#Nama Nama Laki-laki Sumbawa
Explore tagged Tumblr posts
Photo
Intip Rahasia Nama Bayi Laki-laki Bahasa Sumbawa yang Unik Nama Bayi Laki-laki Bahasa Sumbawa yang Unik - Indonesia terdiri dari banyak pulau. Sumbawa adalah salah satunya.
#Nama Bayi Laki-laki Asal Sumbawa#Nama Bayi Laki-laki Sumbawa#Nama Laki-laki Bahasa Sumbawa#Nama Nama Laki-laki Sumbawa
0 notes
Text
TURISIAN.com – Nusa Tenggara Barat (NTB) menyimpan banyak destinasi wisata alam yang menakjubkan. Salah satunya Air Terjun Ai Beling di Kabupaten Sumbawa. Jamin deh begitu melihat objek air terjun ini dari dekat, Sobat Turisian pasti enggan untuk berpaling. Lokasi Air Terjun Ai Beling terletak di Dusun Kuang Amo, Desa Sempe, Brang Rea, Kecamatan Moyo Hulu, Kabupaten Sumbawa, NTB. Berjarak sekitar 30 km dari kota Sumbawa Besar atau 6 km dari Desa Brang Rea. Kalau Sobat Turisian berkendara menggunakan sepeda motor dari Kota Sumbawa Besar atau Bandara Sumbawa akan menempuh perjalanan selama kurang lebih 1,5 jam. Rutenya melalui jalan raya yang menuju selatan Semamung dan selanjutnya ke Brang Rea. Untuk jalan masuk ke Air Terjun Ai Beling sepanjang 6 kilometer. Meskipun jalannya menanjak tajam, tetapi Sobat Turisian tidak perlu khawatir karena jalanan sudah teraspal cukup baik. Selain itu, pemandangan indah di sepanjang perjalanan siap menghipnotis mata Sobat Turisian. Tambah lagi udara sejuk yang menyelimuti desa, sebab letaknya berada di daerah perbukitan. Hal tersebut membuat perjalanan kalian menyenangkan. Baca juga: Mengenal Maen Jaran, Tradisi Pacuan Kuda Masyarakat Sumbawa Setibanya di lokasi air terjun, Sobat Turisian akan dibuat takjub dengan ciptaan Tuhan yang begitu indah. Keindahan air terjun ini membuat mata tak ingin cepat menoleh karena pemandangannya yang begitu mempesona. Inilah yang akan membuat Sobat Turisian malas berpaling dari tempat ini. Kebanyakan air terjun di Sumbawa terletak di tebing yang terjal dengan aliran air yang tegak. Namun berbeda sekali dengan Ai Beling yang berada di dataran tanah miring. Aliran airnya mengalir melalui celah batuan, membuat semua orang betah berada di air terjun yang satu ini. Asal-usul Penamaan Air Terjun Ai Beling Nama “Ai Beling” sendiri berarti “air yang berbicara”. Nama ini muncul pertama kali dari cerita putri Raja Sumbawa pada zaman dahulu yang kabur dari rumahnya. Karena sang raja akan menjodohkannya dengan laki-laki yang tidak ia cintai. Kemudian sang putri lari ke sebuah sungai dekat istana. Dia menangis dalam waktu yang lama di sungai tersebut dan memutuskan untuk bunuh diri di air terjun ini. Pada akhirnya putri ini mati setelah melompat ke aliran air. Konon, sauatu hari ketika beberapa orang menggunakan air sungai tersebut untuk mandi dan mencuci, mereka seperti mendengar suara perempuan menangis. Suaranya sangat jernih dan kejadian yang sama pun terulang hingga berkali-kali. Karena sering mendengar suara-suara itu, makanya warga setempat memberinya nama Ai Beling yang artinya air yang berbicara. Baca juga: Pulau Moyo Sumbawa, Destinasi “Great Escape” Selebritas Dunia Seperti Lady Diana Versi lainnya menyebutkan, bahwa nama tersebut berasal dari suara air yang mengalir dapat terdengar hingga desa terdekat yang berjarak sekitar 5 kilometer. Seolah-olah air terjunnya berbicara karena mengeluarkan suara tadi. Itulah mengapa masyarakat setempat menamainya dengan Ai Beling. Cukup menarik kan asal-usul penamaannya, Sob! Di luar cerita tentang penamaan tersebut, Air Terjun Ai Beling Sumbawa wajib Sobat Turisian pecinta travelling kunjungi. Sebab pesonanya memang sangat indah dan menakjubkan.* Sumber: Dispopar Kab. Sumbawa
0 notes
Text
3 BUKU DI BULAN 3
Pada tahun sejak lahir hingga masa kecilnya Bele Antonius hidup dalam tradisi adat istiadat orang Buna'. Salah satu etnis yang ada di Pulau Timor. Di Belu, orang Buna' berdiam di wilayah dataran tinggi bagian utara Kabupaten. Berbatasan langsung dengan Distrik Bobonaro - Timor Leste. Hingga pada 2006 Bele fokus belajar tentang Capital, sebagai modal dalam pembangunan. Social Capital, Human Capital dan Spiritual Capital. Memory, ikatan masa kecil membuat nya fokus pada Spiritual Capital. Setelah perjalanan panjang studinya di luar, Bele kembali ke tanah tempat dia dilahirkan. Buna'. Pulang kepada memori, pulang kepada wajah-wajah familiar dengan kesadaran baru, misi baru. Mendokumentasikan dan mengelola pengetahuan budaya etnis Buna'.
Sebaran Etnis Buna' cukup luas. Bele fokus di wilayah Henes - Lakmaras. Tempat dia lahir.
Melihat kembali siklus kehidupan yang berputar disana, sistem perkawinan, pola kepemimpinan, kesenian rakyat, hingga Esensi Religi orang Buna' (Hot Esen). Kali ini Bele melihat ini semua bukan hanya dengan perspektif nya sebagai anak-remaja yang tumbuh disana. Bele datang dengan perspektif seorang manusia yang akan memperoleh gelar Doktor.
Belum tuntas saya baca buku ini.
....
....
Au Loim Fain menjadi kalimat yang terus 'mengganggu' pikiran Romi Perbawa sejak ia mengunjungi Desa Oenino, Timor Tengah Selatan. Wilayah yang didiami oleh masyarakat etnis Dawan. Tempat kelahiran almarhumah Adelina Sau.
Pada February 2018 lalu, Adelina meninggal dunia akibat siksaan majikannya ketika menjadi pekerja migran di Malaysia.
Adelina adalah salah satu korban praktek jahat agen Human Trafficking yang dalam proses perekrutan hingga pemberangkatan, identitasnya dipalsukan oleh agen yang memperjualbelikan-nya.
Au Loim Fain yang menjadi judul buku foto Romi Perbawa adalah kalimat terakhir Adelina.
Delapan tahun Romi melakukan perjalanan ke berbagai daerah di Indonesia, Malaysia & Hongkong tuk memotret. Melihat, merasa, mendengar langsung cerita dari subyek-subyek yang ia bingkai. Dan akhirnya buku ini diterbitkan oleh Panna Foto Institute pada 2021. Proses panjang yang membutuhkan modal komitmen serta tuntutan konsistensi yang bukan main-main.
Apa sih yang bikin Om Romi melakukan ini semua? Apa yang mendorong nya begitu kuat?
Romi Perbawa bukan foto jurnalis. Dia juga bukan wartawan, setau saya dia juga bukan peneliti.
Romi yang saya kenal adalah pengusaha yang gemar berfotografi, kemudian memilih fokus pada Fotografi Dokumenter. Oh, om Romi juga adalah seorang suami dan ayah dari anak-anaknya.
Au Loim Fain adalah Karya Buku Foto kedua yang ia buat. Karya sebelumnya lahir pada Tahun 2014, yaitu buku foto berjudul The Riders Of Destiny yang diterbitkan oleh GFJA.
Membaca Au Loim Fain, membawa memori saya kembali kepada cerita The Riders of Destiny. Buku yang bercerita tentang kehidupan para Joki Kuda anak-anak di Pulau Sumbawa - NTB. Walau isunya berbeda.
Pada 2018, dalam perjalanan bersama menuju Desa Toi'anas, saya mendengar cerita tentang hal yang membuat om romi masuk dalam cerita kehidupan para joki cilik di Sumbawa.
Berawal dari sebuah foto yang dia bingkai. Foto yang menggambarkan seorang anak kecil yang jatuh terkapar di lintasan arena balapan kuda. Visual yang menggelitik kencang hatinya sebagai seorang ayah. Kemudian memantapkan dirinya tuk merekam segala detil yang tak terlihat oleh ramai penonton balapan kuda, riuh penjudi yang bertaruh jutaan rupiah, politikus yang doyan memanfaatkan keramaian.
Di lintasan arena, kuda terus dipacu hingga kecepatan maksimal nya. Joki anak dipilih karena memiliki berat badan yang ringan. Beban Kuda menjadi lebih enteng, larinya kencang. Strategi yang bukan baru. Ini sudah dipandang sebagai tradisi yang perlu dijaga. Om Romi mengalami langsung ini semua sebagai seorang ayah.
Dalam Au Loim Fain, om Romi mengangkat isu terkait Pekerja Migran Indonesia. Secara khusus, perhatiannya fokus pada hubungan antara yang merantau berkerja sebagai PMI dan yang ditinggalkan di Kampung Halaman. Bagi saya, ada benang merah yang terhubung diantara Au Loim Fain & The Riders Of Destiny. Anak-anak.
Saya dan anda, tentu pernah menjadi anak-anak. Dan nanti akan/telah menjadi ayah/ibu dari anak-anak.
Insting om Romi sebagai ayah membawanya menuju Desa Toianas, Kecamatan Amanatun Tengah Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Saya senang sekali ketika diajak tuk ikut menemani. Melihat langsung seorang fotografer dokumenter bekerja adalah berkat buat saya yang lagi belajar soal fotografi dokumenter. Waktu itu, saya memilih tidak membawa kamera. Agar fokus menyimak setiap proses dan membantu sebisanya.
Amanatun terbagi dalam dua wilayah. Utara dan selatan. Utara mencakup wilayah dataran tinggi, sedangkan selatan di wilayah sepanjang garis pantai. Wilayah Amanatun dikenal dengan citra yang menakutkan. Tidak semua orang bernyali tuk masuk telusur selak beluknya. Reputasi "Teku" yang lekat dengan perampokan hingga pembunuhan menjadi bayangan ngeri kebanyakan orang. Hari itu kami di neko-neko oleh kerabat di Betun untuk tidak masuk kesana pada waktu hari sudah gelap.
Tuk sampai di Toianas memang lebih mudah lewat wilayah Kabupaten Malaka. Karena berbatasan langsung. Sungai menjadi batasnya. Mobil dengan kapasitas tenaga yang besar dengan kaki-kaki yang kokoh yang mampu mengantar kami kesana.
Pikir saya, kondisi inilah yang membuat wilayah Amanatun masih banyak yang terisolir. Akses jalan nya buruk. Pembangunan sarana publik lambat.
"Orang dari kantor pemerintah di Kota So'e hanya berkunjung pas mo Pilkada sa" ungkap bapak pemilik rumah yang kita tinggal selama disana.
Saya lupa nama si bapak. Dia adalah Kepala Sekolah. Sekolah yang gedungnya sudah lenyap akibat longsor. Hingga akhirnya, dia memanfaatkan Halaman rumah pribadinya menjadi ruang-ruang kelas yang disekat dengan bahan seadanya. Seperti tenda nikahan yang dibuat menggunakan dinding pembatas daun kelapa.
Waktu itu, lagi musim penyakit sepertinya. Dalam jelang waktu yang tidak terlampau jauh, ada yang meninggal karena TBC. Entah benar atau tidak, tapi kami sempat menghadiri salah satu acara pemakaman.
Om Romi mencari tau tentang keberadaan keluarga yang merantau sebagai PMI. Dan mulai berkunjung ke pintu demi pintu. Anak-anak yang bermain dihalaman bubar. Lari bersembunyi dibalik pohon, ke belakang dapur kemudian mengintip penasaran. Kita bertemu dengan laki-laki dan perempuan tua. Berkenalan, bercerita dan meminta ijin tuk memotret.
Pada satu lopo, seorang kakek berbaring dekat tungku kayu. Dia lagi sakit. Mungkinkah TBC? Entah. Dia dirawat oleh nenek dan cucu-cucunya yang masih anak-anak, paling besar umur remaja. Yang remaja mengurus adik-adiknya juga bekerja membantu nenek dan kakek.
Pelan-pelan anak-anak yang bersembunyi memberanikan diri tuk mendekat. Bunyi klik kamera terdengar. Sembari hasil pembingkaiannya ditunjukan kepada anak-anak. Mereka mendekat, melihat, tertawa sambil kembali menjauh. Semacam menjaga jarak aman.
Dihalaman yang lain, kami bertemu dengan anak remaja perempuan. Matanya jernih, kuat. Tidak ada ketakutan. Kecantikan Timor tergambar pada dirinya. Senyumannya ikhlas. Dia rajin mengambil air dari sumur yang letaknya lumayan jauh dari dapur rumahnya. Dia juga sudah pandai memasak. Teduh sekali rasanya ketika bercerita dengannya. Namun muncul juga kekhawatiran disaat yang sama. Bagaimana jika para Agen TKW datang dan membujuknya dengan cerita kemewahan kota besar di negara asing? Apakah dia akan terima dengan senyuman ikhlas yang sama?
Pemuda/pemudi yang juga orang tua dari anak-anak ini pergi dengan mimpi akan kesejahteraan yang lebih baik. Setiap bulan ada yang mengirim uang tuk dipake membangun rumah tembok. Rumah tembok semacama simbol keberhasilan akan capaian hidup sejahtera. Membuat status sosial menjadi lebih terpandang dan standar panutan tuk keluarga yang lain, tuk generasi usia produktif dimasa sekarang.
Lima hari kami berkeliling di Toi'anas. Lima hari juga om Romi tidak mandi, susah BAB. Kita pergi pada masa air susah. Kondisi toiletnya bisa terbayang.
Pertanyaan ini muncul lagi, apa yang mendorong om Romi tuk menjalani ini semua?
Hingga saat ini, saya merasa karena om Romi melihat ini dengan hati seorang Ayah. Anak-anak di Sumbawa, anak - anak di Toi'anas, Oenino, di Flores, beberapa daerah di Jawa, hingga yang lahir dan dibesarkan di kebun sawit dan kompleks pabrik, proyek di Malaysia, Hongkong, Om Romi menempatkan mereka sebagai anak-anaknya. Dan dengan pendekatan fotografi dokumenter dia ingin agar cerita-cerita ini didengar dan dirasakan sehingga semua pihak turut merasakan hal yang sama. Turut merasakan tentang ada kesalahan yang urgen tuk benahi oleh setiap orang, oleh negara. Namun ada hal-hal baik-baik juga yang perlu dijaga dan menjadi teladan.
Saya belum selesai membaca buku Au Loim Fain ini.
.....
Pak Maxi mungkin ada pengalaman personal yang sukar ia lupakan dengan Malaria.
Malaria di Timor sudah menjadi penyakit yang biasa. Hampir semua orang yang tinggal disini ada Malaria.
Saya memiliki Malaria. Pada saat pikiran tubuh letih, perasaan tidak nyaman akan hadir. Indra perasa menjadi kacau, persendian terasa asam, suhu badan menjadi tak karuan. Kadang dingin, kadang panas menggigil.
Mama selalu memberi asupan makanan dengan menu yang berbeda ketika malaria singgah. Bubur dengan ikan, daging serta ragam sayuran. Sayur yang umum dalam menu sehari-hari hingga yang khusus seperti daun Ende, daun Tumbuh Pohon.
Selain itu sari dauh pepaya yang pahitnya terlalu jadi asupan obat. Kemudian diiringi dengan air gula sabu tuk penyeimbang rasa manis di mulut. Air gula juga menjadi pembuka sebelum yang pahit-pahit masuk ke lambung.
Darimana mama belajar semua ini?
Buku ETNOMEDISIN : Pengobatan Tradisional Penyakit Malaria Masyarakat Tetun di Timor Barat baru tiba dikamar saya hari ini. Belum saya baca isinya. Namun sudah mentriger ingatan-ingatan tentang malaria dan mama.
Terimakasih kasih tuk pak Maximus M. Taek yang sudah menelusuri, menuliskan, membukukan hingga mengirimkan pengetahuan ini secara langsung. Semoga menjadi berkat tuk banyak orang.
.....
.....
Ketiga buku ini datang pada masa yang sama. Maret.
Buku yang menuliskan tentang nurani identitas sebuah suku bangsa yang begitu padat akan Nilai. Yang selaras dengan alam semesta dan pencipta tuk menopang segala bentuk kehidupan dialaminya.
Namun, buku yang lain, ada kisah yang sarat dengan 'konflik'. Tentang dampak pilihan-pilihan hidup yang berujung kehilangan namun juga ada harapan. Pilihan-pilihan ini tentu berkaitan dengan tradisi -kebiasaan yang ada dalam kehidupan bermasyarakat. Jaman yang berubah, melahirkan berbagai cara pandang yang baru. Masing-masing pilihan tentu mempunyai konsekuensi berbeda. Namun apakah itu didasari akan sebuah kesadaran? Atau justru menghadirkan jebakan-jebakan yang tak diinginkan di masa depan.
Pengetahuan yang diwariskan oleh generasi sebelumnya, tentu menjadi salah satu dari sekian banyak tuntutan modal yang harus diketahui. Salah satunya adalah pengetahuan tentang obat tradisional ini.
Neuh. Begini dulu catatan nya. Terimakasih tuk segala pengetahuan yang ada.
Tini, 28 Maret 2021
0 notes
Text
Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) telah dikenal luas sebagai negeri 1000 Masjid. Provinsi ini terdiri dari Lombok dan Sumbawa sebagai pulau besar dan gugusan kepuluan lain yang tak kalah indah. Mataram, ibukota, sekaligus kota terbesar NTB merupakan pusat bagi aktivitas politik, ekonomi, sosial-budaya dan juga keagamaan provinsi NTB. Masjid di NTB tak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, namun juga pusat kegiatan sosial-budaya, kemasyarakatan dan juga syiar agama.
Mataram memiliki satu masjid besar di pusat kotanya. Masjid tersebut merupakan bagian dari kesatuan kompleks pusat keagamaan provinsi NTB. Masjid itu bernama Hubbul Wathan dalam kompleks Islamic Center Nusa Tenggara Barat. Masjid ini dibangun di lahan seluas 7,6 Hektar di daerah Selaparang, di sudut Jalan Langko dan Jalan Udayana, yang merupakan jalan besar di pusat kota.
Di masa kini, Masjid telah dijadikan salah satu tempat tujuan wisata. Meski tidak semua Masjid, banyak Masjid yang memiliki ciri khas, sejarah, keunikan dan ceritanya sendiri. Fakta ini membuat Masjid amat sayang untuk dilewatkan begitu saja dari itenerary wisata di suatu daerah. Mulai banyak komunitas religi atau traveler yang mengkhususkan kegiatan dan perjalanan wisatanya untuk mengunjungi Masjid. Hal ini membuat pamor Masjid sebagai salah satu destinasi wisata kian tinggi.
Saya berkesempatan untuk melihat lebih dekat Masjid Hubbul Wathan, Sabtu 27 Januari 2018. Kesan mewah dan megah langsung menyambut saya seketika turun dari kendaraan.
Semakin mendekat ke pelataran, kita akan semakin merasakan aura ketenangan dan ketentaraman, sama seperti saat masuk ke Masjid lain. Tempat wudhu pria berada di tengah pelataran, sedangkan tempat wudhu wanita ada di bagian dalam lantai dasar. Tak ada area shalat di lantai dasar karena seluruh area shalat, baik pria ataupun wanita berada di lantai satu hingga empat. Untuk mengaksesnya, terdapat 4 eskalator, masing-masing dua untuk naik dan dua untuk turun yang saling terpisah antara jamaah perempuan dan laki-laki.
Area shalat lantai satu ialah yang paling mencirikan keindahan Masjid Hubbul Wathan. Seluruh lantai di ruangan ini telah dilapisi karpet tebal nan indah berwarna merah terang. Langit-langit masjid ini dihiasi tirai yang sangat bening yang menjuntai keatas, juga ornamen tenun bermotif tumbuhan berwarna biru cerah, yang mencirikan perpaduan masyarakat Sasambo atau Sasak, Sumbawa dan Mbojo, suku asli yang mendiami Nusa Tenggara Barat. Di sepanjang tembok sisi, ornamen seni bercita rasa tinggi juga telihat terang namun menyejukkan mata. Keseluruhan ornamen bercirikan warna merah terang yang memberikan kesan seni yang tinggi.
Berlanjut ke lantai dua, kita akan semakin merasakan ketenangan dan ketentraman di masjid agung ini. kita dapat menyaksikan betapa luas dan leganya ruang shalat di lantai satu lengkap dengan ornamen seni yang mengelilinginya. Ruang shalat di lantai dua tak lagi berkarpet, jamaah bisa langsung bersujud di lantai marmer berwarna putih dengan glazur berwarna merah terang yang juga indah. Koridor-koridor yang mengelilingi luas dan lebar dengan tiang-tiang kokoh yang menopang lantai selanjutnya. Keadan lantai tiga dan empat hampir sama dengan lantai dua, namun saat saya berkunjung, lantai empat sedang ditutup. Menurut salah seorang petugas, lantai ini biasanya digunakan sebagai tempat persiapan jamaah haji embarkasi Nusa Tenggara Barat.
Salah satu hal yang menjadi keunikan Masjid ini ialah kubahnya. Masjid ini memiliki 5 kubah tinggi yang berketinggian 99 meter, yang melambangkan 99 nama-nama Allah yang indah (Asmaul Husna). Kalau Anda memiliki waktu luang, sempatkan untuk naik ke satu menara di masjid ini. Hanya dengan membayar Rp 5000, Anda dapat lebih merasakan indah dan megahnya masjid ini. Disini, anda tak hanya bisa menikmati sudut kota Mataram yang kian padat oleh penduduk, namun juga Selat Bali, Bandara lama Selaparang, perbukitan, persawahan dan tentu saja Gunung Rinjani yang menjulang tinggi. Setelah puas mengabadikan momen dan berfoto dari ketinggian kubah, saya mengakhiri perjalanan di Masjid Hubbul Wathan.
Bagi saya, Masjid Hubbul Wathan memberi kesan mendalam akan tempat ibadah yang menjadi pusat dari kegiatan suatu masyarakat. Tak sebatas kegaiatan keagamaan, Masjid juga berfungsi sebagai pusat pendidikan dan dakwah islam, tempat sosialisasi antar warga dan juga tempat bertemunya pemimpin dan rakyatnya. Masjid sudah selayaknya mencirikan kesan yang indah dan sejuk, yang membuat siapa saja yang mengunjunginya merasa aman, nyaman dan tentram, sehingga siappun merasa betah untuk berlama-lama beribadah di Masjid.
Hubbul Wathan, Masjid Besar nan Megah Kebanggaan Warga NTB Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) telah dikenal luas sebagai negeri 1000 Masjid. Provinsi ini terdiri dari Lombok dan Sumbawa sebagai pulau besar dan gugusan kepuluan lain yang tak kalah indah.
0 notes
Photo
Bella Notte
Puisi, menurut saya adalah bentuk ekspresi yang baik hati karena pendek sehingga hanya ide dan kata pilihan terbaik saja yang tertulis. Semenjak dibangku SLTP, puisi saya saban minggu dimuat di Lombok Post. Pasca program S1, tetap menulis dan dimuat diberbagai media kreatifitas internal organisasi maupun media lokal. Pada akhirnya, menjadikan KILAS sebagai penyebar luas ide, gagasan tapi dengan artikel. Setelah membantu sebagai sekretaris redaksi di Harian Lombok, saya berhenti menulis puisi dan mengejar berita. Sungguh, di media ini, saya bertemu dan bekerja dengan asas kekeluargaan, persahabatan, tolong menolong dengan rekan lainnya. It was amazing experience! Sayang, harian ini tidak punya regenerasi SDM. Setelahnya, saya bersama rekan lain diajak menjadi crew harian online. Sudah lama sekali. Saya bahkan tidak mengingat namanya, tapi tidak lupa tentang sepak terjang yang kami, tim alami dan lakukan. Pemiliknya adalah seorang yan baik dan kreatif (Pak Iwan) asal Dompu. Anggota berasal dari Bima dan Sumbawa (Pak Solihin, dkk).
Saya tertarik untuk bergabung dengan syarat waktu dan pekerjaan utama tetap sebagai dosen. Saya akan menulis, meliput hanya setelah mengajar bahasa Inggris di kampus. Saya bersama mereka kadang tiga hari dalam seminggu. Malam minggu, bisa nongkrong sampai larut sambil makan-makan dilesehan sepanjang jalan di Mataram. Ooops, saya lupa lagi nama tempatnya. Yang pasti, tempat itu terkenal! Seterkenal Malioboro di Yogyakarta.
Bersama, kami memberitakan tempat makan yang terbuka tapi tertutup saat Ramadhan. Hal ini menjadikan kami bahan candaan beberapa orang. Kami pernah mewawancarai kepala sekolah setelah dibisiki info oleh anak kuliah magang bahwa bapak tersebut menarik pungutan untuk sekedar menjadi guru sukarela. Dalam ruangan itu, kami ditawari imbalan dan diperlakukan sebagai tamu agung. Untunglah, kami muda dan tetap idealis. “So, money cannot buy us!” Sehabis itu, pernah bekerja dengan orang-orang hebat yang bekerjasama untuk memutar-mutar pertanyaan sehingga nara sumber blur dan terjebak dengan informasinya sendiri. Kadang, nara sumber memutus acara conference. Kadang, berakhir dengan malu karena ketahuan bohong. Kadang pula, berakhir dengan terpaksa mengatakan kebenaran. Pada point itu, saya belajar bahwa profesi wartawan adalah perpaduan banyak hal: keberanian, kecerdasan, stamina, idealisme, totalitas. Kalau belum total, belum bisa disebut wartawan walau dengan beratus liputan. Dan, kami pada waktu itu hanyalah anak muda yang punya waktu luang dan tidak ingin menghabiskannya dengan tidur siang, sinetron dan gossiping atau gitaran. Kami tidak berpikir hal itu salah, cuma ingin memanfaatkannya dengan menulis di media, wawancara dengan tokoh lokal, berdiskusi dengan para aktivis atau kalau kosong banget, hanya janjian untuk makan siang bersama di suatu tempat yang belum pernah didatangi sebelumnya. Saya berkesempatan bersama mereka sampai akhir 2010, sebelum pulang menuju Bima.
Oh ya, satu paragraf ini, saya dedikasikan khusus menulis tentang Babe.
Babe adalah laki-laki paruh baya berusia 54-an pada pertama kali bertemu. Kesan pertama adalah menakutkan sampai beliau harus menenangkan, “tampang siy serem, nak. Tapi, Babe baik hati kok.” Tuhan! Beliau bertato, residivis dan kumisnya khas juragan betawi. Oke! No problem with the moustache. Tidak masalah juga dengan tatto karena setelah bertanya, beliau (kalau tidak salah ingat) memilikinya untuk alasan seni. So, bagaimana dengan status residivis? Untuk anak perempuan yang sedang menapak di kehidupan rimba, dunia yang sudah tidak jelas siapa bodoh, siapa pintar dan siapa salah, siapa benar, yang masih terpengaruh warna hitam-putih saja, sungguh lingkungan ini sudah terlalu jauh! But, then “nope!” Beliau ternyata protektif pada kami. Kalau sedang tidak punya uang, sering dihiburnya kami dengan mengenakan wig. Sebenarnya, tidak lucu. Tapi, karena ingin menghargai usahanya membuat suasana menjadi happy, kami tertawa saja. Suatu hari, beliau menanyakan apakah saya mau menjadi anak angkatnya. Tapi, ku kira pertanyaan pasnya adalah, “I have son. Will you marry him?” Jawaban saya waktu itu adalah, “belum kepikiran punya suami, be.” Sebelum berpisah, beliau nitip pesan: “I’m proud of you, girl! Among men, be one of them.” Ku pikir, beliau menua dengan baik. Menjadi residivis mungkin pelajaran hidup yang membuatnya dekat dengan Tuhan dan menjadi bijak seiring usia. Beliau mempunyai interaksi sosial yang bahagia dan berbaur dengan menyenangkan.
Hidup ini sungguh ajaib. Kadang, terasa seperti puzzle yang sulit untuk diselesaikan. Kadang, ia terpecahkan oleh keberuntungan. Kadang pula oleh usaha yang kelihatan tanpa ujung. Hidup? Sebelum menyimpulkannya sebagai, “imperfectly perfect. But, it’s fun,” saya pernah berkesimpulan bahwa hidup adalah kutukan, hukuman, kesalahan. Sungguh, saya menyesal pernah mengatakannya. Kedengarannya seperti, dahulu diri ini mungkin pernah menderita penyakit “tidak bersyukur.” Untunglah, roda hidup berputar cepat. Papa adalah orang dibalik cepat dan tepatnya roda itu berputar tanpa keluar rel.
“Papa, maaf ya karena aku sibuk mengukir nama diluar sana dan menjadi egois, menjadikan mu pengawas selama bertahum-tahun tanpa sekalipun berterima kasih. Aku tidak menelpon mu untuk sekedar berterima kasih. Aku sibuk belajar dari orang-orang yang kutemui, menyebut dan mengidolakan nama-nama besar yang tertulis di buku-buku best seller. Aku lupa, papa adalah penopang kepribadianku, yang melatih otak ku berpikir, yang membuat segalanya mungkin untuk anak yang bahkan SLB tuna laras pun menolak menerimanya. Papa adalah sekolah sekaligus sumber ilmu. Papa, aku sungguh menyesal! Baru sadar bahwa dunia dan seisinya tidak bisa dibandingkan dengan seorang ayah seperti mu. Alhamdulillah yaa pa, bisa sadar waktu itu dan menonton Oktovianus Maniani berlaga. Bersama, kita pernah menari, bernyanyi dan makan bakso. Tapi, itu belum cukup untuk berterima kasih pada mu! Papa, apakah harus ada satu lubang peluru lagi yang tidak bisa disembuhkan dalam hidup ku? Kalau harus menjadi “terganggu” untuk menebus kesalahan in, “Demi Tuhan, aku akan menerimanya dengan terima kasih.”
“Papa, janganlah pergi meninggalkan ku terlalu jauh. Aku takut tidak bisa menemukan mu! Aku seorang wanita dewasa sekarang. Rasanya, dengan atau tanpa mu di kefanaan ini, aku tetap menjadi gadis kecil mu yang punya pikiran sendiri, merdeka. Engkau ingin diri ini menjadi authentic, kan? Menjadi diri sendiri sehingga engkau mudah mengenaliku? No worry, dad! Aku tidak punya rencana untuk menambah satu lubang peluru di badan ku karena hal itu menyakitkan, ngilu sampai ke tulang ketika mengingatnya. I will be authentic!"
Dad, you are the world. Thank you God for waking me up before it was too late.
Bella Notte. Malam yang indah untuk mengenang ayah terhebat. Papa yang tetap berterima kasih pada Tuhan walau do'anya terkabul dalam bentuk anak yang sulit.
Diana Dahlan 💞💕
0 notes
Text
Ada Tembe, Sambolo, Weri, dan Mbojo
Di Sumbawa, khususnya Bima dan Dompu, kain tenun tangan (handwoven) dapat dibagi dalam empat kelompok yaitu, Tembe (Sarung), Sambolo (Destar), Weri (sejenis ikat pinggang) dan Baju Mbojo. Tembe sudah dibahas sebelumnya. Kita akan bahas tiga sisanya.
1. Sambolo (Destar)
Sambolo sejenis ikat kepala tradisional Mbojo, untuk kaum laki-laki. Pada masa lalu merupakan hasil tenun unggulan setelah Tembe. Mulai usia remaja, kaum laki-laki wajib memakai Sambolo, bila tidak dianggap melanggar adat.
Warna dasar Sambolo hampir sama dengan Tembe Songke, ada merah hati, coklat dan kuning. Dipadukan dengan motif Bunga Satako, Pado Waji dan Kakando. Karena warna dan motif sambolo hampir sama dengan dengan Tembe Songke, maka dinamakan “Sambolo Songke”.
Sekitar Tahun 1950-an, muncul Sambolo jenis baru dibawa oleh para pedagang hewan (kuda) yang pulang dari Jawa Timur (Pasuruan, Probolinggo). Bahannya dari batik, cara memakainya sama dengan memakai blankon Jawa. Sambolo motif Jawa itu oleh masyarakat diberi nama “Sambolo Bate” (Sambolo Batik). Tetapi kurang digemari oleh masyarakat lokal.
2. Weri (Ikat Pinggang) dari Malanta Salolo
Ikat pinggang lokal Mbojo dengan warna kuning, merah hati atau coklat dengan motif Pado Waji, Kakando dan Bunga Satako.
Malanta Salolo, yaitu kain putih tanpa motif, ditenun khusus untuk bahan Salolo atau kain kafan.
3. Baju Mbojo
Sekitar tahun 1980-an, para penenun berhasil menambah koleksi hasil karya mereka, dengan menampilkan bahan baju, yang dikenal dengan “baju Mbojo”.
Bahan baju itu tetap tampil dengan warna dasar dan motif Mbojo, dikombinasikan dengan motif-motif baru yang tidak bertentangan dengan nilai dan norma adat. Warna merah tua, biru, coklat dan hijau tetap menjadi warna dasar. Dipadukan dengan Motif Bunga Samobo, Bunga Satako, Pado Waji dan Kakando sehingga produksi baru itu tetap berwajah Mbojo.
Kehadiran Baju Mbojo, mendapat sambutan positif dari masyarakat, terutama golongan menengah ke atas. Pemerintah Daerah menganjurkan kepada seluruh lapisan masyarakat agar mencintai Baju Mbojo. Sayang bagi masyarakat lapisan bawah, sulit untuk menikmati atau memakai Baju Mbojo, karena harganya cukup mahal, tidak terjangkau oleh penghasilan mereka yang pas-pasan. Faktor harga ini pula yang menyebabkan Baju Mbojo kalah bersaing dengan jenis baju yang harganya jauh lebih murah.
0 notes