Text
3 BUKU DI BULAN 3
Pada tahun sejak lahir hingga masa kecilnya Bele Antonius hidup dalam tradisi adat istiadat orang Buna'. Salah satu etnis yang ada di Pulau Timor. Di Belu, orang Buna' berdiam di wilayah dataran tinggi bagian utara Kabupaten. Berbatasan langsung dengan Distrik Bobonaro - Timor Leste. Hingga pada 2006 Bele fokus belajar tentang Capital, sebagai modal dalam pembangunan. Social Capital, Human Capital dan Spiritual Capital. Memory, ikatan masa kecil membuat nya fokus pada Spiritual Capital. Setelah perjalanan panjang studinya di luar, Bele kembali ke tanah tempat dia dilahirkan. Buna'. Pulang kepada memori, pulang kepada wajah-wajah familiar dengan kesadaran baru, misi baru. Mendokumentasikan dan mengelola pengetahuan budaya etnis Buna'.
Sebaran Etnis Buna' cukup luas. Bele fokus di wilayah Henes - Lakmaras. Tempat dia lahir.
Melihat kembali siklus kehidupan yang berputar disana, sistem perkawinan, pola kepemimpinan, kesenian rakyat, hingga Esensi Religi orang Buna' (Hot Esen). Kali ini Bele melihat ini semua bukan hanya dengan perspektif nya sebagai anak-remaja yang tumbuh disana. Bele datang dengan perspektif seorang manusia yang akan memperoleh gelar Doktor.
Belum tuntas saya baca buku ini.
....
....
Au Loim Fain menjadi kalimat yang terus 'mengganggu' pikiran Romi Perbawa sejak ia mengunjungi Desa Oenino, Timor Tengah Selatan. Wilayah yang didiami oleh masyarakat etnis Dawan. Tempat kelahiran almarhumah Adelina Sau.
Pada February 2018 lalu, Adelina meninggal dunia akibat siksaan majikannya ketika menjadi pekerja migran di Malaysia.
Adelina adalah salah satu korban praktek jahat agen Human Trafficking yang dalam proses perekrutan hingga pemberangkatan, identitasnya dipalsukan oleh agen yang memperjualbelikan-nya.
Au Loim Fain yang menjadi judul buku foto Romi Perbawa adalah kalimat terakhir Adelina.
Delapan tahun Romi melakukan perjalanan ke berbagai daerah di Indonesia, Malaysia & Hongkong tuk memotret. Melihat, merasa, mendengar langsung cerita dari subyek-subyek yang ia bingkai. Dan akhirnya buku ini diterbitkan oleh Panna Foto Institute pada 2021. Proses panjang yang membutuhkan modal komitmen serta tuntutan konsistensi yang bukan main-main.
Apa sih yang bikin Om Romi melakukan ini semua? Apa yang mendorong nya begitu kuat?
Romi Perbawa bukan foto jurnalis. Dia juga bukan wartawan, setau saya dia juga bukan peneliti.
Romi yang saya kenal adalah pengusaha yang gemar berfotografi, kemudian memilih fokus pada Fotografi Dokumenter. Oh, om Romi juga adalah seorang suami dan ayah dari anak-anaknya.
Au Loim Fain adalah Karya Buku Foto kedua yang ia buat. Karya sebelumnya lahir pada Tahun 2014, yaitu buku foto berjudul The Riders Of Destiny yang diterbitkan oleh GFJA.
Membaca Au Loim Fain, membawa memori saya kembali kepada cerita The Riders of Destiny. Buku yang bercerita tentang kehidupan para Joki Kuda anak-anak di Pulau Sumbawa - NTB. Walau isunya berbeda.
Pada 2018, dalam perjalanan bersama menuju Desa Toi'anas, saya mendengar cerita tentang hal yang membuat om romi masuk dalam cerita kehidupan para joki cilik di Sumbawa.
Berawal dari sebuah foto yang dia bingkai. Foto yang menggambarkan seorang anak kecil yang jatuh terkapar di lintasan arena balapan kuda. Visual yang menggelitik kencang hatinya sebagai seorang ayah. Kemudian memantapkan dirinya tuk merekam segala detil yang tak terlihat oleh ramai penonton balapan kuda, riuh penjudi yang bertaruh jutaan rupiah, politikus yang doyan memanfaatkan keramaian.
Di lintasan arena, kuda terus dipacu hingga kecepatan maksimal nya. Joki anak dipilih karena memiliki berat badan yang ringan. Beban Kuda menjadi lebih enteng, larinya kencang. Strategi yang bukan baru. Ini sudah dipandang sebagai tradisi yang perlu dijaga. Om Romi mengalami langsung ini semua sebagai seorang ayah.
Dalam Au Loim Fain, om Romi mengangkat isu terkait Pekerja Migran Indonesia. Secara khusus, perhatiannya fokus pada hubungan antara yang merantau berkerja sebagai PMI dan yang ditinggalkan di Kampung Halaman. Bagi saya, ada benang merah yang terhubung diantara Au Loim Fain & The Riders Of Destiny. Anak-anak.
Saya dan anda, tentu pernah menjadi anak-anak. Dan nanti akan/telah menjadi ayah/ibu dari anak-anak.
Insting om Romi sebagai ayah membawanya menuju Desa Toianas, Kecamatan Amanatun Tengah Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Saya senang sekali ketika diajak tuk ikut menemani. Melihat langsung seorang fotografer dokumenter bekerja adalah berkat buat saya yang lagi belajar soal fotografi dokumenter. Waktu itu, saya memilih tidak membawa kamera. Agar fokus menyimak setiap proses dan membantu sebisanya.
Amanatun terbagi dalam dua wilayah. Utara dan selatan. Utara mencakup wilayah dataran tinggi, sedangkan selatan di wilayah sepanjang garis pantai. Wilayah Amanatun dikenal dengan citra yang menakutkan. Tidak semua orang bernyali tuk masuk telusur selak beluknya. Reputasi "Teku" yang lekat dengan perampokan hingga pembunuhan menjadi bayangan ngeri kebanyakan orang. Hari itu kami di neko-neko oleh kerabat di Betun untuk tidak masuk kesana pada waktu hari sudah gelap.
Tuk sampai di Toianas memang lebih mudah lewat wilayah Kabupaten Malaka. Karena berbatasan langsung. Sungai menjadi batasnya. Mobil dengan kapasitas tenaga yang besar dengan kaki-kaki yang kokoh yang mampu mengantar kami kesana.
Pikir saya, kondisi inilah yang membuat wilayah Amanatun masih banyak yang terisolir. Akses jalan nya buruk. Pembangunan sarana publik lambat.
"Orang dari kantor pemerintah di Kota So'e hanya berkunjung pas mo Pilkada sa" ungkap bapak pemilik rumah yang kita tinggal selama disana.
Saya lupa nama si bapak. Dia adalah Kepala Sekolah. Sekolah yang gedungnya sudah lenyap akibat longsor. Hingga akhirnya, dia memanfaatkan Halaman rumah pribadinya menjadi ruang-ruang kelas yang disekat dengan bahan seadanya. Seperti tenda nikahan yang dibuat menggunakan dinding pembatas daun kelapa.
Waktu itu, lagi musim penyakit sepertinya. Dalam jelang waktu yang tidak terlampau jauh, ada yang meninggal karena TBC. Entah benar atau tidak, tapi kami sempat menghadiri salah satu acara pemakaman.
Om Romi mencari tau tentang keberadaan keluarga yang merantau sebagai PMI. Dan mulai berkunjung ke pintu demi pintu. Anak-anak yang bermain dihalaman bubar. Lari bersembunyi dibalik pohon, ke belakang dapur kemudian mengintip penasaran. Kita bertemu dengan laki-laki dan perempuan tua. Berkenalan, bercerita dan meminta ijin tuk memotret.
Pada satu lopo, seorang kakek berbaring dekat tungku kayu. Dia lagi sakit. Mungkinkah TBC? Entah. Dia dirawat oleh nenek dan cucu-cucunya yang masih anak-anak, paling besar umur remaja. Yang remaja mengurus adik-adiknya juga bekerja membantu nenek dan kakek.
Pelan-pelan anak-anak yang bersembunyi memberanikan diri tuk mendekat. Bunyi klik kamera terdengar. Sembari hasil pembingkaiannya ditunjukan kepada anak-anak. Mereka mendekat, melihat, tertawa sambil kembali menjauh. Semacam menjaga jarak aman.
Dihalaman yang lain, kami bertemu dengan anak remaja perempuan. Matanya jernih, kuat. Tidak ada ketakutan. Kecantikan Timor tergambar pada dirinya. Senyumannya ikhlas. Dia rajin mengambil air dari sumur yang letaknya lumayan jauh dari dapur rumahnya. Dia juga sudah pandai memasak. Teduh sekali rasanya ketika bercerita dengannya. Namun muncul juga kekhawatiran disaat yang sama. Bagaimana jika para Agen TKW datang dan membujuknya dengan cerita kemewahan kota besar di negara asing? Apakah dia akan terima dengan senyuman ikhlas yang sama?
Pemuda/pemudi yang juga orang tua dari anak-anak ini pergi dengan mimpi akan kesejahteraan yang lebih baik. Setiap bulan ada yang mengirim uang tuk dipake membangun rumah tembok. Rumah tembok semacama simbol keberhasilan akan capaian hidup sejahtera. Membuat status sosial menjadi lebih terpandang dan standar panutan tuk keluarga yang lain, tuk generasi usia produktif dimasa sekarang.
Lima hari kami berkeliling di Toi'anas. Lima hari juga om Romi tidak mandi, susah BAB. Kita pergi pada masa air susah. Kondisi toiletnya bisa terbayang.
Pertanyaan ini muncul lagi, apa yang mendorong om Romi tuk menjalani ini semua?
Hingga saat ini, saya merasa karena om Romi melihat ini dengan hati seorang Ayah. Anak-anak di Sumbawa, anak - anak di Toi'anas, Oenino, di Flores, beberapa daerah di Jawa, hingga yang lahir dan dibesarkan di kebun sawit dan kompleks pabrik, proyek di Malaysia, Hongkong, Om Romi menempatkan mereka sebagai anak-anaknya. Dan dengan pendekatan fotografi dokumenter dia ingin agar cerita-cerita ini didengar dan dirasakan sehingga semua pihak turut merasakan hal yang sama. Turut merasakan tentang ada kesalahan yang urgen tuk benahi oleh setiap orang, oleh negara. Namun ada hal-hal baik-baik juga yang perlu dijaga dan menjadi teladan.
Saya belum selesai membaca buku Au Loim Fain ini.
.....
Pak Maxi mungkin ada pengalaman personal yang sukar ia lupakan dengan Malaria.
Malaria di Timor sudah menjadi penyakit yang biasa. Hampir semua orang yang tinggal disini ada Malaria.
Saya memiliki Malaria. Pada saat pikiran tubuh letih, perasaan tidak nyaman akan hadir. Indra perasa menjadi kacau, persendian terasa asam, suhu badan menjadi tak karuan. Kadang dingin, kadang panas menggigil.
Mama selalu memberi asupan makanan dengan menu yang berbeda ketika malaria singgah. Bubur dengan ikan, daging serta ragam sayuran. Sayur yang umum dalam menu sehari-hari hingga yang khusus seperti daun Ende, daun Tumbuh Pohon.
Selain itu sari dauh pepaya yang pahitnya terlalu jadi asupan obat. Kemudian diiringi dengan air gula sabu tuk penyeimbang rasa manis di mulut. Air gula juga menjadi pembuka sebelum yang pahit-pahit masuk ke lambung.
Darimana mama belajar semua ini?
Buku ETNOMEDISIN : Pengobatan Tradisional Penyakit Malaria Masyarakat Tetun di Timor Barat baru tiba dikamar saya hari ini. Belum saya baca isinya. Namun sudah mentriger ingatan-ingatan tentang malaria dan mama.
Terimakasih kasih tuk pak Maximus M. Taek yang sudah menelusuri, menuliskan, membukukan hingga mengirimkan pengetahuan ini secara langsung. Semoga menjadi berkat tuk banyak orang.
.....
.....
Ketiga buku ini datang pada masa yang sama. Maret.
Buku yang menuliskan tentang nurani identitas sebuah suku bangsa yang begitu padat akan Nilai. Yang selaras dengan alam semesta dan pencipta tuk menopang segala bentuk kehidupan dialaminya.
Namun, buku yang lain, ada kisah yang sarat dengan 'konflik'. Tentang dampak pilihan-pilihan hidup yang berujung kehilangan namun juga ada harapan. Pilihan-pilihan ini tentu berkaitan dengan tradisi -kebiasaan yang ada dalam kehidupan bermasyarakat. Jaman yang berubah, melahirkan berbagai cara pandang yang baru. Masing-masing pilihan tentu mempunyai konsekuensi berbeda. Namun apakah itu didasari akan sebuah kesadaran? Atau justru menghadirkan jebakan-jebakan yang tak diinginkan di masa depan.
Pengetahuan yang diwariskan oleh generasi sebelumnya, tentu menjadi salah satu dari sekian banyak tuntutan modal yang harus diketahui. Salah satunya adalah pengetahuan tentang obat tradisional ini.
Neuh. Begini dulu catatan nya. Terimakasih tuk segala pengetahuan yang ada.
Tini, 28 Maret 2021
0 notes
Photo
Menjawab tanya kami soal sumber pewarna alami dari laut, Mama Jaenab mengajak saya & @tayu_bandeamir menyusuri pesisir Pulau Ternate, Alor. Air sementara surut membuat kami bisa melihat terumbu-terumbu sehat berwarna-berwarni berserta ragam biota unik. . Dengan sabar, mama jaenab menjelaskan satu persatu jenis spons, keong, tanaman laut yang bisa dan tidak bisa dijadikan bahan pewarna. Ember kosong yang kami bawa, penuh dengan ragam sumber warna tuk tenun. Hitam, biru, kuning, coklat, pink. . Dibelakang sana ada Pulau Buaya. Nama yang sesuai dengan bentuk pulaunya. "Itu bagian kepala, itu bagian ekor" begitu mama menjelaskan. . Tayu pulang dengan muka memerah. Bahagia. Sekaligus terpanggang hangat mentari. Saya dan mama tentu makin hitam manggustang. Semua bahagia. . Pulau Ternate, Umapura, Alor - 2017 #timorobserver #botanicalcolor #pewarnaalami #umapura #tenun https://www.instagram.com/p/B8ko8FjlytW/?igshid=1qgtbbjsi21ec
0 notes
Photo
Aktifitas enam anak perempuan, lima anak laki-laki & satu nenek di sumur tua di tengah kampung Umapura, Kepulauan Alor. . Model sumur ini persis dengan sumur tua di Pulau Sabu. Designnya efektif tuk menampung air hujan lebih banyak. Tuk mengakses nya harus turun kosong dan naik dengan ember penuh air lewat tangga di dinding sumur. . Itu ada ember bekas cat ukuran besar, penuh air. Tentu berat, goyang dan rentan jatuh kalo hilang keseimbangan. . Umapura, Alor - 2017 . #timorobserver https://www.instagram.com/p/B8i1sz_FFRe/?igshid=s9xnnrx3o4f0
0 notes
Photo
Mama Tina mulai diajari sama Ibunya ketika dia berumur 10 tahun. "Mama jahat. Kalo tenun, gulung benang tidak tau, dia pukul begini ape" sambil memukul kedua tangannya, "Pok pok" menirukan keras didikan ibu tempo lalu. . Menggulung benang adalah tahapan pertama dalam proses menenun. Masih ada ikat, celup-celup warna, susun warna dan motif, tenun. Kurang lebih begitu. Karena dalam menenun ada ragam metode dengan proses yang beragam pula. . Didalam pondok sawah yang teduh, hari ini Au mulai belajar tahap awal. Butuh kehati-hatian, kelembutan ekstra, teliti, salah sedikit bisa kusut bahkan putus benangnya. Tidak heran kalo dulu nenek keras dalam mendidik mama tina . Secara umur, macam ke rada terlambat tuk belajar keseluruhan tahapan menenun. Tapi apasih yang mustahil? Yang penting sekarang prinsip gulung benang Au mulai tau. Semoga bisa berguna tuk bantu-bantu dan nanti, walau sederhana, au bisa menenun tuk selimut kecil tuk anak cucu. . 📷 Hale #belajartenun #timorobserver (at Sadi, Nusa Tenggara Timur, Indonesia) https://www.instagram.com/p/B8fbitVlXTRZsxDm-_NCRvZiD3oC7CKsi5seOw0/?igshid=h2rl9w1am88f
0 notes
Photo
Bersama Oma Fin & Daubere melakukan proses pewarnaan pada benang tenunan. . Ekstraksi warna Indigofera Tinctoria menghasilkan warna Indigo yang cantik. . Daubere, si anak Paud, hari ini belajar satu kata baru plus melakukannya langsung. Agitasi. Satu tahapan penting dalam mengekstrak warna. Oksigen yang cukup, menentukan hasil ekstrak warna yg maksimal. . Di Belu, Indigofera Tinctoria dikenal dengan nama Taun. Di Sumba : Nila, di Sabu : Rou Dao (Rudao), di Jawa : Tarum. . Bersyukur bisa menyaksikan langsung Proses Alam yg ajaib ini. . Kalo teman mau ikut menyaksikan dan belajar langsung, nanti di tanggal 10 & 13 November 2019 ada gelaran @fohoraifestival di Desa Sadi. Disana Kita belajar langsung dari mama-mama penenun di Sadi. . Kopan, Sadi - 2019 . #fohoraifestival2019 #fohoraispirit #slowfashion #sustainablefashion #indigoferatinctoria (at Sadi, Nusa Tenggara Timur, Indonesia) https://www.instagram.com/p/B3Ek19tl8iP/?igshid=150vhewlpjjl7
0 notes
Photo
Terinspirasi siaran langsung di televisi. Upacara 17 Agustus di Istana Merdeka. Langit diatas Jakarta kelihatan kusam banget di layar televisi. Semoga presiden dan semuanya sehat disana. . Anyway, saya Berulang-ulang kali dengar kalimat "Hormat Senjata grak" yang lantang disepanjang upacara. Muncul visual-visual seperti ini di kepala. Seri Hormat Senjata Grak!. Merdeka ya kawan. Merdeka yang merdeka! . #hormatsenjatagrak #independencedayinspiration https://www.instagram.com/p/B1QUlKvlYuV/?igshid=hkyzcvbvjjus
0 notes
Photo
#Repost @tiny.tinytini • • • • • • Gara-gàra liat cetakan cukil di tote bag yang ada @tayu_bandeamir, @tiny.tinytini juga tidak mau ketinggalan. Dia minta dibikin Juga. Paksa harus bikin, walau @apetakoa sudah dijelaskan kalo dirinya tidak pandai nggambar. . "Saya tidak bisa gambar. Bagaimana kalo hasilnya jelek dan tidak mirip?" . "Memang siapa yang minta gambar yang mirip? Saya tidak minta gambar sempurna yang serupa. Sempurna hanya milik Tuhan. Kita hidup sampe sekarang ini karena ketidaksempurnaan. Kita belajar dari itu!" Jelas tiny tegas! Dia belum selesai, "Ingat apa kata @tayu_bandeamir? Semua orang bisa menggambar. Semua orang! Termasuk lu. Jangan banyak alasan. Mulai lah menggambar!" . ......... . Dengan diam @apetakoa Mulai menggambar. Mulai menyukil. . #tinytinytini #cukilable (at Tini Atambua) https://www.instagram.com/p/B0_Pid2lME3/?igshid=bpk0rj8m639t
0 notes
Photo
Omong soal rumpun Suku Matabesi tidak lepas dari tiga bukit yang membentengi Kampung adatnya. Bukit Kaku'an, Sumeta & Ro'ofau. . #matabesi #fohoraispirit #cukilable (at Kota Atambua, Belu) https://www.instagram.com/p/B0zdiVDleKt/?igshid=1d932cu86jswz
0 notes
Photo
Jagung bunga dari pasar Lolowa masih di jemur dulu ya... @tayu_bandeamir sabar sabar ya disana ;) . #sentimentaljourney #loveofmylife #cukilable (at Tini Atambua) https://www.instagram.com/p/B0xp2RqgF0_/?igshid=1cin67y15c5bn
0 notes
Photo
Seperti menemukan harta karun di HD 80 giga yang lama tidak terbaca. Ternyata karena hanya masalah kabel saja. Njing! . File full resolution seri foto kusut yang dimulai sejak 2012 tersimpan disana. . Foto foto tak karuan ini, dua tahun lalu kalo sonde salah, kaka @yopie_liliweri sempat ajak tuk ikut pameran, tapi alpa karena file aslinya saya pikir su ilang. Sungguh dini hari yang terberkati. Beer! . #wringkledseries : I find something in wrinkles. Every wrinkle is formed by something's in the past. (at Kota Atambua, Belu) https://www.instagram.com/p/B0wWMVTA1HA/?igshid=674p84uh9496
0 notes
Photo
Ini bukan nyiru. Bukan juga topi jerami macam punya Luffy San. Ini topi daun Gewang atau orang Belu biasa bilang daun Tali. . Saya nae katumu beberapa hari lalu di bak sampah dekat gerbang keluar Hotel Timor. Tidak pake lama, saya pungut bawa pulang. Barang bagus ini! Satpam hotel geleng-geleng, mungkin dia pikir saya orang Gila atau sejenisnya. . Sampe sekarang masih heran-heran. Kenapa orang bisa buang karya anyaman yang bagus begini? Kalo yang anyam tau, pasti sedih hatinya. . Sampe Kos, tiny cium-cium dikit. Dia pikir makan mungkin. Rendam di air, sikat, lalu jemur. Cocok pake ketika matahari ada 27 dilangit. . Nyiru-nyiru di kamar Okaeri jadi punya kawan baru. Topi Gewang :) . #timorobserver #goodencounters (at Kota Atambua, Belu) https://www.instagram.com/p/B0wFSP4Azi5/?igshid=orb1f4apszr6
0 notes
Photo
When i miss her. I mean damn fucking miss her. I start to drink what she like to drink. Seeing what she like to see, listening music she hate to hear, memorizing things about her. Transform it into something I can see. I can touch, I can feel. . #sentimentaljourney #loveofmylife #cukilable @tayu_bandeamir (at Tini Atambua) https://www.instagram.com/p/B0v4s_6AZLs/?igshid=1q2f7xqa9ei0c
0 notes
Photo
When i miss her. I mean damn fucking miss her. I start to drink what she like to drink. Seeing what she like to see, listening music she hate to hear, memorizing things about her. Transform it into something I can see. I can touch, I can feel. . #sentimentaljourney #loveofmylife #cukilable @tayu_bandeamir (at Tini Atambua) https://www.instagram.com/p/B0v4s_6AZLs/?igshid=1q2f7xqa9ei0c
0 notes
Photo
When i miss her. I mean damn fucking miss her. I start to drink what she like to drink. Seeing what she like to see, listening music she hate to hear, memorizing things about her. Transform it into something I can see. I can touch, I can feel. . #sentimentaljourney #loveofmylife #cukilable @tayu_bandeamir (at Tini Atambua) https://www.instagram.com/p/B0v4s_6AZLs/?igshid=1q2f7xqa9ei0c
0 notes
Photo
Sunsea' - Liatoti, 2019 https://www.instagram.com/p/B0n2Yusl3NB/?igshid=1snqy9go9wvwu
0 notes
Photo
Doa Makan. . Bakitolas-Kiu' Naek (pohon asam besar), 2019 . #timorobserver #fohoraispirit #bahasadawan https://www.instagram.com/p/B0nB92MluYq/?igshid=zynt1is6c8on
0 notes
Photo
Cukarnikus! Keren banget hari. Parang yang slama ini beta pengen punya akhirnya dalam genggaman. Sudah berbulan-bulan cari parang. Masuk keluar pasar baru, ulang-ulang main di lapak pisau parang ama Sabu, tapi tidak ada parang yg jodoh dihati. Entah kenapa. . Beberapa hari lalu, waktu jalan ke desa Sadi, baru tau kalo ada orang Belu yang berprofesi sebagai pandai besi. Dia dari etnis Kemak. Tidak pake lama, Kita langsung mnuju ke bengkelnya. . Mnurut cerita bapak pandai besi, profesi ini dalam rumpun Suku Kemak, ada Suku yang khusus bertugas sebagai pandai besi. Proses menempa besi diawali dengan ritual adat. Ya waktu main ke workshop besi kemarin, terlihat seikat jagung digantung tepat atap daun. Sebagai sesajen saat ritual. . Cerita selanjutnya, beta akan cerita (foto) lewat akun @fohoraifestival. . Desa Sadi pada bulan November nanti akan ada festival Fohorai. Si Bapak sang penempa besi juga akan hadir disana. . Back to parang. Besi tuk parang ini di ambil dari Plat yang ada di sensor. Murni ditempa secara tradisional. Tanpa mesin gurinda dan mesin amplas. Hari ini beta dengan resmi melamar parang si Bapak Kemak. 150 ribu belisnya. . Parang ini beta kasi nama : UMAI (Ada cerita sejarah salah satu suku kemak dibalik nama ini) . Ini parang beta mau pake tuk kupas kelapa tuk bikin Virgin Coconut Oil di kosan. Juga tuk dibawa saat ada job prewedding. . Sudah gita sah dulu. #tebas . #fohoraispirit #fohoraibelu #timorobserver (at Belu, Nusa Tenggara Timur) https://www.instagram.com/p/B0YUcTyF8fz/?igshid=w0gc5tqjrepc
0 notes