#MasaLalu
Explore tagged Tumblr posts
Text
Masa lalu adalah tempat yang bagus untuk dikunjungi, tetapi bukan tempat yg baik untuk ditinggali. Anda boleh mengingatnya, tetapi jangan terjebak olehnya. Belajarlah dari kesalahan masa lalu, bukan mengulanginya.
-Jhoniq7
3 notes
·
View notes
Text
Tanpa Nama
Kita berjalan di antara senja dan fajar,
Berbincang dalam diam yang tak pernah pudar.
Setiap kata melintas tanpa tuntutan,
Setiap tawa bergema tanpa ikatan.
Kita saling mencari, tapi tak ingin menemukan,
Karena hati masih tertinggal di masa silam.
Ada bayang yang belum rela dilepaskan,
Ada rindu yang masih terikat diam-diam.
Mungkin kita bukan tujuan, hanya persinggahan,
Dua jiwa yang bertemu dalam kebingungan.
Tapi di antara pesan yang tak pernah absen,
Aku bertanya, sampai kapan kita bertahan?
5 notes
·
View notes
Text
Jika kamu ingin mencari yang lebih nyaman dariku silahkan, jika ingin mencari yang lebih baik dariku juga silahkan.
Karena didunia ini pasti banyak sekali yg melebihi ku. Namun jika kamu bertanya kenapa aku tidak mencari yang lebih darimu.
Maka jawabanku adalah jika aku masih ingin mencari lebih baik maka aku tidak akan menemukan yang terbaik. Karna Satu hal yang perlu kamu ingat, terbaik dan sempurna itu dibentuk bersama bukan di cari.
5 notes
·
View notes
Text
Pada Akhirnya Aku Memilih untuk Mengikhlaskan
Aku pikir luka dalam hati akan sembuh begitu saja dituntun oleh waktu. Sudah hari keberapa ini? Sudah cukup lama kukira, sudah terasa banyak perubahan yang terjadi pada masing-masing diri. Saat aku menuliskan ini, aku tersadarkan bahwa hatiku belum sepenuhnya sembuh seperti yang aku duga. Entahlah, bagian mana yang membuatku masih di sini menggenggam luka yang seharusnya aku lepas sejak lama.
Sesekali momen-momen yang aku benci bermunculan dalam kepala, seperti sedang mengingatkan kembali itu semua, yang lucunya ketika aku mengingatnya ternyata masih ada perasaan nyeri dalam hati sambil merutuki kesalahan diri.
Kemudian aku tersadar bahwa tak semestinya aku terus menetap di sini. Di tempat yang pernah aku tetapkan sebagai zona nyaman. Saat itu, aku berpikir tidak masalah jika aku sering kemari karena aku suka, aku tak ingin meninggalkannya. Tapi, sekarang aku berubah pikiran. Aku ingin beranjak, berpindah, bahkan meniadakan tempat ini. Tak ada lagi keantusiasan, tak ada lagi harapan, tak ada lagi hal yang bisa dijadikan alasan. Semuanya pelan-pelan sudah terkubur oleh kenyataan.
Mungkin kemarin-kemarin aku lupa bahwa manusia ialah makhluk fluktuatif yang akan selalu bertemu perubahan. Hal yang kukira bisa bertahan lama, nyatanya tak ada yang benar-benar bertahan selain pelajaran dan kenangan.
Aku hanya ingin melanjutkan kehidupan ini dengan perasaan yang lebih arif layaknya manusia lain yang sekarang lakukan. Aku hanya ingin tak lagi terbayang-bayang hal yang masih menimbulkan kesakitan. Aku hanya ingin kembali pada keharusan-keharusan seperti sebelumnya. Lalu, aku tersadarkan jika hal pertama yang harus aku lakukan ialah mengikhlaskan semuanya.
Aku sudah dapat menerima kenyataan ini, tapi sepertinya mengikhlaskan masih perkara yang terlewatkan.
Lantas, dimana aku harus membeli rasa ikhlas itu?
Sebuah pertanyaan yang sebenarnya sudah kutau jawabannya. Tak ada yang menyediakan keikhlasan selain meluaskan lagi kelapangan hati dan mendewasakan pemahaman diri.
Pada akhirnya aku memilih untuk mengikhlaskan dan memaafkan semuanya, supaya perlahan aku mampu kembali memaknai serta melanjutkan kehidupan tanpa ada luka yang tersisa.
Dan kini tempat itu sudah bukan lagi yang akan aku jadikan tempat kembali. Aku rapikan dan kunci rapat-rapat pintunya sebelum beranjak pergi.
18 notes
·
View notes
Text
waktu terus berjalan
hari itu, ada pesan masuk dari grup alumni dengan kabar bahagia. namun bagiku, pesan itu seperti bom atom. sejenak aku tersadar dan bertanya-tanya kenapa hanya sedikit yang mengetahui kabar bahagia ini?, kenapa orang tuanya juga tidak mengabarkan dan mengundang orang tuaku di hari bahagia anaknya, di hari anaknya mulai membuka lembaran kisah baru menjadi suami orang dengan segala tanggungjawab baru. padahal orang tua kami saling mengenal dan sewaktu saudara menikah, kami juga mengundang mereka. kenapa giliran anaknya, kami kok tidak diundang?
banyak sekali pertanyaan yang tiba-tiba bermunculan di pikiran, pertanyaan yang di dominasi dengan kata tanya kenapa dan kenapa?
sudah hampir 10 tahun ini, mengangumi mas crush. yang semasa SD menjadi partner ku sewaktu lomba baca puisi, dan lomba teaterikal. karena seringkali terlibat projek yang sama, ngga sadar memunculkan getaran di hati. ahhh itu kan masih kecil, masih SD. masih belum ngerti apa itu cinta.
tapi benar kalau ada yang bilang, cinta di masa sekolah itu lucu. dan aku menganggapnya lucu dan merupakan bagian dari perjalanan hidup yang berharga untuk masa sekarang dan memberikan warna dan rasa tersendiri di masa itu.
10 tahun lama juga ya? aku menganggap doi sebagai kakak walaupun sebenarnya kami kurang dekat seiring dengan berjalannya waktu dan jarang sekali bertemu kembali. tapi doi masuk ke dalam orang spesial yang pernah ada dalam hidupku.
bukan aku ngga suka dengan hari bahagia dia dan juga perempuan yang dia pilih. namun aku sedikit kaget dan bertanya kenapa dan kenapa. dan akhirnya aku tau jika memang seperti itulah kriteria yang dia cari. aku juga jadi tau seperti itulah karakter aslinya dia sekarang dan juga keluarganya. walaupun konon ada yang bilang, kalau di daerah jawa jika ada hajatan pernikahan emang dari pihak perempuan yang bakal meriah. kendati demikian, jujur aku kaget kenapa ngga tau kabar bahagia ini dan kenapa ngga mengundang.
pesan dan doaku untuk mas crush,
selamat membuka lembaran baru bersama dia pilihan terbaikmu. semoga Allah meridhoi kehidupan baru kalian. aku tidak lagi sedih, aku hanya kecewa karena menaruh harapan lebih kepada kamu.
terimakasih, sudah hadir dalam perjalanan hidupku.
terimakasih, atas segala rasa bahagia, getar, sedih, kecewa yang muncul karena kamu seorang.
terimakasih, untuk semuanya.
akhir kata, semoga bahagia selalu hadir untuk kamu. semoga aku juga bisa lebih bahagia daripada bahagianya kamu.
— 04/12/23
sekali lagi,
aku tidak sedih, aku hanya kecewa. kecewa dengan harapan yang telah aku bangun selama ini. karena aku sadar, waktu ini bakal hadir, tapi aku ngga pernah bisa membayangkan bagaimana rasanya. ternyata seperti ini yaa rasanya. bercampur aduk.
4 notes
·
View notes
Text
Aku mencari,
Tapi entah apa
5 notes
·
View notes
Text
Telpon, Chat an berjam² membahas masa depan, ujung² nya juga jadi masa lalu ~
0 notes
Video
youtube
Menyukaimu Mangga2bet quotes Hari Ini #mangga2bet #quotes #katabijak2u #kangquotes #masalalu #fypp #Menyukaimu #berhasil
0 notes
Text
Kembali ke Jejak Masa Lalu
Musim hujan tahun itu mengguyur Yogyakarta dengan intensitas yang tak biasa, seolah langit turut mencurahkan kegelisahan yang kurasakan dalam hatiku yang mulai gamang. Genangan air yang terbentuk di sudut-sudut jalan mengingatkanku pada perasaan yang tergenang di hatiku—tentang Fata, lelaki yang kukenal dari sebuah grup Telegram pada November 2023 lalu dan masih sering mengusik pikiranku hingga kini. Setiap tetes air hujan yang jatuh membuatku teringat bagaimana pesan-pesan digital kami berjatuhan silih berganti di kotak obrolan, membangun kedekatan yang tak pernah kusangka akan tumbuh begitu kuat dalam waktu singkat. Tiap malam kami bertukar cerita tentang hari-hari kami. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Raihan pada awalnya—sebuah nama samaran yang kemudian ia buka seiring dengan hubungan kami yang semakin dalam, mengaku bahwa namanya berinisial F, nama yang kini terpatri dalam benakku dengan sejuta kenangan yang membayang. Tawa kecilnya yang terasa dari emotikon yang ia kirimkan, ketulusan kata-katanya yang terselip dalam tiap kalimat penyemangat saat aku merasa lelah dengan tugas kuliah, dan kehadirannya yang konstan meskipun hanya dalam bentuk notifikasi di ponselku—semua itu telah membuatku tanpa sadar membuka pintu hatiku untuknya.
Hubungan kami semakin intens ketika saling mengikuti akun media sosial, dari Instagram hingga TikTok, menambahkan lapisan baru dalam hubungan digital yang kami jalin dengan penuh semangat. Dari fotonya, aku bisa melihat betapa rupawannya Fata dengan rahang tegas dan senyum yang selalu membuatku terpaku pada layar ponsel lebih lama dari yang seharusnya. Setiap unggahan yang ia buat seolah membuatku semakin mengenalnya; kesukaannya pada kopi hitam tanpa gula, rasa sukanya pada pantai saat matahari terbenam, dan kebiasaannya mengenakan kemeja yang selalu membuatnya tampak lebih percaya diri di antara kerumunan. Kesamaan minat kami pada banyak hal membuat obrolan kami selalu mengalir tanpa hambatan, seakan kami telah mengenal satu sama lain sejak lama. Tiap malam, notifikasi dari namanya selalu membuatku tersenyum, dan tanpa sadar aku mulai merindukan obrolan kami ketika seharian tidak bertukar pesan. Ketika ia mengirimkan foto di Surabaya, saat ia magang, aku merasakan keinginan yang kuat untuk berada di sampingnya, menikmati pemandangan bersama, merasakan angin pantai yang sama, dan berbagi momen nyata—bukan hanya melalui layar ponsel yang dingin.
Namun, saat Fata mulai mengajakku untuk bertemu langsung, sesuatu dalam diriku selalu menahanku untuk mengiyakan ajakannya yang ia sampaikan dengan penuh harap. Ketakutan akan penolakannya ketika melihatku secara langsung mengguncang kepercayaan diriku yang memang rapuh sejak awal. Berkali-kali ia mencoba meyakinkanku, mengatakan bahwa ia menginginkan kehadiranku, bukan hanya eksistensiku dalam bentuk pesan teks atau suara di telepon. Kecemasanku mulai membangun tembok tebal antara kami; aku membayangkan wajah kecewanya saat bertemu denganku yang tak secantik gadis-gadis di lingkungannya, aku membayangkan kata-kata perpisahan yang mungkin akan ia ucapkan setelah melihat kekuranganku yang tak terlihat di foto profil. Tiap kali ia mengajakku bertemu, jantungku berdegup kencang, bukan karena antisipasi bahagia, melainkan ketakutan yang mencekam—ketakutan bahwa mimpi indah yang kami bangun selama berbulan-bulan akan hancur dalam sekejap mata saat realita menghampiri. Setiap ajakan bertemu berubah menjadi penolakan halus dariku, disertai alasan-alasan yang semakin lama semakin terdengar dibuat-buat bahkan di telingaku sendiri.
Malam-malam yang kuhabiskan memikirkan mengapa aku begitu takut untuk bertemu dengannya tidak membawaku pada jawaban yang memuaskan, hanya semakin menguatkan ketidakpastian dan keraguan dalam diriku. Setiap foto yang ia unggah, setiap status yang ia perbarui, semakin membuatku merasa tak pantas untuknya—ia tampak sempurna dengan segala pencapaiannya, sementara aku merasa hanya memiliki kekurangan yang menumpuk. Bayangan diriku yang tak menarik terus menghantuiku setiap kali membandingkan diriku dengan standar kecantikan yang ditetapkan oleh masyarakat. Komentar-komentar positif yang ia berikan tentang penampilanku di foto-foto tak pernah cukup untuk menghapus kekhawatiranku. Belum lagi perasaan bahwa jika suatu hari nanti ia meninggalkanku setelah bertemu, sakitnya akan jauh lebih dalam karena aku telah terlanjur menaruh hati padanya dengan intensitas yang mengejutkan diriku sendiri. Tiap malam, sebelum tidur, aku membayangkan bagaimana rasanya bisa menggenggam tangannya, menatap matanya langsung, dan mendengar suaranya tanpa gangguan sinyal—namun imajinasi itu selalu berakhir dengan ketakutan akan penolakannya.
Januari 2024 datang bersama hujan pertama di tahun baru, dan bersamaan dengan itu, pesan-pesan Fata mulai jarang muncul di notifikasiku. Intensitas obrolan kami yang biasanya padat dengan cerita dan tawa perlahan berkurang, digantikan dengan balasan singkat dan jarak waktu yang semakin lama antara satu pesan dengan pesan lainnya. Kecurigaanku mulai muncul saat ia jarang mengunggah cerita di Instagram-nya, atau lebih tepatnya, ia mulai menyembunyikan ceritanya dariku—tanda pertama bahwa ada sesuatu yang berubah. Ketika kutanyakan alasannya, ia hanya menjawab bahwa ia sedang sibuk, sebuah jawaban yang terdengar masuk akal namun tak sepenuhnya meyakinkan hatiku yang mulai gelisah. Pesan-pesan "selamat pagi" yang biasanya ia kirimkan tepat saat aku membuka mata, kini harus kumenunggu hingga siang atau bahkan tidak datang sama sekali. Beberapa kali aku melihatnya aktif di media sosial, mengunggah status atau memberikan komentar di akun lain, sementara pesanku dibiarkan tanpa balasan—sebuah realita pahit yang menunjukkan bahwa aku mungkin bukan lagi prioritasnya.
Februari 2024 membawa kebenaran yang lebih menyakitkan daripada ketidakpastian: Fata telah menjalin hubungan dengan seorang gadis cantik bernama Caca. Berita itu sampai padaku bukan melalui pengakuannya langsung, melainkan dari unggahan fotonya bersama seorang gadis dengan caption yang tak perlu interpretasi lebih lanjut. Hatiku seakan berhenti berdetak untuk sesaat, menyaksikan senyumnya yang begitu bahagia di samping gadis yang bukan diriku—gadis yang berani melakukan apa yang tak pernah kulakukan: bertemu dengannya secara langsung. Rasa nyeri yang menjalar dari dada hingga ke seluruh tubuhku tak bisa dijelaskan dengan kata-kata; seperti ribuan jarum yang menusuk secara bersamaan, membuatku sulit bernapas dan berpikir jernih. Tanganku gemetar saat menggeser layar untuk melihat komentar-komentar yang memenuhi foto itu, ucapan selamat dari teman-temannya, emotikon-emotikon hati dari gadis itu—semua membentuk realita baru yang harus kuhadapi: Fata telah menjadi milik orang lain.
Komunikasi kami masih berlanjut meski jauh berkurang intensitasnya, seolah kami berdua berusaha menjaga api yang hampir padam di antara hujan deras. Ia masih sesekali mengirimiku pesan, menanyakan kabarku atau memberikan komentar singkat di unggahanku, namun semua interaksi itu kini terasa berbeda—terasa dingin dan formal, jauh dari kehangatan yang dulu pernah kami bagi. Kadang aku menemukan diriku terjaga hingga larut malam, menscroll feed Instagram-nya atau mencoba melihat akun TikTok-nya, mencari petunjuk tentang apakah ia bahagia dengan pilihannya atau apakah ia pernah menyesali ketidakhadiran fisikku dalam hidupnya. Meskipun ia tidak pernah secara eksplisit memberitahuku tentang hubungannya dengan Caca, aku bisa menyimpulkan bahwa mereka telah resmi berpacaran. Sebuah kenyataan yang harus kutelan bulat-bulat, meski rasanya seperti menelan batu yang tajam dan besar; menyakitkan tapi tak bisa kuhindarkan.
Hari-hari berlalu dengan aku yang berusaha melanjutkan hidup, memfokuskan diri pada kuliahku dan, ironisnya, akhirnya menemukan cinta baru dalam sosok kekasihku yang sekarang—seorang lelaki yang mencintaiku dengan segala kekuranganku. Namun, meski kini aku telah bahagia dengan hubungan yang nyata dan bukan hanya sebatas chat, bayangan Fata masih kerap menghantuiku di saat-saat tiba-tiba. Perjalanan hubunganku dan Fata di media sosial terus berlanjut dengan dinamika yang aneh; terkadang kami saling berhenti mengikuti akun satu sama lain, hanya untuk kemudian saling mengikuti kembali setelah beberapa waktu—sebuah tarian digital yang melelahkan namun tak bisa kuhentikan. Ia pernah menyembunyikan Instagram story-nya dariku, sebuah gestur yang jelas menunjukkan bahwa kehadiranku dalam hidupnya, walau secara digital, masih cukup penting untuk dipertimbangkan. Hingga kini, ia mulai kembali membuka akses story-nya untukku, memperlihatkan kesehariannya bersama Caca, saat-saat bahagia mereka yang seharusnya tak lagi menjadi urusanku namun tetap membuatku merasakan nyeri yang familiar.
Ketika suatu malam Fata mengirimkan pesan singkat berisi kata "kangen" padaku, hatiku kembali bergejolak dalam kebingungan yang tak berujung. Ini bukan kali pertama ia melakukannya sejak ia bersama Caca; pesan-pesan rindu yang ia kirimkan seolah menjadi bukti bahwa apa yang pernah kami miliki belum sepenuhnya hilang, atau setidaknya belum sepenuhnya ia lepaskan. Aku tak tahu harus mengartikan pesan-pesan itu sebagai apa; apakah ia benar-benar merindukanku atau hanya merindukan ide tentang diriku yang tak pernah ia temui, apakah ia menyesal dengan keputusannya atau hanya mencari validasi bahwa aku masih memikirkannya. Beberapa kali aku menemukan diriku hampir menjawab "aku juga" pada pesan rindu itu, namun kesadaran akan posisiku sekarang—sebagai kekasih dari lelaki lain—selalu menghentikanku tepat waktu. Aku mulai bertanya-tanya, apakah Caca tahu tentang pesan-pesan ini, apakah ia tahu tentang diriku, dan bagaimana perasaannya jika ia mengetahuinya—pertanyaan-pertanyaan yang tak akan pernah kucari jawabannya karena ketakutanku akan kebenaran.
Setiap kali aku melihat foto Fata dan Caca bersama, senyum bahagia mereka yang terpancar dari layar ponselku, aku selalu dilanda penyesalan yang dalam mengapa dulu aku tak pernah mau menerima ajakannya untuk bertemu. Aku membayangkan dalam skenario alternatif: bagaimana jika saat itu aku memiliki keberanian untuk menemuinya, apakah kini akulah yang berada di posisi Caca, bersanding dengannya dalam foto-foto bahagia? Penyesalan itu kadang datang dalam bentuk air mata yang kubiarkan mengalir dalam kesendirian malamku, atau kadang dalam bentuk tatapan kosong saat aku memikirkan "bagaimana jika" yang tak akan pernah terjawab. Setiap mengingat bagaimana ia tiba-tiba menjauhiku, bagaimana ia memilih gadis lain yang berani melakukan apa yang tak kulakukan, hatiku selalu terasa sakit meski kini aku telah bersama lelaki lain yang mencintaiku. Ironisnya, di tengah kebahagiaanku dengan kekasihku sekarang, aku masih menyisakan ruang di sudut hatiku untuk Fata—sebuah perasaan yang tak seharusnya ada namun tak bisa kupaksa untuk pergi, perasaan yang menggantung seperti not balok yang tak pernah menemukan resolusinya, cerita yang tak pernah menemukan akhirnya.
Hubungan kami semakin intens ketika saling mengikuti akun media sosial, dari Instagram hingga TikTok, menambahkan lapisan baru dalam hubungan digital yang kami jalin dengan penuh semangat. Dari fotonya, aku bisa melihat betapa rupawannya Sapta dengan rahang tegas dan senyum yang selalu membuatku terpaku pada layar ponsel lebih lama dari yang seharusnya. Setiap unggahan yang ia buat seolah membuatku semakin mengenalnya; kesukaannya pada kopi hitam tanpa gula, hobinya membaca buku-buku filsafat di tepi pantai saat matahari terbenam, dan kebiasaannya mengenakan kemeja biru yang selalu membuatnya tampak lebih bersinar di antara kerumunan. Kesamaan minat kami pada musik indie dan film-film yang tidak mainstream membuat obrolan kami selalu mengalir tanpa hambatan, seakan kami telah mengenal satu sama lain sejak lama. Tiap malam, notifikasi dari namanya selalu membuatku tersenyum, dan tanpa sadar aku mulai merindukan obrolan kami ketika seharian tidak bertukar pesan. Ketika ia mengirimkan foto sunset di Surabaya tempat ia magang, aku merasakan keinginan yang kuat untuk berada di sampingnya, menikmati pemandangan itu bersama, merasakan angin pantai yang sama, dan berbagi momen nyata—bukan hanya melalui layar ponsel yang dingin.
Namun, saat Sapta mulai mengajakku untuk bertemu langsung, sesuatu dalam diriku selalu menahanku untuk mengiyakan ajakannya yang ia sampaikan dengan penuh harap. Ketakutan akan penolakannya ketika melihatku secara langsung mengguncang kepercayaan diriku yang memang rapuh sejak awal. Berkali-kali ia mencoba meyakinkanku, mengatakan bahwa ia menginginkan kehadiranku, bukan hanya eksistensiku dalam bentuk pesan teks atau suara di telepon. Kecemasanku mulai membangun tembok tebal antara kami; aku membayangkan wajah kecewanya saat bertemu denganku yang tak secantik gadis-gadis di lingkungannya, aku membayangkan kata-kata perpisahan yang mungkin akan ia ucapkan setelah melihat kekuranganku yang tak terlihat di foto profil. Tiap kali ia mengajakku bertemu, jantungku berdegup kencang, bukan karena antisipasi bahagia, melainkan ketakutan yang mencekam—ketakutan bahwa mimpi indah yang kami bangun selama berbulan-bulan akan hancur dalam sekejap mata saat realita menghampiri. Setiap ajakan bertemu berubah menjadi penolakan halus dariku, disertai alasan-alasan yang semakin lama semakin terdengar dibuat-buat bahkan di telingaku sendiri.
Malam-malam yang kuhabiskan memikirkan mengapa aku begitu takut untuk bertemu dengannya tidak membawaku pada jawaban yang memuaskan, hanya semakin menguatkan ketidakpastian dan keraguan dalam diriku. Setiap foto yang ia unggah, setiap status yang ia perbarui, semakin membuatku merasa tak pantas untuknya—ia tampak sempurna dengan segala pencapaiannya, sementara aku merasa hanya memiliki kekurangan yang menumpuk. Bayangan diriku yang tak menarik terus menghantuiku setiap kali membandingkan diriku dengan standar kecantikan yang ditetapkan oleh masyarakat. Komentar-komentar positif yang ia berikan tentang penampilanku di foto-foto yang kuunggah tak pernah cukup untuk menghapus kekhawatiranku. Belum lagi perasaan bahwa jika suatu hari nanti ia meninggalkanku setelah bertemu, sakitnya akan jauh lebih dalam karena aku telah terlanjur menaruh hati padanya dengan intensitas yang mengejutkan diriku sendiri. Tiap malam, sebelum tidur, aku membayangkan bagaimana rasanya bisa menggenggam tangannya, menatap matanya langsung, dan mendengar suaranya tanpa gangguan sinyal—namun imajinasi itu selalu berakhir dengan ketakutan akan penolakannya.
Januari 2024 datang bersama hujan pertama di tahun baru, dan bersamaan dengan itu, pesan-pesan Sapta mulai jarang muncul di notifikasiku. Intensitas obrolan kami yang biasanya padat dengan cerita dan tawa perlahan berkurang, digantikan dengan balasan singkat dan jarak waktu yang semakin lama antara satu pesan dengan pesan lainnya. Kecurigaanku mulai muncul saat ia jarang mengunggah cerita di Instagram-nya, atau lebih tepatnya, ia mulai menyembunyikan ceritanya dariku—tanda pertama bahwa ada sesuatu yang berubah. Ketika kutanyakan alasannya, ia hanya menjawab bahwa ia sedang sibuk dengan kerja praktiknya, sebuah jawaban yang terdengar masuk akal namun tak sepenuhnya meyakinkan hatiku yang mulai gelisah. Pesan-pesan "selamat pagi" yang biasanya ia kirimkan tepat saat aku membuka mata, kini harus kumenunggu hingga siang atau bahkan tidak datang sama sekali. Beberapa kali aku melihatnya aktif di media sosial, mengunggah status atau memberikan komentar di akun lain, sementara pesanku dibiarkan tanpa balasan—sebuah realita pahit yang menunjukkan bahwa aku mungkin bukan lagi prioritasnya.
Februari 2024 membawa kebenaran yang lebih menyakitkan daripada ketidakpastian: Sapta telah menjalin hubungan dengan seorang gadis cantik bernama Dinda yang ia temui di tempat kerjanya di Surabaya. Berita itu sampai padaku bukan melalui pengakuannya langsung, melainkan dari unggahan fotonya bersama seorang gadis dengan caption yang tak perlu interpretasi lebih lanjut. Hatiku seakan berhenti berdetak untuk sesaat, menyaksikan senyumnya yang begitu bahagia di samping gadis yang bukan diriku—gadis yang berani melakukan apa yang tak pernah kulakukan: bertemu dengannya secara langsung. Rasa nyeri yang menjalar dari dada hingga ke seluruh tubuhku tak bisa dijelaskan dengan kata-kata; seperti ribuan jarum yang menusuk secara bersamaan, membuatku sulit bernapas dan berpikir jernih. Tanganku gemetar saat menggeser layar untuk melihat komentar-komentar yang memenuhi foto itu, ucapan selamat dari teman-temannya, emotikon-emotikon hati dari gadis itu—semua membentuk realita baru yang harus kuhadapi: Sapta telah menjadi milik orang lain.
Komunikasi kami masih berlanjut meski jauh berkurang intensitasnya, seolah kami berdua berusaha menjaga api yang hampir padam di antara hujan deras. Ia masih sesekali mengirimiku pesan, menanyakan kabarku atau memberikan komentar singkat di unggahanku, namun semua interaksi itu kini terasa berbeda—terasa dingin dan formal, jauh dari kehangatan yang dulu pernah kami bagi. Kadang aku menemukan diriku terjaga hingga larut malam, menscroll feed Instagram-nya atau TikTok-nya, mencari petunjuk tentang apakah ia bahagia dengan pilihannya atau apakah ia pernah menyesali ketidakhadiran fisikku dalam hidupnya. Meskipun ia tidak pernah secara eksplisit memberitahuku tentang hubungannya dengan Dinda, dari caption-caption dan komentar-komentar di sosial medianya, aku bisa menyimpulkan bahwa mereka telah resmi berpacaran. Sebuah kenyataan yang harus kutelan bulat-bulat, meski rasanya seperti menelan batu yang tajam dan besar; menyakitkan tapi tak bisa kuhindarkan.
Hari-hari berlalu dengan aku yang berusaha melanjutkan hidup, memfokuskan diri pada kuliahku dan, ironisnya, akhirnya menemukan cinta baru dalam sosok kekasihku yang sekarang—seorang lelaki yang mencintaiku dengan segala kekuranganku. Namun, meski kini aku telah bahagia dengan hubungan yang nyata dan bukan hanya sebatas chat, bayangan Sapta masih kerap menghantuiku di saat-saat tiba-tiba. Perjalanan hubunganku dan Sapta di media sosial terus berlanjut dengan dinamika yang aneh; terkadang kami saling berhenti mengikuti akun satu sama lain, hanya untuk kemudian saling mengikuti kembali setelah beberapa waktu—sebuah tarian digital yang melelahkan namun tak bisa kuhentikan. Ia pernah menyembunyikan Instagram story-nya dariku, sebuah gestur yang jelas menunjukkan bahwa kehadiranku dalam hidupnya, walau secara digital, masih cukup penting untuk dipertimbangkan. Hingga kini, ia mulai kembali membuka akses story-nya untukku, memperlihatkan kesehariannya bersama Dinda, saat-saat bahagia mereka yang seharusnya tak lagi menjadi urusanku namun tetap membuatku merasakan nyeri yang familiar.
Ketika suatu malam Sapta mengirimkan pesan singkat berisi kata "kangen" padaku, hatiku kembali bergejolak dalam kebingungan yang tak berujung. Ini bukan kali pertama ia melakukannya sejak ia bersama Dinda; pesan-pesan rindu yang ia kirimkan seolah menjadi bukti bahwa apa yang pernah kami miliki belum sepenuhnya hilang, atau setidaknya belum sepenuhnya ia lepaskan. Aku tak tahu harus mengartikan pesan-pesan itu sebagai apa; apakah ia benar-benar merindukanku atau hanya merindukan ide tentang diriku yang tak pernah ia temui, apakah ia menyesal dengan keputusannya atau hanya mencari validasi bahwa aku masih memikirkannya. Beberapa kali aku menemukan diriku hampir menjawab "aku juga" pada pesan rindu itu, namun kesadaran akan posisiku sekarang—sebagai kekasih dari lelaki lain—selalu menghentikanku tepat waktu. Aku mulai bertanya-tanya, apakah Dinda tahu tentang pesan-pesan ini, apakah ia tahu tentang diriku, dan bagaimana perasaannya jika ia mengetahuinya—pertanyaan-pertanyaan yang tak akan pernah kucari jawabannya karena ketakutanku akan kebenaran.
Setiap kali aku melihat foto Sapta dan Dinda bersama, senyum bahagia mereka yang terpancar dari layar ponselku, aku selalu dilanda penyesalan yang dalam mengapa dulu aku tak pernah mau menerima ajakannya untuk bertemu. Aku membayangkan dalam skenario alternatif: bagaimana jika saat itu aku memiliki keberanian untuk menemuinya, apakah kini akulah yang berada di posisi Dinda, bersanding dengannya dalam foto-foto bahagia yang mendapatkan puluhan likes dari teman-teman kami? Penyesalan itu kadang datang dalam bentuk air mata yang kubiarkan mengalir dalam kesendirian malamku, atau kadang dalam bentuk tatapan kosong saat aku memikirkan "bagaimana jika" yang tak akan pernah terjawab. Setiap mengingat bagaimana ia tiba-tiba menjauhiku, bagaimana ia memilih gadis lain yang berani melakukan apa yang tak kulakukan, hatiku selalu terasa sakit meski kini aku telah bersama lelaki lain yang mencintaiku. Ironisnya, di tengah kebahagiaanku dengan kekasihku sekarang, aku masih menyisakan ruang di sudut hatiku untuk Sapta—sebuah perasaan yang tak seharusnya ada namun tak bisa kupaksa untuk pergi, perasaan yang menggantung seperti not balok yang tak pernah menemukan resolusinya, cerita yang tak pernah menemukan akhirnya.
0 notes
Text
Melangkah bersama
Aku merindukan dirimu saat ini Mungkin kita memang tidak banyak berbicara Dan sekalipun kita memutuskan untuk berbicara, hanyalah angan di masa depan Mungkinkah kita berhasil menggapainya? Setidaknya kita masih berani untuk bermimpi Jarak dan perbedaan waktu seringkali membuat rindu ini semakin sulit Kamu yang tidak memberikan janji apapun kepadaku Namun membantuku menyusun rencana untuk mimpi-mimpiku Kamu yang membuatku berani untuk kembali bermimpi Aku berharap semoga langkah ini tidak sulit Langkah yang diiiringi dengan harapan dan mimpi Menanti cahaya untuk kegelapan ini Berharap resah dan gelisah ini segera memudar Kita tahu perjalanan ini tak mudah Begitu banyak perbedaan Luka Masa lalu Dua insan yang berbeda dalam segi apapun Kamu yang kutunggu untuk berjalan bersama - 23 Feb 2025 -
#MelangkahBersama#Rindu#Harapan#Mimpi#PerjalananCinta#LangkahBersama#JarakDanWaktu#CahayaDiGelap#TidakAdaJanji#BeraniBermimpi#MasaLalu#CintaTanpaBatas#MenantiKebersamaan#Resah#Gelisah#CintaDanHarapan
1 note
·
View note
Text
Menjadi ibu itu ternyata melelahkan ya?
Itu adalah kalimat yang selalu aku ucapkan kala lelah dengan segala rutinitas yang selalu berulang bagiku.
Namun, seiring berjalannya waktu, kini aku memahami dan menyadari bahwa menjadi ibu itu tidaklah mudah. Dari awal kehamilan, melahirkan hingga menyusui. Tidak ada waktu yang sia-sia dan tidak ada pula perjuangan yang percuma.
Sebab, saat melihat mata mungil itu terlelap, segala kelelahanku seketika hilang, hanya tersisa kata maaf dan penyesalan ketika tidak sengaja membentak atau menghiraukannya. Dan itu terus berulang?
Begitulah fase seorang ibu. Marah, diam, meminta maaf and repeat. Bukankah merasa lelah itu wajar, dan manusiawi?
Wahai aku, dan semua ibu di seluaruh semesta. Jika lelah mulai menyapamu, maka beristirahatlah, tinggalkan sejenak semua kesibukan dan kepenatan itu.
Makan, makanan yang kau sukai.
Tonton film yang kau sukai
Pergilah berbelanja atau sekadar duduk manis di halaman rumah dengan secangkir teh hangat dan kue brownies
Dan percayalah, lelahmu akan menjadi lillah, lelah yang akan Allah Ta'ala balas dengan 7 pintu surga yang bebas kau pilih kelak.
Lelah yang nanti akan menjadi pemberatmu di hari akhir kelak
Serta lelah yang dapat menaikkan derajatmu di hadapan seluruh penduduk langit.
Jadi, bersemangatlah, istirahat sejenak tidak apa.
1 note
·
View note
Text
Terkadang memang harus begitu. Harus jatuh dulu harus sakit dulu harus luka dulu harus nangis dulu harus berdarah dulu biar kemudian bisa menikmati disaat sedang baik-baik saja.
0 notes
Text
Bahkan bayang-bayang dirimu pun enggan meninggalkan aku yang entah siapa ini
0 notes
Text
Hiduplah untuk hari ini. Bukan untuk masa depan maupun masa lalu.
1 note
·
View note
Text
Dalam jarak yang sudah tak pernah dinanti lagi titik temunya, kini aku berdiri membersamai harapan baru akan banyak kebaikan lainnya dan memeluk rasa syukur atas dijauhkan pada hal yang menjadi ketidakbaikan.
2 notes
·
View notes
Text
Tentang Kamu
(Sebuah tulisan lama yang ingin kuabadikan) Malu sekali rasanya, ketika lagi-lagi aku gagal menyembunyikan perasaanku dan bersembunyi dari mengisahkanmu. Iya, ini tentangmu pria dingin. Aku tak bisa berkata tidak rindu, meski sebenarnya aku tidak boleh begitu. Maafkan aku. Maafkan karena gadis bodoh yang sedang mencoba memahami dien-Nya lebih dalam ini, malah belum juga bisa mengendalikan hati.…

View On WordPress
1 note
·
View note