Text
Imposter Syndrome,
Kesempatan Untuk Mengenali Diri Sendiri.
Setelah mendapat gelar S.Pd banyak tetangga di kampung dan teman lama yang menganggap saya di atas mereka (soal pengetahuan). Mereka menganggap sarjana itu hebat dan pencapaian yang membanggakan.
Tapi dalam batin saya, saya tidak sehebat itu. Saya belum pandai bahasa inggris, mengerjakan skripsi juga banyak pakai Google translate. Copas jurnal sana sini. Bahkan, menurut saya anak SMA pun bisa mengerjakannya jika punya waktu dan niat.
Skripsi saya biasa saja. Aktifitas kuliah juga biasa saja. Anak SMA pun bisa duduk di kelas menyimak dosen, mengerjakan presentasi kelompok selama 8 semester.
Menjadi mahasiswa bukan sesuatu yang WAH seperti anggapan orang-orang. Bergelar S.Pd rasanya tidak membuktikan kalau saya sudah benar-benar menguasai jurusanku.
Toga dan jubah yang kedodoran seperti menanyai saya, apa yang berbeda dengan diriku 5 tahun lalu. Kok rasanya sama saja. Kenapa sekarang saya mengenakan jubah ini dan punya gelar baru. Apa saya pantas. Bukannya jubah ini untuk mereka para akademisi, para peneliti dan ahli yang kompeten di bidangnya. Kenapa saya ikut memakainya.
Selepas perayaan dan selebrasi ini, di luar sana beberapa tahun lagi mungkin ada yang tanya apa judul skripsiku. Apa yang saya teliti. Bagaimana hasilnya. Barangkali saya tidak bisa menjawab. Saya mungkin lupa dan tidak mempedulikan penelitianku dulu. Semua sudah berlalu. Seperti melewati halang lintang. Lakukan, lewati lalu lupakan.
Saya tentu lupa sebab saya tidak betul-betul concern dan ahli di dalamnya. Mahasiswa nyatanya tidak perlu ahli untuk bisa wisuda. Yang penting sudah terlewati. Yang penting sudah selesai. Yang penting sudah dapat ijasah. Yang penting sudah dapet gelar. Hidup mesti berlanjut. Dunia baru harus dijalani. Fokus baru mesti ditempuh.
Lalu mungkin ada yang bercanda, kamu beneran kuliah kan? Sudah lulus kan?
Mungkin saya bisa membela diri. Tentu. 8 semester penuh perjuangan, mengerjakan skripsi sampai berdarah-darah, mengejar-ngejar dosen pembimbing, minta tanda tangan, koneksi internet susah dll.
But I can't. That's fake. That's drama. Apa yang saya kerjakan dan lalui sepertinya semua orang juga mampu. Saya tidak sehebat itu. Saya hanya bekerja keras. Orang lain yang bekerja sama kerasnya dengan saya pasti juga bisa. Lalu di mana hebatnya saya?
Tahun 2018 saya sempat ikut program unggulan kampus. Saya lolos bersama 20an mahasiswa pilihan dari semua fakultas, dari ribuan mahasiswa. Mahasiswa lain mengganggap kami spesial. Mahasiswa pilihan yang paling unggul. Dapat treatment spesial.
Di luar diri saya bangga, tapi di dalam saya merasa fake. Saya bisa lolos bukan karena saya hebat, tapi karena keberuntungan.
Salah satu form-nya yang harus diisi dalam program itu adalah esai rencana exchange, study abroad dan setelah lulus S1 mau ngapain.
Waktu itu esai yang saya tulis cukup panjang dan ambisius. Sebetulnya saya hanya mengarangnya dan tidak berpikir bisa mewujudkan cita-cita di esai itu semua. Saya buka google, mencari nama Universitas keren di UK dan jurusan yang menurut saya masuk akal. Kebetulan panitia sangat memperhatikan esai yang ambisius. Alhasil saya diloloskan.
Saya tidak tahu berapa nilai toefl saya setelah keluar. Mungkin paling buruk. Saya melihat peserta lain juga tidak jauh berbeda dengan mahasiswa biasa. Kami hanya menang di keberuntungan dan kemauan mendaftar.
Semua mahasiwa bisa saja lolos jika kuota tidak terbatas. Saya tidak sehebat dan sespesial dalam bayangan mahasiswa lain. Keadaan dan programnya saja yang dianggap spesial.
Rektor secara langsung meresmikan program kami di depan ratusan peserta sidang senat terbuka. Kami diharapkan menjadi mahasiswa unggulan. Tapi benarkah kami unggulan. Benarkah saya unggulan. Kemampuan bahasa inggris saya saja masih di bawah mahasiswa-mahasiswa yang tidak lolos. Ada banyak mahasiswa yang lebih kompeten dari saya, tapi kebetulan tidak mendaftar.
Setelah program selesai, saya mendirikan komunitas menulis, menerbitkan buku bersama, mengadakan bedah buku, diundang di seminar. Barangkali mahasiswa lain takjub dan menganggap saya hebat, tapi di tempat duduk saya melihat kosong ke depan.
Kenapa mereka mau melihat saya bicara dan menganggap saya memotivasi mereka. Mereka juga bisa seperti saya. Saya tidak hebat. Saya tidak lebih unggul dari mereka. Tulisan saya tidak bagus-bagus amat. Banyak typo dan editing yang kacau. Jika disuruh membacanya kembali mungkin saya akan merobeknya. Saya kadang malu dengan tulisan saya sendiri. Tulisan saya tidak dahsyat dan sebaik tulisan penulis profesional. Saya sadar itu. Kemampuan saya biasa saja.
Di luar diri, saya bangga berdiri di depan peserta seminar dan melayani orang yang meminta tanda tangan. Di dalam diri, saya sadar bahwa kemampuan saya tidak sehabat itu. Saya tidak pantas bangga. Semua orang juga bisa melakukan apa yang saya lakukan.
Kadang saya takut orang lain tahu kalau yang saya lakukan itu biasa saja. Tidak sehebat yang dikira. Saya hanya menipu keadaan. Saya hanya beruntung. Saya hanya pura-pura jadi mahasiwa dan bergelar S.Pd. padahal kemampuan saya tidak beda dengan anak SMA.
Saya pura-pura ahli dalam penelitian skripsi saya, padahal saya hanya copas jurnal sana-sini, masukan data lapangan, dan pengolahan yang tidak serumit yang dipikirkan. Saya hanya pura-pura menjadi mahasiswa unggulan yang masuk program (yang katanya unggulan). Saya hanya pura-pura menjadi mahasiwa cumlaude. Saya hanya pura-pura jadi penulis yang tulisannya sebenernya tidak hebat-hebat amat.
Suatu hari seorang kawan mengenalkanku pada istilah psikologis yang mirip dengan keresahan yang selama ini saya alami.
Jauh pada tahun 1978 lalu, Psikolog klinis Pauline R. Clance dan Suzanne A. Imes seperti sudah mengenal baik saya. Mereka berdua menyebut kondisi ini Imposter Syndrome.
Jadi Imposter Syndrom ini merujuk pada kondisi yang dialami orang-orang "berprestasi" yang tak mampu menginternalisasi pencapaiannya. Gejalanya yaitu ketakutan akan dianggap sebagai "penipu".
Katanya bahkan penderita berpikir bahwa bukti kesuksesan yang telah didapatkan merupakan hasil dari menipu orang sekitarnya, agar mereka terlihat kompeten dan berprestasi dibandingkan orang sekitarnya.
Apakah saya sendiri?
Ternyata tidak. Di Vogue Inggris, Emma Watson berujar "Ketika saya menerima penghargaan atas akting saya, saya merasa benar-benar tidak nyaman. Saya merasa tidak pantas menerimanya."
Selain Emma, aktris asal Amerika Serikat, Natalie Portman yang menjadi pemeran utama Black Swan pun ternyata juga mengalaminya. Ia adalah sarjana psikologi di Harvard, ia bahkan mengatakannya saat berpidato tentang apa yang dirasakannya. "Hari ini, saya merasa sama seperti saat saya masuk Harvard pada 199.. Saya merasa seperti ada kesalahan - bahwa saya tidak cukup pintar untuk ada di sini dan setiap saya membuka mulut, saya mesti membuktikan bahwa saya bukan sekadar aktris bodoh,"
Menurut wikipedia orang-orang terkenal ini juga pernah mengalami sindrom tersebut, diantaranya: Tom Hanks, penulis skenario Chuck Lorre, Neil Gaiman, John Green, Tommy Cooper, Sheryl Sandberg, Mahkamah Agung Amerika Serikat Sonia Sotomayor, dan pengusaha Mike Cannon-Brookes.
Terlepas dari bukti eksternal kompetensi mereka, orang dengan sindrom ini akan tetap yakin bahwa mereka adalah penipu dan tidak pantas atas kesuksesan yang mereka capai.
Bukti kesuksesan mereka tersebut diatributkan pada keberuntungan, waktu yang tepat, atau sebagai hasil menipu orang lain, hingga berpikir bahwa orang lain lebih cerdas dan kompeten dibandingkan dirinya.
"Saya telah menulis sebelas buku, tapi setiap kali saya berpikir, 'oh, mereka akan tahu sekarang. Saya sudah mempedaya semua orang, dan mereka akan membongkar saya.''" — Maya Angelou
Ingat ayat bahwa Tuhan menutupi aib kita. Apabila aib kita dibuka, maka alangkah hinanya kita. Seandainya dosa kita berbau, barangkali tidak ada yang mau mendekati kita. Nah, orang dengan Impostor Syndrome ini merasakan rasa takut dan was-was jika aib atau keadaan sebenarnya mereka terbuka.
Namun kemudian psikolog Clance, sang pencipta istilah Imposter Syndrome ini menamakannya ulang dengan istilah “pengalaman penyemu” (Impostor Experience).
Dalam kutipan kata-kata Clance, "Jika saya dapat melakukannya lagi, saya akan menyebutnya sebagai pengalaman penyemu, karena hal tersebut bukanlah suatu sindrom atau suatu kompleks atau penyakit mental, hal tersebut adalah sesuatu yang hampir setiap orang mengalaminya."
Penggantian kosakata ini akhirnya mengubah perspektif orang agar dapat memahami bahwa mereka pun tidak terbebas dari pengalaman tersebut. Bahwa pengalaman penyemu merupakan fenomena umum.
Menurut jurnal "The Impostor Phenomenon" International Journal of Behavioral Science halaman 73–92 yang ditulis oleh Jaruwan Sakulku (2011), 70% orang akan mengalami setidaknya satu episode fenomena penyemu ini dalam kehidupan mereka.
Jadi ini pengalaman "experience" bukan syndrom atau penyakit mental. 70% orang di dunia mengalaminya dan punya pengalaman berada di kondisi seperti saya.
Pertanyaannya, berapa lama orang berada dalam kondisi ini?
Menurut saya ada orang yang nyaman berada di posisi "dianggap hebat atas pencapaian" dan tidak mau terlalu menghiraukan fakta kalau pencapaiannya itu biasa saja atau semua orang aslinya juga bisa (mengabaikan kemampuan asli diri sendiri).
Ada orang yang sadar dan jujur kepada diri sendiri bahwa "duh, aku gabisa terus-terusan pura-pura gini. Aku tahu aslinya akutu biasa aja gak seperti yang orang lain kira. Aku capek pura-pura hebat di hadapan banyak orang."
Orang semacam ini sadar bahwa pencapaianya belum seberapa. Jika ada yg bilang, "wih kamu hebat ya" dia malah malu sendiri. Sebab apa yang dilakukannya sebetulnya biasa saja. Orang lain hanya belum mencapai titik yang sudah ia raih dan orang lain tersebut barangkali punya keinginan untuk mencapai hal yang sama.
Contohnya, orang gak bisa nyetir mobil melihat orang bisa nyetir mobil. Dia akan bilang, wah hebat kamu bisa nyetir mobil. Padahal sopir itu merasa itu biasa aja. Nyetir mobil gak sesusah yang dibayangkan kok.
Wah kamu hebat ya bisa jadi guru. Padahal kita yang jadi guru merasa tidak sesulit dan serumit kelihatannya.
Wah hebat, kamu bisa menerbangkan pesawat. Padahal setiap penumpang bisa menerbangkan pesawat jika tahu caranya dan berlatih.
Wah hebat, designmu bagus. Padahal saya hanya ambil bahan dari freepik.com dan belajar Adobe Ilstrator dari Youtube.
Wah hebat ya, laporanmu rapi dan cepat selesai. Padahal saya hanya memakai formula excel yang bertebaran di google.
Wah bagus ya tulisanmu, bisa detail dan menarik. Padahal saya hanya melakukan riset dengan membaca data peristiwa di buku-buku sejarah, menjadikannya latar waktu dan tempat dalam cerita.
Wah bagus ya puisimu, padahal saya hanya banyak membaca puisi-puisi penyair besar dan meniru gayanya.
Wah hebat ya kamu gini gitu, padahal begini begitu. Semua orang bisa! Saya bukan nabi yang punya mukjizat khusus yang bisa melakukan sesuatu yang hanya saya saja yang bisa.
Masalah yang dihadapi orang yang nyaman berpura-pura adalah dia akan dihantui dengan perasaan was-was jika orang lain tahu bahwa dirinya biasa saja atau tahu rahasia yang disembunyikannya. Ia takut kalau sisi asli yang gak sesuai dengan penilaian orang lain itu terungkap. Pekerjaan yang dilakukan tidak serumit kelihatannya. Pencapaian yang didapatnya sebenarnya karena kebetulan atau orang lain aslinya juga bisa berada di posisinya.
Dulu waktu sekolah sampai awal kuliah saya senang dan bangga jika dianggap unggul/menonjol. Makin lama saya capek pura-pura bahwa saya gak sehebat yang mereka pikir. Saya capek membangun persona hebat dan hidup dalam rasa was-was kalau orang lain tahu bahwa kemampuan saya biasa saja. Bahkan semakin ke sini semakin gak nyaman dengan pujian dari orang lain.
Masalah orang yang sadar dan ingin keluar dari kepura-puraan seperti saya ini merasa tidak percaya dengan kemampuan diri sendiri karena sadar bahwa kemampuan saya aslinya tidak hebat-hebat amat. Sadar bahwa jauh di dalam diri tidak sesuai dengan penilaian orang lain.
Bahwa saya kurang kompeten di bidang mengajar bahasa inggris meskipun anggapan orang saya ahli karena sarjana keguruan bahasa inggris. Saya kadang tidak percaya diri dengan kemampuan saya karena saya sadar saya belum menguasainya.
Tapi barangkali itulah definisi jujur pada diri sendiri. Yaitu sadar dan berani membaca keadaan diri yang sebenarnya. Menurut saya itu lebih layak dijalani daripada hidup dalam kepura-puraan dan dalam rasa takut.
Jujur pada diri sendiri ternyata lebih menyehatkan mental. Bisa membuat lebih rendah hati juga, bahwa jika tidak kompeten di bidang A maka saya mesti jujur. Bahwa meski dianggap hebat saya bisa tetap rendah hati karena sadar diri bahwa aslinya saya tidak sehebat yang orang lain prasangkakan. Bahwa yang saya lakukan hanya prosedural, pelatihan yang bisa diajarkan dan dikuasai oleh semua orang, tidak hanya saya.
Untuk menghadapi rasa malu saat orang lain kagum pada saya, "Wah hebat kamu ya sudah wisuda, wah hebat kamu ya sudah menerbitkan buku dll" saya dengan percaya diri akan menjawab "ah gak juga. Saya ndak sehebat itu. Semua orang bisa kok seperti saya."
Setelah itu, saya baru merenung. Ya, saya memang tidak sehebat yang mereka kira. Kemampuan saya biasa saja kok. Saya akan jujur pada orang lain sekaligus pada diri sendiri karena kenyataannya memang begitu.
Barangkali pengalaman penyemu ini adalah kesempatan saya untuk lebih dewasa dan rendah hati. Bahwa profesi apa pun tak bisa disombongkan, bahwa pencapaian apa pun tak bisa ditinggi-rendahkan. Bahwa banyak pekerjaan yang bisa dilatihkan dan semua orang bisa.
Saya tidak perlu menyembunyikan "proses mudah yang nampak wah" untuk mendapatkan pujian atau penilaian orang. Saya tidak perlu takut dan was-was. selama saya jujur pada diri sendiri, tidak menghebatkan diri dan tidak mendewakan karya yang saya hasilkan.
Syaikh Abdurrazaq Al Badr Hafidzahullah pernah bilang, "Orang berakal tidak akan memperhatikan pujian dan sanjungan manusia kepadanya karena ia lebih mengetahui kekurangan dirinya sendiri dibanding dengan mereka."
Menurut saya, mengambil penilaian orang lain dalam porsi besar dan menjadikan itu sebagai patokan pencapaian dan kemampuan diri adalah kesalahan. Apa yang orang lain nilai dari saya barangkali adalah persona saya, bukan apa yang sebenarnya. Apa yang sebenarnya hanya saya yang tahu, dan itu jauh lebih penting.
Seharusnya saya yang lebih mengenali diri saya bukan orang lain.
Mengeliminasi penilaian diri (karena nilainya rendah) lalu memakai penilaian orang lain (karena nilainya tinggi) adalah bentuk membohongi diri sendiri. Orang yang paling saya percayai seharusnya adalah diri saya sendiri, bagaimana jika diri saya sendiri saja saya tipu. Siapa lagi yang saya punya.
Saya membayangkan satu waktu, ketika saya sendirian. Yang saya punya hanya saya sendiri. Saya menjalani hidup dengan kaki dan tangan sendiri, kemampuan diri sendiri. Saya berdiri di dalam aula besar dunia asing yang hiruk pikuk. Sebuah negara asing dan semua orang tidak mengenali saya. Yang bisa saya andalkan hanya kemampuan yang saya punya, bukan "Katanya kamu hebat ini itu, katanya kamu sarjana ini itu, katanya kamu dulu pernah ini itu ya?" Tidak ada yang kenal dengan saya. Saya sendirian di negara tersebut.
Pada akhirnya, penilaian orang lain tidak penting lagi. Jika saya mengikuti penilaian orang, saya akan hidup dalam hidup mereka bukan hidup saya sendiri.
Barangkali akan ada suatu waktu ketika saya diberikan pekerjaan yang mereka anggap saya hebat dan kompeten di dalamnya, (padahal saya biasa saja), akan ada rentetan penyembunyian-penyembunyian hasil kerja yang saya lakukan, karena saya tidak sehebat yang mereka kira, dan saya sendiri akan tersiksa untuk memenuhi ekspektasi mereka.
Dalam kesempatan pengalaman penyemu ini saya akan bersikap jujur pada diri sendiri dan berkenalan lebih dalam dengan diri sendiri. Saya yang akan menentukan saya hebat atau tidak. Saya yang akan menentukan berhak diberi pujian/penghargaan (karena sudah melakukan sesuatu dengan sepenuh hati) atau tidak. Saya sendiri yang akan menilai diri saya sendiri. Saya akan memerdekakan diri saya sendiri.
Barangkali inilah kesempatan saya untuk berkenalan dengan diri saya sendiri.
Sehingga "saya" yang ada di kepala saya bukan lagi "saya" menurut orang lain, tapi "saya" yang paling dekat dan paling saya kenal kemampuan dan proses yang sudah ia lewati.
Image: IG @rahasiagadis
500 notes
·
View notes
Text
Dewasa itu...
"Talang air pecah tadi malam. Mungkin kepanasan. Regulator gas udah mulai ga ngunci. Plafon kamar mandi lubangnya udah mulai besar. TV dari kemarin ndak ada suaranya. Listrik suka mati karena gak kuat, mesti naikin daya. Ini mau kemarau. Air sumur biasanya suka kering. Mending pasang air pam aja."
Waktu kecil, masalah harian, bulanan atau tahunan di atas tidak pernah saya ambil pusing. Tanggung jawab saya hanya berangkat sekolah, ngerjain PR dan makan tepat waktu. Itu saja. Masalah lain saya anggap angin lalu, sebab saya percaya semua pasti beres.
Di dalam pikiran saya, Orang tua saya hebat. Pasti punya tabungan yang cukup untuk bertahan hidup dan memperbaiki ini itu. Semua orang tua, saya pikir juga demikian. Semua orang tua pasti sudah punya tabungan banyak sebelum memutuskan menikah dan siap mengurus anak dan memperbaiki ini itu. Mental orang tua pasti kuat dan punya seribu satu cara mencari uang dan menyelesaikan masalah.
Dulu waktu kecil, semua masalah pasti beres. Entah bagaimana beresnya. Entah berapa uang yang dikeluarkan. Entah di mana beli ini itu. Entah lebih penting itu atau itu, prioritas ini dulu atau itu dulu. Entah dari mana sendok dan piring datang. Entah dari mana panci, gunting, korden jendela datang. Tiba-tiba saja semua ada.
Ketika merengek minta uang dan mereka bilang tak punya, saya yakin mereka sebetulnya punya. Tapi memang tak mau terlalu boros. Entah di mana mereka menyimpan uang, pasti di suatu tempat ada persediaan uang yang banyak yang betul-betul mereka atur dan pasti dikeluarkan saat kondisi mendesak. Jadi tak perlu khawatir.
Sekarang, setelah orang tua saya menganggur dan saya bekerja, saya mengerti. Bagaimana tidur dengan pikiran mengganjal. Besok mesti memperbaiki ini itu. Membayar ini itu. Beli ini itu. Saya paham jika ini tidak dibeli maka ini tidak bisa ada di rumah. Jika ini dibeli maka uang berkurang dan keperluan lain tertunda. Jika keperluan yang lain tertunda bisa jadi nanti berantakan. Tidak bisa masak. Tidak bisa mandi.
Sekarang, saat sumber keuangan datangnya hanya ke saya (dalam keluarga) maka otomatis tanggung jawab semua keperluan ada di pundak saya. Jika ini itu tidak diperbaiki maka tidak akan diperbaiki. Jika plafon kamar mandi tidak diganti maka akan terus seperti itu. Jika oli motor tidak diganti maka tidak akan diganti. Tidak ada yang bisa diandalkan lagi, sebab saya sudah dewasa dan punya pemasukan.
Menjadi dewasa artinya sadar diri dan sadar lingkungan. Jika ini rusak dan saya ikut menggunakannya maka saya juga bertanggung jawab ikut memperbaikinya. Tidak bisa mengandalkan tetangga. Tetangga sudah punya masalah mereka sendiri. Tidak bisa mengandalkan orang tua lagi. Orang tua juga punya masalah dan perjuangan mereka sendiri.
Sekarang, setelah memegang uang sendiri saya tahu bahwa jika tak punya uang artinya memang tak punya. Bahwa dalam kondisi mendesak pun jika tak punya uang maka betul-betul tak punya. Bahwa ternyata orang tua saya pun bisa tak punya uang. Bisa tak memegang uang. Bisa stuck seperti anak kecil yang kehabisan uang saku saat di sekolah. Bahwa orang tua tak selalu punya. Bahwa kadang orang tua pun bisa sangat senang mendapat uang 10 ribu.
Menjadi dewasa artinya mesti belajar banyak hal. Belajar mengganti regulator, memperbaiki stopkontak. Mesti belajar cara memasang pralon dan keran air untuk menghemat uang. Mesti tahu tarif wajar tukang saat ada genting bocor, antena patah atau mau membangun kamar mandi baru. Berapa harga semen dan pasir. Beli di mana yang lebih hemat. Merk semen apa yang bagus. Keramik apa yang paling cocok untuk kamar mandi dan murah.
Menjadi dewasa artinya mesti pandai bersikap dan menanggapi situasi. Mesti tahu informasi hidup orang-orang sekitar, mesti pandai memilah kata sebelum diucapkan supaya tidak menyinggung. Mesti tahu ibu ini pihak mana ibu itu pihak mana. Mesti tahu bapak itu punya masa lalu buruk dengan bapak A atau B. Juga mesti membesarkan hati dan siap karena saya akan mulai menjadi salah satu objek pembicaraan orang di sekitar.
Menjadi dewasa artinya masuk ke dalam sistem sosial. Bahwa saya juga bisa sakit dan perlu berobat. Mendaftarkan diri ke puskesmas. Mengantri di poli klinik rumah sakit. Menebus obat di apotek. Mengurus SIM, bayar pajak di samsat, iuran bpjs. Semua tidak akan didapat jika saya tidak bergerak. Saya tidak bisa sembuh jika tidak berobat. Waktu kecil. Saat sakit yang jadi masalah hanya rasa sakit. Menahan sakit. Masalah biaya, masalah pergi berobat, masalah administrasi sudah ada yang mengurus. Sudah ada yang memikirkan. Saat dewasa, sakit pun mesti memikirkan biaya obat, biaya menginap, biaya konsultasi dokter, biaya transportasi.
Menjadi dewasa artinya menjadi warga negara. Bahwa nama telah tercantum dalam beberapa kartu dan surat-surat penting. Bahwa nama bukan lagi hanya sekedar nama panggilan. Bahwa saya memiliki suara untuk memilih. Bahwa apa yang saya putuskan dan lakukan bisa berdampak besar. Bahwa jika melakukan kesalahan atau kejahatan saya bisa dipidana.
Menjadi dewasa artinya kesadaran makin tinggi dan luas. secara tak sadar saya mesti mengamati tatapan mata orang lain, cara mereka bicara, adakah yang disembunyikan. Senyum yang tulus atau tidak. Basa basi atau serius. Dia suka dengan saya atau tidak. Bagaimana saya mesti menguasai suasana. Berpakaian sesuai suasana. Bersikap sesuai suasana. Rasa malu pun juga menjadi sangat besar dan sensitif.
Waktu kecil, bahkan saya tidak peduli saya di mana. Mau di rumah, pasar, loket kereta, di dalam bus, di tengah hajatan, saya hanya fokus dengan apa yang membuat saya tertarik. Saya tidak peduli dengan yang lain. Saya hanya peduli teman saya bersembunyi di mana. Semak-semak atau di belakang rumah. Saya hanya peduli dengan dunia yang baru saja jadi tepat saat kawan dan saya menentukan siapa yang berjaga siapa yang bersembunyi.
Menjadi dewasa artinya kesadaran semakin dalam. Mau tidak mau pikiran secara tidak sadar memperhatikan hal-hal kecil dan artinya mesti belajar bahwa hal-hal kecil pun sebenarnya penting dan tidak bisa dianggap remeh. Bahwa bilang begini belum tentu orang menerimanya dengan baik. Bahwa hal yang sepele pun bisa menyakiti orang lain.
Menjadi dewasa artinya kepekaan semakin sensitif. Peka ketika orang lain membicarakan saya dan saya mesti belajar pura-pura tidak mendengarnya. Peka ketika ada yang tidak suka dengan saya. Peka ketika ada yang butuh bantuan tapi tidak berani bilang. Peka dalam memahami apa yang bahkan tidak dikatakan. Peka terhadap maksud orang lain yang disembunyikan. Peka ketika ada tamu dan mesti mencarikan cemilan dan minum. Peka ketika ada orang yang suka dengan saya tapi saya mesti menjaga jarak. Kepekaan itu datang dengan sendirinya dan semakin sensitif dari waktu ke waktu.
Menjadi dewasa artinya rasa malu semakin besar. Sering tidak pede dengan bentuk badan atau wajah sendiri. Tidak bisa bersikap sesuai dengan keinginan hati. Tidak bisa makan sambil lari ke sana ke mari. Tidak bisa memakai pakaian seenak hati. Tidak bisa banyak tingkah di tengah banyak orang.
Menjadi dewasa artinya menjadi bagian dari masyarakat. Mulai diperhatikan dan dibicarakan. Tidak seperti anak-anak yang diabaikan segala tingkahnya. Menjadi dewasa, segala sikap, ucapan dan pikiran akan diperhatikan dan dinilai orang lain. Tidak bisa nyelonong ke sana ke sini dan berharap diabaikan banyak orang.
Menjadi dewasa artinya sadar terhadap sistem dunia dan menjadi lebih realistis. Bahwa jika tak membeli maka tak punya. Bahwa jika tak punya maka tak bisa memakai. Bahwa jika tak punya kulkas maka tak bisa mendinginkan air dan menambah usia sayur. Bahwa jika tak punya mesin cuci maka mesti mencuci dengan tangan. Bahwa jika tak beli sabun maka tak bisa mandi. Bahwa jika tak bekerja maka tak punya pemasukan. Bahwa jika pengeluaran lebih besar dari pemasukan maka akan terlilit hutang. Bahwa jika tak bergerak maka tak bisa beli ini itu. Bahwa jika tak punya uang berarti memang tak punya uang. Bahwa jika tak punya keahlian tertentu maka akan tertinggal.
Bahwa teman-teman lebih butuh lunas cicilan motor daripada main hujan atau petak umpet. Bahwa senang-senang dan tertawa sepanjang hari tidak bisa membuat kenyang. Bahwa semua butuh uang. Bahwa uang penting. Bahwa uang meski bukan segala-segalanya tapi hampir segala-galanya butuh uang. Bahwa jika tak punya uang segalanya jadi sulit. Bahwa orang baik pun butuh uang. Bahwa hidup bukan hanya masalah makan minum.
Bahwa hidup tidak seperti film yang hanya fokus pada kerangka cerita saja. Bahwa hidup artinya menjalani inci demi inci, aroma demi aroma, kenangan demi kenangan, keringat demi keringat, air mata demi air mata. Bahwa hidup puncaknya bukan happy ending. Bahwa ketika berada di puncak kebahagiaan bisa jadi besok jatuh lagi. Bahwa ending dalam hidup adalah kematian, bukan terwujudnya impian.
Bahwa masa tua yang berat dan lemah pun mesti dijalani, bahagia atau tidak. Suka atau tidak suka. Bahwa ketika kehilangan seseorang artinya memang kehilangan. Tidak bisa ditawar tidak bisa merengek supaya ia kembali.
Menjadi dewasa artinya mesti belajar merelakan. Merelakan orang yang sangat disayang tiada. Merelakan kegagalan. Merelakan kekecewaan. Merelakan hal-hal yang tidak berjalan dengan baik. Merelakan waktu dan tenaga yang terkuras namun tidak menghasilkan apa-apa.
Merelakan kesalahan saat memutuskan. Merelakan kejadian yang mengubah banyak hal. Merelakan keadaan yang menempatkan diri dalam posisi sulit. Merelakan ketidakberuntungan. Merelakan posisi diri yang berbeda dengan orang lain.
Menjadi dewasa artinya mesti sabar. Tak bisa meluapkan emosi dengan tangisan (supaya yang diingini segera ada). Tak bisa meminta simpati orang lain dengan tangisan. Tak bisa merengek minta ini itu kepada orang tua. Tak bisa nangis dan apa yang dipengen ada di depan mata.
Tak bisa memencet tombol skip untuk melewati waktu yang sulit, melewati malam hari saat sakit, melewati bulan yang buruk, melewati waktu magang yang tidak mengenakan, melewati tahun yang menyebalkan, melewati beberapa jam saat antre. Tak ada tombol skip.
Menjadi dewasa artinya mesti ikhlas dan tidak terlalu bergantung pada emosi. Tidak terlalu kecewa ketika sesuatu tidak berjalan baik. Tidak terlalu marah ketika es buah yang sudah disimpan dikulkas dimakan orang lain. Tidak terlalu kecewa ketika keinginan tidak terwujud. Tidak terlalu marah ketika barang kesayangan jatuh dan rusak.
Pada akhirnya hanya perlu bilang "ya sudahlah.tak apa." lalu lebih fokus memperbaiki apa yang rusak, mencari jalan keluar, mencari cara mengatur ulang rencana daripada merengek dan kecewa berlarut-larut.
Lebih ingin segera menyelesaikan masalah dengan cepat dan sederhana. Malas memperuncing permasalahan dan suasana. Malas mengeluarkan energi lebih.
Menjadi dewasa artinya tidak seantusias dulu waktu kecil. Tidak terlalu ingin naik bianglala, tidak terlalu antusias datang ke pasar malam, tidak terlalu antusias bermain air, tidak terlalu antusias pergi piknik. Saat dewasa banyak yang sudah dialami, banyak yang sudah dirasakan. Hal-hal yang dulu membuat antusias menjadi biasa saja, membosankan dan terkesan merepotkan.
Malas basah-basah, mesti bawa plastik, menyimpan baju basah, ganti baju di kamar mandi umum, nanti pulang mesti bilas mandi, mesti nyuci baju basah. Pergi piknik pun malas. Mesti nyiapin pakaian, uang, barang ini itu, bekal, outfit yang sesuai dengan tempat dan tidak membuat malu.
Menjadi dewasa artinya masuk ke dalam norma sosial. Mesti memperhatikan norma-norma di setiap tempat. Mesti memperhatikan sikap diri sendiri, sikap orang lain dan penilaian orang lain. Mesti membangun persona tertentu. Mesti menahan diri.
Menjadi dewasa artinya mesti mengikuti irama waktu. Bahwa ada yang bisa ditunda ada yang harus segera. Ada yang prioritas ada yang bisa dikesampingkan. Ada yang kebutuhan ada yang keinginan. Ada yang sekarang ada yang nanti. Ada kemarin, ada sekarang, ada besok. Ada masa lalu, masa kini dan masa depan.
Menjadi dewasa artinya menjadi manajer diri. Mesti mengatur waktu, mengatur keperluan, mengatur pengeluaran dan pemasukan. Mengatur emosi dan mood. Mengatur rencana ke depan. Sebab tidak ada orang lain yang akan melakukan itu semua untuk saya.
Menjadi dewasa artinya menjadi pemimpin diri. Mesti memutuskan keputusan-keputusan sulit. Mesti memikirkan konsekuensi ke depan. Terhadap diri saya sendiri dan orang lain. Mesti memikirkan untung dan rugi. Baik dan buruk. Pantas dan tidak pantas
Menjadi dewasa artinya pikiran semakin luas dan sibuk. Banyak yang mesti dipikirkan. Dari hal-hal sepele sampai besar. Rencana-rencana ke depan sampai masa lalu. Dari kejadian kemarin sore sampai kejadian tadi pagi. Dari hal-hal yang sudah terjadi sampai hal-hal yang belum terjadi, yang masih diawang-awang:
Besok ketemu ini itu. Bicara di depan banyak orang. Kira-kira baju apa yang bagus. Pakai kaos kaki atau tidak. Rambut perlu potong tidak. Presentasi ini perlu dijelaskan atau tidak. Saat pembukaan lebih baik begini atau begitu. Berapa orang yang hadir. Jam berapa sebaiknya mandi.
Tahun depan mau ngapain. Kerja di mana. Nikah umur berapa. Mending kontrak atau di rumah aja. Kalau ikut mertua enak atau ndak. Gimana kalau konflik dengan mertua. Mending anak 1 atau 2. Nanti sekolahnya di negeri atau swasta. Nanti uang cukup ndak untuk kebutuhan sehari-hari. Makan, pakaian anak istri, bantu orang tua juga. Bagaimana jika anak tidak bahagia dan merasa kekurangan. Bagaimana jika istri merasa susah karena tidak punya kulkas, mesin cuci, rumah tidak terlalu bagus. Bagaimana jika nanti saya bosan dengan istri sendiri. Bagaimana jika ada konflik. Bagaimana jika nanti kita bertengkar. Bagaimana jika nanti begini begitu.
Saya tidak sedang membicarakan makna kedewasaan secara hakiki atau psikologis. Saya juga tidak sedang membicarakan usia. Saya membicarakan kondisi seseorang yang sadar bahwa dirinya sudah bukan bocah lagi.
Selamat tinggal masa kecilku.
1K notes
·
View notes
Note
Permisi kakak nuhun, saya beribu, saya tertarik akan cerita kakak ka, mohon maaf sebelumnya kakak, kalau boleh tau tinggal dimana kak?
Di Salatiga, Jateng
17 notes
·
View notes
Text
Beberapa Pesan di Balik Pandemi
Saya yakin, ada pelajaran di balik setiap kejadian. Pelajaran yang bisa kita ambil minimal sepadan dengan pengorbanan yang harus kita tanggung, mungkin malah bisa lebih. Sebab, saya sangat yakin. Tuhan tidak jahat.
Walaupun tidak semua pelajaran bisa ditangkap oleh semua orang. Pelajaran juga tidak selalu untuk hari itu juga. Bisa saja untuk anak cucu ke depan.
Selama WFH ini, saya banyak merenung untuk menangkap pesan positif yang ingin disampaikan pandemi ini untuk kita semua. Semoga ini bisa membantu orang lain yang masih kesulitan menangkap pesan dari pandemi ini.
1. Intensitas pertemuan anggota keluarga di rumah meningkat bahkan sejak pagi.
Banyak keluarga yang jarang berkumpul dan ngobrol. Orang tua kerja pulang sore, anak-anak sekolah juga pulang sore. Ketemu malam, masing-masing capek dan fokus ke hp.
Selama WFH, jadi banyak waktu luang untuk mengobrol, menanyakan hal-hal kecil dan sederhana yang sering di-skip di hari biasa. Pandemi ini secara tidak langsung menyambung silaturohim di dalam keluarga kita sendiri.
2. Orang tua mulai belajar mengajar anak-anak mereka sendiri selama di rumah.
Hal yang jarang dilakukan orang tua karena biasanya tugas ini dilimpahkan ke guru di sekolah. Orang tua mulai sadar betapa pentingnya orang tua mengerti pelajaran yang diperoleh anak-anaknya
Ketika orang tua mulai mengerti jika ada pelajaran yang sulit yang bahkan mereka juga tidak mampu mengerti dan menjelaskannya ke anak-anak mereka. Orang tua mulai sadar untuk tidak lagi hanya meminta nilai bagus dari anaknya.
3. Pelajaran pertama anak ada di rumah
Guru pertama anak adalah orang tua mereka. Seharusnya begitu. Tapi peran ini sering hilang dan dilimpahkan ke guru di sekolah. Tentu berbeda. Di sekolah anak tidak menerima keintiman belajar. Anak tidak menerima "nilai-nilai" orang tuanya
Di rumahlah nilai-nilai dan pandangan hidup orang tua disalurkan ke anak mereka. Berbagai pertanyaan yang tak bisa diajukan dan dijawab di sekolah dan ke teman-teman bisa ditanyakan di rumah. Orang tua wajib menjawabnya.
Sehingga orang tua tidak hanya orang yang mencukupi kebutuhan finansial keluarga. "Asal anak bisa makan dan sekolah"
4. Semua orang butuh Me-Time
Karena bebas keluar rumah, kita sering menghabiskan waktu berkumpul, membeli ini itu setiap hari. Tentu itu menyenangkan, tapi ada beberapa jam yang tidak seharusnya dihabiskan sia-sia.
Ada beberapa jam yang kita alokasikan untuk berkumpul sebagai bentuk menghormati pertemanan yang tidak seharusnya digunakan. Beberapa jam yang seharusnya kita gunakan untuk membaca buku, mengatur lagi fokus awal perjalanan kita.
Selama pandemi ini, kita diberikan waktu yang cukup banyak untuk kembali fokus pada diri sendiri. Fokus pada tujuan awal, fokus pada masa depan yang akan kita jalani yang belum tentu bersama teman-teman di tongkrongan.
Kita mulai memikirkan bagaimana caranya mengisi waktu luang. Hobi dan passion mulai muncul, bakat yang selama ini tak punya porsi waktu yang cukup untuk dikembangkan. Kita mulai produktif dan mendayagunakan skill milik kita sendiri. Tidak lagi bergantung pada teman.
5. Mulai rutin masak sendiri
Banyak istri yang biasanya kerja dari pagi dan lebih memilih beli sayur jadi. Karena pandemi, mereka mulai belajar menu masakan baru. Lebih memilih masak sendiri karena ada banyak waktu luang.
6. Kita mulai sadar bahwa pasif income, investasi, atau pekerjaan berbasis sistem itu penting
Kita sadar bahwa jika kita tidak hadir dalam bentuk fisik di pekerjaan, maka tidak ada pemasukan. Jika kita tidak membuka lapak dagangan, tidak ada pemasukan.
Sementara kita harus tetap makan. Kebutuhan sehari-hari terus ada.
Kita mulai sadar bahwa kita selama ini bekerja untuk uang bukan sebaliknya. Uang tidak bekerja untuk kita.
7. Mulai menghargai hal-hal sederhana
Banyaknya waktu luang sama dengan banyak waktu untuk melakukan hal-hal yang sebelumnya kita anggap tidak penting atau tidak sempat. Misal menyiram tanaman, menghirup udara pagi, menghayati hangat matahari pagi, menyeduh teh dan membaca buku
Banyak pekerjaan di rumah juga yang bisa kita kerjakan. Menata ulang rak buku, mengubah arah tempat tidur. Kita juga punya waktu untuk membantu hal-hal sederhana orang tua kita. Membetulkan antena, mengganti ban, membetulkan kursi, membuat kue.
Hal-hal sederhana dan yang sebelumnya kita anggap buang-buang waktu, tidak menghasilkan, sia-sia dll ternyata jika dilakukan cukup menyenangkan.
8. Lebih menghargai kesehatan
Fakta bahwa virus menular melalui droplet, membuat banyak orang sadar bahwa sangat penting menutup mulut saat bersin/batuk dan mencuci tangan secara rutin. Sebab tidak hanya virus covid yang menular, ada banyak virus lain yang cara penularannya sama
Menjaga kebersihan diri menjadi fokus utama banyak orang hari ini. Selain itu banyak yang mulai aware dengan kesehatan. Rempah-rempah mulai naik daun, jamu tradisional, buah dan sayur. Makanan yang sebelumnya dianggap remeh dan menjadi pilihan ke sekian setelah fast food
Back to nature naik daun. Petani sayur, buah, rempah untung banyak.
Kita diberi waktu luang juga untuk olahraga. Pagi hari saat vitamin D memancar secara gratis. Saat oksigen luar biasa segar. Kesempatan yang sering kita lewatkan di hari kerja.
9. Sadar bahwa tidak semuanya harus dilakukan secara tatap muka
Jika bisa dilakukan di rumah kenapa harus di restoran, di cafe, di taman dll
Meeting suatu project jika bisa dijelaskan via grup wa kenapa harus di cafe? Dengan mengeluarkan anggaran konsumsi yang tidak perlu?
Kita malah menjadi konsumtif dan produktif dalam waktu bersamaan.
Ternyata dengan menggunakan teknologi, kita bisa menghemat banyak waktu. Melakukan banyak hal sekaligus. Tidak perlu membuang waktu, tenaga dan dana yang tidak perlu.
Kita bisa menghemat waktu mandi, jalan kaki, naik angkutan umum atau mobil/motor pribadi, perjalanan di jalan, menunggu partner lain, ngobrol ga penting sebelum acara dll
Bahkan kita sadar ada beberapa kelas kuliah yang seharusnya bisa dilakukan secara online atau bahkan mandiri.
Betapa sering kita masuk kelas hanya 1-2 saja dalam sehari. Saat masuk hanya absen dan mengumpulkan/diberi tugas.
Berapa ongkos, tenaga dan waktu yang terasa sia-sia?
Baju yang dipakai terasa sayang. Sudah dandan rapi dan mandi. Akhirnya sehabis kelas supaya tidak merasa sia-sia kita jalan atau nongkrong dengan teman. Jajan ini itu dll.
Waktu yang seharusnya bisa kita gunakan untuk me-time. Untuk melakukan hobi, untuk mengembangkan passion
10. Tidak ada alasan melewatkan ibadah
Di hari kerja biasa, kita kadang melewatkan beberapa shalat. Kita merasa berhak mendapat waktu istirahat karena sudah bekerja keras. Badan letih. Malas ambil wudhu dan sayang untuk memotong waktu istirahat untuk shalat.
Kita juga kadang menunda shalat karena dalam posisi tanggung. Tanggung melanjutkan meeting, kerjaan atau memang lupa waktu karena sedang di luar rumah. Di perjalanan.
Realitanya di hari kerja biasa sangat sulit tepat waktu ketika shalat, kecuali dhuhur yang memang sesuai dengan jam istirahat. Waktu kita tersita dengan fokus pekerjaan, badan terlalu letih dll
Saat shalat pun pikiran kita tidak bisa tenang. Merasakan badan capek. Memikirkan pekerjaan yang terjeda tadi. Shalat jadi terburu-buru. Ingin segera menikmati jam istirahat dan makan yang sangat singkat.
Selama pandemi ini, kita tak punya alasan untuk melewatkan shalat. Beralasan terlalu sibuk dan capek. Pikiran kita juga lebih damai. Tidak terburu-buru.
11. Produktif tidak selamanya cuan
Cuan atau untung kadang menjadi tolak ukur banyak orang dalam melakukan sesuatu. Jika tidak menghasilkan pendapatan rasanya malas dikerjakan. Buang-buang waktu.
WFH, tidak berangkat kerja bukan berarti tidak produktif.
Produktif tidak selama dibayarnya tiap jam aktivitas kita. Kerja di kantor misal. Karena kita dibayar sekian ratus ribu tiap 8 jam, itu dinamakan produktif. Tidak selamanya begitu.
Melakukan aktivitas yang berguna tanpa menghasilkan bayaran pun juga merupakan definisi produktif.
Produktif tidak melulu tentang uang. Betapa rendahnya kemanusiaan kita jika hidup tiap jamnya dipatok dan dirangsang hanya oleh uang.
Kita tetap bisa produktif dengan melakukan sesuatu yang kita suka walaupun tidak menghasilkan uang.
Kita malas meluangkan waktu berolahraga karena tidak mendapat bayaran darinya. Padahal bayaran tidak selalu berupa uang. Kita berolahraga bayarannya adalah kesehatan fisik.
Kita malas membaca buku karena tidak dibayar. Pdahal bayarannya adalah pengetahuan dan sudut pandang baru
WFH ini memberikan waktu yang sering kita inginkan selama hari kerja biasa. Waktu yang bisa kita gunakan untuk hal-hal sederhana yang sering kita lewatkan. Bukankah hidup juga terdiri dari hal-hal sederhana, meskipun tidak secara langsung terlihat hasilnya jika dikerjakan
Berapa banyak kita punya waktu merenung di hari kerja biasa. Merenung dan melamun tanpa rasa pegal di badan. Merenung dengan hikmat tanpa terburu-buru karena kerjaan di rumah belum selesai.
Merenung juga bagian dari produktivitas. Kita berpikir, kontempelasi diri sebelum melanjutkan perjalanan.
Apa jalanku sudah benar. Apa yang sudah saya lakukan kemarin. Apa yang akan saya lakukan beberapa tahun lagi. Apa pekerjaanku sekarang sudah benar.
Saking kalap dan sibuknya kita bekerja kadang kita tidak sempat memikirkan lagi apa yang seharusnya dipikirkan. Keputusan demi keputusan kadang diambil terlalu cepat karena terburu-buru.
Pelari marathon pun butuh jeda mengambil nafas sebelum melanjutkan beberapa kilometer lagi
Selama jeda itu ia mendinginkan kepala dan melambatkan detak jantung supaya bisa berpikir jernih. Melihat lagi apakah jalur yang diambilnya sudah benar. Bagaimana stok air minum dan makanan.
Jeda tersebut juga merupakan bagian dari lomba. Bagian dari produktivitasnya.
12. Empati
Ketika semua orang tidak bekerja. Baik kalangan menengah ke bawah hingga menengah ke atas. Semua terganjal pemasukannya.
Semua mengalami kerugian meskipun tidak semua berada di kondisi finansial yang sama.
Ada yang betul-betul terhenti pemasukannya, ada yang hanya tersendat pemasukannya ada juga yang terhenti tapi sudah memilki tabungan melimpah.
Semua mengalami kerugian. Semua berada dalam perahu yang sama.
Di sinilah kita diajarkan untuk menjadi manusia.
Bagaimana jika semua mengalami nasib yang sama tapi ada yang masih beruntung.
Orang-orang yang pemasukannya hanya tersendat, orang-orang yang tabungannya masih membludak dirangsang rasa empatinya.
Apakah benar kita hidup berdampingan di dunia ini
Jika iya, sudah seharusnya saling mengulurkan tangan bukan?
Pengusaha produk terkenal membantu kalangan bawah, yang merupakan konsumen produknya. Walaupun terdengar pragmatis, para bos perlu "memelihara" konsumennya sampai pandemi berakhir.
Jika kalangan bawah habis, produknya juga akan turun penjualannya. Mau tidak mau, dengan empati atau tidak, mereka akan tetap membantu kalangan bawah dengan menggelontorkan dana dalam bentuk "investasi".
Sembako, masker, apd, diskon murah dll
Dengan semacam paksaan alam untuk membantu, sistem sosial yang seharusnya terjadi di masyarakat akhirnya terjadi.
Yang di atas membantu yang di bawah. Karena bagaimanapun juga yang di atas butuh yang di bawah, begitu juga sebaliknya.
Pada akhirnya, beberapa empati karena perasaan persamaan nasib muncul.
Mereka bilang bangsa terdiri dari sekumpulan orang yang memilki persamaan nasib, cita-cita dan dalam satu lingkup wilayah yang sama.
Selama pandemi ini, kita merasakan persamaan nasib, merugi secara finansial. Sama-sama bertahan hidup. Sama-sama terancam oleh virus.
Semua juga memilki cita-cita sama. Memusnahkan virus dan menormalkan aktivitas.
Semua juga dalam lingkup wilayah yang sama. Yaitu bumi.
Ya betul. Bukan sebagai warga suatu bangsa tapi kita diingatkan sebagai manusia yang tinggal di bumi yang sama.
Nasib yang sama, cita-cita yang sama, dalam satu tempat yang sama.
Tidakah cukup untuk mengetuk empati dan rasa kesatuan kita sebagai manusia.
13. Semua manusia sama
Entah mirip sistem komunis. Entah mirip sistem sosialis. Entah ini seperti sistem sosial apa, yang jelas kita dihadapkan pada fakta bahwa kita semua memilki resiko yang sama terhadap virus.
Mau kaya 7 turunan, mau tinggal di pinggiran sungai.
Semua bisa terpapar virus. Semua bisa sakit. Semua bisa mati. Semua sama.
Apa yang membedakan?
Ketahanan sistem imun. Selama belum ada vaksin, setiap orang hanya bisa mengandalkan sistem imunnya masing-masing.
Sistem imun tergantung kepada setiap individu.
Sistem imun tergantung pada "amal" setiap orang selama ini. Amal yang dimaksud adalah bagaimana ia menjaga kesehatan, seberapa sering ia berolahraga, apa saja yang ia makan.
Sistem imun ini dibangun tidak sehari semalam, tapi melalui proses yang panjang.
Sekaya apa pun seseorang, ia mungkin tidak bisa membeli sistem imun yang kuat dan akan percuma apabila selama hidup ia serampangan. Makan junkfood, minum minuman berkarbonasi, merokok, melewatkan waktu olahraga, tidak pernah mengeluarkan keringat dll.
Merusak tubuh yang seharusnya dijaga.
Semua orang sama, yang membedakan adalah derajatnya di mata Tuhan. Amal kita terhadap tubuh kitalah yang akan menyelamatkan kita.
Sebagaimana amal kita yang akan menyelamatkan kita di akhirat.
14. Kembali ke kebutuhan bukan keinginan
Dalam pandemi ini, orang-orang tidak membeli handphone mahal, smartTV, Mobil mewah. Semua berbondong-bondong membeli sembako. Semua kembali pada kebutuhan dasar mereka. Kebutuhan yang penting.
Kita cenderung banyak memangkas list barang yang ingin kita beli ke depan. Barang-barang yang tidak terlalu penting dan mendesak. Barang yang tidak terlalu berguna selama pandemi.
Kita juga mungkin menghapus beberapa agenda atau project visioner.
Kita tidak terlalu jauh melihat ke depan. Kita diajak melihat di dalam. Ke jarak yang dekat dengan kita hari ini.
Apa yang bisa saya lakukan untuk hari ini bukan untuk hari esok.
Kita diajak untuk hidup hari ini. Pada momen ini. Pada hal-hal yang penting.
Ini merupakan gabungan dari konsep Minimalis dan Ikigai.
Kita lebih membutuhkan handsanitizer daripada gincu. Kita lebih membutuhkan jahe hangat daripada es boba. Kita lebih membutukan 1 jam olahraga daripada 1 jam nonton.
Selama ini banyak kebutuhan tubuh kita yang tersisih karena keinginan pikiran kita.
Keinginan dan kepuasan diri mengalahkan kebutuhan penting.
15. Melatih kebijaksanaan
Sejauh ini masyarakat hanya diimbau untuk tidak mudik. Tidak ada larangan hukum tertulis. Ini makin membuat dilema bagi orang-orang di kota. Sekaligus menguji kebijaksanaan orang-orang dalam mengambil keputusan.
Jika tidak mudik, rindu keluarga di rumah, kesepian di perantauan, keuangan makin menipis
Jika mudik, berpotensi membawa virus, tapi bisa berkumpul dengan keluarga.
Beberapa orang memilih tetap mudik dengan keyakinan bahwa dirinya sehat walafiat, tidak mungkin membawa virus. Apabila membawa virus pun paling tidak jika meninggal ada di dekat keluarga di kampung.
Beberapa lagi enggan mudik karena merasa jika dirinya belum tentu bebas virus
Mereka tau fakta bahwa tidak semua penderita memilki gejala.
Mereka tidak ingin mengambil resiko. Rasa sayangnya pada keluarga lebih besar dari ego. Mereka mengesampingkan keinginan pribadi. Mereka lebih memilih positif walaupun sendiri di tempat perantauan.
Tapi tidak semua memilki mental sekuat itu. Banyak yang ketakutan. Ingin merasa aman di dekat keluarga di kampung.
Kebijaksanaan setiap orang betul-betul diuji di sini.
Rasa kemanusiaan. Mental sebagai manusia yang bebas dan memilki banyak pilihan. Akal yang diberikan Tuhan untuk berpikir. Semuanya betul-betul diuji dalam pandemi ini.
Bahwa hidup tidak hanya antara hitam dan putih. Baik dan buruk.
Di RS Semarang beberapa waktu yang lalu, sedikitnya 46 tenaga medis tertular oleh pasien yang tak jujur.
Beberapa pasien mungkin ketakutan dan menyimpan informasi yang akan mengarahkannya menjadi pasien ODP hingga positif. Beberapa dari mereka berbohong. Tidak dari luar kota. Tidak pernah berinteraksi dengan warga negara asing dan lain sebagainya.
Karena rasa ego, rasa kemanusiaannya menurun. Ia tidak mempedulikan nasib tenaga medis yang merawatnya. Ia hanya ingin lekas diberi obat dan pulang dengan cara yang normal, tanpa mendapat status ODP/PDP
Menurutnya, ini tidak salah. Sebab, jika pulang dengan status ODP/PDP, mungkin ia akan dikucilkan oleh masyarakat.
Faktanya di lapisan masyarakat pun rasa kemanusiaan juga tengah diuji.
Banyak kasus jenazah pasien covid yang akan dimakamkan ditolak warga sekitar.
Dari sudut pandang mereka, ini benar.
Mereka enggan mengambil resiko, mempersilakan tubuh yang terjangkit virus ada di lingkungan mereka.
Rasa takut bisa mengalahkan rasa kemanusiaan semua orang.
Warga enggan mendekati bahkan terkesan mengucilkan orang-orang yang berstatus ODP/PDP.
Virus menjadi semacam momok dan aib di masyarakat.
Orang-orang tidak hanya dihadapkan dengan ketakutan akan virus, tapi juga pengkucilan dari warga.
Pandemi ini seperti bertanya pada kita semua
"Seberapa besar kemanusiaanmu? Setinggi apa kebijaksanaanmu sebagai manusia?"
Saya sangat yakin, masih banyak pesan dari pandemi yang belum saya tangkap. Masih berapa pun itu, saya rasa beberapa pesan di atas sudah cukup menjadi bahan renungan bagi kita semua.
Ayo bertahan.
Kita bisa melewati semua ini.
213 notes
·
View notes
Text
KEDEWASAAN EMOSI
Salah satu topik yang agak jarang diangkat di Indonesia adalah kedewasaan emosi (emotionally mature).
Yang saya lihat, kebanyakan orang di Indonesia beranggapan bahwa kedewasaan emosi ini akan berjalan seiring dengan umur.
Padahal, berdasarkan pengalaman diri sendiri, kalau nggak sering-sering dikulik, kita jarang sadar bahwa secara emosi, kita kurang dewasa.
Setidaknya, ada 20 tanda kedewasaan emosi seseorang, diantaranya adalah:
1. Sadar bahwa kebanyakan perilaku buruk dari orang lain itu akarnya adalah dari ketakutan dan kecemasan – bukan kejahatan atau kebodohan.
2. Sadar bahwa orang gak bisa baca pikiran kita sehingga akhirnya kita tau bahwa kita harus bisa mengartikulasikan intensi dan perasaan kita dengan menggunakan kata-kata yang jelas dan tenang. Dan, gak menyalahkan orang kalau mereka gak ngerti maksudnya kita apa.
3. Sadar bahwa kadang-kadang kita bisa salah – dan bisa minta maaf.
4. Belajar untuk lebih percaya diri, bukan karena menyadari bahwa kita hebat, tapi karena akhirnya kita tau kalau bahwa semua orang sebodoh, setakut, dan se-lost kita.
5. Akhirnya bisa memaafkan orang tua kita karena akhirnya kita sadar bahwa mereka gak bermaksud untuk membuat hidup kita sulit – tapi mereka juga bertarung dengan masalah pribadi mereka sendiri.
6. Sadar bahwa hal-hal kecil seperti jam tidur, gula darah, stress – berpengaruh besar pada mood kita. Jadi, kita bisa mengatur waktu untuk mendiskusikan hal-hal penting sama orang waktu orang tersebut sudah dalam kondisi nyaman, kenyang, gak buru-buru dan gak mabuk
7. Gak ngambek. Ketika orang menyakiti kita, kita akan (mencoba) menjelaskan kenapa kita marah, dan kita memaafkan orang tersebut.
8. Belajar bahwa gak ada yang sempurna. Gak ada pekerjaan yang sempurna, hidup yang sempurna, dan pasangan yang sempurna. Akhirnya, kita mengapresiasi apa yang 'good enough'.
9. Belajar untuk jadi sedikit lebih pesimis dalam mengharapkan sesuatu - sehingga kita bisa lebih kalem, sabar, dan pemaaf.
10. Sadar bahwa semua orang punya kelemahan di karakter mereka – yang sebenarnya terhubung dengan kelebihan mereka. Misalnya, ada yang berantakan, tapi sebenernya mereka visioner dan creative (jadi seimbang) – sehingga sebenernya, orang yang sempurna itu gak ada.
11. Lebih susah jatuh cinta (wadaw). Karena kalau pas kita muda, kita gampang naksir orang. Tapi sekarang, kita sadar bahwa seberapa kerennya orang itu, kalau dilihat dari dekat, ya sebenernya ngeselin juga 😂 sehingga akhirnya kita belajar untuk setia sama yang udah ada.
12. Akhirnya kita sadar bahwa sebenernya diri kita ini gak semenyenangkan dan semudah itu untuk hidup bareng
13. Kita belajar untuk memaafkan diri sendiri – untuk segala kesalahan dan kebodohan kita. Kita belajar untuk jadi teman baik untuk diri sendiri.
14. Kita belajar bahwa menjadi dewasa itu adalah dengan berdamai dengan sisi kita yang kekanak-kanakan dan keras kepala yang akan selalu ada.
15. Akhirnya bisa mengurangi ekspektasi berlebihan untuk menggapai kebahagiaan yang gak realistis – dan lebih bisa untuk merayakan hal-hal kecil. Jadi lebih ke arah: bahagia itu sederhana.
16. Gak sepeduli itu sama apa kata orang dan gak akan berusaha sekuat itu untuk menyenangkan semua orang. Ujung-ujungnya, bakal ada satu dua orang kok yang menerima kita seutuhnya. Kita akan melupakan ketenaran dan akhirnya bersandar pada cinta.
17. Bisa menerima masukan.
18. Bisa mendapatkan pandangan baru untuk menyelesaikan masalah diri sendiri, misalnya dengan jalan-jalan di taman.
19. Bisa menyadari bahwa masa lalu kita mempengaruhi respons kita terhadap masalah di masa sekarang, misalnya dari trauma masa kecil. Kalau bisa menyadari ini, kita bisa menahan diri untuk gak merespon dengan gegabah.
20. Sadar bahwa ketika kita memulai persahabatan, sebenernya orang lain gak begitu tertarik sama cerita bahagia kita – tapi malah kesulitan kita. Karena manusia itu pada intinya kesepian, dan ingin merasa ada teman di dunia yang sulit ini.
Written by @jill_bobby
Referensi: https://youtu.be/k-J9BVBjK3o
4K notes
·
View notes
Text
Tidak Selamanya Hidup Memberi Kita Pilihan
Saya anak kedua dari 2 bersaudara. Kakak perempuan saya sudah tinggal bersama suaminya di luar kota. Orang tua saya bercerai. Saya tinggal di pedesaan. Otomatis mencari pendapatan sangat sulit.
Menjadi anak lelaki tidak mudah. Mau pergi merantau, tak tega dengan ibu di rumah. Tapi tinggal di rumah pendapatan tidak memuaskan.
Mau menikah, harus berpikir panjang. Hari ini tak banyak perempuan yang mau hidup satu rumah dengan mertua. Begitu juga saya. Saya ingin mengurus keluarga saya sendiri, belajar dari nol. Tidak merepotkan orang lain.
Ada banyak cita-cita yang sudah kusiapkan.
Selepas wisuda mengambil beasiswa luar negeri. Merasakan jalanan kota-kota besar. Menjalani banyak petualangan dan pengalaman. Selepas S2 pulang untuk membangun bisnis di ibukota. Mewujudkan ide-ide yang selama ini kusimpan. Menjadi lelaki mandiri. Bertemu dengan banyak orang. Mengembangkan potensi yang kupunya.
Tapi, melangkahkan kaki dari pintu rumah saja sangat berat. Pergi menginap semalam di luar rasanya tidak tenang. Saya punya tanggung jawab yang tak bisa kutinggalkan di rumah.
Saya selalu merasa diri saya berbeda. Ada sesuatu yang spesial.
Saya tidak punya keinginan menjadi orang-orang pada umumnya. Melamar pekerjaan di perusahaan. Menjadi orang normal. Punya jadwal yang teratur.
Saya merasa bisa melakukan lebih dari itu. Saya tidak ingin menyerahkan sisa usiaku dengan mengikuti rutinitas menjemukan semacam itu.
Padahal saya yakin, saya bukan tipe orang idelogis. Memegang nilai yang tidak realistis. Memimpikan sesuatu di luar keumuman, memburu keinginan pribadi dan lain sebagainya.
Mungkin terdengar ideologis. Tapi, bagi saya itu realistis. Realitanya memang pekerjaan umum tersebut menjemukan untuk saya. Saya harus realistis bukan.
Saya tahu, saya tidak akan berkembang jika hanya tinggal di lingkungan saya sekarang. Saya tidak nyaman melakukan pekerjaan-pekerjaan rutin tersebut bukan karena hanya melihatnya saja. Saya pernah menjalaninya.
Saya pernah bekerja di perusahaan, di rumah produksi, di toko dan lain sebagainya. Saya mencoba realistis. Memang nampaknya bukan di situ dunia saya. Saya tidak bisa memaksakan diri. Menipu diri sendiri.
Toh, dari awal saya membiayai biaya kuliah sendiri bukan untuk menjadi orang biasa. Saya ingin menjadi orang yang berbeda dan lebih. Saya ingin melihat dunia ini lebih luas lagi.
Orang bilang, hidup adalah pilihan.
Tapi nyatanya tidak selalu hidup memberi kita pilihan. Kadang kita di posisi tanpa pilihan. Menjalani sesuatu yang mau tidak mau harus kita jalani, sebab tak ada pilihan lain.
Hidup tak memberi kita pilihan. Hidup memberi kita batasan-batasan. Hidup memberi kita garis yang jika dilewati akan memperburuk keadaan. Menempatkan kita pada posisi yang lebih sulit, tidak menentu bahkan membuat kita nampak buruk.
Pada akhirnya, mungkin saya harus lebih realistis lagi. Menjadi orang normal. Mendaftar pekerjaan di dekat rumah, menjadi perangkat desa mungkin sembari mencoba peruntungan CPNS. Sebab, realitanya saya tidak bisa lepas dari rumah. Pada akhirnya saya harus menjadi orang biasa.
Apa yang saya alami ini mungkin banyak dialami oleh orang lain di luar sana. Banyak potensi dan keinginan yang terhambat oleh tidak adanya pilihan. Mencoba menjadi manusia yang baik membutuhkan pengorbanan.
Saya bisa saja meninggalkan rumah, pergi merantau, mencoba peruntungan sebagaimana yang orang-orang desa dulu lakukan.
Lelaki harus mencari penghidupan sendiri. Merasakan pengalaman hidup sebanyak mungkin. Saya bisa saja mengikuti ego, sebab itu hak saya sebagai lelaki. Saya tidak bersalah atas apa yang kedua orang tua saya lakukan. Bercerai dan saling meninggalkan. Kenapa saya yang harus menanggungnya.
Ya. Saya bisa saja menjadi orang semacam itu. Melepaskan diri. Membebaskan diri. Saya bisa saja melakukan itu.
Tapi, jika saya melakukan itu. Saya akan menjadi seperti ayah saya. Saya selalu berusaha memaksa diri untuk tidak menjadi seperti dia. Meninggalkan keluarga dan tanggung jawab.
Nampaknya, menjadi baik tidak selalu memberi kita kebahagiaan. Walaupun saya tidak berbahagia saat ini, paling tidak saya menjadi orang baik.
Semoga itu cukup
#nulisajadulu
288 notes
·
View notes
Text
Usia Untuk Berbahagia
Hari ini, atau jika bisa dibilang akhir-akhir ini saya dan kawan-kawan seangkatan saya masih sedang sibuk-sibuknya menata masa depan.
Ada yang sudah bekerja di perantauan beberapa tahun. Sedang memikirkan alih profesi supaya bisa pulang kampung dan membina rumah tangga.
Ada yang baru saja lulus kuliah. Sibuk mendaftar PNS supaya bisa lebih mapan. Ada yang masih bergulat dengan QLC. Ada yang baru saja menikah. Ada yang sibuk memikirkan inovasi-inovasi dan bermimpi menjadi the next Jack Ma. Ada yang sibuk membuat channel youtube, mengharapkan passive income. Ada yang sibuk memburu beasiswa S2.
Usia 22-23 tahun. Usia-usia yang digunakan banyak orang untuk mendirikan tiang bangunan. Bangunan hidup. Bangunan yang diharapkan bisa kokoh dan mampu bertahan sampai akhir hidup.
Tapi hari jum'at ini saya baru saja mendapat kabar dari kawan saya. Kawan SMP satu-satunya yang menyimpan kontak WA saya. Kabarnya kawan SMP kami baru saja berpulang. Kawan seusia saya.
Kawan lelaki yang dulu saya anggap paling kuat se-sekolahan. Tubuhnya besar dan kokoh. Kawan yang tak lebih makmur dari saya. Kawan yang hidupnya amat sederhana. Kawan yang berbakti kepada orang tua. Kawan yang sehabis pulang sekolah buru-buru melepas pakaian dan membantu membajak di sawah.
Dulu saya yakin hidupnya akan berhasil. Dengan kesederhanaannya tidak mungkin ia kalah melawan dunia. Mungkin dia masih bisa hidup 70tahun lagi. Mengelola sawah milik orang tuanya. Menjadi kepala desa atau camat.
Hari ini dia tutup usia.
Tidak hanya menjadi pukulan yang berat bagi keluarga, tapi pukulan yang amat telak bagi kami. Kawan-kawan seangkatannya. Kawan-kawan lain yang masih semangat-semangatnya mengumpulkan uang dan memamerkan pencapaian masing-masing ketika reuni buka bersama di bulan puasa.
Bagaimana bisa kawan seusia kami meninggal. Bagaimana bisa?
Kami masih muda. Kami masih punya ratusan mimpi. Masih punya projek-projek. Masih bisa mengumpulkan uang triliunan. Masih bisa mengubah satu negara. Kami masih muda dan tak terbatas.
Mungkin saja kami bisa mendirikan startup yang dapat mengubah perekonomian. Mungkin saja kami bisa jadi menteri atau staf khusus kepresidenan. Mungkin saja kami bisa jadi gubernur. Mungkin saja kami bisa jadi artis dadakan karena viral di sosmed. Kami masih muda. Masa depan dibuka lebar-lebar untuk kami.
Kami masih punya waktu panjang. Tak masalah sedikit nakal dan bergaya hidup sedikit tak sehat. Kami harus menikmati hidup selagi bisa. Nongkrong di cafe mahal. Makan junkfood, minum minuman berkarbonasi, merokok.
Mungkin nanti di usia 30an, atau jika sudah menikah dan punya anak bisa lah bertobat dan mengubah gaya hidup. Muda hanya sekali. Muda sangat singkat. Sayang jika dilewatkan hanya untuk hal-hal membosankan.
Tapi kawan kami baru saja berpulang. Kawan yang bergaya hidup sederhana dan selalu menjaga kesehatan baru saja terkena kanker secara tiba-tiba.
Bagaimana denganku? Orang yang tidak pandai menjaga kesehatan ini. Orang yang hidupnya diisi dengan rencana-rencana jangka panjang ini. Saya bisa meninggal kapan saja. Kapan saja dan bisa secara tiba-tiba.
Orang-orang mempersiapkan hidup seakan-akan akan hidup panjang. Orang-orang berebut menjadi ASN seakan-akan bisa menikmati tunjangan hari tua. Orang-orang menumpuk kekayaan seakan-akan bisa menikmatinya di usia 50an.
Jika dipikir-pikir, semua orang bisa menjadi tua karena ketidaktahuan kita tentang batasan hidup yang sudah ditentukan untuk kita.
Bisa saja 2 tahun lagi. 5 tahun lagi. 10 tahun lagi. 50 tahun lagi. Atau 2 minggu lagi. Kita tidak tahu. Semua orang punya resiko itu. Kita punya resiko yang sama dengan orang tua berusia 90tahun, meskipun usia kita masih 23 tahun.
Penyakit tidak ditempatkan oleh Tuhan pada tubuh orang-orang tua saja. Penyakit bisa tumbuh di tubuh siapa saja. Bisa secara tiba-tiba. Bisa secara perlahan-lahan.
Kawan kami baru saja meninggal. Sangat tiba-tiba.
Mungkin uang tabungan untuk mendirikan rumah di samping rumah ibunya masih ada di ATM. Uang yang beberapa tahun terakhir ia kumpulkan dengan susah payah.
Mungkin rencananya menikahi salah satu gadis di desanya sudah disiapkan secara matang. Mungkin rencana usaha untuk bekal menikah sudah ia siapkan.
Mungkin nama anak perempuannya juga sudah ia tulis di buku. Mungkin sekolahan tempat anaknya belajar juga sudah ia rencanakan.
Tapi hari jum'at yang berkah ini dia berpulang. Meninggalkan keluarga dan semua rencana masa depannya. Sebab masa depannya di dunia ternyata hanya sampai usia 23 tahun. Tidak ada tambahan meskipun rencana yang sudah ia siapkan adalah untuk 5 tahun ke depan.
Bagaimana dengan kita?
Apa rencana-rencana yang sedang kita bayangkan hari ini? Berapa jumlahnya? Berlaku untuk berapa tahun ke depan? Yakin di usia yang kita bayangkan itu kita masih bernafas? Atau sudah berbaring di tempat istirahat terakhir kita?
Dalam proses membayangkan, merencanakan dan membangun impian kita apakah kita berbahagia?
Apakah kita berbahagia hari ini? Atau kita masih merasa sempit dan berdarah-darah karena mengejar impian kita sendiri?
Kita dengan sengaja menaruh kebahagiaan kita di masa depan. Di tempat yang jauh. Di impian kita. Kita merasa hari ini belum saatnya untuk berbahagia karena belum meraih impian yang kita inginkan. Kita hari ini merasa masih berjuang. Masih prihatin dan harus merana.
Tapi bagaimana jika 5 hari lagi jatah usia kita habis?
Kita berpulang dalam keadaan belum bahagia.
Sudahkah kita berbahagia hari ini? Bagaimana pun kondisi kita hari ini. Di mana pun posisi kita hari ini.
Semoga kawan saya dan kita semua berpulang dalam keadaan berbahagia.
Alfatihah...
#nulisajadulu
250 notes
·
View notes
Text
Plegmatis: orang-orang lambat
Rasanya baru kemarin saya lulus SMA. Rasanya baru kemarin saya mendaftar kuliah. Rasanya baru kemarin saya menjadi mahasiswa baru. Bahkan saya masih merasa ada jam kuliah nanti siang.
Saya masih bisa merasakan suasana lorong kelas, kaki-kaki mahasiswi menaiki tangga dan saling bercanda.
Saya masih ingat sepasang sahabat perempuan yang sering duduk di lantai luar kelas dengan netbook kecil dekat stopkontak saat pergantian jam kuliah.
Mereka punya banyak perbedaan. Dunia mereka berbeda. Tempat tinggal juga berjauhan. Bukan karena memiliki banyak kesamaan. Ruang dan waktu hanya tak sengaja mempertemukan mereka. Ada ruang kosong yang perlu ditempati. Ada waktu yang perlu diisi. Ada momen yang perlu dirasakan. Ada kenangan yang perlu dipintal.
Beberapa bulan lagi mungkin ruang dan waktu tidak lagi bersahabat dengan mereka. Beberapa bulan lagi mereka akan memiliki tempat mereka masing-masing.
Beberapa bulan lagi itu adalah beberapa bulan yang lalu.
Beberapa bulan yang lalu mereka mendapati masa perpisahan itu. Ruang dan waktu habis. Beberapa bulan yang lalu sebagian besar kawan-kawan akhirnya diwisuda.
Rasanya baru minggu lalu mereka sibuk mengajukan judul dan revisi berulang-ulang. Hari ini undangan demi undangan pernikahan berdatangan. Foto perihal lowongan pekerjaan, pengurusan SKCK dan inovasi-inovasi usaha mengisi lini masa.
Kawan saya ada yang terduduk di pojok kursi kampus. Hikmat merasakan lorong yang kosong. Sesekali melintas mahasiwa baru yang tak dia kenal.
Rasanya baru kemarin kawan-kawannya bergantian masuk ruang dosbing. Saling bercanda untuk menutupi cemas.
Dia ragu mengirim chat ke kawan-kawannya yang sudah lepas dari kampus. Mereka sudah pulang kampung. Menuju asing seperti awal perkuliahan.
Semua orang menjadi tokoh utama di hidup mereka masing-masing. Berjalan di lintasan masing-masing. Di keluarga masing-masing. Tidak ada lagi ikatan dengan kampus. Tidak ada lagi alasan untuk mengirim chat, seperti; "nanti ada kelas? PPT nya sudah jadi? Nanti makan di mana? Ikut seminar yuk."
Dunia yang sangat cepat membuat orang-orang lambat seperti dia dan sebagian kecil orang di luar sana seperti orang asing. Duduk di sudut peron, memperhatikan gerbong demi gerbong menurunkan dan menaikan penumpang. Orang-orang bergantian datang dan pergi. Sementara dia masih sibuk menghayati. Menikmati detik demi detik.
Rasanya semua seperti mimpi dan terlalu berharga karena ada tapi hanya sekedar melintas saja.
Semua orang berlari seperti dikejar usia. Semua orang mencentang list demi list mereka sebagai tanda keberhasilan demi keberhasilan. Mereka tahu hidup mereka hanya singkat, mereka harus buru-buru.
Sementara beberapa orang yang lain berjalan ringan seperti orang liburan di tengah padang rumput hijau. Menyesap dalam-dalam aroma bebukitan. Menikmati senti demi senti langkah kaki. Berjalam sesuka hati, kadang berjalan mundur sembari melihat jalan di belakang.
Tapak kaki yang tertinggal. Tapak kaki kawannya yang bernama A. Tapak kaki kawannya yang bernama B. Yang sekarang sudah jauh di depan. Bebatuan yang sudah terlewati seperti melambaikan tangan, "selamat jalan."
Orang-orang lambat seperti dia ini dan mungkin sebagian kecil orang-orang di luar sana yang saya yakin juga sama seperti dia memang sering tertinggal. Sebab sebagian besar orang-orang berlari seperti kuda yang memakai kacamata. Tak bisa menoleh ke kanan-kiri-belakang. Mereka fokus ke depan. Hanya ke depan. Seperti dikejar usia. Puncak bukit di depan harus segera didapat selagi sempat.
Ya. Tentu saja kadang orang-orang 'lambat' ini cemas dan ketakutan. Takut tertinggal dan tak ada pertolongan. Takut terlalu lama menikmati jalan. Takut terlalu lama menghayati tapak kaki yang tertinggal. Kadang mereka kerap menghibur diri sendiri, "tak apa. Hidup ini bukan perlombaan."
Beberapa yang usianya hampir menyentuh kepala tiga namun belum menghasilkan apa-apa mulai depresi. Kawan-kawan seangkatannya sudah memiliki anak. Sudah memiliki rumah. Sudah mapan. Sudah menempati suatu jabatan. Sementara dirinya sendiri masih belum beranjak dari tempatnya 5 tahun lalu. Masih duduk di peron yang sama.
Dunia berjalan terlau cepat untuknya. Orang-orang hanya butuh rata-rata 25 tahun untuk mengumpulkan mental dan mantap menikah, tapi dia merasa 25 tahun belum cukup. Bahkan dia merasa dia masih muda, masih anak yang baru saja lulus SMA.
Dia mulai bingung, apa yang salah dengan dirinya. Kenapa orang-orang bisa mengikuti irama dan kecepatan laju dunia sementara dia tidak.
Kadang dia tak punya waktu berfikir sebab lingkungan (red.keluarga) lebih dulu mendesak. Siap tak siap dia harus bisa mengikuti kecepatan orang lain. Beberapa orang mulai depresi di posisi tersebut. Dia tak bisa menyalahkan orang lain. Dia hanya bisa menyalahkan hidup dan dirinya sendiri. Akhirnya dia membenci dirinya. Memaki kelambanannnya sendiri.
Jalan di depan sangat kosong. Gerbong sudah habis. Dunia tak punya waktu menunggu orang yang lebih suka duduk-duduk di bawah pohon apel dan hanya melamuni apa yang orang-orang tinggalkan di belakang.
Jargon demi jargon motivator memenuhi telinganya, "kesuksesan hanya bisa diraih oleh mereka yang bekerja keras, cepat dan lincah mengambil celah"
Dia mengutuk dirinya sendiri yang lebih suka beristirahat dan menikmati kedamaian di tempatnya duduk. Kesuksesan seperti ditaruh di depan muka lokomotif yang tak mungkin bisa dikejar.
Apakah orang-orang lambat punya tempat di dunia ini?
Jawaban saya: ADA!
Dari awal penciptaan manusia hingga hari ini, waktu tidak berubah (kecuali beberapa detik saja sesuai perhitungan sains). 24 jam sehari. Semua orang tinggal dalam dunia yang isinya 24 jam sehari. Ada yang sadar waktu berjalan cepat sehingga ia ikut berjalan cepat. Ada yang sadar tapi ia enggan berjalan cepat.
Apakah ia akan tertinggal? Tentu saja. Dia akan tertinggal oleh kawannya yang berjalan cepat. Tapi apakah dia punya tempat? Tentu saja. Dia tetap memiliki tempat.
Yang perlu diingat adalah, tidak ada yang di belakang tidak ada yang di depan. Meskipun dia tertinggal, tapi dia tidak tertinggal di belakang, dia tertinggal di tempat yang lain. Di tempat yang sesuai dengan dirinya. Dia dan kawannya masih ada dalam satu waktu. 24 jam. Tapi berbeda tempat. Tidak di belakang juga tidak di depan. Hanya jalan yang berbeda.
Tak perlu takut dan cemas dunia akan meninggalkan kita, sebab dunia tidak akan kemana-mana. Kita masih akan hidup dengan berjalan cepat atau pun lambat. Usia bukan seperti serigala yang akan memangsa orang-orang yang lambat dan tertinggal. Usia bisa memangsa siapa saja. Yang berjalan lambat atau pun cepat.
Tak perlu takut dan khawatir kesuksesan akan menjauhi kita. Kesuksesan bisa didapat oleh siapa pun. Orang-orang lambat bisa meraih kesuksesannya dengan caranya sendiri. Orang-orang cepat bisa meraih kesuksesannya dengan caranya sendiri dan mungkin lebih cepat. Tapi tak masalah. Yang terpenting bukan kecepatan dalam meraihnya tapi bagaimana cara kita menikmati dan memanfaatkannya.
Tak masalah menjadi orang lambat karena kita tak dilahirkan hanya untuk berlari. Kita bisa duduk. Berbaring. Jalan santai. Tak masalah juga menjadi orang cepat. Mereka memilih berlari semampu mungkin, secepat mungkin lalu baru menikmati istirahat.
Tidak salah menjadi orang lambat. Mereka hanya terkadang kaget saja dengan kecepatan dunia. Kecepatan momen demi momen yang terus berganti. Mereka sangat menyayangi waktu. Mereka enggan membuang waktu seperti sampah yang sekali pakai.
Bedanya dengan orang cepat, orang cepat sangat menghargai waktu dengan cara mengisinya dengan penuh. Seperti gelas kaca kosong yang harus dihargai dengan cara mengisinya dengan susu hingga penuh. Setelah susunya habis, 'orang lambat' yang menyimpan gelasnya. Sementara 'orang cepat' pergi keluar, mengisi gelas lain.
Masing-masing memiliki tempatnya. Tidak ada yang di depan tidak ada yang di belakang.
Ada yang butuh 25 tahun untuk matang. Ada yang butuh 35 tahun dan itu tidak masalah.
Orang-orang lambat, kamu masih berhak hidup dengan baik. Kamu hanya berbeda. Kamu hanya menyayangi waktu sampai-sampai tak tega meninggalkannya.
Tak masalah orang-orang seangkatanmu sudah memenuhi CV mereka sementara kamu masih bingung bagaimana mengisinya.
Tak masalah orang-orang sudah menempati tempat yang umumnya di usia mereka sudah tempati. Tak masalah belum siap. Tak masalah belum berani. Setiap orang punya waktu yang berbeda dalam mengolah hati.
Yang terpenting, kamu menjadi dirimu sendiri. Daripada pura-pura cepat lalu kelelahan dan tersungkur di tengah jalan.
Image from: Jamesaltucher.com
#nulisajadulu
295 notes
·
View notes
Text
Sawang Sinawang: Pintu Menuju Love Yourself
Seandainya hidup setiap orang dibuka semua, pasti setiap orang tidak ingin menjadi orang lain.
Ada satu cerita,
nama disamarkan
Kawan saya Akbar adalah orang yang dianggap paling bahagia di antara teman sekampusnya. Pakaiannya selalu modis. Setiap Iphone baru rilis, pasti dibeli. Sebaliknya hidup kawannya si Akbar yang serba kekurangan juga diperlihatkan.
Awalnya Akbar iri dengan keharmonisan keluarga kawannya itu. Pernah suatu hari Akbar main ke rumahnya. Diajak makan malam. 1 meja dengan 1 keluarga komplit. Tentu akbar iri, karena seumur hidup ia tidak pernah makan malam bareng dengan orang tuanya. Dia bahkan pernah membatin, mau memberikan semua koleksi iphone nya asal bisa merasakan makan malam bareng orang tuanya sekali saja.
Tapi hidup kawannya ini dibuka. Dia kesulitan dengan biaya kuliah. Orang tuanya banyak hutang sana sini. Lapak dagangan di pasar baru saja direlokasi. Beberapa bulan tidak bisa jualan. Mereka harus ngurus ijin dagang mulai dari awal lagi dan sebagainya. Kawannya juga rencana akan ambil cuti 2 semester. Membantu dagang di tempat yang kemarin sudah disewa.
Nanti pagi jam 2 dia harus bangun. Dia dan bapaknya harus buru-buru ke pasar pagi. Mencari sayuran segar. Setelah itu dia harus membantu ibunya membuat adonan bakso di dapur. Sampai jam 7 pagi. Jam 10 pagi lapak sudah harus didirikan dan siap jualan. Setiap hari seperti itu, kecuali hari jum'at.
Akbar merasa tak sanggup menjadi kawannya tersebut. Bahkan sehari saja mustahil. Dia bersyukur berada di posisinya saat ini.
Kawannya ini juga diperlihatkan hidup asli Akbar. Ayahnya jarang pulang. Dia bekerja di kejaksaan. Ibunya jadi ASN di BUMN. Pulang sore. Tapi kebutuhan Akbar selalu dipenuhi. Akbar di rumah hanya dengan 1 pembantu. Kawannya melihat Akbar sering bosan di rumah. Meskipun segala hiburan ada. TV layar lebar. PS 4. Full wifi. Tapi Akbar jarang punya teman ngobrol.
Akbar juga baru saja didiagnosa diabetes. Turunan dari Ayahnya. badan Akbar memang lumayan berisi karena sering makan dan tidak terkontrol. Semua bisa ia makan. Tapi akhir-akhir ini ia tidak boleh lagi makan nasi putih. Tidak boleh minum yang mengandung gula. Kawannya tadi merasa itu bukan tempatnya. Mungkin dia tidak sanggup 1 minggu menjadi Akbar.
Contoh cerita lain yang benar-benar saya alami.
Saya punya seorang kawan. Hidupnya sangat teratur dan normal. Pendidikan dari SD sampai kuliah direncanakan dengan baik oleh orang tuanya.
Ayahnya perawat ibunya guru. Kawan saya ini tinggal ngikut ke mana arah panduan orang tuanya. Dia tak perlu repot-repot mencari sekolahan, kampus bahkan jurusan. Semua sudah direncakan dengan matang.
Hidupnya juga mulus. Tak pernah ada masalah yang berarti. Semua sudah dijamin oleh orang tuanya. Ketika lulus, ada beberapa pekerjaan yang siap menantinya. Orang tuanya sudah menyiapkan.
Orang mana yang tidak iri dengan hidup seperti itu. Saya termasuk.
Saya dari SD hingga kuliah, memilih bahkan memutuskan sendiri sekolah atau tidak. Orang tua saya tidak terlalu ambil pusing. Mereka memasrahkannya padaku. Jika mampu membiayai, mereka akan membiayai. Jika tidak, pilihannya ada dua. Berhenti atau lanjut tapi biaya sendiri.
Tentu saya bisa salah jalan. Salah ambil sekolah, kampus dan jurusan. Sebab tak ada arahan dari siapa pun. Tidak ada persiapan. Tidak ada panduan. Semua saya yang memutuskan. Bahkan selepas lulus pun saya masih harus mencari pekerjaan sendiri. Hidup saya berbanding terbalik dengan kawan saya.
Suatu hari kami mengobrol. Tak disangka. Ternyata kawan saya ini merasa iri dengan saya. Hidup saya bebas dan penuh improvisasi. Coba-gagal-coba-gagal. Tidak ada yang mengarahkan. Tidak ada tanggungan harapan dari orang lain. Tentu saja harapan di belakang kawan saya ini (orang tuanya) sangat besar. Sekali saja gagal, dia bisa saja depresi. Karena menghancurkan harapan orang tuanya.
Tapi kenyataannya semua berjalan lancar. Dia merasa hidupnya terlalu mulus. Terlalu normal. Dia takut kemampuannya dalam menanggung masalah dan beban hidup hanya sedemikian. Bagaimana jika ia menghadapi masalah di kemudian hari. Mungkin dia tidak akan sanggup. Dia hampir tidak pernah melewati permasalahan hidup yang berarti.
Setelah wisuda pun dia sudah ditarik menjadi guru di sekolahan. Mengajar dari pagi hingga sore. Memakai seragam guru. Mengajar anak-anak kecil. Saya membatin, saya mungkin tidak kuat menjadi kawan saya ini. Sebab, memang bekerja seperti orang normal (berangkat pagi pulang sore setiap hari) bukan gaya saya.
Sebaliknya, saya memang hidup bebas. Penuh improvisasi. Keputusan sendiri. Satu muka lebih dekat dengan gagal dan kecewa. Keluarga saya tidak baik-baik saja. Orang tua saya sudah bercerai. Tepat saat saya lulus SMA. Saya menjadi saksi di depan hakim.
Saya membiayai kuliah saya sendiri. Beberapa semester saya bahkan tidak pegang uang sepeser pun. Jika lapar, saya langsung pulang. Setelah lulus pun juga tidak ada jaminan pekerjaan saya akan enak dan bergaji besar.
Semua ada di tanganku. Tidak ada yang menjaminku.
Dari kecil saya tidak tinggal dengan orang tua utuh. Saat remaja menjadi anak broken home. Setelah wisuda harus menanggung hidup ibu saya. Jangankan makan satu meja dengan keluarga. Berkumpul dengan keluarga utuh saja adalah sebuah keajaiban di hidup saya.
Saya yakin, kawan saya ini tidak akan sanggup menjadi saya. Menjalani hidup "tidak normal" seperti saya. Tapi jika dipikir-pikir, saya merasa nyaman hidup di posisi saya. Saya tidak bisa membayangkan hidup seperti kawan saya yang segalanya diatur dan diarahkan. Menjadi pekerja normal. Menjadi orang pada umumnya.
Saya memang menikmati kebebasan dan ketenangan. Saya tidak suka belajar lewat guru. Saya lebih suka mengalaminya. Saya suka mencoba berbagai hal. Berbagai profesi. Jika saya menjadi kawan saya, mungkin hari ini saya sudah duduk di kantor guru. Tidak bisa mengelola bisnis online dan membuat projek-projek lain.
Ketika hidup setiap orang dibuka. Semua orang akan bersyukur menjadi diri sendiri. Si A tidak ingin menjadi si B. Meskipun awalnya menganggap menjadi si B lebih enak. Setiap orang punya kapasitas kemampuannya masing-masing. Si A belum tentu mampu menanggung apa yang ditanggung oleh si B. Begitupula sebaliknya. Setiap masalah sudah didesign untuk mampu ditanggung oleh masing-masing orang.
Sayangnya kejadian "pembukaan hidup" ini tidak pernah terjadi, maka setiap orang masih menganggap dirinya tidak pernah lebih baik dari orang lain. Alhasil, konsep LOVE YOUR SELF hanya dicapai oleh orang-orang yang mau membayangkan kejadian ini saja atau mereka yang pernah saling "sawang sinawang" (bahasa jawa).
Setiap orang merasa hidupnya yang paling berat. Memang sangat logis. Sebab, kita yang merasakan beban hidup kita sendiri dari awal. Kita yang paling tahu beban hidup kita. Kita tidak melihat beban hidup orang lain yang memang tidak bisa terlihat dari luar. Kita tidak bisa merasakan apa yang dirasakan orang lain. Karena itulah kita HANYA menganggap beban hidup kita saja yang paling berat.
Kita hidup lama dengan diri kita sendiri. Dengan masalah yang kita hadapi. Karena memang masalah itulah yang cocok dengan kita. Yang mampu kita tanggung. Semua rata. Semua orang memiliki masalah sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing. Tak perlu menjadi orang lain untuk melepaskan dan lari dari beban yang kita punya, sebab nanti pun kita akan menerima beban yang sama besarnya jika menjadi orang lain.
Terimalah diri sendiri. Jika tidak bisa mencintai diri sendiri paling tidak jangan membencinya. Jangan meninggalkannya sendirian. Sebab diri kita sendirilah yang menemani kita sejak kita ada hingga nanti. Kita akan abadi dengan diri kita sendiri. Kita akan terus dibersamai diri kita sendiri.
Diri kita tidak untuk dibandingkan. Sebab, hidup kita ini adalah sebaik-baiknya kehidupan untuk kita.
"Jika aku menjadi dia. Siapa yang akan menjadi aku?"
#nulisajadulu
223 notes
·
View notes
Text
Lulus 3.5thn atau 4thn lebih?
Beberapa waktu yang lalu, warga twitter sedang ramai membicarakaan masalah wisuda 3.5thn atau 4thn lebih. Lulus cepat atau lambat. Lulus sebagai wisudawan matang atau abangan.
Headline nya kurang lebih seperti ini:
"S1 lulus 3.5 tahun? Bangga? Jangan bangga dulu... "
Saya sempat tergelitik dengan pembahasan ini. Pasalnya beberapa orang tidak mengejar kebanggan bisa lulus cepat. Beberapa orang memang dalam kondisi harus. Bahkan beberapa orang ingin meraih S1 bukan untuk kebanggan. Ada yang desakan orang tua. Ada yang ikut2an. Ada yang mencari tempat untuk singgah karena belum ingin bekerja. Ada yang ingin membuktikan pada diri sendiri. Ada yang ingin mendapatkan ijasah. Ada yang ingin mencari ilmu dan berkecimpung di dunia akademisi. Ada yang ingin lekas lulus karena keburu jengah. Ada yang ingin lekas lulus karena harus. Ada yang lambat lulus karena merasa belum mendapatkan apa yang dicari.
Uniknya perguruan tinggi, kelulusan setiap mahasiswa tidak disamaratakan seperti di bangku sekolah. Semua boleh memilih lulus cepat atau lambat. Perguruan tinggi memang ditujukan bagi orang dewasa yang sudah mampu memilih dan menyetir hidupnya sendiri. Semua berhak lulus kapan saja.
Nasihat baik dari ibu @ErsaTriWahyuni di sebuah utas di Twitter ditujukan untuk mereka supaya betul-betul mempergunakan ilmu, ijasah dan manfaat penuh dari bangku kuliah. Waktu, tenaga dan biaya yang kita keluarkan sebisa mungkin jangan disia-siakan.
Beliau menyinggung mereka yang hanya mengejar kelulusan dan mengabaikan peluang mengembangkan diri yang ditawarkan kampus dan terburu-buru menyidangkan ijasahnya.
Kurang lebih ide pokoknya seperti ini "Mumpung masih mahasiswa, ikuti banyak organisasi, UKM, daftar beasiswa, nulis esai, workshop, seminar, study abroad, internship. Perbanyak relasi. Perbanyak pengalaman. Sebab setelah lulus hal-hal tersebut sudah tidak bisa didapat. Jangan hanya buru-buru wisuda tapi pengalaman Nol. CV kosong. Saat melamar kerja tidak bisa banyak ngomong."
Analoginya, seperti buah mangga. Jika kita memetiknya terlalu dini, buah belum matang, dan harga jualnya rendah.
Secara akademik dan marketing, analogi itu betul dan baik.
Secara humanis, analogi itu kurang pas
Buah yang dipetik sebelum matang tidak berarti busuk. Mangga muda laris di pasar. Begitu juga nanas muda, pisang muda, jambu muda, bambu muda dll. Mereka yang lulus cepat bukan berarti prematur. Apabila prematur pun, mereka masih berhak untuk hidup. Mereka sudah berjuang keras. Mereka sudah melakukan yang terbaik sebisa mereka.
Orang-orang yang memiliki CV penuh, mungkin lebih mudah bersaing di dunia karir. Namun, orang-orang yang CV nya kosong bukan berarti gagal. Ada berbagai pencapaian hidup yang tidak bisa dituliskan di kertas CV. Ada berbagai perjuangan yang tidak bisa dikatakan secara langsung. Ada berbagai keberhasilan yang tidak bisa di-angka-kan.
Nampaknya menyimpan kertas hasil ujian milik kita lebih baik ketimbang membawanya lari, menunjukan ke orang-orang sembari mengomentari hasil ujian orang lain.
Ketimbang kita memberitahu orang lain tentang bagaimana kita harus bertahan di bawah sistem sosial seperti ini, lebih baik kita bertanya pada diri sendiri, apakah kita mengenal orang lain dengan baik. Apa saja yang sudah ia lewati. Apakah standar keberhasilan dan "matang" milik kita sama dengan milik dia.
Bukankah hidup akan lebih menenangkan jika kita mendekati orang lain, menepuk pundaknya lalu mengatakan pelan "kau sudah berjuang dan melakukan yang terbaik"
Kita semua berharga. Kita tidak perlu sertifikat untuk menaikan harga diri. Kita juga harus mulai menghapus kata "gagal". Kita semua orang-orang yang berhasil. Semua orang berhasil dalam hal yang berbeda-beda. Tidak berhasil dalam satu hal yang orang lain berhasil, bukan berarti kegagalan.
Kita semua berhak untuk hidup dengan baik. Meskipun HRD tidak menyukai CV kita.
Ilustration credit to: @nadiyahrs
#nulisajadulu
634 notes
·
View notes
Text
SKALA PRIORITAS
Setiap orang punya skala prioritasnya masing-masing.
Penempatan skalanya pun pasti telah melewati berbagai pertimbangan. Jadi apabila beberapa orang memiliki 1 prioritas yang sama, belum tentu masing-masing menempatkan prioritas tersebut di skala pertama.
Kita sudah sepakat, lembar ujian orang berbeda-beda. Kemampuan orang berbeda-beda. Perjalanan orang berbeda-beda.
Tidak usah terlalu peduli dengan keputusan orang lain. Tidak usah terlalu peduli dengan lembar hidup orang lain. Tidak perlu membandingkan jalan yang kita ambil dengan jalan orang lain. Tidak perlu membandingkan jalan yang orang lain ambil dengan jalan milik kita. Semua benar. Tidak ada yang salah. Jangan khawatir.
Mari kita sepakati bersama. Kita hidup bukan untuk saling mengungguli. Kita hidup bukan untuk membuktikan kepada orang lain bahwa jalan dan keputusan yang kita ambil adalah yang paling benar dan milik orang lain salah. Bukankah lebih enak kalau kita hidup untuk membuktikan kepada diri sendiri saja,
"wahai diriku, aku sudah memikirkannya. Ini antara aku dan kamu saja. Ini keputusanku. Mari kita coba bersama. Mari kita ambil resikonya. Tidak perlu menengok ke arah orang lain. Jika kita gagal. Tidak mengapa. Ini masih antara kita",
183 notes
·
View notes
Text
Penjara Diri
Kadang kita sendiri tahu, masalah kita apa
Hambatan kita apa. Solusinya bagaimana.
Kita sebetulnya sadar tapi enggan.
Permasalah inilah yang cukup kritis dan sukar ditolong. Bahkan sugesti dari luar pun tidak bisa mempengaruhi, sebab di dalam diri sendiri saja sebetulnya sudah sadar dan tahu, tapi malas dan enggan.
Betapa banyak kemampuan potensial terperangkap dalam jiwa yang malas.
Betapa banyak otak cerdas terperangkap dalam tubuh yang lemas.
213 notes
·
View notes
Text
KEMATIAN YANG AMAT PRIBADI
Kemarin saya main-main ke twitter. Kebetulan saya punya beberapa langganan akun yang saya ikuti thread-nya. Thread pengetahuan seperti sejarah, astronomi, kesehatan dll. Bahkan, di dunia twitter mereka sudah saya angkat (informal) sebagai dosen saya. Tentu, di tumblr saya juga punya guru/dosen yang mengajari saya hal yang berbeda.
Singkat cerita, tidak sengaja ada info menarik yang muncul di timeline twitter saya. Info kesehatan jantung. Twit itu berisi thread (kumpulan twit) yang membahas pro dan kontra penanganan pertama pada orang yang terserang serangan jantung secara tiba-tiba.
Ada informasi yang beredar bahwa kita harus menepuk-nepuk lengan dalam sebelah kiri orang yang terkena serangan jantung. Informasi ini ternyata tidak benar. Ada verifikasi dari sejumlah pakar dan dokter.
Singkat cerita, si penulis twit ini (yang mematahkan info tidak benar tadi) lanjut membahas penanganan pertama pada orang yang terkena serangan jantung. Dia juga menambahi informasi terkait kesehatan jantung.
Selain itu juga dia memaparkan nama-nama bagian jantung. Dulu waktu SMP saya pernah belajar ini dalam kelas IPA. Tapi waktu itu saya malas dan tidak peduli. Toh jadi dokter bukan cita-cita saya. Setelah menjadi mahasiswa pun saya tidak pernah mengkhawatirkan kesehatan jantungku. Selama ini tidak pernah ada masalah. Saya juga sudah lebih dari 6 tahun berhenti merokok dan menjauhi lingkungan perokok.
Saya ingat betul. Ada bagian di jantung yang bernama koroner. Semacam otot yang menggerakan sistem jantung supaya terus berdetak. Bayangkan, jantung tidak pernah berhenti berdetak selama kita hidup. nonstop. Saya baru tahu. Bagian ini tidak melulu rusak karena rokok. Tapi juga karena gaya hidup tidak sehat. Penumpukan lemak di dalam peredaran darah jantung. Ketika peredaran darah ke jantung tersumbat, beberapa bagian koroner ini akan mati. Jantung tidak lagi memompa darah secara normal.
Sebelumnya saya tidak pernah mengkhawatirkan masalah ini. Sebab, dilihat dari postur tubuh saya yang kurus, mustahil saya memiliki penumpukan lemak. Saya pasti sehat.
Saya ingat. 6 tahun lalu, sebelum saya memutuskan berhenti merokok, saya mengalami "serangan jantung". Entah apakah memang itu yang dinamakan serangan jantung. Yang pasti waktu itu saya tidak bisa bernafas. Jantung saya tidak beraturan. Saya bisa mengeluarkan nafas tapi tidak bisa menghirup. Serangan itu terjadi ketika saya tengah sakit magh akut. Disertai liver (kuning). Saya disuruh mengkonsumsi jamu (rendaman temulawak). Sehabis minum, saya lanjut minum obat dari dokter. Saya tidak tahu jika itu fatal. Kurang dari 5 menit, saya mengalami ketidakstabilan jantung. Saya yakin waktu itu adalah akhir hidup saya.
Saya dibawa ke puskesmas. Malam hari jam 9. Rumah saya jauh dari rumah sakit. Di sana, saya hanya diberi obat tidur dan penghilang rasa sakit. Mungkin kondisi saya masih aman. Mungkin hanya karena efek obat dan temulawak tadi.
Kembali ke hari ini. Malam ini saya mengalami sesak nafas. Nyeri di jantung. Saya menghirup udara seperti setengah jantung saja. Tidak penuh. Saya ingat betul kawan dekat saya yang saat ini berusia 27 tahun. Dia tidak pernah menyentuh rokok sepanjang hidupnya. Tapi dia sering mengeluh sesak nafas. Saat diperiksa di rumah sakit paru-paru, dokter mengatakan jika paru-paru kawan saya ini kondisinya seperti paru-paru berusia 40tahunan. Apa penyebabnya? Lingkungan perokok yang ia pernah tempati?
Entahlah.
Hari ini saya ketakutan. Setiap merasakan sakit saya langsung masuk ke dalam halusinasi. Membayangkan macam-macam. Bagaimana jika saya dibawa ke rumah sakit. Dipompa jantungku karena koronerku mati. Bagaimana jika saya mati. Saya tinggal di dalam kuburan yang dingin sendirian. Semua projek, pencapaian, ijasah, karya, mimpi dan segala yang sedang kukumpulkan di dunia nyata musnah. Langsung tak ada artinya lagi.
Saya sendirian di dalam kubur menunggu kiamat datang. Yang kudengar hanya do'a-do'a dan tangisan orang lain yang datang ke kuburanku. Mungkin sampai hari ketujuh. Setelah itu, semuanya tinggal saya sendiri.
Apakah taubatku selama ini diterima?
Apakah dosaku selama ini sudah dihapus oleh Allah?
Saya bahkan tidak berani menghadapi timbangan dosaku sendiri. Segala jenis dosa setidaknya pernah saya lakukan bahkan hanya di bangku SMP saja.
Apakah 6 tahun pertaubatanku selama ini diterima? Apakah mampu menghapus dosa-dosaku yang lalu? Atau haruskah aku dibersihkan dengan api neraka dahulu. Bagaimanakah rasanya? Panasnya? Apakah saya masih bisa merasakan seluruh tubuhku. Apakah saya menyesal, menangis dan meronta-ronta.
Hari ini. Malam ini, jantungku begah. Rasa sakit yang hanya sedikit seperti ini saja sudah membuatku berimajinasi sampai jauh. Rasa sakit seperti inilah yang selalu bisa mengingatkanku untuk beribadah lagi.
Apakah saya sudah siap mati? Berapa sisa umurku? Apakah saya sempat punya keturunan? Apakah saya sempat bermanfaat di dunia ini? Bagaimana jika malam ini saya tertidur, dan esok terbangun dengan kondisi yang berbeda. Alam kosong. Dingin. Sendirian.
Bagaimana dengan kawan-kawanku. Apakah mereka menangisiku. Bagaimana dengan projek-projek yang sudah kubuat. Apakah masih dilanjutkan. Bagaimana dengan bisnis yang sudah kujalankan. Bagimana dengan orang-orang yang bekerja untukku di tempat lain sana. Yang bahkan tidak pernah bertemu langsung denganku. Apakah mereka tahu, jika saya sudah tiada. Apakah mereka masih terus mengirim chat kepadaku. Bagaimana dengan tulisanku di sosmed. Apakah ada yang membacanya terus. Bagaimana dengan akun-akun sosmed yang hanya saya saja yang tahu paswordnya. Apakah akunku juga akan ikut tiada. Saya ingat, saya punya setidaknya 9 akun sosmed aktif.
Apakah orang-orang akan mengingatku. Atau mereka hanya akan menangis semalam. Sehabis itu hidup berjalan seprti biasa. Sudahkah saya meninggalkan sesuatu yang berarti. Yang bisa diingat dan bermanfaat hingga puluhan tahun lagi. Apakah puluhan tahun lagi namaku masih ada?
Siapa yang peduli. Saya sudah ada di alam lain. Saya sudah tidak peduli dengan alam dunia. Alam materi. Ada hal yang lebih penting. Alam yang orang-orang dan agama katakan kekal. Alam tempat tinggalku selanjutnya.
Saya pasti mengutuk diriku sendiri selama menunggu kiamat datang. Kenapa selama di dunia saya tidak begini, begitu. Jika semua orang tahu di alam lain seperti ini, pasti orang-orang yang masih ada di dunia akan begini dan begitu.
Ah entahlah. Malam ini saya memasrahkan jantungku kepada Allah. Saya bahkan tidak yakin, atau tidak membayangkan apakah bisa menua seperti orang pada umumnya. Apakah saya bisa punya anak, membina rumah tangga seperti kebanyakan, menggendong cucu. Melihat anak-anakku lulus sekolah dan bekerja. Apakah saya akan menua seperti orang-orang tua itu.
67 notes
·
View notes
Text
Done is better than perfect
Ya, I think so.
Berapa kali keperfeksionisan malah menghambat jalan, membuatmu gak kemana-mana, berhenti di tempat, sementara orang lain sudah melaju cepat karena ingin melakukan banyak hal bukan melakukan satu hal tapi sempurna.
Kamu di pojokan sibuk mengasah satu pekerjaan karena ingin dinilai sempurna.
Tak jarang pekerjaanmu malah berhenti karena pekerjaan yang kamu rawat itu tidak sesuai dengan kualitas yang kamu harapkan.
Kamu sibuk bukan karena melakukan banyak hal tapi sibuk karena ekpektasi.
Coba tengok orang lain yang sudah menyelesaikan banyak hal itu. Apakah semua pekerjaannya sempurna. Tentu saja tidak semuanya sempurna.
Tapi dia sudah melewati banyak hal. Pengalamannya lebih banyak. Waktu yang kau butuhkan untuk melakukan satu hal mungkin dia bisa melakukan 3 hal.
Tapi hey, dunia tidak menuntut kamu sempurna.
Apa gunanya sempurna jika malah membuatmu ragu. Menghalangi jalanmu. Membuatmu tidak berkembang. Membuatmu tertinggal.
Toh, mereka yang tidak sibuk dengan kesempurnaan saja bisa diterima oleh dunia.
Kesempurnaan itu nanti terbangun sendiri. Setelah melewati banyak proses. Banyak pengalaman. Banyak pekerjaan.
Maka, lakukan banyak hal. Banyak proses. Banyak pengalaman. Tidak perlu sempurna.
Bagian-bagian yang tidak sempurna itulah yang nanti akan membentuk kesempurnaan.
– Kala Lail
272 notes
·
View notes
Text
Jujur Pada Diri Sendiri
Terkadang kita takut jujur dengan diri sendiri
Mengenai keinginan misal; takut ditertawakan atau dianggap terlalu menghayal. Mau mengatakan aku pengen jadi ini atau itu. Tapi sadar kalau masih sedikit yang sudah dilakukan. Dan pengalaman yang sudah-sudah mengatakan bahwa kita harus lebih realistis . Karena keinginan sebelumnya kita pun tidak berhasil meraihnya
Tapi nampaknya, berkata jujur pada diri sendiri lebih baik ketimbang malu dengan impian yang besar.
Takut mencoba, takut berharap, takut gagal, takut kecewa.
Hari-hari kita hanya akan diliputi dengan ketakutan dan ketidakpastian
Nampaknya berkata jujur pada diri sendiri akan lebih menenangkan.
Aku akan bilang pada diriku sendiri :
"Wahai diriku, aku ingin menjadi ini dan itu, mari kita coba bersama. Aku tidak malu mengatakan pada semua orang jika aku menginginkannya. Keinginan kita kan sudah bulat, ini bukan karena kita naif dan memimpikan sesuatu karena menganggapnya 'hebat' tanpa memperhitungkan apa yang akan kita perjuangkan di depan, rintangan yang harus ditempuh, pengorbanan yang harus dibayar. Kita sudah memikirkannya ratusan kali kan. Ini bukan karena kita naif, tapi karena kita sudah memutuskan. Ayolah diriku, bukankah hidup adalah pilihan. Kita sudah tidak punya waktu lagi untuk ragu dan malu.
#nulisajadulu
380 notes
·
View notes
Text
Ijasah
Sewaktu lulus MI, dulu saya menolak masuk MTS karena ngebet ingin masuk SMP Negeri supaya setelah lulus bisa masuk SMA negeri. Pada waktu itu, sekolah negeri memang sangat bergengsi karena kabarnya mudah untuk mendapatkan pekerjaan.
Akhirnya saya diterima di salah satu SMP negeri di dekat rumah saya. Selama di SMP, saya berjuang mati-matian untuk mendapatkan nilai UN tinggi. Saya selalu masuk 40 besar siswa teratas selama kelas 3.
Setelah lulus SMP Negeri, meskipun sebenarnya nilai UN saya termasuk tinggi dan kemungkinan besar bisa lolos di SMA Negeri favorit, dengan berbagai pertimbangan saya memilih masuk SMK swasta.
Sebenarnya saya terpengaruh jargon "SMK bisa" yang sedang digencarkan pada waktu itu. Waktu itu memang sedang masanya pabrik dibangun di mana-mana. SMK adalah jalan pintas bagi siapa saja yang ingin langsung mencari pekerjaan.
Mereka bilang sekolah SMA hanya untuk mereka yang mau lanjut kuliah. Mereka yang mampu. Sementara untuk orang-orang seperti saya, yang memprioritaskan pekerjaan selepas sekolah, SMK adalah jawabannya.
Akhirnya saya memilih jurusan yang berkaitan dengan industri. Banyak sekali tawaran pekerjaan bahkan sebelum saya dan teman-teman seangkatan saya lulus. Kami sering berkunjung ke beberapa job fair. Memilih masa depan kami.
Beberapa pekerjaan ada yang langsung menerima ratusan hingga ribuan karyawan baru. Ada juga yang langsung disalurkan ke luar negeri atau ke ibu kota.
Apalagi hampir semua pabrik memiliki pihak ketiga (outsourching). Tugas pihak ketiga ini adalah membuka lowongan pekerjaan sebanyak-banyaknya. Targetnya adalah fresh graduate. Anak-anak sekolah yang baru saja lulus dan lepas uang saku dari orang tua. Anak-anak yang bersuka cita saat mendapatkan tawaran wawancara dan mendapatkan pekerjaan di tahun pertamanya lulus.
Saya juga salah satu dari mereka. Apa yang kami pikirkan bukan seberapa banyak gaji yang ditawarkan. Asal mendapatkan pekerjaan, bisa menggunakan ijasah, dan yang paling membuat bangga adalah, kami tidak perlu lagi meminta uang saku kepada orang tua.
Singkat cerita setelah lulus SMK, saya dan teman-teman saya mencari penghidupan masing-masing. Saya membuat hampir 20 lamaran pekerjaan.
Beberapa berkas masuk amplop besar berwarna kuning. Ada kebahagiaan tersendiri saat melihat lamaran demi lamaran masuk melewati jendela satpam.
Mungkin masa depanku ada di perusahaan ini. Atau ini. Atau ini. Saya akan menua di tempat ini. Seperti tetangga-tetangga saya yang puluhan tahun bekerja di pabrik garmen itu.
Jargon "SMK bisa" menjadi ideologiku waktu itu. Saya merasa spesial saat memasukan ijasah SMK saya ke perusahaan. Saya mendapatkan beberapa kali wawancara dan akhirnya lolos masuk kerja. Tapi, ternyata bukan hanya kami yang lulusan SMK saja. Lulusan SMA bahkan MA juga lolos.
Saya berhasil masuk di salah satu perusahaan PT di kota saya. Di sana saya bertemu dengan banyak kawan sekolah saya. Dari kawan MI, SMP hingga SMK. Bahkan kawan-kawan SMP saya yang lulus dari SMA Negeri!
Yang saya rasakan bukan masuk ke perusahaan yang prestisius. Malahan, ini semacam tempat reuni. Ini adalah sekolahan baru saya dan kawan-kawan saya. Bahkan kakak-kakak kelas saya dulu sewaktu SMP juga ada. Tempat sekolah kami berpindah ke sini.
Memang tidak ada bedanya dengan sekolah. Kami masuk pagi. Pakai seragam. Ada yang naik motor, ada yang menunggu bus perusahaan antar-jemput. Lalu berbondong-bondong masuk gerbang. Senioritas berdasarkan seberapa lama sudah bekerja. Menunggu weekend untuk melepas penat.
Bedanya tidak ada papan tulis, tidak ada buku. Yang ada hanya pekerjaan remeh yang diulang-ulang. Pekerjaan robotik. Pekerjaan yang tidak terlalu menguras pikiran. Siapa saja tentu senang dengan pekerjaan ini.
Kami hanya duduk selama 8 jam, menata dan membungkus produk secepat mungkin. Ada juga yang menjahit satu produk. Bagian bordir, ya bordir terus. Bagian kerah ya kerah terus. Istirahat makan di kantin satu kali.
Kami juga punya wali kelas, istilah di pekerjaan adalah SPV. Orang yang mendorong kami dari belakang dan memaki kami apabila terjatuh. Pekerjaan kami harus sesuai apa yang dia mau. Dia hanya tidak memiliki pilihan. Lebih baik dia memaki bawahannya daripada dimaki atasannya.
Tapi itu bukan masalah besar. Asal kami mengangguk dan menurut, semua akan baik-baik saja. Memang bukan itu masalahnya, masalahnya adalah sampai kapan saya harus di tempat ini.
Di sekolah, semua murid hanya diberi jatah 3 tahun setelah itu lulus. Tapi bagaimana dengan karyawan seperti saya ini. Apakah saya akan menua di sini?
Jawabanya tidak. Bukan masanya lagi perusahaan mempekerjakan karyawan tetap dan memberi pensiunan saat memecatnya.
Perusaahan sekarang makin cerdas. Ada sistem kontrak. Rata-rata karyawan baru seperti saya ini akan menjalani masa magang selama 1-3bulan. Setelah lolos, baru dikontrak 1-2 tahun. Selepas itu ada kemungkinan untuk diperpanjang lagi kontraknya. Tapi, kemungkinannya kecil.
Perusahaan lebih suka memperkerjakan fresh graduate dari sekolah-sekolah. Anak-anak yang tidak terlalu mengeluhkan besaran gaji.
Perusahaan biasanya juga membatasi karyawannya di usia 24. Setelah itu kontrak jarang sekali diberikan lagi. Mempekerjakan karyawan yang sudah berumah tangga terlalu merepotkan. Akan banyak ijin dan cuti.
Yang paling menohok saya. Perusahaan tidak terlalu mempermasalahkan ijasah kami dari SMA atau SMK. Nilai tinggi ataupun tidak. Asal mereka sedang butuh untuk mengejar target. Siapa saja asal punya ijasah setara SMA pasti terjaring.
Lalu saya teringat lagi jargon "SMK Bisa". Saya memaki diri saya sendiri, SMA juga bisa!
Pekerjaan kami bukan untuk spesialis tertentu. Tidak perlu keahlian dari sekolah asal, sebab selama masa magang 3 bulan itulah kami akan diajari caranya bekerja. Mengoperasikan mesin. Bahkan di sekolah SMK pun tidak ada mesin yang digunakan di perusaahan ini. Semua bisa belajar, tak perlu sekolah!
Pihak ketiga, outsourching, juga berperan besar di sini. Kami bisa mendapatkan pekerjaan dengan mudah apabila mau mengeluarkan uang. Membayar pihak ketiga ini. Kami bisa meminta posisi pekerjaan tertentu.
Pihak ketiga ini memang tugasnya menyetor calon pekerja baru ke perusahaan. Biaya jasanya; gaji perbulan kami dipotong beberapa persen oleh pihak ketiga ini.
Sistem ini nampaknya turunan dari sistem biro jasa TKI. Biro jasa semacam ini memang menyalurkan para pekerja dengan biaya di belakang lewat potongan gaji tiap bulan.
Belum genap satu tahun, saya memutuskan untuk berhenti. Saya merasa tidak berada di tempat yang tepat. Terutama untuk hidup saya.
Saya sudah lama tidak nyaman dengan aktivitas sehari-hari sekolah. Pakai seragam. Berangkat pagi. Nongkrong di depan gerbang atau kantin. Harusnya setelah lulus, saya tidak lagi melakukan aktivitas itu. Harus ada yang berubah.
Saya melihat kawan-kawan saya yang bisa dibilang tertib saat sekolah, mengikuti sistem dan tata tertib sekolah, menikmati pekerjaan di pabrik semacam ini. Pekerjaan yang aman. Pekerjaan yang semudah berangkat sekolah, duduk menunggu jam istirahat, pulang sore hari, dan digaji.
Tentu mereka menikmati. Ada beberapa yang mulai mengangsur cicilan motor. Cicilan yang tiap bulannya saya yakin separuh dari gaji mereka.
Lalu separuh lagi? Saya sanksi mereka tabung. Separuhnya tentu saja untuk membeli macam-macam barang yang selama ini tidak bisa mereka beli dengan uang sendiri.
Saya tidak bisa. Bagaimana saya bisa membangun rumah dan menghidupi keluarga saya nanti jika bertahan bekerja seperti ini. Terlebih lagi, akan ada masanya habis kontrak. Akan ada masanya saya harus memulai dari nol mencari pekerjaan baru lagi.
Beberapa dari senior saya di pabrik baru saja habis kontrak. Yang bisa dia lakukan adalah mencari kontrak di pabrik lain. Dengan gaji yang relatif sama. Selepas kontrak di pabrik itu habis, dia mau tidak mau harus cari kontrak di pabrik lain lagi. Begitu seterusnya.
Karyawan di pabrik memang tidak diperuntukan untuk mereka yang mencari suatu karir yang panjang. Banting stir ke toko-toko swalayan pun juga bukan jalan keluar.
Pekerjaan-pekerjaan bergaji "standar kota" ini hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari, bukan untuk kebutuhan berumah tangga. Apalagi untuk seorang lelaki yang harus menghidupi bukan hanya diri sendiri.
Bertahan di perusahaan juga bukan jalan keluar untuk saya Terlebih lagi, saya tidak mungkin bisa berkembang jika bertahan di perusahaan. Saya tidak bisa belajar keahlian baru. Saya tidak bisa mengaplikasikan potensi yang saya punya. Saya akan menjadi pasif.
Sebab, sebetulnya pekerjaan ini bukan diperuntukan untuk manusia. Di Eropa, pekerjaan ini sudah diambil alih oleh mesin. Mesin lebih disiplin, kecil resiko dan mesin tidak pernah lelah.
Manusia beda. Manusia punya keinginan, kebutuhan, emosi dan masalah pribadi. Manusia harusnya punya potensi lain selain membolak-balikan botol parfum.
Bahkan dalam teori Kebutuhannya Abraham Maslow, self actualizations berada paling atas.
Bagaimana jika 10 tahun lagi mesin Eropa itu datang?
Akhirnya saya memutuskan untuk kuliah. Mereka bilang PNS itu pekerjaan yang paling mapan, aman dan nyaman. Senior saya juga bilang, andai saja usia mereka masih muda, pasti sudah melanjutkan studi setelah lulus sekolah. Daftar PNS supaya hari tua enak. Tapi mereka sudah terlanjur terjebak dalam lingkaran industri.
Keputusan saya akhirnya bulat. Saya ambil keguruan. Saya masuk di salah satu kampus PTN. Kampus Agama Negeri yang biayanya tidak terlalu berat.
Tidak ada syarat khusus. Meskipun negeri, siapa saja boleh mendaftar. Mau dari SMK swasta, MA, SMA negeri, bahkan kejar paket bisa masuk asal lolos tes!
Yang saya suka di kehidupan kuliah, saya tidak harus menjalani rutinitas sekolah. Tidak perlu berangkat pagi buta, memakai seragam, pulang sore dan menunggu weekend datang. Sistem kampus sangat fleksibel. Cocok dengan saya.
Di kampus, saya bertemu macam-macam orang yang memutuskan kuliah, dengan alasan yang macam-macam pula. Ada yang mencari pelarian karena belum siap bekerja dan masih nyaman minta uang saku dari orang tua.
Ada yang dari keluarga PNS, sehingga kuliah adalah wajib hukumnya. Ada yang berhenti bekerja setelah 5 tahun di ibu kota. Ia jengah dan ingin meningkatkan jenjang karir.
Ada yang baru saja habis kontrak 2 tahun di perusahaan dengan gaji besar di ibu kota. Perusahaan idaman di SMK saya dulu. Ada juga yang memang niat keinginan sendiri memburu PNS seperti saya.
Hampir semuanya memang tentang pekerjaan. Banyak yang memburu ijasah. Membayangkan jika ijasah bisa sangat menentukan karir mereka.
Yang memang berniat mencari ilmu (akademisi), bisalah dihitung dengan jari. Gengsi, pekerjaan, ilmu. Antara tiga itulah ambisi mahasiswa di sekitar saya.
Singkat cerita, setelah 5 semester kuliah, saya harus mengikuti PPL. Mengajar langsung di sekolah. Saya mendapatkan sekolah SMK swasta!
Saya harus mengajar selama sekitar 2 bulan. Ini adalah salah satu karma di hidup saya. Saya harus merasakan berada di posisi guru saya sewaktu SMK. Mengatasi murid-murid SMK. Sangat menantang. Tapi bukan itu masalah terbesarnya. Ada yang lebih menohokku.
Saya lupa jika rutinitas sekolah sangat tidak cocok dengan saya. Selama menjadi guru, mau tidak mau saya juga harus menjadi murid di sekolah. Berangkat pagi buta, memakai seragam, pulang sore, menunggu weekend. Saya terjebak lagi!
Terlebih lagi setelah saya melihat kehidupan langsung guru-guru SMK swasta tersebut. Cerita mereka saat menjadi guru wiyata. Saat mengikuti seleksi CPNS yang luarbiasa tak masuk akal.
Tak beda dengan kawan-kawan karyawan saya yang harus berburu kontrak di perusahaan-perusaahan. Bedanya, guru wiyata berburu jam mengajar. Jangan tanya berapa gajinya.
Beberapa kakak tingkat yang sudah beberapa tahun wisuda pun juga sempat cerita, bagaimana susahnya mendaftar di sekolah-sekolah negeri. Saat ini, bahkan sekolah negeri tidak lagi menerima guru wiyata. Mereka hanya menerima PNS saja.
Guru wiyata yang sedang mengumpulkan jam kerja, sertifikasi dan mendaftar PNS harus rela singgah di sekolah-sekolah swasta terlebih dahulu.
Saat ini, kampus-kampus dengan jurusan "lawas" nampaknya tidak sinkron lagi dengan tantangan jaman yang baru.
Hari ini, sekolah-sekolah mencetak para pekerja industri. Padahal, hari ini bukan lagi era industri. Sebagaimana kampus-kampus yang mencetak calon PNS. Hari ini bukan lagi era PNS sebagaimana jaman orba dulu.
Sekolah-sekolah meluluskan ratusan ribu pekerja baru setiap tahun. Mau tidak mau, perusahaan harus melakukan rolling pekerja dengan sistem kontrak, supaya para fresh graduate itu terserap lapangan pekerjaan. "Asal terserap dulu" masalah karir panjang, belakangan.
Kampus-kampus meluluskan ratusan ribu calon PNS baru setiap tahun. Mau tidak mau, negara harus meningkatkan kualifikasi tes CPNS.
Yang tidak terserap? Mereka yang kuliah hanya sebagai tempat pelarian? Mereka akan memilih menikah. Mereka harus mencari penghidupan. Mereka harus mencari suami sebagai ganti orang tua mereka.
Masalah menggunakan ijasah bisa belakangan, asal tidak menganggur dengan ijasah s1. Setelah menikah, lalu hamil, selama masa inilah akan ada pertentangan batin antara menjadi ibu rumah tangga atau wanita karir.
Beberapa memilih mengurus anak dan keluarga di rumah. Mereka akan membela diri "toh bukan kewajiban perempuan mencari nafkah. Saya kuliah supaya menjadi ibu yang berpendidikan. Ini baik untuk anak saya".
Lalu bagaimana dengan sang ayah? Beberapa mahasiswi tentu berpikir beberapa kali untuk menikahi kawan yang sama-sama baru saja lulus. Mereka tentu enggan menunggu sang lelaki mapan. Pilihannya, menikahi lelaki yang sudah mapan. Yang bisa menghidupi.
Lalu bagaimana dengan mahasiwa lelaki yang baru saja wisuda ini? Mereka harus berjuang, mereka masih membutuhkan waktu lagi untuk mendapatkan karir yang prestisius dan aman untuk bersiap menghidupi orang lain (istri)
Tapi, sekali lagi. Ini bukan era industri. Ini juga bukan era PNS. Sejak tahun 2000, dunia sudah berubah. Kita sudah berada di era komunikasi. Era inovasi. Generasi Z.
Meraka, para pemuda di ibu kota sudah berbondong-bondong masuk ke perusahaan startup. Ada juga yang sedang merintis.
Para inovator ini ingin mendapatkan penghasilan tinggi dengan usaha yang kecil. Mereka ingin menciptakan sistem penggali uang. Grab, Go jek, buka lapak, traveloka, kitabisa.com dll
Mereka mempekerjakan karyawan tidak dengan kontrak atau latar belakang pendidikan. Bahkan, google saja tidak mempertanyakan ijasah apa yang calon pelamar punya. Mereka mempekerjakan seseorang berdasarkan keahlian. Keahlian terapan. Bukan hafalan. Keahlian yang terserah didapatkan dari mana.
Mereka kebanyakan adalah lulusan multimedia, marketing, IT, design, codding, network builder, jurusan yang semasa sekolah dan kuliahku dianggap tidak menarik dan buang-buang waktu. Jurusan yang main-main dan tidak bisa mapan.
Para pelaku startup dan inovator-inovator inilah yang "sedang berada di eranya". Apesnya, beberapa era berjalan sangat cepat.
Kita masuk sekolah dengan jurusan tertentu dengan goal mendapatkan pekerjaan tertentu 3-5tahun ke depan, tapi setelah kita sampai di 3-5tahun itu, era sudah terlanjur berubah. Sementara kita hanya bisa duduk memeluk ijasah yang sudah tidak sinkron dengan hari ini.
Pertanyaannya. Bagaimana dengan 10 tahun lagi. Bagaimana kita bisa mengikuti perkembangan ini hanya bermodalkan ijasah tanpa skill khusus. Teori di bangku sekolah ternyata tidak cukup.
3 pendiri youtube, 14 tahun yang lalu keluar dari perusahaan PayPal. Mereka adalah karyawan yang ingin memenuhi self actializations milik Maslow. Mark sang pendiri raksasa facebook, Seve Job dan Bill Gates keluar dari kampus untuk membangun inovasi mereka masing-masing.
Nampaknya ada yang lebih penting daripada goal yang berasal dari trend suatu era tertentu. Orang-orang masuk sekolah untuk bisa bekerja di perusahaan karena sedang eranya orang-orang berbondong-bondong masuk perusahaan. Orang-orang masuk kampus karena sedang era orang-orang berbondong-bondong mendaftar PNS.
Ada yang lebih penting dari itu semua ternyata. Kita tidak bisa masuk sekolah hanya karena ingin mengikuti tren. Sebuah tren mungkin tidak bertahan lama dan sinkron dengan perkembangan era lagi.
Nampaknya ada yang lebih penting. Yaitu self actualizationsnya Abraham Maslow. Tidak perlu memburu apa yang bukan keahlian dan passion kita lalu membunuh potensi lain yang sebetulnya kita punya.
Potensi kita akan beriringan dengan era kita hidup. Kita berkembang sesuai perkembangan zaman. Kita yang lahir dan tumbuh bukan di era industri, tidak perlu memaksa diri masuk ke dalamnya.
Potensi seorang yang tumbuh dalam era komunikasi seperti hari ini tentu beda dengan potensi orang yang tumbuh di era industri.
Orang yang tumbuh hari ini tentu beda dengan orang yang tumbuh di tahun 90an saat menyikapi adanya alat komunikasi.
Hari ini orang-orang era baru ini tidak hanya menggunakan alat komunikasi untuk berkomunikasi saja, tapi juga untuk mencari penghasilan.
Asalkan kita mengaktualisasikan diri kita sesuai potensi yang kita punya, tanpa mengejar sesuatu yang sudah bukan era kita, nampaknya potensi kita akan menolong kita.
Otak kita berkembang sesuai jaman. Memang sudah didesign untuk itu bukan?
Burung tidak pernah membuat sarang yang berbeda selama beberapa jaman. Burung tidak punya kemampuan itu. Manusia punya. Manusia pernah tinggal di goa. Tapi manusia tidak selamanya tinggal di goa.
Manusia tidak selamanya membuat atap rumah dari ranting dan daun. Manusia beradaptasi. Manusia berinovasi. Menusia berkembang. Beberapa tahun yang lalu manusia mampu membangun gedung setinggi 828m.
Hari ini, peralihan perkembangan luar biasa cepat. 10 tahun yang lalu, grab sang decacorn bahkan belum ada. Hari ini, perusahaan startup itu nilai valuasinya mencapai 10miliar dolar.
Apakah 10 tahun yang lalu kita ada yang berpikir perusahaan jasa transportasi yang tidak memproduksi alat transportasi itu bisa menjadi seperti sekarang?
Orang-orang yang tumbuh di era industri pasti berpikir perusahaan transportasi ya harus memproduksi alat transportasi. Produk. Produk.
Padahal hari ini bukan produk yang lebih menghasilkan. Tapi platform. Nokia kalah dengan apple, karena Nokia hanya fokus pada produk. Sementara Apple menyediakan platform. App store, iOS, iTunes, macOS, safari dll
Pertanyaannya 10 tahun lagi apakah era akan berubah lagi?
Yang jelas, hari ini kita tidak benar-benar bisa menargetkan karir hanya berdasarkan sekolah. Kita butuh lebih dari itu. Yaitu skill pribadi. Hard skill. Pengembangan potensi yang tidak tersentuh di sekolah.
Kita lebih membutuhkan self actualization ketimbang follow common. Kita tidak boleh lagi memasrahkan karir pada perusahaan tertentu atau bahkan negara sekalipun. Nampaknya kita harus memasrahkannya pada diri sendiri. Potensi yang kita sendiri sudah miliki.
Sebab, setelah kita tidak "numpang" lagi di sekolah/kampus, yang kita punya hanya diri sendiri. Kemampuan diri sendiri. Kita akan berdiri di tengah-tengah dunia yang luas. Ada ribuan jalan yang bisa kita ambil. Ada ribuan kesempatan yang tersedia.
Tapi beberapa dari kita hanya memegang ijasah. Ijasah yang hanya mampu melewati administrasi yang diseragamkan. Pekerjaan yang distandarkan berdasarkan angka.
Padahal, ada banyak jalan yang membutuhkan potensi tersembunyi kita. Kita terlanjur menyeragamkan diri dengan mereka yang sama-sama memegang ijasah setara dengan kita. Kita berlomba dengan mereka. Entah suka atau tidak dengan pekerjaanya, kita harus "menjual" ijasah itu.
Keputusan ini juga bukan semata-mata keinginan pribadi. Kita sudah terlanjur mengeluarkan cost banyak untuk sekolah. Tenaga, waktu, uang. Tentu orang tua kita berharap kita mempergunakan ijasah yang telah kita dapatkan dengan susah payah.
Begitu 20 tahun yang lalu biasa orang lakukan. Sekolah memang untuk mencari pekerjaan. Nilai sekolah SMP untuk mencari sekolah SMA yang favorit. Nilai SMA untuk mencari kampus ternama. Nilai IPK tinggi untuk mencari pekerjaan yang bagus.
Tapi masalahnya, hari ini bukan 20tahun yang lalu. Tantangan dan medannya berbeda. 20 tahun yang lalu, intansi atau perusahaan sangat mensyaratkan tingkat pendidikan. Tapi hari ini tidak. Dunia lebih membutuhkan mereka yang berbeda. Hari ini bukan lagi jamannya keseragaman. Ini jamannya keberagaman. Warna warni inovasi individu adalah yang bisa bertahan.
Hari ini adalah evolusi baru manusia. Manusia bisa membangun gedung yang lebih tinggi. Orang-orang mulai berpikir untuk mempekerjakan orang lain ketimbang dipekerjakan. Akademisi mulai mencari inovasi untuk menyentuh potensi-potensi pelajar yang 20 tahun yang lalu tidak dilakukan.
Tapi, orang-orang yang sudah terlanjur terjebak di antara garis perpindahan era seperti saya ini, tentu kesulitan. Kita membawa mimpi dan harapan orang tua kita, yang hidup pada era industri. Tentu beberapa orang tua tidak mengerti apa yang dibutuhkan dunia pada hari ini.
Pada titik inilah, saya harus memutuskan. Saya berdiri tepat di atas garis pergeseran era. Saya harus melangkah ke sisi garis yang mana. Setelah wisuda.
__
Bersambung || 5 - 10tahun lagi.
128 notes
·
View notes
Text
(Tanggapan dari akun @gagangpensil untuk tulisan akun @dhanibaharzah berjudul "Just Be Yourself")
Be yourself adalah saran yang bagus!
Be yourself, bukan berarti keras kepala atau gak mau tahu. Enggan mendengar saran dari orang lain. Hanya karena ingin mempertahankan apa yang disukainya, yang menjadi gaya hidupnya, yang nyaman menurutnya.
Be yourself maksudnya adalah menjadi bebas. Independen, tidak terpaksa. Tidak dipaksa menjadi orang lain. Menjadi ini dan itu.
Be yourself maksudnya adalah menjadi bahagia dan nyaman tanpa mengganggu kebahagiaan dan kenyamanan orang lain.
Be yourself bukan berarti hanya menjadi diri apa adanya. Ia bisa punya role model. Bisa mengadopsinya untuk membangun dirinya. Dengan versi kemampuan dan potensi yang dimiliknya. Atau bisa juga tidak punya role model. Hanya fokus pada potensi yang dimilikinya saja.
Be yourself artinya bebas. Bebas memilih menjadi seperti apa pun. Menjadi siapa pun. Atau hanya menjadi versi penuh dirinya sendiri. Masalah baik dan buruk. Benar dan salah. Itu masalah nilai-nilai. Masalah moral. Masalah akhlak.
Be yourself maksudnya tidak terkekang. Tidak berpura-pura. Tidak palsu.
Be yourself artinya bebas mengembangkan diri sesuai dengan apa yang menurutnya benar. Pantas, nyaman dan cocok.
Be yourself itu maksudnya tahu apa yang harus dilakukan. Menjadi orang yang tidak bertentangan dengan diri yang sebenarnya.
Be yourself itu maksudnya merdeka. Merdeka mengeksplorasi diri. Tidak harus mengikuti keumuman. Tidak terpaksa oleh sistem. Tidak terseragamkan. Tidak dirampas potensi yang dimilikinya. Tidak dirampas haknya untuk berkembang.
Be yourself itu maksudnya percaya diri. Tidak perlu menutupi kekurangan dan hanya menonjolkan kelebihan saja. Ia akan mengatakan "inilah aku. Ya beginilah. Kekuranganku seperti ini. Tapi aku juga punya kelebihan ini hlo. Masalah kekurangan, aku sedang dalam proses memperbaiki. Tak perlu kututupi. Jika cocok. Mari berteman. Jika tidak, tak perlu dipaksakan"
Be yourself itu maksudnya paham dengan diri sendiri. Paham apa kekurangan dan kelebihan. Apabila ada penilaian dari luar. Ia tidak tertekan. Bukan berarti acuh dan masa bodoh. Ia mendengarkan. Menganalisis. Muhasabah diri.
Be yourself itu bebas dan punya hak penuh untuk memilih dan memutuskan semua saran dan masukan dari luar. Hak untuk memilih itulah yang sepenuhnya bebas. Keputusan demi keputusan itulah yang kemudian membangun karakter asli milik seseorang. Karakter yang kental. Jelas. Tidak abu-abu.
Be yourself itu mandiri. Kokoh. Tidak mudah terbawa arus. Punya jati diri
Be yourself bukan berarti memburukan yang sudah buruk dan men-stak-kan yang sudah baik.
Be yourself, bukan berarti keras kepala atau gak mau tahu. Tidak progres dan tidak peduli dengan pihak luar.
Be yourself itu proses. Proses atau perjalanan yang melibatkan kebebasan untuk memutuskan dan memilih. Keburukan-keburukan akan disadari dalam perjalanan. Kebaikan-kebaikan akan ditemukan dalam perjalanan.
Kalau sudah memilih ia berani dan siap menghadapi konsekuensi.
Be yourself itu maksudnya mensyukuri diri sendiri. Dengan cara mengoptimalkannya. Menikmatinya. Nyaman dan bahagia di dalamnya.
*catatan: apa yang saya utarakan bukan untuk membela mereka yang bersembunyi di balik frasa "Be Yourself", bukan, sama sekali bukan. Saya malah ingin membela frasa itu sendiri. Banyak yang salah mengartikan frasa yang nampaknya sederhana itu. Banyak yang salah paham. Banyak yang gagal paham. Jadi, saya berusaha menjabarkan makna "be yourself" itu supaya tidak disalahpahami dan digunakan sebagai alibi orang-orang yang sebetulnya tidak menjalankan "be myself" secara utuh. Jadi, apabila membaca dua tulisan dari saya dan akun @dhanibaharzah, harusnya siapa saja yang mau menggunakan frasa "be yourself" sudah paham apa makna yang sebenarnya dan tidak menjadi seorang yang kolot dan mempertahankan kejelekan diri sendiri dengan alibi mengikuti saran "be yourself".
-- Kala Lail
Just Be Yourself.
Just be yourself adalah saran yang sangat buruk.
Bayangkan seorang anak kuliah yang awkward dan tidak bisa berkomunikasi dengan baik dengan orang-orang di sekitarnya. Dia setiap hari kupu-kupu (kuliah pulang). Tidak pernah aktif organisasi.
Dia tidak suka berinteraksi dengan orang. Dia senang menyendiri. Di kelas dia selalu memakai headset. Di kantin dia makan sendiri. Ketika kerja kelompok dia juga diam-diam saja menunggu arahan. Presentasi tidak pernah mau.
Di rumah, dia menghabiskan semua waktunya di kamar. Main game, nonton YouTube, baca buku. Semuanya dia lakukan di kamar. Orangtuanya tidak pernah dia ajak ngobrol. Kakak dan adiknya juga dia diamkan setiap hari.
Suatu hari, dia sedang memikirkan tentang kekurangan yang dia miliki. Apakah awkward dan tidak bisa bersosialisasi itu wajar? Apakah tidak memiliki hasrat untuk bertemu dan mengobrol dengan orang itu wajar?
Di feeds Instagram dia melihat seorang wanita cantik dengan caption:
“Just be yourself! Life is too short to be someone else!”
Dia lalu berpikir bahwa semuanya akan baik-baik saja. Setidaknya dia tidak fake. Setidaknya dia tidak berpura-pura sok gaul. Setidaknya dia mengakui kekurangan dirinya. Orang sukses juga banyak yang introvert gak sih, pikirnya.
Dia lanjut scrolling lalu melihat foto ini:
Wah itu persis banget seperti aku, pikirnya. Memang ya bersosialisasi itu gak penting banget. Ngapain ya orang-orang nongkrong di café berjam-jam cuma untuk membicarakan hal-hal tidak jelas. Mendingan aku yang menerima diriku apa adanya.
Dia akhirnya menerima dengan lapang dada kalau dia memang seorang introvert yang tidak akan pernah bisa bersosialisasi dengan orang.
The End.
Mengerti kan kenapa “just be yourself” adalah saran yang sangat buruk? Begitu buruknya sampai-sampai bisa merusak hidup orang.
Kalau kamu seorang pemalas, pembohong, pencuri, pemfitnah, pemberontak, dan pelakor, then please don’t be yourself.
Be a better person.
Dear special snowflakes generation called millenials, I’m sorry if I hurt your weak ass but being introvert is nothing to be proud about.
Dunia ini keras. Dunia ini butuh orang-orang yang berani mempersembahkan idenya. Dan dengan baik! Ide sebaik apa pun kalau dijelaskan dengan buruk sama saja dengan ide yang biasa-biasa saja.
Pekerjaan apa pun yang kamu pilih, and I mean EVERYTHING, semuanya mengharuskan kamu untuk bekerja sama dengan orang lain. Tidak mungkin bisa sendiri.
Semakin baik kamu berkomunikasi (dan dalam beberapa kasus, memanipulasi orang lain), semakin besar peluangmu untuk sukses di dunia yang kejamnya tidak pandang bulu ini.
“Be yourself” adalah saran yang sangat buruk.
Apalagi saat ini, dimana generasi anak-anak muda sedang lemah-lemahnya. Lemah mental, lemah disiplin, lemah skill, lemah fisik.
Apa-apa ngeluh. Setiap hari protes. Macet dikit kesel, marah, emosi. Di kritik dikit triggered. Dimarahin bukannya introspeksi malah ngambek. Apa-apa nyalahin pemerintah. Susah dapet kerja nyalahin perusahaan, nyalahin ekonomi, bukannya naikin skill.
Kalau kita terus-terusan diberi saran “be yourself” selamanya kita akan begitu-begitu saja. Tidak ada perkembangannya. Tidak ada peningkatan.
Kalau mau, ini ada saran yang lebih baik:
Figure out who you truly are. Figure out your weaknesses and fix them.
If you can’t, then figure out what you love, what you’re good at, and what other people need (because you need to get paid).
And then do that for the rest of your life.
semua dari sini ya
714 notes
·
View notes