#Ngaji safinah
Explore tagged Tumblr posts
Text
youtube
Ngaji pertama, kitab klasik yuk tonton subscribe like Dan share ya insya Allah bermanfaat
0 notes
Text
Alhamdulillah di notice habib kalo gw baru ngaji kitab safinah lagi setelah sekian lamaaaa, ternyata beliau ngeh kalo gw muridnya, padahal murid dia banyak banget 😭
Bib do'ain ya biar bisa nyicil tabungan umroh 🙏😭
22/08/2022
0 notes
Photo
Ustadz zaenal arif Ngaji safinah sunda : muqodimah BUBUKA Bismillaahi : ngawitan abdi ngaos kana ieu kitab bari ngalap berkah kalawan nyeubat pirang-pirang jeuneungan anu ngumpulkeun sifat kapangeranan gusti Alloh. (anu sifat na gusti Alloh) Arrohmaani : anu maparinan pirang pirang nikmat ageung alloh di dunya ka sadayana makhlukna (tur anu sifat na gusti Alloh) Arrohiimi : anu maparinan nikmat alit alloh di akhirat ka mukmin wungkul nu di pilihNa Alhamdu: ari sagala jinis puji eta tetep. Lillaahi: khusus pikeun gusti Alloh Robbil ‘Aalamin: anu ngurus pirang pirang sakabeh alam. Wabihii: sareung ka gusti Alloh wungkul. Nasta’iinu: nyuhunkeun pitulung abdi sadaya. ‘Alaa Umuuriddunyaa: kana mang pirang-pirang urusan dunya Waddiini: jeung pirang-pirang urusan agama. Washollallaahu: sareung mugi-mugi nambih-nambih rohmat gusti Alloh. Wassalalama: sareung kasalameutan. ‘Alaa Sayyidinaa: ka jungjunan urang sadaya. Muhammadin: teuges na kanjeng nabi muhammad shalallahu'alaihi wasallam Khootaman: anu janteun panungtung. Nabiyyiina: samudaya para nabi. Wa Aalihii: jeung ka kulawargina kanjeng nabi. Washohbihii: jeung ka para shohabatna kanjeng nabi. Ajma’iina: teugesna sadayana bae. Walaa Hawla: teu aya data upaya kanggo nyingkahan maksiat. Walaa Quwwata: sareung teu aya kakiatan kanggo ngalakonan tho’at. Illaa Billaahi: anging ku pitulung na gusti Alloh. (anu sifat na gusti Alloh) al’aliyyi: anu maha luhur (tur anu sifat na gusti Alloh) al ‘Azhiimi: anu maha agung. https://www.instagram.com/p/B5KH2rhFwY4/?igshid=oh1wvmyw5e0p
0 notes
Photo
KEMI: CINTA KEBEBASAN YANG TERSESAT Isu seputar Islam Liberal memang makin berkembang pesat di negeri ini. Apalagi pasca Ahok dijebloskan kedalam penjara, seolah-olah negeri ini diteror untuk mengkampanyekan pluralisme agama, dan menghimpun diri dalam kebhinekaan yang Pancasilais. Padahal konsepsi Pancasilais dan kebhinekaan bukanlah konsepi yang sama dengan pluralisme agama. Pluralisme agama selalu menempatkan diri orang yang mendukungnya pada posisi netral agama. Sedangkan konsepsi Pancasilais dan kebhinekaan menempatkan diri seseorang tetap berada pada pihak mendukung agamanya. Berbicara tentang Islam Liberal, isu-isu yang digaungkan tidaklah jauh-jauh dari pluralisme agama, kesetaraan gender, dan sekulerisasi agama, yang makin ke sini orang-orang menjadi sok pembela liberal. Novel ini, menjadi novel jawaban telak bagi siapa saja pendukung atau yang sudah menjadi Islam Liberal. Dalam novel ini juga sudah ditampilkan bagaimana logika yang digunakan para kaum Islam Liberal dan pematahannya. Ada dua bagian yang jadi favorit saya dari novel ini; pematahan definisi Islam Liberal dan pengungkapan siapa aktor bisnis dibalik proyek Islam Liberal. ***** TERJEBAK TANTANGAN KEMI Saat mengantar adiknya yang akan nyantri di Sukabumi, Rahmat menemui Kemi di tempat kosnya. Lama tak jumpa ada perasaan canggung diantara Rahmat dan Kemi. Namun, Rahmat memberanikan diri untuk membuka diskusi dengan Kemi mengenai Islam Liberal yang kini dianut Kemi. "Menurut saya, Kemi, istilahnya saja sudah salah. Islam kok liberal. Islam itu artinya tunduk patuh kepada Allah. Kalau ditambah 'liberal', Islam menjadi lain maknanya karena liberal artinya bebas tanpa hambatan. Kata kyai kita, 'Islam Liberal' itu artinya Islam yang sak karapr dhewe. Islam semaunya sendiri. Mau halal, dibikin halal. Mau haram bisa dibikin haram." Ujar Rahmat. "Itu salah. Liberal disitu artinya bukan 'semaunya sendiri', tetapi artinya 'membebaskan'. Jadi, Islam Liberal itu adalah Islam yang membebaskan, yaitu membebaskan dari kejumudan, kekolotan, kekakuan, kefanatikan dan kesempitan berpikir, seperti yang banyak terjadi pada beberapa kelompok Islam sekarang ini, yang berpikirnya sempit." Aku Kemi. Rahmat menukas kata-kata Kemi, "Tetapi juga membebaskan dari Islam itu sendiri. Hahaha. Itu tidak sesuai dengan kenyataan. Wong Islam Liberal seperti yang kamu omongkan dan kamu tulis adalah Islam yang baru, Islam yang tidak sama dengan Islam yang ada. Kamu kan buat-buat pemahaman yang baru, yang aneh." "Ah. Coba tunjukkan, pemahaman yang mana yang salah dan aneh dari Islam Liberal?" "Kita kan sama-sama tahu, kita ngaji bareng. Kitab-kitab yang kita kaji dulu sudah jelas posisinya. Para guru kita mengajarkan bahwa hanya agama Islam yang diterima Allah. Tetapi orang liberal bilang, semua agama benar, semuanya jalan yang sah menuju Tuhan. Bagaimana bisa begitu? Jadi, tidak ada bedanya menjadi orang Islam dengan orang kafir. Malah ada yang bilang, yang penting berbuat baik pada sesama manusia, tidak peduli iman atau tidak. Kan itu pikiran yang jelas-jelas ngawur dalam pandangan aqidah Islam. Kamu buka lagi saja kitab Sullamut Taufiq. Jelas sekali digambarkan bagaimana bahayanya paham dan tindakan murtad. Orang murtad, yang keluar dari Islam, yang aqidahnya rusak, tidak diterima amalnya oleh Allah. Ini kan ajaran yang sangat mendasar dalam Islam, dan kitab-kitab kita di pesantren sudah mengajarkan seperti ini sejak tingkat Ibtida'iyah." Dalam kitab Sulam Safinah, umat Islam diingatkan agar menjaga Islam-nya dari hal-hal yang membatalkan keislamannya, yakni murtad (riddah). Dijelaskan juga dalam kitab ini bahwa ada tiga jenis riddah, yaitu murtad dengan i'tiqad, mutad dengan lisan dan murtad dengan perbuatan. Dalam pandangan Islam, murtadnya seseorang, bukanlah hal kecil. Jika imam batal, maka hilanglah fondasi keislamannya. "Barangsiapa yang murtad diantara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya." Al-Baqarah:127 ***** AKHIR PETUALANGAN KEMI "Kamu pasti tahu, sejak Perang Dingin berakhir, negara-negara Barat sudah mengubah politiknya. Mereka tidak lagi mengarahkan politiknya ke komunis. Tapi, berganti mengarah ke Islam. Di situ banyak dana yang tersedia untuk proyek-proyek menjinakkan Islam; sebagaimana dulu mereka lakukan pada komunis." "Untuk proyek-proyek 'penjinakkan Islam', agar orang Islam tidak anti-Barat, maka mereka memerlukan santri-santri cerdas, intelektual-intelektual bidang studi Islam, tokoh-tokoh Islam, agar proyek-proyek itu mudah diterima oleh umat Islam. Tidak mungkin orang-orang bule itu sendiri yang turun ke masyarakat atau pondok-pondok pesantren. Uang-uang itu mereka kumpulkan dari pajak rakyat mereka, dan harus mereka pertanggungjawabkan. Ini proyek besar." Ujar Roman. "Apa kamu bilang, ini bisnis? Bukankah yang kita perjuangkan selama ini adalah ide-ide yang mulia, yang sangat dibutuhkan untuk kemajuan dan perdamaian umat manusia. Apa benar yang kamu katakan? Kalau begitu proyek-proyek HAM, kesetaraan gender, pluralisme, multikulturanisme, semua itu ditujukan untuk bisnis?" Kemi mulai naik pitam. "Ada juga yang tulus memperjuangkan itu semua. Ada yang yakin, itu semua akan membawa perdamaian. Tapi, lihat saja faktanya. Apa AS dan sekutunya benar-benar tulus menginginkan perdamaian? Lihat proyek mereka di Irak dan Afghanistan. Mereka mau damai atau mau minyak dan kekayaan alam?" Kadang kala, tanda tanya memang sempat melintas di benak Kemi, untuk apa negara-negara Barat begitu bersemangat menyebarkan paham-paham sejenis pluralisme agama dan kesetaraan gender ke pesantren-pesantren? Apakah mereka juga berniat untuk amal jariyah? Apakah semua itu bukan bagian dari kebijakan global untuk mengokohkan hegemoni negara-negara Barat atas dunia ketiga? ***** Allahumma arinal haqqa haqqan warzuqna ittibaa'an. Wa arinal baathila baathilan warzuqna ijtinaaba. Ya Allah, tunjukkanlah kepadaku yang benar itu benar dan berikanlah kemampuan kepadaku untuk mengikutinya dan tunjukkanlah yang bathil itu bathil, dan berikanlah kemampuan untuk menjauhinya.
1 note
·
View note
Text
Ilmu yang Bermanfaat
[Jurnal Ilmyah: Hari #96]
Rancangan untuk jurnal hari ini saya tulis ketika hujan rintik cenderung besar sehabis magrib. Tapi tak lantas diketik karena saya sangat ingin ke Gramedia untuk membeli buku Konspirasi Alam Semestanya bung Fiersa. Alhamdulillah, sehabis isya hujannya mereda. Saya langsung tancap gas saja ke sana.
Tolong jangan pikirkan saya pergi dengan siapa. Saya pergi sendiri soalnya. Seperti biasa, ketika ada beberapa teman yang menemukan saya sedang beraktivitas sendirian lalu bertanya, “Kang sendirian aja?” Saya jawab, “iya nih, masih sendiri.” He.
Menjelang jam 22.00 WIB saya tiba di kontrakan setelahnya makan di warteg daerah Gegerkalong depan alfa mart samping masjid Nurul Fikri. Di sana menunya masih cukup lengkap walaupun sudah menjelang jam 9 malam. Bagi yang masih sendiri seperti saya, keberadaan warteg sangatlah dibutuhkan. Apalagi saya enggak berbakat memasak. Dan memang bawaannya saja hoream sih. Kok jadi ke sini? Lanjut ah.
. . .
Pada jurnal kali ini saya ingin bercerita saja. Nampaknya akan sedikit flashback ke cerita masa kecil saya. Ayo tebak, mau cerita apa? Jangan nebak deh ketang. Baca terus saja, nanti juga bakalan tahu.
Sekitar tahun 1999-2000-an kami (satu keluarga) sering mengunjungi rumah kakek-nenek tiap minggu (Sabtu & Minggu) di desa Rajadatu. Desa saya namanya Cikondang. Dengan desa Rajadatu masih satu kecamatan namun jaraknya lumayan jauh. Sekitar 10-15 KM dari rumah. Apalagi waktu dulu belum punya motor, jadi pakai angkutan umum. Itu pun kalau mau pulang dari sana, cukup sulit juga. Mobil bak sebagai salah satu sarana transportasi selain ojek sangat jarang.
Kebiasaan tiap hari Minggu pagi bapak saya adalah mengkaji kitab kuning. Gurunya adalah kakek saya sendiri (selanjutnya saya sebut Apa). Keren ya, seorang menantu gurunya mertuanya sendiri. Saya pun ingin seperti itu, tapi entah bisa terwujud atau tidak. Semoga bisa.
Saya biasanya bermain-main di dalam atau di luar rumah bersama teteh atau kalau ada anak-anak lain jua. Kenapa saya tahu kalau bapak sedang belajar kitab, karena kalau sedang main keluar-masuk rumah saya melewati ruang makan, dan biasanya Apa dan bapak mengaji kitab di sana.
Waktu kecil saya tak terlalu tertarik untuk ikut mempelajari kitab juga. Namun memori itu memang kuat membekas di ingatan saya. Tradisi mengkaji Islam ternyata telah dicontohkan secara turun temurun di keluarga besar saya, terutama keluarga mamah.
Saya jadi mikir, apakah waktu bapak menyatakan niat untuk memperisteri mamah dites dulu baca satu kitab tertentu oleh Apa? Pertanyaan ini tidak jelas saya tahu jawabannya. Soalnya tak pernah saya tanyakan juga ke bapak atau mamah. Saya hanya menebak-nebak saja. Hal seperti itu mungkin-mungkin saja sebagai indikator ketenangan seorang ayah yang notabene seorang pemuka agama untuk menyerahkan anak perempuannya dipersunting oleh seorang pemuda.
Bapak mengaji kitab bukan hanya untuk dikonsumsi sendiri. Melainkan memang biasanya bapak pun rutin mengisi pengajian mingguan (malam Minggu) di masjid di dekat rumah Apa. Jadi pelajaran-pelajaran yang didapat bapak dari Apa sangat bermanfaat sebagai bahan untuk pengajian mingguan itu. Andaikan tradisi seperti ini banyak diterapkan di banyak keluarga muda. Seorang mertua mengajari menantunya (laki-laki maupun perempuan) mengenai ilmu agama. Pasti indah sekali.
. . .
Apa di desa Rajadatu memang terkenal sebagai ustadz atau orang yang mengerti agama Islam. Setahu saya banyak orang-orang yang bertamu ke rumahnya untuk berkonsultasi atau meminta dido’akan. Koleksi kitab-kitabnya banyak sekali, baik yang tebal-tebal maupun tipis-tipis. Apa pasti jago membacanya. Buktinya kitabnya tak sedikit. Buat apa mengoleksi banyak kitab kalau tak dibaca?
Lalu yang menarik adalah meskipun usia Apa sangat sepuh, ketika beliau membaca Qur’an atau kitab tak pernah memakai kacamata. Apa menggunakan senter merek Tiger berwarna silver untuk membantunya membaca huruf arab. Bagi saya itu menakjubkan.
Mungkin karena pola hidup Apa yang baik sehingga fungsi matanya masih terjaga walaupun usia sudah senja. Beda halnya dengan generasi hari ini. Masih muda saja sudah memakai kacamata, tapi bukan karena banyak baca, melainkan karena interaksi bermain gadget atau game secara masif.
Beberapa saat setelah Apa meninggal, dan rumah Apa kemudian dijual, anak-anaknya (mamah, uwa) membawa kitab-kitab berkertas kuning itu. Isinya arab gundul tak berbaris. Mungkin ada sedikit corat-coret pulpen untuk membantu mengingat. Hanya orang tertentu dengan kemampuan ilmu mumpuni yang bisa membaca dan memahami isinya.
Bapak pun membawa beberapa kitab ke rumah. Sampai saat ini masih ada tapi jarang dibaca. Malah beberapa sudah dimakan rayap. Miris sekali. Saya pun tidak bisa membacanya walaupun sempat mondok 3 tahun selama SMA. Begini nih kalau tak serius belajar. Lelah iya, tapi ilmu tak didapat. Yang ada hanyalah penyesalan mendalam.
Saya jadi teringat ketika ngaji di pesantren dulu seringnya mengantuk. Apalagi ketika ngaji subuh. Ditambah lagi saya malas mengulang pelajaran. Padahal mutala’ah selalu ditekankan oleh Ibu (isteri pimpinan pondok yang juga guru PAI saya di SMA 1 Tasikmalaya) dan ustadz-ustadzah lainnya sebagai jalan menguatkan ilmu yang telah didapat.
Saya baru sadar kalau ilmu ketika di pondok itu sangat bermanfaat dalam keseharian. Terlebih lagi beberapa tahun setelahnya saya kuliah di jurusan Ilmu Pendidikan Agama Islam. Beberapa mata kuliah keagamaannya pernah dipelajari selama di pondok. Maafkan.
Andaikan saja saya paham dan menguasai ilmu dasar bahasa arab seperti jurmiyah, ‘imrity, serta alfiyah juga shorof, mungkin saya bisa dengan mudah memahami tafsir dan mata kuliah lainnya di perkuliahan. Dan memang bahasa arab adalah kunci ketika ingin mempelajari Islam lebih dalam. Wong sumber-sumber ilmu keislaman yang pokok itu menggunakan bahasa arab.
Dari hal ini barangkali kita bisa menyesiasati sebuah penyesalan. Yakni dengan memikirkan dampak baik dan buruk ketika kita akan melakukan satu hal. Melalui perenungan mendalam bahwa malas dan tak serius itu hanya akan mendatangkan kerugian maka kita bisa bisa lebih bersemangat berlelah-lelah dahulu dalam proses belajar, supaya nantinya memetik hasil dari perjuangan yang sangat manis itu. Lalu penyesalan pun akhirnya dihindari.
Saya jadi membayangkan diri saya dengan bapak ketika masih muda. Setahu saya bapak tidak mondok secara menetap di pesantren. Katanya waktu itu bapak sakit mag, jadi pulang pergi untuk mengaji di pesantren yang ada di desa saya. Tapi lihat, sekarang bapak minimalnya menguasai beberapa kitab kuning dasar baik kitab fiqih (safinah), bahasa arab (jurmiyah), tauhid (tijan), adab menuntut ilmu (ta’limul muta’alim) dan lain-lain.
Secara logika harusnya saya lebih jago karena banyak waktu yang dihabiskan di pesantren. Namun karena urusan serius dan kesungguhan ternyata porsi belajar yang walaupun berbeda tak terlalu berperngaruh pada hasilnya. Buktinya bapak lebih menguasainya ketimbang saya.
Dengan ilmunya itu, ketika pengajian mingguan di masjid kampung, bapak saya biasanya menjadi pengisinya. Beginilah salah satu contoh ilmu yang bermanfaat. Meski mungkin sedikit, namun ada barokah di dalamya. Sementara barokah itu kan menurut Al-Ghozali adalah ziyadatul khair, yakni bertambahnya kebaikan.
. . .
Memiliki ilmu yang bermanfaat merupakan dambaan setiap kita selaku seorang muslim. Percuma punya banyak ilmu kalau dengan ilmunya itu tak menyebabkan kemaslahatan bagi banyak orang, atau bahkan minimal bagi dirinya sendiri yang mengamalkannya dalam keseharian. Al-ilmu bila ‘amalin kassajarin bila samarin. Ilmu tanpa diamalkan, seperti pohon tak berbuah. Makanya kita tak boleh berhenti ketika sebelum dan sesudah belajar untuk meminta kepada Allah agar diberikan tambahan ilmu serta keberkahan atasnya.
Ilmu yang bermanfaat juga sangat ditentukan dengan keridoan guru selaku wasilah tersampainya ilmu Allah ke kita selaku pencari ilmu. Di sini adab-adab kita terhadap guru sangatlah harus diperhatikan. Bahkan dalam kitab ta’limul muta’alim seingat saya adab-adabnya sangat ketat. Menzalimi anaknya guru pun tak diperbolehkan. Karena itu sama dengan menghina guru kita selaku orang tuanya. Kitab itu adalah kitab favorit saya ketika di pondok dulu. Sangat direkomendasikan untuk dikaji. Saya pun ingin mengaji kitab itu lagi.
Nah, sekarang adab-adab seorang murid terhadap guru itu mulai memudar. Wajar saja meskipun secara kuantitas ilmu yang didapat itu banyak, namun ilmunya tak bermanfaat. Dibuktikan dengan mudahnya ilmu yang telah didapat itu terlupakan begitu saja. Semoga kita termasuk orang-orang yang dititipkan ilmu dan diberikan keberkahan serta manfaat atas ilmu tersebut.
Muhammad Irfan Ilmy | Bandung, 26 April 2017
sumber gambar: Ala Santri via Mulvix.com
1 note
·
View note
Video
youtube
Liked on YouTube: Ngaji Kitab Safinah : Puasa Romadhon https://www.youtube.com/watch?v=McWy_GiUi_Q
0 notes
Text
youtube
Ngaji Ke tiga, apakah istiqomah itu?
0 notes
Text
youtube
Ngaki Ke dua, lanjut pengajian rutin ngaji kitab klasik
0 notes
Video
youtube
Liked on YouTube: Ngaji kitab Safinah : Harta Yang Wajib Dizakati https://www.youtube.com/watch?v=eZSJHelBVMc
0 notes