#Kina Matahari
Explore tagged Tumblr posts
Text
Exposición “Territorial: Aire”, Colectiva
Exposición “Territorial: Aire” Colectiva 04.11.2022 Centro de Desarrollo de las Artes Visuales ¿Qué es la decolonización del poder y del conocimiento, por qué este es un tema importante hoy y cuál es su relación con las prácticas artísticas y las instituciones culturales? Es la pregunta que el grupo Enlace –Proyecto de Gestión Cultural-, quieren responder a través de la obra de varios…
View On WordPress
#2022#Aldo Soler#Andy Mendoza#Centro de Desarrollo de las Artes Visuales (CDAV)#Ernesto Sánchez#Evelyn Aguilar#Kina Matahari#Leonardo Luis Roque#Lianet Martínez#Muestra Colectiva#Yunior La Rosa
0 notes
Text
Review Drama Mr Sunshine: Romansa, Patriotisme, dan Kemiripannya dengan Indonesia
Tahun lalu waktu saat saya masih kuliah, saya mengajak teman-teman saya ke rumah untuk makan-makan. Usai makan-makan, kami berbincang-bincang hal-hal yang tidak serius. Ada salah satu teman saya yang membawa hard disk yang isinya kumpulan dari drama-drama korea. Saat memilah dan memilih drama, teman saya nyeletuk, kamu sudah pernah melihat Mr Sunshine belum? Saya menjawab belum dan memang kenapa? Lalu dia terheran-heran. Kamu harus nonton karena itu sangat bagus, ujarnya dengan antusias.
Selama satu tahun lebih saya baru menonton drama tersebut berkat teman saya yang meminjamkan secara gratis akun netflixnya ke saya. Baik sekali teman saya itu. Saya malas menonton drama saeguk atau kerajaan karena pasti saya harus melihat kematian atau akhir yang pedih. Tetapi setelah menonton Mr Sunshine episode 1 wah saya benar-benar terpana.
Drama ini sangat unggul dalam beberapa aspek. Pertama jajaran pemainnya yang memiliki kemampuan akting yang luar biasa bahkan tokoh pendukungnya atau cameonya saja sangat bagus. Kedua grading/pewarnaan di drama ini bagus saya sangat suka warna-warna coklat, warm, dan semi-semi hijau. Nyaman sekali menontonnya. Ketiga, latar tempatnya membuat saya ingin segera berangkat ke Korea, suasananya sangat-sangat menggambarkan kehidupan Korea era 1870-1900an. Sangat autentik. Keempat, saya sangat suka wardrobe dalam drama ini. Entah itu hanbok, baju khas eropa, seragam militer, bahkan kimononya sangat cantik dan bagus dikenakan oleh masing-masing pemain. Kelima, saya sangat suka dengan penokohan masing-masing karakternya. Tokohnya pun sangat banyak dan semuanya memiliki peran yang tidak sia-sia. Saya sangat suka dualitas masing-masing karakter utama. Keenam tidak lupa teknik sinematografinya yang bagus dan tidak main-main.
Tokoh-Tokoh
Drama Mr Sunshine bercerita tentang kelima tokoh utama yang memiliki hubungan benci dan cinta dengan Korea. Pertama Eugene Choi (Lee Byung Hun), seorang anak budak yang harus menyaksikan kematian kedua orang tuanya karena disiksa oleh tuan tanah. Ia lalu pergi ke Amerika dan tumbuh menjadi tentara Amerika Serikat yang kharismatik, gagah, dan cerdas. Kedua Go Ae Shin (Kim Tae Ri), seorang cucu bangsawan dan anak dari pasukan kebenaran (pasukan bawah tanah/kumpulan orang-orang yang berjuang diam-diam atas titah raja untuk Korea). Go Ae Shin tidak menyukai statusnya jika hanya menjadi tuan puteri saja untuk itu Ia harus berbuat sesuatu untuk bangsanya akhirnya setelah berdebat dengan sang kakek akhirnya dia diijinkan untuk bergabung dengan pasukan kebenaran.
Go Dong Mae (Yoo Yeon Seok) anak dari tukang jagal yang diperlakukan tidak adil karena status sosial. Ia pun melarikan diri ke Jepang dan belajar mengikuti perkumpulan Mushin atau cikal bakal Yakuza. Ia tumbuh menjadi seseorang dengan kepribadian yang kejam, dingin, garang namun tetap memiliki sisi seorang manusia. Selanjutnya ada Hina Kudo (Kim Min Jung) seseorang janda yang menikah dengan orang Jepang yang kaya raya karena dipaksa bapaknya. Ia lalu mendirikan hotel untuk para penjajah yang singgah di Korea. Setelah menjanda, Hina Kudo menjadi karakter perempuan yang anggun, cerdas, dan kuat.
Terakhir ada Kim Hwi Seong (Byun Yo Han) turunan elitis di Korea. Keluarganya merupakan keluarga terkaya di Korea tapi memiliki reputasi yang buruk karena tidak ramah pada budak dan bersikap sewenang-wenang. Hwi Seong seakan malu memiliki dikenal dengan reputasi tersebut tapi Ia menyembunyikannya dengan pembawaannya yang ceria, mudah bergaul, dan lucu. Ia juga kabur ke Jepang selama sepuluh tahun karena tidak ingin hidup dibawah bayang-bayang reputasi buruk sang kakek. Ia sama sekali tidak tertarik duduk di kursi pemerintahan ataupun menjadi tuan tanah. Ia lebih menyukai hal-hal tidak penting seperti bunga,bulan, bintang, dan guyonan. Ia memutuskan untuk mendirikan koran Korea pertama.
Cerita Histori yang dikemas dengan Romansa
Mr Sunshine kurang lebih bercerita tentang Korea Selatan (Joseon) yang digambarkan sebagai negara yang lemah dan tak berdaya serta digencat oleh dua negara kuat seperti Amerika dan Jepang. Makanya di dalam drama tersebut akulturasi budaya terlihat sangat jelas dan menarik karena saya baru pertama kali drama Korea yang memperlihatkan secara jelas bagaimana modernitas yang dibawa oleh budaya barat tercampur dengan budaya asli Korea.
Tentu saja drama ini mengandung unsur romansa yang kental tetapi dikemas dengan cara yang elegan pula. Penonton dibuat senyum-senyum ketika melihat kepolosan Go Ae Shin saat jatuh cinta dengan Eugene Choi. Melihat mereka berdua bertatap-tatapan atau mengingat momen-momen hangat digambarkan dengan sangat cantik di drama ini. Tidak hanya itu penonton bahkan tidak hanya terkena second lead melainkan juga third lead, karena terdapat cinta segi empat dalam drama ini. Bahkan saya sangat suka bagaimana penulis menggambarkan cinta ketiga pria tersebut dalam memperjuangkan Go Ae Shin.
Eugene Choi mencintai Go Ae Shin dengan sangat hangat dan kharismatik. Go Dong Mae mencintai Ae Shin dengan amarah dan perilaku buruk agar tetap diingat oleh Ae Shin. Sedangkan Hwi Yeong mencintai Go Ae Shin dengan penyesalan karena pada awalnya telah menyia-nyiakan Ae Shin tetapi ia sendiri yang terkena karma dan tidak bisa menghapuskan Ae Shin dari hatinya. Mereka bertiga mendukung Go Ae Shin untuk melindungi Korea dengan cara masing-masing yang membuat kita mengharu biru. Saya paling suka adegan di episode terakhir saat Eugene Choi mengatakan hal ini kepada Ae Shin, “Kamu harus melangkah maju, biarkan aku yang melangkah mundur”, sangat manis sekali kapten.
Kemiripannya dengan Tokoh di Indonesia
Ketika menonton ini saya mengingat beberapa tokoh fiksi maupun nyata yang ada di Indonesia terutama kedua tokoh wanitanya yaitu Go Ae Shin dan Hina Kudo. Go Ae Shin mengingatkan saya dengan R.A Kartini karena ia tidak hanya ingin menjadi wanita bangsawan yang lemah lembut saja. Go Ae Shin memiliki jiwa patrotik yang kuat dengan bergabung pasukan kebenaran dan menyukai hal-hal bacaan-bacaan dari barat. Ia menentang bagaimana stigma perempuan bangsawan yang seharusnya. Peran Go Ae Shin dimainkan sangat apik oleh Kim Tae Ri, ia bisa menjadi putri yang manis dan lugu saat mengenakan hanbok dan bisa menjadi seseorang yang gagah dan menawan ketika mengenakan setelan untuk pasukan kebenaran.
Sedangkan Hina Kudo mengingatkan saya dengan Nyai Ontosoroh, mereka berdua sama-sama dijual oleh sang bapak dan menjadi lebih kuat setelah menjanda. Mereka berdua sama-sama dapat mengelola keuangan dengan baik tetapi Hina Kudo tidak hanya menjadi anggun, Ia juga berhasil menjadi perempuan yang kuat dengan belajar bela diri untuk melindungi dirinya dari pria-pria yang ingin menggodanya. Saya sangat senang penggambaran perempuan yang kuat dan dapat melindungi dirinya sendiri dari bayang-bayang patriarki. Saya sangat menyukai kutipan dari Kina Hudo saat ditolong oleh Go Dong Mae yang berbunyi “Hati-hati dengan perempuan, kita tidak selalu menjadi pelangi dan sinar matahari”.
Selain kedua tokoh tersebut saya juga menyukai tokoh Hwi Seong walaupun dia digambarkan sebagai seseorang yang suka berfoya-foya dan don juan, tetapi saya menyukai bagaimana ambisi Hwi Seong mengabarkan kebenaran dan berjuang menjadi wartawan yang berpihak pada negaranya. Penggambaran Hwi Seong mengingatkan pada Tirto, seorang tokoh pahlawan yang berjuang dengan menjadi wartawan. Saya sangat menyukai kutipan dari Hwi Seong yang mengatakan bahwa “Tulisan juga memiliki kekuatan”.
Selain itu penggambaran kondisi sosial dan budayanya juga sangat mirip dengan Indonesia. Apalagi ketika Eugene Choi berkata di dunia selalu ada perbedaan, perbedaan perilaku, perbedaan pendapat, dan perbedaan status sosial. Sangat relate sekali dengan kondisi sosial di Indonesia. Walaupun negara kita sedang riuh dan berantakan ingatlah pesan Eugene Choi “Di dunia ini ada banyak perbedaan dan persamaan, namun perbedaan dan persamaanlah yang membuat mereka bersatu. Perbedaan jalan, Persamaan Tujuan”. Mr Sunshine adalah tontonan yang menarik dan edukatif, tontonlah!
3 notes
·
View notes
Text
Ya Allah Hidup. :)
“Baiklah, mari kita mulai cerita pagi ini dengan secangkir saprahan dan konsonan kata dari sang tutor”
Pagi ini, rasanya tidak seperti pagi-pagi sebelumya, pagi ini aku merasa terasing dan terusik dari sebuah tempat perasingan ini.
Aku dilanda dan dicerca masalah yang tiada taranya, bagaikan ditepis dedahanan ujung kelapa dengan terik matahari dan tepisan angin yang kuat.
Aku masih setia duduk dan menantikan untaian kata yang terbesit dalam pikirannya.
Pagi ini, aku telah mengucapkan beribu maaf dan terima kasih kepada dia yang telah kubohongi, maaf bercandaku berlebihan. Maaf tawa ku berlebihan maaf kata-kataku berlebihan.
Kusadari semua jalan yang ku tempuh tak seharusnya ku anggap sama dan kuanggap sama, setiap kepala dn setiap orang isi kepalanya beda kin :’) so kamu harus sadar diri siapa kamu, dimana kamu dan untuk apa kamu disini, Concern with my study it’s really kina lakukan but no one people know and sometimes apa yang mereka lihat ga sama apa yang mereka pikirkan.
Kina hanya berusaha untuk menjadi bagian dari itu, but ngga semua orang bisa menila baik :)
Aku kalah dan aku lelah.
1 note
·
View note
Text
Home
Home of Hanjuang Dalam Berbagai Sudut Pandang. Bagi kami, arti Hanjuang adalah pesan untuk tetap mempertahankan dan memperjuangkan.
Kegunaan Hanjuang
Hanjuang Cordyline orang sering menggunakan sebagai tanaman pelindung dan pembatas blok pada sawah, ladang, serta perkebunan teh atau kina di Indonesia. Di samping itu, Hanjuang, terutama C. fruticosa, populer sebagai tanaman hias. Namun, daun Hanjuang berguna sebagai pembungkus makanan. Sedangkan, hasil penelitian menunjukkan, bungkus daun Hanjuang memiliki kemampuan antibakterial. Sementara itu, dalam masyarakat Sunda, Jawa, serta Bali, Hanjuang memiliki makna sebagai "pembatas ruang", baik arti secara langsung maupun filosofis.
Hanjuang Nama Tanaman
Nama Hanjuang orang kebanyakan mengenal sebagai satu jenis tanaman. Dan lagi, tanaman Hanjuang diidentikan dengan Andong, Ti atau Hanjuang (Cordyline fruticosa) yaitu tanaman hias dari keluarga Asparagaceae. Ini berasal dari austronesia, Asia Tenggara dan Oseania. Di samppping itu, Hanjuang ini secara lokal di Indonesia orang mengenal sebagai tanaman andong, pohon ti, atau Hanjuang.
Tanaman hias Hanjuang atau Andong (Cordyline fruticosa). Nama lain atau nama daerah setempat masing-masing di Indonesia untuk tanaman Hanjuang ini ada banyak. Di antaranya adalah Bak Juang (Aceh), Linjuang (Medan), Tumjuang (Palembang), Hanjuang (Jawa Barat, Sunda), Andong (Jawa Tengah). Lalu sebutan Kayu Urip (Madura), Andong (Jakarta), Endong (Bali), Renjuang (Dayak), Endong (Nusa Tenggara), Tabango (Gorontalo), Palili (Makasar), Panjureng (Bugis), dan Weluga (Ambon). Taksonomi tanaman Hanjuang dalam cabang pengetahuan Biologi : DivisiTracheophytaUpadivisiSpermatophytinaKladAngiospermaeKladmonocotsOrdoAsparagalesFamiliAsparagaceaeUpafamiliLomandroideaeGenusCordylineSpesiesCordyline fruticosa
Pohon Hanjuang Cordyline fruticosa di Pilangsari, Kedawung, Cirebon.
Pohon Hanjuang sebagai dekorasi acara perkawinan di Wotgali, Plered, Cirebon. Cordyline atau Hanjuang, sekelompok tumbuhan monokotil berbatang orang sering menjumpai di taman sebagai tanaman hias. Hanjuang atau marga Cordyline memiliki sekitar 15 jenis. Sistem APG II memasukkan Hanjuang ke dalam suku Laxmanniaceae. Namun, beberapa pustaka lain memasukkannya ke dalam Liliaceae (suku bakung-bakungan) serta Agavaceae. Nama Hanjuang juga berguna untuk sekelompok tumbuhan dari marga Dracaena. Daun Hanjuang khas, berbentuk lanset, berukuran agak besar dan berwarna hijau kemerah-merahan (Cordyline) atau berwarna hijau muda (Dracaena).
Jenis Hanjuang
Kebanyakan jenis Hanjuang atau Cordyline merupakan tanaman hias karena warna daunnya yang berubah menjadi merah jika mendapat sinar matahari langsung. Beberapa jenisnya : - Cordyline australis - Cordyline banksii - Jeda - - Cordyline fruticosa syn. C. terminalis (Hanjuang biasa) - Cordyline haageana - Jeda - - Cordyline indivisa - Cordyline obtecta syn. C. kaspar, C. baueri dari Selandia Baru - Jeda - - Cordyline pumilio - Cordyline stricta
Hanjuang Dalam Uga Wangsit Siliwangi
Saur Prabhu Siliwangi ka balad Pajajaran anu milu mundur dina sateuacanna ngahiang: “Lalakon urang ngan nepi ka poé ieu, najan dia kabéhan ka ngaing pada satia! Tapi ngaing henteu meunang mawa dia pipilueun, ngilu hirup jadi balangsak, ngilu rudin bari lapar. Dia mudu marilih, pikeun hirup ka hareupna, supaya engké jagana, jembar senang sugih mukti, bisa ngadegkeun deui Pajajaran! Lain Pajajaran nu kiwari, tapi Pajajaran anu anyar, nu ngadegna kageuingkeun ku obah jaman! Pilih! Ngaing moal ngahalang-halang. Sabab pikeun ngaing, hanteu pantes jadi Raja, anu somah sakabéhna, lapar baé jeung balangsak.” Daréngékeun! Nu dék tetep ngilu jeung ngaing, geura misah ka beulah kidul! Anu hayang balik deui ka dayeuh nu katinggalkeun, geura misah ka beulah kalér! Nu dék kumawula ka nu keur jaya, geura misah ka beulah wétan! Anu moal milu ka saha-saha, geura misah ka beulah kulon! Daréngékeun! Dia nu di beulah wétan, masing nyaraho: Kajayaan milu jeung dia! Nya turunan dia nu engkéna bakal maréntah ka dulur jeung ka batur. Tapi masing nyaraho, arinyana bakal kamalinaan. Engkéna bakal aya babalesna. Jig geura narindak!
Cag,
Dia nu di beulah kulon! Papay ku dia lacak Ki Santang! Sabab engkéna, turunan dia jadi panggeuing ka dulur jeung ka batur. Ka batur urut salembur, ka dulur anu nyorang sauyunan ka sakabéh nu rancagé di haténa. Engké jaga, mun tengah peuting, ti Gunung Halimun kadéngé sora tutunggulan, tah éta tandana; saturunan dia kasambat ku nu dék kawin di Lebak Cawéné. Ulah sina talangké, sabab talaga bakal bedah! Jig geura narindak! Tapi ulah ngalieuk ka tukang! Dia nu marisah ka beulah kalér, daréngékeun! Dayeuh ku dia moal kasampak. Nu ka sampak ngan ukur tegal baladaheun. Turunan dia, lolobana bakal jadi somah. Mun aya nu jadi pangkat, tapi moal boga kakawasaan. Arinyana engké jaga, bakal kaseundeuhan batur. Loba batur ti nu anggang, tapi batur anu nyusahkeun. Sing waspada!
Cag,
Sakabéh turunan dia ku ngaing bakal kalanglang. Tapi, ngan di waktu anu perlu. Ngaing bakal datang deui, nulungan nu barutuh, mantuan anu sarusah, tapi ngan nu hadé laku-lampahna. Mun ngaing datang moal kadeuleu; mun ngaing nyarita moal kadéngé. Mémang ngaing bakal datang. Tapi ngan ka nu rancagé haténa, ka nu weruh di semu anu saéstu, anu ngarti kana wangi anu sajati jeung nu surti lantip pikirna, nu hadé laku lampahna. Mun ngaing datang; teu ngarupa teu nyawara, tapi méré céré ku wawangi. Ti mimiti poé ieu, Pajajaran leungit ti alam hirup. Leungit dayeuhna, leungit nagarana. Pajajaran moal ninggalkeun tapak, jaba ti ngaran pikeun nu mapay. Sabab bukti anu kari, bakal réa nu malungkir! Tapi engké jaga bakal aya nu nyoba-nyoba, supaya anu laleungit kapanggih deui. Nya bisa, ngan mapayna kudu maké amparan. Tapi anu marapayna loba nu arieu-aing pang pinterna. Mudu arédan heula. Engké bakal réa nu kapanggih, sabagian-sabagian. Sabab kaburu kalarang ku nu kasebut Raja Panyelang! Aya nu wani ngoréhan terus-terus, teu ngahiding ka panglarang; ngoréhan bari ngalawan, ngalawan sabari seuri. Nya éta budak angon; imahna di birit leuwi, pantona batu satangtung, kahieuman ku handeuleum, karimbunan ku Hanjuang. Ari ngangonna? Lain kebo lain embé, lain méong lain banténg, tapi kalakay jeung tutunggul. Inyana jongjon ngorehan, ngumpulkeun anu kapanggih. Sabagian kasumputkeun, sabab acan wayah ngalalakonkeun. Engke mun geus wayah jeung mangsana, baris loba nu kabuka jeung raréang ménta kalalakonkeun. Tapi, mudu ngalaman loba lalakon, anggeus nyorang : undur jaman datang jaman, saban jaman mawa lalakon. Lilana saban jaman, sarua jeung waktuna nyukma, ngusumah jeung nitis, laju nitis dipinda sukma.
Cag,
Daréngékeun! Nu kiwari ngamusuhan urang, jaradi rajana ngan bakal nepi mangsa: tanah bugel sisi Cibantaeun kajieun kandang kebo dongkol. Tah di dinya, sanagara bakal jadi sampalan, sampalan kebo barulé, nu diangon ku jalma jangkung nu tutunjuk di alun-alun. Ti harita, raja-raja kabelenggu. Kebo bulé nyekel bubuntut, turunan urang narik waluku, ngan narikna henteu karasa, sabab murah jaman seubeuh hakan. Ti dinya, waluku katumpakan kunyuk; laju turunan urang aya nu lilir, tapi lilirna cara nu kara hudang tina ngimpi. Ti nu laleungit, tambah loba nu manggihna. Tapi loba nu pahili, aya kabawa nu lain mudu kaala! Turunan urang loba nu hanteu engeuh, yén jaman ganti lalakon! Ti dinya gehger sanagara. Panto nutup kabuburak ku nu ngaranteur pamuka jalan; tapi jalan nu pasingsal! Nu tutunjuk nyumput jauh; alun-alun jadi suwung, kebo bulé kalalabur; laju sampalan nu karanjah monyét! Turunan urang ngareunah seuri, tapi seuri teu anggeus, sabab kaburu: warung béak ku monyét, sawah béak ku monyét, leuit béak ku monyét, kebon béak ku monyét, sawah béak ku monyét, cawéné rareuneuh ku monyét. Sagala-gala karanjah ku monyét. Turunan urang sieun ku nu niru-niru monyét. Panarat kacekel ku monyet bari diuk kana bubuntut. Walukuna katarik ku turunan urang keneh. Loba nu paraeh kalaparan. ti dinya, turunan urang ngarep-ngarep pelak jagong, sabari nyanyahoanan maresék caturangga. Hanteu arengeuh, yén jaman geus ganti deui lalakon.
Cag,
Laju hawar-hawar, ti tungtung sagara kalér ngaguruh ngagulugur, galudra megarkeun endog. Génjlong saamparan jagat! Ari di urang? Ramé ku nu mangpring. Pangpring sabuluh-buluh gading. Monyét ngumpul ting rumpuyuk. Laju ngamuk turunan urang; ngamukna teu jeung aturan. loba nu paraéh teu boga dosa. Puguh musuh, dijieun batur; puguh batur disebut musuh. Ngadak-ngadak loba nu pangkat nu maréntah cara nu édan, nu bingung tambah baringung; barudak satepak jaradi bapa. nu ngaramuk tambah rosa; ngamukna teu ngilik bulu. Nu barodas dibuburak, nu harideung disieuh-sieuh. Mani sahéng buana urang, sabab nu ngaramuk, henteu beda tina tawon, dipaléngpéng keuna sayangna. Sanusa dijieun jagal. Tapi, kaburu aya nu nyapih; nu nyapihna urang sabrang. Laju ngadeg deui raja, asalna jalma biasa. Tapi mémang titisan raja. Titisan raja baheula jeung biangna hiji putri pulo Dewata. da puguh titisan raja; raja anyar hésé apes ku rogahala! Ti harita, ganti deui jaman. Ganti jaman ganti lakon! Iraha? Hanteu lila, anggeus témbong bulan ti beurang, disusul kaliwatan ku béntang caang ngagenclang. Di urut nagara urang, ngadeg deui karajaan. Karajaan di jeroeun karajaan jeung rajana lain teureuh Pajajaran.
Cag,
Laju aya deui raja, tapi raja, raja buta nu ngadegkeun lawang teu beunang dibuka, nangtungkeun panto teu beunang ditutup; nyieun pancuran di tengah jalan, miara heulang dina caringin, da raja buta! Lain buta duruwiksa, tapi buta henteu neuleu, buaya eujeung ajag, ucing garong eujeung monyét ngarowotan somah nu susah. Sakalina aya nu wani ngageuing; nu diporog mah lain satona, tapi jelema anu ngélingan. Mingkin hareup mingkin hareup, loba buta nu baruta, naritah deui nyembah berhala. Laju bubuntut salah nu ngatur, panarat pabeulit dina cacadan; da nu ngawalukuna lain jalma tukang tani. Nya karuhan: taraté hépé sawaréh, kembang kapas hapa buahna; buah paré loba nu teu asup kana aseupan…Da bonganan, nu ngebonna tukang barohong; nu tanina ngan wungkul jangji; nu palinter loba teuing, ngan pinterna kabalinger. Ti dinya datang budak janggotan. Datangna sajamang hideung bari nyorén kanéron butut, ngageuingkeun nu keur sasar, ngélingan nu keur paroho. Tapi henteu diwararo! Da pinterna kabalinger, hayang meunang sorangan. Arinyana teu areungeuh, langit anggeus semu beureum, haseup ngebul tina pirunan. Boro-boro dék ngawaro, malah budak nu janggotan, ku arinyana ditéwak diasupkeun ka pangbérokan. Laju arinyana ngawut-ngawut dapur batur, majarkeun néangan musuh; padahal arinyana nyiar-nyiar pimusuheun.
Cag,
Sing waspada! Sabab engké arinyana, bakal nyaram Pajajaran didongéngkeun. Sabab sarieuneun kanyahoan, saenyana arinyana anu jadi gara-gara sagala jadi dangdarat. Buta-buta nu baruta; mingkin hareup mingkin bedegong, ngaleuwihan kebo bulé. Arinyana teu nyaraho, jaman manusa dikawasaan ku sato! Jayana buta-buta, hanteu pati lila; tapi, bongan kacarida teuing nyangsara ka somah anu pada ngarep-ngarep caringin reuntas di alun-alun. Buta bakal jaradi wadal, wadal pamolahna sorangan. Iraha mangsana? Engké, mun geus témbong budak angon! Ti dinya loba nu ribut, ti dapur laju salembur, ti lembur jadi sanagara! Nu barodo jaradi gélo marantuan nu garelut, dikokolotan ku budak buncireung! Matakna garelut? Marebutkeun warisan. Nu hawek hayang loba; nu boga hak marénta bagianana. Ngan nu aréling caricing. Arinyana mah ngalalajoan. Tapi kabarérang.
Cag,
Nu garelut laju rareureuh; laju kakara arengeuh; kabéh gé taya nu meunang bagian. Sabab warisan sakabéh béak, béakna ku nu nyarekel gadéan. Buta-buta laju nyarusup, nu garelut jadi kareueung, sarieuneun ditempuhkeun leungitna nagara. Laju naréangan budak angon, nu saungna di birit leuwi nu pantona batu satangtung, nu dihateup ku handeuleum ditihangan ku Hanjuang. Naréanganana budak tumbal. sejana dék marénta tumbal. Tapi, budak angon enggeus euweuh, geus narindak babarengan jeung budak anu janggotan; geus mariang pindah ngababakan, parindah ka Lebak Cawéné! Nu kasampak ngan kari gagak, keur ngelak dina tutunggul. Daréngékeun! Jaman bakal ganti deui. tapi engké, lamun Gunung Gedé anggeus bitu, disusul ku tujuh gunung. Génjlong deui sajajagat. Urang Sunda disarambat; urang Sunda ngahampura. Hadé deui sakabéhanana. Sanagara sahiji deui. Nusa Jaya, jaya deui; sabab ngadeg ratu adil; ratu adil nu sajati. Tapi ratu saha? Ti mana asalna éta ratu? Engké ogé dia nyaraho. Ayeuna mah, siar ku dia éta budak angon! Jig geura narindak! Tapi, ulah ngalieuk ka tukang! Hanjuang – Website Design Enterprise Read the full article
0 notes
Text
Palagan Ambarawa
Kesepakatan antara Ir. Soekarno dan Brigadir Jendral Betell diingkari oleh Sekutu. Pertempuran Ambarawa pecah pada tanggal 20 November 1945 antara TKR dibawah pimpinan Mayor Sumarto dan pihak Sekutu. Pada tanggal 21 November, pasukan Sekutu yang berada di Magelang diboyong ke Ambarawa dengan perlindungan pesawat tempur. Pada tanggal 22 November 1945, perang berkobar di kota Ambarawa. Pasukan TKR Ambarawa beserta bantuan TKR Boyolali, Salatiga dan Kartasura bertahan di kuburan Belanda dan membentuk suatu garis pertahanan di sepanjang jalur rel kereta api yang membelah kota Ambarawa.
Di sisi lain dari arah Magelang datang pasukan TKR Divisi V / Purwokerto yang dipimpin Imam Androngi melakukan serangan fajar pada tanggal 21 November 1945. Serangan ini bertujuan agar pasukan Sekutu meninggalkan Desa Pingit yang ditempatinya. Pasukan Divisi V mampu mengusir sekutu dari Desa Pingit dan desa
desa lain yang diduduki Sekutu. Imam Androngi terus mengejar Sekutu dan diperkuat tiga batalion dari Yogyakarta yaitu Batalion 10 dibawah pimpinan Mayor Soeharto, Batalion 8 dibawah pimpinan Mayor Sardjono, dan Batalion Sugeng.
Sekutu terkepung, walaupun demikian Sekutu berusaha menerobos kepungan pasukan TKR. Mereka mengancam akan menggunakan tank - tank dari arah belakang. Untuk menghindari lebih banyak korban, pasukan TKR mundur ke Bedono. Dengan dibantu Reimen II yang dipimpin M. Sarbini, Batalion Polisi Istimewa yang dipimpin oleh Onie Sastroatmojo serta Batalion dari Yogyakarta mengakibatkan Sekutu berhasil di tahan di Desa Jambu. Para komandan kemudian melakukan rapat di Desa Jambu yang dipimpin oleh Kolonel Holland Iskandar.
Rapat ini menghasilkan pembentukan komando yang disebut Markas Pimpinan Pertempuran, yang bertempat di Magelang. Sejak saat itu, kota Ambarawa dibagi menjadi empat sektor yaitu sektor timur, sektor barat, sektor utara dan sektor selatan. Pasukan pertempuran disiagakan secara bergantian. Pada tanggal 26 November 1945, pimpinan pasukan dari Purwokerto, Letkol Isdiman gugur dalam peperangan dan diganti Kolonel Sudirman Panglima Divisi V di Purwokerto. Situasi pertempuran menguntungkan TKR.
1. Kronologi Pertempuran Ambarawa (20 Oktober – 15 Desember 1945)
Tentara Sekutu yang diboncengi NICA mendarat di Semarang pada tanggal 20 Oktober 1945.
Tanggal 23 November 1945 ketika matahari mulai terbit, mulailah terjadi tembak-menembak antara para pejuang kemerdekaan dengan pasukan Sekutu.
Kolonel Soedirman mengadakan rapat dengan para Komandan Sektor TKR dan Laskar pada tanggal 11 Desember 1945.
Serangan mulai dilancarkan pada tanggal 12 Desember 1945 pukul 4.30 pagi.
Pertempuran berakhir pada tanggal 15 Desember 1945 dan Indonesia berhasil merebut Ambarawa. Sekutu dibuat mundur ke Semarang.
2. Diakronik pertempuran ambarawa (20 oktober-15 desember 1945)
Tentara Sekutu yang diboncengi NICA mendarat di Semarang pada tanggal 20 Oktober 1945.
Tanggal 23 November 1945 ketika matahari mulai terbit, mulailah terjadi tembak-menembak antara para pejuang kemerdekaan dengan pasukan Sekutu.
Kolonel Soedirman mengadakan rapat dengan para Komandan Sektor TKR dan Laskar pada tanggal 11 Desember 1945.
Serangan mulai dilancarkan pada tanggal 12 Desember 1945 pukul 4.30 pagi.
Pertempuran berakhir pada tanggal 15 Desember 1945 dan Indonesia berhasil merebut Ambarawa. Sekutu dibuat mundur ke Semarang.
3. Sinkronik pertempuran ambarawa(20 Oktober – 15 Desember 1945)
Kota Ambarawa berada pada jalur penghubung antara Magelang dan Semarang. Karena letak geografis Ambarawa yang strategis ini, maka Jepang menempatkan tawanan wanita Belanda dari berbagai daerah di Ambarawa.
Mata pencaharian pokok masyarakat Ambarawa adalah pertanian yang memberikan hasil berupa padi, sayuran, dan buah-buahan. Ambarawa juga merupakan salah satu daerah perkebunan dalam wilayah karesidenan Semarang. Hasil perkebunan di Ambarawa antara lain, kopi, cokelat, karet, rempat-rempah dan kina. Di wilayah ambarawa juga terdapat perusahaan batik yang dikuasai orang cina serta perusahaan-perusahaan rokok kecil yang mengahsilkan rokok kretek. Kondisi tersebut memungkinkan orang orang belanda mudah memberikan supply makanan kepada tentara yang terjun ke medan pertempuran.
4. Ruang dan waktu pada pertempuran ambarawa (20 Oktober-15 Desember 1945)
Ruang : kecamatan Ambarawa, kabupaten Semarang
Waktu : 20 November 1945 – 15 Desember 1945
1 note
·
View note
Text
V [05.01.1999]
Kina, perempuan yang selalu meledak-ledak, perempuan yang tingginya juga tidak lebih dari setengah kaki itu setiap hari Kamis selalu bawakan aku sup kaldu kaki sapi. Setiap kutanya, katanya Ibunya tidak mau lihat aku mati kelaparan sementara Ibu dan Uni ku jauh di Minangkabau. Perempuan itu juga sering belikan aku kanebo. Setiap kutanya, katanya milikku kwalitet kelas bawah. Bikin geram saja, dia. Yang paling bikin aku geleng-geleng, dia mau kusuruh menunggu Parto si loper koran setiap ku tinggal membeli tauwa didepan komplek. Setiap kutanya, katanya kasihan Parto jika harus menunggu, bukan hanya koranku yang harus dia antar. Ada lagi, soal Kina yang mau repot. Dia mau-maunya bikinkan aku Soto Banjar sampai jemarinya jadi kuning. Aku hampir kira dia benar peduli, karena itu aku sempat menaruh hati padanya. Dia mau repot, untukku tentu saja. Tapi setiap kutanya, dia bilang karena aku yang suruh. Perasaanku jadi menguap jika ingat dia bilang begitu.
Kina itu, aku mengenalnya empat tahun lalu. Saat itu kami bertemu di balai kota. Aku lupa ada acara apa saat itu, yang jelas aku disuruh Romo Pandji gantikan Didi, putranya, kesana. Waktu itu, wajahnya pucat pasi. Langkahnya juga kecil-kecil. Mungkin kerikil kecil bisa langsung buat dia limbung. Aku langsung tahu apa masalahnya ketika aku melihat noda kemerahan dibelakang terusan putihnya. Aku tidak mau buat dia malu, jadi kusuruh saja Uni yang saat itu bersamaku membantunya ke kamar kecil terdekat dan bereskan kekacauan yang ada di terusan miliknya. Mungkin, sampai sekarang dia tak tahu kalau aku yang suruh Uni. Lagi pula, saat itu dia tidak lihat aku.
Sekarang dia kuanggap pekerjaku. Pekerja dalam rumah tanggaku. Hilangkan saja tangganya, tinggal rumah. Mengeruk tanah jadi danau dia juga bisa, kalau aku yang suruh. Dia selalu ada, selalu mau jika tahu aku yang butuh. Aku tidak berencana mencari penggantinya dalam waktu dekat. Jika dia mau, aku akan jadikan dia pekerjaku seumur hidup. Tidak ada wanita yang begitu padaku. Setiap ku suruh, setiap ku minta, di permukaan saja dia tampak setengah hati, di dasar juga aku tidak tahu sih. Tapi dimataku, dia mau. Buktinya semua selalu jadi ditangannya, dan aku tidak mau mengubah itu. Aku mau dia terus.
Kemudian, semua jungkir balik ketika aku mengantar kolak labu bersamanya ke rumah Romo Pandji.
***
Air yang menetes. Bungkus deterjen yang belum digulung rapi. Ember-ember yang dibalik. Matahari ada sejengkal diatas kepalaku. Aku baru saja selesai menjemur pakaian ditemani radio kepunyaan almarhum bapak.
Aku mencuci kemeja garis-garis pemberian Kina. Rencananya, besok aku akan pakai itu untuk temani Tati menghadiri Kenduri rekan Romo Pandji. Kemarin, Kina yang bilang kalau Romo mau aku yang mengantar putrinya. Romo berpesan lewat Ibunya Kina. Aku senang dapat bertemu kembali dengan wanita itu. Dia menyenangkan, tidak seperti Kina yang meledak-ledak. Suaranya pelan, mirip dengan suara Mbak Rosa, kakak perempuan Kina, yang sering kudengar di radio bersama Kina sore-sore. Oh ya, Tati ternyata pintar merajut juga seperti Uni. Kemarin, waktu Romo minta aku datang kerumahnya Tati janji akan bikinkan aku sapu tangan. Katanya, dia tidak mau aku gunakan kertas tissue sembarangan. Dia takut aku sakit. Aku jadi senang diperhatikan, dia. Aku suka dia, dengan kata-katanya yang apa adanya.
Aku hendak menjerang air. Hari ini aku lupa masak nasi. Mungkin mie kuah dapat jadi pemadam kelaparan buatku. Ketika melewati bak cuci, aku lihat ada kancing warna putih. Aku langsung panik. Aku melihat jemuranku, benar saja. Kancing teratas kemeja pemberian Kina lepas. Bagaimana ini? hari sudah gelap. Tidak ada waktu lagi.
Aku mengayuh sepedaku cepat-cepat. Habis ini Kina tidur. Aku tidak mau besok, tidak pakai kemeja darinya. Aku cuma mau kemeja ini berkancing lagi. Hujan deras kuterobos. Tidak peduli basah kuyup. Beruntung, begitu sampai dipekarangan rumahnya, hujan sudah berlalu. Sepedaku, kuletakkan sembarangan. Biar cepat Kina cepat keluar, aku berteriak air. Dia akan tergopoh-gopoh keluar. Benar saja, dia keluar sambil memegangi lilin. Apa dirumahnya mati lampu? Aku sembunyi. Bingung mau bilang apa. Aku suka rambutnya yang dikuncir asal. Dia cantik kalau begini.
“Kiraku Guntur datang mengantar air.” Kina bicara sekenanya.
Aku diam. Barangkali aku bisa bantu dia seperti dia bantu aku. Aku ingin repot, seperti dia repot karena aku. Sekarang, aku lupa kalau aku perlu dia untuk pasangkan kancing.
“Aku bisa bawakan kau air, jika kau mau bantu aku.” Aku menggodanya. Entah, aku hanya tidak mau percakapanku dengannya cepat hilang.
“Urus saja urusanmu. Guntur akan muncul bila Ibu berteriak dirumahnya.” Wanita macam apa yang jawab seketus itu. Dasar, Kina!
Tidak kupedulikan tatapan nyalangnya. Aku ingin jadi pria, paling tidak untuknya. Jadi, kubawakan dia delapan jerigen air dengan meminjam gerobak milik Guntur. Aku datang kewalahan. Wanita itu hanya memandangku. Takjub? sepertinya tidak. Wajahnya kesal. Saat menuang jerigen kedelapan, tenagaku hampir habis. Tetapi berhasil saat ingat tangan Kina pernah kuning karena Soto Banjar ku, jadi kali ini aku rela tangan ku jadi merah karena dia. Aku berjalan kearahnya. Tadinya aku mau minta minum, tapi aku jadi ingat dengan kemejaku yang kancingnya terlepas.
“Tolong, jahitkan kancing kemejaku. Ia terlepas begitu saja saat kucuci.” Kali ini, aku ingin memukul kencang-kencang kepalaku. Rusak sudah usaha yang baru saja kubangun buat jadi pria untuk dia. Hehehe.
Pssst, ini aku, Suryo Priyatmadja.
1 note
·
View note
Text
Hikmah pagi tadi | kisah di balik kina
Kina. Suatu spesies tanaman yang menjadi satu-satunya produksi obat bahan alam yang masih ada saat ini. Kina. Dikenal dengan senyawa aktif kinidin dan.. Kina. Tumbuhan asal Amerika latin (Peru, Bolivia) di pegunungan andes. Dari kulit batang pohon kina mengandung senyawa yang berpotensi untuk pengobatan malaria. Namun, hasil penelitian mendapatkan bahwa kina yang tumbuh di sana hanya mengandung 2-5% alkaloid. Belanda 'nekat' bawa tanaman tersebut ke hindia belanda untuk dibudidayakan dan sebagai objek penelitian. Namun, hasil penelitian dari kulit kina di belanda sana tidak terdapat kandungan alkaloid di dalamnya. Kina. Sampailah ke pulau jawa; jawa barat. Ditanam di jawa, kemudian diteliti, ternyata kandungan alkaloidnya hingga 20-30%. Jauh lebih besar di banding 2-3%. Hal ini yang membuat Indonesia tahun 1930 menyokong kebutuhan kina dunia sebanyak 70%. Sekarang? belum nyari data terbaru, hehe. Ada apa dibalik kina? Kisah kina ini mengingatkan bahwa Allah menganugerahkan kekayaaan sumber daya alam yang sangat beragam, tanahnya kaya akan zat hara, pulaunya buanyak disaat dubai membuat pulau buatan (cmiiw). Karena itu sudah seharusnya kita ramah kepada lingkungan, mencintai bumi indonesia. Pohon, tumbuhan, hutan benar-benar menjadi paru-paru dunia. Terasa, bandung saat ini panas sekali, matahari menyengat. iya manusia itu dikasi panas, kepanasan; hujan, kedingan. itu alamiah sih. ketika musim panas sebenarnya pohon menjadi 'penyaring' sinar matahari yang masuk. Pohon bikin teduh. Belajar dari kina, kita harus sayang sama indonesia. Sayang sama lingkungan. Ini ditulis random banget, hasil pencerahan dari bapak dosen dikuliah pagi tadi, selipan cerita sejarah di kuliah 'kimia' banget. Ditunggu tulisan kina selengkapnya :)
0 notes
Text
Kebijakan Pendudukan Jepang di Indonesia
1) Bidang Militer
a) Membentuk Organisasi Militer dan Semi Militer
Organisasi militer dan semi militer dibentuk dengan tujuan untuk mempertahankan Indonesia dari pasukan sekutu dan memperkuat kedudukan Jepang dalam Perang Asia-Pasifik. Organisasi Miiter yang dibentuk antara lain PETA (Pembela Tanah Air) dan Heiho (Pasukan Pembantu). Sedangkan organisasi semi militer yang dibentuk adalah: Seinendan (Barisan Pemuda), Keibodan (Barisan Pembantu Polisi), Fujinkai (Barisan Wanita), dan Gakukotai (Barisan Pelajar).
b) Membentuk Syuisyintai (Barisan Pelopor)
Syuisyintai dibentuk pada tanggal 24 September 1944 dan diresmikan pada tanggal 25 September 1944. Tujuan dibentuknya adalah untuk meningkatkan kesiapsiagaan rakyat.
c) Membentuk Jawa Hokokai (Kebaktian Rakyat Jawa)
Jawa Hokokai dibentuk pada tanggal 1 Maret 1944. Sesuai dengan namanya, tujuan dibentuknya adalah untuk mengerahkan rakyat agar mau membantu atau berbakti kepada Jepang.
2) Bidang Pendidikan
a) Menerapkan Jenjang Pendidikan Formal
Pada masa Jepang, diskriminasi sekolah yang dilakukan oleh Belanda dihapuskan. Jadi, siapapun berhak untuk sekolah. Jepang membagi jenjang pendidikan formal menjadi 3, yaitu SD (Gokumin Gakko) selama 6 tahun, SMP (Shoto Chu Gakko)selama 3 tahun, dan SMA (Chu Gakko)selama 3 tahun. Sistem ini adalah salah satu hasil positif yang diberikan Jepang pada Indonesia hingga masih diterapkan pada masa ini. Selain pendidikan formal, ada juga Sekolah Pertukangan (Kogyo Gakko), Sekolah Teknik Menengah (Kogyo Sermon Gakko), dan Sekolah Guru. Ada juga sekolah tinggi, seperti Sekolah Tinggi Kedokteran (Ika Dai Gakko) di Jakarta, Sekolah Tinggi Teknik (Kagyo Dai Gakko) di Bandung,dll.
b) Melaksanakan Upacara Bendera
Setiap pagi, sebelum memasuki kelas, anak anak sekolah selalu diajarkan upacara bendera mengibarkan bendera Jepang dan penghormatan ke arah matahari terbit. Upacara ini juga sebagai salah satu bentuk latihan dasar kepemimpinan. Saat bendera dinaikkan, siswa diharuskan menyanyikan lagu kebangsaan Jepang, Kimigayo. Apabila bendera sedang dinaikkan, tidak seorangpun boleh berjalan , semuanya harus berhenti menghadap ke bendera dan memberi hormat.
c) Menghormati Guru
Jepang sangat menjaga wibawa guru-guru. Setiap siswa yang bertemu dengan guru harus hormat. Pemerintah Jepang bahkan memberikan ancaman kepada siswa yang tidak hormat kepada guru dan mempunyai kebijakan untuk membuat siswa tunduk.
d) Pelajaran Bahasa Jepang
Guru guru di sekolah diwajibkan menggunakan Bahasa Jepang dan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Di sekolah juga ada pelajaran Bahasa Jepang, termasuk huruf Jepang, seperti katakana, hiragana, dan kanji.
3) Bidang Sosial Budaya
a) Pembentukan RT (Rukun Tetangga)
Pembentukan RT (tanarigumi) bertujuan untuk menggalang dan memobilisasi tenaga yang sangat besar dari kalangan masyarakat untuk membuat benteng pertahanan, lapangan pesawat terbang darurat, jalan, jembatan,dll. Pembentukan RT juga bertujuan untuk mempermudah pengawasan dan pengerahan masyarakat dalam melakukan pembangunan.
b) Romusha (Tenaga Kerja Paksa)
Pada awalnya, romusha hanya tenaga kerja yang bersifat sukarela, tapi lama-kelamaan berubah menjadi sistem kerja paksa. Para tenaga kerja dipekerjakan sebagai petani, penambang, tenaga pembangunan dan pekerjaan pekerjaan kasar lain. Mereka bertugas membangun sarana dan prasarana untuk kepentingan rakyat Jepang, seperti jembatan, lapanganterbang, dan gua-gua tempat persembunyian. Para pekerja tersebut tidak diberi upah serta makan dan minum yang cukup. Akibatnya, banyak dari mereka yang menderita penyakit, bahkan meninggal.
c) Sistem Stratifikasi Sosial
Sistem stratifikasi sosial pada masa pendudukan Jepang dibagi menjadi 3:
i. Golongan Teratas—> Golongan Jepang
ii. Golongan Kedua—> Golongan Pribumi
iii. Golongan Ketiga—> Golongan Timur Asing, seperti Cina, dll
d) Penggunaan Bahasa
Pada masa pendudukan Jepang, bahasa Belanda dilarang untuk digunakan. Sebaliknya, bahasa Indonesia boleh digunakan untuk komunikasi. Pada zaman itu, bahasa Indonesia sudah digunakan untuk berbagai macam keperluan, seperti menjadi bahasa pengantar, bahasa komunikasi, bahasa resmi,dll. Bahkan, semua tulisan yang berbahasa Belanda diganti dengan Bahasa Indonesia.
4) Bidang Ekonomi
a) Membangun Pabrik-Pabrik Senjata
Pabrik-pabrik senjata dibangun untuk memenuhi kebutuhan perang.
b) Menerapkan Sistem Autarki
Sistem Autarki adalah sistem dimana tiap-tiap daerah diharapkan dapat memenuhi kebutuhannya sendiri
c) Perluasan Areal Persawahan
Perluasan areal persawahan dimaksudkan untuk meningkatkan produksi beras yang kian menurun pada masa itu.
d) Pengawasan Areal Pertanian dan Perkebunan
Pengawasan areal pertanian dan perkebunan dilakukan dengan ketat untuk mengendalikan harga barang, terutama harga beras. Tanaman perkebunan yang diizinkan oleh Jepang hanya karet dan kina. Alasannya, yaitu karena kedua jenis tanaman itu berhubungan langsung dengan kepentingan perang
0 notes
Text
Hiroshima Kedua, Julukan Kota Rahasia Era Jepang di Sukabumi
Sukabumi (SIB)- Meski tak lama di Indonesia, Jepang meninggalkan banyak jejak. Salah satunya 'kota rahasia' di Sukabumi, Jawa Barat. Konon, 'kota' di Kampung Pojok, Desa Tegal Panjang, Kecamatan Cireunghas itu dikenal dengan sebutan Hiroshima kedua. Hiroshima satu tentu berada di Jepang. Di tempat seluas 10 hektare itu, Jepang membangun banyak pabrik dan perkebunan. Warga setempat turut dipekerjakan. Ada yang menjadi penyedia ransum atau perbekalan makanan. Ada juga yang diikutkan menjadi Heiho atau tentara Indonesia yang mengikuti pelatihan oleh tentara Jepang. Kampung Pojok dianggap strategis bagi tentara Jepang untuk pangkalan militer karena kondisi geografis berupa daerah berbukit-bukit dan kaya akan sumber daya alam. Tak hanya itu, posisi Kampung Pojok dikelilingi perbukitan yang membentuk tapal kuda, sebelah utara Gunung Malang dan sebelah selatan Gunung Manglayang. "Kekaisaran mereka menyembah matahari. Di situ posisinya sangat ideal. Setiap pagi mereka menghadap matahari terbit dan memberikan penghormatan dengan cara membungkuk. Mereka membangun pabrik kaca, pabrik kain katun, pabrik beras (penggilingan), pabrik baja untuk membuat senjata dan mesiu dan juga bengkel. Tak ketinggalan mereka juga menanam lobak, jabung dan beragam buah-buahan," tutur Tedi Ginanjar, seorang Penyuluh Kehutanan Swadaya (PKSM) Jabar yang melakukan penelitian selama 4 tahun untuk mengungkap misteri pangkalan militer Jepang tersebut. Tedi mengorek setiap keterangan saksi hidup yang mengetahui sejarah pangkalan militer tersebut. Semua menjuluki tempat tersebut dengan sebutan Hiroshima kedua. "Mereka (Jepang) ingin mewujudkan ambisinya dengan melakukan pembangunan besar-besaran. Kepada warga yang bekerja di sini mereka menyebut tempat ini sebagai Hiroshima kedua," lanjut Tedi. Kota Hiroshima kedua juga disebut sebagai kota rahasia. Saat itu, Jepang merahasiakan keberadaan tempat yang dibangun dengan cara mempekerjakan romusha (pekerja paksa) yang diambil dari daerah Jawa Tengah. Namun serapat-rapatnya rahasia perlahan keberadaan kota pangkalan militer itu akhirnya bocor juga. "Keberadaan kota ini akhirnya bocor karena ada warga yang kerabatnya bekerja kepada Jepang dan menceritakan tempat ini. Silakan saja tanya ke sejumlah pejuang asal Sukabumi yang bermarkas di Sukabumi Timur mereka tahu keberadaan Hiroshima di Kampung Pojok," ujar Tedi. Keberadaan bangunan yang dulunya terbilang megah itu kini hanya tersisa bekas puing-puing bangunan, hanya beberapa saja yang berdiri tegak. Banyak warga yang mencongkel bebatuan alam yang sebelumnya dijadikan dinding dan lantai dari bangunan bersejarah itu kemudian menempelkan bahan-bahan itu ke dinding bangunan. Dulu, tempat itu hanya tegalan biasa, tidak berbentuk perkampungan seperti sekarang padat dengan rumah-rumah warga. Seluruh bangunan berbentuk benteng tinggi mengelilingi lahan tersebut. Bangunan besar rusak setelah terjadi konfrontasi antara prajurit Indonesia dengan pasukan Jepang. Kota rahasia luluh lantak karena dibom. Lambat laun, berpuluh-puluh tahun kemudian, warga mulai menempati lahan ini dan membangun rumah mengambil batu-batu dari puing. Lahan luas bekas bangunan dipakai menanam padi. "Sawah di sini masih ada yang fondasinya batuan alam bekas pijakan lantai batu bangunan," tuturnya lagi. Endang, veteran dengan pangkat terakhir Pembantu Letnan Dua (Pelda), mengaku mengetahui jelas tempat itu karena kakak kandungnya Encep Kosasih bergabung menjadi pasukan Heiho. Menurut dia, kakaknya menyebut kota rahasia di Kampung Pojok. Di sana ada pabrik obat kina, pabrik senjata, pangkalan terbang, dan kereta lori.(detikcom/d) http://dlvr.it/NTCKgJ
0 notes
Text
Hanjuang
Hanjuang Dalam Berbagai Sudut Pandang. Bagi kami, arti Hanjuang adalah pesan untuk tetap mempertahankan dan memperjuangkan.
Kegunaan Hanjuang
Hanjuang Cordyline orang sering menggunakan sebagai tanaman pelindung dan pembatas blok pada sawah, ladang, serta perkebunan teh atau kina di Indonesia. Hanjuang, terutama C. fruticosa, populer sebagai tanaman hias. Daun Hanjuang dipakai sebagai pembungkus makanan. Hasil penelitian menunjukkan, bungkus daun Hanjuang memiliki kemampuan antibakterial. Dalam masyarakat Sunda, Jawa, serta Bali, Hanjuang memiliki makna sebagai "pembatas ruang", baik arti secara langsung maupun filosofis.
Hanjuang Nama Tanaman
Nama Hanjuang orang kebanyakan mengenal sebagai satu jenis tanaman. Tanaman Hanjuang diidentikan dengan Andong, Ti atau Hanjuang (Cordyline fruticosa) yaitu tanaman hias dari keluarga Asparagaceae, yang berasal dari austronesia, Asia Tenggara dan Oseania. Tanaman Hanjuang ini secara lokal di Indonesia orang mengenal sebagai tanaman andong, pohon ti, atau Hanjuang.
Tanaman hias Hanjuang atau Andong (Cordyline fruticosa). Nama lain atau nama daerah setempat masing-masing di Indonesia untuk tanaman Hanjuang ini di antaranya adalah Bak Juang (Aceh), Linjuang (Medan), Tumjuang (Palembang), Hanjuang (Jawa Barat, Sunda), Andong (Jawa Tengah), Kayu Urip (Madura), Andong (Jakarta), Endong (Bali), Renjuang (Dayak), Endong (Nusa Tenggara), Tabango (Gorontalo), Palili (Makasar), Panjureng (Bugis), dan Weluga (Ambon). Taksonomi tanaman Hanjuang dalam cabang pengetahuan Biologi : DivisiTracheophytaUpadivisiSpermatophytinaKladAngiospermaeKladmonocotsOrdoAsparagalesFamiliAsparagaceaeUpafamiliLomandroideaeGenusCordylineSpesiesCordyline fruticosa
Pohon Hanjuang Cordyline fruticosa di Pilangsari, Kedawung, Cirebon.
Pohon Hanjuang sebagai dekorasi acara perkawinan di Wotgali, Plered, Cirebon. Cordyline atau Hanjuang, sekelompok tumbuhan monokotil berbatang orang sering menjumpai di taman sebagai tanaman hias. Hanjuang atau marga Cordyline memiliki sekitar 15 jenis. Sistem APG II memasukkan Hanjuang ke dalam suku Laxmanniaceae. Namun, beberapa pustaka lain memasukkannya ke dalam Liliaceae (suku bakung-bakungan) serta Agavaceae. Nama Hanjuang juga dipakai untuk sekelompok tumbuhan dari marga Dracaena. Daun Hanjuang khas, berbentuk lanset, berukuran agak besar dan berwarna hijau kemerah-merahan (Cordyline) atau berwarna hijau muda (Dracaena).
Jenis Hanjuang
Kebanyakan jenis Hanjuang atau Cordyline merupakan tanaman hias karena warna daunnya yang berubah menjadi merah jika mendapat sinar matahari langsung. Beberapa jenisnya : - Cordyline australis - Cordyline banksii - Cordyline fruticosa syn. C. terminalis (Hanjuang biasa) - Cordyline haageana - Cordyline indivisa - Cordyline obtecta syn. C. kaspar, C. baueri dari Selandia Baru - Cordyline pumilio - Cordyline stricta
Hanjuang Dalam Uga Wangsit Siliwangi
Saur Prabhu Siliwangi ka balad Pajajaran anu milu mundur dina sateuacanna ngahiang: “Lalakon urang ngan nepi ka poé ieu, najan dia kabéhan ka ngaing pada satia! Tapi ngaing henteu meunang mawa dia pipilueun, ngilu hirup jadi balangsak, ngilu rudin bari lapar. Dia mudu marilih, pikeun hirup ka hareupna, supaya engké jagana, jembar senang sugih mukti, bisa ngadegkeun deui Pajajaran! Lain Pajajaran nu kiwari, tapi Pajajaran anu anyar, nu ngadegna digeuingkeun ku obah jaman! Pilih! Ngaing moal ngahalang-halang. Sabab pikeun ngaing, hanteu pantes jadi Raja, anu somah sakabéhna, lapar baé jeung balangsak.” Daréngékeun! Nu dék tetep ngilu jeung ngaing, geura misah ka beulah kidul! Anu hayang balik deui ka dayeuh nu ditinggalkeun, geura misah ka beulah kalér! Anu dék kumawula ka nu keur jaya, geura misah ka beulah wétan! Anu moal milu ka saha-saha, geura misah ka beulah kulon! Daréngékeun! Dia nu di beulah wétan, masing nyaraho: Kajayaan milu jeung dia! Nya turunan dia nu engkéna bakal maréntah ka dulur jeung ka batur. Tapi masing nyaraho, arinyana bakal kamalinaan. Engkéna bakal aya babalesna. Jig geura narindak! Dia nu di beulah kulon! Papay ku dia lacak Ki Santang! Sabab engkéna, turunan dia jadi panggeuing ka dulur jeung ka batur. Ka batur urut salembur, ka dulur anu nyorang sauyunan ka sakabéh nu rancagé di haténa. Engké jaga, mun tengah peuting, ti Gunung Halimun kadéngé sora tutunggulan, tah éta tandana; saturunan dia disambat ku nu dék kawin di Lebak Cawéné. Ulah sina talangké, sabab talaga bakal bedah! Jig geura narindak! Tapi ulah ngalieuk ka tukang! Dia nu marisah ka beulah kalér, daréngékeun! Dayeuh ku dia moal kasampak. Nu ka sampak ngan ukur tegal baladaheun. Turunan dia, lolobana bakal jadi somah. Mun aya nu jadi pangkat, tapi moal boga kakawasaan. Arinyana engké jaga, bakal kaseundeuhan batur. Loba batur ti nu anggang, tapi batur anu nyusahkeun. Sing waspada! Sakabéh turunan dia ku ngaing bakal dilanglang. Tapi, ngan di waktu anu perlu. Ngaing bakal datang deui, nulungan nu barutuh, mantuan anu sarusah, tapi ngan nu hadé laku-lampahna. Mun ngaing datang moal kadeuleu; mun ngaing nyarita moal kadéngé. Mémang ngaing bakal datang. Tapi ngan ka nu rancagé haténa, ka nu weruh di semu anu saéstu, anu ngarti kana wangi anu sajati jeung nu surti lantip pikirna, nu hadé laku lampahna. Mun ngaing datang; teu ngarupa teu nyawara, tapi méré céré ku wawangi. Ti mimiti poé ieu, Pajajaran leungit ti alam hirup. Leungit dayeuhna, leungit nagarana. Pajajaran moal ninggalkeun tapak, jaba ti ngaran pikeun nu mapay. Sabab bukti anu kari, bakal réa nu malungkir! Tapi engké jaga bakal aya nu nyoba-nyoba, supaya anu laleungit kapanggih deui. Nya bisa, ngan mapayna kudu maké amparan. Tapi anu marapayna loba nu arieu-aing pang pinterna. Mudu arédan heula. Engké bakal réa nu kapanggih, sabagian-sabagian. Sabab kaburu dilarang ku nu disebut Raja Panyelang! Aya nu wani ngoréhan terus-terus, teu ngahiding ka panglarang; ngoréhan bari ngalawan, ngalawan sabari seuri. Nya éta budak angon; imahna di birit leuwi, pantona batu satangtung, kahieuman ku handeuleum, karimbunan ku Hanjuang. Ari ngangonna? Lain kebo lain embé, lain méong lain banténg, tapi kalakay jeung tutunggul. Inyana jongjon ngorehan, ngumpulkeun anu kapanggih. Sabagian disumputkeun, sabab acan wayah ngalalakonkeun. Engke mun geus wayah jeung mangsana, baris loba nu kabuka jeung raréang ménta dilalakonkeun. Tapi, mudu ngalaman loba lalakon, anggeus nyorang : undur jaman datang jaman, saban jaman mawa lalakon. Lilana saban jaman, sarua jeung waktuna nyukma, ngusumah jeung nitis, laju nitis dipinda sukma. Daréngékeun! Nu kiwari ngamusuhan urang, jaradi rajana ngan bakal nepi mangsa: tanah bugel sisi Cibantaeun dijieun kandang kebo dongkol. Tah di dinya, sanagara bakal jadi sampalan, sampalan kebo barulé, nu diangon ku jalma jangkung nu tutunjuk di alun-alun. Ti harita, raja-raja dibelenggu. Kebo bulé nyekel bubuntut, turunan urang narik waluku, ngan narikna henteu karasa, sabab murah jaman seubeuh hakan. Ti dinya, waluku ditumpakan kunyuk; laju turunan urang aya nu lilir, tapi lilirna cara nu kara hudang tina ngimpi. Ti nu laleungit, tambah loba nu manggihna. Tapi loba nu pahili, aya kabawa nu lain mudu diala! Turunan urang loba nu hanteu engeuh, yén jaman ganti lalakon! Ti dinya gehger sanagara. Panto nutup dibuburak ku nu ngaranteur pamuka jalan; tapi jalan nu pasingsal! Nu tutunjuk nyumput jauh; alun-alun jadi suwung, kebo bulé kalalabur; laju sampalan nu diranjah monyét! Turunan urang ngareunah seuri, tapi seuri teu anggeus, sabab kaburu: warung béak ku monyét, sawah béak ku monyét, leuit béak ku monyét, kebon béak ku monyét, sawah béak ku monyét, cawéné rareuneuh ku monyét. Sagala-gala diranjah ku monyét. Turunan urang sieun ku nu niru-niru monyét. Panarat dicekel ku monyet bari diuk dina bubuntut. Walukuna ditarik ku turunan urang keneh. Loba nu paraeh kalaparan. ti dinya, turunan urang ngarep-ngarep pelak jagong, sabari nyanyahoanan maresék caturangga. Hanteu arengeuh, yén jaman geus ganti deui lalakon. Laju hawar-hawar, ti tungtung sagara kalér ngaguruh ngagulugur, galudra megarkeun endog. Génjlong saamparan jagat! Ari di urang? Ramé ku nu mangpring. Pangpring sabuluh-buluh gading. Monyét ngumpul ting rumpuyuk. Laju ngamuk turunan urang; ngamukna teu jeung aturan. loba nu paraéh teu boga dosa. Puguh musuh, dijieun batur; puguh batur disebut musuh. Ngadak-ngadak loba nu pangkat nu maréntah cara nu édan, nu bingung tambah baringung; barudak satepak jaradi bapa. nu ngaramuk tambah rosa; ngamukna teu ngilik bulu. Nu barodas dibuburak, nu harideung disieuh-sieuh. Mani sahéng buana urang, sabab nu ngaramuk, henteu beda tina tawon, dipaléngpéng keuna sayangna. Sanusa dijieun jagal. Tapi, kaburu aya nu nyapih; nu nyapihna urang sabrang. Laju ngadeg deui raja, asalna jalma biasa. Tapi mémang titisan raja. Titisan raja baheula jeung biangna hiji putri pulo Dewata. da puguh titisan raja; raja anyar hésé apes ku rogahala! Ti harita, ganti deui jaman. Ganti jaman ganti lakon! Iraha? Hanteu lila, anggeus témbong bulan ti beurang, disusul kaliwatan ku béntang caang ngagenclang. Di urut nagara urang, ngadeg deui karajaan. Karajaan di jeroeun karajaan jeung rajana lain teureuh Pajajaran. Laju aya deui raja, tapi raja, raja buta nu ngadegkeun lawang teu beunang dibuka, nangtungkeun panto teu beunang ditutup; nyieun pancuran di tengah jalan, miara heulang dina caringin, da raja buta! Lain buta duruwiksa, tapi buta henteu neuleu, buaya eujeung ajag, ucing garong eujeung monyét ngarowotan somah nu susah. Sakalina aya nu wani ngageuing; nu diporog mah lain satona, tapi jelema anu ngélingan. Mingkin hareup mingkin hareup, loba buta nu baruta, naritah deui nyembah berhala. Laju bubuntut salah nu ngatur, panarat pabeulit dina cacadan; da nu ngawalukuna lain jalma tukang tani. Nya karuhan: taraté hépé sawaréh, kembang kapas hapa buahna; buah paré loba nu teu asup kana aseupan…Da bonganan, nu ngebonna tukang barohong; nu tanina ngan wungkul jangji; nu palinter loba teuing, ngan pinterna kabalinger. Ti dinya datang budak janggotan. Datangna sajamang hideung bari nyorén kanéron butut, ngageuingkeun nu keur sasar, ngélingan nu keur paroho. Tapi henteu diwararo! Da pinterna kabalinger, hayang meunang sorangan. Arinyana teu areungeuh, langit anggeus semu beureum, haseup ngebul tina pirunan. Boro-boro dék ngawaro, malah budak nu janggotan, ku arinyana ditéwak diasupkeun ka pangbérokan. Laju arinyana ngawut-ngawut dapur batur, majarkeun néangan musuh; padahal arinyana nyiar-nyiar pimusuheun. Sing waspada! Sabab engké arinyana, bakal nyaram Pajajaran didongéngkeun. Sabab sarieuneun kanyahoan, saenyana arinyana anu jadi gara-gara sagala jadi dangdarat. Buta-buta nu baruta; mingkin hareup mingkin bedegong, ngaleuwihan kebo bulé. Arinyana teu nyaraho, jaman manusa dikawasaan ku sato! Jayana buta-buta, hanteu pati lila; tapi, bongan kacarida teuing nyangsara ka somah anu pada ngarep-ngarep caringin reuntas di alun-alun. Buta bakal jaradi wadal, wadal pamolahna sorangan. Iraha mangsana? Engké, mun geus témbong budak angon! Ti dinya loba nu ribut, ti dapur laju salembur, ti lembur jadi sanagara! Nu barodo jaradi gélo marantuan nu garelut, dikokolotan ku budak buncireung! Matakna garelut? Marebutkeun warisan. Nu hawek hayang loba; nu boga hak marénta bagianana. Ngan nu aréling caricing. Arinyana mah ngalalajoan. Tapi kabarérang. Nu garelut laju rareureuh; laju kakara arengeuh; kabéh gé taya nu meunang bagian. Sabab warisan sakabéh béak, béakna ku nu nyarekel gadéan. Buta-buta laju nyarusup, nu garelut jadi kareueung, sarieuneun ditempuhkeun leungitna nagara. Laju naréangan budak angon, nu saungna di birit leuwi nu pantona batu satangtung, nu dihateup ku handeuleum ditihangan ku Hanjuang. Naréanganana budak tumbal. sejana dék marénta tumbal. Tapi, budak angon enggeus euweuh, geus narindak babarengan jeung budak anu janggotan; geus mariang pindah ngababakan, parindah ka Lebak Cawéné! Nu kasampak ngan kari gagak, keur ngelak dina tutunggul. Daréngékeun! Jaman bakal ganti deui. tapi engké, lamun Gunung Gedé anggeus bitu, disusul ku tujuh gunung. Génjlong deui sajajagat. Urang Sunda disarambat; urang Sunda ngahampura. Hadé deui sakabéhanana. Sanagara sahiji deui. Nusa Jaya, jaya deui; sabab ngadeg ratu adil; ratu adil nu sajati. Tapi ratu saha? Ti mana asalna éta ratu? Engké ogé dia nyaraho. Ayeuna mah, siar ku dia éta budak angon! Jig geura narindak! Tapi, ulah ngalieuk ka tukang! Hanjuang – Website Design Enterprise Read the full article
0 notes