#Dwi Fungsi Abri
Explore tagged Tumblr posts
Text
Isu Kembalinya Dwi Fungsi Abri, Legislator Makassar: Pemerintah Harus Berhati-hati - Gosulsel
MAKASSAR, GOSULSEL.COM - Isu kembalinya Dwi Fungsi ABRI terus bergulir. Terbaru Menko Maritim, Luhut Binsar Pandjaitan sibuk melakukan klarifikasi, bahwa rekruitmen TNI masuk lembaga sipil bukan berarti akan dilakukan di semua kementerian. Namun hanya ada beberapa kementerian yang akan diisi oleh T...
https://gosulsel.com/2019/02/25/isu-kembalinya-dwi-fungsi-abri-legislator-makassar-pemerintah-harus-berhati-hati/
#DwiFungsiAbri #HEADLINIE #LuhutBinsarPanjaitan #TNI
0 notes
Text
Yellow Card
Viral Kartu Kuning
Bahasan kita kali ini sedikit keluar dari konten tumblr text saya biasanya yang kebanyakan konten nya berisi pengalaman hidup saya dan pelajaran apa yang saya ambil kemudian saya share dalam bentuk tumblr text. But, tidak akan jauh berbeda karena saya akan sedikit dan berusaha merelasikan dengan pengalaman hidup saya. Kata-kata yang saya gunakan juga akan semi-formal tidak bebas seperti biasanya. Pertama, saya sebenarnya pernah membahas atau sedikit memberikan pendapat saya tentang pemerintahan Indonesia di tulisan sebelumnya yang berjudul “Curhatan Rakyat Kecil” kalian bisal scroll down kalau kalian penasaran apa yang saya bahas di tulisan itu. Disetiap tulisan saya juga tidak lupa mencantumkan sisi agama karena saya adalah manusia yang beragama dan agama saya mengajar hal-hal yang harus dan wajib saya syiarkan. Okay let’s begin!
Viral kartu kuning memang sedang melanda negara Indonesia tercinta dimana kartu kuning tersebut di layangkan kepada bapak Presiden kita. Kronologinya akan saya jelaskan sedikit karena saya harap kebanyakan dari kalian sudah sangat hafal bahkan mungkin sudah mengkritisi lebih dulu. Jadi ketika dies natalis Universitas Indonesia ada seorang mahasiswa yang kebetulan Presiden Mahasiswa UI dia dengan berani nya di hadapan seluruh mahasiswa juga pejabat kampus memberikan kartu kuning yang dimana di mengangkat sebuah map atau kertas saya juga tidak tahu pasti dan membunyikan peluit. Kartu kuning sendiri dalam sepak bola yang saya tahu adalah tanda Peringatan dimana peringatan itu di berikan kepada pemain bola yang kedapatan melanggar aturan yang telah ditetapkan dalam olahraga sepak bola begitu yang saya tahu. Kartu kuning yang di berikan oleh Presma UI ini bukan tanpa alasan kartu kuning ini di berikan kepada pak Presiden dengan alasan bahwa bapak Presiden masih memiliki banyak PR yang harus di kerjakan sebelum periode nya selesai. Isu yang diangkat pun cukup menarik Pertama, gizi buruk dan wabah penyakit di Asmat Papua yang menewaskan puluhan orang Kedua, adanya tindak dwifungsi ABRI yang atau rencana pemerintah yang mengangkat pejabat Gubernur dari TNI/POLRI yang jelas jelas mengkhianati reformasi Ketiga, adanya draft peraturan baru organisasi mahasiswa yang dinilai mengancam kebebasan berorganisasi dan gerakan kritis mahasiswa. Isu tersbut adalah isu yang ingin diangkat Zaadit (Presma UI) kepada Presiden Jokowi.
Banyak pro dan kontra dari tindakan yang dilakukan Zaadit. Ada yang bilang itu tindakan patriotik, berani dan tindakan yang memang seharusnya dilakukan mahasiswa sebagai agent of change tak sedikit pun yang bilang bahwa itu adalah tindakan yang tidak beretika tindakan yang tidak mencerminkan mahasiswa sebagai kaum intelektual muda. Banyak kritikan-kritikan yang di terima Zaadit. Now, bagaimana pendapat saya sebagai mahasiswa khusus nya mahasiswa politik yang dituntut ke kritisan nya dan di tuntut tidak apatis soal politik. Menarik memang membahas masalah politk saking menariknya kadang saya juga sampai tidak tertarik haha Pertama, masalah politik yang berimbas pada rakyat miskin sangat banyak di Indonesia. Hal yang dilakukan Zaadit saya sendiri tidak tahu apakah itu hal yang benar atau salah karena, disini saya menyoroti isu yang di angkat oleh dia bukan kartu kuning yang dia angkat, masalah kartu kuning menurut saya itu adalah cara dia, dan dia bebas untuk melakukan apapun selama itu tidak melanggar peraturan dan hanya mengacungkan kartu kuning adalah hal yang memang mengaget kan tapi itu hal yang biasa bila dibandingkan dengan yang dulu-dulu yang dilakukan mahasiswa tidak hanya Zaadit yang mengacungkan kartu kuning banyak hal-hal yang lebih GILA yang dilakukan mahasiswa untuk menarik perhatian pemerintah untuk di dengar aspirasinya. Jadi mengacungkan kartu kuning adalah hal biasa saja tidak salah juga tidak benar posisi biasa saja menurut saya. Karena bila dibandingkan aksi-aksi mahasiswa lain yang bahkan aksi yang kita tidak tahu dan tidak terekspos kamera mungkin karena saking gilanya.
Isu pertama yang diangkat Zaadit adalah isu kelaparan dan penyakit di Asmat Papua. Oke disini pendapat saya isu kelaparan dan gizi buruk tidak hanya melanda Papua karena sebenarnya jangan jauh-jauh ke Papua di Ibu kota saja saya yakin isu tersebut masih ada dan itu saya buktikan meskipun saya tidak lihat langsung ke dalam rumah mereka ketika saya berrkunjung ke Jakarta beberapa hari yang lalu dan melewati gang-gang kecil sekarang pertanyaan nya, Yakin mereka yang hidup di gang-gang sempit dan bantaran sungai juga rumah-rumah kumuh mendapat gizi yang tercukupi atau mereka makan hanya agar tidak lapar tanpa memperhatikan gizi ? Atau yakin mereka sudah makan 3x sehari? Isu gizi buruk ini adalah isu yang menyangkut kualitas SDM, tapi isu ini sebenarnya sangat dekat dengan kita dan tidak harus jauh-jauh ke Papua tapi juga jangan di sepele kan isu di Papua. Apakah masalah Gizi buruk dan Penyakit di Tanah air ini sudah selesai? Saya akui susah memang menjaga dan memastikan gizi yang cukup untuk semua warga negara dengan notaben negara yang besar dan kepulauan dengan jutaan penduduk. Tetapi jika di kembalikan kepada pemerintah ini kan tugas pemerintah? Tidak menurut saya ini tugas seluruh warga negara tanpa terkecuali kita. Ibnu Taimiyah pernah berkata kesuksesan suatu pemerintahan merupakan kesuksesan warga negaranya. So, pemerintah baik juga tergantung warga negaranya. Warga negara dan pemerintah harus bekerjasama. Pemerintah harus siap mendapat kritik dan saran karena kritik dan saran tersebut di perlukan agar pemerintah tidak jalan sendirian dan juga warga negara pun harus siap di atur dan di kritik begitu yang dilakukan oleh Umar bin Khattab pada Zaman kepemimpinan Khulafaur Rasyidin. Umar adalah salah satu contoh pemimpin yang wajib ditiru pemimpin zaman now karena track record nya yang bisa bekerjasama dengan warga negara. Juga masyarakat islam yang kala itu yang mau diatur oleh Amirul Mukminin Umar bin Khattab. Disini saya tidak akan memberikan solusi karena itu bukan ranah saya, saya hanya berperan sebagai observer, yang mengamati lingkungan saya. Karena dilingkungan saya pun masalah tersebut masih belum semua terselesaikan oleh pemerintah daerah meski pemerintah telah mengerahkan segala upaya karena kembali lagi mereka yang memerintah juga manusia bukan Tuhan. Banyak yang telah dilakukan warga negara untuk membantu mereka yang kelaparan dan gizi buruk dengan penggalangan dana tanpa pemerintah tahu dan tanpa pula terekspos oleh media sepertinya banyaknya platform-platform penggalangan dana untuk masyrakat gizi buruk, kelaparan dan penyakit. Well, pada inti nya isu yang diangkat Zadit sudah tepat tetapi isu ini tidak hanya di satu daerah di Indonesia masih banyak bahkan di dekat kita yang bahkan tetangga kita sendiri. Dapat poin nya? Haha
Isu kedua yang diangkat oleh Zadit adalah isu dwifungsi ABRI atau rencana pengangkatan Gubernur dari kalangan TNI/POLRI. Sebenarnya saya tidak terlalu concern dengan ini tapi disini saya menyayangkan bahwa sebenarnya masalah ini adalah masalah dari zaman Presiden Soeharto yang menurut saya sudah dapat di mengerti oleh pemerintah sekarang. TN/POLRI adalah lembaga negara yang sebenarnya harus bersikap netral dan sesuai dengan tugas nya untuk menjaga keamanan, pertahanan serta kedaulatan negara dan bersinergi dengan pemerintah mengenai masalah ini bukan malah ikut-ikut terjun dalam dunia politik. Negara sudah menjunjung nilai reformasi dengan menghapus kan dwi fungsi ABRI. Dan yang terpenting permasalahan di Indonesia bukan hanya masalah ini saja yang harus di gembor-gemborkan masalah ini selesaikan di internal pemerintah saja menurut saya dan saya yakin dan kita juga harus percaya bahwa pemerintah yang baik dan amanah tidak akan pernah menghkhianati rakyat nya. Dan mulai fokus pada masalah-masalah yang menyangkut kesejahteraan warga negara dan mau dibawa kemana masa depan negara. Pemerintah dan masyarakat harus memperhatikan bagaimana kualitas pemimpin-pemimpin negara masa depan. Karena menurut saya pemimpin-pemimpin negara masa depan adalah cerminan dan warisan pemimpin sekarang. Mari kita perbaiki negara sama-sama. Semoga mendapat poin nya haha.
Isu ketiga isu ini lumayan mengganggu pikiran saya karena disini melibatkan langsung mahasiswa. Yang berisikan peraturan Kemeristekdikti yang dianggap akan mengancam kebebasan berpendapat dan keorganisasian mahasiswa. Nahh.. disini saya sendiri tidak tahu apa isi dari draft tersebut dan saya juga tidak terlalu memperhatikan penjelasan Kemenristek di acara Mata Najwa soal ini. Well, saya akan mencoba sedikit berkomentar saja secara umum. Disini jika memang benar peraturan tersebut akan mengancam kebebasan berpendapat mahasiswa saya jelas akan kurang setuju karena, mahasiswa juga representasi warga negara bedanya mahasiswa dianggap kaum intelek yang lebih banyak belajar dan dianggap ahli dalam bidang nya dan jurusan nya masing-masing dan dianggap memiliki data yang berhak di dengar aspiranya untuk negara yang lebih baik kedepanya meski terkadang mahasiswa tidak langsung terjun ke lapangan misalkan merasakan kelaparan, gizi buruk dan kemiskinan tapi dengan data dan pembelajaran mahasiswa akan bisa memberikan kritik dan saran. Jika aspirasi dibatasi maka, kita tidak akan pernah tahu apa yang dilakukan pemerintah, apa pemerintah sudah bekerja atau tidak karena, yang dibutuhkan adalah kerjasama antar warga negara dan pemerintah jika pemerintah menutup diri dari kritik dan saran dan semuanya serba dibatasi apa itu yang namanya kerjasama?. Jadi membatasi ruang gerak mahasiswa dalam memberikan aspirasi it’s mean membatasi aspirasi warga negara nya sendiri sedangkan warga negara sangat dibutuhkan dalam pembangunan negara yang lebih baik.
Pada intinya pemerintah memang harus menerima segala aspirasi warga negara sebagai bentuk peng-aplikasian negara demokrasi tetapi juga sebagai mahasiswa kita tidak boleh sembarangan dalam menyampaikan aspirasi, perhatikan etika karena mahasiswa yang dilihat adalah etika nya se pintar-pintar mahasiswa jika tidak punya etika sama saja. Mahasiswa juga jangan hanya pintar ber-aspirasi tanpa prestasi, prestasi mahasiswa jelas dibutuhkan sebagai bentuk kerjasama demi kemajuan negara. Pesan dari saya sebagai penulis tetap sama seperti apa yang pernah saya tulis, “kami tidak ingin bersuudzon kepada pemerintah, tapi buktikan dengan berkurang nya pemberitaan negatif dari pemerintah agar kami tidak suudzon, karena negara ini negara yang punya banyak potensi untuk maju. Jangan hanya pemberitaan korupsi sekian miliar, kemiskinan, dll tapi juga jangan ditutupi karena akan menggerogoti. Kami ingin mendengar berita positif bukan semata-mata untuk kami yang beraspirasi melainkan untuk jutaan penduduk negeri tercinta ini agar kami juga tidak mudah suudzon pada pemerintah”
Semoga bisa menginspirasi, terimakasih telah membaca, yang perlu kita lakukan adalah menghargai pendapat orang lain agar hidup lebih bahagia.
8 notes
·
View notes
Text
0 notes
Text
Catatan Kontras: TNI Berambisi Kembalikan Dwi Fungsi ABRI, yakni Militer yang Sibuk Berpolitik
Rini Ivanka Catatan Kontras: TNI Berambisi Kembalikan Dwi Fungsi ABRI, yakni Militer yang Sibuk Berpolitik Artikel Baru Nih Artikel Tentang Catatan Kontras: TNI Berambisi Kembalikan Dwi Fungsi ABRI, yakni Militer yang Sibuk Berpolitik Pencarian Artikel Tentang Berita Catatan Kontras: TNI Berambisi Kembalikan Dwi Fungsi ABRI, yakni Militer yang Sibuk Berpolitik Silahkan Cari Dalam Database Kami, Pada Kolom Pencarian Tersedia. Jika Tidak Menemukan Apa Yang Anda Cari, Kemungkinan Artikel Sudah Tidak Dalam Database Kami. Judul Informasi Artikel : Catatan Kontras: TNI Berambisi Kembalikan Dwi Fungsi ABRI, yakni Militer yang Sibuk Berpolitik Menjelang HUT ke-72 TNI, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) merilis laporan terkait http://www.unikbaca.com
#Rini Ivanka Catatan Kontras: TNI Berambisi Kembalikan Dwi Fungsi ABRI#yakni Militer yang Sibuk Berp
0 notes
Text
2019 : Kemunduran Demokrasi Indonesia
Memulai tulisan ini dengan sebuah buku, karya dari Nicollo Machiavelli : “Il Principe”. Buku “Il Principe” merupakan pedoman yang diberikan Machiavelli untuk Lorenzo dalam mengelola negara atau kerajaan di italia, khususnya di Florence. Salah satu yang menarik dalam pembahasan Machiavelli adalah “mana yang lebih baik; ditakuti atau dicintai?”. Memiliki arti bahwa ketika pemimpin itu dicintai maka sifatnya akan sementara saja, akan tetapi jika pemimpin itu ditakuti maka sifatnya akan kekal dan selamanya. Dijelaskan secara tersirat bahwa pemimpin yang memberikan ketakutanlah yang mampu melanggengkan kuasanya.
Satu lagi yang menarik, dituliskan dalam buku tersebut, “…membunuh sahabat seperjuangan, menghianati teman-teman sendiri, tidak memiliki iman, tidak memiliki rasa kasihan dan tidak memiliki agama: kesemua hal ini tidak dapat digolongkan sebagai tindakan yang bermoral, namun dapat memberikan kekuatan…”. Hal tersebut menggambarkan bahwa orang akan terlihat begitu ambisius dan selalu berupaya memperoleh kekuasaan dengan segala cara. Maka dari itu, Machiavelli adalah sinonim dari kelicikan dan kepalsuan. Pesan Machiavelli, siapapun bisa mengambil kekuasaan dengan cara apapun.
Demokrasi Indonesia
Dalam buku “Il Principe”, bentuk negara yang dibahas adalah kerajaan. Setiap proses pergantian kekuasaannya melalui pewarisan kepada anak laki-laki sang raja. Turun-temurun tanpa melibatkan rakyat secara langsung. Buku tersebut menyebutkan bahwa dalam merebut suatu kekuasaan bisa dengan menghabisi seluruh keluarga dan keturunannya. Tentunya hal ini berbeda dengan Indonesia. Indonesia adalah Negara berbentuk kesatuan Republik yang menganut sistem demokrasi. Sejak 21 tahun lalu, kepemimpinan Indonesia dipilih langsung oleh rakyat. Namun setidaknya dari buku “Il Principe” mampu merefleksikan kondisi demokrasi Indonesia saat ini.
Melihat demokrasi Indonesia, sudah 21 tahun setelah reformasi aspirasi rakyat kebanyakan untuk kesetaraan dan kesejahteraan umum masih sulit tercapai. Kenapa? Karena demokrasi kita sekarang adalah implikasi dari reorganisasi kekuatan lama yang berhasil mengambil alih institusi demokrasi. Robison dan Hadiz (2004) serta Winters (2011) menyebutnya dengan “tesis-oligarki” yaitu cara pandang melihat kepentingan anti-demokrasi yang diternakkan oleh rezim Orde Baru berhasil untuk bertahan dan membajak kekuasaan negara dalam momen kritis demokratisasi saat ini. Buahnya dapat ditebak: semenjak negara dikuasai oleh kekuatan anti-demokrasi, maka keluaran politik dari negara demokrasi yang ada dapat memiliki karakter anti-demokrasi. Orang lama yang duduk di pemerintahan saat ini menjadi gambaran demokrasi Indonesia. Para oligarki elit politik, mulai dari para pimpinan partai, penguasa media mainstream, sampai pengusaha, mendapat tempat di lingkaran kekuasaan.
Dikutip dari The Jakarta Post, peneliti politik Edward Aspinall dan Marcus Mietzner dari Australian National University, Australia, mengatakan demokrasi Indonesia berada pada titik terendahnya. Penyebabnya adalah di era Jokowi terjadi kemunduran demokrasi terbesar. Banyak kebijakan pemerintah yang represif. Setidaknya yang sedang ramai akhir-akhir ini mengenai keputusan Jokowi untuk mendukung pengesahan revisi UU KPK dan RKUHP yang banyak ditentang oleh rakyat. Meskipun pada akhirnya Jokowi memerintahkan untuk menunda pengesahan RKUHP.
Selain itu, sikap aparat dalam mengamankan aksi demonstrasi di berbagai kota juga diwarnai represifitas. Lima mahasiswa tewas setelah bentrok dengan polisi; puluhan bahkan ratusan mahasiswa ditangkapi; aktivis ditahan; bahkan pemerintah akan memberi sanksi terhadap universitas yang mahasiswanya terlibat demonstrasi.
Sebenarnya sinyal kemunduran demokrasi di era Jokowi sudah muncul jauh-jauh hari sebelum rentetan peristiwa akhir-akhir ini terjadi. Masih segar dalam ingatan sebagai penyumbang pelemahan dan kemunduran demokrasi melalui produk undang-undang. UU No. 2 Tahun 2017 tentang Ormas yang digunakan pemerintah untuk membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia, walau substansial tapi cacat secara prosedural karena mengeliminasi proses peradilan. Kemudian, Perpres No. 37 Tahun 2019 tentang Jabatan Fungsional TNI dianggap berbenturan dengan UU dan semangat reformasi. Perpres tersebut dikhawatirkan akan membangkitkan dwi fungsi ABRI yang menjadi perangkat otoritarianisme, memfasilitasi pelanggaran HAM dan melanggengkan kekuasaan.
Pada 2019 tuduhan makar menjadi senjata pemerintah dalam memberangus lawan politiknya. Terjadi pada advokat Eggi Sudjana dan pensiunan jenderal Kivlan Zen. Selain tuduhan makar, di era Jokowi banyak terjadi penangkapan terhadap aktivis. Seperti Veronika Koman karena tuduhan provokasi insiden asrama mahasiswa Papua di Surabaya; lalu Dandhy Laksono atas konten tentang Papua yang dia unggah dalam akun Twitter miliknya. Ananda Badudu juga sempat ditahan karena mendukung demonstrasi dan para mahasiswa yang turun ke jalan menyampaikan aspirasinya.
Status Demokrasi
Tidak berlebihan jika status demokrasi Indonesia saat ini menurun. Dilansir oleh The Economist Intellegence Unit demokrasi di Indonesia mengalami penurunan sebesar 0,58 poin dari tahun 2016 menjadi 6,39 pada tahun 2017 dan 2018 dalam Indeks demokrasi. Indonesia termasuk dalam kategori demokrasi tidak sempurna. Hal tersebut memiliki arti bahwa Indonesia menyelenggarakan pemilihan umum yang relatif bebas dan adil dan menghormati kebebasan sipil dasar, namun memiliki beberapa persoalan seperti pelanggaran kebebasan media serta persoalan tata kelola pemerintahan.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistika (BPS) di tahun 2019 Indonesia juga mengalami penurunan pada indeks aspek kebebasan sipil sebesar 0,29 poin, dan pada aspek hak-hak politik turun sebesar 0,84 poin dibandingkan tahun 2017.
Klaten, 8 Januari 2020
————————————
#RabuBaru adalah tulisan-tulisan yang diikhtiarkan akan diunggah setiap hari Rabu pada setiap minggunya Semoga bermakna dan menjadi makna. Nyalakan dan bakar! Selamat menikmati!
0 notes
Text
TNI Masuk Lembaga Sipil, Begini Tanggapan Legislator Sulsel Ashabul Kahfi - Gosulsel
MAKASSAR, GOSULSEL.COM - Wacana kembalinya Dwi Fungsi Abri terus menjadi perbincangan hingga daerah-daerah. Hal ini menyusul rencana pemerintah untuk melakukan rekruitmen TNI aktif kedalam lembaga sipil setingkat Kementerian. Wakil Ketua DPRD Sulsel, Ashabul Kahfi yang dimintai tanggapannya...
https://gosulsel.com/2019/02/27/tni-masuk-lembaga-sipil-begini-tanggapan-legislator-sulsel-ashabul-kahfi/
#AshabulKafi #HEADLINE #IsuDwiFungsiABRI
0 notes
Photo
Monumen Kemanunggalan, Sinergi Rakyat dan TNI Wujudkan Kemerdekaan
MALANGTODAY.NET – Mengenal sejarah perjuangan bangsa tidak hanya melalui buku sejarah. Keberadaan patung dan monumen bukanlah hanya pajangan saja, sesekali waktu perlu melihat dari dekat untuk mengetahui mengapa patung atau monumen itu harus ada. Patung atau monumen yang ada bukanlah sebuah karya seni belaka. Di sana menggambarkan makna yang begitu mendalam walau dalam kebisuan. Para pejuang itu telah gugur, banyak yang berposisi sebagai pahlawan tidak dikenal dengan berbagai latar belakang. Baca Juga: Bukti Penghormatan Kota Malang kepada Sang Jenderal Melalui berbagai sumber yang MalangTODAY himpun, sejarah menyatakan bahwa para perjuangan antara tentara Indonesia dan rakyat tidak bisa terpisah begitu saja. Dalam masa revolusi kemerdekaan, para pejuang berwujud tentara yang mencoba berposisi layaknya tentara modern dalam sebuah negara yang dalam hal ini Indonesia yang merdeka. Hal tersebut kemudian dikenang dalam sebuah monumen bernama Kemanunggalan TNI dan Rakyat. Kemanunggalan sendiri dalam KBBI diartikan sebagai hal (keadaan) manunggal; kepaduan. Sering terlihat, namun jarang masyarakat yang mengetahui tentang latar belakang monumen tersebut. Padahal begitu dalam makna yang terkait pada maksud dari wujud monumen tersebut. Seperti yang dikonfirmasi oleh Sejarahwan dan Arkeolog yang berprofesi sebagai Dosen Ilmu Sejarah Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono. Ia mengatakan, gambaran dari bersatunya tentara dan rakyat dalam mempertahankan kemerdekaan begitu kentara dalam monumen patung kemanunggalan TNI (sebelumnya ABRI) dan rakyat. Monumen tersebut juga menggambarkan kesetiakawanan sosial. Dimana semua lapisan bahu-membahu saling memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tanpa melihat status atau tingkatan sosial individu tersebut. Baca Juga: Patung Hamid Roesdi, Simbol Kecerdasan Pahlawan Gerilya Malang “Patung kesetiakawanan sosial menggambarkan kemanunggalan ABRI dengan rakyat.” ajar Amri Meskipun tidak berkaitan dengan sejarah kemerdekaan, Monumen Kemanunggalan TNI dan Rakyat erat kaitannya dengan sejarah militer. Fisik dari monumen yang terletak di luar area Lapangan Rampal tersebut menyatukan empat elemen antara lain Pelajar, Pemuka Agama, Tentara, dan Petani. “Tidak terkait dengan perjuangan kemerdekaan tapi berkaitan dengan sejarah militer. Karena kan dwi fungsi ABRI pernah bergulir.” tuturnya
Karet Bungkus : Umul Lativah Reporter : Rahmat Mashudi Prayoga Penulis : Ilham Musyaffa Editor : Raka Iskandar Ilustrator : Nanda Tri Pamungkas
Source : https://malangtoday.net/bungkus/monumen-kemanunggalan-sinergi-rakyat-dan-tni/
MalangTODAY
0 notes
Text
Jika Perwira Aktif Polri Jadi Penjabat Gubernur, Mendagri dan Kapolri Bisa Dituding Mengangkangi UU
Adel Zahara Jika Perwira Aktif Polri Jadi Penjabat Gubernur, Mendagri dan Kapolri Bisa Dituding Mengangkangi UU Artikel Baru Nih Artikel Tentang Jika Perwira Aktif Polri Jadi Penjabat Gubernur, Mendagri dan Kapolri Bisa Dituding Mengangkangi UU Pencarian Artikel Tentang Berita Jika Perwira Aktif Polri Jadi Penjabat Gubernur, Mendagri dan Kapolri Bisa Dituding Mengangkangi UU Silahkan Cari Dalam Database Kami, Pada Kolom Pencarian Tersedia. Jika Tidak Menemukan Apa Yang Anda Cari, Kemungkinan Artikel Sudah Tidak Dalam Database Kami. Judul Informasi Artikel : Jika Perwira Aktif Polri Jadi Penjabat Gubernur, Mendagri dan Kapolri Bisa Dituding Mengangkangi UU Kalau dipaksakan, menurutnya, ini sama saja dengan menghidupkan kembali dwi-fungsi ABRI dalam format baru. http://www.unikbaca.com
#Adel Zahara Jika Perwira Aktif Polri Jadi Penjabat Gubernur#Mendagri dan Kapolri Bisa Dituding Meng
0 notes
Text
Jika Perwira Aktif Polri Jadi Penjabat Gubernur, Mendagri dan Kapolri Bisa Dituding Mengangkangi UU
Bella Nurmae Jika Perwira Aktif Polri Jadi Penjabat Gubernur, Mendagri dan Kapolri Bisa Dituding Mengangkangi UU Artikel Baru Nih Artikel Tentang Jika Perwira Aktif Polri Jadi Penjabat Gubernur, Mendagri dan Kapolri Bisa Dituding Mengangkangi UU Pencarian Artikel Tentang Berita Jika Perwira Aktif Polri Jadi Penjabat Gubernur, Mendagri dan Kapolri Bisa Dituding Mengangkangi UU Silahkan Cari Dalam Database Kami, Pada Kolom Pencarian Tersedia. Jika Tidak Menemukan Apa Yang Anda Cari, Kemungkinan Artikel Sudah Tidak Dalam Database Kami. Judul Informasi Artikel : Jika Perwira Aktif Polri Jadi Penjabat Gubernur, Mendagri dan Kapolri Bisa Dituding Mengangkangi UU Kalau dipaksakan, menurutnya, ini sama saja dengan menghidupkan kembali dwi-fungsi ABRI dalam format baru. http://www.unikbaca.com
#Bella Nurmae Jika Perwira Aktif Polri Jadi Penjabat Gubernur#Mendagri dan Kapolri Bisa Dituding Men
0 notes
Text
Menggugat Militerisme Dalam Sepak Bola Indonesia
Militer dan sepak bola Indonesia bak dua sisi mata uang. Mereka tidak terpisahkan sejak awal berdirinya asosiasi sepak bola pertama dan satu-satunya di Indonesia (PSSI). Dari 16 nama yang pernah menjabat Ketua Umum PSSI, sembilan diantaranya berasal dari kalangan militer. Bahkan PSSI sendiri didirikan oleh ‘orang barak’ yakni letnan kolonel Ir. Soeratin yang pernah terlibat dalam perjuangan kemerdekaan di awal revolusi.
Selepas kepemimpinan Soeratin pada 1940, PSSI butuh selang waktu sepuluh tahun agar militer dapat kembali ke pucuk pimpinan. Sejak saat itu, praktis militer tak pernah absen dalam kepengurusan sepak bola Indonesia. Bahkan militer mencatatkan rekor quin-trick (lima kali berturut-turut) dalam sejarah Ketua Umum PSSI.
Nama-nama itu antara lain: Ali Sadikin, letnan jenderal Korps Komando Angkatan Laut, Sjarnoebi Said pernah menjabat Deputi Panglima Teritorium II/Sriwijaya, Kardono, jenderal bintang tiga TNI Angkatan Udara, Azwar Anas dengan pangkat terakhir letnan jenderal, dan Agum Gumelar lulusan Akademi Militer Nasional Magelang berpangkat jenderal TNI.
Setelah Agum mangkat pada 2003, para politisi yang punya hobi sepak bola mulai berani menggoyang posisi militer di tubuh PSSI. Nurdin Halid dan Djohar Arifin adalah nama-nama yang meredam gairah tentara. Setidaknya untuk sementara, karena toh ‘orang barak’ kembali memimpin PSSI.
November 2016 lalu nama Edy Rahmayadi didaulat sebagai Ketua Umum PSSI yang baru. Mantan Panglima Komando Cadangan Strategi Angkatan Darat (Pangkostrad) itu terpilih, usai mendulang 76 suara pada Kongres PSSI. Di era kepemimpinan Edy, militer tidak hanya sebagai pengurus tapi juga partisipan dalam industri sepak bola Indonesia. Keikutsertaan PS TNI mendapat respon negatif dari masyarakat luas. Selain karena tidak lazim, kehadiran PS TNI juga melanggar aturan undang-undang.
Pada konsiderans Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, disebutkan bahwa TNI sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia, bertugas melaksanakan kebijakan pertahanan negara untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah, dan melindungi keselamatan bangsa, menjalankan operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang, serta ikut secara aktif dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional dan internasional.
Hal itu diperkuat oleh Pasal 5 UU TNI yang menyatakan bahwa TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara.
Dari untaian kata-kata di atas, tidak ada satu pun yang menyatakan tentara melaksanakan kebijakan di bidang olahraga. Dengan kata lain, posisi Ketua Umum PSSI saat ini berada pada zona abu-abu. Antara boleh dan tidak boleh.
Perlu diketahui, saat terpilih melalui Kongres PSSI, Edy masih berstatus tentara aktif dengan pangkat letnan jenderal dan jabatan Panglima Kostrad. Meski sekarang statusnya sudah bukan lagi tentara, namun dikarenakan ia tengah bertarung dalam pemilihan Gubernur, bukan karena terpilih sebagai Ketum PSSI.
Adanya orang militer di jabatan strategis bukanlah hal baru di Indonesia. Pada masa orde baru, militer sangat jamak dijumpai di pucuk-pucuk pimpinan lembaga baik regional maupun nasional. Pada pemerintahan Soeharto, militer mengadopsi paham Dwi Fungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), yang mana intinya paham tersebut memberi kewenangan kepada militer untuk terlibat berpolitik mengurusi urusan masyarakat sipil.
Paham Dwi Fungsi ABRI ini awalnya dimaksudkan agar menjadikan militer sebagai dinamisator dan juga stabilisator negara. Namun dalam perkembangannya, sistem Dwi Fungsi ABRI berkembang menjadi sistem kediktatoran. Sistem ini menjadi alat pelanggeng kekuasaan Soeharto. Siapa saja yang menentang Soeharto akan disingkirkan dengan cara apapun. Dengan nafas yang sama juga, Soeharto menempatkan orang-orang kepercayaannya pada posisi strategis.
Sistem itu pun ditentang oleh para aktivis hak asasi manusia dan segenap masyarakat sipil. Puncaknya pada Mei 1998 yang ditandai dengan lahirnya reformasi. Adapun penghapusan dwi fungsi ABRI, menjadi salah satu poin di dalam amanat reformasi. Dengan adanya amanat reformasi, maka TNI sudah dikembalikan lagi ke barak. Hal ini mengakibatkan Tentara Nasional Indonesia yang masih aktif tak dapat lagi dikaryakan (ditugaskan) untuk menduduki posisi dalam pemerintahan sipil (termasuk PSSI).
Nyaris 20 tahun pasca tumbangnya orde baru sekaligus lahirnya reformasi, militer masih dapat kita jumpai di jabatan-jabatan strategis dewasa ini. Contoh konkret adalah keterlibatan Edy di PSSI. Tidak hanya mencampuri urusan masyarakat sipil, Edy juga berusaha menyatukan unsur militer dengan unsur sipil dalam postur persepakbolaan tanah air.
Kehadiran PS TNI patut dicurigai sebagai upaya Edy untuk membangkitkan lagi ‘peran’ militer di tengah-tengah masyarakat sipil. Para tentara tidak hanya unjuk kebolehan di lapangan, militer juga unjuk kekuatan di luar lapangan. Contoh kasus yakni saat PSMS Medan jumpa Persita Tangerang di turnamen Liga 2. Komplotan lelaki berseragam yang diduga oknum TNI, terlibat baku hantam dengan pendukung Persita yang mayoritas masyarakat sipil. Hasilnya? jatuh korban bernama Banu Rusman, pendukung Persita. Ia meregang nyawa setelah mendapat serangan brutal oleh para pendukung PSMS yang mayoritas berasal dari kalangan militer.
Kehadiran klub PS TNI secara hukum juga tidak jelas keabsahannya. Hal itu mengingat klub seyogyanya dibentuk sebagai entitas bisnis, namun Pasal 39 UU TNI jelas-jelas melarang prajurit TNI terlibat dalam kegiatan bisnis. Para tentara yang terhormat harusnya paham bahwa sepak bola bukan sekadar sebelas lawan sebelas. Sepak bola merupakan industri menggiurkan. Disitu ada hak siar, perjanjian dengan sponsor, kontrak manajer dan pemain, pendapatan dari tiket penonton, dan tindakan-tindakan bisnis lainnya.
PSSI memang berutang budi pada tokoh militer, namun bukan berarti lembaga ini harus diisi oleh mereka-mereka yang sejatinya bertugas menjaga kedaulatan NKRI. Sebagai negara hukum, sudah sepatutnya hukum dijunjung tinggi. Sebagai pelaksana amanat reformasi, sudah semestinya butir demi butir tuntutan reformasi dijalankan secara konsisten. Jadi tidak ada alasan untuk tidak menggugat militerisme di tubuh PSSI. Alasannya jelas: militer melanggar UU TNI serta melukai amanat reformasi.
0 notes
Text
0 notes
Text
Soal Rohingya, Sebaiknya Demo Keluarga Cendana - Ini Alasannya - FROM SUARASOSMED
SUARASOSMED - Darah kembali tumpah di Myanmar. Ratusan warga minoritas Rohingya dibunuh, anak-anak mereka disembelih, para perempuannya diperkosa. Kemarahan, protes, petisi, dan seruan agar komunitas internasional menekan otoritas Myanmar menghentikan kekejaman di provinsi Rakhine, rumah bagi 800 ribu orang Rohingya. Kemudian muncul opini-opini di media yang mendesak panitia Nobel di Swedia mencabut penghargaan yang telah mereka berikan kepada Aung San Suu Kyi pada 1990. Suu Kyi bungkam di tengah barbarisme yang sedang berlangsung. Kepala pemerintahan Myanmar itu kini menghadapi tekanan dari gerombolan ekstremis Buddhis serta militer (yang menguasai 25 persen parlemen Myanmar). Di tengah reaksi atas kelakuan tentara Myanmar dan bungkamnya Suu Kyi, dengan heroiknya Front Pembela Islam (FPI) mengambil mengambil komando solidaritas untuk Rohingya. Apa bentuk konkretnya? Imbauan aksi ke Candi Borobudur, Jumat, 8 September 2017. Oh iya, ngomong-ngomong, dalam sebuah aksi solidaritas Rohingya pada 2012, FPI pernah melempari Vihara Xian Ma. Rasanya tak cukup mengatakan bahwa ada sebagian orang yang jarak antara kepala dan lubang duburnya terlampau dekat sampai-sampai sulit menjernihkan perbedaan antar rakyat Myanmar, pemerintah Myanmar, militer Myanmar, ekstremis Buddha (yang sebelas dua belas dengan FPI), penganut Buddha di Myanmar, dan penganut Buddha di Indonesia. Tolong beritahu saya, apa bedanya FPI dengan gerombolan rasis kulit putih di Eropa yang menyasar imigran muslim dengan keyakinan penuh bahwa muslim di seluruh dunia bertanggungjawab atas segala hal yang dilakukan Bin Laden? Tapi sepertinya FPI punya pertimbangan logis untuk mengagamakan derita warga Rohingya, sebagaimana mereka mengagamakan perang sipil di Suriah dan jualan isu Palestina. Bukankah hanya dengan itu mereka bisa tetap eksis? Kembali ke Rohingya. Provinsi Rakhine (atau Arakan) adalah satu dari sekian medan konflik bersenjata di Myanmar. Myanmar adalah negeri multi-etnis dan sampai hari ini tak pernah berhasil membentuk identitas kolektif sebagai bangsa—belum lagi soal-soal perampasan sumber daya alam. Satu contoh kecil: pemerintahan junta militer Myanmar selama bertahun-tahun melarang penggunaaan bahasa daerah dalam penyelenggaraan pendidikan di sejumlah provinsi yang bergolak. Di sebelah utara negeri, kelompok Kachin Independent Army meluncurkan gerilya sejak 1960an untuk memerdekakan provinsi Kachin (yang mayoritas Kristen) dari Myanmar karena pemerintah mengistimewakan etnis Bamar yang beragama Buddha. Provinsi Kayah (mayoritas Buddha) yang terletak di perbatasan Thailand, terkenal dengan timah, kayu jati, serta milisi yang bergerak lantaran korupsi otoritas lokal, eksploitasi sumber daya alam gila-gilaan, serta perbudakan manusia yang dilakukan oleh militer. Milisi Karen di Provinsi Kayin (mayoritas Buddha), sejak akhir 1940an terus melawan pemerintah pusat lantaran tak mau diklaim sebagai bagian dari Myanmar. Selama berabad-abad, komunitas muslim di Rakhine hidup damai dengan penganut Buddha. Gesekan baru terjadi pada Perang Dunia II, penganut Buddha mendukung okupasi Jepang, muslim mendukung Inggris yang telah menjajah Myanmar sejak 1886. Ketika junta militer berkuasa pada 1962, Rohingya tiba-tiba tidak dianggap warganegara. Pada 1978, dengan dalih memberantas pemberontak, junta militer meluncurkan Operasi Naga di wilayah Rakhine dan secara efektif mengusir ratusan ribu orang Rohingya ke Bangladesh. Empat tahun setelahnya, UU Kewarganegaraan Myanmar mengumumkan Rohingya tidak masuk dalam 135 etnis nasional Myanmar. Hasilnya, 800 ribu orang Rohingya tiba-tiba berstatus tanpa kewarganegaraan (stateless). Apa hubungannya dengan FPI? Barangkali FPI harus diingatkan bahwa setidaknya sudah dua kali dalam tahun ini mereka tampil di publik bersama Tommy Soeharto. Yang pertama saat masa kampanye pilkada terpanas di Jakarta pada Maret 2017. Kedua, Juli lalu, Tommy hadir di milad ke-19 FPI dan duduk di antara para petingginya. Ditambah lagi kontribusi besar FPI di Haul Soeharto pada 11 Maret lalu. FPI dan Cendana tak pernah kelihatan semesra itu sebelumnya. Apa hubungannya Cendana dengan bantai-bantaian di Myanmar? Pada 1978, ketika Operasi Naga berlangsung di Rakhine, Soeharto telah menjabat presiden selama 10 tahun. Pada 1982, saat orang Rohingya dinyatakan “bukan bagian dari Myanmar”, Golkar kembali “memenangkan” pemilu dan Soeharto lagi-lagi menjabat presiden. Kelihatannya Cendana, ABRI, dan Harto punya kapasitas untuk menghentikan kekejaman di Myanmar bukan? Jauh sebelum Operasi Naga digelar, Soeharto telah melawat ke Myanmar pada 1974. Untuk bela Rohingya? Oh, tentu tidak. Pada 13 Desember 1993, Kompas merekam lawatan Jenderal U Ohn Gyaw ke Jakarta. Menlu Ali Alatas, dalam konferensi pers, menyatakan bahwa “Myanmar ingin belajar dari Indonesia cara-cara melembagakan sistem dwi fungsi angkatan bersenjatanya dalam konstitusi.” Alatas juga membicarakan rencana pemantapan kerjasama ekonomi Myanmar-Indonesia dan bahwa para pengusaha swasta Indonesia telah beberapa kali datang ke Myanmar untuk mencari peluang usaha di sana. [ads-post] Ini dilakukan ketika banyak negara (termasuk AS, Uni Eropa, Australia, dan Jepang) menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Myanmar akibat pembantaian demonstran pada 1989 oleh junta militer. Pada 1997, Ilmuwan politik George Aditjondro melaporkan hubungan kerjasama ekonomi yang masif antara keluarga Cendana dan junta militer Myanmar. Menurut laporan George, pada tahun itu Tommy menguasai 55% saham PT Bina Reksa Perdana, perusahaan pengekspor bahan peledak untuk penambangan minyak di Myanmar. Tak hanya itu, pada akhir dekade 1980an, Tommy membeli Sempati Air yang membuka penerbangan langsung Jakarta-Yangon sejak 1991. PT Rante Mario, salah satu dari banyak perusahaan di bawah grup Humpuss milik Tommy, adalah perusahaan pertama keluarga Soeharto yang menanam modal di Myanmar. Tommy hanya satu dari anggota keluarga Cendana yang berbisnis dengan junta militer Myanmar. Menurut laporan yang sama, perusahaan Bambang Trihatmodjo, PT Elektrindo Nusantara, pada 1997 telah membangun jejaring telepon untuk 256 pelanggan di Yangon, ibukota Myanmar. Setahun sebelumnya, Hashim Djojohadikusumo (adik Prabowo, mitra loyal FPI dan bekas mantu Soeharto) meneken nota kesepahaman dengan perusahaan negara Myanmar, Union of Myanmar Economic Holding Limited, untuk membangun pabrik semen dengan volume produksi 1 juta ton per tahun. George menuturkan, Grup Tirtamas milik Hashim memegang 70% saham bisnis patungan senilai 210 juta dolar AS ini. Pada 1997, setahun sebelum Reformasi, Soeharto melawat ke Myanmar dan menemui kepala junta militer, Jenderal Than Swee, untuk meneken kerjasama perusahaan negara Myanmar dan bisnis klan Cendana. Jangan lupa, soal militerisme, Myanmar belajar banyak dari Indonesia. Pertama-tama, dari cara mempertahankan kekuasaan militer di politik melalui praktik mirip Dwifungsi ABRI: hari ini, dua puluh lima persen kursi di parlemen Myanmar jadi jatah militer, sebagaimana dulu pada 1980-1980 ABRI mendapat 100 kursi di DPR. Dan yang kedua, bukankah kekejaman terhadap penduduk sipil di Kachin, Kayah, dan Rakhine, operasi-operasi kontrainsurgensi Myanmar yang merenggut nyawa korban sipil tak beda dengan operasi-operasi militer Indonesia di Aceh dan Papua? Jika aksi FPI mau dianggap sebagai “solidaritas sesama muslim” alih-alih omong kosong, FPI baiknya menggeruduk kediaman klan Cendana ketimbang “memutihkan” Borobudur. Karena sesungguhnya memisahkan militer Myanmar dengan Soeharto sesulit memisahkan kentut dan tai. Berita Atau Informasi Diatas Sudah Terlebih Dahulu Tampil Dan Ditayangkan Di Halaman Berikut Sumber Berita : MOJOK Judul Asli :
Terima Kasih Telah Menggunakan Dan Menyebarkan Kembali Berita Dari suarasosmed-Media Informasi Terkini Yang Senantiasa Dan Selalu Terbuka Untuk Umum - Bookmark Wartabali.net Dan Dukung Terus Perkembangan Kami - Wartabali-Media Informasi Kita
from Media Informasi Kita http://www.suarasosmed.com/2017/09/soal-rohingya-sebaiknya-demo-keluarga.html
0 notes
Photo
Seni yang radikal tidak selamanya berseberangan dengan kubu serdadu. Di bawah naungan madzhab metal paling kiwari, dan atas nama darah juang NKRI, wirox x serigala membuka sebuah lokakarya yang paling tidak lazim di Agustus ini. Tepat di jantung militer yang sarat ingatan akan dwi fungsi ABRI puluhan tahun silam, yaitu di markas Kodim. Sekali lagi, tepuk tangan segan buat kawan kawan #paperu di Helatan FKY 29 yang masyook akal ini. @arsita_pinandita @wirosatan @besich_ @kanjengtok #umbarmakbyar @butoteror @RepostIt_app
0 notes
Text
Politisi Diminta Tak Tarik TNI ke Panggung Politik
Jakarta (SIB) -Sejarahwan Peter Kasenda mengingatkan agar semua pihak mensyukuri supremasi sipil yang sudah berjalan selama 19 tahun. Hal itu antara lain dapat ditempuh oleh para politisi sipil untuk tidak cengeng dan gampang menarik-narik TNI ke wilayah politik. Menurut dia menarik kembali TNI ke kancah politik apapun alasannya sama saja dengan mengkhianati amanat reformasi. Sebab dua agenda utama dari reformasi selain menghapus Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) adalah menghapus Dwi Fungsi ABRI atau TNI. "Di era Orde Baru, dengan dalih dwi fungsi peran politik ABRI begitu merajalela. Mereka menguasai birokrasi dengan mengisi sejumlah pos kementerian, menjadi gubernur dan bupati, serta menjadi direksi di sejumlah BUMN," papar Peter, Minggu (21/5). Peter menambahkan, hal yang harus dilakukan pemerintah, DPR, dan partai politik terkait TNI adalah bagaimana menjaga mereka agar terus tumbuh dan berkembang menjadi tentara professional yang disegani negara-negara tetangga. Untuk itu, selain kesejahteraan para prajuritnya harus ditingkatkan, perlatan tempurnya pun harus terus dimodernisasi. "Di era Sukarno, TNI kita termasuk yang terkuat tak cuma di Asia Tenggara tapi juga Asia. Kalau sekarang, kita tahu lah seperti apa," kata Peter yang pernah menulis buku "Hari-hari Terakhir Sukarno". Kesejahteraan para prajurit, juga seyogyanya PNS, dapat membaik bila praktek korupsi yang merupakan amanat reformasi dapat terus ditekan. "Mengembalikan kekuatan politik TNI dan membiarkan praktek korupsi merajalela sesungguhnya mengkhianati reformasi," ujarnya. (detikcom/d) http://dlvr.it/PCMfMJ
0 notes
Text
Hanya lulus SMP, pria ini mampu lawan PKI
Tentara Indonesia merupakan prajurit yang di segani dan juga di takuti oleh pasukan perang negara lain terutama para pasukan Partai Komunis Indonesia (PKI). Sunoto (61) salah seorang tentara lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang mengawali karirnya menjadi seorang prajurit Tamtama pada tahun 1977 yang pada saat itu berumur (20) dan mulai melakukan pendidikan selama 5 tahun untuk bisa memerangi para pasukan PKI yang saat itu ingin menguasai Indonesia. Lalu, pada tahun 1980, Sunoto ditugaskan menjadi Satuan Tugas Trisula di Timor-Timor selama 6 bulan untuk melawan pasukan PKI dalam melindungi mayarakat yang tidak ingin menjadi anggota PKI di Timor-Timor. "Awal masuk tentara karena putus sekolah ga ada biaya, masuk tentara Karena enggak niat," kata Sunoto di kediamannya di komplek Marinir, Depok, Jawa Barat, Sabtu (15/4). Menurut dirinya, menjadi seorang Satgas Trisula selama 6 bulan karena efektifnya seorang prajurit perang itu menjalani tugas atau latihan selama 6 bulan dan kalau 1 tahun tidak mampu disana bisa menyebabkan stress sehingga prajurit hanya di batasi selama 6 bulan saja. Lebih lanjut, dirinya pun bercerita bahwa keadaan disana (Timor-Timor) perang melawan PKI untuk melindung masyarakat dari gangguan PKI dan menjaga ke amanan di Timor-Timor. "Berangkat 1 Batalion dibagi pertim satu tim 30 orang untuk menghadapi Gerilya-gerilya PKI," ujarnya. Disana Tentara (Marinir) sangat disegani karena perilakunya yang baik terhadap masyarakat karena sungguh-sungguh untuk melindungi masyarakat yang benar-benar butuh lindungan karena untuk makan pun susah. Masuk di pasukan elite, lanjut Sunoto Frettilin segan dengan Tentara elite. Karena mereka mencari Tentara-tentara yang lemah. Selama 6 bulan pakaian sampai hancur makan pun sedapatnya, karena seminggu itu tidak dapat kiriman makanan. "Hidup di hutan-hutan di ketinggian-ketinggian, makan seadayanya yang ada di sana seperti singkong, mangga, jeruk, rusa liar, sapi liar dan makanan yang lain," tuturnya. "Selama 6 bulan melakukan pembersihan di daerah Bogia, sektor Timur dan Barat," tambahnya. Setelah berhasil memerangi pasukan PKI di Timor-timor, Sunoto pun kembali lagi ke Cilandak, Jakarta Selatan, untuk melakukan kegiatan Apel, pelatihan fisik dan membersihkan senjata. Pada tahun 1983, Sunoto kembali lagi melakukan tugas yang kali ini bertugas di Keamanan Dalam Negeri (Kamandagri) selama 8 bulan ke Bengkulu, Sumatera Selatan, untuk memerangi PKI kembali yang harus di basmi karena tidak boleh berada di Indonesia. Karena Indonesia adalah negara Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila. "Negara Indonesia enggak bisa di ganti jadi negara Islam karena memang dari pendiri Republik seperti itu. Kerjanya mengamankan dalam negeri kerja sama dengan Koramil, Kodim dan Polri," ucapnya. Pada tahun 1984 gejolak di Timor-Timor, Satgas Teritorial Pembagunan (Satgas Badik) membuat jalan selama 1 tahun. Akan tetapi, belum 1 tahun dibuat, lalu ditarik kembali karena pada saat itu gudang peluru yang berada di Cilandak meledak, karena kelembapan suhu temperatur udara. "Dalam 1 sampai 2 bulan merasa takut dan bulan ke 3 sampai 4 merasa berani, sehingga kecerobohan terlena. Bulan ke 6 mulai setres, karena psikologi seorang prajurit mulai stres," katanya. "Kalau lagi berani, kalau lagi perang tembak menembak dia atas ada jeruk atau pisang pun berani untuk mengambilnya terlebih dahulu, baru perang lagi," pungkasnya. Saat ini pun Sunoto sudah tidak bekerja lagi akibat pensiun muda pada tahun 2000 yang saat itu baru berumur (42) yang pada saat itu dwi fungsi ABRI dicabut dan lebih memilih untuk menjadi seorang security di Bandara Internasional Soekarno Hatta. "Jabatan terakhir bapak tuh menjadi Sersan Kepala (SERKA)," tutupnya.
0 notes
Text
HMI Maros Ancam Aksi Besar-besaran Jika Dwi Fungsi ABRI Diterapkan - Gosulsel
MAROS,GOSULSEL.COM - Issue akan kembalinya Dwi Fungsi ABRI mendapat penolakan dimana-mana, bahkan di Kabupaten Maros akan disiapkan aksi demonstrasi besar-besaran jika pemerintah mengambil langkah tersebut. Salah satu lembaga kemahasiswaan yakni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Butta...
https://gosulsel.com/2019/02/26/hmi-maros-ancam-aksi-besar-besaran-jika-dwi-fungsi-abri-diterapkan/
#HMICabangButtaSalewangang #IsuDwiFungsiABRI
0 notes