#Jurnal Psikolog Klinis Anak
Explore tagged Tumblr posts
Text
TERBUKTI, Call 0878-7604-0136, Psikolog Pendamping Masyarakat Bunda Lucy
Klik https://wa.me/087876040136, Psikolog Pendamping Anak Mandiri,Psikolog Pendamping Anak Menangis,Psikolog Pendamping Anak Perempuan,Psikolog Pendamping Anak Pendidikan,Psikolog Pendamping Anak Remaja
Bunda Lucy Trauma Center PTB Duren Sawit Blok D3/1 Klender Jakarta Timur (Dekat Sekolahan SDIT Arrahma)
psikologklinistangsel #psikologklinistanjungpinang #psikologklinisurabaya #psikologklinisuntukremaja #psikologklinisums #psikologklinisyen #psikologklinisyogya#psikologklinis #psikologklinisdewasa #psikologklinisanak
#Psikolog Klinis Dewasa#Psikolog Klinis Anak Dan Remaja#Contoh Kasus Psikolog Klinis Anak#Jurnal Psikolog Klinis Anak#Psikolog Klinis Adalah#Gaji Psikolog Klinis#Psikolog Anak Terkenal#Psikolog Klinis Anak
0 notes
Text
TERPERCAYA, Call 0895-3600-47385, Psikolog Pendamping Remaja Bunda Lucy
Klik https://wa.me/62895360047385, Psikolog Pendamping Anak SD,Psikolog Pendamping Anak Eligible,Psikolog Pendamping Anak Hilang,Psikolog Pendamping Anak Hukum,Psikolog Pendamping Anak IndonesiaBunda Lucy Trauma CenterPTB Duren Sawit Blok D3/1KlenderJakarta Timur(Dekat Sekolahan SDIT Arrahma)http://psikologindonesia.comhttps://g.page/r/CZUcygKgl_UzEAg/reviewhttps://g.page/r/CT98JtEHC7zUEAg/review#psikologklinisdiy #psikologklinisemarang #psikologklinisgorontalo #psikologklinishalodoc #psikologklinisharapanindah #psikologklinisi #psikologklinisiindonesia #psikologklinisjambi #psikologklinisjogjakarta #psikologkliniskuningan
#Psikolog Klinis Anak#Psikolog Klinis Dewasa#Psikolog Klinis Anak Dan Remaja#Contoh Kasus Psikolog Klinis Anak#Jurnal Psikolog Klinis Anak#Psikolog Klinis Adalah#Gaji Psikolog Klinis#Psikolog Anak Terkenal
0 notes
Text
Imposter Syndrome,
Kesempatan Untuk Mengenali Diri Sendiri.
Setelah mendapat gelar S.Pd banyak tetangga di kampung dan teman lama yang menganggap saya di atas mereka (soal pengetahuan). Mereka menganggap sarjana itu hebat dan pencapaian yang membanggakan.
Tapi dalam batin saya, saya tidak sehebat itu. Saya belum pandai bahasa inggris, mengerjakan skripsi juga banyak pakai Google translate. Copas jurnal sana sini. Bahkan, menurut saya anak SMA pun bisa mengerjakannya jika punya waktu dan niat.
Skripsi saya biasa saja. Aktifitas kuliah juga biasa saja. Anak SMA pun bisa duduk di kelas menyimak dosen, mengerjakan presentasi kelompok selama 8 semester.
Menjadi mahasiswa bukan sesuatu yang WAH seperti anggapan orang-orang. Bergelar S.Pd rasanya tidak membuktikan kalau saya sudah benar-benar menguasai jurusanku.
Toga dan jubah yang kedodoran seperti menanyai saya, apa yang berbeda dengan diriku 5 tahun lalu. Kok rasanya sama saja. Kenapa sekarang saya mengenakan jubah ini dan punya gelar baru. Apa saya pantas. Bukannya jubah ini untuk mereka para akademisi, para peneliti dan ahli yang kompeten di bidangnya. Kenapa saya ikut memakainya.
Selepas perayaan dan selebrasi ini, di luar sana beberapa tahun lagi mungkin ada yang tanya apa judul skripsiku. Apa yang saya teliti. Bagaimana hasilnya. Barangkali saya tidak bisa menjawab. Saya mungkin lupa dan tidak mempedulikan penelitianku dulu. Semua sudah berlalu. Seperti melewati halang lintang. Lakukan, lewati lalu lupakan.
Saya tentu lupa sebab saya tidak betul-betul concern dan ahli di dalamnya. Mahasiswa nyatanya tidak perlu ahli untuk bisa wisuda. Yang penting sudah terlewati. Yang penting sudah selesai. Yang penting sudah dapat ijasah. Yang penting sudah dapet gelar. Hidup mesti berlanjut. Dunia baru harus dijalani. Fokus baru mesti ditempuh.
Lalu mungkin ada yang bercanda, kamu beneran kuliah kan? Sudah lulus kan?
Mungkin saya bisa membela diri. Tentu. 8 semester penuh perjuangan, mengerjakan skripsi sampai berdarah-darah, mengejar-ngejar dosen pembimbing, minta tanda tangan, koneksi internet susah dll.
But I can't. That's fake. That's drama. Apa yang saya kerjakan dan lalui sepertinya semua orang juga mampu. Saya tidak sehebat itu. Saya hanya bekerja keras. Orang lain yang bekerja sama kerasnya dengan saya pasti juga bisa. Lalu di mana hebatnya saya?
Tahun 2018 saya sempat ikut program unggulan kampus. Saya lolos bersama 20an mahasiswa pilihan dari semua fakultas, dari ribuan mahasiswa. Mahasiswa lain mengganggap kami spesial. Mahasiswa pilihan yang paling unggul. Dapat treatment spesial.
Di luar diri saya bangga, tapi di dalam saya merasa fake. Saya bisa lolos bukan karena saya hebat, tapi karena keberuntungan.
Salah satu form-nya yang harus diisi dalam program itu adalah esai rencana exchange, study abroad dan setelah lulus S1 mau ngapain.
Waktu itu esai yang saya tulis cukup panjang dan ambisius. Sebetulnya saya hanya mengarangnya dan tidak berpikir bisa mewujudkan cita-cita di esai itu semua. Saya buka google, mencari nama Universitas keren di UK dan jurusan yang menurut saya masuk akal. Kebetulan panitia sangat memperhatikan esai yang ambisius. Alhasil saya diloloskan.
Saya tidak tahu berapa nilai toefl saya setelah keluar. Mungkin paling buruk. Saya melihat peserta lain juga tidak jauh berbeda dengan mahasiswa biasa. Kami hanya menang di keberuntungan dan kemauan mendaftar.
Semua mahasiwa bisa saja lolos jika kuota tidak terbatas. Saya tidak sehebat dan sespesial dalam bayangan mahasiswa lain. Keadaan dan programnya saja yang dianggap spesial.
Rektor secara langsung meresmikan program kami di depan ratusan peserta sidang senat terbuka. Kami diharapkan menjadi mahasiswa unggulan. Tapi benarkah kami unggulan. Benarkah saya unggulan. Kemampuan bahasa inggris saya saja masih di bawah mahasiswa-mahasiswa yang tidak lolos. Ada banyak mahasiswa yang lebih kompeten dari saya, tapi kebetulan tidak mendaftar.
Setelah program selesai, saya mendirikan komunitas menulis, menerbitkan buku bersama, mengadakan bedah buku, diundang di seminar. Barangkali mahasiswa lain takjub dan menganggap saya hebat, tapi di tempat duduk saya melihat kosong ke depan.
Kenapa mereka mau melihat saya bicara dan menganggap saya memotivasi mereka. Mereka juga bisa seperti saya. Saya tidak hebat. Saya tidak lebih unggul dari mereka. Tulisan saya tidak bagus-bagus amat. Banyak typo dan editing yang kacau. Jika disuruh membacanya kembali mungkin saya akan merobeknya. Saya kadang malu dengan tulisan saya sendiri. Tulisan saya tidak dahsyat dan sebaik tulisan penulis profesional. Saya sadar itu. Kemampuan saya biasa saja.
Di luar diri, saya bangga berdiri di depan peserta seminar dan melayani orang yang meminta tanda tangan. Di dalam diri, saya sadar bahwa kemampuan saya tidak sehabat itu. Saya tidak pantas bangga. Semua orang juga bisa melakukan apa yang saya lakukan.
Kadang saya takut orang lain tahu kalau yang saya lakukan itu biasa saja. Tidak sehebat yang dikira. Saya hanya menipu keadaan. Saya hanya beruntung. Saya hanya pura-pura jadi mahasiwa dan bergelar S.Pd. padahal kemampuan saya tidak beda dengan anak SMA.
Saya pura-pura ahli dalam penelitian skripsi saya, padahal saya hanya copas jurnal sana-sini, masukan data lapangan, dan pengolahan yang tidak serumit yang dipikirkan. Saya hanya pura-pura menjadi mahasiswa unggulan yang masuk program (yang katanya unggulan). Saya hanya pura-pura menjadi mahasiwa cumlaude. Saya hanya pura-pura jadi penulis yang tulisannya sebenernya tidak hebat-hebat amat.
Suatu hari seorang kawan mengenalkanku pada istilah psikologis yang mirip dengan keresahan yang selama ini saya alami.
Jauh pada tahun 1978 lalu, Psikolog klinis Pauline R. Clance dan Suzanne A. Imes seperti sudah mengenal baik saya. Mereka berdua menyebut kondisi ini Imposter Syndrome.
Jadi Imposter Syndrom ini merujuk pada kondisi yang dialami orang-orang "berprestasi" yang tak mampu menginternalisasi pencapaiannya. Gejalanya yaitu ketakutan akan dianggap sebagai "penipu".
Katanya bahkan penderita berpikir bahwa bukti kesuksesan yang telah didapatkan merupakan hasil dari menipu orang sekitarnya, agar mereka terlihat kompeten dan berprestasi dibandingkan orang sekitarnya.
Apakah saya sendiri?
Ternyata tidak. Di Vogue Inggris, Emma Watson berujar "Ketika saya menerima penghargaan atas akting saya, saya merasa benar-benar tidak nyaman. Saya merasa tidak pantas menerimanya."
Selain Emma, aktris asal Amerika Serikat, Natalie Portman yang menjadi pemeran utama Black Swan pun ternyata juga mengalaminya. Ia adalah sarjana psikologi di Harvard, ia bahkan mengatakannya saat berpidato tentang apa yang dirasakannya. "Hari ini, saya merasa sama seperti saat saya masuk Harvard pada 199.. Saya merasa seperti ada kesalahan - bahwa saya tidak cukup pintar untuk ada di sini dan setiap saya membuka mulut, saya mesti membuktikan bahwa saya bukan sekadar aktris bodoh,"
Menurut wikipedia orang-orang terkenal ini juga pernah mengalami sindrom tersebut, diantaranya: Tom Hanks, penulis skenario Chuck Lorre, Neil Gaiman, John Green, Tommy Cooper, Sheryl Sandberg, Mahkamah Agung Amerika Serikat Sonia Sotomayor, dan pengusaha Mike Cannon-Brookes.
Terlepas dari bukti eksternal kompetensi mereka, orang dengan sindrom ini akan tetap yakin bahwa mereka adalah penipu dan tidak pantas atas kesuksesan yang mereka capai.
Bukti kesuksesan mereka tersebut diatributkan pada keberuntungan, waktu yang tepat, atau sebagai hasil menipu orang lain, hingga berpikir bahwa orang lain lebih cerdas dan kompeten dibandingkan dirinya.
"Saya telah menulis sebelas buku, tapi setiap kali saya berpikir, 'oh, mereka akan tahu sekarang. Saya sudah mempedaya semua orang, dan mereka akan membongkar saya.''" — Maya Angelou
Ingat ayat bahwa Tuhan menutupi aib kita. Apabila aib kita dibuka, maka alangkah hinanya kita. Seandainya dosa kita berbau, barangkali tidak ada yang mau mendekati kita. Nah, orang dengan Impostor Syndrome ini merasakan rasa takut dan was-was jika aib atau keadaan sebenarnya mereka terbuka.
Namun kemudian psikolog Clance, sang pencipta istilah Imposter Syndrome ini menamakannya ulang dengan istilah “pengalaman penyemu” (Impostor Experience).
Dalam kutipan kata-kata Clance, "Jika saya dapat melakukannya lagi, saya akan menyebutnya sebagai pengalaman penyemu, karena hal tersebut bukanlah suatu sindrom atau suatu kompleks atau penyakit mental, hal tersebut adalah sesuatu yang hampir setiap orang mengalaminya."
Penggantian kosakata ini akhirnya mengubah perspektif orang agar dapat memahami bahwa mereka pun tidak terbebas dari pengalaman tersebut. Bahwa pengalaman penyemu merupakan fenomena umum.
Menurut jurnal "The Impostor Phenomenon" International Journal of Behavioral Science halaman 73–92 yang ditulis oleh Jaruwan Sakulku (2011), 70% orang akan mengalami setidaknya satu episode fenomena penyemu ini dalam kehidupan mereka.
Jadi ini pengalaman "experience" bukan syndrom atau penyakit mental. 70% orang di dunia mengalaminya dan punya pengalaman berada di kondisi seperti saya.
Pertanyaannya, berapa lama orang berada dalam kondisi ini?
Menurut saya ada orang yang nyaman berada di posisi "dianggap hebat atas pencapaian" dan tidak mau terlalu menghiraukan fakta kalau pencapaiannya itu biasa saja atau semua orang aslinya juga bisa (mengabaikan kemampuan asli diri sendiri).
Ada orang yang sadar dan jujur kepada diri sendiri bahwa "duh, aku gabisa terus-terusan pura-pura gini. Aku tahu aslinya akutu biasa aja gak seperti yang orang lain kira. Aku capek pura-pura hebat di hadapan banyak orang."
Orang semacam ini sadar bahwa pencapaianya belum seberapa. Jika ada yg bilang, "wih kamu hebat ya" dia malah malu sendiri. Sebab apa yang dilakukannya sebetulnya biasa saja. Orang lain hanya belum mencapai titik yang sudah ia raih dan orang lain tersebut barangkali punya keinginan untuk mencapai hal yang sama.
Contohnya, orang gak bisa nyetir mobil melihat orang bisa nyetir mobil. Dia akan bilang, wah hebat kamu bisa nyetir mobil. Padahal sopir itu merasa itu biasa aja. Nyetir mobil gak sesusah yang dibayangkan kok.
Wah kamu hebat ya bisa jadi guru. Padahal kita yang jadi guru merasa tidak sesulit dan serumit kelihatannya.
Wah hebat, kamu bisa menerbangkan pesawat. Padahal setiap penumpang bisa menerbangkan pesawat jika tahu caranya dan berlatih.
Wah hebat, designmu bagus. Padahal saya hanya ambil bahan dari freepik.com dan belajar Adobe Ilstrator dari Youtube.
Wah hebat ya, laporanmu rapi dan cepat selesai. Padahal saya hanya memakai formula excel yang bertebaran di google.
Wah bagus ya tulisanmu, bisa detail dan menarik. Padahal saya hanya melakukan riset dengan membaca data peristiwa di buku-buku sejarah, menjadikannya latar waktu dan tempat dalam cerita.
Wah bagus ya puisimu, padahal saya hanya banyak membaca puisi-puisi penyair besar dan meniru gayanya.
Wah hebat ya kamu gini gitu, padahal begini begitu. Semua orang bisa! Saya bukan nabi yang punya mukjizat khusus yang bisa melakukan sesuatu yang hanya saya saja yang bisa.
Masalah yang dihadapi orang yang nyaman berpura-pura adalah dia akan dihantui dengan perasaan was-was jika orang lain tahu bahwa dirinya biasa saja atau tahu rahasia yang disembunyikannya. Ia takut kalau sisi asli yang gak sesuai dengan penilaian orang lain itu terungkap. Pekerjaan yang dilakukan tidak serumit kelihatannya. Pencapaian yang didapatnya sebenarnya karena kebetulan atau orang lain aslinya juga bisa berada di posisinya.
Dulu waktu sekolah sampai awal kuliah saya senang dan bangga jika dianggap unggul/menonjol. Makin lama saya capek pura-pura bahwa saya gak sehebat yang mereka pikir. Saya capek membangun persona hebat dan hidup dalam rasa was-was kalau orang lain tahu bahwa kemampuan saya biasa saja. Bahkan semakin ke sini semakin gak nyaman dengan pujian dari orang lain.
Masalah orang yang sadar dan ingin keluar dari kepura-puraan seperti saya ini merasa tidak percaya dengan kemampuan diri sendiri karena sadar bahwa kemampuan saya aslinya tidak hebat-hebat amat. Sadar bahwa jauh di dalam diri tidak sesuai dengan penilaian orang lain.
Bahwa saya kurang kompeten di bidang mengajar bahasa inggris meskipun anggapan orang saya ahli karena sarjana keguruan bahasa inggris. Saya kadang tidak percaya diri dengan kemampuan saya karena saya sadar saya belum menguasainya.
Tapi barangkali itulah definisi jujur pada diri sendiri. Yaitu sadar dan berani membaca keadaan diri yang sebenarnya. Menurut saya itu lebih layak dijalani daripada hidup dalam kepura-puraan dan dalam rasa takut.
Jujur pada diri sendiri ternyata lebih menyehatkan mental. Bisa membuat lebih rendah hati juga, bahwa jika tidak kompeten di bidang A maka saya mesti jujur. Bahwa meski dianggap hebat saya bisa tetap rendah hati karena sadar diri bahwa aslinya saya tidak sehebat yang orang lain prasangkakan. Bahwa yang saya lakukan hanya prosedural, pelatihan yang bisa diajarkan dan dikuasai oleh semua orang, tidak hanya saya.
Untuk menghadapi rasa malu saat orang lain kagum pada saya, "Wah hebat kamu ya sudah wisuda, wah hebat kamu ya sudah menerbitkan buku dll" saya dengan percaya diri akan menjawab "ah gak juga. Saya ndak sehebat itu. Semua orang bisa kok seperti saya."
Setelah itu, saya baru merenung. Ya, saya memang tidak sehebat yang mereka kira. Kemampuan saya biasa saja kok. Saya akan jujur pada orang lain sekaligus pada diri sendiri karena kenyataannya memang begitu.
Barangkali pengalaman penyemu ini adalah kesempatan saya untuk lebih dewasa dan rendah hati. Bahwa profesi apa pun tak bisa disombongkan, bahwa pencapaian apa pun tak bisa ditinggi-rendahkan. Bahwa banyak pekerjaan yang bisa dilatihkan dan semua orang bisa.
Saya tidak perlu menyembunyikan "proses mudah yang nampak wah" untuk mendapatkan pujian atau penilaian orang. Saya tidak perlu takut dan was-was. selama saya jujur pada diri sendiri, tidak menghebatkan diri dan tidak mendewakan karya yang saya hasilkan.
Syaikh Abdurrazaq Al Badr Hafidzahullah pernah bilang, "Orang berakal tidak akan memperhatikan pujian dan sanjungan manusia kepadanya karena ia lebih mengetahui kekurangan dirinya sendiri dibanding dengan mereka."
Menurut saya, mengambil penilaian orang lain dalam porsi besar dan menjadikan itu sebagai patokan pencapaian dan kemampuan diri adalah kesalahan. Apa yang orang lain nilai dari saya barangkali adalah persona saya, bukan apa yang sebenarnya. Apa yang sebenarnya hanya saya yang tahu, dan itu jauh lebih penting.
Seharusnya saya yang lebih mengenali diri saya bukan orang lain.
Mengeliminasi penilaian diri (karena nilainya rendah) lalu memakai penilaian orang lain (karena nilainya tinggi) adalah bentuk membohongi diri sendiri. Orang yang paling saya percayai seharusnya adalah diri saya sendiri, bagaimana jika diri saya sendiri saja saya tipu. Siapa lagi yang saya punya.
Saya membayangkan satu waktu, ketika saya sendirian. Yang saya punya hanya saya sendiri. Saya menjalani hidup dengan kaki dan tangan sendiri, kemampuan diri sendiri. Saya berdiri di dalam aula besar dunia asing yang hiruk pikuk. Sebuah negara asing dan semua orang tidak mengenali saya. Yang bisa saya andalkan hanya kemampuan yang saya punya, bukan "Katanya kamu hebat ini itu, katanya kamu sarjana ini itu, katanya kamu dulu pernah ini itu ya?" Tidak ada yang kenal dengan saya. Saya sendirian di negara tersebut.
Pada akhirnya, penilaian orang lain tidak penting lagi. Jika saya mengikuti penilaian orang, saya akan hidup dalam hidup mereka bukan hidup saya sendiri.
Barangkali akan ada suatu waktu ketika saya diberikan pekerjaan yang mereka anggap saya hebat dan kompeten di dalamnya, (padahal saya biasa saja), akan ada rentetan penyembunyian-penyembunyian hasil kerja yang saya lakukan, karena saya tidak sehebat yang mereka kira, dan saya sendiri akan tersiksa untuk memenuhi ekspektasi mereka.
Dalam kesempatan pengalaman penyemu ini saya akan bersikap jujur pada diri sendiri dan berkenalan lebih dalam dengan diri sendiri. Saya yang akan menentukan saya hebat atau tidak. Saya yang akan menentukan berhak diberi pujian/penghargaan (karena sudah melakukan sesuatu dengan sepenuh hati) atau tidak. Saya sendiri yang akan menilai diri saya sendiri. Saya akan memerdekakan diri saya sendiri.
Barangkali inilah kesempatan saya untuk berkenalan dengan diri saya sendiri.
Sehingga "saya" yang ada di kepala saya bukan lagi "saya" menurut orang lain, tapi "saya" yang paling dekat dan paling saya kenal kemampuan dan proses yang sudah ia lewati.
Image: IG @rahasiagadis
500 notes
·
View notes
Text
Gratitude Journal #5
Menulis ini adalah apresiasi karena telah melewati hari-hari yang lalu. Allhamdulilah melewati minggu ini dengan baik. Ada beberapa tugas; presentasi psikologi perkembangan, psikologi abnormal menonton video dan mengidentifikasi bipolar disorder II, skala psikologi untuk mencari isu atau konsep dan dicari definisinya, kepribadian minggu depan kuis tentang materi Freud, Adler, dan Jung tidak lupa tugas merangkum materi Erikson, dan minggu depan kuis metode penelitian.
Allhamdulilah merasa senang sekali belajar meskipun harus ngatur waktu buat ngerjain pekerjaan rumah dan belajar. Ditambah kalau dosen di kelas belum terlalu menjelaskan dan aku belum ngerti :") aku harus curi-curi waktu untuk belajar. Seperti baca buku Abnormal bagian mood disorder. Selesai membaca dua materi psikologi perkembangan tentang perkembangan anak. Nggak tau kenapa setiap baca ada "Wah baru tau! Yaampun ke mana aja selama ini?"
Aku selalu ingat perkataan beberapa dosen yang mengatakan apresiasi kepada kami mahasiswa prapasca. "Kalian punya poin lebih dibandingkan mahasiswa dengan background S1 Psikologi, yaitu kalian S1nya dari jurusan yang nggak linier"
Apalagi materi yang seharusnya 4 tahun dipadatin jadi 4 bulan. Dari yang nggak paham metode penelitian apalagi statistika harus belajar dari 0. Ditambah pas kelas statistika laptop buka zoom, excel, dan jamovi. Dan pas dosennya jelasin jeng jeng ngehang laptopnya. Duh kesel banget makin nggak ngerti :") Rasanya capek tapi seneng. Seneng bisa dapat hal baru. Bisa memandang orang lain dari perspektif baru. Kalau di Sastra, baca buki seputar sastra, fiksi, latihan menulis. Tapi kalau di sini terasa real dan baca buku kuliah kayak baca buku biasa. Apalagi tau tentang anak, remaja, disorder, pendidikan dan lain.
Beberapa hari yang lalu juga diskusi buat tugas presentasi perkembangan. Ternyata belum ada yang baca buku acuan. Jadi meskipun usul ide tapi belum saling terpaut pemahamannya. Sampai akhirnya 2 jam berlalu dan pemahamanku salah. Allhamdulilah dibantuin suami :") "Ini tugasnya case study, kamu harus cari isunya dulu. Terus dicari teorinya. Dan diinterpretasi." Kayaknya ini AHA Moment bangeet. Dari situ dengan keadaan gmeet mute. Aku cari berita tentang isu anak. Ketemu kekerasan fisik anak: orang tua yang mencungkil mata anaknya di Gowa Sulsel. Dari situ diturunin apa aja yang dibahas. Dari segi fisik, kognitif, dan sosioemosional. Wah banyak :") PR cari jurnalnya. Akhirnya aku jelasin ke temen satu kelompok dan allhamdulilah diterima. Tapi PRku belum berakhir karena harus jelasin detil di besok hari. Hari ini aku mulai cari jurnal dan seru. Bagaimana postraumatic berpengaruh ke fungsi otak, dll.
Minggu ini aku juga belajar tentang Literasi dan Bahasa pada Anak-anak. Kemarin pas banget denger tetangga sebelah lagi marahin anaknya umur 5 tahun belum bisa baca. Pas dapet matkul ini jadi inget, anak nggak bisa tiba-tiba diajarin baca kalau sebelumnya nggak distimulus, nggak didongengin, diajak bicara, mengenal buku, dan lainnya. Anak-anak butuh tahapan untuk sampai mempunyai kemampuan membaca apalagi menulis yang baik. Di kelas juga dibahas tentang kurikulum di mana masuk SD harus bisa baca dan menghitung.
Sekarang ini. Aku harus belajar statistika. Sekaligus mulai mikir lebih dalam mau masuk klinis atau mind and brain. Meskipun sesungguhnya aku merasa energinya terkuras banget. Ya masa pagi-pagi di kelas ngantuk banget. Mana harus on cam. Nguap nggak bisa. Di kelas cuma 11 orang. Tapi ga apa-apa dinikmatin aja. Jadi ini serunya belajar, tapi aki pun masih banyak ketertinggalannya.
Di balik kesulitan pasti ada hikmah. Tentu masih diuji kesabarannya. Atas keinginan yang ideal terhadap hidup tapi aku tau bahwa harus mencari ilmu sebanyak-banyaknya. Membaca adalah kunci dari pemahaman atas ilmu. Dan aku merasakan manfaatnya saat ini.
Allhamdulilah bisa beli es krim dan makan mi untuk apresiasi minggu ini. Bisa belajar mengenal diri juga.
Jadi, klinis, mind & brain (neuropsikologi), atau fiction writing? 😂
3 notes
·
View notes
Text
Heal Yourself #16: Aliran Rasa Pasca Terluka
Seorang perempuan mengalami luka mendalam pasca menjadi korban KDRT, dipisahkan dari anak-anaknya dan diusir dari rumah karena ada perempuan lain dalam rumah tangganya. Begitulah secuplik cerita yang saya dapatkan dari sebuah artikel psikologi di internet. Kejadian itu meninggalkan trauma yang membuatnya merasa sangat terluka; bukan hanya ia yang depresi, tapi juga anak sulungnya. Menariknya, ternyata luka itu mereda karena menulis. Hah? Menulis? Mengapa bisa?
Kita sudah sering mendengar bahwa menulis adalah cara yang baik untuk menterapi diri sendiri. Dalam bahasa yang lebih sederhana, katanya menulis itu bisa melegakan perasaan, mengekspresikan emosi dan juga membantu kita mengurai benang-benang kusut di dalam kepala. Jika demikian, menulis ternyata memang bukan sekedar media untuk menuangkan ide dan gagasan. Menulis juga sebagai terapi untuk kesehatan fisik dan mental. Bahkan, ada banyak penulis yang justru lebih produktif saat sedang terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan dalam hati dan hidupnya, bukan?
Sudah ada banyak penelitian yang mengungkap kebaikan dan manfaat dari menulis. Menurut Karen Baikie, seorang psikolog klinis dari University of New South Wales, menuliskan peristiwa-peristiwa traumatik, penuh tekanan serta peristiwa yang penuh emosi bisa memperbaiki kesehatan fisik dan mental. Selain itu, penelitian awal tentang manfaat menulis ekspresif dilakukan oleh Pennebaker & Beal tahun 1986 di Amerika menyebutkan bahwa kebiasaan menulis tentang pengalaman hidup yang berharga dapat menurunkan masalah kesehatan. Beberapa penelitian yang lainnya menyebutkan bahwa menulis dalam jangka panjang dapat menurunkan stres, meningkatkan sistem imun, menurunkan tekanan darah, mempengaruhi mood, merasa lebih bahagia, bekerja dengan lebih baik dan mengurangi tanda-tanda depresi. Sedangkan dalam aspek sosial dan perilaku, menulis dapat meningkatkan memori, nilai rata-rata siswa sekolah, dan kemampuan sosial linguistik.
Tapi, yang menjadi masalah adalah, tidak semua dari kita terbiasa membaca atau menulis sehingga merasa kesulitan untuk mengalirkan perasaannya lewat tulisan. Bukankah demikian? Kita tidak terbiasa dan kurang terlatih untuk menceritakan peristiwa negatif yang kita alami, mengidentifikasi apa yang kita rasakan atas peristiwa tersebut, memaknai peristiwa tersebut, dan menemukan kekuatan saat kita telah melewati peristiwa tersebut. Alhasil, banyak juga diantara orang-orang yang merasa terluka (oleh sebab apapun) dan ingin menulis tapi kebingungan mereka bertambah-tambah saat di hadapa kertas atau layar laptop.
Kalau begitu, apakah untuk bisa menterapi diri sendiri lewat menulis kita harus “bisa” menulis dulu? Kabar baiknya, jawabannya adalah TIDAK. Lalu bagaimana?
Sejak usia 14 tahun sampai dengan saat ini, saya terbiasa menulis, meski mungkin dulu tulisan saya berantakan sekali. Dalam perjalanannya, seperti yang juga dikatakan oleh penelitian-penelitian di atas, saya merasakan kelegaan pasca menulis kalau saya menuliskannya ketika sedih, marah, kecewa, dan seterusnya. Meminjam istilah yang sering disebut oleh Institut Ibu Professional, saya merasa menulis adalah cara yang tepat untuk mengalirkan rasa. Tapi ternyata, ada yang belum cukup teralirkan dengan “menulis biasa”, luka-luka tertentu seperti membutuhkan cara lainnya agar ia pun bersuara dan menjadi selesai karenanya.
Sekitar satu bulan sebelum Ramadhan, saya mengikuti kelas Healing Innerchild Within bersama seorang psikolog senior, yaitu bapak Asep Haerul Gani. Dalam kesempatan itu, saya dikenalkan dengan berbagai metode healing. Salah satunya adalah menulis. Awalnya, saya pikir tidak akan ada yang berbeda dengan menulis pada umumnya, toh sehari-hari saya terbiasa melakukannya juga. Tapi ternyata, untuk menterapi diri pasca terluka, ada caranya. Namanya adalah narrative writing technique atau narrative writing therapy (selanjutnya kita singkat NWT supaya enggak kepanjangan, ya).
Tidak sekedar menulis seperti bisa, NWT ini adalah seperti membangkitkan batang terendam. Ia memfasilitasi luka-luka yang pernah kita rasakan untuk bersuara sehingga kita bisa mengalirkan perasaan dengan lebih leluasa dan langsung pada intinya. Saat melakukannya, kita bukan sekedar berdialog dengan logika dan memori, tapi juga emosi-emosi yang mungkin sebelumnya tidak pernah mendapat tempat karena kita sibuk menyangkal, memendamnya karena takut akan penilaian orang, atau bahkan kita membungkamnya karena ingin memperlihatkan kepada orang lain bahwa kita baik-baik saja.
Bagaimana kita bisa melakukan NWT?
Untuk bisa melakukannya, kita perlu menyediakan waktu dan ruang khusus yang minim gangguan agar kita bisa berkonsentrasi dan berdialog dengan diri sendiri. Selanjutnya, siapkan kertas dan pulpen/pensil (sebenarnya boleh saja jika ingin mengetiknya di ponsel atau laptop, tapi akan lebih baik jika menulis menggunakan tangan di atas kertas). Lalu, ingat kembali peristiwa apa yang membuat kita terluka dan ingin kita sembuhkan. Tulislah tentang luka itu dengan menguraikan beberapa pokok bahasan, yaitu:
Saya mengalami … (ceritakan apa yang dialami yang berhubungan dengan luka yang saat ini masih terasa).
Saat kejadian itu, setelahnya, dan sampai saat ini, saya pikir … (ceritakan apa yang dipikirkan tentang peristiwa tersebut).
Hal itu membuat saya merasa … (ceritakan seluruh perasaan yang dirasakan).
Dalam kondisi seperti itu, sebenarnya saya butuh … (sampaikan apa yang sebenarnya kamu inginkan untuk terjadi dalam kondisi itu, misal, sebenarnya kamu ingin didatangi oleh orang tersayangmu, lalu dipeluk dan ditenangkan, dst).
Saya ikhlas bahwa peristiwa tersebut sudah terjadi. Selanjutnya, supaya saya merasa nyaman, saya akan bersikap … kepada/terhadap … dengan cara … (ini semacam deklarasi kemerdekaan bahwa kita ingin selesai dan berdamai dengan luka tersebut).
(selanjutnya silahkan tuliskan saja apa yang ingin dituliskan)
Nah, ternyata, menulis yang menyembuhkan ini ada caranya. Tak sekedar menulis lalu selesai, tapi kita juga perlu menyapa apa yang menjadi sikap, perasaan, dan pemikiran kita terkait peristiwa luka untuk kemudian mendeklarasikan “kemerdekaan” dan melegakannya dengan mengalirkan banyak hal. Selamat mencoba!
Sumber ide:
Healing Innerchild Within
Jurnal Perempuan: Menulis sebagai Terapi
Psikologi Kita: Terapi Menulis Untuk Kesehatan Jiwa
110 notes
·
View notes
Text
Tulisan: We must care and love others more
Seminggu kemaren sempet ngerasain perasaan yang ga pernah dirasain. iya rasa khawatir juga ga tau mesti apa terhadap anak didik yang mengalami gangguan mental health. beberapa hari hanya diam di kamar lantas menyakiti kepalanya sendiri membenturkan ke dinding dan semacam hal yang berkaitan tersebut. Dalam hati perantara siapa yah yang bisa ditanya soal masalah ginian temen2 kebanyakan lanjut study bidang science adapun dokter, masih umum. mau nanya ke temen yang tau tentang kepsikologianpun apalah saya yang lupa temen siapa aja yang ada di bidang ini. akhirnya baca2 buku soal psikologi klinis, baca banyak jurnal mental health yang dulu sempet dibaca tanpa bener bener difahami, seputar heal your self sampe inget kalau di tumblr tau ka novie yang lagi lanjut megister ambil profesi psikolog yang akhirnya bisa sharing soal ginian dan nemuin penyebab kenapa anak tersebut melakukan hal diatas. iya, karena merasakan trauma yang dalam merasakan sesuatu yang membuat hatinya begitu sesak. tapi dia tidak bisa mengungkapkan kesedihan juga apa yang dia rasa hingga akhirnya seperti saat ini.
Beberapa kasus (termasuk anak didik saya sendiri) sering sekali orang mengatakan hal ini
"Aku enggak suka terlihat lemah. Aku enggak mau orang lain melihat aku menangis dan payah. I just don't like being vulnerable."
Dalam kondisinya yang sedang kacau, ia menolak bercerita, menolak diperhatikan, menolak dibantu. Dalam pikirannya, menangis di hadapan orang lain dan terlihat lemah adalah kesalahan terbesar dan sangat memalukan. Ia lupa, bahwa tidak menolong dirinya sendiri adalah juga kesalahan lainnya.
Seringkali kita terjebak dalam kondisi demikian. Kita sadar bahwa sesuatu yang tidak semestinya sedang terjadi pada diri kita tapi kita sekuat tenaga menggenggam dan menyembunyikannya. Hingga suatu ketika, kita terpingkal ketakutan sebab sebuah bom yang besar dan membahayakan tengah meledak sejadi-jadinya.
Padahal, andai saja kita tahu bahwa ... Tangis adalah bahasa perasaan, ia tak pernah mendefinisikan kelemahan. Bercerita adalah kebutuhan jiwa, ia tak pernah mendefinisikan kerendahan. Pun dengan mencari bantuan, ia adalah cara kita menyayangi diri, ia tak pernah mendefinisikan kehinaan. Menangis itu boleh, bercerita itu perlu, mencari bantuan itu hebat.
Sebagaimana yang terjadi pada setiap manusia, suatu ketika kita akan bertemu dengan titik terlemah yang kita punya, menyaksikan diri kita memberi respon yang tak biasa, atau bahkan melakukan sesuatu yang rasanya mustahil dilakukan oleh diri ideal kita. It's okay! Ketika itu terjadi, lalu bagaimana?
Menangislah, terimalah perasaan yang ada tanpa perlu menghakiminya sedemikian rupa. Berceritalah, temuilah siapa saja yang dapat dipercaya dan bersedia menerima diri dan perasaan kita seutuhnya. Carilah bantuan, sampaikanlah permasalahan kepada ahlinya. Bersamaan dengan itu semua, bermohonlah kepada-Nya, agar Dia senantiasa melapangkan hati kita untuk menerima apapun yang menjadi ketetapan-Nya dan menjaga langkah kita agar tidak menjauh dari apa yang dikehendaki-Nya.
dari hal ini memahami, setiap orang memiliki mental yang berbeda dalam menerima suatu permasalahan. bila kita rasa suatu masalah bisa dihadapi sendiri, belum tentu orang lain bisa. Seperti orang-orang yang saat ini ada di panti rehabilitas disabilitas mental.
maka untuk kita, jangan pernah lupa cara memanusiakan manusia dan jangan pernah lupa menyayangi diri sendiri kata teh Aqia.
#islamicpsychology
8 notes
·
View notes
Text
Terkadang aku menyadari bahwa ikhlas itu butuh proses
Dulu pernah mengikhlaskan utk kuliah di KH karena realistis. Impian awalku hanya fk atau biologi. Impian kuliah di biologi sejak smp sudah terbayang di depan mata. Kuliah fk pun sama. Kalau anak smp di tanya biasanya menjawab dengan tidak jelas maunya apa aku bisa bilang saat itu aku ingin jadi dokter spesialis bedah orthopedi. Akrab dengan rumah sakit ingin menolong orang dan aku suka kedokteran. Biologi aku ingin mempelajari kultur jaringan pemetaan hidupku sangat terarah masuk biologi, jadi ilmuwan kerja di LIPI atau jadi dosen.
Semua itu berubah saat kelas 12 sma, kunjungan pertama kali ke kedokteran hewan ugm. Cinta pada pandangan pertama, mungkin itulah yang kurasa. Pertama kali kunjungan, pertama kali mendengar kuliahnya, pemaparannya, serta gambaran kedepannya, masa depan sangat terjamin, kebutuhan banyak lulusan sedikit, sampai sejak hari itu aku ubah doaku. Menempelkan poster di dinding kamar, doa setiap sepertiga malam masuk kh ugm, minta izin restu ortu, berusaha keras belaajar snmptn, mengikhlaskan diri tidsk masuk bio maupun fk ugm. Walaupun aku tau pada saat memilih jurusan pun aku masih menangis. Ikhlas memang tidak semudah itu. Ini salah satu jurusan yang sejak awal aku bilang orang tua langsung ridho, berbeda dengan bio maupun fk. Ridho ortu mudah istikharahpun di jawab Allah dengan pilihan ini. Hanya 6 bulan cukup mengubah peta keseluruhan hidupku di masa mendatang. Lalu bagaimana saat resmi diumumkan setelah snmptn tulis lolos. Bahagia. Lega.
Ppsmb 4 hari 1 univ dan 3 fakultas. Aku sakit. Berkali2 masuk p3k. Hanya ikut pembekalan resmi tanpa ikut ceremonial, sehari bolos izin sakit. Ah saat aku menonton video itu lagi, selalu tidak ingin jadi panitia penerimaan mahasiswa baru.
Awal2 kuliah akupun sempat kecewa blok 1 kita belajar cara belajar, psikologi pendidikan dari quantum based learning, problem based learning case based learning all about learning system. Life long learning menjadi semboyan sampai hari ini. Akupun masih sadar sejak awal lebih aktif d gc daripada ukm di fakultas. Punya kawan beragam diskusi menarik program menarik. Tahun pertama kedua aku lebih akrab dengan gelanggang, rektorat dan interdisipliner, lebih banyak ketemu dosen teknik, nongkrong di kpft nunggu dosen daripada mengenal dekanat fakultas. Tahun pertama kedua ngambis ip harus cumlaude tunjukin ke bapak ibuk kalau nilai tetep bagus dan masih aman. Tahun ketiga saat pilihan amanah 3 lembaga datang.
Ternyata aku lebih memilih dengan orang2 yang frekuensinya sama denganku. Mulai pengabdian masyarakat di tahun kedua, tidsk membuatku bergerak ke arah sana lebih dalam aku sadsr mengubah paradigma masyarakat desa itu tidak mudah, ada kesenjangan yang bernama pendidikan. Kalau ditanya kenapa tidak mengabdikan diri didesa saja dan memilih mengabdi ditempat lain, yuk diskusi, aku pun akan tanya program apa yang sudah kamu buat apa kontribusimu untuk desa, lalu seberapa baik respon masyarakat untuk berubah. Pada akhirnya aku lebih memilih dunia penelitian yang membuatku lebih sering ada di fakultas. Iya kuliah 2 jam praktikum 1 jam selain itu waktu aku habiskan di lab penelitian dari pathologi klinik, lab hewan coba, mikrobiologi, sampai biokimia fapet. Dari membuat krim anti jerawat, pastagigi herbal, probiotik untuk ayam, immunomodulator ayam, sampai obat diabetes, setidaknya 6 penelitian sampai aku lulus bisa membuat beberapa publikasi jurnal proceeding, jalan2 ke jp buat presentasi, diundang dies natalis fakultas atasnama sendiri, tidak berprestasi di akademik tapi non akademik sebagsi hadiah lulus 4.5 th, lulus kuliah karena pakai skripsi tersebut, masih diakui fakultas, dan 1 paten haki meskipun aku tak pernah tau wujudnya. Aku sadar itu bukan penelitian bagus2 amat atau sangat modern, hanya pengembangam obat herbal sederhana, tapi aku tau dari sanalah aku belajar mencintai profesi ini, belajar untuk lebih lama di fakultas, belajar menyukai dari hal2 tidak terlihat dengan bersinggungan langsung drngan hewan. Belajar untuk berkarya dan menghabiskan waktu kuliah ku dengan kegiatan2 akademisi. Dari lain hal aku belajar mencintai profesi ini dengan magang setiap liburan semester 2 minggu, magang pertama bib lembang aku melihat sapi2 jantan untuk bibit 1 ton sudah biasa, liburan di lembang menyenangkan, magang di feedlot sapi bagaimana sapi wagyu itu sangat enak, sapi australia dalam waktu 2 bulan dari 300kg menjadi 800-900 kg formulasi 21 jenis makanan, magang di klinik hewan kayumanis bagaimana kehidupan klinik hewan. Magang di bpptu baturaden bagaimana peternakan sapi perah di baturaden dan minum susu perahan langsung. Dinas peternakan sukoharjo, bagaimana penelitian di sapi, rabies, diagnosa penyakit dkk. University veterinary hospital di universiti putra malaysia, bagaimana aku memilih farmasi klinis sebagai blok pilihanku, dahulu tertarik dengan dunia farmasi klinis, dan obat, namun magang di rumah sakit hewan UPM malah dapat klinik dari hewan kecil anjing kucing sampai eksotik burung ular kelinci kura kura, bahkan peternakan sapi kambing dan kuda. Jujur magang di UPM ini mengubah keseluruhan peta hidupku. Pertama kali menginginkan terjun di dunia klinik, pertama kali melihat gambaran ideal suatu klinik atau rs hewan. Pertama kali berdoa ingin ke klinik. Jujur pertama kali jatuh cinta dengan klinik. Pemetaan hidup aku tata ulang tahun 2016 itu. Kalau lulus mau kerja di malay lagi. Belajar dari dokter sana dalam penanganan kasus. Doa samar2 ramadhan itu terkabul mei- juli 2018 sebelum lulus koas.
Jujur rasanya mulai hampir 24 jam memikirkan profesi ini, seharian full hanya di fakultas adalah saat koas. Benar menyerahkan waktu tenaga dsn pikiran hanya untuk jurusan ini. Selama koas 1.5 th aku merasa ikhlas berada di jurusan ini
Sehingga aku menjadi nyaman dsn sudsh tidak menginginkan pindah jurusan. Sampai aku kerja di klinik dengan ssngat mudahnya. Pertama kali penawaran kerja di jakarta, hanya berbekal rekomendasi dosen, diterima. Tapi aku kurang sreg. Pada akhirnya di telp kawan malaysia. Di malaysia 2 bulan jujur ini pertama kali hidup di luar jogja lama, di tempat orang bukan lingkungan kampus pertama kali belajar banyak kehidupan, benar kata pak reinald kasali. Belajarlah hidup di negara orang. Diluar dunia kampus dan kamu akan belajar banyak dari kehidupan mereka.
Rasanya sejak saat itu aku memutuskan terjun di dunia klinik. Berganti 4 klinik malay, jakarta semarang sampai balik jakarta lagi.
Mungkin pernah ditanya saat mengisi dsta alumni suatu organisasi nourma mau bergerak di bidang apa, aku isi akademisi peneliti dan praktisi. Mungkin Allah menunjukkan jalan mudah di dunia praktisi hewan kecil di klinik hewan.
Sejak 2016 pula aku berpikir bahwa mengabdikan diri di dunia kedokteran hewan bagi perempuan bisa dengan membuka praktik mandiri, klinik atau rs sendiri didepan rumah sehingga anakmu bisa terurus dengan baik. Jujur memang tidak mudah jalan ini, proses panjang. Belajar dsri penanganann penyakit sampai bisnis, managerial, komunikasi sampai training khusus klinik yang aku ambil 2019 lalu sampai magang langsung di petvet, berguru dengan dok Eka, butuh proses panjang untuk bisa menjadi wanita shalihah, isteri yang patuh, ibu yang baik dan kontribusi di dunia praktisi hewan kecil dengan punya klinik sendiri di segitiga emas jakarta.
2019 fitroh mengingatkanku lagi tentang peran perempuan
1. Wanita shalihah
2. Isteri yang taat dan ibu yang baik
3. Pendidik untuk anak2
4. kalau ummu bilang ditambah kontribusi untuk umat
Berguru sama ummi juga bermanfaat untuk mengingatkan syariat. Terima kasih ummi. Aku belajr banyak. Mengingatkan ku tentsng kodrat. Aku pun sadar banyak hal yang perlu dipersiapkan, akupun belajar dari ummi bagaimana dari rumah tetap menjalankan semua fungsi dan berkontribusi untuk umat.
8.8.2020
0 notes
Text
(My) Disleksia
Disleksia adalah (aku belum menemukan pengertian yang tepat). Tapi dari jurnal yang aku pernah baca, dosen matkul ABK aku bilang, dan yang aku alami, ciri-ciri orang dewasa yang mengalami disleksia adalah; kesulitan dalam memahami dan mengingat urutan-urutan yang sistematis, kesulitan mengingat arah suatu tempat, kesulitan membedakan bentuk-bentuk yang cenderung mirip, dan masih banyak lagi. (Kata dosen aku, gangguan disleksia pada anak-anak ngga sama kaya orang dewasa, ngga kaya di film Taare Zaaman Par).
Dan aku adalah salah satu penyandangnya. Dulu.. ngga pernah terpikirkan sama sekali aku mengalami ini. Dan aku pikir, semoga dengan tulisan ini, aku bisa katarsis dari pengalaman-pengalaman kurang baik mengenainya.
Rasanya masih ingin menangis ketika semester 3, ada seseorang yang bilang: “Kamu ko bisa sih masuk universitas (UIN), kayanya IQ kamu kurang dari 90. Coba deh kamu cek.” Dan karena kata-kata itu, aku pun menangis dari kampus sampai kosan. Udah ngga peduli deh ketemu orang-orang di jalan. Di tahan juga susah, kayanya mata aku merah.
Dulu, akupun sering sekali dimarahi guru matematika, karena hitung-hitungan ngga masuk di otak aku. Dan karena hal inipun, dulu guru SMP ku bahkan menunjukkan ketidaksukaannya padaku selama 3 tahun hanya karena aku ngga paham-paham sama apa yang beliau sampaikan. Waktu itu, (semester 1) aku sempat mikir bahwa aku discalculia. Tapi, aku inget-inget pas SMA aku pernah bisa untuk memahami mata pelajaran matematika dan hitung-hitungan.
Aku juga banyak mengalami kesulitan di rumah. Karena aku tidak bisa seperti orang lain, yaitu dapat dengan mudah dalam menemukan sesuatu. Aku pernah ada di posisi.. sangat sedih. Aku rasa aku berbeda.
Setelah aku masuk kelas mata kuliah ABK dan psikologi klinis. Akhirnya aku tahu, sepertinya aku mengalami disleksia, setelah akupun berkonsultasi dengan dosenku yang juga mengalami disleksia. Ibu bilang, “kamu mau ngga jadi profesor disleksia, udah ya kamu jadi profesor aja. ” Hahaha aku ketawa. Cukup menghibur sih, dan melegakan. Ternyata, aku tahu letak perbedaanku, dan kesulitanku.
Dan akhirnya aku melepaskannya di mata kuliah ABK, saat dosen menerangkan tentang materi disleksia dan segala kesulitannya. Aku pun menangis, tapi ditahan da malu soalnya duduk paling depan. Hahaha.
Mata ku merah. Sedih sekali. Aku melepaskan bebanku di pundakku kali itu. Karena, aku rasa aku pernah memiliki beban yang berat karena hal ini.
Saat ini, aku mulai menyadari.. bahwa, aku harus bersyukur. Karena, atas keterbatasan yang aku miliki, aku punya mereka yang memahami ku. Punya mereka yang selalu ada, dan menerimaku apa adanya. Keluarga dan sahabat-sahabat yang menyempatkan waktunya untuk membantuku, dan lebih dari mengerti tentang kesulitanku.
Pokoknya, apapun yang Allah kasih ke hidup kita. Itu adalah salah satu alasan, untuk bilang: “apa yang bisa aku ambil dari kesulitan ini?”
Aku pun begitu, seperti seseorang bilang, “penuhi sakumu dengan syukur, sekecil apapun itu.”
1 note
·
View note
Text
Media Sosial Sebagai Identitas Baru Bagi Anak Muda
Tugas Mingguan Academic Writing
Oleh :
Dorothea Putri V.
00000026627
Internet dianggap sebagai salah satu penemuan paling berpengaruh dalam sejarah perkembangan teknologi dan media massa. Kemunculan internet memberi peluang yang besar pada perkembangan teknologi-teknologi lainnya, khususnya dalam perkembangan komunikasi massa.
Merujuk pada Everett M. Rogers, ia membagi perkembangan teknologi komunikasi dalam empat era, yaitu Writing Era, Printing Era, Telecommunication Era, dan Interactive Communication Era. (Deddy, 2005 : 42). Saat ini kita hidup pada era yang terakhir yakni interactive communication era yang merupakan era pengembangan dari era telekomunikasi. Hal ini ditandai dengan ditemukannya internet sebagai media baru (new media) yang menandakan pula bahwa teknologi komunikasi semakin canggih.
Menurut William L. Rivers (2008:19) bahwa terdapat beberapa karakteristik komunikasi massa antara lain :
1. Sifatnya satu arah. Disini teori jarum suntik sangat relevan dengan situasi ini, dimana audiens dianggap pasif dan hanya mampu menyerap semua informasi yang diberikan melalui alat-alat komunikasi massa.
2. Selalu ada proses seleksi. Setiap media memilih khalayaknya. Misalnya saja Koran New Yorker hanya untuk kalangan menengah ke atas saja. Di lain pihak, khalayak juga menyeleksi media, baik jenis maupun isi siaran dan berita, serta waktu untuk menikmatinya
3. Media mampu menjangkau kalayak secara luas, sehingga jumlah media yang diperlukan sebenarnya tidak terlalu banyak sehingga kompetisinya selalu berlangsung ketat. Untuk menyampaikan berita dari mulut ke mulut tentunya diperlukan jutaan orang. Namun satu stasiun pemancar cukup untuk menyampaikan pesan itu.
4. Untuk meraih khalayak sebanyak mungkin, harus berusaha membidik sasaran tertentu. Sebagai contoh, editor koran yang selalu mengingatkan reporter untuk mencari berita yang menuarik minat orang-orang untuk menyampaikannya kepada orang lain.
Salah satu teknologi hasil pengembangan dari internet yang paling dianggap memiliki pengaruh besar bagi perkembangan komunikasi yaitu media sosial. Merujuk pada sistem perkembangan teknologi komunikasi yang dikemukakan oleh Everett M. Rogers, media sosial merupakan salah saru bentuk new media dimana media sosial dengan internet mampu menyatukan dua bentuk media menjadi satu. Sayangnya, karakteristik komunikasi massa yang dikemukakan oleh William di atas dianggap tidak relevan dengan karakteristik yang dimiliki oleh media sosial. Hal ini menunjukkan media sosial mengubah cara seseorang berinteraksi melalui media dengan individu lain.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring, media sosial adalah laman atau aplikasi yang memungkinkan pengguna dapat membuat dan berbagi isi atau terlibat dalam jaringan sosial. Sejak keberadaan media sosial, orang beramai-ramai mendaftarkan diri menjadi bagian dari media sosial. Media sosial dianggap mampu menembus batasan-batasan manusia untuk bersosialisasi. Batasan jarak, ruang, dan waktu pun memungkinkan seseorang untuk berkomunikasi satu sama lain kapanpun, dimanapun dan dengan siapapun dari segala kategori umur, termasuk generasi muda. Dalam hal ini, generasi muda memiliki batasan usia 16-30 tahun yang tertuang dalam UU Kepemudaan menurut Menpora Adhyaksa Dault yang dikutip dari Kompas.com.
Persepsi mengenai generasi muda juga belum memiliki patokan yang jelas. Namun pada dasarnya pengertian mengenai generasi muda merupakan suatu proses beralihnya seseorang dari masa kanak-kanak menuju masa remaja atau muda dengan disertai perkembangan fisik dan non-fisik (jasmani, emosi, pola pikir, dan sebagainya). Sehingga generasi muda juga disebut sebagai generasi peralihan. Menurut Ikatan Psikolog Klinis Indonesia dalam press release tentang Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 10 Oktober 2018, generasi muda juga merupakan masa dalam rentang kehidupan yang dipenuhi dengna berbagai perubahan dan dinamika. Mulai dari perubahan secara fisik-biologis yang secara natural membawa perubahan atau bahkan gejolak secara psikologis. Berbagai perubahan emosi dan pola pikir yang membuat generasi muda kerap dihubungkan dengan pencarian jati diri atau identitas sosial.
Perkembangan teknologi komunikasi memang mejadi bagian yang penting dalam suatu proses komunikasi yang ada di masyarakat. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa kemunculan media sosial mampu membawa pergeseran fungsi bagi generasi muda. Media sosial telah bergeser dari yang semula berfungsi untuk berkomunikasi telah berubah menjadi ajang untuk membentuk citra diri maupun identitas yang baru (Arif, 2016). Dan tidak terelakkan bahwa sebenarnya media baru telah ikut memberikan wajah baru pada generasi muda khususnya media sosial.
Media sosial dipahami sebagai sekelompok jenis media online yang terbagi atas lima karakteristik yaitu:
1. Partisipasi
Sosial media mendorong kontribusi danumpan balik dari setiap orang yang tertarik. Hal ini mengaburkan batas antara media dan penonton
2. Keterbukaan
Media sosial terbuka untuk umpan balik dan partisipasi. Media sosial mendorong voting, komentar dan berbagi informasi. Jarang ada hambatan untuk mengakses dan memanfaatkan konten-konten yang disukai.
3. Percakapan
Apabila media tradisional adalah tentang “broadcast” (konten ditransmisikan atau didistribusikan kepada audiens) media sosial lebih baik dilihat sebagai percakapan dua arah.
4. Komunitas
Sosial media memungkinkan komunitas untuk terbentuk dengan cepat dan berkomunikasi secara efektif. Komunitas berbagi kepentingan bersama, seperti cinta fotografi, masalah politik, atau acara TV favorit.
5. Keterhubungan
Sebagian besar jenis media sosial berkembang pada keterhubungan mereka, memanfaatkan link ke situs lain, sumber daya dan orang-orang di dalamnya. (Ennoch, 2014)
Berdasarkan karakteristik di atas menggambarkan secara keseluruhan bagaimana media sosial mampu membuka batasan-batasan yang selama ini tidak ada dalam media komunikasi massa lainnya. Beberapa keuntungan dalam media sosial ini membuat generasi muda yang dianggap masih mencari jati diri, dapat menemukan kenyamanan dalam bersosialisasi menggunakan media sosial. Hal ini dibuktikan dalam penelitian mengenai fenomena remaja menggunakan media sosial dalam membentuk identitas diri yang dilakukan oleh Tegar Roli pada tahun 2017, menunjukkan bahwa:
1. Secara orientasi personal, para remaja menggunakan media sosial dikarenakan mereka ingin menjalin komunikasi dengan teman-teman mereka. Sehingga mereka memutuskan untuk memiliki akun media sosial lebih dari satu.
2. Nilai individu yang ditampilkan dalam media sosial, para remaja mencoba membuat sebuah citra positif tentang diri mereka di media sosial tersebut. Remaja suka menampilkan identitas mereka yang smart, terlihat bahagia, dan suka menampilkan hobi atau kegiatan yang mereka sukai.
3. Para remaja cukup terbuka di media sosial dalam menunjukkan identitas mereka. Hal ini ditunjukkan dengan keterbukaan diri mereka melalui keinginan mereka untuk eksis dengan mengupload kegiatan yang sedang mereka lakukan (baik melalui foto ataupun status) dengan mengungkapkan permasalahan pribadi di media sosial, dalam bentuk tersirat.
Media sosial rupanya menjadi salah satu bentuk identitas baru bagi generasi muda dalam bersosialisasi dan berhadapan dengan lingkungannya. Anggapan-anggapan seperti ‘tidak keren tanpa media sosial’, ‘ketinggalan zaman kalau belum punya media sosial’, akan terus berdatangan dan mendorong keinginan untuk menjadikan media sosial sebagai alat untuk menunjukkanjati diri generasi muda.
Pada akhirnya media sosial pun digunakan oleh generasi muda sebagai bentuk eksistensi diri di lingkungannya. Alasan bahwa media sosial digunakan oleh semua orang pun melekat dan akhirnya membuat media sosial tidak pernah ditinggalkan oleh anak muda. Hal ini pun memicu bagi generasi muda. Sama halnya dengan teori Interaksi Simbolis yang dikemukakan oleh George Herbert Mead (Morissan, 2013: 225). Ia menyatakan bahwa ‘manusia membuat keputusan dan bertindak pada situasi yang dihadapinya sesuai dengan pengertian subjektifnya’. Dan juga gagasan mengenai ‘diri seseorang adalah objek yang signifikan dan sebagaimana objek sosial lainnya diri didefinisikan melalui interaksi sosial dengan orang lain’. Hal ini relevan dengan generasi muda yang mejadikan media sosial sebagai identitas diri mereka.
Keberadaan media sosial sendiri sebenarnya sangat membantu dan memberi banyak keuntungan bagi penggunanya, khususnya dalam hal ini adalah generasi muda. Mampu menciptakan komunikasi dengan orang yang ada berkilo-kilo meter jauhnya dari kita merupakan hal yang bagus. Namun bagaimana dengan orang yang ada hanya beberapa meter di hadapan kita? Atau bagaimana sosialisasi yang harus dibangun dengan orangtua dan saudara yang berada dekat dengan kita?
Pada akhirnya penggunaan media sosial dirasa cukup meresahkan bagi sebagian besar orang. Media sosial yang seharusnya mampu mendekatkan yang jauh, justru ikut menjauhkan yang dekat. Dan parahnya lagi, hal semacam ini dianggap oleh generasi muda sebagai budaya komunikasi yang sedang ‘in’ untuk terus dilakukan di era digital ini. Inilah yang disebut sebagai identitas baru media sosial bagi generasi muda.
Daftar Pustaka
Buku
Morissan, Teori Komunikasi, Individu Hingga Massa. Jakarta: Kencana, 2013
Mulyana, Deddy. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005
Rivers, William L., et al., Media Massa & Masyarakat Modern. Jakarta: Kencana, 2008
Jurnal
Arif Budi Prasetra, Trend Media Sosial di Kalangan Remaja dalam Perspektif Budaya Populer (disampaikan dalam Konferensi COMICOS di Universitas Atmajaya), Malang, 2016.
http://arifbudi.lecture.ub.ac.id/2016/07/trend-media-sosial-di-kalangan-remaja-dalam-perspektif-budaya-populer-disampaikan-dalam-konferensi-comicos-di-universitas-atmajaya/ (diakses pada : 10 Oktober 2018, pukul 20.47)
Ennoch Sindang, Manfaat Media Sosial Dalam Ranah Pendidikan dan Pelatihan, 2014.
https://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents/40842325/1-The_Social_Media_-_Ennoch_-oks.pdf?AWSAccessKeyId=AKIAIWOWYYGZ2Y53UL3A&Expires=1539185029&Signature=T9tGJ6MdEqMuz%2FWEfVm2q1Pb9cI%3D&response-content-disposition=inline%3B%20filename%3DThe_Social_Media_Ennoch_oks.pdf (diakses pada : 10 Oktober 2018, pukul 22.29)
Ghoffar Albab Maarif, Peran Mahasiswa Melalui Gerakan Indonesia Membaca untuk Mewujudkan Pendidikan Indonesia yang Berkarakter
https://www.scribd.com/document/326219164/Ghoffar-Albab-Maarif-Peran-Mahasiswa-Melalui-Gerakan-Indonesia-Membaca-Untuk-Mewujudkan-Pendidikan-Indonesia
(diakses pada : 10 Oktober 2018; pukul 19.02)
Sutatik, Gaya Hidup Pengguna Instagram (Analisis Deskriptif Kualitatif Mengenai Kelas Sosial Menengah Dalam Penggunaan Instagram Stories Di Ruang Cyber), Surakarta, 2017. (diunduh pada : 10 Oktober 2018; pukul 19.02)
Tegar Roli A., Fenomena Remaja Menggunakan Media dalam Membentuk Identitas, Purwokerto, 2017. (diunduh pada : 10 Oktober 2018; pukul 19.02)
Situs Daring
https://ipkindonesia.or.id/pernyataan-ipk-indonesia/2018/10/hari-kesehatan-jiwa-sedunia-10-oktober-2018-generasi-muda-yang-bahagia-tangguh-dan-sehat-jiwa-menghadapi-perubahan-dunia/ (diakses pada : 10 Oktober 2018, pukul 23.10)
Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring, 2018
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/media%20sosial (diakses pada : 10 Oktober 2018, pukul 20.47)
Kompas.com, Batasan Usia Pemuda Disepakati 16-30 Tahun, Jakarta, 2009
https://nasional.kompas.com/read/2009/09/09/12230789/batasan.usia.pemuda.disepakati.16-30.tahun (diakses pada : 10 Oktober 2018, pukul 20.48)
0 notes
Text
LUAR BIASA, Call 0878-7604-0136, Psikolog Pendamping Anak Bunda Lucy
Klik https://wa.me/087876040136, Psikolog Pendamping Anak,Psikolog Pendamping Anak Autis,Psikolog Pendamping Anak Angkat,Psikolog Pendamping Anak Anak,Psikolog Pendamping Anak Belajar
Bunda Lucy Trauma Center PTB Duren Sawit Blok D3/1 Klender Jakarta Timur (Dekat Sekolahan SDIT Arrahma)
psikologpendamping#psikologklinis #psikologklinisdewasa #psikologklinisanak #psikologklinisindonesia #psikologklinissemarang #psikologklinisambon #psikologklinisanakpati #psikologklinisaceh #psikologklinisanakjakarta
#Psikolog Klinis Anak#Psikolog Klinis Dewasa#Psikolog Klinis Anak Dan Remaja#Contoh Kasus Psikolog Klinis Anak#Jurnal Psikolog Klinis Anak#Psikolog Klinis Adalah#Gaji Psikolog Klinis#Psikolog Anak Terkena
0 notes
Text
Spesial, Call, 0895-3600-47385, Manfaat Psikolog Klinis Bunda Lucy.
Klik https://wa.me/62895360047385, Manfaat Psikolog Klinis, Psikolog Klinis Anak Dan Remaja, Psikolog Anak Jakarta Timur, Psikolog Klinis Anak Auits, Jurnal Psikolog Klinis Anak Bunda Lucy Trauma Center PTB Duren Sawit Blok D3/1 Klender Jakarta Timur (Dekat Sekolahan SDIT Ar-rahma) http://psikologindonesia.com https://g.page/r/CZUcygKgl_UzEAg/review https://g.page/r/CT98JtEHC7zUEAg/review #psikologklinisdewasa #psikologklinisanak #psikologklinisindonesia #psikologklinissemarang #psikologklinisambon #psikologklinisbekasi #psikologkliniscikarang #psikologklinisdewasajogja #psikologklinisdimalang #psikologklinisemarang
0 notes
Text
kado penutup tahun
Sejak 2007 memilih hidup jauh dari keluarga. Rasanya seperti menemukan diri sendiri. Bagaimana diri ini sebenarnya mampu bertahan di lingkungan baru. Kalaupun dikasih kesempatan mengulang kembali kehidupan, saya akan tetap memilih keputusan ini. Merantau. Begitu katanya. Bukan tentang berpindah tempat. Tapi menemukan limit diri and how to challenge it. Sometimes, ada di ujung jurang antara menyerah atau menjadi ‘si gila’ dengan mimpi aneh’. Saya yang saat ini menulis adalah “si gila dengan mimpi aneh” yang percaya pada keanehan mimpi saya sendiri.
Pencapaian ini belum seberapa. Masih sangat banyak mimpi. Pun mungkin masih banyak anak muda hebat lain dengan pencapaian yang jauh lebih baik. Hanya saja, saya sangat mengapresiasi sejauh ini ‘si gila’ ini memperjuangkan mimpi.
Desember 2003. Sudah berulang kali pada tulisan-tulisan sebelumnya saya sampaikan. Titik terendah dalam hidup. Kepergian Papa rasanya seperti kehilangan mimpi dan harapan, terenggut pilu dan airmata. Pergi bersama rindu yang menghampiri makam hijaunya.
2007. Saya mendaftar di SMA Dwiwarna Boarding School, Bogor Jawa Barat dan SMA Insan Cendekia Gorontalo. Keduanya untuk program beasiswa. Allah maha baik. Keduanya menerima. Keputusan untuk memilih SMA Dwiwarna, semata-mata karena saya ingin menantang diri sendiri. Kualitas keduanya sama baik. Tahun pembukaannya pun hanya beda setahun. Hanya saja saya memilih untuk keluar dari zona nyaman, Keluarga. Pun menjaga jarak dari rindu yang 4 tahun itu menggelayut di pelupuk mata, sering iya bermain manja turun bersama pedih dan airmata. 15 Juli 2007, di usia 14 tahun 1 bulan 26 hari, berangkat ke Bogor. Meski banyak suara sumbang. Tak hanya ditujukan ke saya yang dianggap ambisius. Juga ke Mama yang dianggap terlalu berani.
2010. diantara beragam pilihan, kesempatan, kepercayaan dan nasib, saya memilih Psikologi UII. Pilihan yang saya tentukan sendiri tanpa izin Mama dan keluarga. Jurusan yang saat itu, keluarga juga mungkin baru sekali dengar. Atau sekalipun dengar, seringkali dikorelasikan dengan ‘orang gangguan jiwa’.
2014. diantara tawaran menggiurkan di salah satu BUMN dan melanjutkan pendidikan di Magister Profesi Psikologi Klinis UGM. Ternyata bayangan duduk di dalam kelas, ngerjain tugas kuliah dan baca-baca jurnal, lebih menggiurkan. Keputusan paling aneh menurut sebagian besar orang, yang mungkin selama ini sudah cukup sabar berdiam diri untuk banyak keputusan gila saya. Bahkan beberapa yang sebelumnya mendukung beberapa keputusan gila, pun terang-terangan menyatakan protes, asumsi dan nasihat berirama kritik.
2017. setelah wisuda, beberapa yang bertemu pasti bilang ‘berarti langsung pulang?’. Pertanyaan yang selalu saya jawab dengan senyum dimanis-maniskan. Ekspresi dari kebingungan menanggapi pertanyaan ini dengan jawaban sehalus mungkin. Saat ini, pilihan saya masih untuk menetap disini. Selanjutnya, beberapa melanjutkan pertanyaan seputar pekerjaan. Hal yang sulit dijelaskan. Tentang bagaimana seorang Psikolog bekerja. Lebih tepatnya, bagaimana saya mendeskripsikan pekerjaan seorang psikolog sesuai karakter saya. Sayang sekali ‘si gila dengan mimpi aneh’ ini, tak bisa duduk diam manis di belakang meja, atau berdiri di depan kelas. Tak sepercaya diri itu untuk menyampaikan ilmu. Rasanya, tutur ini belum mampu menyampaikan. Rasanya diri ini masih harus banyak belajar. Saya memilih bekerja yang tak terikat. Tak mengikat. Dan tak diikat. Intinya mah bebas memilih kapan saya mau kerja dan apa yang mau saya kerjakan. Keputusan yang dianggap lebih dari sekedar aneh nan berisiko. Seperti biasa, suara sumbang semakin nyaring. Bahkan dari dalam diri sendiri. Tentang ketidakpastian. Kadang weekdays saya tidur nyenyak di kos, tapi weekend berteman deadline. Kadang pagi bereha-leha, tapi malam berpacu dengan sepi dan adzan subuh.
Diantara semua keputusan itu, bukan berarti saya tidak pernah menyerah. Berulang kali mempertanyakan akan kemana diri ini. Berulang kali bertanya ke diri sendiri ‘apa yang kamu cari?’. Tak pernah benar-benar menemukan jawabannya. Sampai detik ini tulisan ini dibuat. Yang saya temukan, lebih dari sekedar jawaban atas beragam pertanyaan mengandung ragu.
Menemukan diri saya sendiri.
Bahwa sampai sejauh ini perjalanan ini, karena saya percaya pada mimpi yang saya perjuangkan, diantara ragu dan kritik. Tak pernah mudah. Hanya saja saya meyakini ‘harus saya dulu yang percaya pada mimpi-mimpi aneh ini’. Tidak peduli seberapa banyak atau bahkan ada tak ada orang lain yang percaya. Setidaknya ada satu orang yang percaya. Saya. Itu sudah lebih dari cukup.
Ini tulisan untuk menutup 2017. Dibuat karena saat ini pun saya sedang ditantang membuat keputusan besar. Hati diombang-ambing diantara mimpi yang saling berebutan perhatian. Tulisan ini bukan untuk memamerkan sejauh apa perjalanan saya. Tapi untuk saya sendiri melihat kembali, seberapa jauh saya sudah berjalan. Diantara banyak nyanyian sumbang.
Di desember 2017 ini, banyak sekali ‘kado’ dari Allah. Saya dipertemukan dengan orang-orang hebat yang menutup 2017 saya dengan sangat indah. Membangkitkan semangat. Membuka kembali pintu bagi saya untuk belajar lebih banyak dan memberikan orang lain kesempatan untuk belajar.
Rabu, 20 Desember 2017. Saya turut serta dalam penelitian seorang kawan. Subjeknya adalah ibu yang menjadi caregiver dari anak Cerebral palsy. Melihat semangat dan ketulusan cinta mereka saja, saya merasa malu pada diri yang sering mengeluh dan mendustai segala nikmat hidup. Diantara segala inspirasi yang mereka hadirkan, dari ketangguhan dan airmata mereka, ada ucapan yang membuat saya menangis sesenggukan, merasa malu pada diri sendiri. Kira-kira kata-katanya seperti ini “selama ini kita merasa jenuh, lelah dan tidak sanggup karena kita sudah terlalu sering mendengar kata-kata negatif dari lingkungan kita yang tidak mengerti keadaan kita. Bahagianya saat bertemu dengan orang-orang yang paham dan juga turut merasakan keadaan yang sama. Seperti bertemu semangat baru, bahwa ada harapan diantara keadaan ini”. Kata kata ini sederhana, tulus dan benar-benar sesuai keadaan mereka. Menyentil hati yang selalu mengeluh. Bahwa apa yang kita rasakan, juga tergantung bagaimana kita memilih dan memilah. Memilih lingkungan untuk kita belajar. Juga memilah apa yang perlu dan tidak perlu bagi hidup kita yang lebih. Terdengar klise, tapi seperti ditampar. Kalau mungkin sekarang ini saya, kamu, dia, kami, kalian, mereka, KITA SEMUA rasanya lelah dengan keadaan hidup. Coba lihat kembali, sejauh mana lingkungan mampu mendorong kita menjadi lebih baik. Tidak berarti meninggalkan lingkungan yang dianggap kurang baik, tapi membuka diri untuk lingkungan lain yang bisa memberikan dampak positif bagi diri sendiri. Ibu-ibu itu punya 1000 alasan untuk menyerah, tapi untuk alasan cinta, mereka bertahan. Bohong sekali kalau tidak pernah lelah dan marah. Hanya saja, cinta mereka untuk anak-anaknya, jauh lebih besar dari itu semua. Ibu-ibu itu punya alasan yang lebih dari cukup untuk tidak datang dalam penelitian yang menyita sebagian besar waktu mereka dalam 2 minggu dengan banyak PR dan praktek. Tapi mereka memilih datang, bertemu untuk saling menguatkan, menemukan lingkungan yang lebih banyak memberikan kekuatan serta menemukan alasan untuk tetap bertahan. Kalau mereka tetap berjuang untuk 1 alasan itu, apalah artinya saya yang menyerah diantara banyak alasan memperjuangkan mimpi. Kembali lagi, tergantung bagaimana diri ini memilih dan memilah.
Kamis, 21 Desember 2017. Beberapa hari sebelumnya, Firda, seorang juru bahasa isyarat (jurbah) senior di Jogja menghubungi saya, mengajak untuk turut serta menjadi Jurbah untuk pentas teater Bhumi di TBY tanggal 22 Desember 2017, dalam rangka hari ibu. Hari itu kami diajak kumpul, untuk gladi resik dan ketemu langsung dengan sang sutradara. Pak Broto. Mereka lebih sering panggil Babe. Saya lebih nyaman panggil pak Broto. (semoga ada waktu, saya ceritakan korelasi pak Broto, 'seorang kawan’ dan teman-teman Tuli). Semoga. Singkat cerita, sebagai orang yang masih sangat baru dengan pengalaman paling minim diantara Jurbah hebat lainnya, saya sendiri gak PD. Saya sudah bilang ke Firda, nanti saya diajarin yaa, saya masih belajar. Lucunya, Firda menyampaikan ini ke pak Broto. Di perkenalan awal saya dengan pak Broto. Saya hanya senyum senyum malu. Mengiyakan untuk minta diajarin. Singkat cerita, kami di briefing sama pak Broto. Diantara semua kata-katanya, ada satu yang saya simpan sebagai kado di akhir tahun ini. ‘tidak peduli kamu hebat atau tidak, saya juga masih sering diprotes karena bahasa isyarat saya masih sering salah. Yang penting kamu mau datang, berarti kamu punya niat buat belajar. Lakukan saja sebisamu, setidaknya orang lain mengenal bahasa isyarat dan sadar pentingnya bahasa isyarat untuk teman-teman Tuli”. Seperti diberikan segalon es batu di tengah sahara. Kata-katanya sederhana, meneduhkan. Dari beliau saya belajar, untuk menjadi lebih baik dan lebih paham, kita perlu terlibat dulu. Rasakan keadaan di dalamnya, sambil belajar. Ini menjadi alasan saya untuk terus belajar. Belajar lebih banyak bahasa isyarat, belajar menemukan diri saya diantara tantangan yang menyerang limit saya sendiri, serta menentang kenyamanan. Kata-kata pak Broto menjadi semangat, betapa lingkungan ini begitu baik membuka kesempatan bagi saya tidak hanya belajar bahasa isyarat, tapi juga belajar menerima kekurangan masing-masing (kekurangan orang lain dan kekurangan diri sendiri. Percayalah lebih mudah menerima kekurangan orang lain, daripada menerima bahwa diri sendiri ternyata berkekurangan, lain waktu dibahas, semoga.).
Akhir-akhir ini diberi kesempatan untuk ketemu dengan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) Lapas Wirogunan. Diantara segala inspirasi dari kisah sulit yang sudah mereka lewati, hari ini 27 Desember 2017, ada beragam pertanyaan yang saya sendiri sulit menjawabnya, pun pernyataan yang membuat saya ternganga. “kalau mba jadi saya, apa mba tetap bisa berpikiran positif untuk hidup bertahun-tahun di dalam sini?”, “sebelum mba kenal kami, bagaimana pandangan mba tentang kami?”, “kalau kami ingin berubah, tapi lingkungan sering melihat kami buruk, bagaimana seharusnya kami berinteraksi diantara banyak kecurigaan?”, “sulit bagi kami membayangkan hal menyenangkan, karena disini yang terbayang seringkali hanya hal yang tidak menyenangkan”. Jangankan turut merasakan keadaan mereka, membayangkan saja, rasanya diri ini tidak mampu. Setiap datang ke Lapas, melihat mereka mampu bertahan sejauh ini, sudah lebih dari sekedar cukup, bahwa mereka masih punya alasan mempertahankan hidup yang benar-benar terpenjara. Tidak hanya fisik, tapi juga pikiran. Betapa sulit rasanya membayangkan hidup yang harus mereka jalani bertahun-tahun. Atas semua pertanyaan itu, hal pertama yang saya lakukan adalah mensyukuri hidup yang Allah berikan saat ini. Lebih dari sekedar nikmat yang patut disyukuri. Selanjutnya, patut rasanya saya menjadi orang yang memberikan mereka kesempatan untuk menjadi lebih baik ketika kembali kepada masyarakat nanti. Ada alasan di setiap tindakan seseorang. Tidak membenarkan apa yang sudah mereka lakukan, tapi memberikan mereka kesempatan memperbaiki masa depannya. Karena rasanya setiap orang berhak untuk masa depan yang lebih baik. Saya, kamu, dia, kami, kalian, mereka dan kita, punya kesempatan yang sama. Kalau saya sudah mendapatkan sangat banyak kesempatan belajar menjadi lebih baik, betapa tidak adil untuk menutup kesempatan mereka menjadi lebih baik.
Kisah terakhir, terjadi di awal desember 2017. Saya ke Jakarta untuk sebuah urusan dan juga ketemu mama yang juga sedang ke Jakarta untuk sebuah urusan. Ketemu teman-teman mama. Saya selalu minta uang dari dompet mama. Kapanpun untuk alasan apapun. Ternyata beberapa teman sudah mama ceritakan perbincangan kami beberapa tahun yang lalu. Saya lupa terjadi kapan dan dimana, hanya saja saat itu kami sedang membahas tentang uang. Singkat cerita, saya sendiri bilang ke mama “ma, mau sampai kapanpun, cici punya gaji berapapun, punya suami, punya anak nanti, cici akan tetap minta uang ke mama”. Itu bukan tawaran, tapi statement. Entah untuk alasan apa, rasanya uang dari mama itu lebih membahagiakan daripada uang darimanapun. Sekalipun saya kirim uang ke mama lalu saya minta uang lagi, bahagia sekali rasanya dikirim uang dari mama. Keinginan yang saya sendiri juga tidak mengerti. Baiklah, saya tidak hanya ‘si gila dengan mimpi aneh’, tapi juga ‘dengan pilihan aneh’. Ya ‘si gila dengan mimpi dan pilihan aneh’.
Ini ‘kado’ penutup tahun saya dari Allah. Saya bagikan, semoga bisa bantu saya sendiri, kamu, dan siapapun itu, menemukan ‘kado-kado’ yang bertebaran dimana-mana. Hanya perlu diam sejenak, ingat kembali apa yang sudah terjadi, temukan banyak ‘kado’ bertebaran dimana-mana.
Saya minta doanya, saat ini sedang memperjuangkan mimpi, doakan semoga mimpi ini patut diperjuangkan atau mungkin saya layak untuk ini.
Yogyakarta - Gyo Chon JCM - setelah 3 jam mangkal disini
Dece 27, 2017. 18:05
0 notes
Text
Mungkin Pertanyaanmu Belum Ada Jawabannya Sekarang
Sebelumnya. Tahun-tahun sebelumnya aku nggak pernah berpikir untuk kuliah atau berhadapan dengan hal akademik lagi. Ada tapi jurusannya sama dengan hal yang selama ini aku tekuni. Tapi sekarang harus menghadapi hal yang cukup baru. Mungkin sulitnya hal ini adalah tugas ada. Diminta untuk kritis iya. Kadang harus juga jadi pelopor buat tugas kelompok. Menjelaskan ke temen berulang kali. Diskusi tiada ujung yang jeng jeng belum ada yang baca referensi. Dapat uang nggak. Cari beasiswa sulit. Score bahasa yang belum naik-naik. Dan sekian banyak lainnya dinamika saat ini.
Kadang jujur. Pengin nangis sekali. Kadang kok banyak banget matkulnya. Materinya baru banget. Belajar psikologi sosial, abnormal, pendidikan, organisasi dan industri, statistika, skala psikologi, psikologi dasar, perkembangan, kepribadian, metode penelitian. Laptop lemot banget 😭 kadang pas mau dibutuhin mau buka pdf aja bisa setengah jam. Dan hal lainnya.
Berpikir juga tentang karier dan pekerjaan. Nanti akan seperti apa? Dan beberapa hari ini tertarik untuk fokus ke neuropsikologi. Tertarik bahas brain atau otak. Tapi tertarik juga ke klinis dan mengetahui mental disorder lainnya. Rencana akan ambil S2 lagi kalau mau fokus ke neuropsikologi. Rencana ambil di luar. Tapi ini berkaitan dengan sains banget. Dan tertarik.. masih jarang juga bidang ini. Tapi pengin juga kuliah fiction writing. 😂
Tapi di sela capek dan pengin nangis karena belajar statistika, pahami materi, begadang baca buku referensi yang satu bab tuh banyak banget (yaiyalah jumlah halamannya aja 900) tapi dari sini aku belajar banget perkembangan manusia, terutama anak-anak yang kompleks banget dan.. waw tugas sebagai orangtua berat sekali ya. Lalu belajar tentang mental disorder yang banyak sekali. Sekaligus belajar tentang HRD di kantor. Belajar metode penelitian. Baca jurnal.
Mungkin sekarang pertanyaannya. Sebenarnya akan dibawa ke mana langkah ini? Pekerjaan apa yang nanti bisa membuatku bisa mandiri secara finansial tanpa berulang kali mikir ketika mau ikut kelas atau course sesuatu. InsyaaAllaah pasti lelahnya membuahkan hasil.
Saat ini juga kepikiran untuk mulai nulis novel di platform online. Aku mungkin belum bisa branding seperti yang lain. Tapi aku ingin terus menulis dan menyampaikan hal baik. Hal yanh membuat semangat adalah pesan kebermanfaatan dan firman Allah
"Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan"
Sekarang menyadari bahwa... aku suka belajar wkwkwk tapi ga suka dinilai pake angka 😂😅
0 notes
Text
Ekslusif, Call, 0878-7604-0136, Psikolog Klinis Remaja Bunda Lucy
Klik https://wa.me/087876040136, Psikolog Klinis Gangguan Konseling,Psikolog Klinis Gangguan Ekonomi,Psikolog Remaja Konseling,Psikolog Lansia Perkembangan,Psikolog Klinis Dan Psikiater
Bunda Lucy Trauma Center
PTB Duren Sawit Blok D3/1
Klender
Jakarta Timur
(Dekat Sekolahan SDIT Arrahma)
http://psikologindonesia.com
https://g.page/r/CZUcygKgl_UzEAg/review
https://g.page/r/CT98JtEHC7zUEAg/review
#psikologeğitimleri #psikologezgihorzum #epsikologtv #epsikologtvcom #epsikolog #epsikologum #epsikologumaysegulcakir #psikologferhataydın #psikologfundemece #psikologfatmaçelik
Makalah Psikolog Klinis,Psikolog Klinis Dewasa,Seragam Psikolog Klinis,Perbedaan Psikolog Anak Dan Dewasa,Gaji Psikolog anak,Jurnal Psikolog Klinis Anak,Contoh Kasus Yang Berhubungan Dengan Psikolog Klinis,Perbedaan psikologi kesehatan dan Psikologi Klinis
0 notes
Text
Luar Biasa, Call, 0787-7604-0135, Psikolog Klinis Anak Bunda Lucy
Klik https://wa.me/087876040136, Psiolog Klinis Anak Dan Remaja,Psikolog Klinis Anak Berkkebutuhan Khusus,Psikolog Klinis Pada Keluarga,Psikolog Klinis Pada Fisik,Psikolog Klinis Pada Forensik
Bunda Lucy Trauma Center
PTB Duren Sawit Blok D3/1
Klender
Jakarta Timur
(Dekat Sekolahan SDIT Arrahma)
http://psikologindonesia.com
https://g.page/r/CZUcygKgl_UzEAg/review
https://g.page/r/CT98JtEHC7zUEAg/review
#psikologi #psikologanak #psikologianak #psikologanakjakarta #psikologanakjogja #apsikolog #apsikologi #psikologbandung #psikologburakoge #psikologbursa
Psikolog Klinis Anak Dan Remaja,Psikolog Klinis Dewasa,Contoh Kasus Psikolog Klinis Anak,Jurnal Psikolog Klinis Anak,Materi Psikolog Klinis,Peran Psikolog Klinis,Buku Psikolog Klinis,Intervensi Psikolog Klinis
0 notes