#HambatanSosial
Explore tagged Tumblr posts
Text
PENANGANAN PSIKOLOGIS PADA ANAK TUNARUNGU YANG MENGALAMI HAMBATAN SOSIAL
¹Ria Antika Putri, ²Ratih Khairunnisa
Manusia merupakan makhluk sosial yang secara alami membutuhkan kehadiran orang lain, untuk mencapai tujuan hidupnya, manusia harus hidup berdampingan dan bekerja sama dengan orang lain. Tanpa bantuan dari orang lain, individu tidak dapat mengembangkan dirinya secara maksimal, sehingga tidak dapat melanjutkan kehidupannya sebagai makhluk sosial (Tin Suharmini, 2007). Dapat dikatakan bahwa lingkungan berperan penting sebagai tempat bagi manusia untuk memenuhi berbagai kebutuhan, baik kebutuhan spiritual maupun material. Namun pada anak berkebutuhan khusus (ABK) terdapat hambatan-hambatan sosial salah satunya pada anak tunarungu. Tunarungu memiliki kesulitan berkomunikasi dengan teman sebaya dan orang-orang di sekitarnya. Meski teknologi dan kesadaran akan kebutuhan inklusi semakin berkembang, banyak anak tunarungu yang masih merasa terisolasi karena kurangnya kemampuan orang lain untuk menggunakan bahasa isyarat atau metode komunikasi alternatif. Dilingkungan sekolah, anak tunarungu sering kesulitan mengikuti diskusi kelompok karena sebagian besar komunikasi berlangsung secara verbal. Hal ini membuat mereka sulit menyampaikan pendapat, memahami instruksi, atau menjalin hubungan yang akrab dengan teman-temannya. Akibatnya, anak tunarungu cenderung menarik diri dan memilih untuk menyendiri, yang memperburuk keterbatasan interaksi sosial mereka.
Sebagaimana hal ini, anak tunarungu merupakan anak yang mengalami gangguan pendengaran. Hal ini sesuai dengan pernyataan Somantri (2005) tunanetra diartikan sebagai suatu keadaan kehilangan pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai rangsangan, terutama melalui indra pendengarannya. Secara fisik, anak tunarungu tidak memiliki perbedaan dengan anak-anak lain pada umumnya. Perbedaannya baru terlihat ketika anak tersebut berbicara, yakni berbicara tanpa suara, dengan suara yang kurang jelas, atau dengan artikulasi yang tidak sempurna. Bahkan, beberapa anak tunarungu hanya berkomunikasi melalui isyarat. Kondisi ini disebabkan oleh gangguan atau kehilangan fungsi pendengaran, baik sebagian maupun seluruhnya, sehingga alat pendengaran mereka tidak dapat digunakan secara optimal dalam kehidupan sehari-hari. Karena fungsi pendengaran yang tidak optimal, anak tunarungu cenderung mengandalkan penglihatan untuk memahami bahasa. Oleh sebab itu, mereka sering disebut sebagai "Insan Pemata".Dengan mengamati gerakan bibir, ekspresi wajah, dan gerak tubuh lawan bicara, mereka dapat memahami bahasa lisan atau oral. Jika pada anak dengan pendengaran normal aspek ini kurang signifikan, bagi anak tunarungu, hal tersebut sangat penting untuk pembelajaran bahasa. Proses ini memerlukan waktu yang bervariasi, tergantung pada kemampuan individu dan dukungan dari orang-orang di sekitarnya.
Ketunarunguan dapat terjadi pada fase sebelum lahir (prenatal), ketika lahir (natal) dan sesudah lahir (post-natal). Adapun penyebab anak tunarungu lainnya yaitu: keturunan, komplikasi selama kehamilan dan kelahiran, radang selaput otak, radang pada bagian telinga tengah, penyakit anak-anak, radang, dan luka-luka. Namun, menurut penelitian yang dilakukan oleh Atmaja (2017), kondisi yang disebutkan sebelumnya hanya menjadi penyebab sekitar 60% kasus ketunarunguan pada anak-anak. Meskipun telah tersedia berbagai alat diagnostik canggih, alat-alat tersebut belum mampu mengidentifikasi 40% penyebab lainnya. Diketahui bahwa campak Jerman pada ibu, faktor keturunan, serta komplikasi selama kehamilan dan proses kelahiran merupakan penyebab yang lebih dominan. Sebagaimana dijelaskan lebih lanjut terdapat 2 faktor penyebab ketunarunguan yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal (dalam diri anak) disebabkan oleh faktor keturunan, ibu yang sedang mengandung menderita penyakit campak Jerman (Rubela). Ibu yang sedang mengandung menderita keracunan darah. Kemudian faktor eksternal (luar diri anak) disebabkan ketika anak mengalami infeksi pada saat dilahirkan atau kelahiran. Misalnya, anak terserang herpes simplex, radang selaput otak, otitis media (radang telinga bagian tengah), penyakit lain atau kecelakaan yang dapat mengakibatkan kerusakan alat pendengaran bagian tengah dan dalam (Atmaja 2017).
Anak tunarungu memiliki 3 jenis gangguan pendengaran yaitu ringan, sedang dan sangat berat, serta dikelompokkan menjadi 2 golongan yaitu kurang dengar dan tuli. Orang yang tuli diartikan sebagai individu yang tidak dapat mendengar sehingga mengalami kesulitan dalam menerima informasi bahasa melalui pendengaran, sedangkan pada orang yang kurang dengar dapat dibantu dengan menggunakan alat bantu dengar yang masih memungkinkan mereka untuk menangkap percakapan (Wardani dkk., 2015). Hal ini didukung menurut Atmaja (2017) bahwa dikatakan tuli apabila kehilangan kemampuan mendengar pada tingkat 70 db ISO atau lebih, sedangkan seseorang dikatakan kurang dengar apabila kehilangan pendengaran pada 35 dB ISO. Seseorang dikatakan tunarungu apabila kehilangan kemampuan mendengar pada tingkat 70-35 dB ISO. Dengan kata lain, bahwa kehilangan kemampuan mendengar pada tingkat kurang dari 35 dB ISO tidak dikategorikan tunarungu atau pendengaran normal.
Keterbatasan komunikasi sering kali membuat anak tunarungu kesulitan membangun hubungan dengan teman-teman mereka. Hambatan pendengaran ini juga berdampak pada interaksi sosial mereka, menyebabkan rasa tidak nyaman, tidak dihargai, kurang dicintai, dan rendah percaya diri. Situasi ini sering terlihat ketika anak tunarungu berusaha bermain atau berinteraksi dengan teman normal, tetapi ditolak atau dikesampingkan. Penolakan ini membuat anak tunarungu cenderung menyendiri dan mengembangkan sifat egosentris (Tin Suharmini, 2009). Ia juga menjelaskan bahwa anak tunarungu yang kurang berinteraksi sosial cenderung merasa rendah diri, terasing dari teman, keluarga, dan masyarakat. Perasaan ini dapat menimbulkan kecemburuan, pemikiran tidak adil, serta sifat agresif atau mudah marah.
Sebagaimana hal ini, salah satu hambatan yang dialami anak tunarungu ialah lingkungannya (sosial). Hambatan sosial merupakan kendala atau kesulitan yang dihadapi individu atau kelompok dalam berinteraksi, berkomunikasi, atau beradaptasi dengan lingkungan sosialnya. Hambatan pada ABK dapat berupa kesulitan mengendalikan emosi, perilaku menyimpang, kesulitan memahami bahasa tubuh, kesulitan berperilaku sesuai adat budaya setempat, masalah percaya diri karena menyadari dirinya memiliki kekhususan. Adapun hambatan sosial yang terjadi pada anak tunarungu merujuk pada kesulitan dalam berinteraksi dan beradaptasi dengan lingkungan sosial mereka. Salah satu hambatan utama anak tunarungu adalah keterbatasan komunikasi, di mana kesulitan dalam mendengar dan berbicara sering menjadi penghalang bagi anak tunarungu untuk berkomunikasi secara efektif, terutama dengan orang-orang yang tidak memahami bahasa isyarat. Situasi ini semakin sulit jika tidak ada upaya dari pihak lain untuk memahami atau belajar cara berkomunikasi dengan mereka.
Selain itu, kurangnya aksesibilitas dalam lingkungan sosial memperburuk situasi. Minimnya fasilitas, seperti penyediaan interpreter bahasa isyarat atau alat bantu dengar, membuat mereka sulit berpartisipasi dalam berbagai aktivitas sosial, pendidikan, maupun kegiatan sehari-hari. Hambatan ini sering kali membuat anak tunarungu merasa diabaikan atau tidak di perhitungkan. Akibat dari keterbatasan ini, banyak anak tunarungu mengalami isolasi sosial. Ketidakmampuan untuk menjalin hubungan sosial yang erat menyebabkan mereka merasa terpinggirkan, baik di lingkungan sekolah maupun masyarakat. Hal ini sering kali berdampak pada kesehatan mental mereka, seperti rasa kesepian atau rendahnya kepercayaan diri. Di sisi lain, masih terdapat stigma dan diskriminasi dari masyarakat yang melihat tunarungu sebagai suatu kelemahan atau ketidakmampuan. Pandangan negatif ini membuat anak tunarungu merasa kurang diterima, sehingga mengurangi motivasi mereka untuk bersosialisasi atau menunjukkan potensi diri mereka. Dalam beberapa kasus, situasi ini menyebabkan ketergantungan pada keluarga. Karena kurangnya kesempatan untuk berinteraksi secara mandiri dengan dunia luar, anak tunarungu sering kali bergantung pada keluarga dalam menjalani kehidupan sehari-hari, baik secara emosional maupun praktis. Hal ini dapat membatasi perkembangan kemandirian mereka.
Untuk mengatasi berbagai hambatan ini, diperlukan dukungan lingkungan yang inklusif, penerimaan sosial, serta penyediaan aksesibilitas yang memadai agar anak tunarungu dapat berkembang secara optimal dan setara dengan anak-anak lainnya. Salah satu penanganan yang dapat dilakukan yaitu dengan memberikan sekolah yang ideal. Sekolah di sini berperan penting karena mampu menciptakan pembelajaran yang sesuai dengan berbagai potensi peserta didiknya, baik anak normal maupun anak berkebutuhan khusus (ABK). Lingkungan yang diciptakan oleh guru dan teman-teman di sekolah memiliki pengaruh besar terhadap kemampuan interaksi sosial anak tunarungu, agar anak tunarungu dapat berinteraksi dengan baik, mereka membutuhkan dukungan dan bimbingan yang memadai. Lingkungan yang mendukung akan membuat anak merasa nyaman dan percaya diri saat berinteraksi dengan teman-temannya.
Sehubungan guru menjadi salah satu peran penting dalam meningkatkan kemampuan interaksi sosial pada anak tunarungu, maka guru dapat menerapkan beberapa langkah seperti Pertama, membagi kelas menjadi kelompok kecil untuk memberikan kesempatan anak tunarungu lebih aktif dalam pembelajaran. Kedua, menciptakan pembelajaran yang ramah untuk memudahkan eksplorasi dan akses informasi, menggunakan model pembelajaran kooperatif dan kreatif. Ketiga, melibatkan orang tua secara aktif untuk mendorong interaksi yang konsisten dan berkualitas antara orang tua dan anak. Terakhir, membangun kedekatan dan kontrol sentuhan untuk menciptakan rasa percaya dan kenyamanan. Langkah-langkah ini bertujuan membantu anak tunarungu mengatasi rasa malu dan kesulitan bersosialisasi, sehingga mereka dapat berinteraksi dengan lebih baik.
Penanganan psikologis terhadap hambatan sosial pada anak tunarungu bertujuan untuk membantu anak mengatasi kesulitan dalam berinteraksi sosial, membangun rasa percaya diri, dan mengurangi dampak negatif dari hambatan komunikasi. Salah satu pendekatan utama adalah terapi perilaku kognitif (CBT), yang berfokus pada mengidentifikasi dan mengubah pola pikir negatif atau kecemasan yang mungkin dialami anak terkait interaksi sosial. Dengan bantuan terapis, anak tunarungu dapat diajarkan cara-cara positif untuk mengatasi rasa takut atau cemas saat berkomunikasi. Selain itu, konseling penting untuk memberikan dukungan emosional dan sosial (Purwanta, 2015). Anak tunarungu sering merasa kesulitan berhubungan dengan teman sebaya. Dengan konseling, mereka dapat mengekspresikan perasaan serta merasakan dukungan yang diperlukan untuk meningkatkan rasa percaya diri dan mengurangi perasaan terasing. Anak tunarungu perlu diajarkan berbagai cara untuk berkomunikasi, seperti bahasa isyarat, alat bantu dengar, atau teknik berbicara yang sesuai dengan kemampuan mereka. Selain itu, intervensi kelompok, seperti terapi kelompok dengan anak tunarungu lainnya. Di sini anak dapat berlatih keterampilan sosial, berbagi pengalaman, dan berinteraksi dalam suasana yang mendukung. Hal ini dapat memberi kesempatan bagi anak untuk belajar berkolaborasi, menyelesaikan konflik dan berinteraksi secara positif (Purwanta, 2015). Kemudian, kolaborasi dengan tenaga pendidik sangat penting untuk mendukung anak tunarungu di sekolah. Para pendidik perlu dilatih untuk memahami kebutuhan anak tunarungu dan menciptakan suasana kelas yang inklusif, seperti menggunakan alat bantu visual atau metode pengajaran yang lebih interaktif. Kesadaran teman sekelas juga perlu ditingkatkan, agar mereka dapat mendukung dan menerima anak tunarungu dalam berinteraksi, menciptakan lingkungan sosial yang ramah dan inklusif. Terakhir keterlibatan keluarga juga sangat penting, dengan orang tua dan anggota keluarga lainnya memberikan dukungan emosional dan membantu anak merasa diterima di lingkungannya. Menciptakan lingkungan sekolah yang inklusif melalui edukasi kepada guru dan teman sekelas dapat membantu mengurangi hambatan sosial anak tunarungu, sehingga mereka dapat berpartisipasi lebih aktif dan merasa diterima (Purwanta, 2015).
REFRENSI
• Tin Suharmini. (2007). Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta: Kanwa Publishe • Somantri, Sutjihati. (2005). Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: PT Refika Aditama • Atmaja, Jati Rinakri. (2017). Pendidikan dan bimbingan anak berkebutuhan khusus. Bandung: PT Remaja Rosdakarya • Wardani, dkk. (2015). Pengantar pendidikan anak berkebutuhan khusus. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka. • Purwanta, Edi. (2015). Modifikasi perilaku: Alternatif Penanganan Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta: Pustaka Belajar
2 notes
·
View notes