#Kamila Andini
Explore tagged Tumblr posts
Photo
NANA / BEFORE, NOW & THEN 2022 | dir. Kamila Andini
#nana 2022#before now & then#dailyworldcinema#dailyflicks#asiancentral#userfilm#moviegifs#fyeahmovies#indonesian cinema#kamila andini#happy salma#laura basuki#arswendy bening swara#filmedit#movies#*gif#*
131 notes
·
View notes
Text
Yuni (2021), dir. Kamila Andini
4 notes
·
View notes
Text
Celebrating Kamila Andini! "It’s important for me when I can see myself in a movie (even if it is a movie from a different country), when I see my society, problems I can relate to… Hollywood movies are like a dream, something unrealistic and distant, detached from reality. In Indonesia, we are not very confrontational people. We don’t put the conflict on a dining table and don’t talk about it. We hide our feelings. People of the East have a different way of talking about conflict."
Read more in Asian Movie Pulse's Interview With Kamila Andini: We, Women, Often Don’t Have a Sense of Ownership Even of Ourselves.
Yuni (2021)
"Throughout, the film asks, what is Yuni willing to risk to have control over her life, and will the world she lives in let her get it?"
Read more on Seventh Row's review.
The Seen and the Unseen | Sekala Niskala (2017)
"The film's quiet pace, as well as its lack of dialogue, encourages total immersion in this magical universe.... The assimilation of the magical dimension of reality is not just about the protagonist. The film itself undergoes a certain metamorphosis following this new mystical revelation. It’s at this point that The Seen and Unseen becomes a wonderful succession of dream sequences that transports us from one universe to another."
Read more in Cineuropa's review.
The Mirror Never Lies | Laut Bercermin (2011)
"This immersive film from the Wakatobi islands in Indonesia is a fascinating snapshot of the lives of the Bajo tribe and a sweetly worked narrative about family and friendship that also offers powerful commentary about the state of our seas and our curation of them." Read more in Eye for Film's review.
Learn more about Andini on her website.
Explore Andini's filmography on MUBI:
26 notes
·
View notes
Photo
Sekala Niskala [The Seen and Unseen] (Kamila Andini - 2017)
#Sekala Niskala#The Seen and Unseen#Kamila Andini#Asia#Cinema of Indonesia#children#childhood#playing#illness#Indonesian movies#cockfight#long take#Bali#costumes#family relationships#twins#brain cancer#drama film#grief#Sichtbar und unsichtbar#Gunung Agung#hospital#dancing#見えるもの、見えざるもの#dreams#ghosts#moon#sky#spiritual life#balance
15 notes
·
View notes
Photo
all time favourite movies:
before, now & then (2022), dir. kamila andini
#before now & then#kamila andini#mine#all time favourite#movies#directed by women#favourite posts#non english speaking movies#color palette: green
7 notes
·
View notes
Photo
Sekala Niskala: The seen and the unseen (2017).
dir. Kamila Andini | dop: Anggi Frisca.
#The seen and the unseen (2017)#Sekala Niskala#Kamila Andini#Anggi Frisca#movies directed by women#Asian cinema#cinematography
2 notes
·
View notes
Text
yuni (2021) was soooo right abt the colour purple
0 notes
Photo
BEFORE, NOW & THEN / NANA (2022) dir. Kamila Andini
#before now & then#indonesia#2020s#indonesian cinema#happy salma#women directors#by kraina#filmedit#worldcinemaedit#perioddramaedit#weloveperioddrama#onlyperioddramas#periodedits#filmgifs#userfilm#userrobin#userriah#usertom#underbetelgeuse
657 notes
·
View notes
Text
Gadis Kretek / Cigarette Girl (2023)
Dir. Kamila Andini, Ifa Isfansyah
#gadis kretek#cigarette girl#dian sastrowardoyo#indonesian cinema#southeast asian cinema#filmedit#movieedit#filmgifs#moviegifs#*gifs#april.gifs#(yes finally decided on my gifs' tag)#*i can't wait for this.#tw: cigarettes#tw: smoking
128 notes
·
View notes
Text
Gadis Kretek/Cigarette Girl (2023)
Dir. Kamila Andini & Ifa Isfansyah
15 notes
·
View notes
Photo
Yuni (2021) Dir. Kamila Andini
30 notes
·
View notes
Text
Feminisme dan Otentisitas Lokal dalam Gadis Kretek
Oleh: Muh. Irwan Aprialdy
Saat mengangkat Gadis Kretek menjadi serial Netflix, Kamila Andini, selaku sutradara, berujar, "Gadis Kretek is a love story." Tak bisa dipungkiri, novel besutan Ratih Kumala ini memang banyak berbicara tentang cinta. Namun, apabila serialnya fokus pada hubungan Jeng Yah dan Soeraja, novel ini fokus pula pada percintaan Idroes Moeria dan Roemaisa, orang tua dari Jeng Yah, yang memulai kisah kasih mereka sejak pendudukan Belanda. Apabila ditarik lebih jauh hubungannya dengan sejarah negara Indonesia, Gadis Kretek, sebagaimana karya-karya sastra lain yang mengambil fakta-fakta dan dampak pendudukan Belanda, Jepang, masa kemerdekaan, hingga pembantaian simpatisan PKI, Ratih Kumala sebagai penulis mengais narasi dari imajinasi tentang suasana masyarakat dan keluarga dalam peristiwa-peristiwa besar yang membekas pada jejak historis bangsa Indonesia. Secara khusus, Ratih Kumala menempatkan mata penanya pada latar materi yang tepat: kemuskilan cinta di tengah konflik dan industri rokok kretek. Bahkan, sebelum menyelami halaman-halaman pertamanya, pembaca mungkin akan terlebih dulu dibuat tergiur dengan otentisitas tema dan latar industri kretek, yang kemungkinan jarang digarap dalam kesusastraan Indonesia.
Dengan alur maju-mundur, Ratih menggulirkan tiap peristiwa secara bebas, sempat terasa terhentak, namun kemudian tetap terbaca mengalir. Hal ini tentunya dimobilisasi dengan pilihan gaya penulisan yang renyah dengan penggunaan gaya tutur modern pada bagian cerita pencarian Lebas dan dua saudaranya, lalu gaya tutur Indonesia dan Jawa tempo dulu pada bagian cerita Idroes hingga Jeng Yah.
Sempat muncul kekhawatiran ketika bagian-bagian awal novel ini menyiratkan kesan cerita yang sangat pop dari gaya bahasa maupun bangunan intrinsik lainnya. Namun, transisi zaman yang terjadi sesudahnya, meski terasa sedikit meloncat di bagian awal, mulai menunjukkan kualitas cerita yang dicari ketika menceritakan babak kisah Idroes Moeria dan Roemaisa.
Selanjutnya, dalam narasi ruang dan waktu yang tumpang tindih tersebut, Ratih membuka tiap-tiap lipatan waktu dengan rapi dan membuat novelnya menjadi lebih dinamis dalam menyiasati problematika lompatan ruang dan waktu tersebut. Sehingga, narasi Lebas, Idroes, hingga Jeng Yah terjalin akur. Itu belum termasuk dengan kompleksitas zaman yang ditandai (atau disiasati) dengan simbolisasi perubahan tren merokok pada masyarakat masa itu.
Riset buku ini nampaknya bukan riset yang dilakukan sekadar bermodal laptop dan jaringan internet saja, melainkan penggalian dari warisan budaya merokok kretek yang mendalam (mengingat keluarga penulisnya memang pernah memiliki usaha rokok kretek di masa lalu). Lebih jauh, novel ini juga menarasikan dampak-dampak yang ditinggalkan pada masyarakat Indonesia yang berulang kali jatuh bangun memaknai kemerdekaan negara dan kemerdekaan hidup mereka masing-masing.
Secara halus, Gadis Kretek, meski dibungkus dengan cerita cinta lintas peristiwa dan generasi, menampar wajah para feminis modern yang selalu menuntut-nuntut kesetaraan antara pria dan wanita. Melalui sosok stoik Roemaisa dan Jeng Yah, anak dan ibu ini bagai berbagi suka dan ketegaran yang sama, baik dalam prinsip hidup hingga kenahasan dalam percintaan. Sebagai induk mereka menghidupi napas kehidupan para lelaki dan diri mereka sendiri dengan bermodalkan logika dan perasaan yang kerap kali diporakporanda konflik negara dan batin. Dua wanita ini menghadirkan sosok feminis tanpa perlu lebih dulu tahu feminisme itu apa dan wanita seharusnya bagaimana dalam masyarakat yang tengah kelimpungan diterjang penjajah atau keganasan pemerintah negara mereka sendiri. Keduanya mendobrak pakem atau pola pikir tradisional dengan insting kewanitaan yang secara naluriah merespons keadaan, bangkit dari depresi, dan berkeras menghidupkan bisnis suami atau keluarga dalam industri usaha yang identik dengan kaum lelaki: rokok kretek.
Keputusan-keputusan yang terilhami dari tekanan luar dan batin itu tentunya lebih menggugah dan mengharukan ketimbang teori pergerakan wanita yang banyak diinisiasi wanita Barat dan sebagian terasa menyimpang dari kesetaraan yang dijunjung atas dasar moral dan hak asasi manusia. Mengingat wanita lokal di masa lalu memang sudah banyak menunjukkan peran-peran wanita, yang lebih dari sekadar rahim dan pendamping bagi kaum pria. Meski, tentu saja, perjuangan Ratih dalam memahat penokohan Roemaisa dan Jeng Yah belum melampaui Pram dalam membentuk Nyai Ontosoroh yang tersohor itu. Namun, usaha Ratih dalam membicarakan sejarah dan tragedi di Indonesia dalam gaya tutur dan narasi yang cerdas tetap patut diapresiasi. Gadis Kretek satu dari sedikit novel yang mampu menyeimbangkan kebutuhan bernapas dan kebutuhan untuk mengerutkan kening dalam membaca. Humor ringan dan konflik serius yang tersebar sepanjang cerita secara bertahap mengingatkan pada karya-karya Dewi Lestari pula.
Berbicara amanat, selain menegaskan pula tentang betapa nihilnya efek kimiawi otak yang kita sebut cinta dan betapa tak berharganya sejarah pembangunan sebuah jenama (merk) dihadapkan dengan realitas zaman yang mudah limbung, Gadis Kretek menutup manis novelnya dengan pesan yang barangkali bisa diimplikasikan secara universal, bahwa sejarah tidak perlu lagi ditulis sepihak oleh para pemenang karena kebenaran dari mulut yang kalah akan selalu menemukan jalan keluar untuk bergaung. Bahwa cara terbaik untuk menerima catatan kelam masa lalu bukan dengan cara bungkam dan lantas menguburnya. Tapi, berdamai dengan kenyataan bahwa semua itu sudah berlalu. Dan peran kita hari ini adalah mengupayakan solusi agar masa lalu memang tak pernah perlu jadi hantu.
2 notes
·
View notes
Note
omgg co oglądasz na tegorocznym festiwalu? polecasz saint omar? ja wczoraj wróciłam z femme 2023 i nadal o tym myślę...
cześć, niestety w tym roku nie dam rady tam pojechać co mnie bardzo smuci, ale widzę ze w końcu trochę podkręcili program onlajnowy.
Ogólnie z tych rzeczy które są w tym roku to bardzo chcę zobaczyć Nana (Kamila Andini), Pacifiction (Albert Serra), Stracony Kraj i właśnie Saint Omer (Alice Diop). No i Monster (dir. Hirokazu Kore-eda) oraz Polite Society (Nida Manzoor), ale tych dwóch nie ma online.
a poza tym to polecam: Alcarras (widzialam to juz gdzieś, bardzo spoko), Podejrzaną always, jeszcze Tiger Stripes i Suszarnia wyglądają bardzo ciekawie ugh tak strasznie zazdroszczę wrocławianom 😭😭
a ty co polecasz/masz juz obejrzane???
#w końcu ten online jakos ruszyl bo ostatnio bylo tak ze online były tylko jakies ochłapki#a teraz serio mozna cos ciekawego obejrzeć
9 notes
·
View notes
Note
Howdy! I have some more recs for your post-colonialism list! "Beatriz's War" by Bety Reis and "Memoria" by Kamila Andini, both about Timor-Leste! The last one is about the sexual violence Timorese women suffered during the Indonesian occupation, so heavy TW.
Added both and probably would have never heard of them otherwise, tysm!!!!
12 notes
·
View notes
Text
TAG 9 PEOPLE YOU WANT TO GET TO KNOW BETTER
I did not expect to start this tumblr account with a tag post, but thank you for inviting me, thea (@michyeosseo). :)
ships | three ships
I don't ever really strongly feel about 'ships', so I don't have favourites; but these below just stuck with me for some reason.
01. Qiao Xi Chen x Jian Yi Fan from 我在他乡挺好的 Remembrance of Things Past
When I watched Remembrance of Things Past, I often thought that these two came quite close to my ideal romance: open and honest, committed and realistic. I like how both were each their full person, without the other needing to 'complete' them. Also, the fact that the two actors tried so hard to get this romance right, and put in lots of efforts in their acting was visible on-screen and an added bonus.
02. Feng Zhi Wei x Ning Yi from 天盛长歌 The Rise of Phoenixes
What can I say? [spoiler] If you're looking for a good tragedy, their romance is it for sure. Two soulmates, torn apart by circumstances.
03. Any pairing from 大宋少年志 Young Blood
Young Blood is one of my comfort shows, and the main cast has so much chemistry that you really can just about pair any two with each other and have a solid ship. A bargain!
ships | first ship
Xiao Yan Zi x Yong Qi from 还珠格格 Huan Zhu Ge Ge
I was six years old, I watched the re-run of this show everyday after school, and I was madly obsessed with them: they were fun, and they were cute. If you know, you know!
last | last song
I've recently been listening a lot to Jupiter by Grace Gaustad. One of those random Spotify finds that stuck with me.
last | last movie
Two weeks ago, I watched Before, Now & Then (dir. Kamila Andini, 2022) in a theatre all by myself. It's a portrayal of a woman's process of awakening, of realising and pursuing a life of her own and on her own terms in the wake of the 1940s and 1960's political unrests in Indonesia. Cinematography, sound and acting-wise quite strong.
currently | currently reading
About one third into Diary of a Void by Emi Yagi, a book about a woman who is fed up with 'unofficial', menial tasks at work that she has to endure from her entitled male co-workers and supervisors, so she pretends being pregnant to get out of them.
currently | currently watching
I am about to start episode 8 of Song of Life (dir. Li Mo, 2022), a 'slice-of-life' c-drama about a young woman who starts a job at a funeral parlour. It's not a perfect show, but it shares some really thought-provoking messages.
currently | currently craving
A long walk in the mountains, the sound of ocean waves gently hitting the shore, the smell of fresh flowers, and a cup of strong Indonesian coffee.
tagging: @embleciel @dramateas @decrescendo @cesare-and-raistlin @secretsforests
(I've barely even set up this account, so no tagging nine people for me. ^^)
8 notes
·
View notes
Photo
Sekala Niskala: The seen and the unseen (2017).
dir. Kamila Andini | dop: Anggi Frisca.
#The seen and the unseen (2017)#Kamila Andini#Sekala Niskala#my screenshots#cinematography#Asian cinema#movies directed by women
5 notes
·
View notes