Tumgik
#Esha Tegar Putra
gubuakkopi · 27 days
Text
Dari Mana Kita Akan Membaca Arsip?
0 notes
penuntuncahaya · 4 years
Text
Atap II
Kutemukan kembali namamu dalam lipatan kain
dengkurmu, jatuhan bulu matamu, potongan kukumu dengung kalimat terakhirmu sebelum pohon angasa itu tercabut dari pangkal.
“Hallo, sisa dengkurku telah menyelamatkanku dari mimpi buruk dari hari buruk dari masa lalu yang remuk.”
Tapi jatuhan bulu matamu adalah kangen terbengkalai potongan kukumu memberi tanda bahwa usia kian selesai dengung kalimat terakhirmu merupa penolakan hari baru.
Kulipat kain kulipat namamu kulipat waktu.
*Puisi Dalam Lipatan Kain karya Esha Tegar Putra
0 notes
deehwang · 6 years
Text
undefined
youtube
Dalam Lipatan Kain - Esha Tegar Putra
2 notes · View notes
pluviophilisme-blog · 7 years
Text
Semoga berguna, dan mohon maaf sekaligus dikoreksi jika ada yang salah
Berikut alamat-alamat email redaksi koran, majalah, jurnal dan tabloid yang menerima kiriman Cerpen/Puisi/Esai:
1. Kompas
Alamat email Redaksi Kompas: [email protected], [email protected]
Honor cerpen Rp. 1.400.000,- (tanpa potong pajak), honor puisi Rp. 500.000,- (tanpa potong pajak–referensi Esha Tegar Putra), biasanya 2-3 hari setelah pemuatan, honor sudah ditransfer ke rekening penulis
2. Koran Tempo
Alamat email redaksi Koran Tempo: [email protected]
Honor cerpen tergantung panjang pendek cerita, biasanya Rp. 700.000,- honor puisi Rp. 600.000,- (pernah Rp. 250.000,- s/d Rp. 700.000, referensi Esha Tegar Putra), ditransfer 2 mingguan setelah pemuatan.
3. Jawa Pos
Alamat email redaksi Jawa Pos: [email protected]
Honor cerpen Rp 900.000 – Rp. 1.000.000,- (potong pajak), honor puisi Rp. 500.000,- (referensi Isbedy Stiawan Zs), ditransfer 1-2 minggu setelah cerpen/puisi dimuat.
4. Suara Merdeka
Alamat email redaksi Suara Merdeka: [email protected]
Kirimkan cerpen, puisi, esai sastra, biodata, dan foto close up Anda. Cerpen maksimal 10.000 karakter termasuk spasi. Honor cerpen Rp. 300.000,- (potong pajak), honor puisi Rp. 190.000,- (tanpa potong pajak), hubungi redaksi via email/telepon untuk konfirmasi pencairan honor, jangan lupa tanggal pemuatan cerpen. Bisa diambil langsung ke kantor redaksi atau kantor perwakilan redaksi di kota Anda—jika ada.
5. Media Indonesia
Alamat email redaksi Media Indonesia: [email protected], [email protected]
Naskah cerpen maksimal 9.000 karakter. Honor pemuatan cerpen Rp. 500.000,- dipotong pajak. (referensi dari Yetti A.Ka, Benny Arnas, Sungging Raga, dkk)
6. Republika
Alamat email redaksi Republika: [email protected]
Tidak ada pemberitahuan dari redaksi terkait pemuatan cerpen. Sudah lama tidak memuat puisi. Honor cerpen Rp. 400.000,- (potong pajak), tetapi—pengalaman beberapa rekan penulis, harus sabar menagih ke redaksi beberapa kali agar segera cair alias agak susah cair honornya.
7. Suara Karya
Alamat email redaksi Suara Karya: [email protected] (email terbaru, diinformasikan redakturnya di grup CC)
Menurut redakturnya honor cerpen Suara Karya sudah naik jadi Rp. 250.000,- (tanpa potong pajak), hubungi redaksi via email/telepon untuk konfirmasi pencairan honor, atau bisa diambil langsung ke kantor redaksi.
8. Jurnal Nasional
Alamat email redaksi Jurnal Nasional: [email protected], [email protected]
Honor cerpen Rp. 400.000,- (potong pajak), hubungi redaksi via email/telepon untuk konfirmasi pencairan honor, atau bisa diambil langsung ke kantor redaksi.
9. Pikiran Rakyat
Alamat email redaksi Pikiran Rakyat: [email protected]
Honor cerpen Rp. 300.000,- (potong pajak), hubungi bagian keuangan via telepon untuk konfirmasi pencairan honor setelah 2-3 hari dimuat, honor ditransfer 2-3 minggu setelah konfirmasi, atau bisa diambil langsung ke kantor redaksi.
10. Tribun Jabar
Alamat email redaksi Tribun Jabar: [email protected], [email protected]
Selain ada cerpen berbahasa Indonesia setiap Minggu, juga ada cerpen bahasa Sunda setiap hari Kamis bersambung Jumat. Honor cerpen Rp. 200.000,- (tanpa potong pajak). Honor ditransfer 3 hari atau 1 minggu setelah dimuat.
11. Kedaulatan Rakyat
Alamat email redaksi Kedaulatan Rakyat: [email protected], [email protected]
Panjang cerpen maksimal 5.000 karakter dengan spasi. Honor cerpen Rp. 400.000,00
12. Joglo Semar (Yogyakarta)
Alamat email redaksi Joglo Semar: [email protected]
Honor cerpen Rp. 100.000,- hubungi redaksi via email/telepon untuk konfirmasi pencairan honor, atau bisa diambil langsung ke kantor redaksi.
13. Minggu Pagi (Yogyakarta)
Alamat email redaksi Minggu Pagi: [email protected]
Terbit seminggu sekali setiap Jumat. Honor cerpen Rp. 150.000,- hubungi redaksi via email/telepon untuk konfirmasi pencairan honor, atau bisa diambil langsung ke kantor redaksi.
14. Radar Surabaya
Alamat email redaksi Radar Surabaya: [email protected], [email protected]
Honor cerpen Rp. 200.000,- (potong pajak) . Honor cair seminggu setelah dimuat.
15. Lampung Post
Alamat email redaksi Lampung Post: [email protected]
Menerima cerpen, puisi, dan esai. Honor cerpen Rp. 200.000,- Honor puisi kalau tak salah juga Rp. 200.000,- Sekarang honor sudah ditransfer langsung oleh bagian keuangan, paling lambat 1 minggu setelah dimuat. Jika belum, silakan email bagian keuangan di [email protected]
16. Padang Ekspres
Alamat email redaksi Padang Ekspres: [email protected], [email protected]
Honor cerpen Rp. 100.000,- s/d Rp. 125.000,- honor puisi Rp. 75.000,- hubungi redaksi via email/telepon untuk konfirmasi pencairan honor, jangan lupa tanggal pemuatan cerpen, bisa diambil langsung, atau minta tolong teman mengambilkan honor ke kantor redaksi.
17. Haluan (Padang)
Alamat email redaksi Haluan: [email protected]
Honor cerpen Rp. 150.000,- honor puisi Rp. 100.000,- hubungi redaksi via email/telepon untuk konfirmasi pencairan honor, jangan lupa tanggal pemuatan cerpen, atau bisa diambil langsung ke kantor redaksi.
18. Singgalang (Padang)
Alamat email redaksi Singgalang: [email protected], [email protected]
Honor cerpen Rp. 50.000,- hubungi redaksi via email/telepon untuk konfirmasi pencairan honor, atau bisa diambil langsung ke kantor redaksi.
19. Riau Pos
Alamat email redaksi Riau Pos: [email protected], [email protected]
Honor cerpen Rp. 150.000,- hubungi redaksi via email/telepon untuk konfirmasi pencairan honor, atau bisa diambil langsung ke kantor redaksi.
1 note · View note
mojokco · 9 years
Text
Lima Buku Terbaik 2015
Philip Gourevitch, mantan editor The Paris Review, tahun lalu berargumen bahwa karya nonfiksi semestinya dapat memenangkan penghargaan nobel. Dan ia benar, tahun ini jurnalis dari Belarusia, Svetlana Alexievich, meraih penghargaan nobel sastra.
Alexievich tentu bukan yang pertama, sebelumnya pada 1902, Theodor Mommsen, sejarawan dan esais, meraih penghargaan serupa. Disusul Bertrand Russell pada 1950 dan Winston Churchill pada 1953. Setengah abad lebih berlalu, karya nonfiksi seolah dijauhkan dari marwah karya tulis yang agung.
Tahun demi tahun kita diributkan melulu oleh sosok Haruki Murakami yang makin lama karyanya makin medioker.
Kemenangan Alexievich membuat saya sadar bahwa saya semakin kurang membaca. Namanya baru saya kenal tahun ini, untuk itu saya berusaha mencari nama-nama baru untuk dibaca dan dikenali. Ini penting, karena garasi pengetahuan dan bacaan seseorang akan mandek ketika ia berhenti pada karya penulis yang itu-itu saja tanpa mau mencari referensi yang lain.
Belakangan intensitas membaca saya memang semakin menurun. Ada banyak alasan, rasa malas, sibuk, dan yang lain karena memang tidak banyak buku bagus yang hadir tahun ini. Beberapa buku memang menjanjikan, namun setelah saya baca ternyata masih punya banyak kelemahan. Tentu tidak ada buku yang benar-benar sempurna, tapi menurunkan standar kualitas penilaian kita terhadap buku tidak akan membuat buku itu jadi baik.
Semalam Pemimpin Redaksi Mojok menodong saya untuk membuat daftar buku terbaik 2015. Ini tugas berat, mengingat tak banyak buku yang saya pamerkan di Instagram baca tahun ini. Tapi ada beberapa nama yang saya kira layak dibaca dan diberi penghargaan. Buku-buku ini terbaik dengan kriteria yang saya bikin sendiri. Misal, ia memberikan sebuah cara pandang baru, segar, dan dalam banyak hal membuat saya betah membaca daripada nyepik di Twitter main gajet.
Berbekal sikap Gourevitch, saya memutuskan untuk merobohkan batas antara fiksi dan nonfiksi, sastra dan bukan sastra, sehingga daftar buku terbaik 2015 ini boleh jadi sangat cair dan tendensius.
Go Set A Watchman—Harper Lee
Buku ini menjadi penting dan baik dibaca karena banyak hal. Satu hal karena buku ini akan mematahkan mitos tentang Atticus Finch, lebih dari itu kita akan belajar banyak dari sosok Jean Louise. Buku ini juga menjadi tonggak penting feminisme Amerika karena beberapa alasan substansial. Ditulis pada tahun 60an ketika ide feminisme hampir sinonim dengan keburukan, sesuatu yang aneh dan amoral. Namun Harper Lee telah menyosokkan Jean Louise sebagai perempuan independen yang bisa hidup dari dirinya sendiri.
Bagi penggemar To Kill A Mockingbird, buku ini adalah tamparan keras, ia mencoreng dan mencabik imaji tentang sosok Atticus yang digambarkan demikian sempurna. Atticus dalam buku ini adalah seorang tua yang fasis, penuh kekecewaan dan gerutu pedih.
Bagi Anda yang gemar menghakimi, takluk pada prasangka, dan suka merasa lebih baik dari orang lain, buku ini barangkali buku yang tepat. Ia akan mengajarkan Anda makna bersikap adil dan profesional ketika dihadapkan pada realitas yang mengusik. Tentu, Anda masih tetap boleh jadi seonggok fasis yang gemar merasa paling suci.
Melihat Api Bekerja—M Aan Mansyur
Ada beberapa buku puisi yang menarik dibaca tahun ini: Misa Arwah—Dea Anugrah, Visions of Mundane Madnes —Dwiputri Pertiwi, dan Dalam Lipatan Kain—Esha Tegar Putra. Saya kira tiga buku puisi ini penting untuk dibaca, karena menyelamatkan kita dari hiruk-pikuk kehidupan yang kepalang brengsek.
Tapi Melihat Api Bekerja, buku puisi Aan Mansyur, adalah satu yang istimewa. Ia melahirkan sebuah paduan apik, bagaimana elemen visual bisa bekerja dengan baik dengan teks puisi. Keduanya saling mengisi, sama sama puitis, estetis, dan tentu saja menyenangkan dibaca.
Tapi di sisi lain ia juga problematik. Bagaimana memperlakukan buku puisi ini? Apakah ia buku gambar yang ada puisinya? Atau buku puisi yang ada gambarnya? Apakah puisi Aan akan tetap indah jika seluruh elemen visual dalam buku ini dihilangkan? Dan apakah gambar karya MT akan tetap puitik tanpa adanya teks puisi dari Aan? Hal serupa juga muncul dalam buku puisi Visions of Mundane Madness. Ini saya kira perlu dibahas bersama dalam sebuah diskusi hangat bersama kawan-kawan terdekat.
Buku ini makin istimewa karena puisi-puisinya bagus untuk dikutip dan dipajang di Instagram.
Si Janggut Mengencingi Herucakra: Kumpulan Cerita—AS Laksana
Belakangan saya percaya cerita pendek kita sudah demikian buruknya sampai-sampai halaman sastra koran Minggu apapun menjadi tak lagi menarik dibaca. Tapi ini persoalan klasik. Dari tahun ke tahun selalu saja ada ketidakpuasan. Dari dulu pembaca sastra juga merasa kurang, dan merasa perlu ada regenerasi, penyelamatan, pembaruan, dan sebagainya dan sebagainya. Mirip diskusi Persma yang tak jauh dari quo vadis dan reorientasi. Bedanya, halaman sastra koran masih menjadi standar penting, bahwa penulisan yang baik masih bisa diakses publik dengan murah, karena buku masih mahal.
Beberapa waktu lalu ada cerpen yang demikian buruk bisa lolos di halaman koran besar. Koran yang sama pernah kebobolan cerpen yang plagiat mirip Rashomon karya Ryunosuke Akutagawa. Kumpulan cerpen terbaru Mas Sulak saya kira adalah satu standar penting bagaimana sebuah cerpen mestinya ditulis. Cerpen-cerpen dalam kumpulan ini dapat dinikmati seperti Indomie di tengah malam, enak tapi penuh dosa. Penuh dosa karena kita selama ini dikelilingi karya-karya yang demikian buruk, sehinga begitu ada karya yang bagus dikit aja udah kaget luar biasa.
Mau tau bagaimana bagusnya? Ya beli dong.
Ekofenomenologi: Mengurai Disekuilibrium Relasi Manusia dengan Alam—Saras Dewi
Marjin Kiri adalah penerbit keren yang lebih berhak mendapatkan penghargaan Bintang Maha Putra Utama ketimbang Surya Paloh. Marjin Kiri menerbitkan begitu banyak buku-buku berkualitas yang tak hanya enak dibaca namun juga lebih perlu ketimbang Catatan Pinggir.
Politik Perburuhan Era Demokrasi Liberal 1950an, Sejarah Dunia untuk Pembaca Muda, Di Bawah Tiga Bendera: Anarkisme Global dan Imajinasi Antikolonial, dan Kekerasan Budaya Pasca 1965 adalah beberapa buku Marjin Kiri yang wajib Anda baca. Selain kuratorial yang ketat, Marjin Kiri juga dikenal sebagai penerbit dengan kualitas terjemahan yang lebih membuai daripada janji MLM.
Membaca buku nonfiksi, apalagi filsafat, tentu adalah kegiatan yang menjemukan. Lebih menjemukan daripada menyadarkan pendukung fanatik buta Jokowi tentang kondisi republik ini yang aduh berantakan betul. Tapi buku Mbak Yayas, Ekofenomenologi ini, adalah buku filsafat yang demikian renyah dibaca. Ia tidak hanya menyenangkan, namun juga membuat kita betah berlama-lama membacanya.
Tidak perlu mengerutkan kening karena berbagai istilah, nama, atau teori, semua yang ada dalam buku ini bisa dipahami dengan mudah. Tidak hanya itu, buku ini ditulis dengan sangat intim dan personal, sehingga siapapun yang membacanya tidak akan merasa digurui—lebih seperti diajak jalan-jalan ke dalam kepala Mbak Yayas yang penuh dengan kejutan.
Kambing dan Hujan—Mahfud Ikhwan
Jika Anda sudah kepalang bosan, jengah, dan muak dengan cerita cinta urban yang tak jauh-jauh dari tema keterasingan, tekanan pekerjaan, gaya hidup new age, kekinian, dan tema yang tak jauh dari Murakami-esque, buku ini bisa jadi penawar yang baik. Ia ndeso, ia religius, dan bertema soal orang-orang di sekitar masjid kampung.
Buku ini adalah antitesis dari segala cerita yang berusaha bicara tentang kota. Meski harus diakui, Eka Kurniawan lebih piawai mengolah tema pinggiran seperti ini untuk bisa diterima orang kota.
Mahfud Ikhwan dalam Kambing dan Hujan berusaha untuk tidak terlihat pretensius, meski ia tanpa sengaja mengejek orang kampung yang berlagak urban. Ini kisah cinta orang kampung, tentang dua kelompok LSM Islam yang dulu pernah punya hubungan dingin, ditulis dengan baik seperti juru ketik kelurahan, dan yang lebih utama tidak terjebak pada kredo sastra tinggi.
Saya pribadi menganggap buku ini sebagai yang terbaik. 
     0. Dari Twitwar ke Twitwar
Buku ini adalah buku terbaik yang ada di jagat raya saat ini. Ditulis dengan sangat memikat dan begitu indah. Lebih keren daripada Catatan Pinggir, lebih indah daripada Hujan Bulan Juni, dan jauh lebih menarik daripada Kambing Jantan. Segera miliki buku ini, hubungi Pojok Cerpen (+62852 2506 4802) atau Indie Book Corner (+62812 1516 9225).
Buku terbaik abad ini!
0 notes
gubuakkopi · 7 years
Text
Catatan Albert bagi saya adalah sebuah ketakterdugaan dan begitu juga dengan pertemuan saya dengannya. Posisi saya membicarakan kerja pencatatan Albert juga sebuah kebetulan belaka. Siapa kira, buku hasil riset, atau yang dibahasakan oleh Direktur Program AKUMASSA (Bernas) sebagai salah satu bentuk lain dari pengembangan jurnalisme warga (citizen journalism) dibicarakan oleh salah seorang warga yang sebenarnya berada pada lingkaran persoalan yang dicatat oleh Albert. Kebetulan-kebetulan ini pada akhirnya akan menjadi otokritik bagi saya secara pribadi untuk melihat kembali narasi-narasi kecil dari beragam fenomen yang selama abai bagi diri saya terhadap lingkungan saya. Kita memang pada setiap saat dihadapkan pada metanarasi (grand narrative) sebagai universalitas dan totalitas sebuah pengetahuan dan kerja riset alternatif atau jurnalisme warga kehadirannya memang untuk memberikan alternatif pengetahuan, melihat narasi-narasi kecil, dan meragui kembali metanarasi.
Tulisan ini merupakan sebagian dari makalah yang dibuat oleh Esha Tegar Putra, sebagai pemantik diskusi dan bedah buku SORE KELABU DI SELATAN SINGKARAK karya Albert Rahman Putra. Kegiatan ini diselenggarakan pada Rabu, 21 Februari 2018, di Galeri Gubuak Kopi.
Silahkan download makalanya dan dapatkan makalah lengkap di waktu kegiatan:
[DOWNLOAD] LINGKUNG SINGKARAK DALAM RETROSPEKSI 
This slideshow requires JavaScript.
Lingkung Singkarak dalam Retrospeksi Catatan Albert bagi saya adalah sebuah ketakterdugaan dan begitu juga dengan pertemuan saya dengannya. Posisi saya membicarakan kerja pencatatan Albert juga sebuah kebetulan belaka.
0 notes
mojokco · 9 years
Text
Lima Buku Terbaik 2015
Philip Gourevitch, mantan editor The Paris Review, tahun lalu berargumen bahwa karya nonfiksi semestinya dapat memenangkan penghargaan nobel. Dan ia benar, tahun ini jurnalis dari Belarusia, Svetlana Alexievich, meraih penghargaan nobel sastra.
Alexievich tentu bukan yang pertama, sebelumnya pada 1902, Theodor Mommsen, sejarawan dan esais, meraih penghargaan serupa. Disusul Bertrand Russell pada 1950 dan Winston Churchill pada 1953. Setengah abad lebih berlalu, karya nonfiksi seolah dijauhkan dari marwah karya tulis yang agung.
Tahun demi tahun kita diributkan melulu oleh sosok Haruki Murakami yang makin lama karyanya makin medioker.
Kemenangan Alexievich membuat saya sadar bahwa saya semakin kurang membaca. Namanya baru saya kenal tahun ini, untuk itu saya berusaha mencari nama-nama baru untuk dibaca dan dikenali. Ini penting, karena garasi pengetahuan dan bacaan seseorang akan mandek ketika ia berhenti pada karya penulis yang itu-itu saja tanpa mau mencari referensi yang lain.
Belakangan intensitas membaca saya memang semakin menurun. Ada banyak alasan, rasa malas, sibuk, dan yang lain karena memang tidak banyak buku bagus yang hadir tahun ini. Beberapa buku memang menjanjikan, namun setelah saya baca ternyata masih punya banyak kelemahan. Tentu tidak ada buku yang benar-benar sempurna, tapi menurunkan standar kualitas penilaian kita terhadap buku tidak akan membuat buku itu jadi baik.
Semalam Pemimpin Redaksi Mojok menodong saya untuk membuat daftar buku terbaik 2015. Ini tugas berat, mengingat tak banyak buku yang saya pamerkan di Instagram baca tahun ini. Tapi ada beberapa nama yang saya kira layak dibaca dan diberi penghargaan. Buku-buku ini terbaik dengan kriteria yang saya bikin sendiri. Misal, ia memberikan sebuah cara pandang baru, segar, dan dalam banyak hal membuat saya betah membaca daripada nyepik di Twitter main gajet.
Berbekal sikap Gourevitch, saya memutuskan untuk merobohkan batas antara fiksi dan nonfiksi, sastra dan bukan sastra, sehingga daftar buku terbaik 2015 ini boleh jadi sangat cair dan tendensius.
Go Set A Watchman—Harper Lee
Buku ini menjadi penting dan baik dibaca karena banyak hal. Satu hal karena buku ini akan mematahkan mitos tentang Atticus Finch, lebih dari itu kita akan belajar banyak dari sosok Jean Louise. Buku ini juga menjadi tonggak penting feminisme Amerika karena beberapa alasan substansial. Ditulis pada tahun 60an ketika ide feminisme hampir sinonim dengan keburukan, sesuatu yang aneh dan amoral. Namun Harper Lee telah menyosokkan Jean Louise sebagai perempuan independen yang bisa hidup dari dirinya sendiri.
Bagi penggemar To Kill A Mockingbird, buku ini adalah tamparan keras, ia mencoreng dan mencabik imaji tentang sosok Atticus yang digambarkan demikian sempurna. Atticus dalam buku ini adalah seorang tua yang fasis, penuh kekecewaan dan gerutu pedih.
Bagi Anda yang gemar menghakimi, takluk pada prasangka, dan suka merasa lebih baik dari orang lain, buku ini barangkali buku yang tepat. Ia akan mengajarkan Anda makna bersikap adil dan profesional ketika dihadapkan pada realitas yang mengusik. Tentu, Anda masih tetap boleh jadi seonggok fasis yang gemar merasa paling suci.
Melihat Api Bekerja—M Aan Mansyur
Ada beberapa buku puisi yang menarik dibaca tahun ini: Misa Arwah—Dea Anugrah, Visions of Mundane Madnes —Dwiputri Pertiwi, dan Dalam Lipatan Kain—Esha Tegar Putra. Saya kira tiga buku puisi ini penting untuk dibaca, karena menyelamatkan kita dari hiruk-pikuk kehidupan yang kepalang brengsek.
Tapi Melihat Api Bekerja, buku puisi Aan Mansyur, adalah satu yang istimewa. Ia melahirkan sebuah paduan apik, bagaimana elemen visual bisa bekerja dengan baik dengan teks puisi. Keduanya saling mengisi, sama sama puitis, estetis, dan tentu saja menyenangkan dibaca.
Tapi di sisi lain ia juga problematik. Bagaimana memperlakukan buku puisi ini? Apakah ia buku gambar yang ada puisinya? Atau buku puisi yang ada gambarnya? Apakah puisi Aan akan tetap indah jika seluruh elemen visual dalam buku ini dihilangkan? Dan apakah gambar karya MT akan tetap puitik tanpa adanya teks puisi dari Aan? Hal serupa juga muncul dalam buku puisi Visions of Mundane Madness. Ini saya kira perlu dibahas bersama dalam sebuah diskusi hangat bersama kawan-kawan terdekat.
Buku ini makin istimewa karena puisi-puisinya bagus untuk dikutip dan dipajang di Instagram.
Si Janggut Mengencingi Herucakra: Kumpulan Cerita—AS Laksana
Belakangan saya percaya cerita pendek kita sudah demikian buruknya sampai-sampai halaman sastra koran Minggu apapun menjadi tak lagi menarik dibaca. Tapi ini persoalan klasik. Dari tahun ke tahun selalu saja ada ketidakpuasan. Dari dulu pembaca sastra juga merasa kurang, dan merasa perlu ada regenerasi, penyelamatan, pembaruan, dan sebagainya dan sebagainya. Mirip diskusi Persma yang tak jauh dari quo vadis dan reorientasi. Bedanya, halaman sastra koran masih menjadi standar penting, bahwa penulisan yang baik masih bisa diakses publik dengan murah, karena buku masih mahal.
Beberapa waktu lalu ada cerpen yang demikian buruk bisa lolos di halaman koran besar. Koran yang sama pernah kebobolan cerpen yang plagiat mirip Rashomon karya Ryunosuke Akutagawa. Kumpulan cerpen terbaru Mas Sulak saya kira adalah satu standar penting bagaimana sebuah cerpen mestinya ditulis. Cerpen-cerpen dalam kumpulan ini dapat dinikmati seperti Indomie di tengah malam, enak tapi penuh dosa. Penuh dosa karena kita selama ini dikelilingi karya-karya yang demikian buruk, sehinga begitu ada karya yang bagus dikit aja udah kaget luar biasa.
Mau tau bagaimana bagusnya? Ya beli dong.
Ekofenomenologi: Mengurai Disekuilibrium Relasi Manusia dengan Alam—Saras Dewi
Marjin Kiri adalah penerbit keren yang lebih berhak mendapatkan penghargaan Bintang Maha Putra Utama ketimbang Surya Paloh. Marjin Kiri menerbitkan begitu banyak buku-buku berkualitas yang tak hanya enak dibaca namun juga lebih perlu ketimbang Catatan Pinggir.
Politik Perburuhan Era Demokrasi Liberal 1950an, Sejarah Dunia untuk Pembaca Muda, Di Bawah Tiga Bendera: Anarkisme Global dan Imajinasi Antikolonial, dan Kekerasan Budaya Pasca 1965 adalah beberapa buku Marjin Kiri yang wajib Anda baca. Selain kuratorial yang ketat, Marjin Kiri juga dikenal sebagai penerbit dengan kualitas terjemahan yang lebih membuai daripada janji MLM.
Membaca buku nonfiksi, apalagi filsafat, tentu adalah kegiatan yang menjemukan. Lebih menjemukan daripada menyadarkan pendukung fanatik buta Jokowi tentang kondisi republik ini yang aduh berantakan betul. Tapi buku Mbak Yayas, Ekofenomenologi ini, adalah buku filsafat yang demikian renyah dibaca. Ia tidak hanya menyenangkan, namun juga membuat kita betah berlama-lama membacanya.
Tidak perlu mengerutkan kening karena berbagai istilah, nama, atau teori, semua yang ada dalam buku ini bisa dipahami dengan mudah. Tidak hanya itu, buku ini ditulis dengan sangat intim dan personal, sehingga siapapun yang membacanya tidak akan merasa digurui—lebih seperti diajak jalan-jalan ke dalam kepala Mbak Yayas yang penuh dengan kejutan.
Kambing dan Hujan—Mahfud Ikhwan
Jika Anda sudah kepalang bosan, jengah, dan muak dengan cerita cinta urban yang tak jauh-jauh dari tema keterasingan, tekanan pekerjaan, gaya hidup new age, kekinian, dan tema yang tak jauh dari Murakami-esque, buku ini bisa jadi penawar yang baik. Ia ndeso, ia religius, dan bertema soal orang-orang di sekitar masjid kampung.
Buku ini adalah antitesis dari segala cerita yang berusaha bicara tentang kota. Meski harus diakui, Eka Kurniawan lebih piawai mengolah tema pinggiran seperti ini untuk bisa diterima orang kota.
Mahfud Ikhwan dalam Kambing dan Hujan berusaha untuk tidak terlihat pretensius, meski ia tanpa sengaja mengejek orang kampung yang berlagak urban. Ini kisah cinta orang kampung, tentang dua kelompok LSM Islam yang dulu pernah punya hubungan dingin, ditulis dengan baik seperti juru ketik kelurahan, dan yang lebih utama tidak terjebak pada kredo sastra tinggi.
Saya pribadi menganggap buku ini sebagai yang terbaik. 
     0. Dari Twitwar ke Twitwar
Buku ini adalah buku terbaik yang ada di jagat raya saat ini. Ditulis dengan sangat memikat dan begitu indah. Lebih keren daripada Catatan Pinggir, lebih indah daripada Hujan Bulan Juni, dan jauh lebih menarik daripada Kambing Jantan. Segera miliki buku ini, hubungi Pojok Cerpen (+62852 2506 4802) atau Indie Book Corner (+62812 1516 9225).
Buku terbaik abad ini!
0 notes
gubuakkopi · 6 years
Text
Pada Kamis, 10 Mei 2018 lalu, Ruang Kerja Budaya (RKB) menggelau lokakarya bertajuk “Penguatan Lembaga kebudayaan” di Sekretariannya di Balimbing, Kota Padang. Lokakarya yang disajikan dalam suasana berbagi ini antara lain membahas model-model kerja komunitas di Sumatera Barat. RKB mengundang dua orang narasumber, antara lain, Edy Utama, pegiat festival dan pimpinan grup musik kontemporer Talago Buni; serta Albert Rahman Putra, pegiat komunitas dan ketua Gubuak Kopi.
Sore itu kami datang agak terlambat karena hujan yang lebat. Kami berangkat dari Solok menggunakan sepeda motor, kami tidak enak, karena datang hanya menggunakan sendal jepit, sementara sepatu kami kantongi agar tidak basah. Sesampai di sana, kawan-kawan sudah berkumpul dan tuan rumah sudah memulai pengantar. Kegiatan ini juga dihadiri oleh perwakilan beberapa komunitas di Kota Padang. Materi langsung dimulai oleh rekan saya Albert. Ia mengawalinya dengan memperkenalkan apa yang kami kerjakan di Gubuak Kopi dan bagaimana ia membangun organisasi ini sejak tahun 2011, yang sempat padam beberapa tahun.
Lokakarya penguatan lembaga kebudayaan berlangsung dengan lancar. Agenda ini diformat lebih seperti berbagi informasi dan ide. Terima kasih untuk kehadiran rekan-rekan sekalian. Jabat erat dari #ruangkerjabudaya. #padangkotakata
A post shared by Ruang Kerja Budaya (@ruangkerjabudaya) on May 10, 2018 at 4:30am PDT
“Generasi saya di sekitar tahun itu, atau setidaknya kita yang masih kurang gaul waktu itu, kehilangan model dalam membangun komunitas ini. Kami hanya meraba-raba sesuai dengan apa yang butuhkan, lalu membaca sejumlah organisasi di luar sana yang mungkin bisa kita adobsi, sampai kita bisa menyusun sendiri,” Albert memberi gambaran.
Pada tahun 2013 Albert diundang untuk terlibat dalam proyek Akumassa Bernas yang digagas oleh Forum Lenteng. Di sana ia berkesempatan membangun jaringan dengan sejumlah organisasi yang juga terlibat dalam program ini, baik itu dari Lombok, Banten, Sukabumi, Surabaya, dan lainnya. Kita saling memantau dan saling berdiskusi walau jarak jauh, katanya. Sambil terus berjalan, jaringan ini terus berkembang, dan semakin banyak kesempatan untuk saling belajar, mengenal scene, serta memperkuat jaringan ini. Namun, tentu kita juga perlu membangun jaringan dalam lingkungan lokal kita. Jaringan, itu adalah modal paling dasar memperkuat organisasi, modal sosial, tegas Albert.
Dalam kesempatan berikutnya Edy Utama menggambarkan pengalamannya mengelola sejumlah festival di Sumatera, dan membesarkan kelompok musik kontemporer Talago Buni. Ada sejumlah strategi yang harus kita bangun untuk ini, ungkap Bung Edy. Kelompok Talago Buni misalnya kehadiran Bung Edy yang bukan musisi menjadi penting untuk membaca selera dan kecendrungan produksi musik kontemporer dunia, dan ia selalu memberi masukan dalam proses kompos musik sehingga Talago Buni diterima dengan senang hati di sejumlah festival internasional.
Setelah menembus kancah Internasional, sekarang sambil jalan, Talago Buni mulai berupaya berkontribusi untuk Minangkabau sendiri. Itu hutang saya pada Minangkabau, katanya. Maka belakangan Talago Buni mulai dipentaskan di kampung-kampung di Sumatera Barat. Selain itu, ia juga mengelola sejumlah festival berskala internasional di Sumatera Barat, di antaranya adalah beberapa nomor Sawahlunto International Music Festival (SIMFest) dan sekarang ia sibuk dengan festival Padang India Ocean Music (PIOM) Festival.
Dalam sesi tanya jawab, Beni pegiat People Lab, bertanya soal bagaimana Gubuak Kopi dan Talago Buni membangun komunitas lokalnya. Dua narasumber ini memparkan hal yang hampir sama. Dalam hal ini, mereka melihat posisi kita atau organisasi adalah mendorong kelompok-kelompok yang sudah ada untuk kembali menjalakan kekuatan sosialnya di lingkungan lokal masing-masing. Sembari itu, kita sebenarnya juga belajar pada masyarakat atau sesama kelompok, dan saling mempertajam daya kritis untuk bisa membangun strategi berkelanjutan. Dan yang terpenting adalah menghilangkan “jarak” antara organisasi dengan masyarakat dengan tidak bertindak “ekslusif”.
Sore itu Bung Edy, pulang lebih awal, karena ia harus menghadiri acara lainnya. Diskusi kemudian dilanjukan dengan lebih santai. Esha Tegar Putra, selaku moderator dan pegiat RKB sebelumnya memaparkan niatnya untuk membaca model-model komunitas yang saat ini berkembang di Sumatera Barat. Saat ini banyak komunitas atau lembaga kebudayaan di Sumatera Barat, beberapa tidak terbaca atau antara ada dan tiada. Menanggapi ini, menurut Albert, memang banyak saat ini, terutama di kalangan mahasiswa yang memposisikan komunitas hanya sebagai tempat nongkrong, gaul, tapi barang kali itu proses, sampai mereka jenuh dan memutuskan untuk menyusun program dengan lebih serius. Tapi yang disayangkan, menurut Albert banyak pegiat komunitas yang menjadikan kelompoknya hanya sebagai batu loncatan agar ditarik oleh kelompok di ibu kota seperti Jogja, Jakarta, atau Bandung. Lalu hijrah, Sumatera Barat ditinggalkan bahkan diumpati suram.
Esha tertarik pada Gubuak Kopi yang berada di Solok, kemudian baru-baru ini terlibat dengan sejumlah “proyek” yang cukup besar. Hal ini memang butuh proses, Beni sempat juga ikut memancing, lalu apa kira-kira kendala komunitas lokal lainnya sehingga banyak tidak bertahan. Menurut Albert, selain niat awal: apakah ini akan hanya jadi batu loncatan atau memang kebutuhan. Untuk membangun organisasi yang serius memang kita perlu menggenal potensi kita untuk mengetahui posisi kita. Misalnya, kita perlu menghitung, apakah sudah ada organisasi serupa yang cukup baik? apa pentingnya organisasi kita di tengah masyarakat atau pemerintahan? apa modal sosial kita sebagai kelompok atau individu yang tergabung dalam kelompok, siapa jaringan kita? apa kita modal material kita, seperti sekretariat, komputer, dsb.. bagaimana potensi jaringan ini untuk saling berkontribusi? apa persoalan di sekitar kita bisa diselesaikan dengan potensi kita?  dari sini kita bisa menyusun program, lalu kegiatan.
Dengan bisa menunjukan pentingnya kehadiran atau kegiatan-kegiatan kita, di sana kita bisa bernegosiasi dengan si pemangku kepentingan. Kira-kira demikian yang saya pahami. Kalau potensi kita tidak maksimal lalu apa yang harus kita lakukan? itu juga dapat menjadi program kita. Misalnya, kalau kita kekurangan pengetahuan manajemen, atau kemampuan bahasa inggris, maka kita akan menghubungi jaringan yang bisa membantu. Atau soal pengetahuan lainnya yang juga bisa kita programkan dalam kegiatan organisasi. Untuk itu di Gubuak Kopi sebenarnya kita memposisikan kelompok ini sebagai tempat belajar, mempelajari hal-hal yang kita butuhkan untuk menjawab persoalan kita sebagai bagian dari warga.
    Berbagi Strategi Penguatan Komunitas Pada Kamis, 10 Mei 2018 lalu, Ruang Kerja Budaya (RKB) menggelau lokakarya bertajuk "Penguatan Lembaga kebudayaan" di Sekretariannya di Balimbing, Kota Padang.
0 notes
gubuakkopi · 7 years
Text
Tulisan ini merupakan catatan peluncuran buku “Sore Kelabu di Selatan Singkarak” karya Albert Rahman Putra yang digelar di Galeri Kubik Koffie, Padang, pada 21 Februari 2018 lalu. Artikel yang ditulis oleh Rendy Hakimi Sadry (Wartawan Haluan) ini sebelumnya telah dipublikasi di rubrik budaya Koran Haluan, edisi 25 Februari 2018, dan dipublikasi kembali di gubuakkopi.id sebagai pendokumentasian dan distribusi arsip. 
Siapa yang salah saat sejarah “hanya” memberi tempat untuk para elit dalam sebuah perjuangan. Di mana akan tertulisnya cerita tentang prajurit rendahan yang gugur di medan perang saat melindungi komandan. Di mana tersangkutnya kabar soal tukang dapur barak yang setiap hari berpanas api memasak makanan bagi pejuang. Apakah mereka juga pahlawan. Layakkah. Entah. Membaca Sore Kelabu di Selatan Singkarak. Menelusuri tokoh-tokoh yang terlibat dalam setiap alir cerita tulisan tangan— hasil pengamatan Albert Rahman Putra, seolah melihat mereka para pahlawan tak dikenal di medan pertempuran. Mereka memang tidak sedang berjuang. Tapi mereka terlibat langsung dalam kejadian yang pada satu waktu mungkin akan menjadi sejarah kemanusiaan. Tulisan-tulisan Albert, dalam buku yang bernas itu, mengisahkan mereka yang sebelumnya tak dikisahkan penulis lainnya. Tentang Singkarak yang kelabu di ujung senja, serta cerita-cerita lain yang mengundang decak, memancing emosi, mewujudkan sentimen, dan memantik kesadaran.
  Narasumber bedah buku “Sore Kelabu di Selatan Singkarak” (kiri-kanan: Otty Widasari, Albert Rahman Putra, Andini Nafsika, dan Esha Tegar Putra)
Pada pukul 20.00, Rabu 20 Februari lalu, catatan atas pengamatan Albert dalam tajuk Sore Kelabu di Selatan Singkarak resmi diluncurkan dan dibedah di Kubik Coffee, Padang. Kegiatan itu merupakan bagian dari program AKUMASSA Bernas yang digagas oleh Forum Lenteng. Karya Albert menghadirkan 11 tulisan seputar situasi sosial budaya dan kabar lingkungan di sekitar Danau Singkarak. Hadir sebagai pembahas dalam bedah buku tersebut, penulis Esha Tegar Putra, dan dimoderatori oleh Andini Nafsika.
Membaca karya Albert, kita seolah melihat bagaimana kemasan jurnalisme warga yang mahal. Bahkan kadang, terkesan lebih komplit dibanding hasil liputan seorang wartawan. Meski pun Albert tidak memiliki latar belakang sebagai wartawan yang pernah bekerja di media konvensional, kepiawaiannya memadu kata dan menarik pembaca ke dalam laut cerita sangat mengangumkan.
Sebelum membahas lebih lanjut tentang Albert dan bukunya, mari kita kutip tulisan Paul Thompson (New Youk: Oxford University), tentang sejarah lisan. Menurutnya, “sejarah lisan memberikan sarana untuk rekontruksi masa lalu yang lebih realistis dan berimbang, memugkinkan munculnya sosok-sosok pahlawan tidak saja dari kalangan pemimpin, tetapi juga dari rakyat yang kebanyakan tidak dikenal”. Singkatnya, Paul Thompson mengatakan, dengan pendekatan sejarah lisan, lalu menulisnya dengan gaya jurnalisme warga, bisa menjadikan sejarah lebih demokratis. Agaknya, tulisan-tulisan Albert Rahman Putra dalam buku tersebut bisa dimasukkan dalam kotak tulisan sejarah lisan itu.
Lanjut ke Sore Kelabu di Selatan Singkarak, pembedah Esha Tegar Putra mengatakan, dari kerja pencatatan Albert, ia baru mengetahui informasi yang luput dari pembicaraan banyak orang yang ia temui. Seperti, di Nagari Kacang, terdapat limau yang menjadi kebanggaan dan varietas unggulan pertanian Solok pada 1970-1980-an, (Limau Kacang, hlm. 126).
“Saya pernah ditanya oleh seorang pria berusia 70 tahun mengenai Limau Kacang,” kata Esha. “Pria itu pernah merantau pada 1957 bersama orang tuanya, dan pernah bekerja belasan tahun di kedutaan Indonesia di Abu Dhabi,” kata Esha.
Suasana diskusi dan bedah buku “Sore Kelabu di Selatan Singkarak” karya Albert Rahman Putra di Galeri Kubik Koffie, Kota Padang.
Selain itu, Esha mengatakan tentang para narasumber dalam tulisan Albert, khususnya pada catatan banjir di sekitar Sumani dan Singkarak, serta foto-foto yang dapat dihubungkan dengan karya Albert, memberikan informasi lain tentang fenomena perubahan daerah. Albert seperti mendapatkan suatu bukti tentang keadaan, dengan cara pengumpulan data dari beragam fenomena dan pada waktu yang berbeda-beda, sehingga si penulis bisa mengklaim kebenaran atas informasi yang disajikan.
Albert sendiri memang mengakui, ia mendapatkan data pembanding berupa foto-foto tentang sampah di pagar-pagar jembatan. Waktu itu, dengan sabar ia menunggu, untuk membuktikan bahwa sampah-sampah itu akan terus bermuara ke Danau Singkarak.
“Saya beberapa kali mengelilingi Singkarak, melihat muaramuara sungainya. Tidak salah lagi, Batang Lembang adalah penyumbang sampah terbesar untuk Singkarak.  Itu tidak berlebihan. Silakan saksikan langsung, beberapa kantong sampah itu masih tersangkut di pagar jembatan yang menggantung di atas sungai ini,” tulisnya dalam buku.
Malam itu, di pertengahan waktu membedah buku, saya duduk agak ke pinggir sehingga dapat mengamati lebih luas ruangan di Galeri Kubik Koffi itu. Saya merasakan betul ada keinginan yang menguar dari setiap atau paling tidak beberapa diri di caleri itu, untuk melakukan pula apa yang dilakukan si penulis buku. Sebab memang begitu, apa yang dipikirkan Albert dan telah ia tuliskan itu, seolah luput selama ini dari pengamatan penulis atau wartawan lain. Penting atau tak penting. Bagi Albert ukurannya mungkin berbeda.
Pertunjukan Orkes Taman Bunga dalam peluncuran dan bedah buku “Sore Kelabu di Selatan Singkarak” di Galeri Kubik Koffie, Kota Padang.
Pertunjukan Orkes Taman Bunga dalam peluncuran dan bedah buku “Sore Kelabu di Selatan Singkarak” di Galeri Kubik Koffie, Kota Padang.
Pertunjukan Orkes Taman Bunga dalam peluncuran dan bedah buku “Sore Kelabu di Selatan Singkarak” di Galeri Kubik Koffie, Kota Padang.
Direktur Program AKUMASSA Otty Widasari malam itu mengatakan, Albert merekam kejadian dan kisah yang bergulir di sekitaran Danau Singkarak sejak 2010. Buku yang dibedah malam itu, merupakan refleksi seorang warga lokal, yang berusaha melakukan otokritik terhadap masyarakatnya sendiri.
“Penulis membayangkan kepada siapa saja yang membaca buku tersebut, tentang dampak yang akan datang dari peristiwa-peristiwa ditulisnya itu,” kata Otty. Membedah beragam isu yang “dilumat” Albert dalam karyanya, seperti membedah kesadaran sendiri untuk meneliti dan menuliskan juga isu-isu yang berlemak-peak di sekitar kita. Mungkin ada yang mau dan tidak mau “menjadi Albert” pula. Bak salah satu lirik lagu yang dinyanyikan Orkes Taman Bunga malam itu “Biar kayak orang-orang, padahal orang ingin kayak kita”.  (*
Padang, 25 Februari 2018 RENDI HAKIMI SADRY (*Wartawan harian umum Haluan)
Mengajak Sadar Melihat Sekitar Tulisan ini merupakan catatan peluncuran buku "Sore Kelabu di Selatan Singkarak" karya Albert Rahman Putra yang digelar di Galeri Kubik Koffie, Padang, pada 21 Februari 2018 lalu.
0 notes
gubuakkopi · 7 years
Photo
Tumblr media
[PELUNCURAN DAN BEDAH BUKU] • AKUMASSA BERNAS #1 — “SORE KELABU DI SELATAN SINGKARAK” penulis: Albert Rahman Putra (@albertrahmanp) - penerbit: Forum Lenteng (@forumlenteng) • Rabu, 21 Februari 2018 Pukul 19.30 WIB di Galeri Kubik Koffie Jl. Olo Ladang, No.12, Olo, Kota Padang, Sumatera Barat. - narasumber: Andini Nafisika (Moderator), Otty Widasari (Editor/direktur program akumassa), Albert Rahman Putra (Penulis), Esha Tegar Putra (Pembahas) - Dalam buku kumpulan tulisan berjudul SORE KELABU DI SELATAN SINGKARAK ini, Albert merekam fragmen-fragmen kejadian dan kisah yang bergulir di sekitaran Danau Singkarak. Albert mengamati situasi ini sejak tahun 2010 yang kemudian dibingkai ke dalam 11 tulisan. Isu-isu tersebut antara lain tentang kondisi liungkungan, peseteruan warga, keberadan tambang dan dampaknya pada situasi sosial masyarakat, kebijakan dan respon pejabat pemerintah, serta jalur dagang warisan kolonial melalui penelusuran sejumlah arsip sejak tahun 1818. • penyelenggara: Komunitas Gubuak Kopi adalah kelompok studi budaya nirlaba yang berbasis di Solok. Kelompok ini berdiri pada tahun 2011, befokus pada pengembangan pengetahuan seni dan media di tingkat lokal, melalui kegiatan lokakarya literasi media, kolaborasi seni lintas disiplin, dan pengarsipan alternatif berbasis komunitas. - Pertunjukan spesial oleh @orkestamanbunga - informasi: 0813 6543 9027 (Delva) [email protected] www.gubuakkopi.id @gubuakkopi • #forumlenteng #gubuakkopi #akumassa #akumassabernas #solokmilikwarga #acara #buku #orkestamanbunga #infosumbar #sastrasumbar (at West Sumatra)
0 notes
gubuakkopi · 7 years
Photo
Tumblr media
Mari hadir dunsanak kasadonyo.. [PELUNCURAN DAN BEDAH BUKU] • AKUMASSA BERNAS #1 — “SORE KELABU DI SELATAN SINGKARAK” penulis: Albert Rahman Putra (@albertrahmanp) - penerbit: Forum Lenteng (@forumlenteng) • Rabu, 21 Februari 2018 Pukul 19.30 WIB di Galeri Kubik Koffie Jl. Olo Ladang, No.12, Olo, Kota Padang, Sumatera Barat. - narasumber: Andini Nafisika (Moderator), Otty Widasari (Editor/direktur program akumassa), Albert Rahman Putra (Penulis), Esha Tegar Putra (Pembahas) - Dalam buku kumpulan tulisan berjudul SORE KELABU DI SELATAN SINGKARAK ini, Albert merekam fragmen-fragmen kejadian dan kisah yang bergulir di sekitaran Danau Singkarak. Albert mengamati situasi ini sejak tahun 2010 yang kemudian dibingkai ke dalam 11 tulisan. Isu-isu tersebut antara lain tentang kondisi liungkungan, peseteruan warga, keberadan tambang dan dampaknya pada situasi sosial masyarakat, kebijakan dan respon pejabat pemerintah, serta jalur dagang warisan kolonial melalui penelusuran sejumlah arsip sejak tahun 1818. • penyelenggara: Komunitas Gubuak Kopi adalah kelompok studi budaya nirlaba yang berbasis di Solok. Kelompok ini berdiri pada tahun 2011, befokus pada pengembangan pengetahuan seni dan media di tingkat lokal, melalui kegiatan lokakarya literasi media, kolaborasi seni lintas disiplin, dan pengarsipan alternatif berbasis komunitas. - Pertunjukan spesial oleh @orkestamanbunga - informasi: 0813 6543 9027 (Delva) [email protected] www.gubuakkopi.id @gubuakkopi • #forumlenteng #gubuakkopi #akumassa #akumassabernas #solokmilikwarga #acara #buku #orkestamanbunga #infosumbar #sastrasumbar (at West Sumatra)
0 notes