#Kelompok Kampungan
Explore tagged Tumblr posts
Text
Mereka Mencari Tuhan (Lyrics Bram Mahahekum)
0 notes
Text
Kelompok Kampungan - Mencari Tuhan (1980).
(personal scan at 600 dpi → downscale & export as jpg in photoshop.)
0 notes
Text
Hal yang terjadi di lingkungan kosan hari hari ini.
Soal menjadi keren = ngomong kasar
Kenapa sekelompok orang yang biasa biasa saja di lingkungan lainnya, tiba tiba membentuk kelompok di kosan. Mereka menambahkan semua kalimat dengan kata kasar dan kotor. Setiap kalimat minimal satu kata kasar. Setiap mengobrol dengan temannya harus dibesarkan volumenya dan dilebai lebaikan. Seakan-akan orang lain harus tau betapa kerennya mereka mengobrol menggunakan kata kasar dan kotor
Anj***, kan gw mau ini ya **mpret, kenapa dia mesti gitu ****sat! Wah bangk* gw gak suka tuh si anj*** kayak gitu anj***, f***! ****sat lah!
Yah begitulah. Padahal kalau mau diperhatikan pun, cara mereka menyebutkan kata kasar sangat tidak mirip dengan tongkrongan anak Jaxel.
Mereka masih memakai dialek yang sangat terlihat "not Jakartans pepps who trying to be Jakartans, so hard".
Sejujurnya ketika di kampus, kadang teman teman di kantin yang memang dari sananya sering berkata kasar, akan terdegar selow dan biasa saja. Tidak menggangu, terdegar biasa. Tapi mereka yang di kosan ini, apa yah, benar benar trying so hard untuk bisa ngomong kasar.
Seakan-akan gak keren kalo gak ngomong kasar. Seakan-akan gak keren kalo gak dibesarkan suaranya. Kita semacam mesti tahu apa yang mereka obrolkan. Betapa kerennya pertemanan mereka dengan bahasa kasar dan tawa yang amat besar.
Padahal dengan seperti itu, mereka hanya menegaskan diri, betapa tidak miripnya mereka dengan anak tongkrongan yang biasa berkata kasar tapi tanpa kesan mengganggu telinga.
Mereka menegaskan diri, betapa keras usaha mereka "being cool, being rude"
Padahal hasilnya? Hmm, agak kampungan.
Deuh. Life style?
5 notes
·
View notes
Text
Wisata Fun Offroad di Kota Batu bersama Ciputra Group | Batu Offroad | 085234691117
Hai guys salam semangat!! Awali pagi yang indah ini dengan semangat yang menggebu. Sama dengan team Batu Offroad yang pagi ini selalu semangat dalam mengawali hari ebrsama anda. Guys kenapa sih kita lagi semangat banget ?? Karena kita mau berbagi cerita nih tentang trip fun offroad di Kota Batu bersama Ciputra Group. Nah penasaran kan gimana keseruannyacheck this out.
Pagi ini sekitar jam 8 pagi kami berkumpul di lokasi Pusat Oleh-oleh Deduwa Kota Batu. Disini oleh-olehnya super lengkap , fasilitasnya lengkap, dan area parkirnya luas banget. Nah disini peserta dibagi menjadi beberapa grup dan masuk kedalam kendaraan jeep masing-masing. Sesuai pembagian kelompok selanjutnya kami meluncur menuju ground capung alas yang berlokasi di Desa Pujon Kidul, Dusun Kampungan, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang.
Disana kami diajak untuk bermain ice breaking games. Berbagai games yang disuguhkan membuat canda dan tawa kami lepas dan senang tentunya. Setelah itu perjalanan fun offroad kami lanjutkan menuju coban tengah. Disini kami diajajk team Batu Offroad untuktracking menuju kawasan air terjun. Setelah puas berfoto di kawasan air terjun kami pun melanjutkan perjalanan menuju rest area lambau.
Lambau adalah sebuah nama pohon yang termasuk kedalam keluarga pohon eucalyptus sp. Tanaman ini cukup unik karena dari bentuk dahannya yang melengkung kebawah dan saling bertautan. Walaupun terkesan seperti pohon yang tua akan tetapi pohon ini kuat danmasih mampu menahan beban yang cukup berat. Seperti memasang hammock di dahan-dahannya. Disini kami menikmati coffe break dan snack yang sudah disiapkan oleh team batu offroad. Sambil ditemani pemandangan gunung panderman yang memukau.
Wahh!! Ssebuah pengalaman yang tak terlupakan pokoknya. Bagaimana guys ?? penasaran juga sama trip fun offroad di Batu Offroad?? Ayo buruan segera reservasi dan nikmati perjalanannya bersama kami Btau Offroad The Discovery Partner.
1 note
·
View note
Text
Wisata Fun Offroad di Kota Batu bersama Ciputra Group
Hai guys salam semangat!! Awali pagi yang indah ini dengan semangat yang menggebu. Sama dengan team Batu Offroad yang pagi ini selalu semangat dalam mengawali hari ebrsama anda. Guys kenapa sih kita lagi semangat banget ?? Karena kita mau berbagi cerita nih tentang trip fun offroad di Kota Batu bersama Ciputra Group. Nah penasaran kan gimana keseruannya check this out.
Pagi ini sekitar jam 8 pagi kami berkumpul di lokasi Pusat Oleh-oleh Deduwa Kota Batu. Disini oleh-olehnya super lengkap , fasilitasnya lengkap, dan area parkirnya luas banget. Nah disini peserta dibagi menjadi beberapa grup dan masuk kedalam kendaraan jeep masing-masing. Sesuai pembagian kelompok selanjutnya kami meluncur menuju ground capung alas yang berlokasi di Desa Pujon Kidul, Dusun Kampungan, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang.
Disana kami diajak untuk bermain ice breaking games. Berbagai games yang disuguhkan membuat canda dan tawa kami lepas dan senang tentunya. Setelah itu perjalanan fun offroad kami lanjutkan menuju coban tengah. Disini kami diajajk team Batu Offroad untuktracking menuju kawasan air terjun. Setelah puas berfoto di kawasan air terjun kami pun melanjutkan perjalanan menuju rest area lambau.
Lambau adalah sebuah nama pohon yang termasuk kedalam keluarga pohon eucalyptus sp. Tanaman ini cukup unik karena dari bentuk dahannya yang melengkung kebawah dan saling bertautan. Walaupun terkesan seperti pohon yang tua akan tetapi pohon ini kuat danmasih mampu menahan beban yang cukup berat. Seperti memasang hammock di dahan-dahannya. Disini kami menikmati coffe break dan snack yang sudah disiapkan oleh team batu offroad. Sambil ditemani pemandangan gunung panderman yang memukau.
Wahh!! Ssebuah pengalaman yang tak terlupakan pokoknya. Bagaimana guys ?? penasaran juga sama trip fun offroad di Batu Offroad?? Ayo buruan segera reservasi dan nikmati perjalanannya bersama kami Btau Offroad The Discovery Partner.
1 note
·
View note
Text
Ini cerita picisan, recehan orang bilang begitu. Jadi, jangan berharap ada kata atau kalimat inspiratif. Apalagi yang memotivasi. Hanya cerita orang kampung yang biasa kampungan. Bisa dibaca dengan jelas saja sudah bagus. Mungkin sedikit romantis, tapi tidak melankolis. Ada sinis, klimis tanpa kismis yang manis. Tak berarah jelas, meski bertujuan pasti.
Perjalanan hidup manusia acapkali membawa cerita yang patut direnungkan. Meski tidak seindah karya sastra, novel percintaan yang berakhir bahagia. Karena bahagia atau sedih, bukan tolak ukurnya. Tetapi kecewa yang cukup mendalam mungkin saja jadi prolog atau apapun istilahnya. Dan kisah ini ibarat perjalanan mendaki puncak gunung Merapi. Satu gunung api teraktif yang medan dan suasananya telah diketahui dari jalur pendakian manapun. Tidak mudah diprediksi, sesekali mengundang sensasi agar hidup ini lebih berarti.
Sumber gagasan datang menghampiri benak dalam suasana yang sebenarnya kurang segar. Untuk kesekian kalinya, anak-anak Kelas 3 yang pernah belajar bridge meminta berlatih kembali. Bahkan dengan nada merengek, mungkin karena keinginan yang luar biasa dan tak tertahankan lagi. Setiap kali bertemu, permintaan itu diulang. Tidak hanya dari satu atau beberapa anak. Hampir semua menyatakan hal serupa. Dengan nada khas anak jaman now dan gaya masing-masing tentunya. Ada sesuatu yang membekas. Enak…asyik kata mereka.
Kata sohibul hikayat yang pandai bersilat,
lidah itu tak bertulang.
Tak terbatas kata yang keluar.
Tinggi gunung seribu janji, lain di bibir lain di hati.
Di puncak Merapi ada bunga abadi
***
Firliana Nurulngaeni, putri sulung Bapak Nino Sutrisno. Kesehariannya sebagai pembuat kue basah jenis bakpao dan pukis yang dititip-jualkan di lapak kuliner Keposan dan pedagang kue-kue basah di Pasar Tumenggungan. Gadis mungil itu adalah pemantik daya hidup saya yang tengah meredup. Karena ulah orang-orang dewasa yang tak peka tanggung-jawab.
Dari depan rumahnya, di lingkungan padat penduduk Klenthengan. Dengan gaya khasnya, ia nyatakan hasrat dan semangatnya untuk berlatih kembali olahraga otak bridge yang pernah dipelajari bersama teman-teman sebaya. Jumlahnya delapan belas anak dari beberapa SD setahun lalu. Kata “kangen” yang senantiasa diucapkan setiap kali bertemu, sebenarnya cukup mewakili suara hatinya. Perempuan mungil yang berdaya hidup luar biasa.
Permintaan serupa dengan Firli, panggilan akrab Firliana datang dari hampir semua teman sekelas yang pernah berlatih bridge di rumah saya. Evan Pramudya, Aileen dan Amabel adalah sebagian diantaranya yang istiqamah. Konsisten menjaga api kehidupan dari redupnya suasana iklim pembinaan keolahragaan tidak kondusif bagi pengembangan cabang ini.
Sejak dihapus dari mata lomba POPDA di tahun 2014, semua pelatih bersertifikat Program Bridge Masuk Sekolah (BMS) yang diselenggarakan oleh PB GABSI lewat pengurus provinsi dan dinas pendidikan mundur teratur dari dunia kepelatihan dan pembinaan atlet potensial berprestasi pada kelompok umur usia dini. Mereka adalah para guru olahraga dari berbagai SD di Kabupaten Kebumen. Meski begitu, masih ada satu hasil positif dari Program pemasalan olahraga bridge yang dinilai terbaik oleh Federasi Bridge Dunia (WBF) itu. Jejak Juara I Popda Jawa Tengah. Atas nama pasangan Muftiani SB dan Lukman Hakim yang mewakili UPT Disdikpora Kecamatan Klirong pada tahun 2013. Lalu apa hubungannya dengan ide cerita ?
Firli dan kawan-kawan dapat diibaratkan energi kinetik. Mereka punya daya gerak luar biasa. Di saat saya mengalami masa jenuh dan hampir patah arang, pelan tapi pasti, anak-anak SD ini menggelitik nurani berkali-kali. Sampai kejenuhan yang kian mendekat titik beku, cair sedikit demi sedikit. Semangat belajar mereka itulah yang menepis semua rasa mengasihani diri akibat iklim dan kultur orang dewasa yang tak menyehatkan jasmani-rohani. Semoga mereka, Firli dan kawan-kawan serta Muftiani cs tetap istiqomah, rendah hati dan menjadi diri mereka sendiri. Masa depan menanti di masa bonus demografi. Ketika masyarakat Indonesia memperingati seabad Sumpah Pemuda dan menyongsong hari-hari jelang seabad Bangsa Indonesia menyatakan: Merdeka !
Energi Mereka, Daya Hidupku Ini cerita picisan, recehan orang bilang begitu. Jadi, jangan berharap ada kata atau kalimat inspiratif. Apalagi yang memotivasi.
0 notes
Text
Luhut, Penolak Reklamasi Pakailah Studi, Jangan Kampungan
Luhut, Penolak Reklamasi Pakailah Studi, Jangan Kampungan
Polemik soal perlu-tidaknya reklamasi dilanjutkan, semakin keras saja. Sampai-sampai, Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan minta agar kelompok yang anti tidak ngotot apalagi emosional.
Kepada wartawan di Kantor Kemenko Kemaritiman, Jakarta, Jumat (19/5/2017), Luhut bilang, menolak reklamasi itu, sikap menolak terhadap rekalamasi itu, sah-sah saja. Namun, harus bisa dijelaskan secara ilmiah landasannya.
Kata mantan Menko Polhukam ini, alasan penolakan rekalamasi harus ada kajian ilmiahnya. Sudah dilakukan studi yang menguatkan sikap tersebut.
Termasuk ide menjadikan pulau hasil reklamasi sebagai pelabuhan, atau fasilitas umum lainnya, harus ada studi akademiknya. “Enggak ada masalah mau dijadikan apa pun asal semua berangkatnya dari studi. Jadi jangan emosional melihat itu. Kita lihat saja studinya,” kata Luhut.
Luhut bilang, berdasarkan kajian yang disusun sejak era Presiden Soeharto, proyek reklamasi sangatlah psotif. Sehingga pemerintah terus melanjutkannya. “Jangan emosional bilang begini, begitu, begini. Tidak usah. Tenang saja. Kalau memang itu tidak bagus, urusannya apa, tidak usah dilaksanakan,” kata Luhut.
Selanjutnya dia meminta kepada para penolak reklamasi Teluk Jakarta, tidak hanya berperang statemen. Semisal, proyek reklamasi sebagai ajang mengeruk keuntungan pribadi.
“Jangan ada yang mengklaim bilang dibayar ini, dibayar sana. Tidak betul itu. Ada yang ngomong sudah kasih triliunan sana-sini, ya itu kampungan,” kata Luhut.
Sebelumnya, Luhut bilangh, pemerintah pusat belum menemukan alasan yang cukup kuat guna menghentikan reklamasi Teluk Jakarta. Apalagi, berdasarkan kajian, terjadi penurunan permukaan tanah di DKI Jakarta sebesar 8 hingga 23 centimeter per tahun.
Pernyataan Luhut ini bisa jadi mengarah kepada Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta terpilih, Anies Baswedan-Sandiaga Uno.
Sejak kampanye Pilgub DKI, kedua pasangan itu getol menolak reklamasi. Alasannya, reklamasi hanya menguntungkan pengembang dan kelompok masyarakat tertentu.
inilah
Sumber : Source link
0 notes
Text
Sweeping Buku Terus, Sweeping Kebodohan Sendiri Kapan?
Penyitaan buku oleh aparat terjadi lagi. Mereka telah kembali. Tepuk tangan semuanya.
Beberapa minggu ke belakang, di kota Bandung (iya, Bandung yang kata walikotanya kota HAM itu lho) sempat terjadi ajang penyitaan buku oleh pihak yang “berwenang”. Korbannya: kelompok muda-mudi yang menginisiasi perpustakaan jalanan.
Mereka dianggap aparat membuat kegiatan yang mengkhawatirkan. Mungkin menurut mereka, muda-mudi main-main di taman itu harusnya pacaran, bukan malah buka perpustakaan jalanan. Bahkan karena sempat alot situasinya, jam malam pun sempat diberlakukan.
Dari kota Bandung, kali ini Jakarta yang kena. Adalah empat Warga Negara Malaysia yang ikut serta memeriahkan acara Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) dalam pameran buku di Jakarta Covention Center (JCC), Jakarta Pusat beberapa hari silam.
Buset, padahal ini acara internasional, tapi mental negara ini memang sedikit kampungan sih. Keempat kawan-kawan Upin-Ipin tersebut pun mendadak harus berurusan dengan isilop.
Pihak isilop mempermasalahkan dan menyita 6 buah buku berlogo palu arit terbitan salah satu penerbit Malaysia. Mungkin menurut bapak-bapak isilop yang terhormat itu buku tersebut tidak jauh dari syarat sah, syarat wajib, sampai rukun mutlak bagaimana melakukan kudeta, menculik tujuh jenderal bintang empat di Indonesia, sekaligus tutorial menjadi atheis yang kejam dan anti agama.
Saya awalnya pernah tidak sependapat dengan beberapa survei yang mengatakan bahwa minat baca negeri ini rendah. Sebab dulunya saya yakin, keterbacaan yang dimaksud bukanlah harus berarti “membaca buku”. Kalaupun itu berarti membaca buku, saya juga tidak sepenuhnya yakin, karena tidak semua daerah memiliki tingkat minat membaca yang seragam.
Overgeneralisir, pikir saya waktu itu.
Saya bekerja di perbukuan. Dan saya tahu betul bagaimana minat baca negeri ini masih jauh jika dikatakan ada di titik terendah. Sayangnya, beberapa kejadian di atas benar-benar membantah apa yang selama ini saya yakini.Tetapi saya jadi tahu apa sebabnya. Survei ini, mungkin dilakukan di kantor-kantor isilop atau ke kelompok-kelompok massa garis keras anti kuminis.
Saya tidak sembarangan bicara. Beberapa bulan silam, saya pernah berurusan dengan orang-orang model begini (baca: ormas anti kuminis). Pemicunya sih bisa ditebak, waktu itu saya dan beberapa kawan-kawan bersiap menyelenggarakan acara peluncuran dan diskusi buku biografi Dipa Nusantara Aidit.
Yah, sudah barang tentu kantor kami didatangi beberapa ormas jagoan yang menginginkan satu hal sepanjang hari: acara harus batal! Ora ngerti urusane, pokoke kudu bubar kabeh acarane!
Membatalkan acara memang tidak mudah. Apalagi waktu itu penulisnya sudah dalam perjalanan dari Jakarta menuju Jogja, undangan dan poster pun sudah kami sebar. Masak hanya gara-gara orang-orang yang tidak kami kenal terus main ancam-ancam di kantor kami, kami harus membatalkan acara di tempat kami sendiri?
Pada akhirnya saya menawari satu hal:
“Begini saja, Pak, kalau Bapak khawatir soal isi diskusinya, Bapak dan rekan-rekan lain kami persilakan untuk hadir juga sebagai peserta biar tahu secara langsung seperti apa kegiatannya.”
“Oh, ndak bisa, Mas. Pokoknya acara harus batal,” kata mereka masih dengan nada keras.
Saya pun mencoba mendekati pimpinan ormas ini, yang kebetulan juga datang menggrebek.
“Yawis, Pak. Gini aja. Kalau Bapak tidak mau jadi peserta, gimana kalau Bapak saya tawari jadi pembicara juga? Nanti saya sediakan tempat kalau Bapak bersedia.”
Saya menawarinya sebagai pembicara bukan tanpa pertimbangan. Itu artinya saya menghormati kehadiran beliau sebagai seorang pemimpin ormas. Dalam artian saya menghargai pemahaman dia soal pendapat bahwa Aidit ini tidak layak dibicarakan, ditulis, dan dibaca. Dan dengan begitu, saya juga yakin diskusi akan menarik. Tapi Anda tahu apa jawabannya?
“Wah, jangan saya, Mas. Saya ini ndak suka baca-baca je…”
Oalah, Jose Mourinho!
Lha, kalau ndak baca, gimana situ bisa tahu kalau isi buku yang akan dilaunching ini berbahaya atau tidak? Bagaimana bisa tahu kalau ada buku yang ada gambar palu aritnya berarti itu artinya membahas kuminis atau tidak? Bagaimana kalau ternyata ini adalah buku tentang bagaimana mencari pakan sapi yang benar serta tutorial membuat kandang sapi yang kokoh tanpa pengawet?
Kalau ndak suka baca buku, kenapa malah situ yang punya wewenang untuk menilai buku mana yang layak dibaca dan mana yang tidak?
Ini kan blas nggak lucu. Kayak Ahmad Dhani saja situ, jadi juri lomba nyanyi padahal nggak bisa nyanyi. Okelah, saya masih bisa memahami bagaimana masih paranoidnya kebanyakan orang Indonesia dengan logo palu arit, warna merah sampul buku, atau foto Aidit. Suka atau tidak, fakta tersebut memang bukan suatu hal yang bisa disalahkan begitu saja.
Situ tahu sama tahulah kalau yang dibutuhkan negeri ini adalah genosida trauma imajinasi betapa kejamnya kuminis—terutama juga orang-orang yang hanya mau belajar tentangnya.
Yah, sebab, harus diakui, Jenderal-Piye-Penak-Jamanku telah berhasil menciptakan senjata terkuatnya. Senjata yang tak akan lekang oleh zaman sekalipun wacana pembanding sudah bermunculan di mana-mana. Senjata itu: RASA TAKUT.
Isilop maupun ormas yang sangat rajin grebekan ke acara apapun yang ada bau-bau palu dan arit tidak datang atas dasar ketuhahanan, peraturan undang-undang, atau bahkan ketaatan mereka akan Pancasila kok.
Mereka datang atas dasar rasa takut yang lahir karena mereka merasa bahwa jika “musuh” diberi tempat, maka kehidupan mereka akan hancur dan keluarga mereka tidak akan terselamatkan.
Ini bukan sesuatu yang mengejutkan. Menteri Propaganda NAZI pada periode akhir Perang Duna II, Joseph Gobbles, yakin betul kedatangan tentara merah Soviet di gerbang kota Berlin pada Mei 1945 bukanlah sesuatu yang betul-betul mengerikan.
Gobbles dan istrinya lebih takut akan ideologi kuminis yang ada di belakang tentara musuh dan nanti akan menggerogoti anak-anak serta keturunannya. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana keturunannya nanti akan merasakan ngerinya kekuasaan kuminis Soviet.
Pada akhirnya ia melakukan apa yang rata-rata dilakukan petinggi NAZI: bunuh diri.
Tapi ia tidak ingin cari “selamat” sendiri, ia juga membawa seluruh keenam putra-putrinya dalam kematian dengan memberi hadiah pil sianida satu per satu. Dan tak lama setelah seluruh anaknya mati, Gobbles bersama istrinya kemudian turut bunuh diri setelah sebelumnya berpesan kepada pengawalnya agar mayat seluruh keluarganya dibakar sampai jadi abu.
Gobbles mungkin gila. Tapi siapapun akan jadi gila kalau ketakutan sudah begitu hebat menguasai. Bahkan ketakutan dalam hal-hal remeh sekalipun. Ketakutan akan memunculkan reaksi bertahan hidup. Dan cara apapun untuk mengatasinya, akan dianggap sebagai hal lumrah saja.
Mengutip argumentasi Gus Ahmad Sahal di “Islam, Maaf, dan PKI” di kolom Tempo 16 tahun silam, saya juga meyakini bahwa orang-orang yang begitu takutnya akan kuminis ini masih dalam aura politik zero-sum game: “kita atau mereka”.
Memakan atau dimakan, membunuh atau dibunuh, menolak atau ditolak, meninggalkan atau ditinggal nikah. Eh.
Ya, begitulah. Tidak ada gambar abu-abu dalam pandangan ini. Semua hitam atau putih. Terutama sejak Pemilu Presiden terakhir, gejala ini kembali muncul. Tiba-tiba saja seseorang bisa dicap liberal, syiah, bahkan sampai PKI hanya karena ia memilih Capres A dan bukan Capres B.
Sebab rasa takut akan membuat kecoak di kamar mandi tampak seperti tokai yang mengejar dirimu, membuat mantan jadi mirip Dian Sastro saat dipersunting orang lain, dan akan membuat buku dengan gambar palu-arit akan tampak seperti kotak bom yang bisa meledakkan keluargamu.
Dan ketakutan-ketakutan macam ini muncul karena satu hal: ketidaktahuan. Atau dalam bahasa kasarnya: kebodohan.
Jadi, kapan kalian akan men-sweeping kebodohan sendiri?
0 notes
Text
Opini Orang yang Terbebas dari Pemikiran Partisan
Terkadang dalam hidup ini kita dihadapkan oleh situasi yang sangat menyebalkan. Entah itu karena terjebak di jalan yang macet, menunggu pesanan bakso yang terlalu lama, dimarahi pacar tapi terlalu kasihan untuk memarahi balik, melihat teman yang tidak bekerja dalam kelompok, atau mungkin karena pemikiran yang berbeda dari orang-orang disekeliling kita.
Berkaitan mengenai perbedaan pemikiran dari seseorang, selalu menjadi hal yang menarik buat saya. Karena dari hal itu, saya bisa memahami kualitas dari seseorang. Bukannya untuk membanding-bandingkan, tapi memang karena itu menjadi hal yang menarik saja buat saya.
Tapi permasalahannya bukan diperihal membandingkan. Permasalahannya, ada di perbedaan.
Sebagian orang pasti selalu langsung menyimpulkan hal-hal tertentu kepada orang yang memiliki perbedaan pemahaman, opini, atau pemikiran dari dirinya. Ujungnya timbul rasa benci. Karena tidak bisa dipungkiri dan memang saya sadari bahwa perbedaan memang sulit untuk di pahami.
Saya termasuk orang yang beruntung. Menurut hasil tes psikologi dan beberapa pendapat teman, saya adalah termasuk orang yang cukup menghargai pemikiran seseorang, meskipun pemikiran yang mereka pahami itu salah, tidak sesuai dengan fakta, aneh, dan lain sebagainya. Dan memang betul.
Hal seperti ini terjadi ketika saya dilibatkan dalam suatu perdebatan, atau ketika sedang ngobrol santai dengan beberapa teman. Saya selalu mendengar apa yang mereka utarakan yang didasari oleh pikiran mereka. Saya dengarkan dengan baik tanpa memotong ucapan mereka.
Saya bahagia dengan hal itu. Kenapa ?.
Seiring jalannya waktu, saya belajar bahwa hidup yang tidak lepas dari perbedaan, kita harus memegang prinsip “memahami sebelum menyimpulkan”. Dengan memegang prinsip itu, saya pun terbebas dari pemikiran partisan (dalam artian non-partisan = seseorang yang tidak dipilih atau dinyatakan sisi atau pihaknya), tapi yang bertanggung jawab.
Mari kita bicara mengenai pemikiran partisan.
Pemikiran partisan adalah pemikiran kebanyakan orang di mana kalau dia memiliki keyakinan terhadap A, maka yang lain salah di matanya. Partisan berkeyakinan A dan tidak mau tahu apa-apa tentang B atau C karena sudah pasti salah.
Pola pikir partisan ini akan membatasi pikiran dan mengelompokan benar dan salah berdasarkan ego sendiri, membuat kita memilih untuk berteman, memilih untuk membaca, memilih untuk mendapatkan informasi sehingga kita hanya berada dalam lingkungan kita sendiri. Merasa nyaman dengan hal tersebut. Tidak berwarna karena hanya memiliki satu warna dalam hidupnya. Tidak ramai karena sepi dalam pikirannya (yang penting gak sepi hati).
Contohnya begini. Penggemar olahraga sepak bola pasti menganggap olahraga tenis meja cemen. Para laki-laki penggemar film action pasti menganggap bahwa laki-laki penggemar film drama memble (tapi terkadang gue setuju dengan yang ini haha. Jangan tersinggung yang merasa). Penggemar musik metal merasa musik dangdut kampungan. Penggemar musik rock merasa musik melayu cengeng. Orang bertubuh sempurna merasa yang bertubuh tidak lengkap sebagai cacat. Dan seterusnya.
Pemikiran non-partisan bagi sebagian orang mungkin saja tidak tepat. Tapi buat saya, ada beberapa hal baik dari pemikiran non-partisan. Karena balik lagi, pemikiran partisan membuat lingkaran panas dalam kecerdasan dan ketangkasan berfikir. Lalu membuat yang cerdas menjadi lamban. Yang pantas menjadi aneh. Yang canggih menjadi kuno. Yang elit menjadi kampungan. Yang berani menjadi malu-malu kucing. Semua itu karena pemikiran partisan sudah mendominasi, kemudian tercerna dalam pemikiran mereka dan pilihan hati mereka.
Begini, masyarakat punya paradigma sendiri dalam memahami pengetahuan, tindakan, dan situasi yang terjadi. Sayangnya, paradigma itu sudah lama diperkosa dan tidak dianggap oleh para elit, contoh di lingkup akademik dan politik. Perbedaan masyarakat harus bisa tercipta melalui kemerdekaan dan kemandirian, tapi bukan berarti liberal (kalau ada yang sependapat dengan paham liberal silahkan, saya tidak terlalu setuju).
Wajar kalau masih banyak orang memiliki pemikiran partisan, karena sekarang ini, masih banyak di lingkup akademik yang para akdemisinya terjerat aturan agar di kampus hanya untuk mengajarkan wacana, menulis definisi, mengkonseptualisasi pengetahuan dalam membentuk masyarakat partisan saja. Begitu juga dengan lingkup politik. Politik partisan menurut saya membahayakan. Orang-orang yang sudah tenggelam dalam politik partisan, mereka membiarkan dirinya diintervensi oleh kekuasaan, dari mana pun kelompok mana pun kekuasaan itu berasal. Bahkan loyalitas mereka rela diletakkan pada orang bukan pada cita-cita. Mereka bisa menjadi onderbouw partai politik tertentu, bahkan menjadi pengikut segelintir politikus. Parahnya, mereka bisa menggadaikan idealisme kolektifnya, lalu bergenit-genit dengan kekuasaan dalam langgam politik praktis yang bahkan sudah tidak lagi menjadi mitra kritis bagi kekuasaan di setiap level penyelenggaraan negara.
Semua itu bisa terjadi karena sikap partisan tadi. Mungkin saya benar, atau mungkin saya juga bisa salah. Semua boleh berpendapat.
Saya tipe orang yang bertanya baru berkesimpulan. Partisan adalah orang yang berkesimpulan menentang duluan baru bertanya retoris belakangan. Dan saya selalu belajar menjaga prinsip, “memahami sebelum menyimpulkan”.
Seperti yang saya katakan di awal tulisan ini, memahami adalah sesuatu yang sulit. Apalagi memahami perbedaan. Hal itu benar terjadi pada saya. Saya cenderung malas untuk memahami hal-hal remeh. Padahal itu juga merupakan sesuatu yang bisa dijadikan bahan diskusi, perdebatan, atau lainnya.
Tapi intinya, saya tidak lagi partisan. InsyaAllah.
Saya tidak merasa mereka yang di penjara sebagai orang yang jahat (ada memang yang jahat banget dan tidak bisa diampuni). Beberapa di antara mereka hanya membuat keputusan-keputusan yang salah atau kurang tepat. Saya yakin, setiap orang pasti memiliki niat jahat dalam pikirannya. Hanya saja, saya tidak berani melakukan niat jahat saya itu, sedangkan mereka berani karena didasari oleh beberapa hal yang mungkin juga harus kita pahami.
Untuk itu saya selalu bingung dengan sebagian orang yang tidak mau bersatu dan lebih senang jadi satu-satu (untuk kaum jomblo, jangan tersinggung. Pernyataan ini bukan untuk kalian).
Karena prinsip itu, saya bisa berinteraksi dengan berbagai macam orang yang memiliki latar belakang pemikiran yang berbeda dari saya. Meskipun memang perasaan aneh selalu ada. Ketika SMA, saya bisa ngobrol dengan teman yang menganut JIL. Saya juga bisa berdiskusi dengan teman yang memiliki pandangan politik yang berbeda dengan saya. Saya bisa berdebat dengan teman yang suka sok tau dalam segala hal. Saya bisa nongkrong dengan teman yang suka “bertengkar” dengan kebenaran. Saya bisa makan bersama dengan teman yang suka “mendemo” kuasa Tuhan (kadang kesel juga sih sama orang kaya gini. Tuhan kok di “demo” hehe). Dan seterusnya.
“Saya tidak membenci mereka, dan saya tidak berpikir kalau mereka membenci saya.”
Terlebih lagi kita adalah orang Indonesia. Orang-orang yang hidup dan tinggal di dalam lingkungan yang penuh dengan perbedaan. Baik itu suku, agama, ras, budaya, dan bahkan pemikiran setiap manusianya. Seharusnya, kita sebagai orang Indonesia bisa menjadi contoh negara lain kalau kita adalah negara yang bisa saling menghargai dan pandai memahami satu sama lain. Karena memang kita sudah terbiasa dengan perbedaan. Cukup miris juga saat ini masih banyak oknum yang ingin hubungan kita tidak baik. Yang ingin sikap saling memahami antar orang Indonesia memudar.
Karena saya yakin, persatuan datang dari usaha keras untuk mencoba memahami sebelum membenci. Dan dibutuhkan individu-individu yang bersedia mencontohkan itu. Individu ini akan melewati perjalanan yang luar biasa berat. Seperti berjalan di gurun sahara tanpa persediaan air yang cukup atau tersesat di tengah lebatnya hutan Papua. Namun, hasil akhir yang begitu didambakan membuat perjuangannya layak untuk dijalankan.
Ya, saya berbeda dengan kebanyakan orang. Tapi saya tidak merasa ada yang salah dengan itu. Oh ya, saya tidak sepenuhnya terbebas dari pemikiran partisan. Karena idealisme saya tidak sekuat itu. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan. Saya masih punya agama, saya masih punya Tuhan.
Ingat tulisan ini tidak berkaitan atau berhubungan dengan agama. Saya pribadi adalah orang yang tidak setuju apabila sikap dan pemikiran ini (non-partisan : seseorang yang tidak dipilih atau dinyatakan sisi atau pihaknya) dikaitkan atau dihubungkan dengan agama. Agama adalah bagian dari sisi pribadi setiap manusia. Itu adalah urusan masing-masing setiap individu. Lagipula..., sudah ah, sensitif bahas soal agama hehe.
Anyway, pastinya ada yang tidak setuju dengan tulisan ini. Pemikiran saya ini liberal ?, saya tidak sependapat dengan itu. Saya berhak menulis demikian dan apabila ada yang berkeberatan, silakan seimbangkan dengan tulisan juga.
Intinya, dalam suatu perbedaan, mereka yang tidak setuju berhak untuk menyalahkan saya. Yang penting, mungkin saya tidak perlu sepaham dengan mereka yang memilki pemikiran yang berbeda. Dan lebih baik, tanggapi segala perbedaan yang ada dengan...
santa saja.
Depok, 18 Februari 2017
#my post#my writing#writers on tumblr#writers#my opinion#opinion#tumblr#galangputrakr#indonesia#perbedaan#pemikiran#partisan#non-partisan#penulis#catatan#kritis
0 notes
Text
Deutsch Türken dalam Persimpangan: Representasi Identitas Jerman-Turki di Freiburg, Jerman
Makalah ini dipresentasikan dan diterbitkan pada Seminar “Seri Studi Kebudayaan 1: Pluralisme, Multikulturalisme, dan Batas-batas Toleransi” Universitas Brawijaya, tahun 2017
Kebijakan Angela Markel untuk ‘membuka pintu’ kepada para pencari suaka, pengungsi, dan migran, membuat Jerman kini terdesak oleh lebih dari satu juta imigran di perbatasan. Permasalahan rasisme, xenophobia, terorisme, pengangguran kembali memanas seperti pada tahun 1955 ketika ribuan guest worker kemudian menjadi permanen migran. Hal ini menjadi titik tolak aktual untuk menilik dinamika identitas orang Turki yang merupakan pendatang dan orang asing hingga berkembang menjadi kelompok migran terbesar di Jerman.Keturunan Turki yang lahir di Jerman atau memiliki keterikatan terhadap Jerman (Jerman Turki) berada di tengah kompleksitas antara ‘Barat’ dan ‘Timur’, Jerman dan Turki, inklusi dan ekslusi. Mereka terjebak di antara oposisi biner, dianggap sebagai ‘liyan’ karena tidak menjadi bagian dari keduanya. Stereotip telah mengeluarkan Jerman Turki dari tatanan ‘normal’ dan mengekslusikan mereka dari masyarakat. Meskipun mereka memiliki ikatan dengan kedua kebudayaan, disaat yang sama mereka mengalami penolakan di Turki, dan diskriminasi di Jerman. Mimikri merupakan strategi Jerman-Turki di Freiburg untuk melawan strerotip, ekslusi, dan diskriminasi yang telah menyejarah. Peniruan dan peminjaman berbagai elemen kebudayaan Turki dan Jerman dilakukan agar tidak lagi menjadi ‘liyan’. Hal tersebut memunculkan sebuah negosiasi yang dikatakan Bhaba sebagai ruang ketiga. Melalui ruang ketiga ini percampuran kultural terbentuk, menegosiasikan perbedaan, melenturkan batasan-batasan sehingga menghasilkan sebuah representasi hibriditas Jerman-Turki Hibriditas Jerman-Turki yang terbentuk merupakan produk dari multikulturalisme di tengah carut marut permasalahan xenophobia di Jerman yang kian memanas. Permasalahan representasi identitas kewarganegaraan kemudian tidak bisa dilepaskan dari aspek kultural dan politik dimana selalu dapat berubah dan bersifat cair.
“the cartoon that sum up migran crisis”. Oleh : Simon Kennebo
Pendahuluan
Jerman telah menjadi negara destinasi migran paling diminati nomer dua sedunia setelah mengalahkan U.K dan Kanada, mengambil posisi tepat di bawah Amerika Serikat dengan menarik 400.000 imigran pada tahun 2012.[1] Angka tersebut semakin meningkat menanggapi kebijakan politik Angela Merkel, bahwa Jerman ‘open door for migrants’. Sebanyak 964.574 pencari suaka tiba di Jerman dalam waktu sebelas bulan di awal tahun 2015[2], sehingga dapat diperkirakan satu juta migran, pengungsi dan pencari suaka telah tiba di Jerman pada awal tahun 2016. Sebuah survei yang dilakukan oleh TNS Forschung untuk sebuah Majalah politik Jerman ‘Spiegel’, 84% responden mengatakan bahwa besarnya jumlah pengungsi saat datang ke Jerman akan menghasilkan "perubahan permanen” ke negara itu, 54% mengatakan mereka khawatir bahwa bahaya terorisme yang lebih tinggi karena masuknya pengungsi, dan 51 % persen percaya bahwa angka kejahatan akan meningkat, 43 % khawatir bahwa pengangguran akan meningkat[3]. Berdasarkan survey tersebut terlihat tingginya angka kekhawatiran masyarakat Jerman akan efek negatif dari para pencari suaka yang datang ke Negara mereka.
Sedangkan ketika menilik sejarah, ini bukan pertama kali Jerman menerima satu juta ‘orang asing’ di negaranya. Hal ini sudah terjadi pada tahun 1955, ketika paska perang dunia II Jerman Barat merekrut ribuan guest worker dan gagal memulangkan mereka sehingga kebanyakan dari mereka menetap, melakukan reunifikasi[4] keluarga dan menjadi permanen migran. Puncak migrasi tertinggi terjadi pada tahun 1990 paska reunifikasi Jerman Barat dan Jerman Timur. Hal tersebut disertai dengan munculnya gerakan xenophobia, didukung oleh neo nazi. Alhasil, kekhawatiran akan orang asing, terorisme, kejahatan, pengangguran, dan perubahan permanen sebenarnya telah dialami oleh masyarakat Jerman satu dekade lebih, terulang, dan memuncak kembali pada tahun 2016. Hal ini menjadi titik tolak untuk menilik kembali perkembangan dinamika kelompok migran terbesar di Jerman, bagaimana proses representasi identitas orang Turki—sebagai pendatang dan pekerja tamu—dimulai sejak tahun 1995
Sejarah kedatangan Orang Turki di Jerman berawal dari pekerja tamu hingga kini menjadi migran, tidak lepas dari stereotip tentang orang Turki pada umumnya; yang berasal dari desa, kampungan, konservatif, muslim, berpendidikan rendah, kekurangan secara ekonomi, hidup di ghetto, sulit untuk terintegrasi, dan tidak bisa berbahasa Jerman dengan lancar. Permasalahan diskriminasi, eksklusi, dan keterasingan tidak bisa dilepaskan dari perjalanan panjang proses adaptasi migran Turki selama di Jerman. Satu dekade telah berlalu sejak pekerja tamu yang berasal dari Turki menginjakkan kakinya di Jerman. Anak-anak mereka telah lahir di Jerman, belajar bahasa Jerman, mengampu pendidikan di Jerman, dan berusaha untuk terintegrasi dengan masyarakat Jerman.
Terdapat istilah tersendiri untuk menyebut keturunan Turki yang lahir di Jerman yakni sebagai German-Turkish dalam bahasa Inggris, Deutsch-Türken dalam bahasa Jerman, atau Almanyah/Almanci dalam bahasa Turki (Mandel 2008:1). Istilah Deutsch-Türken merujuk pada keturunan Turki yang lahir di Jerman atau paling tidak memilki satu orang tua yang berasal dari Turki, dan juga memiliki sejarah imigrasi dalam keluarga. Deutsch-Türken lebih mengacu kepada keturunan Turki generasi kedua dan ketiga yang telah banyak mengenal kultur Jerman. Istilah ini seakan memberikan kesan positif terhadap integrasi Imigran Turki dalam masyarakat Jerman. Namun disisi lain, ekslusi sosial masih tersirat dalam istilah ini. Urutan istilah “Deutsch-Türken” dalam gramatikal Jerman menyiratkan bahwa “Deutsch” merupakan kata sifat yang menerangkan keterangan variatif dari ‘Türken’[5] (Mandel, 2006: 181). Dengan kata lain Deutsch-Türken artinya adalah salah satu jenis variasi orang Turki yang ke-Jerman-Jerman-an, bukan variasi orang Jerman yang ke-Turki-Turkian. Alhasil, istilah Jerman Turki atau Deutsch-Türken telah menerapkan sebuah batasan, bahwa sekalinya orang Turki, tetaplah Turki (once a Turk, Always Turk)[6], mustahil untuk menjadi Jerman.
Pelajar keturunan Turki di Freiburg berada di antara dua kebudayaan yakni Jerman dan Turki. Mereka hidup di dalam kultur masyarakat Jerman dan memiliki ikatan dengan Turki dalam diri mereka. Stereotip, diskriminasi, inklusi, eksklusi, dan pengliyanan tidak bisa dilepaskan dari diri mereka. Tulisan ini kemudian akan membahas mengenai representasi identitas keturunan Turki di Freiburg im Breisgau, Jerman dan alasan dibalik representasi Identitas tersebut.
Metodologi
Penelitian etnografi[7] yang dilakukan dalam tulisan ini merupakan bagian dari kerjasama penelitian antara Departemen Antropologi dan Departemen Hubungan Internasional UGM serta Departemen Antropologi Universitas Hassanudin Makassar dengan Albert-Ludwig University (ALU) Freiburg, German. Lokasi Penelitian dalam tulisan ini dilakukan di kota Freiburg, Baden Wuttemberg, Jerman selama satu bulan. Pemilihan Informan dilakukan dengan menggunakan metode bola salju atau disebut juga sebagai chain referral sampling menghasilkan a study sample through referrals made among people who share or know of others who possess some characteristics that are of research interest (Bienarki dan Waldorf 1981 : 141).. Metode ini sangat tepat untuk sejumlah tujuan penelitian dan ini terutama berlaku ketika fokus penelitian adalah pada isu sensitif, mungkin tentang masalah yang relatif pribadi. (ibid)
Dalam sebuah penelitian etnografi, metode pengumpulan data dan analisis merupakan kunci utama. Penelitian ini menggunakan wawancara mendalam dan observasi partisipasi untuk mengumpulkan data. Amri Marzali dalam Spradley (2007: ix) menyatakan bahwa teknik pengumpulan data yang utama adalah observasi-partisipasi dan wawancara terbuka dan mendalam, yang dilakukan dalam jangka waktu yang relatif lama, bukan kunjungan singkat dengan daftar pertanyaan struktur seperti pada penelitian survei. Meskipun demikian, dengan mempertimbangkan terbatasnya waktu penulis untuk melakukan wawancara, penelitian ini tidak memenuhi standar ‘ideal’ yang diungkapkan Amri Marzali tersebut. Penelitian ini pada akhirnya melakukan wawancara mendalam yang dilakukan pada beberapa informan yang memberikan informasi secara terbuka, atas dasar terjalinnya kepercayaan, kenyamanan dan relasi akrab dengan peneliti. Sebagaimana pendapat Geertz (2003:69) dalam Karim (2006:22) bahwa yang perlu diperhatikan bukan meyesuaikan jiwa secara mendalam dengan informan, tetapi lebih pada menemukan apa yang sebenarnya sedang mereka pikirkan dan mereka lakukan. Alhasil dalam wawancara mendalam yang terpenting adalah memenuhi tujuan utama penelitian etnografi “to grasp the native point of view, his relation to life, to realise his vision and his world” (Malinowski 1992:25)
Jerman-Turki dalam Persimpangan
Pekerja tamu yang tidak kembali ke Turki dan membawa keluarganya ke Jerman kini telah memiliki penerus generasi. Anak-anak migran Turki tersebut lahir di Jerman, belajar bahasa Jerman, mengampu pendidikan di Jerman, dan berusaha untuk terintegrasi dengan masyarakat Jerman. Istilah Jerman-Turki atau Almanyah/Alamanci digunakan untuk menyebut keturunan Turki yang lahir di Jerman atau orang Turki yang bekerja di Jerman dan bertingkah laku seperti orang Jerman. Meskipun berada dalam ikatan dua negara, namun mereka mengalami eksklusi dari kedua belah pihak.
Di Jerman, kehidupan Jerman Turki ini tidak bisa lepas dari seterotipe pekerja tamu. Mereka sering dianggap tidak berpendidikan, konservatif, beragama muslim, dan tidak mau terintegrasi dengan masyarakat Jerman. Mereka dianggap sebagai orang asing, dan sering kali mengalami ‘pembedaan’ meskipun sebagian diri mereka adalah Jerman. Seda, seorang Jerman Turki yang lahir di Jerman bercerita ketika Ia berkenalan dengan orang asing, mereka memperhatikan rambut hitamnya dan berkata “You are not German, You just different!” Secara fisik keturunan Turki memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan orang Jerman. Mereka dikatakan sebagai campuran antara Ras Kaukasoid dan Mongoloid (John, 1974). Keturunan Turki memiliki rambut hitam atau cokelat gelap, kulit cokelat kekuningan, mata berbentuk almond, dan hidung yang mancung serta sedikit besar dibagian depan. Perbedaan secara fisik ini menjadi permasalahan sendiri yang dialami oleh Yuldum saat Ia masih kecil. Yuldum mempertanyakan mengapa Ia tidak terlahir sebagai orang Jerman seperti teman-temanya yang berambut pirang. Ia merasa dirinya adalah domba hitam di antara kawanan domba putih lainnya. Yuldum menceritakan pengalamannya
“Ya, in my puberty in my teenager time i really had identity issues. I didn't like my black hair,i didn't like my names, i always like why couldn't my name be 'Saskia,' why i'm not blond. I have very homogen class and school in my hometown, I was the only turkish girl in the school and also the first and the last foreign student. so it was like i was always the 'black sheep’.
Ya, saat puber, saat remaja, aku benar-benar memiliki permasalahan identitas. Aku tidak menyukai rambut hitamku, aku tidak suka namaku, aku selalu seperti kenapa namaku bukan ‘Saskia’ kenapa aku tidak pirang. Aku mempunyai kelas dan sekolah yang sangat homogen di derah asalku, aku satu-satunya gadis Turki di sekolah, dan juga siswa asing yang pertama dan terakhir. Jadi itu seperti aku adalah ‘domba hitam’ (Wawancara, 15 Juni 2015)
Pertanyaan Yuldum tentang identitasnya menunjukkan bahwa Ia merasa ‘berbeda’. Ia tidak menyukai rambut hitam dan namanya karena kedua hal tersebut dapat merepresentasikan dirinya sebagai orang asing bukan orang Jerman. Ia dapat dengan mudah dikenali sebagai orang Turki karena ciri-ciri fisiknya. Keinginannya untuk dapat menjadi seperti anak-anak Jerman lain terlihat ketika Ia menanyakan kenapa Ia tidak memiliki rambut pirang atau memiliki nama yang terdengar Jerman.
Selain Yuldum, Jerman-Turki lain juga mengalami diskriminasi ketika Ia masih kecil. Hal ini baru Nazil alami ketika tanpa sengaja Ia menemukan foto masa kecilnya
“I found a photo of my time at the kindergarten. And it really made me feel sad. Really I found it after almost 20 years . It’s been a photo of my kindergarten group with all my educators. And all Turkish children and all other foreign children were sitting on the floor while all the German children were standing next to the educators. And for me it’s been… after all these years I went “Boah!” It’s been this separation, this real separation.”.
Aku menemukan foto ketika aku masih TK. Dan itu membuatku sedih. Sangat. Aku menemukannya setelah hampir 20 tahun. Itu adalah foto dari kelompok TK ku dengan semua guru-guru. Dan semua anak-anak Turki dan anak-anak asing lainnya duduk di lantai ketika semua anak-anak Jerman berdiri di samping guru-guru. Dan untuku itu adalah.. setelah beberapa tahun lewat. “Boah” . itu adalah pembedaan. Ini pembedaan yang nyata. (19 Juni 2015)
Foto yang ditemukan Nazil dan baru disadarinya setelah 20 tahun, bahwa terjadi pembedaan ketika dia masih di TK. Dirinya dan anak-anak asing yang lain “dibedakan” dengan anak-anak Jerman. Anak-anak Turki diminta untuk duduk di lantai, sedangkan anak-anak Jerman berdiri disebelah Guru. Kejadian tersebut menunjukkan adanya strata sosial yang dipaksakan tanpa disadari kepada anak-anak. Orang asing dianggap rendahan, dan selalu berada di luar masyarakat. Dalam pola pikir ‘Barat’, hanya orang yang ‘tidak beradab’ yang duduk di lantai yang kotor. Ketika tidak ada kursi, orang yang beradab akan berdiri. Hal ini menunjukkan terjadi penindasan secara simbolik. Ketika pengaturan ini terjadi, secara implisit Turki diposisikan lebih rendah dari pada Jerman, bahkan tidak pantas untuk berdiri sejajar dengan Jerman.
Talia juga mengalami hal yang serupa. Ia mengalami ‘pembedaan’ saat minggu pertamanya di jurusan hukum di Heidelberg sebelum pindah ke Freiburg. Dua anak lelaki menghampirinya pada saat Ia duduk di depan kantin dengan teman-temannya. Salah satu anak laki-laki itu mendekati Talia dan mengatakan “ so you are the Turk around here” dengan nada yang negatif dan memojokkan. Ia juga mengajukan pertanyaan tidak sopan tanpa perkenalan “ Are you drink? Are you smoke? Do your mother wear head scraff? are you that religious? why are you here?” Talia sangat shock dan tidak dapat berkata apa-apa. Itu pertama kalinya Ia merasa disudutkan dan menjadi orang asing di negara dimana dia lahir. Ia berkata
“exactly I was born here, but it doesnt feel like it. there is still something that push you away from the society”.
Aku lahir tepat di sini, tapi rasanya tidak seperti itu. Selalu ada sesuatu yang mendorongmu jauh dari masyarakat. (Talia 20 Juni 2015)
Di Turki, para Jerman Turki ini juga mengalami eksklusi. Mereka tidak dianggap sebagai orang Turki sepenuhnya. Hal ini dialami oleh Yuldum, aksen Jermannya sangat kental saat Ia berbicara dalam bahasa Turki, sehingga orang dapat mengetahui bahwa Ia tidak asli berasal dari Turki. Ketika berada di Turki orang sering menanyakan darimana mereka berasal. Selain aksen Jerman yang kental, gaya berpakaian mereka yang lebih terbuka, berbeda dengan seperti baju-baju yang digunakan oleh orang Turki pada umumnya. Biasanya mereka akan mendapat perilaku yang berbeda. Dalam sekejap mereka akan berubah menjadi turis, menjadi orang asing di tanah air orang tua mereka.
Eksklusi tersebut diperkeruh dengan adanya sterotip bagi orang Jerman Turki di Turki. Di Turki mereka disebut dengan Almanya/Almanci yang berarti Jerman secara kata sifat (adjective), atau ‘kejerman-jermanan’. Stereotip almanya di Turki ialah orang-orang kaya, pemakan babi, memiliki kehidupan yang nyaman di Jerman, kehilangan bahasa Turki mereka, dan menjadi seperti Jerman (Kaya, 2013 : 222) Istilah tersebut secara implisit menghina , memberikan label perbedaan, menunjukkan kurangnya penerimaan dan penolakan Jerman Turki di tengah masyarakat Turki (ibid).
Menjadi Jerman Turki berarti berada di antara dua kebudayaan Jerman dan Turki. Hal ini menjadi persoalan tersendiri bagi mereka karena “Here (German), they call me foreigner, in Turkey they call me Almanya”[8]. Di Jerman mereka adalah orang asing, di Turki mereka adalah orang Jerman. Sebagai individu mereka berada di tengah struktur masyarakat yang memiliki konstruksi stereotip negatif tentang Turki maupun Jerman Turki. Mereka terjebak di tengah identifikasi idealisasi masyarakat atas sebuah identitas yang tunggal. Sehingga Jerman Turki yang memiliki ikatan antara dua kebudayaan dianggap sebagai orang lain, alien, yang berbeda dari kebiasaan sehari-hari dalam masyarakat.
HIbriditas Jerman-Turki
Jerman Turki ini melihat diri mereka menyerupai Jerman dengan mengikuti German Ways. Beberapa dari mereka berpenampilan lebih terbuka, misalnya dengan memakai baju tanpa lengan atau memakai celana/rok pendek. Mereka juga mendiskripsikan diri mereka tidak terlalu religius, dan lebih terbuka. Jerman Turki menolak sterotip mengenai Turki yang konservatif dan sangat islami.
Namun di sisi lain, mereka tetap melakukan peniruan tradisi Hari Raya Lebaran seperti yang di lakukan di Turki. Meskipun berada di Jerman, mereka tetap melakukan tradisi berkumpul bersama keluarga. Tradisinya masih sama, yakni orang yang lebih tua akan mengunjungi orang yang lebih tua. Hal ini terjadi contohnya pada keluarga Yuldum. Pada Hari Raya Lebaran, paman bibinya serta, sepupu-sepupunya yang ada di Stutgart akan pergi ke Freiburg untuk merayakan bersama. Ketika berkumpul bersama mereka berbicara dengan bahasa Turki dan makan masakan Turki bersama-sama. Makanan Turki tidak dipungkiri menjadi cara untuk tetap menjaga ikatan dengan Turki. Mereka tetap makan dan mempelajari masakan Turki dalam kesehariannya di Jerman. Makanan Turki tetap mendominasi dapur mereka di rumah. Terlebih lagi, beberapa mengaku lebih menyukai makanan Turki daripada makanan Jerman. Meskipun secara berasamaan Jerman Turki meniru German ways, namun terdapat penolakan secara halus untuk tidak mengapropriasi sepenuhnya.
Kewarganegaraaan menjadi salah satu simbol keanggotan seseorang kepada suatu negara. Beberapa Jerman Turki mengaku memilih untuk menjadi warganegara Jerman dengan cara mengajukan aplikasi untuk memperoleh paspor Jerman. Meskipun harus melalui serangkaian tes agar dapat menjadi Jerman, hal ini dilalui oleh Jerman-Turki. Paspor Jerman merupakan pengakuan simbolik secara mutlak dari negara untuk menunjukkan siapa yang merupakan warga negara Jerman dan yang bukan. Namun di sisi lain, Jerman Turki dengan mudah dapat memiliki Kartu Biru Turki sebagai pengganti dari paspor Turki yang dikembalikan (option mode). Kartu Biru Turki ini seperti sebuah ‘kewarganegaraan terselubung’ yang memperbolehkan Jerman-memiliki hak dan kewajiban sama halnya dengan warga negara Turki lainnya. Kelemahannya hanya satu, mereka tidak diperbolehkan untuk menggunakan hak suara pada pemilihan umum. Hal tersebut membuktikan bahwa Jerman-Turki tetap mempertahankan ikatan ke-Turki-an mereka, meskipun secara eksplisit mereka ‘meniru’ lazimnya Orang Jerman yang memiliki Paspor Jerman.
Peniruan (mimikri) merupakan strategi Jerman-Turki di Freiburg untuk melawan stereotip, eksklusi, dan diskriminasi yang telah menyejarah. Melalui peniruan, hasrat untuk menjadi seperti Jerman dan seperti Turki terakomodasi. Peniruan dan peminjaman berbagai elemen kebudayaan Turki dan Jerman dilakukan agar tidak lagi menjadi ‘liyan’. Tidak bisa dipungkiri di dalam peniruan juga terdapat ambivalensi. Peniruan tidak hanya sekedar meniru tapi juga mengandung penolakan/pemberontakan dalam artian mempertahankan identitas keturkian secara implisit. Ambivalensi tersebut kemudian memunculkan sebuah negosiasi yang dikatakan Bhaba sebagai ruang ketiga.(1994: 112-115), Melalui ruang ketiga ini percampuran kultural terbentuk, menegosiasikan perbedaan, melenturkan batasan-batasan sehingga menghasilkan sebuah hibriditas Jerman-Turki. Proses hibriditas budaya memungkinakn terbentuknya sesuatu yang berbeda, baru, bahkan belum dikenal sebaelumnya, yang merupakan area baru tempat terjaid negosiasi makna dan representasi.
Jerman Turki berada di tengah kompleksitas antara ‘Barat’ dan ‘Timur’, Jerman dan Turki, baik dan buruk, inklusi dan eksklusi. Mereka terjebak di antara oposisi biner, di representasikan sebagai ‘liyan’ karena tidak menjadi bagian dari keduanya. Stereotip mengeluarkan Jerman Turki dari tatanan ‘normal’ dan mengeksklusikan Jerman Turki dari masyarakat. Meskipun mereka memiliki ikatan dengan kedua kebudayaan, disaat yang sama mereka mengalami penolakan di Turki, dan diskriminasi di Jerman. Mereka mengalami dilema ketika segalanya harus diputuskan hanya di antara dua kategori nasionalitas : Jerman atau Turki, sedangkan mereka berada di tengah-tengah.
Ketika Jerman Turki ditanya ‘Who are you?’, mereka memiliki jawaban yang beragam. Mereka akan mulai bercerita mengenai eksklusi mereka dalam masyarakat Jerman, kemudian mendeskripsikan diri mereka sebagai Turki, selanjutnya mereka akan menceritakan eksklusi yang dialami dalam masyarakat Turki, kemudian mereka menjadi Jerman. Selanjutnya di akhir cerita mereka akan berkata bahwa mereka adalah keduanya; Jerman dan Turki. Salah satu Jerman Turki yaitu Nazil mengatakan:
I have to say, many people feel the same way and I feel that way, too. You’re coming to Germany and so you’re German. In Germany you’re Turkish and you get accepted but by some people you don’t get accepted. And if you’re in Turkey, you’re German. You know, you have an identity but you don’t know which one. This one or the other? I am German since I’m born here. But I have a Turkish origin and I also speak Turkish. I know I’m German, but I’m Turkish too. I’m simply both. I don’t know if you could say, you’re Turkish. I am Turkish but I have a German passport. So I’m German too. I’m both. I’m thinking in German, I’m thinking in Turkish. That’s balanced.
Aku harus katakan, banyak orang merasakan hal yang sama dengan yang aku rasakan juga. Kamu datang ke Jerman, lalu kamu adalah Jerman. Di Jerman kamu adalah Turki dan kamu diterima tapi oleh beberapa orang kamu tidak diterima. Dan jika kamu di Turki, kamu adalah Jerman. Kamu tahu, kamu punya identitas tapi kamu tidak tau yang mana. Yang ini atau yang lain? Aku Jerman karna aku lahir di sini. Tapi aku juga keturunan Turki dan aku berbicara bahasa Turki. Aku tahu aku Jerman, Tapi aku juga Turki. Secara ringkas aku adalah keduanya. Aku tidak tahu jika kamu bisa berkata, kamu Turki. Aku Turki, tapi aku mempunyai paspor Jerman. Jadi aku juga adalah Jerman. Aku keduanya. Aku berpikir dalam Jerman, Aku berpikir dalam Turki. Itu seimbang. (19 juni 2015)
Identitas Jerman Turki ini muncul dalam representasi yang merupakan persoalan bagaimana kita melihat diri kita dan bagaimana orang lain melihat kita (Barker, 2016:173) Proses produksi makna tersebut dikatakan oleh Stuart Hall sebagai ‘representasi’. Dalam hal ini, representasi sebagai proses kultural menetapkan identitas individu dan kolektif dalam sistem simbolik yang menyediakan kemungkinan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan: siapa saya? saya bisa menjadi siapa? Dan saya ingin menjadi siapa? (Woodward, 1997:14).Hal yang Nazil ceritakan menunjukkan bagaimana kompleksitas yang Ia alami. Identitasnya berubah-ubah, terpecah-pecah, tidak stabil, tidak sempurna, tidak pernah selesai, dan selalu dalam proses representasi (Stuart Hall, 1990:4). Nazil sebagai subjek dan juga sebagai pribadi, Ia terikat kepada proses - proses sosial, dimana Ia sebagai subjek yang direpresentasikan oleh struktur sosial. Ia mengalami eksklusi. Hasrat untuk menjadi bagian dari masyarakat (Jerman dan Turki) membuatnya melakukan peniruan. Ia meniru agar dapat menjadi seperti Jerman, dan seperti Turki. Seperti Jerman Turki lain, Ia menguasai kedua bahasa, belajar kedua kebudayaan, serta memelihara ikatan dalam dua negara. Hal ini kemudian memunculkan negosiasi dalam ruang ketiga. Dimana terjadi pelenturan batas-batas, percampuran kultural, persilangan sekat, yang memunculkan hibriditas Jerman-Turki. Nazil juga, mengalami negosiasi dan merepresentasikan dirinya sebagai hibrid.
Jerman Turki melihat diri mereka sebagai bentuk hibrid dari dua kebudayaan Jerman dan Turki. Hal ini terlihat dari rasa kepemilikan, rasa keberpihakan mereka (sense of belonging), dan bagaimana mereka mengartikulasikan diri mereka sebagai bagian dari keduanya; Jerman-Turki (dengan garis sambung / hyphenated). Keturunan Turki ini merepresentasikan diri mereka ‘as simply as both’.
Hibriditas Jerman-Turki dapat terlihat dari praktik kebahasaan mereka. Dimana mereka menggunakan kedua bahasa yakni Jerman dan Turki dalam keseharian mereka. Ketika berhadapan dengan masyarakat Jerman, misalnya ketika membeli sesuatu di mini market, atau berhadapan dengan institusi mereka menggunakan bahasa Jerman. Di sisi lain dalam ranah domestik mereka menggunakan bahasa Turki. Ketika berbicara dengan orang yang lebih tua atau yang dihormati di keluarga, bahasa Turki merupakan hukum wajib. Meskipun demikian tak jarang kedua bahasapun digunakan secara bergantian. Beberapa Jerman-Turki mengaku berbicara bilingual dan menggunakan kosakata bahasa Jerman/Turki yang muncul lebih dulu di pikiran mereka.
Selain itu, Turki tetaplah menjadi bagian dari perjalanan kehidupan Jerman-Turki. Meskipun terbiasa dengan cara hidup Jerman, namun Turki tetap menjadi pertimbangan. Turki selalu menjadi pilihan untuk kembali. Tidak hanya untuk liburan namun Jerman-Turki juga memiliki rencana untuk mencoba hidup di Turki. Tentunya hal ini tidak bisa dibayangkan sebagai perkara yang mudah. Hidup di Turki artinya lebih mengenal budaya Turki yang berbeda dengan di Jerman. Kondisi politik yang tidak stabil, tidak adanya sistem efektif jumlah penduduk yang banyak, dan beragam budaya ketimuran membuat hidup di Turki menjadi lebih menantang.
Sehingga dapat disimpulkan Representasi Identitas Jerman-Turki ini—seperti halnya yang dikatakan oleh Silverstein (2005:373)— merupakan sebuah bentuk hibrid liminal dimana, sebagai keturunan Turki generasi kedua, mereka berada ‘di antara dua budaya’ sebagai sebuah bentuk hibriditas antara dua budaya Jerman-Turki namun tidak memihak di antara keduanya dan tetap berada di ruang antara.
Menjadi bagian dari Eropa merupakan keinginan Bangsa Turki sejak lama. Di sisi lain, untuk menjadi Eropa artinya adalah menjadi seperti ‘Barat’. Hal itu seakan-akan merupakan syarat tersembunyi agar Turki terasimilasi ke dalam kultur dan standar ‘Barat’, sejalan dengan diperlukannya pembuktian-pembuktian bahwa mereka ‘sudah cukup Barat’ untuk diterima. Permasalahan tersebut diangkat oleh Kevin Robins (1996:67) sebagai arogansi kultural dari Eropa, yang menuntut pengorbanan untuk menjadi ‘Barat’, meskipun Eropa percaya bahwa Turki tetap tidak akan bisa menjadi seperti mereka. Turki kemudian membuka dirinya pada ‘paksaan’ modernisasi ‘Barat’. Westernisasi menjadi sebuah jalan keluar dari ‘ketidakberadaban’ (uncivilized) agar dapat menjadi ‘beradab’ (civilized) seperti barat. Peniruan untuk menjadi ‘Barat’ dilakukan agar mendapat pengakuan dan penerimaan, sebagai bagian dari Eropa.
Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam perspektif makro, indikasi peniruan telah dilakukan oleh Turki untuk menjadi Eropa. Hasrat untuk menjadi Eropa terakomodir dalam peniruan yang menjadikan Turki hampir sama dengan ‘Barat’ namun tidak sepenuhnya sama. Sehingga tanpa disadari struktur sosial Turki mendukung peniruan sebagai sebuah strategi penerimaan—melawan dominasi ‘Barat’—agar tidak lagi menjadi ‘liyan’. Dalam konteks Jerman-Turki, peniruan kemudian, menjadi salah satu strategi untuk melawan strerotip, eksklusi, dan diskriminasi yang telah menyejarah. Berada di antara dua kebudayaan: Jerman dan Turki, memiliki ikatan keduanya dan tidak berniat untuk melepaskan salah satunya, membuat mereka melakukan upaya agar dapat diterima oleh keduanya. Mereka melakukan peniruan-peniruan agar tidak lagi menjadi ‘liyan’. Peniruan dan peminjaman berbagai elemen kebudayaan dilakukan agar dapat menyerupai Orang Jerman dan juga Orang Turki pada praktiknya.
Menguasai bahasa Jerman, menjadi salah satu contoh peniruan yang dilakukan oleh Jerman-Turki. Mereka mempelajari bahasa Jerman dari kecil, bahkan tidak hanya dari sekolah namun dari ranah domestik. Keahlian dalam berbahasa Jerman sangat penting dikuasai agar dapat diterima oleh masyarakat, agar terintegrasi dengan baik. Stereotip pekerja tamu Turki yang tidak bisa berbahasa Jerman, hanya mau berbicara dalam bahasa ibunya, enggan terintegrasi berusaha dilawan dalam peniruan ini. Bahkan beberapa Jerman-Turki memiliki aksen Jerman yang kental yang tidak bisa dibedakan dari orang Jerman pada umumnya. Meskipun demikian secara bersamaan, penolakan halus atas dominasi bahasa Jerman juga dilakukan oleh Jerman-Turki dengan cara tetap berbahasa Turki. Dalam ranah domestik, penggunaan bahasa Turki dilestarikan dan menjadi sebuah keharusan. Hal ini merupakan upaya untuk menjaga ikatan dengan Turki sebagai bagian dari diri mereka. Jerman Turki melakukan peniruan agar dapat menjadi seperti orang Turki. Bagi Jerman-Turki, ungkapan ekspresif seperti cinta dan marah lebih tersimbolkan dengan baik melalui Bahasa Turki daripada Bahasa Jerman. .
Salah satu peniruan lain adalah mengikuti German ways dengan meniru pola pikir Jerman yang berpendidikan, sistematis, terstruktur, tepat waktu, berpakaian terbuka dan tidak terlalu kaku dalam agama. Memiliki pendidikan yang layak, menjadi merupakan salah satu bentuk peniruan Jerman-Turki agar dapat menjadi seperti Jerman. Melalui sistem pendidikan Jerman, mereka dapat menempuh hingga di bangku universitas. Bahkan di Turkipun, Muhrat menjalani pendidikannya di sekolah Jerman di Istanbul. Status yang didapat melalui pendidikan ini membedakan mereka dengan Turki di Jerman yang bekerja kasar. Mereka melawan stereotip Turki yang tidak berpendidikan. Mereka berusaha membuktikan bahwa mereka berbeda dengan Turki dalam pembayangan streotip tersebut.
Kesimpulan
Kebijakan politik Kanselir Jerman Angela Merkel untuk ‘membuka pintu’ Jerman bagi para migran, pencari asilum dan pengungsi telah memberikan gelombang pendatang yang seakan tidak ada habisnya. Sebanyak 964.574 pencari suaka tiba di Jerman dalam waktu sebelas bulan di awal tahun 2015[9], sehingga dapat diperkirakan 1 juta migran, pengungsi dan pencari suaka telah tiba di Jerman pada awal tahun 2016. Hal ini membuktikan Jerman telah menjadi negara destinasi migran paling diminati nomer dua sedunia setelah mengalahkan U.K dan Kanada, mengambil posisi tepat di bawah Amerika Serikat.
Beriringan dengan hal itu muncul penolakan keras oleh masyarakat Jerman terhadap kebijakan tersebut. Hal ini terlihat dari kekalahan Angela Merkel di Berlin. Dilansir dari Surat Kabar Online Tempo[10], Partai politik yang berkuasa di Jerman, Kristen Demokrat Union (CDU), kalah oleh partai anti-Islam dan imigran pada pemilihan umum parlemen daerah di Berlin. CDU bertengger di posisi ketiga dengan hanya mendapatkan 19 persen dukungan. Posisi pertama adalah partai sayap kiri, Sosial Demokrat (SPD), yang mendapat 30 persen suara. Disusul dengan partai anti-imigran, Alternatif untuk Jerman (AFD) dengan 21 persen suara pada pemilu 4 September 2016 yang lalu.
Kemenangan partai anti muslim, dan anti migran di Jerman menunjukkan meningkatnya xenophobia dan islamphobia di kalangan masyarakat. Kekhawatiran dan penolakan dari masyarakat Jerman pada mulanya muncul atas dasar kegelisahan ‘perubahan permanen’ ke negara itu, hadirnya migran telah membuat ‘wajah’ Jerman berubah. Hal ini terlihat dari banyaknya toko Kebab di sudut-sudut Kota Jerman, wanita berjilbab di jalan, orang-orang berkulit sawo matang menaiki trem, Toserba Asia dan lain sebagainya. Selain itu, kekhwatiran terorisme, meningkatnya kriminalitas, tingginya angka pengangguran juga menjadi keprihatinan tersendiri.
Ketika melihat sejarah, kekhawatiran akan orang asing, terorisme, kejahatan, pengangguran, dan perubahan permanen sebenarnya telah dialami oleh masyarakat Jerman satu dekade lebih dan memuncak kembali pada tahun 2016. Kebijakan politik Angela Merkel, bukanlah pemicu pertama kali Jerman menerima satu juta ‘orang asing’ di negaranya. Hal ini sudah terjadi pada tahun 1955, ketika paska perang dunia II Jerman Barat merekrut ribuan guest worker dan gagal memulangkan mereka sehingga kebanyakan dari mereka menetap, melakukan reunifikasi[11] keluarga dan menjadi permanen migran. Salah satu kelompok migran terbesar di Jerman ialah Turki
Sejarah kedatangan Orang Turki di Jerman berawal dari pekerja tamu hingga kini menjadi migran, tidak lepas dari stereotip, permasalahan diskriminasi, eksklusi, dan keterasingan.Satu dekade telah berlalu sejak pekerja tamu yang berasal dari Turki menginjakkan kakinya di Jerman. Anak-anak mereka telah lahir di Jerman, belajar bahasa Jerman, mengampu pendidikan di Jerman, dan berusaha untuk terintegrasi dengan masyarakat Jerman. Istilah Jerman Turki kemudian muncul untuk mewakili keturunan yang lahir di Jerman, atau orang Turki yang bekerja di Jerman dan memiliki keterikatan terhadap Jerman.
Jerman Turki berada di tengah kompleksitas antara ‘Barat’ dan ‘Timur’, Jerman dan Turki, baik dan buruk, inklusi dan eksklusi. Mereka terjebak di antara oposisi biner, di representasikan sebagai ‘liyan’ karena tidak menjadi bagian dari keduanya. Stereotip mengeluarkan Jerman Turki dari tatanan ‘normal’ dan mengeksklusikan Jerman Turki dari masyarakat. Meskipun mereka memiliki ikatan dengan kedua kebudayaan, disaat yang sama mereka mengalami penolakan di Turki, dan diskriminasi di Jerman. Peniruan merupakan strategi Jerman-Turki di Freiburg untuk melawan strerotip, eksklusi, dan diskriminasi yang telah menyejarah. Melalui peniruan hasrat untuk menjadi seperti Jerman dan seperti Turki terakomodasi. Peniruan dan peminjaman berbagai elemen kebudayaan Turki dan Jerman dilakukan agar tidak lagi menjadi ‘liyan’. Dalam peniruan tersebut terjadi ambivalensi, yakni, tidak hanya terjadi peniruan, tapi juga penolakan dalam konteks ini Jerman- Turki tetap mempertahakan ke-Turki-an mereka. Hal tersebut memunculkan sebuah negosiasi yang dikatakan Bhaba sebagai ruang ketiga. Melalui ruang ketiga ini percampuran kultural terbentuk, menegosiasikan perbedaan, melenturkan batasan-batasan sehingga menghasilkan sebuah hibriditas Jerman-Turki.
Hibriditas Jerman-Turki ini menunjukkan bahwa mereka memiliki keberpihakan (sense belonging) kepada dua negara, yakni Jerman dan Turki. Sehingga dalam hal ini, identitas tidak lagi bisa di tempatkan dalam oposisi biner. Hal ini juga diungkapkan oleh Stuart Hall :
Orang yang dalam suatu aspek berbeda dengan mayoritas-‘mereka’ ketimbang ‘kita’—sering kali ditampilkan dalam bentuk representasi biner semacam ini. Tampaknya mereka direpresentasikan melalui sudut ekstrim yang sangat bertentangan, terpolarisasi, biner—baik/buruk, beradab/primitif, jelek/ menarik, menjijikan-karena-berbeda/menarik-karena-asing-dan-eksotis. Dan mereka sering kali harus menjadi kedua hal tersebut pada saat yang sama! (Hall, 1996 : 229)
Hibriditas Jerman-Turki memperlihatkan bahwa mereka bukanlah ‘liyan’ bagi masyarakat Jerman ataupun Turki. Mereka adalah keduanya. Mereka berada di antara ruang transnasional Jerman dan Turki.
Temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa kegelisahan Jerman akan ‘orang asing’ perlu dikritisi kembali. Kewarganegaraan kemudian tidak bisa sepenuhnya menjamin seseorang dapat diterima secara kultural sebagai anggota dari sebuah negara. Siapakah sebenarnya yang dimaksud dengan ‘orang asing’? karena sebenarnya segala bentuk hibriditas hadir dari sebuah bentuk budaya yang telah hibrid. Sehingga kita seharusnya tidak terjebak dalam representasi biner tentang ‘kami’ dan ‘mereka’, tentang siapa yang berhak dan tidak berhak menjadi warga negara.
Daftar Pustaka
Barker, Chris . 2016,Cultural studies: Teori & Praktik. Yogyakarta; Kreasi Wacana,
Bhaba, Homi K. 1994 The Location of Culture: Routledge.
Bienarcki dan Waldrof. 1981 .“Snowball Sampling Problems and Technique of Chain Referall Sampling” journal sociological methods & research, Vol. 10 No. 2. November 141-163 Sage Publications, Inc.
Hall, Stuart, and Paul du Gay. 1996 .Questions of Cultural Identity: SAGE Publications.
Kaya, Ahyan. 2007. German-Turkish Transnational Space: A Separate Space of Their Own. German Studies Review, Vol. 30, No. 3 (pp. 483-502 Published by: on behalf of the The Johns Hopkins University Press German Studies Association.
Mandel, Ruth. 2008. Cosmopolitan anxieties: Turkish challenges to citizenship and belonging in Germany. Duke University Press.
Malinowski, 1992. Bronislaw.Malinowski and the Work of Myth. Princeton University Press.
Silverstein, Paul.A. 2005. Immigrant Racialization and the New Savage Slot: Race, Migration, and Immigration in the New Europe . Source: Annual Review of Anthropology, Vol. 34 (2005), pp. 363-384.
Spradley, James P. 2007 Metode Etnografi . Tiara Wacana :Yogyakarta.2005
Woodward, 1997. Kathryn.Concept of Identity and Difference. In Identity and Difference. London, Thousand Oaks, New Delhi: Sage, 7-62.
Karim. 2009. Cinta Lintas Budaya : Sebuah Dinamika Kehidupan Di Antara Dua Identitas (Studi tentang Kawin Campur di Kota Yogyakarta dan Freiburg, Jerman), Fakultas Ilmu Budaya UGM. Skripsi.
Media Online
Bloomberg. Germay Top Migration Land After U.S in New OECD Ranking, http://www.bloomberg.com/news/articles/2014-05-20/immigration-boom-propels-germany-past-u-k-in-new-oecd-ranking. 2014 [diakses 2 Juni 2016]
Express. Germany Accepts ONE MILLLION migrats this year after Merkel throws open door, http://www.express.co.uk/news/world/625066/Germany-migrant-crisis-Angela-Merkel-Syria-refugees-influx. 2015 [diakses 5 Desember 2015]
Spiegel. The Rise of German’s New Right, http://www.spiegel.de/international/germany/refugee-crisis-drives-rise-of-new-right-wing-in-germany-a-1067384.html. 2015 [diakses 9 Februari 2016]
Tempo. Pemilu Parlemen, Partai Merkel Kalah oleh Partai Anti Islam, https://dunia.tempo.co/read/news/2016/09/05/117801758/pemilu-parlemen-partai-merkel-kalah-oleh-partai-anti-islam 2016 [diakses 4 Oktober 2016]
[1]Alex Webb, “Germany Top Migration Land After U.S in New OCD Ranking” , diakses dari http://www.bloomberg.com/news/articles/2014-05-20/immigration-boom-propels-germany-past-u-k-in-new-oecd-ranking
[2] Rebecca Perrig, “Germany Accept ONE MILLION Migrants This Year After Merkel Throws Open Door” diakses dari http://www.express.co.uk/news/world/625066/Germany-migrant-crisis-Angela-Merkel-Syria-refugees-influx
[3] Melanie Aman dkk, “The rise of Germany New Rights” diakes dari http://www.spiegel.de/international/germany/refugee-crisis-drives-rise-of-new-right-wing-in-germany-a-1067384.html
[4] Penyatuan kembali
[5] Penulis memberikan contoh lain, lebih jelasnya dalam istilah Black American menerangkan kata sifat, variasi dari Orang Amerika yang berkulit hitam.
[6] Mandel, 2006: 181
[7] Etnografi, ditinjau secara harafiah, berarti tulisan atau laporan tentang suatu suku bangsa yang ditulis oleh seorang antropolog atas hasil penelitian lapangan (field work) selama sekian bulan atau sekian tahun. Sehingga kemudian istilah etnografi mengacu pada metode penelitian untuk menghasilkan laporan tersebut (Marzali dalam Spradley 2007:vii)
[8] Terjemahan : Disini (Jerman), mereka memanggilku orang asing, di Turki mereka memanggilku Almanya.
[9] http://www.express.co.uk/news/world/625066/Germany-migrant-crisis-Angela-Merkel-Syria-refugees-influx
[10] https://dunia.tempo.co/read/news/2016/09/05/117801758/pemilu-parlemen-partai-merkel-kalah-oleh-partai-anti-islam pada 10-4-16 , 10:52
[11] Penyatuan kembali
0 notes
Text
daftar Sabung Ayam Terkuat Judi Online Indonesia
list Sabung Ayam Terkuat Judi Online Indonesia Judi Sabung Ayam Online sanggup digambarkan tipe ayam aduan terpopuler di Indonesia seperti bagi gambar diagram perputaran dibawah buat tabel perputaran itu, 4 ayam terpopuler yang merupakan sabung ayam yaitu ayam bangkok jadi area pertama dan selanjutnya disusul ayam birma/burma/myanmar/pama, ayam vietnam/saigon, dan ayam thailand/bangkok asli/bangkok F1/import. Judi Sabung Ayam Online type yang lainnya ada di bawah yakni ayam philipina/philipin, ayam jepang/shamo, dan ayam brazil/brazilian. Data diagram perputaran di samping seharusnya lebih persisnya untuk menggambarkan persentase keingintahuan penggunjung di internet bagi beberapa jenis sabung ayam. Judi Sabung Ayam Online misalkan ayam birma yang baru booming dua tahun lebih paling akhir ini ternyata kepada penasaran konsumen internet pada ketahuinya hingga datanya lebih tinggi semenjak ayam vietnam dan ayam thailand. sebaik-baiknya ayam birma yg baru akhir-akhir ini saja booming di Indonesia pula terus lebih kecil persentasenya dibanding ayam thailand dan ayam vietnam yang telah kembali lebih duluan. demikian lagi bersama Judi Sabung Ayam Online thailand, yang kadang tersamarkan oleh memiliki bentuk yang sama dgn ayam bangkok, hingga banyak ayam thailand ori kesambet (F1 � F begitu diakui menjadi ayam bangkok. Di google ayam thailand tambah tersamarkan oleh pemakaian kata ayam bangkok ori hingga terlacak jadi ayam bangkok dan bukanlah ayam thailand. dikarenakan ayam thailand tersamarkan menjadi data ayam thailand disangka memang begitu semakin gede semenjak ayam vietnam dan ayam birma, hingga diposisikan menjadi letak kedua ayam bandingan terpopuler. Ayam Bangkok menjadi Ayam Terpopuler Ke-1 Ayam bangkok semenjak dulu hingga disaat ini berulang terus tempati ruang paling atas paling disukai di Indonesia. seluruh susunan beberapa orang beternak dan menampilkan ayam bangkok ini. masih segenap group baik kelompok pinggir hingga group permintaan atau group atas paling banyak memakai ayam bangkok ini. Ayam bangkok sebenarnya ayam thailand yg tersebar ke area asia dan termasuk juga Indonesia pada ke 16-17. di Indonesia ayam itu umum dinamakan ayam bangkok (nama ibu kota thailand), sejenak di area beda seperti jepang mengatakannya ayam siam (bhs jepang : shamo). Judi Sabung Ayam Online berkemungkinan ayam bangkok telah bergabung dan kawin palang dengan ayam lokal umpamanya ayam kampungan dan tipe ayam yg lain, sampai strain ayam bangkok sudah tidak semurni strain ayam thailand. dikarenakan itu nyaris dalam seluruhnya persyaratan, ayam bangkok biasanya di bawah ayam thailand, baik awal sektor kerangka tubuh tulang, tehnik, kecepatan mental dan takaran type Ayam Thailand Terpopuler Ke-2 Ayam thailand, Thai�s cock, yakni �kembaran ori permulaan ayam bangkok. Penampilannya umumnya begitu serupa cuma saja ayam thailand rata-rata mempunyai rangka tubuh yang lebih padat dan menikam tulang yang semakin akbar badan lebih panjang, takaran badan biasanya satu stadium makin akbar semenjak sabung ayam bangkok, dgn kiat dan kecekatan yg semakin keren tidak cuma itu ayam thailand ikut punya mental yang tidak gampang menyerah diwaktu berlomba yang melebih ayam bangkok. Ayam thailand ialah ayam terbaik bagi ayam aduan dibanding ayam bangkok, ayam vietnam dan ayam birma. Ini karena ayam thailand mempunyai kesemestaan partikularitas yg lebih komplit mulai sejak mulai sejak fisik, tulang, tehnik, gaplokan kecerdasan dan mental yang seluruhnya termasuk keren Ayam Vietnam Ayam Tepopuler ke-3 Ayam vietnam, ayam saigon atau ayam plontos adalah ayam yang telah populer di Indoensia sejak sejak mulai 1 � 2 dekade yang kemarin Ayam vietnam pula telah terkenal lama di Thailand, dan kiranya thailand yang menyundut dan kepada menjadi ayam vietnam ini pupuler. kelebihan ayam vietnam adalah bagi rangka tubuh yang tidak tidak tebal dan meyakinkan tulang yg gede berterima dan kuat Namun mempunyai borok ialah gerakan lambat dan langka taktis. Mental ayam saigon vietnam ini pula bagus sama terus dgn ayam thailand yang tidak gampang menyembah disaat bertarung Support badan dan tulang yang tak tidak tebal dan sah untuk ayam ini lebih kebal tahan jam dan memiliki pukulan asi dibanding ayam imbangan jenis yang lain. Ayam Birma jadi Ayam Terpopuler Ke-4 Ayam birma, ayam burma, ayam myanmar atau pama yaitu sabung ayam yang baru populer dua thn lebih akhir-akhir ini. Ayam ini jadi terkenal lantaran dapat menyeimbangi dan kadang melalap ayam thailand di negara thailand spesial kepada takaran yang kecil ukuran ayam birma ori termasuk juga pun mungil 2 � 2, 5 kg dan bertulang kecil akan sekalipun memiliki kecerdasan dan kelicikan lebih semenjak ayam thailand. terkecuali itu ayam birma ikut ayam yg bermental tidak mudah tunduk seperti ayam thailand dan ayam saigon. Situs-situs di thailand mengemukakan ayam birma bersama arti ayam burma goyang tari, ayam yang cerah atau ayam licik dan genius. Ayam birma yg masuk ke Indonesia lewat thailand Judi Sabung Ayam Online keliatannya sudah yaitu ayam birma uprade dgn ayam thailand atau ayam saigon vietnam. tampilan fisiknya sudah lumayan akbar mendekati 3 kg, bulu sudah tampak menarik penampilan sudah jelang ayam bangkok atau ayam thailand, dan semakin menjauh bermula penampilan ayam birma ori yang lebih serupa dengan ayam pedalaman http://www.pearltrees.com/chapmanbruun04
0 notes
Text
Wacana Sepak Bola Online 04 Mei 2017
walaupun pertimbangan menunjang lantaran Dahono adalah tulang punggung kelompok. Atas syarat JPU itu, Dahono dan Maryani menyebut dapat ajukan pledoi melalui penasihat hukumnya yg dibacakan Rabu (30/9) akan datang. "Kita membujuk dikala bagi mencari ilmu benda fakta lalu, ucap penasihat undang-undang ke-2 terdakwa , Miftakhul Huda. menyikapi jemputan itu, JPU menyebut terlalu berat. Alasannya, sepanjang jemaah dulu pihak beskal sudah memberi tahu benda kenyataan di hadapan majelis sepak bola.
sensor kenyataan itu semula senantiasa dilakukan dgn terdakwa dan hak hukumnya. Namun majelis yg diketuai Barita Saragih mempunyai opini tidak serupa. dirinya mengijinkan wenang undang-undang terhadap mengecek benda kenyataan dekat persoalan ini. memang begitu memang lah telah diperlihatkan dengan cara total. Tapi sebab ini kuasa terdakwa dan penasihat undang-undang, ana izinkan," papar Barita. pemerintah majelis pengadil lagi membebaskan penasehat peraturan membawa benda fakta di panitera pengganti. Baca artikel ; Kekalahan Pertama Semen Padang Melawan Bali United.
perkumpulan propinsi asosiasi Sepak Bola seluruhnya Indonesia Nusa Tenggara Barat (Asprov PSSI NTB) menginginkan wacana penguasaan melakukan arena lapang sepak bola di tiap-tiap desa mampu terpenuhi dekat rangka menggairahkan bidang persepakbolaan. Kami semua menantikan acara tunggal desa tunggal arena lapang itu memang tertubuh, kata Sekretaris mendunia Asprov PSSI NTB, Muhazam Fadly, Kamis (4/5). menjelang laki-laki kelahiran Lombok Barat 31 Desember 1967 ini, media arena lapang di dusun desa dapat motivasi penduduk, terpenting anak-anak jejaka bagi main sepak bola.
dgn memasyarakatkan pula sepak bola paling utama di kampungan desa di harapkan dapat unjuk calon-calon pemain paling baik yg sanggup beradu di stadium nasional sampai umum. Muhazzam berulang menyorong ketua negara mengawal wacana ketua pusar mengeluarkan arena lapang di tiap-tiap desa. makin telah ada Lembaga cowok dan sport (Dispora) di stadium propinsi dan kabupaten/kota. sekarang ini telah ada Dispora. aku menginginkan Instansi baru termasuk dapat merangkul bola ke udel tercantol bersama dana-dana pembinaan latihan jasmani, khususnya sepak bola," katanya.
dirinya mengemukakan, keadaan arena lapang sepak bola di NTB tambah butuh meraih sinaran percaya lantaran sampai ketika ini belum ada arena lapang berstandar nasional. NTB telah mempunyai pejabat sport (GOR) 17 Desember di Turida, Kota Mataram, yg tidak jarang difungsikan bagi kontes sepak bola nasional. Namun, permulaan sudut populer pun belum patut kepada menghadirkan kejuaraan bermartabat selevel kesatuan 1. keadaan regular arena lapang sepak bola di Ibu Kota NTB saja seperti itu, justru di kabupaten/kota yang lain, ujar Muhazzam.
seterusnya semenjak PSIS Semarang membabat Sragen United dgn score 2-1 pada sambungan pertandingan group IV aliansi 2 Indonesia 2017. perkelahian digelar di gelanggang Jatidiri Semarang, Jawa kembali, Kamis (4/5). Sragen United terkabul melakukan pencurian gol malahan dulu lewat ceker Andrid martabat bagi tahap awal. memakai kejelekan antisipasi pemain buntut PSIS, Andrid terlaksana menjabarkan tembakan ke gawang Awan Setho Raharjo. kelebihan terselip tak berkukuh lawas sesudah M.Ridwan melesakkan gol ganjaran ke gawang Sragen Unites tujuh menit kemudian.
menggunakan sasaran alamat sayap, Ridwan berhasil melesakkan bola ke gawang Andi Setiawan. level perdana berhenti dgn score serupa terang 1-1. ikut-ikutan level ke-2, PSIS lebih berikhtiar mengambil permainan guna langsung menempa gol. konvensional Jatidiri pernah berteriak-teriak kala Johan Yoga melesakkan gol ke gawang Sragen United kepada menit ke-68. pengertian, gol tersimpul dianulir penengah dikarenakan Johan telah untuk letak offside. PSIS berhasil mengungsikan tiga molekul sesudah M.Yunus melesakkan gol buat menit ke-79.
awal mulai sejak tendangan leluasa, Yunus berhasil membentuk gol sesudah pernah berjalan keributan di depan gawang. petunjuk Sragen United, Jaya Hartono bubar kejuaraan mengaku kecewa dgn kepemimpinan pengadil. bakal ia, tendangan lepas yg selanjutnya menyajikan gol guna PSIS mestinya tak berjalan. pendamai blunder, awak curiga mengapa PSIS bisa tendangan lepas, jelasnya. Sementara, penuntun PSIS Semarang, Subangkit telah mengukur kontes bakal terjadi seru.
makin, anak asuhnya dikejutkan oleh gol serentak, Andrid martabat. Namun, lanjut ia, faktor tersimpul mampu diperbaiki terhadap langkah ke-2. level ke-2 permainan anak-anak lebih impresif maka mampu mengambil kegemilangan, kata Subangkit. PSM Makassar menyelindungkan minggu keempat koalisi 1 2017 yang merupakan tim pamuncak classement sementara. Kesebelasan berjuluk Ayam satria permulaan Timur itu, jadi penguasan sambungan bikinan tanding, sesudah berjaya sudah pergulatan tandang menandingi Perseru Serui, Kamis (4/5).
0 notes
Text
Hidup Adalah Perjuangan (Tanpa Henti) - Bagian 1
Aku nulis post ini dalam rangka Hari Buruh, 1 Mei 2017. Ada apa dengan Hari Buruh dan kenapa aku merasa harus banget “ikutan berisik” mengenai Hari Buruh padahal mungkin semua teman-teman (termasuk aku) sedang berlibur?
Pertama, karena aku merasa aku bagian dari buruh.
Sumber: IG @purplerebel
Buruh dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapatkan upah. Jadi, siapa saja buruh itu? Aku, kamu, pembantumu, sopir angkot, driver gojek, bosku, bosmu, manajerku, dan juga manajermu. Bisa dibilang semua orang yang mendapatkan uang dari orang lain dengan memberikan produk atau jasanya itu buruh kali, ya?
Nah sekarang masalahnya apa? Terus kenapa kalau kita semua buruh? Toh tidak ada yang benar-benar peduli selama masih dapat gaji layak, makan enak dan hidup nyaman.
Kalau malas baca mengenai sejarah Hari Buruh gapapa, aku singkatin aja deh. Hari Buruh yang jatuh pada 1 Mei setiap tahunnya di berbagai bagian negara adalah salah satu perlambangan dari perjuangan buruh pada tahun 1886 di Amerika Serikat. Yang mereka perjuangkan adalah pengurangan jam kerja menjadi 8 jam kerja per harinya.
Jadi bagi temen-temen yang sedang merasakan kerja 8 jam/hari, ini adalah privilege (hak istimewa) yang teman-teman dapatkan secara cuma-cuma dari kerja keras buruh-buruh jaman dulu.
Sudah mengerti maknanya? Jadi mulai sekarang, bisa dong ngurang-ngurangin porsi take it for granted? :)
Masalah barunya adalah, banyak di antara kita yang jam kerjanya meningkat dari 8 jam/hari menjadi 10 bahkan hingga 12 jam/hari. Dibayar? Tidak. Paket hemat, sis. Digaji lebih dari UMR, bukan berarti kamu bisa kerja hanya 8 jam/hari dan bisa menikmati libur dalam damai. Weekend diganggu bos, pulang kerja dihubungi atasan, bahkan sedang sakit saja masih dititipin buat presentasi. Ada yang sudah mulai ‘melek’ sampai sini?
“Ga bisa begitu, gajiku termasuk besar di antara teman-teman yang lain. Mana bisa sembarangan begitu? Tanggung jawabku besar, jadi lembur begitu sudah jadi bagian dari kewajiban.”
Datang tepat waktu itu kewajiban, pulang tepat waktu itu hak. Syukur-syukur kalau kita memang menjalankannya dengan ikhlas karena bos kita emang pengertian. Nah, gimana nasib teman-teman lain yang sudah lembur, diomelin, ga dapat gaji tambahan, malah jadi semakin stress pula? Apakah sepadan?
Belum lagi resiko sakit karena terlalu lelah bekerja. Bayar rumah sakit mahal. Kalau sampai masuk rumah sakit, gajimu saja belum tentu bisa menutup biaya berobat. Jangan bahas soal BPJS Kesehatan, ya kalau belum coba sendiri rasanya antri untuk penanganan pasien BPJS Kesehatan di RSCM.
Selain itu, ada hal lain juga yang menjadi perhatianku. Kali ini adalah soal kelas menengah ngehe. Pasti sudah sering denger istilah ini dong?
Hapus deh kata “ngehe”-nya karena ga enak didenger. Kesannya nuduh banget kalau kelas menengah itu pasti ngehe. Padahal ada banyak kok teman-temanku yang kelas menengah tapi ga gitu.
Saat ini para buruh ada “kasta”nya; kelas bawah, menengah dan atas. Yang turun ke jalan, demo itu digolongkan ke kelas bawah, diasosiasikan dengan kebodohan, tukang ngerusak, kemalasan, ga tau diri, ga tau diuntung dan berbagai hal buruk lain yang bisa kamu bayangkan. Sedangkan kelas menengah adalah golongan yang dipandang sebagai golongan yang tau banyak hal tapi tidak mendalam, banyak ngomong, protes sana sini tapi maunya enak aja. Yang terakhir kelas atas, golongan-apa-pun-yang-terjadi-yang-penting-duit-masuk-terus-yay.
Kelas menengah ini jadi highlightnya kalau menurutku. Kenapa? Karena kelas menengah ini adalah golongan orang-orang yang berhasil keluar dari kemiskinan atau cukup beruntung untuk tidak perlu mencicipi rasanya kerja kasar seperti kelas bawah. Meski belum bisa santai kayak di pantai ala kelas atas.
Selain itu, pertumbuhan pendapatan kelas menengah di Indonesia cukup pesat jika dilihat dari kebiasaan berbelanjanya. Maka dari itu, aku membahas kelas menengah di sini.
Kelas menengah menurutku adalah orang-orang yang menikmati cukup banyak (bahkan mungkin bisa dibilang banyak sekali) privilege. Privilege dalam hal kemampuan berpikir; biasanya kelas menengah ini terlahir dengan IQ yang cukup tinggi, dikelilingi orang-orang (teman, relasi dan juga orang tua) yang berwawasan (atau mungkin lebih bijaksana?) dan memiliki akses pendidikan yang layak. Gak heran jika orang-orang ini bisa lolos dari jeratan kemiskinan. Selanjutnya adalah privilege dalam hal finansial; ga perlu kerja banting tulang sambil sekolah karena uang keluarga sudah cukup untuk membiayai keperluan sekolahnya, tidak perlu langsung kerja begitu lulus sekolah karena dapur di rumah masih ngebul meski anaknya belum bisa menghasilkan uang.
Nah, sisanya cek sendiri deh privilege apa saja yang sudah kamu rasakan; baik yang kamu sadari atau kamu take it for granted.
Pada saat ini, simpati kelas menengah inilah yang sedang diuji. Menurutku, kelas menengah memiliki kemampuan untuk berpikir kritis yang baik, makanya bisa protes berbagai hal. Dengan segala privilegenya, idealnya kelas menengah ini bisa dijadikan role model (panutan) bagi “kelas bawah”.
Namun, gimana mau jadi role model? Lihat gadget terbaru launching aja sudah langsung bergegas beli. Padahal kalau dipaksa cicil, gaji ngepas banget. Tapi masih ada aja yang di saat bersamaan berkomentar sinis mengenai buruh beli motor mewah. Sama-sama duit ngepas, kan? Sama-sama memaksakan untuk memiliki barang yang tergolong mewah, kan? Kok malah nyindir orang lain?
Double standart
Sumber: poskotanews.com
Double standart itu hal yang sangat sering terjadi secara tidak disengaja. Masih belum nangkep apa yang kumaksud? Nah kalau contoh kasus berikut ini seharusnya bisa lebih membuka mata teman-teman..
“Politik itu kotor” -- “Gak semuanya, bro. Ahok bersih kok” “Sekelompok buruh ada yang bakar bunga papan Ahok” -- “Buruh demo goblok! Ngapain bakar-bakar bunga papan Ahok? Emang dasar pantesnya jadi jongos selamanya!”
Relate? Maunya ga di-generalisir tapi, hobinya meng-generalisir. (Oh ya, tolong jangan disangkut pautkan dengan pilihanku saat PilGub Jakarta kemarin, ya). Contoh di atas adalah double standart yang menurutku paling nyata dan pastinya belum kita lupakan (iya, aku mengamati FB post teman-teman FB-ku).
Kurangnya empati dan simpati
Pernah ga sih membayangkan kalau kita terlahir di lingkungan yang kurang beruntung? Dilahirkan di pinggir rel kereta, dikelilingi kerabat (orang tua, tetangga, teman) yang tidak memiliki pengetahuan yang cukup, tidak punya cukup uang untuk mendapatkan akses pendidikan dan terus didikte untuk cari uang, uang dan uang karena kita tidak bisa hidup tanpa uang. Udah gitu, digusur pula.
Pernah ga sih lanjut membayangkan kalau kita harus melewati hari-hari menjadi “orang kampungan” yang punya tv aja sudah mewah, hiburannya setiap hari hanya nonton sinetron, kerjanya jadi petugas kebersihan di mall yang setiap hari membersihkan sampah sisa makanan dari kelas menengah?
Pernah ga sih sampai kebawa ngimpi kita menjadi orang yang bergaji ngepas UMR, tapi harus menghidupi keluarga sampai-sampai mau nabung untuk bisa les bahasa inggis saja tidak bisa?
Setiap kali aku ajak teman-temanku mikir seperti ini, pasti ada aja ngelesnya. “Oh kalo gue sih pasti bisa! Semangat untuk berubah gue tinggi kalo begitu!”.
Orang yang dimanjakan berbagai privilege aja ga mau repot untuk mengerti lebih lanjut mengenai apa yang dia benci. Apalagi kalau ga punya privilege? Pasti maunya hal yang lebih simple lagi, kalau perlu, jalankan yang ga usah mikir tapi pasti ada hasilnya.
Negative thinking banget, ya? Oke maafkan kalau begitu. Nah aku kasih quote ini aja, “You can't understand someone until you've walked a mile in their shoes”. Boleh kan?
Nah ini adalah hal pertama yang ingin disampaikan. Semua tulisan ini tidak ada maksud untuk menydutkan, membenci, mencaci, menggurui dan lain-lain. Mohon maaf juga jika tulisan ini tidak didukung dengan berlimpahnya link berisikan sumber yang valid karena keterbatasan waktuku saat ini.
Aku juga minta maaf jika ada di antara teman-teman yang tersinggung saat membaca satu, dua atau semua kalimat yang ada di post ini.
Karena aku juga pernah ada di posisi seperti teman-teman yang lain; di mana aku menyepelekan demo, ngata-ngatain pendemo sebagai orang malas dan sebagainya. Namun, dengan membaca, bertukar pikiran dengan teman-teman yang mengerti tentang perjuangan buruh dan dengan menggunakan jalur berpikir ini lah aku sedikit lebih paham dan bersimpati terhadap teman-teman lainnya.
Semoga tulisan ini bisa membuka sedikit rasa empati dan simpati teman-teman; bahwa ada kelompok lain yang memiliki sudut pandang, pengalaman dan nasib yang berbeda dengan kita. Semoga kita semua bisa menghargai privilege yang didapatkan dan memanfaatkan sebaik-baiknya untuk kepentingan bersama. Sekalian juga untuk terus mengingatkan diri sendiri untuk tetap berempati terhadap orang yang berbeda denganku.
Akhir kata, aku mau mengutip salah satu kalimat indah dari Pramoedya Ananta Toer,
“Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan.”
P.S hal kedua dan selanjutnya akan dituliskan di post berikutnya (yang entah kapan aku bisa tulis lagi. Semoga bisa dalam waktu dekat).
P.S.S Aku juga belom adil-adil amat, jadi silakan kalau mau comment atau mengingatkan untuk tetap adil :) *Ini tulisan yang sudah diedit karena pas nulis pertama kali udah kayak orang mabok. Nampak lebih baik sepertinya.*
0 notes
Photo
Dalam agama apapun pasti ada ekstrimis. Penanda kelompok ekstrimis ini seragam. Mereka sangat gemar menggunakan kata HARUS. Mereka memuja Tuhan yang pemarah dan pendendam. Mereka yakin sekali bahwa yang mereka yakinilah yang paling benar. Mereka memiliki toleransi rendah terhadap kelompok/sekte/aliran/agama lainnya. Mereka suka menjelekkan pihak-pihak yang tidak sealiran dengan mereka. Di Bali, ada seorang yang mengaku raja dan sangat sering menggunakan jargon antipati pada "dauh tukad", seolah-olah orang Hindu hanya berada di satu pulau saja. Level tolol dan kampungan yang sangat luar biasa mengingat yang bersangkutan sangat membanggakan gelar Doktornya. Jangan mau diajak ikut-ikutan untuk menjadi pembenci dan berprilaku intoleran.
0 notes
Text
Sweeping Buku Terus, Sweeping Kebodohan Sendiri Kapan?
By Khadafi Ahmad Posted on 4 October 2016
Penyitaan buku oleh aparat terjadi lagi. Mereka telah kembali. Tepuk tangan semuanya.
Beberapa minggu ke belakang, di kota Bandung (iya, Bandung yang kata walikotanya kota HAM itu lho) sempat terjadi ajang penyitaan buku oleh pihak yang “berwenang”. Korbannya: kelompok muda-mudi yang menginisiasi perpustakaan jalanan.
Mereka dianggap aparat membuat kegiatan yang mengkhawatirkan. Mungkin menurut mereka, muda-mudi main-main di taman itu harusnya pacaran, bukan malah buka perpustakaan jalanan. Bahkan karena sempat alot situasinya, jam malam pun sempat diberlakukan.
Dari kota Bandung, kali ini Jakarta yang kena. Adalah empat Warga Negara Malaysia yang ikut serta memeriahkan acara Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) dalam pameran buku di Jakarta Covention Center (JCC), Jakarta Pusat beberapa hari silam.
Buset, padahal ini acara internasional, tapi mental negara ini memang sedikit kampungan sih. Keempat kawan-kawan Upin-Ipin tersebut pun mendadak harus berurusan dengan isilop.
Pihak isilop mempermasalahkan dan menyita 6 buah buku berlogo palu arit terbitan salah satu penerbit Malaysia. Mungkin menurut bapak-bapak isilop yang terhormat itu buku tersebut tidak jauh dari syarat sah, syarat wajib, sampai rukun mutlak bagaimana melakukan kudeta, menculik tujuh jenderal bintang empat di Indonesia, sekaligus tutorial menjadi atheis yang kejam dan anti agama.
Saya awalnya pernah tidak sependapat dengan beberapa survei yang mengatakan bahwa minat baca negeri ini rendah. Sebab dulunya saya yakin, keterbacaan yang dimaksud bukanlah harus berarti “membaca buku”. Kalaupun itu berarti membaca buku, saya juga tidak sepenuhnya yakin, karena tidak semua daerah memiliki tingkat minat membaca yang seragam.
Overgeneralisir, pikir saya waktu itu.
Saya bekerja di perbukuan. Dan saya tahu betul bagaimana minat baca negeri ini masih jauh jika dikatakan ada di titik terendah. Sayangnya, beberapa kejadian di atas benar-benar membantah apa yang selama ini saya yakini.Tetapi saya jadi tahu apa sebabnya. Survei ini, mungkin dilakukan di kantor-kantor isilop atau ke kelompok-kelompok massa garis keras anti kuminis.
Saya tidak sembarangan bicara. Beberapa bulan silam, saya pernah berurusan dengan orang-orang model begini (baca: ormas anti kuminis). Pemicunya sih bisa ditebak, waktu itu saya dan beberapa kawan-kawan bersiap menyelenggarakan acara peluncuran dan diskusi buku biografi Dipa Nusantara Aidit.
Yah, sudah barang tentu kantor kami didatangi beberapa ormas jagoan yang menginginkan satu hal sepanjang hari: acara harus batal! Ora ngerti urusane, pokoke kudu bubar kabeh acarane!
Membatalkan acara memang tidak mudah. Apalagi waktu itu penulisnya sudah dalam perjalanan dari Jakarta menuju Jogja, undangan dan poster pun sudah kami sebar. Masak hanya gara-gara orang-orang yang tidak kami kenal terus main ancam-ancam di kantor kami, kami harus membatalkan acara di tempat kami sendiri?
Pada akhirnya saya menawari satu hal:
“Begini saja, Pak, kalau Bapak khawatir soal isi diskusinya, Bapak dan rekan-rekan lain kami persilakan untuk hadir juga sebagai peserta biar tahu secara langsung seperti apa kegiatannya.”
“Oh, ndak bisa, Mas. Pokoknya acara harus batal,” kata mereka masih dengan nada keras.
Saya pun mencoba mendekati pimpinan ormas ini, yang kebetulan juga datang menggrebek.
“Yawis, Pak. Gini aja. Kalau Bapak tidak mau jadi peserta, gimana kalau Bapak saya tawari jadi pembicara juga? Nanti saya sediakan tempat kalau Bapak bersedia.”
Saya menawarinya sebagai pembicara bukan tanpa pertimbangan. Itu artinya saya menghormati kehadiran beliau sebagai seorang pemimpin ormas. Dalam artian saya menghargai pemahaman dia soal pendapat bahwa Aidit ini tidak layak dibicarakan, ditulis, dan dibaca. Dan dengan begitu, saya juga yakin diskusi akan menarik. Tapi Anda tahu apa jawabannya?
“Wah, jangan saya, Mas. Saya ini ndak suka baca-baca je…”
Oalah, Jose Mourinho!
Lha, kalau ndak baca, gimana situ bisa tahu kalau isi buku yang akan dilaunching ini berbahaya atau tidak? Bagaimana bisa tahu kalau ada buku yang ada gambar palu aritnya berarti itu artinya membahas kuminis atau tidak? Bagaimana kalau ternyata ini adalah buku tentang bagaimana mencari pakan sapi yang benar serta tutorial membuat kandang sapi yang kokoh tanpa pengawet?
Kalau ndak suka baca buku, kenapa malah situ yang punya wewenang untuk menilai buku mana yang layak dibaca dan mana yang tidak?
Ini kan blas nggak lucu. Kayak Ahmad Dhani saja situ, jadi juri lomba nyanyi padahal nggak bisa nyanyi. Okelah, saya masih bisa memahami bagaimana masih paranoidnya kebanyakan orang Indonesia dengan logo palu arit, warna merah sampul buku, atau foto Aidit. Suka atau tidak, fakta tersebut memang bukan suatu hal yang bisa disalahkan begitu saja.
Situ tahu sama tahulah kalau yang dibutuhkan negeri ini adalah genosida trauma imajinasi betapa kejamnya kuminis—terutama juga orang-orang yang hanya mau belajar tentangnya.
Yah, sebab, harus diakui, Jenderal-Piye-Penak-Jamanku telah berhasil menciptakan senjata terkuatnya. Senjata yang tak akan lekang oleh zaman sekalipun wacana pembanding sudah bermunculan di mana-mana. Senjata itu: RASA TAKUT.
Isilop maupun ormas yang sangat rajin grebekan ke acara apapun yang ada bau-bau palu dan arit tidak datang atas dasar ketuhahanan, peraturan undang-undang, atau bahkan ketaatan mereka akan Pancasila kok.
Mereka datang atas dasar rasa takut yang lahir karena mereka merasa bahwa jika “musuh” diberi tempat, maka kehidupan mereka akan hancur dan keluarga mereka tidak akan terselamatkan.
Ini bukan sesuatu yang mengejutkan. Menteri Propaganda NAZI pada periode akhir Perang Duna II, Joseph Gobbles, yakin betul kedatangan tentara merah Soviet di gerbang kota Berlin pada Mei 1945 bukanlah sesuatu yang betul-betul mengerikan.
Gobbles dan istrinya lebih takut akan ideologi kuminis yang ada di belakang tentara musuh dan nanti akan menggerogoti anak-anak serta keturunannya. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana keturunannya nanti akan merasakan ngerinya kekuasaan kuminis Soviet.
Pada akhirnya ia melakukan apa yang rata-rata dilakukan petinggi NAZI: bunuh diri.
Tapi ia tidak ingin cari “selamat” sendiri, ia juga membawa seluruh keenam putra-putrinya dalam kematian dengan memberi hadiah pil sianida satu per satu. Dan tak lama setelah seluruh anaknya mati, Gobbles bersama istrinya kemudian turut bunuh diri setelah sebelumnya berpesan kepada pengawalnya agar mayat seluruh keluarganya dibakar sampai jadi abu.
Gobbles mungkin gila. Tapi siapapun akan jadi gila kalau ketakutan sudah begitu hebat menguasai. Bahkan ketakutan dalam hal-hal remeh sekalipun. Ketakutan akan memunculkan reaksi bertahan hidup. Dan cara apapun untuk mengatasinya, akan dianggap sebagai hal lumrah saja.
Mengutip argumentasi Gus Ahmad Sahal di “Islam, Maaf, dan PKI” di kolom Tempo 16 tahun silam, saya juga meyakini bahwa orang-orang yang begitu takutnya akan kuminis ini masih dalam aura politik zero-sum game: “kita atau mereka”.
Memakan atau dimakan, membunuh atau dibunuh, menolak atau ditolak, meninggalkan atau ditinggal nikah. Eh.
Ya, begitulah. Tidak ada gambar abu-abu dalam pandangan ini. Semua hitam atau putih. Terutama sejak Pemilu Presiden terakhir, gejala ini kembali muncul. Tiba-tiba saja seseorang bisa dicap liberal, syiah, bahkan sampai PKI hanya karena ia memilih Capres A dan bukan Capres B.
Sebab rasa takut akan membuat kecoak di kamar mandi tampak seperti tokai yang mengejar dirimu, membuat mantan jadi mirip Dian Sastro saat dipersunting orang lain, dan akan membuat buku dengan gambar palu-arit akan tampak seperti kotak bom yang bisa meledakkan keluargamu.
Dan ketakutan-ketakutan macam ini muncul karena satu hal: ketidaktahuan. Atau dalam bahasa kasarnya: kebodohan.
Jadi, kapan kalian akan men-sweeping kebodohan sendiri?
0 notes