Sebuah Resensi Buku; Sang Pangeran dan Janissary Terakhir
Penulis : Salim A Fillah
Jumlah Halaman : 632
Penerbit : Pro U Media
“Maktuuubb…”
Mungkin kata ini yang sangat teringat dibenak saya tentang novel ini. Hahaha, pokoknya kalau yang sudah baca novel ini, pasti juga yang paling diinget kata ini, dan yang belum baca, berarti ini sedikit spoiler dari sekian banyak kisah yang ada.
Jujur ketika Ust Salim A Fillah, sedikit membocorkan bahwa beliau akan menulis novel bertema sejarah, dan ditulis dalam beberapa caption foto di akun instagram (@salimafillah) saya tidak sabar untuk segera beli dan baca. Karena, nampaknya beliau harus ‘tanggung jawab’ heheh, berkat tulisan-tulisan bahkan buku yang beliau tulis, saya jadi ketagihan membaca dan menulis, sampai-sampai saya berani berfikiran, ‘ah, sepertinya beliau ini mentor online saya’ heheheh.. (maaf kalau terkesan kurang sopan 😊 )
Bagaimana tidak, hampir seluruh buku beliau sudah saya baca (kecuali buku pernikahan, karena saya berazzam enggak akan baca buku itu, sebelum benar-benar siap nikah), website resmi beliau juga seringkali saya kunjungi, twitter dan instagram juga sudah saya follow, bahkan pernah dengan kurang sopan (lagi) meminta foto di Masjid Jogokariyan hanya dengan mention twitter heheh (kalau diinget jadi malu), tapi alhamdulillah, bisa mengenal beliau dari SMP, ya minimal sedikit-sedikit lagi berusaha jadi baik
Novel Sang Pangeran dan Janissary Terakhir adalah novel fiksi-sejarah, maka saya rekomendasikan untuk siapapun, agama apapun, berpangkat apapun, untuk membacanya. Karena ini bukan novel tentang yang khusus ditujukkan untuk kalangan intelektual saja, bukan juga untuk orang muslim saja, juga bukan untuk kaum elite saja, tapi novel ini ditulis untuk semua orang agar bisa menikmati sejarah yang pernah ada dalam bentuk cerita. Jadi, buat kamu yang merasa ‘Open Minded’ dan belum baca novel ini dengan berbagai alesan, fix kamu belum ‘Open Minded’ wkwkw..
Novel ini konon ditulis dengan dasar riset selama 2 tahun, masyaAllah, membayangkan saja tidak bisa apalagi melakukan. Bukan bermaksud pesimis, tapi kalau dilihat dari kesibukkan beliau yang tidak hanya seorang penulis, rasa-rasanya hampir tidak mungkin ditiru oleh banyak orang. Tapi, dibalik susah payah penulis dalam mengupayakan hadirnya novel ini, ternyata (katanya) ada yang dengan ‘kurang ajar’ menghabiskannya dalam waktu hanya satu hari, walah walah, saya aja target dua hari malah jadi empat hari lebih.
Setiap penulis memiliki ciri khasnya, begitu pula Ust Salim A Fillah. Awal-awal membacanya saya berfikir, ‘wah ini, bukan kaya Ust Salim yang tak kira selama ini je’. Pasalnya agak rumit membaca cerita-cerita di awal, pertama kita harus membacanya dengan sangat teliti dan tekun, kedua harus benar-benar fokus mengikuti alur dengan baik, dan ketiga harus hafal nama-nama tokohnya yang sangat buaaanyyaaakk.
Bagian tengah pun tak kalah rumit, khususnya bagi orang luar jawa, atau orang jawa tapi yang tidak terlalu mengenal jawa. Bagaimana tidak, banyak sekali istilah-istilah jawa yang dipakai dan itu bukan bahasa sehari-hari yang kita kenal, belum lagi masalah latar belakang yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya, mungkin yang saya agak ingat itu Yogyakarta, Purworejo, dan sepertinya Banyumas (daerah ngapak seperti kota saya juga ikut disebut heheheh)
Akhir yang buruk tidak banyak disukai, akhir yang baik sangat digandrungi, bagaimana dengan akhir yang menggantung? Ya, mungkin itu sedikit gambaran bagian akhir novel ini, agak sedikit menggantung. Walaupun semakin seru ketika membaca bagian-bagian akhir novel ini, dimana banyak sekali fakta terungkap tentang pengkhianatan yang terjadi, ide licik yang terlaksana dan juga beberapa tokoh yang wafat, akhir novel ini dirasa saya membuat banyak orang belum puas untuk membacanya. Tapi, justru menjadi hal yang bagus, karena denger-denger, novel ini hanya bagian satu dari trilogi cerita Pangeran Diponegoro tulisan Ust Salim A Fillah
Daaann, ketika sudah benar-benar rampung membaca buku ini, pandangan saya berubah, yang tidak percaya bahwa ini tulisan Ust Salim Fillah, menjadi percaya seutuhnya bahwa beliau memang telah berhasil menulis novel, ya gaya khas beliau sebagaimana pernah ditulis oleh penerbit Pro U Media, “alurnya cepat, meliuk-liuk dengan gesit”
Agak berbeda dengan Habiburroham El Shirazy yang menggambarkan tempat (khususnya luar negeri) dan kejadian dengan amat sangat detail di novel-novel yang telah ditulisnya, Ust Salim A Fillah masih agak kurang dalam memvisualisasikan apa yang beliau ceritakan. Ya, mungkin karena tadi, ciri khas beliau dalam menulis alur itu cepat sekaliii..
Sepertinya, ini resensi buku terpanjang yang pernah saya pernah tulis, bahkan kalau kata teman saya, ‘1000 kata itu kurang yo, buat nulis resensi Novel Sang Pangeran dan Janissary Terakhir’, dan saya rasa memang begitu. Novel ini, selain sebagaimana umumnya berisi kisah cinta dan humor yang sedikit menghibur, juga berisi hikmah-hikmah dari jawa yang mungkin banyak orang belum tau (termasuk saya). Mulai dari pilar-pilar Masjid Agung Jogja yang berjumlah sembilanpuluh sembilan, makna adanya tumbuhan sawo, ukiran buah nanas, dua pohon beringin yang ada di alun-alun, arti dari nama jalan yang ada di Yogyakarta, hingga beberapa hal yang sebenarnya dekat dengan kita, namun masih asing pengetahuan makna di baliknya.
Sebagai contoh Nasi Uduk dan Keris.
Makna Nasi Uduk dijelaskan dengan apik dalam sebuah percakapan, dimana awalnya nasi tersebut disamakan oleh nasi khas timur tengah, semacam nasi mandhi, namun yang membedakan ada pada proses pembuatan, dimana Nasi Uduk dikaru dengan santan bukan dengan minyak samin. Maka, karena santan itu, diberi nama nasi wuduk, yang berarti gurih dan pandanan katanya mirip dengan wudhu, jadilah falsafah Nasi Uduk ini sebagai perlambangan, jika seseorang bisa menjaga wudhu (kesuciannya) dalam hidup, maka akan terasa gurih.
Belum lagi lauknya, Ayam Ingkung, dimasak dalam keadaan utuh, diikat dengan welat, diposisikan menyerupai orang sujud. Maka, setelah wudhu, setelah bersuci, selayaknya manusia itu hidup untuk beribadah kepada Allah, dalam rangka mengingatNya. Bahkan, masalah sambalnya saja, MasyaAllah, namanya Sambal Gepleng. Sambal yang terbuat dari cabai, garam, bawang putih, kedelai goreng, dan ikan asin kecil, kemudian di gepleng, dipukul sampai pipih dan lumat, ini memiliki makna yang lain, gepleng juga berarti ‘sregep geleng-geleng’. Maka, jika kita makan nasi uduk lengkap dengan tau maknanya, kita akan sadar, bahwa hidup harus menjaga kesuciaan, beribadah kepada Allah, sujud 5 kali satu hari, dan terus berdzikir sepanjang waktu.
“Maktuuubb…” Lho saya jadi ikut-ikutan heheheh..
Terakhir tentang keris, benda yang sering dikeramatkan oleh sebagian masyarakat jawa karena dipercaya yang memilikinya akan punya kekuatan khusus. Padahal, keris ini merupakan senjata yang dibuat untuk sebisa mungkin tidak digunakan, maka disebut dengan sipat kendel. Sipat artinya garis, Kendel artinya tebel. Maka, maknanya adalah garis tebal yang membentengi pemiliknya agar tidak mudah untuk memperturutkan hawa nafsunya.
MasyaAllah…
Jadi, di akhir resensi ini, saya sedikit berani menyimpulkan, bahwa novel ini adalah tentang cinta, dakwah, budaya, dan sejarah. Novel ini menjadi pelepas dahaga bagi banyak orang tentang makna cinta, tentang keindahan dakwah, tentang kearifan budaya, dan pentingnya paham sejarah.
62 notes
·
View notes