#JuliBercerita19
Explore tagged Tumblr posts
Text
Kita adalah Forky, Woody dan Bonnie
Bagi yang mengikuti seri Toy Story, tahun ini menjadi menarik karena cerita Woody, Buzz dkk berlanjut. Dengan premis yang cukup menarik, yang bisa kita tebak-tebak dari trailernya. Saya gak akan bahas filmnya sih pada tulisan ini. Haha Tapi saya senang sekali sama satu karakter baru di film ini: Forky.
Forky adalah ‘mainan’ baru Bonnie. Forky dibuat secara tidak sengaja oleh Bonnie dalam kelas praktik di hari pertama sekolah TK. Namun ada yang unik dari Forky ketika ia hidup. Karena berasal dari barang daur ulang, ia terus menganggap dirinya sampah. Ia selalu ingin membuang dirinya ke dalam tempat sampah. Di kelas Bonnie, di kamar, di jalanan, bahkan di manapun. Karena ia merasa ia bukan mainan, seperti mainan lain. Ia adalah barang daur ulang, yang seharusnya sudah menjadi sampah.
Woody sih cukup sabar menjaga Forky untuk tidak membuang dirinya. Ia juga mau memberikan pengertian kepada Forky, bahwa ia berharga, bahkan sangat berharga untuk Bonnie. Forky boleh menganggap dirinya sampah, tapi bagi Bonnie, kehilangan Forky adalah kesedihan mendalam. Dan Woody, adalah teman terbaik sih dalam hal ini.
Kita semua adalah ‘Forky’. Saat keadaan sedang tidak berpihak. Saat banyak hal yang ingin dicapai tak tergapai. Saat semesta dirasa tidak lagi mendukung. Merasa diri kita sampah, ingin hilang atau mati saja dari dunia. Seperti semua orang juga tidak ada yang akan peduli. Kita lupa kalau kita punya ‘Bonnie’.
‘Bonnie’ yang selalu menerima kita apa adanya, bahkan merasa kita istimewa. Orang tua, keluarga, teman-teman terbaik dalam kehidupan. Yang sedih ketika kita sedih, bahagia saat kita bahagia. Salah satu alasan untuk kita terus berjuang menjalani hidup.
Dan terkadang, kita mesti juga menjadi ‘Woody’, untuk kawan-kawan, atau siapapun yang membutuhkan. Bahkan diri kita sendiri. Mengangkat kita dari jurang kelam perasaan tidak berharga, menyadarkan kembali bahwa di luar sana pasti masih ada ‘Bonnie’ yang menanti kita kembali.
Meskipun ini hanya cerita, cerita mainan pula, (haha) saya yakin pernah ada ‘Forky’ dalam diri ini. Maka sesekali jadilah kita ‘Woody’ atau ‘Bonnie’ bagi yang lain.
169 notes
·
View notes
Text
Yang Tidak Dibicarakan Ketika Telat Pulang Kerja
Ada satu nasihat yang saya ingat sekali dari mendiang bapak teman saya. Dulu saat tahun pertama kuliah, saya tinggal di rumah teman saya itu. Meskipun jauh dari kampus, tapi karena gratis, saya senang saja. Hehe apalagi saya ga punya saudara di perantauan ini. jadilah keluarga teman saya, adalah keluarga saya juga. Nasihatnya kira-kira seperti ini:
Bangunlah pertemanan yang baik dengan teman-teman kerjamu. Karena teman kerjamu adalah orang yang paling sering kamu temui. Minimal, lima hari dalam sepekan, dan delapan jam sehari. Itu lebih banyak dari waktu yang kamu punya dengan keluarga.
Waktu itu saya belum ngerti-ngerti betul apa maksudnya, kenapa harus demikian. Karena memang belum relate aja sama dunia kerjaan. haha
Hari ini, 6 tahun kemudian, saya telah mengerti maksudnya.
Waktu beliau meninggal, saya datang ke rumahnya dan menyaksikan banyak sekali orang. Rumahnya yg tidak besar sampe sesak ke jalan-jalan. Dan cerita dari kolega-koleganya membuat saya tahu, bahwa paman ini punya pribadi yang sangat menyenangkan di tempat kerja. Disenangi kawan-kawan sepantaran, disegani oleh bawahan dan dihormati atasan.
Pada tahun 2017 awal, saya akhirnya diterima kerja untuk pertama kali. Dengan lingkungan pekerjaan yang tidak saya bayangkan sebelumnya. Dipenuhi dengan orang kreatif dari berbagai bidang. Videografer, programer, desainer grafis, animator, copy writer, content writer, arsitek, bahkan sound desainer. Saya bekerja di ruang yg sama dengan mereka, dengan kemampuan dan alat sederhana yang saya punya. Haha sungguh pengalaman yang sangat berharga. Tapi saya ingat nasihat mendiang ayah teman saya. Tentang membangun hubungan baik dengan teman kerja. Saya mencoba ‘SKSD’ dengan mereka. Di ruang kerja, di tempat makan, di jalan menuju ke masjid, teras kantor. Dan untuk itu juga saya jadi harus pulang lebih lama, menunggu teman-teman selesai bekerja dan ada waktu bersantai bersama.
Tapi meskipun hanya 3 bulan di sana, saya jadi punya banyak teman baru, dan juga dapat belajar banyak hal. Saya masih berkomunikasi bahkan pernah terlibat project bersama mereka lagi di tahun-tahun ini. Setidaknya, saya punya sedikit kesan untuk sedikit lebih susah dilupakan.
Dari sini memang saya jadi punya satu isu, pulang kantor. Seringkali saya terlalu asik ‘bergaul’ dengan teman-teman kerja sehingga harus pulang larut. Jadi saya pulang larut bukan karena pekerjaan (seringkali yah, haha). Tapi begitulah, dengan adanya pertemanan yang cukup nyaman ini, lingkungan kerja menjadi tempat yang menyenangkan. Tidak kaku dan mencekam. Meskipun tuntutan pekerjaan juga seringkali menyesakkan. Haha
Nasihat itu, saya terapkan sampai sekarang. Di tempat kerja manapun saya berada. Saya sadar konsekuensi pulang telat, kurang waktu istirahat dan mengerjakan kerjaan sampingan. Haha tapi hal-hal ini sulit untuk dilewatkan. Berteman dengan teman sedivisi, kawan di luar divisi yang ketemu saat sholat ke masjid, satpam yang membantu ngeluarin motor, mas-mas yang membersihkan meja dan mbak resepsionis yang nge-chat kalo ada paket adalah hal-hal menyenangkan dan jeda yang menarik dalam bekerja.
Suatu hari saya yakin sih, hal ini tidak akan sia-sia. Setidaknya untuk hari-hari ini, perasaan ke kantor adalah perasaan yang menyenangkan karena banyak manusia yang bisa diajak menjadi manusia. Saya rasa.
*Ditulis dalam keadaan baru sampai rumah jam 22.34. Padahal kerjaan sudah beres sejak jam 18.30. Haha
**Foto: Unsplash
167 notes
·
View notes
Text
Yang Pergi Ketika Kita Bertumbuh
Setiap orang pasti pernah mengalami kehilangan, kepergian atau kematian dalam suatu bentuk apapun. Seiring bertambahnya usia, saya selalu berharap semuanya akan menjadi lebih mudah: berduka mungkin jadi tidak terlalu lama, memori orang-orang yang sudah pergi mungkin tidak akan kembali lagi. Tapi ternyata hidup memang sulit ditebak dan terkadang perlu bingung supaya kita bisa benar-benar memberi ruang untuk merenungi ini semua. - Dalam pengantar lagu “Growing Up”, Daramuda Project.
Rasanya paragraf pengantar untuk lagu di atas sudah sangat menggambarkan apa makna bertumbuh dan kehilangan-kehilangan yang membersamainya.
Saat bertumbuh, saya kehilangan cara pandang yang saya rasa lebih sederhana di kala saya masih belia. Tentang cara kerja dunia, ketulusan manusia, dan betapa indahnya hari ini.
Saat bertumbuh, saya kehilangan orang-rang yang dulu membersamai. Meskipun pada sejatinya semuanya memang akan pergi, tidak ada yang benar-benar tinggal. Kepergian Aba adalah mungkin kepergian yang paling berat yang baru saya sadari belakangan ini. Pun kawan-kawan baik pada suatu masa, akan punya jalan dan ceritanya yang bisa jadi tidak ada kita di sana.
Saat bertumbuh, ada hal-hal yang pergi secara perlahan, sadar maupun tidak disadari. Kesenangan pada suatu, kedukaan yang tertinggal di masa lalu, keinginan yang dulu pernah menggebu. Sesekali mungkin kita perlu lagi berbahagia, bersedih ketika waktunya, dan berharap untuk sesuatu yang memang pantas ditunggu.
35 notes
·
View notes
Text
Yang ditakutkan senenarnya adalah: saya masih lebih takut ketahuan dosanya oleh manusia, sementara saya masih leluasa berbuat dosa padahal Ia selalu ada.
Tentang kebertuhanan: ternyata masih terbata saya ini mengeja iman.
31 notes
·
View notes
Text
Ayah Kecil
— Terjemahan sajak Li-Young Lee oleh M. Aan Mansyur
Aku menguburkan ayahku di angkasa. Dan burung-burung memandikan dan menyisir rambutnya setiap pagi, dan menarik selimut hingga dagunya setiap malam.
Aku memakamkan ayahku di bawah tanah. Dan anak-anak tangga hanya bisa digunakan memanjat ke bawah, dan utuh seluruh bumi menjelma rumah yang kamar-kamarnya adalah waktu, yang pintu-pintunya terbuka pada malam hari, menerima tamu demi tamu. Kadang-kadang aku melihat masa lampau mereka menghamparkan meja untuk pesta pernikahan.
Aku menanam ayahku di jantungku. Ia tumbuh dalam diriku, anak laki-lakiku yang asing, urat-daging kecilku yang tidak suka minum susu, kaki-kaki kecil yang tenggelam dalam arus malam yang berlalu, detak mata air kecil yang memancar dari kobar api, buah-buah anggur kecil, orang tua bagi manis minuman masa depan, anak laki-laki buah-buahan dari anak laki-lakinya sendiri, ayah kecil bekal hidupku.
Membaca sajak ini, saya menjadi ingat momen waktu menguburkan Aba, awal Juli 9 tahun lalu. Saya di sana, masuk di liang itu mengantarkan Aba ke peristirahatan terakhirnya di bumi.
Puisi ini, entah bagaimana cukup bisa menggambarkan apa yang dirasakan manusia-manusia seperti saya yang jam segini masih menulis/membaca di semacam Tumblr ini. Haha malam adalah memang teman terbaik untuk bersendiri. Juga terbang jauh ke masa lalu, dan mengingat mereka yang jauh. Orang tua, kerabat, kawan baik dan apapun yang ingin dikenang.
Sementara ‘burung-burung’, orang-orang di luar yang tidak tahu apa yang sebenarnya dihadapi hanya bisa ‘berkicau’. Dan berlalu, menjalani kehidupannya, beraktivitas pada siang hari, dan tidur dengan nyenyak di malam hari.
Ada masa-masa memang di mana saya merasa kesal dengan diri sendiri. Atas apa yang terjadi, keadaan yang membuat saya hanya bisa melakukan dialog imajiner dengan Aba. Tentang apa yang sebaiknya dilakukan laki-laki dewasa dalam keadaan tertentu. Itupun tanpa ada jawaban karena Aba sangat pendiam sekali. Haha. Tapi kemudian saya sadar bahwa keheningan malam semacam ini, bisa mendewasakan juga jika mereka diajak berdiskusi dengan baik. Salah satunya lewat kegiatan menulis ini.
Omong-omong, Aba akrab sekali dengan tanah. Beliau cukup lama menjadi dosen pertanian, dan waktu kecil saya suka membolak-balik bukunya tentang ilmu tanah. Juga majalah Trubus dan kamus istilah pertanian. Tanah mungkin memang tempat paling hangat di bumi. Dan meskipun Aba jauh di sana, di dalam tanah yang belum pernah saya injaki lagi setelah pemakamannya, saya menguburkan Aba di dalam hati.
Aba kecil, bekal hidupku.
43 notes
·
View notes
Text
When in doubt..
Salah satu mantra paling masyhur yang saya dapat ketika menekuni dunia rancang-merancang grafis ini adalah:
When in doubt, use Helvetica.
Helvetica sendiri adalah sebuah typeface atau font yang sangat populer dan mudah digunakan untuk situasi apapun. Pas lah ketika akhirnya Helvetica menjadi solusi dalam kebingungan.
Seiring waktu dan pengalaman, saya semacam menemukan ‘Helvetica’ saya sendiri. Yaitu font andalan ketika dilanda kebingungan harus menggunakan apa. Haha yang saya ingat, saya sempat sangat sering menggunakan Futura MD BT. Apalagi Futura biasanya sudah terinstal di windows, jadi tidak mencari-cari lagi. Bahkan saya pakemkan menjadi font untuk organisasi saya saat itu di kampus. Jadi otomatis Futura menemani saya setahun lamanya. Dan Futura, ketika sudah menjadi font yang pakem buat saya pada waktu itu, saya rasa sudah tidak bisa lagi menjadi solusi ketika saya menemui kebuntuan memilih font.
Masuklah kemudian era Gotham dan Proxima. Dua font ini sangat serupa sih sebenarnya. Dan oleh karena itu punya kesan yang serupa juga. Simpel dan elegan. Jika disusun dengan layout yang baik, mereka bisa muncul juga dengan memukau. Saya termasuk yang akhirnya sering pakai kedua font ini dalam kebuntuan, terutama Proxima, karena tersedia di fonts.google.com. Haha
Waktu berlalu dan saya semakin banyak punya ‘Helvetica’. Opsi-opsi yang tersedia ketika saya dilanda kebingunan memilih font. Dan ‘Helvetica’ saya bisa beragam juga tergantung kebutuhan. Untuk kebutuhan formal dan resmi misalnya, tentu Proxima sangat bisa jadi solusi. Tapi untuk membuat kesan agak romantik dan dekat, saya punya Playfair Display. Sudah terbukti beberapa kali dan sangat berhasil. Haha dan beberapa font lagi untuk kasus yang lain.
Pada akhirnya, memiliki font andalan bukanlah sebuah keharusan maupun pantangan. Namun yang harus diperhatikan, setiap desain memiliki problemnya masing-masing yang perlu diselesaikan. Dan penyelesaiannya tidak melulu dengan cara yang sama (pada konteks ini selalu dengan font yang sama). Setidaknya milikilah ‘Helvetica’mu, font andalan di semua jenis: Serif, Sans Serif, dan Script. Font memilki karakter dan kesan, sehingga ketika kita bisa memilih font yang tepat untuk konteks desain yang tepat, itu akan jadi sangat baik sekali.
So, when in doubt.. use your ‘Helveticas’. Haha
----------
Sumber gambar:
Helvetica Futura MD BT Gotham Playfair Display
30 notes
·
View notes
Text
Dua garis biru dalam benang merah kehidupan
Satu hal yang akhirnya saya pelajari dari film ini, waktu memang obat penyembuh luka terbaik. Maaf memang perlu, tapi untuk memaafkan tidak semudah itu. Maka, di situlah waktu bekerja. Kuharap dikau sabar menunggu
Saya bicara tentang film “Dua Garis biru”, film yang baru saja saya tonton. Saya tertarik dengan tema yang diangkat. Bukan kali pertama tema ini diangkat kedalam film, dulu pernah ada “Married by Accident” (saya hanya membaca versi novelnya sih), atau versi sinetron saat masa kecil saya, “Pernikahan Dini”. Kita memang seakan tidak bosan diingatkan tentang dunia anak muda yang perlu banyak perhatian dan bimbingan.
Dalam beberapa waktu, saya juga masih punya kekhawatiran sih. Saya masih punya dua adik perempuan yang tinggal jauh dengan saya sekarang. Saya tidak benar-benar tahu bagaimana kehidupan mereka dan orang-orang terdekatnya di luar lingkaran keluarga. Dalam hal semacam ini, mungkin cuma do’a dan komunikasi yang baik dengan mereka yang bisa menolong.
Ada banyak hal yang saya sukai dari film ini. Keberaniannya menempatkan konflik, beberapa cast yang sangat menjalankan perannya dengan pas, musik, dan salah satu adegan yang saya rasa cukup sulit yang diambil dengan sangat baik. Dalam hal-hal itu, film ini sangat patut diapresiasi.
Terkait pesan dari film ini, saya rasa kita bisa menyerap sendiri pada hal apa kita mau belajar. Kita bisa mengambilnya sebagai pesan untuk anak, atau sebagai orang tua, teman, atau bahkan saudara. Shit happens, man. Semulus-mulus apapun kita berusaha, sebaik-baik apapun kita membangun, kemungkinan yang kita tidak inginkan pasti masih dapat terjadi. Ya, pasti semua keluarga punya ‘musibah’ nya masing-masing, dengan kadar yang berbeda-beda juga. Yang akhirnya menentukan adalah respon terhadap musibah-musibah itu.
“Kalau Ibu saja bisa memaafkan kamu, Apalagi Allah, nak.”
Ah, semoga kita senantiasa sadar tentang ‘garis biru’ yang bisa datang kapan saja dalam benang merah kehidupan kita. Tapi, ketika itu terjadi, semoga kita bisa bijak menerima dengan segala konsekuensinya.
25 notes
·
View notes
Text
Jakarta adalah medan tempur. Tempat bertarungnya kepentingan-kepentingan, ambisi, harapan dan mimpi dari berbagai kepala.
Jakarta adalah hutan belantara yang penuh misteri. Tempat berkembangbiaknya keputusasaan, amarah dan benci.
Jakarta adalah taman bermain. Menemukan kesenangan, pelampiasan dan lari dari kenyataan.
Pada akhirnya, Jakarta adalah ibukota rasa. Tempat banyak hal dimulai dan diakhiri, dibangun dan dirubuhkan, digusur dan digeser, saling berganti.
Jakarta, selalu menjadi dirinya sendiri.
26 notes
·
View notes
Text
Untuk Apa Menyambung Asa yang Patah?
Sesuatu yang patah, belum tentu bisa disambung kembali seperti sedia kala. Kalaupun bisa, pasti akan menyisakan bekas. Dalam hidup, akan ada banyak momen-momen patah atau sesuatu yang berjalan tak sesuai rencana, dan akhirnya menyisakan luka.
Saya akhirnya berpikir, mungkin kah asa yang patah memang patutnya ditinggal saja? Alih-alih menyambungnya kembali, kenapa tidak membangun asa yang baru saja. Yang bisa jadi sangat berbeda dari asa semula.
Dalam perjalanan ke kantor tadi pagi, saya ditemani lembali oleh episode podcast “Randy & Gustika are: Unqualified. Episode itu membahas tentang kegagalan yang bukan akhir dari dunia. Tema yang mungkin klise yang sering kita dapatkan dari buku-buku motivasi atau biografi orang-orang sukses. Tapi yang menarik, cerita-cerita gagal ini terasa dekat. Kegagalan mendapatkan kampus atau jurusan impian, mengejar pekerjaan yang diinginkan, atau kegalalan dalam keluarga.
Ada satu email yang dibacakan dan berkesan sekali untuk saya tadi itu. Saya sedang mengantri mengisi BBM saat masuk di bagian itu, beruntung saya bisa menahan air mata yang hampir tumpah, sampai proses pengisian selesai dan motor kembali saya jalankan. Adalah itu cerita dari abang driver ojol yang ternyata dulu adalah “Messi” dari Cilacap. Detail ceritanya bisa kalian simak sendiri di episodenya. Saya bahkan tidak begitu relate dengan dunia persepakbolaannya. Tapi dari cerita dan cara penceritaannya, terasa dekat dan tersampaikan sekali apa yang dulu dialami, konflik diri yang dihadapi, dan sebuah keadaannya kini. Yang terakhir adalah sesuatu yang membuat saya sangat haru. Sebuah kisah tentang membangun asa yang baru, bukan sekadar menyambung. Karena dari cerita yang ia tuturkan, ia telah mencoba menyambung asa itu, namun memang mungkin bukan itu jalannya.
Saya gak ngerti sih, mengapa orang-orang dengan masa lalu yang berat dan mampu melewatinya, bisa bercerita dengan semenarik itu. Haha sebagai pendengar saya bersyukur sih, bisa belajar banyak dari kisahnya. Belajar untuk merelakan sesuatu yang sudah patah, dan mau mengambil asa yang baru.
19 notes
·
View notes
Text
Tanjak Sampe Puncak
Ada masanya ketika saya memikirkan bahwa masalah-masalah yang banyak itu kalau tidak selesai-selesai akan menumpuk sehingga menggunung atau menjadi seperti gunung. Maka kemudian, saya berusaha menjadi pendaki yang baik.
Mungkin benarlah apa yang pernah dibilang oleh salah seorang Ranger di Gunung Ciremai saat saya naik 8 tahun lalu. “Mendaki gunung bukan menaklukkan gunung, tapi menaklukkan diri sendiri”. Maka ya, bisa juga seharusnya kita sebut kalau kita menyelesaikan gunungan masalah, sesungguhnya kita sedang menguji kemampuan diri kita sendiri.
Pendaki yang baik itu butuh persiapan, mempunyai bekal dan tahu batas kemampuan. Dan saya rasa sih, dalam ‘mendaki’ permasalahan yang menumpuk dan menggunung ini, saya baru sibuk cari jawaban, dan mungkin nekat nanjak sementara kaki sudah sakit dan perbekalan kurang. Jadi ini sebenarnya masalah mengenal diri sendiri aja sih. Meskipun masalah juga datangnya bisa tiba-tiba, tapi setidaknya yang bisa diprediksi bisa dilalui dengan bijak dan bajik.
Di tengah pendakian saya biasanya mecari kawan, kawan untuk bertukar pikiran tentang tips dna trik mereka mendaki gunung permasalahannya, perbekalan apa yang perlu dipersiapkan dan sejauh mana kemampuan mereka menghadapi medan yang terjal dan curam. Beberapa mungkin sudah saya ketahui, sadari dan bahkan pahami. Tapi jadi tidak bekerja karena belum dilakukan dengan semestinya, hanya jadi pengetahuan di kepala. Buat apa? Haha
Selamat mendaki gunung kalian masing-masing ya, semoga sampai di puncak dengan penuh kepuasan, tanpa penyesalan, penuh pembelajaran dan kesyukuran.
15 notes
·
View notes
Quote
Hal yang paling mudah bukan membalikkan telapak tangan, tapi melanggar janji pada diri sendiri.
Seperti tulisan ini yang seharusnya naik sepekan lalu. Sebuah janji saya pada diri sendiri untuk ingin konsisten menulis satu tulisan setiap hari di bulan Juli. Kini sudah berlalu satu pekan bulan Agustus.
Semudah itu sih kadang melanggar janji kepada diri sendiri. Janji untuk tidak lagi mengulang kesalahan yang sama, janji untuk melakukan sesuatu dengan lebih baik, janji untuk ini dan itu yang terkait diri sendiri. Ia menjadi gampang karena hanya kita sendiri yang memegangnya, juga karena itu sehingga bisa tanpa sadar terlanggar.
Menengok ke belakang, ternyata tanpa sadar ada hal-hal, janji-janji atau bahkan sumpah saya pada diri sendiri yang terlanggar. Meskipun beberapa ada juga yang masih dapat dipegang. Mungkin memang kita ditakdirkan tidak memegang terlalu banyak janji. Tangan kita kecil dan terbatas. Janji-janji itu perlu diselesaikan satu persatu untuk kemudian dapat terganti janji yang baru.
11 notes
·
View notes
Text
Sekali Lagi, “Menjadi Laki-laki”.
Mengingat tema yang akan saya tulis malam ini, dan apa-apa yang terjadi belakangan, saya jadi terbang jauh ke dua tahun lalu ketika menyelesaikan membaca buku “Menjadi Laki-laki”. (Tulisannya bisa dibaca di sini).
Ada banyak dimensi tentang menjadi laki-laki. Keakraban dengan risiko dan konsekuensi, mengambil pilihan, bertanggung jawab, atau menjadi contoh. Ah, hal-hal itu seperti menjadi isu yang serius belakangan ini.
Akhirnya menjelang menulis ini, saya membaca lagi beberapa bagian dari buku “Menjadi Laki-laki” nya mas Eko Novianto. Dan untuk sekali lagi, tertampar. Haha Masih jauh saya dari menjadi laki-laki itu.
Saya kayaknya tidak bisa menulis banyak malam ini. Karena kembali tenggelam dengan pikiran saya sendiri tentang menjadi laki-laki itu. Menjalani peran gender, kalo kata apa yang saya pelajari di kampus. Cuma memang di titik ini, ada hal-hal yang mungkin harus saya kompromikan, atau justru harusnya tidak? Entahlah. Saya hanya berusaha sekali lagi, “Menjadi laki-laki”.
15 notes
·
View notes
Text
Hasrat Keberkameraan
Sejak 2015 saya hidup dengan tidak lepas dari kamera. Saya ingat waktu itu kamera pertama yang saya punya adalah Olympus (saya lupa tipenya). Saya beli dari teman, karena semester itu saya ada dua mata kuliah yang butuh kamera: Kriminologi Visual dan Jurnalisme Investigasi. Dan juga sangat terpakai saat saya magang di Batam pertengahan tahun. Meskipun dengan itu saya harus merelakan setengah uang beasiswa saya untuk satu semester. Alhamdulillahnya kawan saya mau melepasnya dengan harga yang cukup miring. Dan memiliki kamera membantu banyak sih buat saya waktu itu. Sampai kemudian awal Desember, kamera saya hilang di dalam bus saat menuju Bandung. Sesak juga rasanya, cuma sebentar bersama. Haha apalagi waktu itu masih ada UAS dua mata kuliah itu yg butuh kamera. Akhirnya saya pinjam kawan saya untuk hanya kebutuhan UAS.
Awal 2016, saya bergabung dengan BEM UI. Dan sebagai ‘bapak media’ di sana, saya dapet privilage��untuk memegang kamera BEM waktu itu: Canon 1100 D. Selama setahun 2016, saya hampir tidak lepas dan mendokumentasikan semua agenda BEM UI. Sangat bersyukur rasanya. Tahun itu pertama kali juga saya bisa mempraktikkan fotografi panggung yang pernah saya ikuti sharingnya dulu waktu awal-awal kuliah.
Tahun 2017 saya akhirnya sempat jadi cameraless person. Haha untungnya sedang tidak ada kebutuhan akan kamera juga saat itu. Pekerjaan saya di bidang desain grafis tidak terlalu memerlukan kamera saat itu. Paling sesekali saat ada event dari yayasan yang saya numpangi tinggal, saya membantu mendokumentasikan dengan kamera mereka. Sebaliknya, saat kamera sedang menganggur dan saya ada acara yang mau saya datangi dan ingin saya abadikan, saya meminjam kamera mereka. Sampai kemudian pada suatu kejadian di pertengahan 2017, kamera mereka hilang pada suatu acara.
Selang beberapa waktu setelah itu, saya mendapat ‘durian runtuh’. Pada sebuah acara bazar yang saya datangi, saya iseng ikut sebuah tantangan di sana. Dan pekan depannya saya mendapat kabar kalau saya menang tantangan itu dan mendapatkan hadiah kamera. Rasanya begitu senang, karena saya bisa memotret lagi. Kali ini dengan jenis kamera yang berbeda, yaitu mirrorless. Saya mendapatkan Canon EOS M10. Sampai hari ini, Alhamdulillah si M10 masih setia menemani. Tugas pertamanya saat itu adalah menemani saya satu bulan mendokumentasikan acara ramadhan di masjid kampus. Satu ramadhan terbaik dalam hidup saya.
Meskipun didapat dengan minim upaya, saya sangat senang dengan adanya M10 ini. Dia memang tidak se-pro DSLR, tapi cukup bisa diandalkan. Dan mungkin karena hal-hal baik yang saya dapat berkat M10, saya suka ringan tangan meminjamkan jika ada kawan yang ingin meminjamnya. Sejak 2017, kamera saya sudah saya lepas ke Bali tiga kali. Di mana saya sendiri belum pernah ke sana untuk berwisata. Haha dan ketika ada yang ingin meminjam, dan saya sedang tidak pakai, yaudah saya kasih saja. Seperti hari ini misalnya.
Saya kemudian berpikir, mungkin ini salah satu cara saya beramal. Dengan mengabadikan momen sebisa yang saya mampu. Membantu dengan cara yang saya bisa, meskipun hanya meminjamkan sesuatu yang sebenarnya juga hanya titipan. Kapanpun bisa diambil oleh Yang Maha Memiliki. Nothing to lose aja sih akhirnya buat kamera ini. Saya pernah melewati masa punya kamera sendiri, hilang dan meminjam kamera orang, sampai kemudian punya lagi. Tidak masalah tidak punya kamera. Dan tidak mengapa mendamba kamera salama memang ada hal yang diperlukan dengan kamera. Dan mungkin karena itu kami masih diizinkan bersama.
14 notes
·
View notes
Text
Pray in The Sky
Mungkin saya udah pernah menulis ini, tapi saya jadi kepikiran lagi aja. Haha Tentang salah satu pelajaran yang diajarkan oleh ustad saya jaman sekolah, pada pelajaran Aqidah.
Kata guru saya yang penuh kharisma itu, ada satu do’a yang ketika kita membacanya dengan penuh kesungguhan hati dan kerendahan diri sambil menatap langit, insya Allah dosa-dosa kita dapat diampuni. Doa itu kurang lebih begini (Semoga saya tidak salah ketik ya):
Subhana alladzi rabban wa kholiqon, Allahumma ghfirli..
Maha Suci Dia yang disembah dan Sang Pencipta, Ya Allah ampunilah aku..
Dalam arus terpadaan dunia yang deras ini, semakin jarang rasanya saya mendapatkan momen-momen puitis dengan alam, memandangi ciptaan dan kebesaran-Nya, mensyukuri hal-hal kecil yang ada di sekitar tanpa diminta. Dan salah satunya adalah melakukan permohonan dengan penuh harap sambil menatap ke langit dan berdoa. Momen semacam itu sebenarnya sangat puitis di mana kita sang hamba meminta sesuatu dan menyampaikannya secara langsung tanpa perantara, seolah-olah hanya langit yang seperti tanpa ujung itu jalurnya.
Okelah, setelah tulisan ini naik, saya akan coba lagi ke luar rumah, menatap langit malam sambil mengucap do’a ini. Semoga masih ada desir-desir ketakwaan yang menggetarkan diri. Kalau kalian mau coba setelah membaca ini juga boleh banget sih. Haha coba cari langit terdekat kalian dan pandangi, lalu coba panjatkan do’anya. Selamat mencoba.
12 notes
·
View notes
Text
Mampu Bermimpi, Tapi tak Mau
Terbangun dengan keadaan bingung di siang yang agak bolong. Jam 10 pagi. Saya belum tertidur lama, kira-kira hanya dari pukul delapan. Tapi perasaan saat bangun seperti lama sekali tadi tidurnya. Perasaan itu muncul karena saya sempat berganti dan berpindah mimpi berkali-kali, tanpa ada satupun yang saya ingat detailnya.
Hal pertama yang saya sadari ketika terbangun adalah, lagu di laptop saya masih berputar. Dan kemudian saya berpikir, apakah lagu-lagu itu mempengaruhi apa yang terjadi dan menjadi alam mimpi saya selama tidur tadi? Kalau jawabannya iya, berarti mungkin benar mimpi bisa dimanipulasi, direkayasa, direncanakan. Ini menarik, seperti dalam film ‘Inception’. Di mana di dalam mimpi, kita bisa menanamkan ide baru, atau menghilangkan ide lama.
Pernah terjadi juga saat saya tidur beramai-ramai, saat di asrama atau saat menginap bersama-sama di tempat kawan. Saya merasa berada di dalam sebuah mimpi yang ketika saya bangun, kawan-kawan saya sedang membincangkan sesuatu yang berkaitan sangat dengan apa yang ada di mimpi saya. Dalam hal ini berarti apa yang diperbincangkan oleh kawan-kawna saya saat saya tertidur masuk ke alam mimpi saya dengan wujud yang lain. Berarti juga, indra pendengaran saya sebagai alat yang menangkap informasi itu aktif dan membawa informasi itu ke otak. Fakta lainnya juga memang saya agak sulit dibangunkan. Jadi meskipun sekitar saya ramai, saya yang sudah pulas akan bablas saja tidak terganggu.
Namun sebenarnya saya kurang suka mimpi, meskipun kata orang itu bunga tidur. Selain gampang lupa apa yang dimimpiin dan cuma ingat kesannya, kadang kesannya kurang menyenangkan. Misal saat bangun menjadi gelisah, resah, sedih atau takut. Pernah juga sih saat bangun rasanya seperti sehabis melalui perjalanan yang mendebarkan dan seru. Tapi tetap ada kesal karena tidak bisa ingat apa yang seru tadi itu. Haha
*Sebuah tips, jika ingin bermimpi aneh, silakan tidur pagi-pagi sehabis subuh. Saat ramadan saya beberapa kali melakukannya dan mendapatkan mimpi-mimpi yang random sekali.
10 notes
·
View notes
Text
Cerita Gerbong
Mari menemani saya kembali ke tahun 2015. Di sana kami bertiga, Caca, Ale dan Saya membikin-bikin karya tentang kereta ini. Dalam rangka sebuah lokakarya pameran oleh kelompok seni di Jakarta.
Kehidupan perkeretaan, cerita di stasiun, peron, dan dinamika gerbong tidak lepas dari ibukota dan kota-kota pendukung di sekitarnya. Kami mencoba mengajak orang-orang untuk terlibat dan menceritakan kisah mereka. Sebagai pemicu, kami mencoba memberikan sedikit potongan-potongan kisah yang kami temukan sendiri atau orang lain ceritakan.
Saya misalnya, menyengaja pergi ke stasiun manggarai dan berkeliling stasiun untuk menemukan cerita. Saya malah menemukan sebuah sendal ibu-ibu yang hanya tinggal sebelah. Berbekal itu, saya menerka kisah yang bisa jadi ada di belakangnya. Misalnya saja perebutan gerbong perempuan di jam-jam sibuk pagi atau sore hari.
Atau sebuah headset/earphone yang seperti tidak lepas dari telinga beberapa pengguna kereta. Dulu saya sempat merasa orang-orang yang menggunakan pelantang di telinga itu kurang baik adabnya, terkesan menutup diri dan sombong. Haha tapi kemudian saya sadar, ada banyak orang yang menempuh perjalanan yang cukup makan waktu di kereta, pergi dan berangkat. Mereka butuh semacam teman di jalan. Dan orang-orang yang ditemui di dalam gerbong, tidak semuanya bisa diandalkan. Alasan lain soal keamanan. Dalam keadaan kereta yang padat, sangat mungkin terjadi perpindahan HP secara tidak sadar dan ilegal. Headset membantu si pemilik menyadari kalau pada HPnya terjadi sesuatu.
Dan dari cerita-cerita yang dituturkan oleh pengunjung kami di pameran, saya menemukan beberapa yang menarik. Salah satunya milik kakak tingkat saya. Ia adalah pengguna kereta sejati. Dalam buku yang kami sediakan ia menulis, maaf, maksudnya menggambar gerbong dari tampak luar. Semacam membuat infografis, ia menjelaskan perbedaan stiker warna pada gerbong, dan artinya. Saya lupa detailnya, tapi itu adalah tentang gerbong yang ber-AC atau menggunakan kipas, atau gerbong berbangku sedikit atau banyak. Hal-hal semacam itulah. Haha Itu fakta yang mungkin tidak banyak orang sadari.
Setelah 4 tahun berlalu, mungkin tidak banyak hal yang berubah dari cerita-cerita di gerbong dan seputar kehidupan di kereta ibukota dan sekitarnya ini. Orang-orang masih ramai pada pagi dan sore hari, dengan kepadatan yang kadang tidak manusiawi. Cerita-cerita di gerbong akan selalu ada, meskipun manusia-manusia di dalamnya tidak saling bercerita.
10 notes
·
View notes