#Haryadi Suadi
Explore tagged Tumblr posts
bhrm555 · 4 months ago
Text
Tumblr media
Krishna by Haryadi Suadi
12 notes · View notes
kobongkastrol · 4 years ago
Text
Musik Keroncong Sebelum Kemerdekaan
Kajian tentang sejarah perjalanan suatu genre musik di Indonesia, pengaruh-pengaruh yang melatarbelakanginya, serta aktor-aktor yang terlibat didalamnya masih terbilang jarang dilakukan. Barangkali masih ada anggapan bahwa objek studi ini belum terlalu penting untuk diteliti atau mungkin saja karena sumber-sumber penulisan tentang sejarah musik di Indonesia terbilang sulit dan langka, sehingga perlu daya tahan dan ketekunan si penelitinya dalam menelitinya.
 Haryadi Suadi adalah salah satunya. Selain pernah berprofesi sebagai seniman pengajar di program studi seni rupa ITB, ia juga seorang penelaah dan penekun penulisan sejarah musik Indonesia.
 Djiwa Manis Indoeng Disajang: Moesik dan Tempat Hiboeran di Indonesia Tempo Doeloe Jilid I ini bisa dikatakan salah satu karya yang membahas secara kronologis dan rinci dinamika musik Indonesia sejak masa kolonial hingga zaman kemerdekaan. Selain bersandar pada buku-buku yang relevan, Haryadi juga berkutat dengan artikel-artikel yang terdapat di surat kabar dan majalah-majalah tua yang pernah beredar di awal abad ke-20 sampai ketika pendudukan Jepang berkuasa.
 Secara ekstensif, dalam jilid pertama ini ia memfokuskan pembahasan dengan menelisik musik keroncong, sejak dibawa oleh imperialis Portugis sampai kepada kiprah artis-artis keroncong yang pernah tenar pada masa itu di tengah-tengah suasana kolonialisme yang mendera nusantara. Ketika pelaut Portugis berlayar ke Indonesia mencari rempah-rempah, untuk melepas penat dan menghibur sesamanya, mereka membawa dan memainkan tiga jenis musik yang berasal dari tanah airnya, yakni moresca, prounga, dan kafrinyu.
 Lambat laun aktivitas bermusik ini menjadi semakin populer sampai akhirnya ketika orang Belanda berdatangan, orang-orang Portugis ini tersisih dan mempunyai julukan kaum mardijkers. Sambil bermain musik, mereka inilah yang kemudian mempopulerkan jenis musik moresco menjadi keroncong. Jejaknya hari ini masih bisa kita lihat di sekitar Kampung Tugu.
 Dalam perjalanan selanjutnya, selain orang Portugis sebagai sang pemula keroncong, peran kaum Indo Belanda di Batavia juga tak boleh dinafikan. Mereka melakukan pembaruan dalam musik keroncong pada masa peralihan abad ke-19 sampai awal abad ke-20. Pendapat ini diperkuat dengan terbitnya buku nyanyian yang berjudul Tio Tek Hong’s Krontjong en Stamboel Liederen Album. Buku yang terbit pada tahun 1929 itu memuat lagu keroncong dan stambul yang berlirik Melayu dan Belanda yang terkenal antara 1890-1903 (hal 65).
 Semakin berkembangnya keroncong di peralihan awal abad ke-20, diiringi pula dengan menjamurnya orkes keroncong di berbagai kota. Poros utamanya berpusat di kota-kota besar di Pulau Jawa seperti di Batavia, Bandung, dan Surabaya. Batavia merupakan yang termaju. Perkumpulan orkes keroncong dan stambul atau kesenian daerah serta musik tradisional  tersebar di setiap sudut kota.
 Berdasarkan keterangan yang dihimpun dari iklan dan berita serta aktivitas yang dimuat dalam media massa di Batavia terbitan 1920-1940an, terdapat sekitar 40 grup musik keroncong. Beberapa yang terkenal seperti “De Zwaarte Masker”, “Ratjoen Doenia”, “Het Zeven Tal”, “Tanah Abang bij Nacht”, “Jong Java”, “Malaise”, “Oud Batavia”, dan “Nova” (hal 139).
 Di samping itu, suasana zaman kolonial yang begitu rupa, memunculkan sejumlah penyanyi yang menguasai panggung-panggung keroncong. Sebutlah misalnya Miss Tuminah sang penggondol 27 medali emas keroncong konkurs, Miss Netty, Miss Surip biduanita merangkap bintang layar putih, Miss Titing anak ajengan yang menjadi pemyanyi, bahkan seorang raden ajeng bernama Sri Mulat memutuskan untuk terjun ke dunia hiburan.
 Tak hanya sebagai pelepas penat, musik keroncong yang dimainkan oleh kaum pribumi juga sebagai penanda antara batas kolonial dengan kaum terjajah. Bahkan, seorang Raden Kusbini dan Ismail Marzuki menyampaikan rasa nasionalisme lewat lagu ciptaannya berjudul “Bagimu Negeri” dan “Hallo-Hallo Bandung.”
 Buku yang merekam perjalanan keroncong dengan segala pernak-perniknya di Indonesia ini telah mengisi kekosongan literatur sejarah musik di Indonesia.
0 notes