Anis Matta, Ust. Bahtiar Nasir, Ust. Zaitun Rasmin, (Trio Sul Sel). Ust. KH Dr. Asrorun Ni’am dan KH. Dr. Kholil Nafis di NU, Ust. Ahmad Heryawan, dll. Silahkan ditambahkan gaes ! Hehehe
Tumblr media
6 tahun lamanya penjara ilmiah itu kualami dengan beragam rasa (nano-nano kali
Tumblr media
). Hingga kampus itu kontraksi, lahirlah daku sebagai salah satu sarjana alam ghaib (selevel S.Ag di kampus nasional). 6 tahun lamanya, seperti masa studi fakultas kedokteran, tapi beda jurusan. Mereka di Kesehatan biologis, kami di kesehatan psikologis keislaman
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Catatan :
1. Pengembaraan intelektual di Dunia Akademik “Progresif” ala liberal ntar nyusul aja ya. Biar ga kepanjangan dan ga ngebosenin.
Bersambung. In syaa Allah.
Pagi di Jum’at Berkah, 3 April 2020 (9 Sya’ban 1441 H.)
Baca selengkapnya di: http://almanar.co.id/pengembaraan-intelektual.html
0 notes
belajarislamonline · 5 years ago
Link
Pengembaraan Intelektual.
Bagian 1.
By. Idrus Abidin.
Tulisan ini memadukan antara :
1. Sikap Intelektual Islam Liberal (Mengurai Kejumudan Berfikir, Merusak Citra Agama Atas Nama Pembaharuan). 2. Sikap Intelektual Islam Moderat (Pembaharuan Islam Ala Klasik). Modern tanpa kebablasan. 3. Pengalaman real lapangan.
Titik sentral Pembaharuan (tajdid) yang digelorakan oleh kalangan muslim liberal dunia, termasuk di Indonesia; bertumpu pada realitas. Realitas tersebut umumnya berdasarkan pengertian Barat (Wordfiew) sekuler; termasuk prinsip praktis yang digunakan dalam membaca teks-teks syari’at (framework). Sehingga Islam dibaca dengan penafsiran tertentu dengan memberikan porsi keutamaan pada realitas. Bahkan, realitas tampaknya dianggap patokan pasti (qath’i), sedang teks-teks keagamaan/syariat harus mengikuti panduan realitas tersebut karena dianggap hanya sebatas perkiraan (zhanni). Itulah makna Islam sesuai dengan semangat setiap zaman dan semua tempat dalam nalar kaum liberal. Maka, jungkir baliklah standar baku prosedur memahami teks-teks keagamaan yang dipelopori oleh Nabi, sahabat, tabi’in. Prosedur baku dan terhitung sakral dalam internal Ahlu Sunnah; terutama kalangan Atsariyah. Prosedur baku tersebut dikenal dengan Tafsir bi al-Matsur dalam dunia Tafsir. Yaitu pendekatan dan prosedur pemahaman syariat mengikuti alur riwayat (atsar). Perbedaan ekstrim antara Islam kanan dan Islam kiri inilah yang melahirkan sikap saling tuduh antara dua pola dan dua kecenderungan tersebut. Islam progresif vs Islam Jumud. Islam ingklusif vs Islam Eksklusif. Islam liberal vs Islam Literal. Tampak hanya ada dua pilihan bagi publik awam dan pemula; seolah tidak ada kombinasi baru (sintesis).
Alhamdulillah, kami sudah hidup dalam ke-2 nuansa intelektual tersebut. Yang dibilang (dituduh) Islam fundamental, Literal, eksklusif, Islam Jumud dll kami selami lewat studi perbandingan madzhab di kampus biru; LIPIA, Jakarta. Semua rumpun mata kuliah di kampus ini serba berbeda tinjuan mazhabnya. Walaupun itu bertahap adanya. Di akidah misalnya, diawali dengan akidah sederhana dalam bentuk mudzakkirah (catatan pendek sekedar rangkuman) di kelas persiapan bahasa (I’dad Lughawi) dan pemantapan bahasa (Takmili). Di Fakultas syari’ah, kitab al-Qaul al-Mufidnya Syaikh Utsaimin sebagai Syarah kitab at-Tauhid Muhammad bin Abdul Wahhab dipelajari. Masih satu pendekatan. Namun, di semester 4 kalau tidak salah, perbedaan pendapat dalam ranah teologi Islam dengan pendekatan ilmu Kalam yang serba filosofis bahasanya mulai dipelajari. Kitab Aqidah Washithiyah dijadikan mata kuliah resmi. Kepala kami pun cenut-cenut membaca teks klasik itu dengan perdebatan intelektual dialektis (jadal) tingkat tinggi. Bahkan, sejak selesai fakultas syari’ah tahun 2005 hingga hari ini, masih banyak yang belum saya pahami dengan baik dari kitab tersebut. Mungkin karena nilai intelektualnya yang tinggi; terutama di kalangan Ahlu Sunnah Atsariyah. Kadang harus dihapal jawabannya walau tidak ngerti isinya sebagai pertanggungjawaban di kelas-kelas ujian.
Di fiqih dan Ushul Fikih pun sama. Awalnya satu Mazhab. Fikih Syafi’iyah yg merangkum ragam pendapat di internal mazhab tersebut ada di kitab Kifatyatul Akhyar. Sebagai Syarah dari kitab Matn Abi Syuja’. Lagi-lagi kepala cenut-cenut. Seolah bayi yang dipaksa makan nasi goreng pedes. Hehehe. Itu di Takmili. Ushul Fiqihnya pake kitab Syaikh Shalih Utsaimin. Sastra Arabnya (Balagah) yang berkategori 3 serangkai ; Badi’, Bayan dan Ma’ani tak kalah susahnya. 2 tahun pertama di I’dad Lughawi seolah merangkum 9 tahun belajar resmi di negara-negara Arab dari SD ke SMP. Sedang 1 tahun di Takmili seperti perasan ilmu 3 tahun di SMA Arab yang harus dijilat sempurna. Teks-teks sastra Arab itu seperti mantra-mantra sakti atau azimat yang berisi banyak simbol; susah dimengerti maksudnya. Bagi saya, 1 tahun di Takmili itu lebih “memenjarakan” dibanding 4 tahun di karantina fakultas syari’ah. Gramatika Arabnya (Nahwu) memakai standar Alfiyah Ibnu Malik yang disederhanakan penjelasannya oleh kementerian pendidikan Arab Saudi.
Di Fakultas Syari’ah, semuanya perbedaan pendapat. Hanya sejarah Dakwah Imam Abdul Wahhab saja yang rada-rada standar. Mata kuliah lain serba njelimet. Ushul Fiqih make Raudhatu an-Nazhir karya Ibnu Qudamah. Rekaman dialektik antara Mazhab fuqaha dan mutakkalimin hadir bagai sinetron persilatan Bramakumbara atau Tuturtinular atau sejenisnya di Indonesia. Seru tapi berat. Muktazilah pun selalu ikut serta dalam diskusi ala Indonesia Lawyers Club (ILC) itu. Tampak jauh berbeda dengan muktazilah plus hari ini yang doyan banget dg pluralisme agama. Di Fiqih, kitab Bidayatul Mujtahid karya filosof Ibnu Rusyd dipake. Tambah mumet kepala gue dg beragam perbedaan Mazhab. Di Hadits Hukum, buku Subulussalam; Syarah kitab Bulugulb Maram dijadikan panduan kuliah. Mazhab resmi Syi’ah Zaidiyah dijadikan Mazhab ke-5 oleh Imam ash-Sha’nani. So, jangan anggap anak-anak LIPIA hanya belajar Sunnah tanpa tahu Syi’ah loh ya; terutama di ranah Fiqih.
Di mata kuliah Tafsir pun lagi-lagi perbedaan yang tampak. Pendekatan riwayat (ma’tsur) dan metode rasional (dirayah) ikut meramaikan mata kuliah di ranah tafsir ini. Walaupun kadar jelimetnya lumayan standar. Di pelatihan penulisan karya ilmiah berupa skripsi di Indonesia, malah di Lipia 3 x (semester 4, 6 dan 8). Tentunya pake bahasa Arab resmi. Yaaah… Itulah sekelumit pengembaraan intelektual kami di Islam tekstual kata para kaum liberal. Saya termasuk bersyukur (puas dan bangga) pernah “babak belur” dalam gemblengan naskah-naskah klasik ulama masa lalu di kampus biru itu (Kampus Arab Rasa Indonesia). Walaupun saya sendiri biasa-biasa aja ilmunya. Tidak sepertii alumni lain yang telah menasional, bahkan internasional ; Ust. Anis Matta, Ust. Bahtiar Nasir, Ust. Zaitun Rasmin, (Trio Sul Sel). Ust. KH Dr. Asrorun Ni’am dan KH. Dr. Kholil Nafis di NU, Ust. Ahmad Heryawan, dll. Silahkan ditambahkan gaes ! Hehehe
Tumblr media
6 tahun lamanya penjara ilmiah itu kualami dengan beragam rasa (nano-nano kali
Tumblr media
). Hingga kampus itu kontraksi, lahirlah daku sebagai salah satu sarjana alam ghaib (selevel S.Ag di kampus nasional). 6 tahun lamanya, seperti masa studi fakultas kedokteran, tapi beda jurusan. Mereka di Kesehatan biologis, kami di kesehatan psikologis keislaman
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Catatan :
1. Pengembaraan intelektual di Dunia Akademik “Progresif” ala liberal ntar nyusul aja ya. Biar ga kepanjangan dan ga ngebosenin.
Bersambung. In syaa Allah.
Pagi di Jum’at Berkah, 3 April 2020 (9 Sya’ban 1441 H.)
Baca selengkapnya di: http://almanar.co.id/pengembaraan-intelektual.html
0 notes
belajarislamonline · 5 years ago
Link
Pengembaraan Intelektual.
Bagian 1.
By. Idrus Abidin.
Tulisan ini memadukan antara :
1. Sikap Intelektual Islam Liberal (Mengurai Kejumudan Berfikir, Merusak Citra Agama Atas Nama Pembaharuan). 2. Sikap Intelektual Islam Moderat (Pembaharuan Islam Ala Klasik). Modern tanpa kebablasan. 3. Pengalaman real lapangan.
Titik sentral Pembaharuan (tajdid) yang digelorakan oleh kalangan muslim liberal dunia, termasuk di Indonesia; bertumpu pada realitas. Realitas tersebut umumnya berdasarkan pengertian Barat (Wordfiew) sekuler; termasuk prinsip praktis yang digunakan dalam membaca teks-teks syari’at (framework). Sehingga Islam dibaca dengan penafsiran tertentu dengan memberikan porsi keutamaan pada realitas. Bahkan, realitas tampaknya dianggap patokan pasti (qath’i), sedang teks-teks keagamaan/syariat harus mengikuti panduan realitas tersebut karena dianggap hanya sebatas perkiraan (zhanni). Itulah makna Islam sesuai dengan semangat setiap zaman dan semua tempat dalam nalar kaum liberal. Maka, jungkir baliklah standar baku prosedur memahami teks-teks keagamaan yang dipelopori oleh Nabi, sahabat, tabi’in. Prosedur baku dan terhitung sakral dalam internal Ahlu Sunnah; terutama kalangan Atsariyah. Prosedur baku tersebut dikenal dengan Tafsir bi al-Matsur dalam dunia Tafsir. Yaitu pendekatan dan prosedur pemahaman syariat mengikuti alur riwayat (atsar). Perbedaan ekstrim antara Islam kanan dan Islam kiri inilah yang melahirkan sikap saling tuduh antara dua pola dan dua kecenderungan tersebut. Islam progresif vs Islam Jumud. Islam ingklusif vs Islam Eksklusif. Islam liberal vs Islam Literal. Tampak hanya ada dua pilihan bagi publik awam dan pemula; seolah tidak ada kombinasi baru (sintesis).
Alhamdulillah, kami sudah hidup dalam ke-2 nuansa intelektual tersebut. Yang dibilang (dituduh) Islam fundamental, Literal, eksklusif, Islam Jumud dll kami selami lewat studi perbandingan madzhab di kampus biru; LIPIA, Jakarta. Semua rumpun mata kuliah di kampus ini serba berbeda tinjuan mazhabnya. Walaupun itu bertahap adanya. Di akidah misalnya, diawali dengan akidah sederhana dalam bentuk mudzakkirah (catatan pendek sekedar rangkuman) di kelas persiapan bahasa (I’dad Lughawi) dan pemantapan bahasa (Takmili). Di Fakultas syari’ah, kitab al-Qaul al-Mufidnya Syaikh Utsaimin sebagai Syarah kitab at-Tauhid Muhammad bin Abdul Wahhab dipelajari. Masih satu pendekatan. Namun, di semester 4 kalau tidak salah, perbedaan pendapat dalam ranah teologi Islam dengan pendekatan ilmu Kalam yang serba filosofis bahasanya mulai dipelajari. Kitab Aqidah Washithiyah dijadikan mata kuliah resmi. Kepala kami pun cenut-cenut membaca teks klasik itu dengan perdebatan intelektual dialektis (jadal) tingkat tinggi. Bahkan, sejak selesai fakultas syari’ah tahun 2005 hingga hari ini, masih banyak yang belum saya pahami dengan baik dari kitab tersebut. Mungkin karena nilai intelektualnya yang tinggi; terutama di kalangan Ahlu Sunnah Atsariyah. Kadang harus dihapal jawabannya walau tidak ngerti isinya sebagai pertanggungjawaban di kelas-kelas ujian.
Di fiqih dan Ushul Fikih pun sama. Awalnya satu Mazhab. Fikih Syafi’iyah yg merangkum ragam pendapat di internal mazhab tersebut ada di kitab Kifatyatul Akhyar. Sebagai Syarah dari kitab Matn Abi Syuja’. Lagi-lagi kepala cenut-cenut. Seolah bayi yang dipaksa makan nasi goreng pedes. Hehehe. Itu di Takmili. Ushul Fiqihnya pake kitab Syaikh Shalih Utsaimin. Sastra Arabnya (Balagah) yang berkategori 3 serangkai ; Badi’, Bayan dan Ma’ani tak kalah susahnya. 2 tahun pertama di I’dad Lughawi seolah merangkum 9 tahun belajar resmi di negara-negara Arab dari SD ke SMP. Sedang 1 tahun di Takmili seperti perasan ilmu 3 tahun di SMA Arab yang harus dijilat sempurna. Teks-teks sastra Arab itu seperti mantra-mantra sakti atau azimat yang berisi banyak simbol; susah dimengerti maksudnya. Bagi saya, 1 tahun di Takmili itu lebih “memenjarakan” dibanding 4 tahun di karantina fakultas syari’ah. Gramatika Arabnya (Nahwu) memakai standar Alfiyah Ibnu Malik yang disederhanakan penjelasannya oleh kementerian pendidikan Arab Saudi.
Di Fakultas Syari’ah, semuanya perbedaan pendapat. Hanya sejarah Dakwah Imam Abdul Wahhab saja yang rada-rada standar. Mata kuliah lain serba njelimet. Ushul Fiqih make Raudhatu an-Nazhir karya Ibnu Qudamah. Rekaman dialektik antara Mazhab fuqaha dan mutakkalimin hadir bagai sinetron persilatan Bramakumbara atau Tuturtinular atau sejenisnya di Indonesia. Seru tapi berat. Muktazilah pun selalu ikut serta dalam diskusi ala Indonesia Lawyers Club (ILC) itu. Tampak jauh berbeda dengan muktazilah plus hari ini yang doyan banget dg pluralisme agama. Di Fiqih, kitab Bidayatul Mujtahid karya filosof Ibnu Rusyd dipake. Tambah mumet kepala gue dg beragam perbedaan Mazhab. Di Hadits Hukum, buku Subulussalam; Syarah kitab Bulugulb Maram dijadikan panduan kuliah. Mazhab resmi Syi’ah Zaidiyah dijadikan Mazhab ke-5 oleh Imam ash-Sha’nani. So, jangan anggap anak-anak LIPIA hanya belajar Sunnah tanpa tahu Syi’ah loh ya; terutama di ranah Fiqih.
Di mata kuliah Tafsir pun lagi-lagi perbedaan yang tampak. Pendekatan riwayat (ma’tsur) dan metode rasional (dirayah) ikut meramaikan mata kuliah di ranah tafsir ini. Walaupun kadar jelimetnya lumayan standar. Di pelatihan penulisan karya ilmiah berupa skripsi di Indonesia, malah di Lipia 3 x (semester 4, 6 dan 8). Tentunya pake bahasa Arab resmi. Yaaah… Itulah sekelumit pengembaraan intelektual kami di Islam tekstual kata para kaum liberal. Saya termasuk bersyukur (puas dan bangga) pernah “babak belur” dalam gemblengan naskah-naskah klasik ulama masa lalu di kampus biru itu (Kampus Arab Rasa Indonesia). Walaupun saya sendiri biasa-biasa aja ilmunya. Tidak sepertii alumni lain yang telah menasional, bahkan internasional ; Ust. Anis Matta, Ust. Bahtiar Nasir, Ust. Zaitun Rasmin, (Trio Sul Sel). Ust. KH Dr. Asrorun Ni’am dan KH. Dr. Kholil Nafis di NU, Ust. Ahmad Heryawan, dll. Silahkan ditambahkan gaes ! Hehehe
Tumblr media
6 tahun lamanya penjara ilmiah itu kualami dengan beragam rasa (nano-nano kali
Tumblr media
). Hingga kampus itu kontraksi, lahirlah daku sebagai salah satu sarjana alam ghaib (selevel S.Ag di kampus nasional). 6 tahun lamanya, seperti masa studi fakultas kedokteran, tapi beda jurusan. Mereka di Kesehatan biologis, kami di kesehatan psikologis keislaman
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Catatan :
1. Pengembaraan intelektual di Dunia Akademik “Progresif” ala liberal ntar nyusul aja ya. Biar ga kepanjangan dan ga ngebosenin.
Bersambung. In syaa Allah.
Pagi di Jum’at Berkah, 3 April 2020 (9 Sya’ban 1441 H.)
Baca selengkapnya di: http://almanar.co.id/pengembaraan-intelektual.html
0 notes
belajarislamonline · 5 years ago
Link
Pengembaraan Intelektual.
Bagian 1.
By. Idrus Abidin.
Tulisan ini memadukan antara :
1. Sikap Intelektual Islam Liberal (Mengurai Kejumudan Berfikir, Merusak Citra Agama Atas Nama Pembaharuan). 2. Sikap Intelektual Islam Moderat (Pembaharuan Islam Ala Klasik). Modern tanpa kebablasan. 3. Pengalaman real lapangan.
Titik sentral Pembaharuan (tajdid) yang digelorakan oleh kalangan muslim liberal dunia, termasuk di Indonesia; bertumpu pada realitas. Realitas tersebut umumnya berdasarkan pengertian Barat (Wordfiew) sekuler; termasuk prinsip praktis yang digunakan dalam membaca teks-teks syari’at (framework). Sehingga Islam dibaca dengan penafsiran tertentu dengan memberikan porsi keutamaan pada realitas. Bahkan, realitas tampaknya dianggap patokan pasti (qath’i), sedang teks-teks keagamaan/syariat harus mengikuti panduan realitas tersebut karena dianggap hanya sebatas perkiraan (zhanni). Itulah makna Islam sesuai dengan semangat setiap zaman dan semua tempat dalam nalar kaum liberal. Maka, jungkir baliklah standar baku prosedur memahami teks-teks keagamaan yang dipelopori oleh Nabi, sahabat, tabi’in. Prosedur baku dan terhitung sakral dalam internal Ahlu Sunnah; terutama kalangan Atsariyah. Prosedur baku tersebut dikenal dengan Tafsir bi al-Matsur dalam dunia Tafsir. Yaitu pendekatan dan prosedur pemahaman syariat mengikuti alur riwayat (atsar). Perbedaan ekstrim antara Islam kanan dan Islam kiri inilah yang melahirkan sikap saling tuduh antara dua pola dan dua kecenderungan tersebut. Islam progresif vs Islam Jumud. Islam ingklusif vs Islam Eksklusif. Islam liberal vs Islam Literal. Tampak hanya ada dua pilihan bagi publik awam dan pemula; seolah tidak ada kombinasi baru (sintesis).
Alhamdulillah, kami sudah hidup dalam ke-2 nuansa intelektual tersebut. Yang dibilang (dituduh) Islam fundamental, Literal, eksklusif, Islam Jumud dll kami selami lewat studi perbandingan madzhab di kampus biru; LIPIA, Jakarta. Semua rumpun mata kuliah di kampus ini serba berbeda tinjuan mazhabnya. Walaupun itu bertahap adanya. Di akidah misalnya, diawali dengan akidah sederhana dalam bentuk mudzakkirah (catatan pendek sekedar rangkuman) di kelas persiapan bahasa (I’dad Lughawi) dan pemantapan bahasa (Takmili). Di Fakultas syari’ah, kitab al-Qaul al-Mufidnya Syaikh Utsaimin sebagai Syarah kitab at-Tauhid Muhammad bin Abdul Wahhab dipelajari. Masih satu pendekatan. Namun, di semester 4 kalau tidak salah, perbedaan pendapat dalam ranah teologi Islam dengan pendekatan ilmu Kalam yang serba filosofis bahasanya mulai dipelajari. Kitab Aqidah Washithiyah dijadikan mata kuliah resmi. Kepala kami pun cenut-cenut membaca teks klasik itu dengan perdebatan intelektual dialektis (jadal) tingkat tinggi. Bahkan, sejak selesai fakultas syari’ah tahun 2005 hingga hari ini, masih banyak yang belum saya pahami dengan baik dari kitab tersebut. Mungkin karena nilai intelektualnya yang tinggi; terutama di kalangan Ahlu Sunnah Atsariyah. Kadang harus dihapal jawabannya walau tidak ngerti isinya sebagai pertanggungjawaban di kelas-kelas ujian.
Di fiqih dan Ushul Fikih pun sama. Awalnya satu Mazhab. Fikih Syafi’iyah yg merangkum ragam pendapat di internal mazhab tersebut ada di kitab Kifatyatul Akhyar. Sebagai Syarah dari kitab Matn Abi Syuja’. Lagi-lagi kepala cenut-cenut. Seolah bayi yang dipaksa makan nasi goreng pedes. Hehehe. Itu di Takmili. Ushul Fiqihnya pake kitab Syaikh Shalih Utsaimin. Sastra Arabnya (Balagah) yang berkategori 3 serangkai ; Badi’, Bayan dan Ma’ani tak kalah susahnya. 2 tahun pertama di I’dad Lughawi seolah merangkum 9 tahun belajar resmi di negara-negara Arab dari SD ke SMP. Sedang 1 tahun di Takmili seperti perasan ilmu 3 tahun di SMA Arab yang harus dijilat sempurna. Teks-teks sastra Arab itu seperti mantra-mantra sakti atau azimat yang berisi banyak simbol; susah dimengerti maksudnya. Bagi saya, 1 tahun di Takmili itu lebih “memenjarakan” dibanding 4 tahun di karantina fakultas syari’ah. Gramatika Arabnya (Nahwu) memakai standar Alfiyah Ibnu Malik yang disederhanakan penjelasannya oleh kementerian pendidikan Arab Saudi.
Di Fakultas Syari’ah, semuanya perbedaan pendapat. Hanya sejarah Dakwah Imam Abdul Wahhab saja yang rada-rada standar. Mata kuliah lain serba njelimet. Ushul Fiqih make Raudhatu an-Nazhir karya Ibnu Qudamah. Rekaman dialektik antara Mazhab fuqaha dan mutakkalimin hadir bagai sinetron persilatan Bramakumbara atau Tuturtinular atau sejenisnya di Indonesia. Seru tapi berat. Muktazilah pun selalu ikut serta dalam diskusi ala Indonesia Lawyers Club (ILC) itu. Tampak jauh berbeda dengan muktazilah plus hari ini yang doyan banget dg pluralisme agama. Di Fiqih, kitab Bidayatul Mujtahid karya filosof Ibnu Rusyd dipake. Tambah mumet kepala gue dg beragam perbedaan Mazhab. Di Hadits Hukum, buku Subulussalam; Syarah kitab Bulugulb Maram dijadikan panduan kuliah. Mazhab resmi Syi’ah Zaidiyah dijadikan Mazhab ke-5 oleh Imam ash-Sha’nani. So, jangan anggap anak-anak LIPIA hanya belajar Sunnah tanpa tahu Syi’ah loh ya; terutama di ranah Fiqih.
Di mata kuliah Tafsir pun lagi-lagi perbedaan yang tampak. Pendekatan riwayat (ma’tsur) dan metode rasional (dirayah) ikut meramaikan mata kuliah di ranah tafsir ini. Walaupun kadar jelimetnya lumayan standar. Di pelatihan penulisan karya ilmiah berupa skripsi di Indonesia, malah di Lipia 3 x (semester 4, 6 dan 8). Tentunya pake bahasa Arab resmi. Yaaah… Itulah sekelumit pengembaraan intelektual kami di Islam tekstual kata para kaum liberal. Saya termasuk bersyukur (puas dan bangga) pernah “babak belur” dalam gemblengan naskah-naskah klasik ulama masa lalu di kampus biru itu (Kampus Arab Rasa Indonesia). Walaupun saya sendiri biasa-biasa aja ilmunya. Tidak sepertii alumni lain yang telah menasional, bahkan internasional ; Ust. Anis Matta, Ust. Bahtiar Nasir, Ust. Zaitun Rasmin, (Trio Sul Sel). Ust. KH Dr. Asrorun Ni’am dan KH. Dr. Kholil Nafis di NU, Ust. Ahmad Heryawan, dll. Silahkan ditambahkan gaes ! Hehehe
Tumblr media
6 tahun lamanya penjara ilmiah itu kualami dengan beragam rasa (nano-nano kali
Tumblr media
). Hingga kampus itu kontraksi, lahirlah daku sebagai salah satu sarjana alam ghaib (selevel S.Ag di kampus nasional). 6 tahun lamanya, seperti masa studi fakultas kedokteran, tapi beda jurusan. Mereka di Kesehatan biologis, kami di kesehatan psikologis keislaman
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Catatan :
1. Pengembaraan intelektual di Dunia Akademik “Progresif” ala liberal ntar nyusul aja ya. Biar ga kepanjangan dan ga ngebosenin.
Bersambung. In syaa Allah.
Pagi di Jum’at Berkah, 3 April 2020 (9 Sya’ban 1441 H.)
Baca selengkapnya di: http://almanar.co.id/pengembaraan-intelektual.html
0 notes
belajarislamonline · 5 years ago
Link
Pengembaraan Intelektual.
Bagian 1.
By. Idrus Abidin.
Tulisan ini memadukan antara :
1. Sikap Intelektual Islam Liberal (Mengurai Kejumudan Berfikir, Merusak Citra Agama Atas Nama Pembaharuan). 2. Sikap Intelektual Islam Moderat (Pembaharuan Islam Ala Klasik). Modern tanpa kebablasan. 3. Pengalaman real lapangan.
Titik sentral Pembaharuan (tajdid) yang digelorakan oleh kalangan muslim liberal dunia, termasuk di Indonesia; bertumpu pada realitas. Realitas tersebut umumnya berdasarkan pengertian Barat (Wordfiew) sekuler; termasuk prinsip praktis yang digunakan dalam membaca teks-teks syari’at (framework). Sehingga Islam dibaca dengan penafsiran tertentu dengan memberikan porsi keutamaan pada realitas. Bahkan, realitas tampaknya dianggap patokan pasti (qath’i), sedang teks-teks keagamaan/syariat harus mengikuti panduan realitas tersebut karena dianggap hanya sebatas perkiraan (zhanni). Itulah makna Islam sesuai dengan semangat setiap zaman dan semua tempat dalam nalar kaum liberal. Maka, jungkir baliklah standar baku prosedur memahami teks-teks keagamaan yang dipelopori oleh Nabi, sahabat, tabi’in. Prosedur baku dan terhitung sakral dalam internal Ahlu Sunnah; terutama kalangan Atsariyah. Prosedur baku tersebut dikenal dengan Tafsir bi al-Matsur dalam dunia Tafsir. Yaitu pendekatan dan prosedur pemahaman syariat mengikuti alur riwayat (atsar). Perbedaan ekstrim antara Islam kanan dan Islam kiri inilah yang melahirkan sikap saling tuduh antara dua pola dan dua kecenderungan tersebut. Islam progresif vs Islam Jumud. Islam ingklusif vs Islam Eksklusif. Islam liberal vs Islam Literal. Tampak hanya ada dua pilihan bagi publik awam dan pemula; seolah tidak ada kombinasi baru (sintesis).
Alhamdulillah, kami sudah hidup dalam ke-2 nuansa intelektual tersebut. Yang dibilang (dituduh) Islam fundamental, Literal, eksklusif, Islam Jumud dll kami selami lewat studi perbandingan madzhab di kampus biru; LIPIA, Jakarta. Semua rumpun mata kuliah di kampus ini serba berbeda tinjuan mazhabnya. Walaupun itu bertahap adanya. Di akidah misalnya, diawali dengan akidah sederhana dalam bentuk mudzakkirah (catatan pendek sekedar rangkuman) di kelas persiapan bahasa (I’dad Lughawi) dan pemantapan bahasa (Takmili). Di Fakultas syari’ah, kitab al-Qaul al-Mufidnya Syaikh Utsaimin sebagai Syarah kitab at-Tauhid Muhammad bin Abdul Wahhab dipelajari. Masih satu pendekatan. Namun, di semester 4 kalau tidak salah, perbedaan pendapat dalam ranah teologi Islam dengan pendekatan ilmu Kalam yang serba filosofis bahasanya mulai dipelajari. Kitab Aqidah Washithiyah dijadikan mata kuliah resmi. Kepala kami pun cenut-cenut membaca teks klasik itu dengan perdebatan intelektual dialektis (jadal) tingkat tinggi. Bahkan, sejak selesai fakultas syari’ah tahun 2005 hingga hari ini, masih banyak yang belum saya pahami dengan baik dari kitab tersebut. Mungkin karena nilai intelektualnya yang tinggi; terutama di kalangan Ahlu Sunnah Atsariyah. Kadang harus dihapal jawabannya walau tidak ngerti isinya sebagai pertanggungjawaban di kelas-kelas ujian.
Di fiqih dan Ushul Fikih pun sama. Awalnya satu Mazhab. Fikih Syafi’iyah yg merangkum ragam pendapat di internal mazhab tersebut ada di kitab Kifatyatul Akhyar. Sebagai Syarah dari kitab Matn Abi Syuja’. Lagi-lagi kepala cenut-cenut. Seolah bayi yang dipaksa makan nasi goreng pedes. Hehehe. Itu di Takmili. Ushul Fiqihnya pake kitab Syaikh Shalih Utsaimin. Sastra Arabnya (Balagah) yang berkategori 3 serangkai ; Badi’, Bayan dan Ma’ani tak kalah susahnya. 2 tahun pertama di I’dad Lughawi seolah merangkum 9 tahun belajar resmi di negara-negara Arab dari SD ke SMP. Sedang 1 tahun di Takmili seperti perasan ilmu 3 tahun di SMA Arab yang harus dijilat sempurna. Teks-teks sastra Arab itu seperti mantra-mantra sakti atau azimat yang berisi banyak simbol; susah dimengerti maksudnya. Bagi saya, 1 tahun di Takmili itu lebih “memenjarakan” dibanding 4 tahun di karantina fakultas syari’ah. Gramatika Arabnya (Nahwu) memakai standar Alfiyah Ibnu Malik yang disederhanakan penjelasannya oleh kementerian pendidikan Arab Saudi.
Di Fakultas Syari’ah, semuanya perbedaan pendapat. Hanya sejarah Dakwah Imam Abdul Wahhab saja yang rada-rada standar. Mata kuliah lain serba njelimet. Ushul Fiqih make Raudhatu an-Nazhir karya Ibnu Qudamah. Rekaman dialektik antara Mazhab fuqaha dan mutakkalimin hadir bagai sinetron persilatan Bramakumbara atau Tuturtinular atau sejenisnya di Indonesia. Seru tapi berat. Muktazilah pun selalu ikut serta dalam diskusi ala Indonesia Lawyers Club (ILC) itu. Tampak jauh berbeda dengan muktazilah plus hari ini yang doyan banget dg pluralisme agama. Di Fiqih, kitab Bidayatul Mujtahid karya filosof Ibnu Rusyd dipake. Tambah mumet kepala gue dg beragam perbedaan Mazhab. Di Hadits Hukum, buku Subulussalam; Syarah kitab Bulugulb Maram dijadikan panduan kuliah. Mazhab resmi Syi’ah Zaidiyah dijadikan Mazhab ke-5 oleh Imam ash-Sha’nani. So, jangan anggap anak-anak LIPIA hanya belajar Sunnah tanpa tahu Syi’ah loh ya; terutama di ranah Fiqih.
Di mata kuliah Tafsir pun lagi-lagi perbedaan yang tampak. Pendekatan riwayat (ma’tsur) dan metode rasional (dirayah) ikut meramaikan mata kuliah di ranah tafsir ini. Walaupun kadar jelimetnya lumayan standar. Di pelatihan penulisan karya ilmiah berupa skripsi di Indonesia, malah di Lipia 3 x (semester 4, 6 dan 8). Tentunya pake bahasa Arab resmi. Yaaah… Itulah sekelumit pengembaraan intelektual kami di Islam tekstual kata para kaum liberal. Saya termasuk bersyukur (puas dan bangga) pernah “babak belur” dalam gemblengan naskah-naskah klasik ulama masa lalu di kampus biru itu (Kampus Arab Rasa Indonesia). Walaupun saya sendiri biasa-biasa aja ilmunya. Tidak sepertii alumni lain yang telah menasional, bahkan internasional ; Ust. Anis Matta, Ust. Bahtiar Nasir, Ust. Zaitun Rasmin, (Trio Sul Sel). Ust. KH Dr. Asrorun Ni’am dan KH. Dr. Kholil Nafis di NU, Ust. Ahmad Heryawan, dll. Silahkan ditambahkan gaes ! Hehehe
Tumblr media
6 tahun lamanya penjara ilmiah itu kualami dengan beragam rasa (nano-nano kali
Tumblr media
). Hingga kampus itu kontraksi, lahirlah daku sebagai salah satu sarjana alam ghaib (selevel S.Ag di kampus nasional). 6 tahun lamanya, seperti masa studi fakultas kedokteran, tapi beda jurusan. Mereka di Kesehatan biologis, kami di kesehatan psikologis keislaman
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Catatan :
1. Pengembaraan intelektual di Dunia Akademik “Progresif” ala liberal ntar nyusul aja ya. Biar ga kepanjangan dan ga ngebosenin.
Bersambung. In syaa Allah.
Pagi di Jum’at Berkah, 3 April 2020 (9 Sya’ban 1441 H.)
Baca selengkapnya di: http://almanar.co.id/pengembaraan-intelektual.html
0 notes
belajarislamonline · 5 years ago
Link
Pengembaraan Intelektual.
Bagian 1.
By. Idrus Abidin.
Tulisan ini memadukan antara :
1. Sikap Intelektual Islam Liberal (Mengurai Kejumudan Berfikir, Merusak Citra Agama Atas Nama Pembaharuan). 2. Sikap Intelektual Islam Moderat (Pembaharuan Islam Ala Klasik). Modern tanpa kebablasan. 3. Pengalaman real lapangan.
Titik sentral Pembaharuan (tajdid) yang digelorakan oleh kalangan muslim liberal dunia, termasuk di Indonesia; bertumpu pada realitas. Realitas tersebut umumnya berdasarkan pengertian Barat (Wordfiew) sekuler; termasuk prinsip praktis yang digunakan dalam membaca teks-teks syari’at (framework). Sehingga Islam dibaca dengan penafsiran tertentu dengan memberikan porsi keutamaan pada realitas. Bahkan, realitas tampaknya dianggap patokan pasti (qath’i), sedang teks-teks keagamaan/syariat harus mengikuti panduan realitas tersebut karena dianggap hanya sebatas perkiraan (zhanni). Itulah makna Islam sesuai dengan semangat setiap zaman dan semua tempat dalam nalar kaum liberal. Maka, jungkir baliklah standar baku prosedur memahami teks-teks keagamaan yang dipelopori oleh Nabi, sahabat, tabi’in. Prosedur baku dan terhitung sakral dalam internal Ahlu Sunnah; terutama kalangan Atsariyah. Prosedur baku tersebut dikenal dengan Tafsir bi al-Matsur dalam dunia Tafsir. Yaitu pendekatan dan prosedur pemahaman syariat mengikuti alur riwayat (atsar). Perbedaan ekstrim antara Islam kanan dan Islam kiri inilah yang melahirkan sikap saling tuduh antara dua pola dan dua kecenderungan tersebut. Islam progresif vs Islam Jumud. Islam ingklusif vs Islam Eksklusif. Islam liberal vs Islam Literal. Tampak hanya ada dua pilihan bagi publik awam dan pemula; seolah tidak ada kombinasi baru (sintesis).
Alhamdulillah, kami sudah hidup dalam ke-2 nuansa intelektual tersebut. Yang dibilang (dituduh) Islam fundamental, Literal, eksklusif, Islam Jumud dll kami selami lewat studi perbandingan madzhab di kampus biru; LIPIA, Jakarta. Semua rumpun mata kuliah di kampus ini serba berbeda tinjuan mazhabnya. Walaupun itu bertahap adanya. Di akidah misalnya, diawali dengan akidah sederhana dalam bentuk mudzakkirah (catatan pendek sekedar rangkuman) di kelas persiapan bahasa (I’dad Lughawi) dan pemantapan bahasa (Takmili). Di Fakultas syari’ah, kitab al-Qaul al-Mufidnya Syaikh Utsaimin sebagai Syarah kitab at-Tauhid Muhammad bin Abdul Wahhab dipelajari. Masih satu pendekatan. Namun, di semester 4 kalau tidak salah, perbedaan pendapat dalam ranah teologi Islam dengan pendekatan ilmu Kalam yang serba filosofis bahasanya mulai dipelajari. Kitab Aqidah Washithiyah dijadikan mata kuliah resmi. Kepala kami pun cenut-cenut membaca teks klasik itu dengan perdebatan intelektual dialektis (jadal) tingkat tinggi. Bahkan, sejak selesai fakultas syari’ah tahun 2005 hingga hari ini, masih banyak yang belum saya pahami dengan baik dari kitab tersebut. Mungkin karena nilai intelektualnya yang tinggi; terutama di kalangan Ahlu Sunnah Atsariyah. Kadang harus dihapal jawabannya walau tidak ngerti isinya sebagai pertanggungjawaban di kelas-kelas ujian.
Di fiqih dan Ushul Fikih pun sama. Awalnya satu Mazhab. Fikih Syafi’iyah yg merangkum ragam pendapat di internal mazhab tersebut ada di kitab Kifatyatul Akhyar. Sebagai Syarah dari kitab Matn Abi Syuja’. Lagi-lagi kepala cenut-cenut. Seolah bayi yang dipaksa makan nasi goreng pedes. Hehehe. Itu di Takmili. Ushul Fiqihnya pake kitab Syaikh Shalih Utsaimin. Sastra Arabnya (Balagah) yang berkategori 3 serangkai ; Badi’, Bayan dan Ma’ani tak kalah susahnya. 2 tahun pertama di I’dad Lughawi seolah merangkum 9 tahun belajar resmi di negara-negara Arab dari SD ke SMP. Sedang 1 tahun di Takmili seperti perasan ilmu 3 tahun di SMA Arab yang harus dijilat sempurna. Teks-teks sastra Arab itu seperti mantra-mantra sakti atau azimat yang berisi banyak simbol; susah dimengerti maksudnya. Bagi saya, 1 tahun di Takmili itu lebih “memenjarakan” dibanding 4 tahun di karantina fakultas syari’ah. Gramatika Arabnya (Nahwu) memakai standar Alfiyah Ibnu Malik yang disederhanakan penjelasannya oleh kementerian pendidikan Arab Saudi.
Di Fakultas Syari’ah, semuanya perbedaan pendapat. Hanya sejarah Dakwah Imam Abdul Wahhab saja yang rada-rada standar. Mata kuliah lain serba njelimet. Ushul Fiqih make Raudhatu an-Nazhir karya Ibnu Qudamah. Rekaman dialektik antara Mazhab fuqaha dan mutakkalimin hadir bagai sinetron persilatan Bramakumbara atau Tuturtinular atau sejenisnya di Indonesia. Seru tapi berat. Muktazilah pun selalu ikut serta dalam diskusi ala Indonesia Lawyers Club (ILC) itu. Tampak jauh berbeda dengan muktazilah plus hari ini yang doyan banget dg pluralisme agama. Di Fiqih, kitab Bidayatul Mujtahid karya filosof Ibnu Rusyd dipake. Tambah mumet kepala gue dg beragam perbedaan Mazhab. Di Hadits Hukum, buku Subulussalam; Syarah kitab Bulugulb Maram dijadikan panduan kuliah. Mazhab resmi Syi’ah Zaidiyah dijadikan Mazhab ke-5 oleh Imam ash-Sha’nani. So, jangan anggap anak-anak LIPIA hanya belajar Sunnah tanpa tahu Syi’ah loh ya; terutama di ranah Fiqih.
Di mata kuliah Tafsir pun lagi-lagi perbedaan yang tampak. Pendekatan riwayat (ma’tsur) dan metode rasional (dirayah) ikut meramaikan mata kuliah di ranah tafsir ini. Walaupun kadar jelimetnya lumayan standar. Di pelatihan penulisan karya ilmiah berupa skripsi di Indonesia, malah di Lipia 3 x (semester 4, 6 dan 8). Tentunya pake bahasa Arab resmi. Yaaah… Itulah sekelumit pengembaraan intelektual kami di Islam tekstual kata para kaum liberal. Saya termasuk bersyukur (puas dan bangga) pernah “babak belur” dalam gemblengan naskah-naskah klasik ulama masa lalu di kampus biru itu (Kampus Arab Rasa Indonesia). Walaupun saya sendiri biasa-biasa aja ilmunya. Tidak sepertii alumni lain yang telah menasional, bahkan internasional ; Ust. Anis Matta, Ust. Bahtiar Nasir, Ust. Zaitun Rasmin, (Trio Sul Sel). Ust. KH Dr. Asrorun Ni’am dan KH. Dr. Kholil Nafis di NU, Ust. Ahmad Heryawan, dll. Silahkan ditambahkan gaes ! Hehehe
Tumblr media
6 tahun lamanya penjara ilmiah itu kualami dengan beragam rasa (nano-nano kali
Tumblr media
). Hingga kampus itu kontraksi, lahirlah daku sebagai salah satu sarjana alam ghaib (selevel S.Ag di kampus nasional). 6 tahun lamanya, seperti masa studi fakultas kedokteran, tapi beda jurusan. Mereka di Kesehatan biologis, kami di kesehatan psikologis keislaman
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Catatan :
1. Pengembaraan intelektual di Dunia Akademik “Progresif” ala liberal ntar nyusul aja ya. Biar ga kepanjangan dan ga ngebosenin.
Bersambung. In syaa Allah.
Pagi di Jum’at Berkah, 3 April 2020 (9 Sya’ban 1441 H.)
Baca selengkapnya di: http://almanar.co.id/pengembaraan-intelektual.html
0 notes
belajarislamonline · 5 years ago
Link
Pengembaraan Intelektual.
Bagian 1.
By. Idrus Abidin.
Tulisan ini memadukan antara :
1. Sikap Intelektual Islam Liberal (Mengurai Kejumudan Berfikir, Merusak Citra Agama Atas Nama Pembaharuan). 2. Sikap Intelektual Islam Moderat (Pembaharuan Islam Ala Klasik). Modern tanpa kebablasan. 3. Pengalaman real lapangan.
Titik sentral Pembaharuan (tajdid) yang digelorakan oleh kalangan muslim liberal dunia, termasuk di Indonesia; bertumpu pada realitas. Realitas tersebut umumnya berdasarkan pengertian Barat (Wordfiew) sekuler; termasuk prinsip praktis yang digunakan dalam membaca teks-teks syari’at (framework). Sehingga Islam dibaca dengan penafsiran tertentu dengan memberikan porsi keutamaan pada realitas. Bahkan, realitas tampaknya dianggap patokan pasti (qath’i), sedang teks-teks keagamaan/syariat harus mengikuti panduan realitas tersebut karena dianggap hanya sebatas perkiraan (zhanni). Itulah makna Islam sesuai dengan semangat setiap zaman dan semua tempat dalam nalar kaum liberal. Maka, jungkir baliklah standar baku prosedur memahami teks-teks keagamaan yang dipelopori oleh Nabi, sahabat, tabi’in. Prosedur baku dan terhitung sakral dalam internal Ahlu Sunnah; terutama kalangan Atsariyah. Prosedur baku tersebut dikenal dengan Tafsir bi al-Matsur dalam dunia Tafsir. Yaitu pendekatan dan prosedur pemahaman syariat mengikuti alur riwayat (atsar). Perbedaan ekstrim antara Islam kanan dan Islam kiri inilah yang melahirkan sikap saling tuduh antara dua pola dan dua kecenderungan tersebut. Islam progresif vs Islam Jumud. Islam ingklusif vs Islam Eksklusif. Islam liberal vs Islam Literal. Tampak hanya ada dua pilihan bagi publik awam dan pemula; seolah tidak ada kombinasi baru (sintesis).
Alhamdulillah, kami sudah hidup dalam ke-2 nuansa intelektual tersebut. Yang dibilang (dituduh) Islam fundamental, Literal, eksklusif, Islam Jumud dll kami selami lewat studi perbandingan madzhab di kampus biru; LIPIA, Jakarta. Semua rumpun mata kuliah di kampus ini serba berbeda tinjuan mazhabnya. Walaupun itu bertahap adanya. Di akidah misalnya, diawali dengan akidah sederhana dalam bentuk mudzakkirah (catatan pendek sekedar rangkuman) di kelas persiapan bahasa (I’dad Lughawi) dan pemantapan bahasa (Takmili). Di Fakultas syari’ah, kitab al-Qaul al-Mufidnya Syaikh Utsaimin sebagai Syarah kitab at-Tauhid Muhammad bin Abdul Wahhab dipelajari. Masih satu pendekatan. Namun, di semester 4 kalau tidak salah, perbedaan pendapat dalam ranah teologi Islam dengan pendekatan ilmu Kalam yang serba filosofis bahasanya mulai dipelajari. Kitab Aqidah Washithiyah dijadikan mata kuliah resmi. Kepala kami pun cenut-cenut membaca teks klasik itu dengan perdebatan intelektual dialektis (jadal) tingkat tinggi. Bahkan, sejak selesai fakultas syari’ah tahun 2005 hingga hari ini, masih banyak yang belum saya pahami dengan baik dari kitab tersebut. Mungkin karena nilai intelektualnya yang tinggi; terutama di kalangan Ahlu Sunnah Atsariyah. Kadang harus dihapal jawabannya walau tidak ngerti isinya sebagai pertanggungjawaban di kelas-kelas ujian.
Di fiqih dan Ushul Fikih pun sama. Awalnya satu Mazhab. Fikih Syafi’iyah yg merangkum ragam pendapat di internal mazhab tersebut ada di kitab Kifatyatul Akhyar. Sebagai Syarah dari kitab Matn Abi Syuja’. Lagi-lagi kepala cenut-cenut. Seolah bayi yang dipaksa makan nasi goreng pedes. Hehehe. Itu di Takmili. Ushul Fiqihnya pake kitab Syaikh Shalih Utsaimin. Sastra Arabnya (Balagah) yang berkategori 3 serangkai ; Badi’, Bayan dan Ma’ani tak kalah susahnya. 2 tahun pertama di I’dad Lughawi seolah merangkum 9 tahun belajar resmi di negara-negara Arab dari SD ke SMP. Sedang 1 tahun di Takmili seperti perasan ilmu 3 tahun di SMA Arab yang harus dijilat sempurna. Teks-teks sastra Arab itu seperti mantra-mantra sakti atau azimat yang berisi banyak simbol; susah dimengerti maksudnya. Bagi saya, 1 tahun di Takmili itu lebih “memenjarakan” dibanding 4 tahun di karantina fakultas syari’ah. Gramatika Arabnya (Nahwu) memakai standar Alfiyah Ibnu Malik yang disederhanakan penjelasannya oleh kementerian pendidikan Arab Saudi.
Di Fakultas Syari’ah, semuanya perbedaan pendapat. Hanya sejarah Dakwah Imam Abdul Wahhab saja yang rada-rada standar. Mata kuliah lain serba njelimet. Ushul Fiqih make Raudhatu an-Nazhir karya Ibnu Qudamah. Rekaman dialektik antara Mazhab fuqaha dan mutakkalimin hadir bagai sinetron persilatan Bramakumbara atau Tuturtinular atau sejenisnya di Indonesia. Seru tapi berat. Muktazilah pun selalu ikut serta dalam diskusi ala Indonesia Lawyers Club (ILC) itu. Tampak jauh berbeda dengan muktazilah plus hari ini yang doyan banget dg pluralisme agama. Di Fiqih, kitab Bidayatul Mujtahid karya filosof Ibnu Rusyd dipake. Tambah mumet kepala gue dg beragam perbedaan Mazhab. Di Hadits Hukum, buku Subulussalam; Syarah kitab Bulugulb Maram dijadikan panduan kuliah. Mazhab resmi Syi’ah Zaidiyah dijadikan Mazhab ke-5 oleh Imam ash-Sha’nani. So, jangan anggap anak-anak LIPIA hanya belajar Sunnah tanpa tahu Syi’ah loh ya; terutama di ranah Fiqih.
Di mata kuliah Tafsir pun lagi-lagi perbedaan yang tampak. Pendekatan riwayat (ma’tsur) dan metode rasional (dirayah) ikut meramaikan mata kuliah di ranah tafsir ini. Walaupun kadar jelimetnya lumayan standar. Di pelatihan penulisan karya ilmiah berupa skripsi di Indonesia, malah di Lipia 3 x (semester 4, 6 dan 8). Tentunya pake bahasa Arab resmi. Yaaah… Itulah sekelumit pengembaraan intelektual kami di Islam tekstual kata para kaum liberal. Saya termasuk bersyukur (puas dan bangga) pernah “babak belur” dalam gemblengan naskah-naskah klasik ulama masa lalu di kampus biru itu (Kampus Arab Rasa Indonesia). Walaupun saya sendiri biasa-biasa aja ilmunya. Tidak sepertii alumni lain yang telah menasional, bahkan internasional ; Ust. Anis Matta, Ust. Bahtiar Nasir, Ust. Zaitun Rasmin, (Trio Sul Sel). Ust. KH Dr. Asrorun Ni’am dan KH. Dr. Kholil Nafis di NU, Ust. Ahmad Heryawan, dll. Silahkan ditambahkan gaes ! Hehehe
Tumblr media
6 tahun lamanya penjara ilmiah itu kualami dengan beragam rasa (nano-nano kali
Tumblr media
). Hingga kampus itu kontraksi, lahirlah daku sebagai salah satu sarjana alam ghaib (selevel S.Ag di kampus nasional). 6 tahun lamanya, seperti masa studi fakultas kedokteran, tapi beda jurusan. Mereka di Kesehatan biologis, kami di kesehatan psikologis keislaman
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Catatan :
1. Pengembaraan intelektual di Dunia Akademik “Progresif” ala liberal ntar nyusul aja ya. Biar ga kepanjangan dan ga ngebosenin.
Bersambung. In syaa Allah.
Pagi di Jum’at Berkah, 3 April 2020 (9 Sya’ban 1441 H.)
Baca selengkapnya di: http://almanar.co.id/pengembaraan-intelektual.html
0 notes
belajarislamonline · 5 years ago
Link
Pengembaraan Intelektual.
Bagian 1.
By. Idrus Abidin.
Tulisan ini memadukan antara :
1. Sikap Intelektual Islam Liberal (Mengurai Kejumudan Berfikir, Merusak Citra Agama Atas Nama Pembaharuan). 2. Sikap Intelektual Islam Moderat (Pembaharuan Islam Ala Klasik). Modern tanpa kebablasan. 3. Pengalaman real lapangan.
Titik sentral Pembaharuan (tajdid) yang digelorakan oleh kalangan muslim liberal dunia, termasuk di Indonesia; bertumpu pada realitas. Realitas tersebut umumnya berdasarkan pengertian Barat (Wordfiew) sekuler; termasuk prinsip praktis yang digunakan dalam membaca teks-teks syari’at (framework). Sehingga Islam dibaca dengan penafsiran tertentu dengan memberikan porsi keutamaan pada realitas. Bahkan, realitas tampaknya dianggap patokan pasti (qath’i), sedang teks-teks keagamaan/syariat harus mengikuti panduan realitas tersebut karena dianggap hanya sebatas perkiraan (zhanni). Itulah makna Islam sesuai dengan semangat setiap zaman dan semua tempat dalam nalar kaum liberal. Maka, jungkir baliklah standar baku prosedur memahami teks-teks keagamaan yang dipelopori oleh Nabi, sahabat, tabi’in. Prosedur baku dan terhitung sakral dalam internal Ahlu Sunnah; terutama kalangan Atsariyah. Prosedur baku tersebut dikenal dengan Tafsir bi al-Matsur dalam dunia Tafsir. Yaitu pendekatan dan prosedur pemahaman syariat mengikuti alur riwayat (atsar). Perbedaan ekstrim antara Islam kanan dan Islam kiri inilah yang melahirkan sikap saling tuduh antara dua pola dan dua kecenderungan tersebut. Islam progresif vs Islam Jumud. Islam ingklusif vs Islam Eksklusif. Islam liberal vs Islam Literal. Tampak hanya ada dua pilihan bagi publik awam dan pemula; seolah tidak ada kombinasi baru (sintesis).
Alhamdulillah, kami sudah hidup dalam ke-2 nuansa intelektual tersebut. Yang dibilang (dituduh) Islam fundamental, Literal, eksklusif, Islam Jumud dll kami selami lewat studi perbandingan madzhab di kampus biru; LIPIA, Jakarta. Semua rumpun mata kuliah di kampus ini serba berbeda tinjuan mazhabnya. Walaupun itu bertahap adanya. Di akidah misalnya, diawali dengan akidah sederhana dalam bentuk mudzakkirah (catatan pendek sekedar rangkuman) di kelas persiapan bahasa (I’dad Lughawi) dan pemantapan bahasa (Takmili). Di Fakultas syari’ah, kitab al-Qaul al-Mufidnya Syaikh Utsaimin sebagai Syarah kitab at-Tauhid Muhammad bin Abdul Wahhab dipelajari. Masih satu pendekatan. Namun, di semester 4 kalau tidak salah, perbedaan pendapat dalam ranah teologi Islam dengan pendekatan ilmu Kalam yang serba filosofis bahasanya mulai dipelajari. Kitab Aqidah Washithiyah dijadikan mata kuliah resmi. Kepala kami pun cenut-cenut membaca teks klasik itu dengan perdebatan intelektual dialektis (jadal) tingkat tinggi. Bahkan, sejak selesai fakultas syari’ah tahun 2005 hingga hari ini, masih banyak yang belum saya pahami dengan baik dari kitab tersebut. Mungkin karena nilai intelektualnya yang tinggi; terutama di kalangan Ahlu Sunnah Atsariyah. Kadang harus dihapal jawabannya walau tidak ngerti isinya sebagai pertanggungjawaban di kelas-kelas ujian.
Di fiqih dan Ushul Fikih pun sama. Awalnya satu Mazhab. Fikih Syafi’iyah yg merangkum ragam pendapat di internal mazhab tersebut ada di kitab Kifatyatul Akhyar. Sebagai Syarah dari kitab Matn Abi Syuja’. Lagi-lagi kepala cenut-cenut. Seolah bayi yang dipaksa makan nasi goreng pedes. Hehehe. Itu di Takmili. Ushul Fiqihnya pake kitab Syaikh Shalih Utsaimin. Sastra Arabnya (Balagah) yang berkategori 3 serangkai ; Badi’, Bayan dan Ma’ani tak kalah susahnya. 2 tahun pertama di I’dad Lughawi seolah merangkum 9 tahun belajar resmi di negara-negara Arab dari SD ke SMP. Sedang 1 tahun di Takmili seperti perasan ilmu 3 tahun di SMA Arab yang harus dijilat sempurna. Teks-teks sastra Arab itu seperti mantra-mantra sakti atau azimat yang berisi banyak simbol; susah dimengerti maksudnya. Bagi saya, 1 tahun di Takmili itu lebih “memenjarakan” dibanding 4 tahun di karantina fakultas syari’ah. Gramatika Arabnya (Nahwu) memakai standar Alfiyah Ibnu Malik yang disederhanakan penjelasannya oleh kementerian pendidikan Arab Saudi.
Di Fakultas Syari’ah, semuanya perbedaan pendapat. Hanya sejarah Dakwah Imam Abdul Wahhab saja yang rada-rada standar. Mata kuliah lain serba njelimet. Ushul Fiqih make Raudhatu an-Nazhir karya Ibnu Qudamah. Rekaman dialektik antara Mazhab fuqaha dan mutakkalimin hadir bagai sinetron persilatan Bramakumbara atau Tuturtinular atau sejenisnya di Indonesia. Seru tapi berat. Muktazilah pun selalu ikut serta dalam diskusi ala Indonesia Lawyers Club (ILC) itu. Tampak jauh berbeda dengan muktazilah plus hari ini yang doyan banget dg pluralisme agama. Di Fiqih, kitab Bidayatul Mujtahid karya filosof Ibnu Rusyd dipake. Tambah mumet kepala gue dg beragam perbedaan Mazhab. Di Hadits Hukum, buku Subulussalam; Syarah kitab Bulugulb Maram dijadikan panduan kuliah. Mazhab resmi Syi’ah Zaidiyah dijadikan Mazhab ke-5 oleh Imam ash-Sha’nani. So, jangan anggap anak-anak LIPIA hanya belajar Sunnah tanpa tahu Syi’ah loh ya; terutama di ranah Fiqih.
Di mata kuliah Tafsir pun lagi-lagi perbedaan yang tampak. Pendekatan riwayat (ma’tsur) dan metode rasional (dirayah) ikut meramaikan mata kuliah di ranah tafsir ini. Walaupun kadar jelimetnya lumayan standar. Di pelatihan penulisan karya ilmiah berupa skripsi di Indonesia, malah di Lipia 3 x (semester 4, 6 dan 8). Tentunya pake bahasa Arab resmi. Yaaah… Itulah sekelumit pengembaraan intelektual kami di Islam tekstual kata para kaum liberal. Saya termasuk bersyukur (puas dan bangga) pernah “babak belur” dalam gemblengan naskah-naskah klasik ulama masa lalu di kampus biru itu (Kampus Arab Rasa Indonesia). Walaupun saya sendiri biasa-biasa aja ilmunya. Tidak sepertii alumni lain yang telah menasional, bahkan internasional ; Ust. Anis Matta, Ust. Bahtiar Nasir, Ust. Zaitun Rasmin, (Trio Sul Sel). Ust. KH Dr. Asrorun Ni’am dan KH. Dr. Kholil Nafis di NU, Ust. Ahmad Heryawan, dll. Silahkan ditambahkan gaes ! Hehehe
Tumblr media
6 tahun lamanya penjara ilmiah itu kualami dengan beragam rasa (nano-nano kali
Tumblr media
). Hingga kampus itu kontraksi, lahirlah daku sebagai salah satu sarjana alam ghaib (selevel S.Ag di kampus nasional). 6 tahun lamanya, seperti masa studi fakultas kedokteran, tapi beda jurusan. Mereka di Kesehatan biologis, kami di kesehatan psikologis keislaman
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Catatan :
1. Pengembaraan intelektual di Dunia Akademik “Progresif” ala liberal ntar nyusul aja ya. Biar ga kepanjangan dan ga ngebosenin.
Bersambung. In syaa Allah.
Pagi di Jum’at Berkah, 3 April 2020 (9 Sya’ban 1441 H.)
Baca selengkapnya di: http://almanar.co.id/pengembaraan-intelektual.html
0 notes