Tumgik
#Di Bangku Taman
kaktus-tajam · 6 months
Text
Tentang Perpustakaan
Ketika aku studi di Cina aku kaget karena perpustakaan harus tutup di malam hari
Loh kenapa?
Karena kalau buka 24 jam, dijamin orang-orang tidur semua di perpus untuk belajar
Ujar temanku yang kuliah kedokteran di Cina.
Ia melanjutkan,
Bahkan di akhir pekan, antrian masuk ke perpustakaan itu sampai ke jalanan
Aku kagum akan budaya semangat belajarnya. Dulu ketika aku di bangku SD (yang menggunakan kurikulum Singapur) pun demikian, perpustakaan harus ditutup di jam istirahat makan siang. Kenapa?
Bukan karena petugasnya istirahat, tapi.. agar murid-muridnya bersosialisasi di kantin dan main di playground!
Sebelumnya ketika perpustakaan tetap buka, ternyata banyak murid yang “ansos” karena memilih membaca di perpustakaan. Hal itu mengkhawatirkan para guru, akhirnya ditutuplah library sepetak kami itu.. saat jam recess dan lunch.
Perpustakaan kami pun membuat peraturan hanya boleh meminjam 1 buku dalam 1 kali kesempatan, karena jika tidak dibatasi semua murid berebut meminjam 3-4 buku.
SD kami juga punya library week (pekan perpustakaan) dimana para murid bertukar buku, sekolah mengadakan pameran buku-buku impor, menyelenggarakan lomba-lomba literasi, bahkan memberikan awards untuk mereka yang mengisi reading log terbanyak.
Oh ya, tiap term sekolah kami juga diwajibkan membaca dan mengulas satu buku yang sama untuk satu kelas. Lalu biasanya diadakan project terkait buku tersebut entah itu poster, drama, karya tulis. Aku ingat sekali, pertama kali pindah ke SD tersebut di kelas 4, buku pertama yang ditugaskan adalah James and The Giant Peach - Roald Dahl.
Tugas itu membuat aku menangis. Haha, iya karena itu kali pertama harus membaca buku bahasa Inggris di rumah, sendiri. Menangis karena tidak paham isi bukunya! Maklum, dipindahkan dari SD negeri (tanpa modal bahasa Inggris) ke SD swasta itu.
Di term-term berikutnya kami membaca ragam buku: Freckle Juice, A Wrinkle in Time, Narnia, dan lain-lain.
Mengingat masa-masa tersebut selalu membawa kenangan hangat dan penuh syukur karena ditakdirkan guru-guru yang ikhlas dan percaya: Dipercaya (dengan kemampuan alakadarku saat itu) untuk masuk ke kelas EL1 dan bukan ESL, diberikan cap “impressive” di esai pertamaku hingga akhirnya bisa memberikan speech kelulusan SD juga dalam bahasa Inggris.
Dari wasilah perpustakaan kami yang berkarpet biru itu, Allah mengantarkan kami berkeling dunia dalam imajinasi, membuka cakrawala ke pemikiran-pemikiran besar. Allah juga titipkan kecintaan membaca dan kecintaan pada buku.
Walau masih jauuuuh dari obsesi membaca para ulama, yang tidak pernah kenyang menelaah kitab…Tapi semoga Allah hadirkan hikmah dari taman-taman baca, perpustakaan, dan ruang buku itu. Semoga kelak dapat menghadirkan ruang literasi, mewariskan semangat berilmu, dan meneladankan adab terbaik pada buku.
Saat membahas tentang membaca buku, di dalam Shaid Al-Khâti, Ibnul Jauzi berkata menceritakan dirinya,
“Aku tidak pernah kenyang membaca buku. Jika menemukan buku yang belum pernah akulihat, maka seolah-olah aku mendapatkan harta karun.
Aku pernah melihat katalog buku-buku wakaf di madrasah An-Nidhamiyyah yang terdiri dari 6.000 jilid buku. Aku juga melihat katalog buku Abu Hanifah, Al-Humaidi, Abdul Wahhab bin Nashir dan yang terakhir Abu Muhammad bin Khasysyab. Aku pernah membaca semua buku tersebut serta buku lainnya.
Aku pernah membaca 200.000 jilid buku lebih. Sampai sekarang aku masih terus mencari ilmu."
Atau sebagaimana bapak bangsa kita, Buya Hamka dengan kebiasaannya membaca.
Sejak kecil, Hamka sudah keranjingan membaca. Ketika Hamka kecil tahu bahwa gurunya Zaenuddin Labay El Yunusy membuka Bibliotek, yaitu tempat penyewaan buku, maka Hamka selalu menyewanya setiap hari. Setelah membaca Hamka selalu menyalinnya kembali dengan tulisan sendiri. Ketika uangnya habis, Hamka selalu membantu pekerjaan di percetakan, dan imbalan yang dipintanya yaitu diperbolehkan membaca buku.
Termasuk ketika Hamka naik haji dan menetap di Makkah, untuk menyambung hidupnya karena perbekalan sangat terbatas, Hamka bekerja di percetakan kitab. Disana pula Hamka tenggelam dalam lautan ilmu. Ratusan kitab dibacanya. Di tempat itu Hamka antara bekerja dan menuntut ilmu.
Rabbi zidnii ‘ilman..
-h.a.
Ditulis karena baru saja hari ini mengunjungi perpustakaan (lagi) hehe senang alhamdulillah
44 notes · View notes
gndrg · 7 months
Text
Bangku sudut taman kota menjelma pangkuanmu
Lampu yang berpendar di tepi jalan itu
Sama hangatnya, dengan tatap matamu
Desir angin yang berhembus adalah lembut suaramu,
Yang tak pernah alpa membisikkan rindu
Sepeninggalmu, malam selalu menjadi wisata halu favoritku
Tuhan menciptakan kota ini dari "Kamu"
Maka, disetiap pagi buta aku menyelinap
Mencuri kota ini sepotong demi sepotong
Menyembunyikannya dengan aman dari kejaran kenyataan
Agar ia tetap menjadi "Kamu" seutuhnya, dalam dekapanku.
—Surakarta, 20 Februari 2024
13 notes · View notes
iwnst-the-sinner · 11 months
Text
Ya Rabb......Guide me through obstacles within myself and without. I'm so tired.
Di bangku taman, BSD.
3 notes · View notes
lamyaasfaraini · 9 months
Text
Finally, Pure Saturday's Gigs!!
Tumblr media Tumblr media
Alhamdulillah bisa dateng deh ih mumpung deketttt! Masa cuma liat cek soundnya aja tadi pagi sambil lari kureng afdol deh ahhhh. Karena deket mah pergi bertiga weehh.. Venue di paskal mah da kids friendly. Kalopun anak cape dan rewel jg bisa jajan sana sini (just in case dia rewel huft).
Abis magriban lsg kesana, hampir pas mulainya kan jam 19.35 kami dtg 5 sebelumnya dan sudah kuduga pst ngaret sih ya gpp 10 menitan mah. Kami masuk tuh ke area tempat duduk dkt stage. Trus diusiiiirr, anak2 gaboleh masuk hahaha lah iya ya itu sponsornya kan rokok pasti 18+ dan nnti pst bnyk asep rokok duhhh maap2 pak.. Jd kami ke area agak mentok pager disitu mayan aman. Ternyata yg ditahan dan diusir bukan kami aja, maklum angakatan fans PS pasti pasutri gen X atau millenial yg udah punya anak jd sambil ngasuh.. Tp ada sih gen Z jg fans nya kulihat. Yaa gitu anak2 jg jadi banyak, dramanya jg ada. Ngantuk lah bosen lah hahaha. Nemo gmn? Anteng dia duduk diatas pager sama ayahnya, tepuk tangan juga.. 4-5 lagu awal emg anteng lama2 ngantuk laaah nonton PS asa dipepende gustiii.. Beride lah ayahnya ke alfa dulu beliin yupi, dll lah biar cenghar. Balik lg iya bener cenghar tp lama2 pengen digendong jg. Mayan ada kali 10 lagu lebih mah. Sejam lebih gitu. Yg aku hafal bawain lagu, cokelat, pathetic waltz, elora, bangku taman, spoken, pagi, kosong, desire dan msh bnyk lagiii.. Seruuuuu ya Allah happy ih! Cangkeul sedikit, atuda tadi pagi lari 8k disitu jg. Mana belom istirahat yg bener2 gitu. Beberapa org singalong, kebanyakan bapack2 yg singalong nya, itu jg bawa anak dah SD kulihat diblkg ku wkwk.
Bentar selpihh dulu
Tumblr media
Ngga banyak ngerecord jg padahal ya sah sah aja, mana penongton jg ngga padet2 amat. Suasana kondusif bgt nakeuuun pokonya. Cuma 3 video itu jg soundnya jelek dr hp ketang inihhh huft~
Barusan pagi2 nemo blg, "ibu nemo mau nonton musik2 lagi seru banyak lampu2!" hahahaha hayuu nem.. Udah ibu bgt nih nem anak gigsss?
Ganyangka sih dari 2011 nonton PS status single, 2012 2014 masih single, 2016 sama pacarku suamiku, 2023 sama suami dan anak. Masih suka sama Pure Saturday hihi
3 notes · View notes
bungajurang · 9 months
Text
Bertemu kawan baik di Jakarta
Ia menempuh perjalanan selama 40 menit ke tempatku menginap. Ia mengendarai Yamaha Mio yang sama dengan yang ia gunakan di Jogja. Wajah yang familiar. Senyum dan mata yang sama. Terakhir kali kami bertemu di Jogja tahun 2020–tidak lama kemudian pandemi. Lalu kami menjalani hidup masing-masing. Jarang bertukar kabar, hanya sesekali mengomentari unggahan di Instagram Story atau WhatsApp Status, terkadang kami bertukar Reels kucing lucu.
Aku tidak merasa canggung sama sekali, meski sudah (hampir) 4 tahun tidak bertemu. Rasanya seperti hanya tidak ketemu selama beberapa minggu saja. Hal pertama yang ia tanyakan padaku adalah agendaku di Jakarta. Lalu ia menanyakan soal pekerjaan secara singkat. Lalu ia membuka aplikasi Google Maps dan mengetik tujuan kami. Earphone ia pakai di kedua telinganya. Duduk di bangku belakang mengenakan helm yang kacanya sudah kendor, membonceng orang Jakarta yang memiliki mindset naik motor ‘yang penting segera sampai tujuan’, aku sempat bingung mau pegangan apa. Pegangan pinggangnya tidak mungkin karena pasti canggung; akhirnya tiap ia mengerem mendadak aku berpegangan pada behel motornya, dan jaketnya.  
Baru setelah kami sampai di warung makan dan duduk tenang, kami bertukar kabar satu sama lain.
"Gimana kabarmu?" tanyanya.
"Ya begini." jawabku sambil membentuk huruf V di bawah dagu dengan kedua tanganku. "Kami gimana?"
"Ya begini-begini aja." jawabnya. Lalu kami tertawa.
Ia mengajakku makan soto betawi. Ia baru pertama kali ke sini, dan katanya banyak yang bilang soto di sini enak. “Aku mau ngajak kamu makan sesuatu yang nggak bisa kamu temui di Jogja.” katanya. DAN, soto betawinya enak. Banget. Kuahnya kental, rasanya gurih dan pas. Tomatnya enak, kentangnya enak. DAGINGnya enak, lembut dan banyak. Harganya 31 ribu.... belum termasuk nasi. Worth it!
Dari warung makan, kami pergi ke kawasan Blok M. Kami parkir di salah satu penyedia parkir (saat akan pulang, waktu menunjukkan pukul 12.15 WIB, dan Kang Parkir bilang, “10 ribu bang. Udah lewat jam 12 soalnya). Kami jalan kaki memutari taman Blok M. Sayang sekali, lampu di area kolam tidak nyala. Kami jadi tidak bisa melihat kolam. Lalu kami jalan di blok Little Tokyo yang penuh dengan restoran dan kafe bertema Jepang. 
Kami mampir beli rokok–aku beli rokok yang sama dengannya, Esse. Kami berniat nongkrong di tempat duduk warung itu, namun ternyata sudah mau tutup. “Bang, sorry ya dah mau tutup nih. Kursi sama mejanya mau dirantai, biar gak ilang.” kata penjualnya. Bingung juga aku; tadi di area taman kami diusir dua kali karena sudah malam, duduk di salah satu sudut pertokoan tidak nyaman karena kena lampu sorot yang menyilaukan. Akhirnya kami jalan kaki lagi, dan memutuskan duduk di trotoar, sambil mengamati orang-orang. Ia ahli mengamati orang. Mungkin itu kebiasaannya, mungkin itu adalah kebiasaan yang terbentuk selama kuliah antropologi, mungkin itu adalah karakternya.
Kami mengingat-ingat saat akhir tahun 2019 lalu pergi ke Solo. Naik motorku, Yamaha Mio-GT. Kalau diingat lagi, perjalanan waktu itu termasuk sebagai kemewahan, apalagi buat kami yang masih mahasiswa. Uang bensin, lalu makan tengkleng, beli printilan seperti masker dan rokok, lalu malamnya makan bebek goreng di Klaten. Senangnya, kami bergantian membawa motor. Waktu aku gantian di depan, hari sudah sore dan langit berubah menjadi oranye dan ungu. Aku berkali-kali bilang, “Langitnya cantik!” dan ia menimpali dengan, “Iya tahu, berisik!” Lalu kami tertawa. 
“Apa first impression-mu ke aku?” tanyaku. “Cewek pinter.” katanya. “Waw. Kalau aku dulu melihatmu sebagai orang yang brilian; mungkin dari sorot matamu dan caramu ngomong, sih.” kataku.
Tak terasa waktu menunjukkan pukul 12.00 WIB lebih. Lama sekali kami mengobrol; soal kabar, soal pekerjaan, soal isu gerakan lingkungan, soal isu agraria, soal bagaimana ia sangat bangga dengan ruang terbuka dan transportasi publik di Jakarta–Jogja mana punya ruang terbuka kaya gini, ujarnya–meski ia ke mana-mana masih naik motor karena menurutnya lebih ekonomis dan efisien, soal sampah, soal hubungan romansa masing-masing, soal ketakutan akan masa depan, soal betapa pahitnya realita pasca kuliah, soal kabar teman-teman yang kami kenal.
Dalam perjalanan pulang, ia tanya apakah aku menganggapnya sebagai teman. Kujawab dengan sebal, "Ya iyalah. Kalau enggak buat apa aku mau ketemu!" Sambil memukul bahunya. Dia lalu lanjut bertanya, memangnya apa kriteria teman bagimu. Kujawab begini. Yang pasti aku tidak melihat kuantitas seperti frekuensi bertemu, hal-hal material seperti memberi hadiah atau mentraktir, sebagai ukuran pertemanan yang dekat. Aku memandang pertemanan melalui kualitasnya. Meski jarang bertemu atau berinteraksi di dunia maya, aku merasa lebih dekat dengan beberapa temanku karena ketika bertemu, rasanya tidak asing, tidak canggung dan tidak merasa seperti bertemu orang asing. Sementara ada beberapa orang yang sering aku jumpai, atau hanya sesekali juga, namun tiap bertemu aku merasa asing.
“Oooh gitu.” jawabnya. Aku lupa bertanya balik padanya, apakah ia juga menganggapku sebagai teman? Aku menjawab sendiri pertanyaanku dengan asumsi. Ya. Kalau tidak dianggap teman, sepertinya ia tidak akan menempuh hampir 2 jam pergi-pulang untuk menjemputku, mentraktir makan dan mengajak keliling jalan kaki. Ah, ya, jalan kaki–hal yang ia sukai. 
Obrolan yang hangat. Sehat-sehat selalu. Sampai ketemu lagi, Han.
Jakarta, 16-17 Desember 2023
2 notes · View notes
arfatardi · 10 months
Text
Tumblr media
MALAM ITU, DAN MALAM INI (TENTANG AYAH)
Oleh: Arfat Ardi Setiawan
Dahulu, suatu malam saat aku masih kecil, tangan mungilku memeluk erat ayahku dari belakang, Kami mengitari kota dengan motor Supranya, lampu jalan yang redup, jalanan yang masih basah setelah diguyur gerimis, kendaraan yang lalu lalang, sebuah rekaman sudut kota kecilku yang masih melekat di dalam benak.
Potongan kenangan itu hadir kembali dalam bentuk siluet yang lewat satu persatu. Malam itu aku sering memerhatikan dengan penuh takjub lelaki-lelaki lusuh di pinggiran jalan; pejaja koran yang mendekap semua lembaran itu ke dadanya, pemilik toko kelontong yang menatap stoples jajan yang masih penuh, tukang parkir yang bising dengan peluitnya, pedagang sate yang membolak balik arang padahal tidak ada pembeli, pengumpul rongsok yang sampai membungkuk menarik gerobak reyotnya.
Malam itu sesekali aku bertanya, apa yang mereka lakukan? Mengapa harus sampai selarut ini? Apa mereka tidak lelah? Apa mereka tidak ngantuk?.
Seiring bergulirnya waktu sekarang aku sepenuhnya mengerti. Ternyata di balik peluh pejaja koran itu ada beras yang habis, di balik tatapan kosong pemilik toko kelontong itu ada tagihan sekolah anak-anak yang belum terbayarkan, di balik nyaringnya peluit tukang parkir itu ada istri yang sebentar lagi melahirkan, di balik goretan arang pedagang sate itu ada sewa kontrakan yang harus segera disetorkan, dibalik tumpukan rongsok itu ada harapan untuk kehidupan lebih baik bagi anak dan istrinya. Semua kemungkinan itu aku gambar sendiri dalam benak setelah statusku berubah menjadi seorang ayah.
Malam itu aku mengira mereka yang tengah termenung di pinggir jalan, atau sekedar mengasingkan diri di bangku taman, menatap langit sambil sesekali mengusap muka, aku kira mereka tengah menikmati malam, terpesona dengan kerlip bintang dan rembulan. Namun ternyata mereka tengah berdebat dengan pikiran, berdiskusi dengan jiwa yang begitu lelah, tentang satu perkara, yang menjadi alasan semua perjuanganya, ‘bagaimana cara mencukupi kebutuhan anak dan istri serta membahagiakan mereka’, sebuah alasan yang sederhana, namun telah membatu dari masa ke masa.
Memang ayah tidak seperti ibu yang menunggumu di hari-hari pertamamu sekolah, mengintip dari sudut jendela memastikanmu tak menangis di dalam, namun ia yang berkelahi dengan dunia agar sekolahmu tak terputus di tengah jalan. Memang ayah tidak seperti ibu yang meninabobokanmu di waktu malam, namun ia yang selalu menanyakanmu dari jauh dan mendekap kerinduan itu dalam-dalam. Memang ayah tidak seperti ibu yang mengajarkanmu tentang lemah lembut dan kasih sayang, namun ia yang memberimu contoh tentang kerja keras dan tanggung jawab.
Pernah tidak kau meminta sesuatu kepada ayahmu, mungkin sepeda baru seperti milik kawanmu, atau tas baru dengan gambar karakter favoritmu, atau mungkin hanya sekedar mainan baru yang sedang ngetren zaman itu, lalu ayahmu hanya berkata “In sya Allah Nak, doa dulu ya biar dikasih sama Allah”, pernahkah? Ketahuilah saat itu jawaban yang tak kau tau adalah ia tengah tak memiliki uang yang cukup untuk permintaanmu, atau sedang ada kebutuhan yang sangat mendesak untuk didahulukan. Karena ayahmu, selama ia mampu untuk mengukir senyum di bibir mungilmu, atau mampu untuk menghilangkan sedih dari hati polosmu, ia akan pergi membelikanmu mainan yang kau minta walau harus dengan berjalan tanpa alas kaki. Bagaimana dengan keinginannya sendiri? Hah, telah lama ia telan semua itu bulat-bulat. Mengubur lalu melupakannya.
Tahukah kau, saat ayahmu mampu mengabulkan permintaanmu, atau saat menenteng sebuah kejutan kecil untukmu, selama perjalanan pulang, yang ada dalam hati dan pikirannya hanya lukisan senyum dan kebahagiaanmu, percayalah. Letih, peluh, luka, semua terabaikan hanya dengan bayangan senyum dari keceriaanmu.
Kalau ibu diibaratkan seperti rumah yang memberikan kehangatan dan kenyamanan, maka ayah merupakan pondasinya yang menopang semua beban rumah itu. kalau ibu diibaratkan sinar lentera yang menerangi, maka ayah adalah batang lilin yang rela meleleh untuk menjaga lentera itu tetap bercahaya. Kalau ibu diibaratkan bahtera yang melindungi kita dari terjangan ombak, maka ayah adalah angin yang senantiasa berhembus agar bahtera itu dapat berlayar.
Sayangnya, semua berbicara tentang kasih sayang ibu, namun sedikit yang merenungi perjuangan seorang ayah. Angin yang tak tampak namun selalu ada, gula yang larut namun selalu terasa, itulah ayah. Kadang ia tak pandai mengungkapkan kasih sayangnya melalui untaian kata atau bahasa kelembutan, namun dirimu sepanjang hidupnya akan menjadi alasan baginya untuk tetap kuat dan bertahan.
Dalam sebuah hadits disebutkan:
جَاءَ رَجُلٌ إلى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ، فَقالَ: مَن أَحَقُّ النَّاسِ بحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قالَ: أُمُّكَ قالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قالَ: ثُمَّ أُمُّكَ قالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قالَ: ثُمَّ أُمُّكَ قالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قالَ: ثُمَّ أَبُوكَ.
"Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam dan berkata, 'Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?' Nabi shalallaahu 'alaihi wasallam menjawab, 'Ibumu!' Dan orang tersebut kembali bertanya, 'Kemudian siapa lagi?' Nabi shalallaahu 'alaihi wasallam menjawab, 'Ibumu!' Orang tersebut bertanya kembali, 'Kemudian siapa lagi?' Beliau menjawab, 'Ibumu.' Orang tersebut bertanya kembali, 'Kemudian siapa lagi,' Nabi shalallahu 'alaihi wasallam menjawab, 'Kemudian ayahmu.'" (HR. Imam Bukhari No. 5971, dan Imam Muslim No. 2548).
Dalam hadits di atas walaupun seorang ibu di sebutkan tiga kali, namun ada ayah di situ, ia disebutkan terakhir bukan berarti tak ada atau terabaikan. Maka kewajiban untuk berbakti dan menyayangi berlaku juga untuknya.
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوٓا۟ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَٰنًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ ٱلْكِبَرَ أَحَدُهُمَآ أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا، وَٱخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ ٱلذُّلِّ مِنَ ٱلرَّحْمَةِ وَقُل رَّبِّ ٱرْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِى صَغِيرًا
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia, Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: ‘Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil’”. (Qs. Al-Isra: 23-24).
Malam ini, melalui tulisan sederhana ini, sebuah pesan singkat untuk semua anak “Ayahmu, masih menyayangimu seperti dulu, dengan kasih sayang yang tak pernah luntur, dan masih menjadi salah satu pintu surga bagimu”, dan teruntuk semua ayah “Kalian hebat, perjuanganmu semoga menjadi ladang pahala bagimu, jazakumullah khoiron, semoga Allah ﷻ membalas kalian dengan seindah-indah balasan di dunia dan akhirat”.
Makkah, 15 November 2023
5 notes · View notes
erliwijayanti · 2 years
Text
[BAGIAN 2] Datang Begitu Singkat. Pergi Begitu Cepat.
"Pus, hamil pus? Astaghfirullah.." 
Kalimat celetukan terdengar dari selasar pagi ini. Daniar berjalan cepat-cepat sambil menyapa kucing-kucing fakultas. Ia harus masuk kelas International Finance pagi ini. Sudah terlambat. 07.57 WIB. Matahari sudah menyengat di Depok. Setajam sengatan tambahan tugas Pak Ugi kalau sampai dia tidak berhasil masuk kelas sebelum pukul delapan. Dibukanya engsel pintu lantai empat. Ngos-ngosan. "Pagi, Pak maaf saya terlamb...at." Hening. Tidak ada orang. Alis Daniar mengkerut. Tangannya mencari-cari ponsel di dalam tas kulit yang dibelinya beberapa tahun silam. Tas termahal seharga satu juta yang baru bisa dia beli setelah bekerja bertahun-tahun sebagai karyawan. "Heee???" Teriaknya seusai membaca pesan di ponselnya. Kelas dibatalkan. Sudah diumumkan jam tiga pagi; jam-jam Pak Ugi selalu aktif membaca tugas mahasiswa. Ia tidak membuka ponsel sejak semalam. Namanya Daniar. Anak perempuan. Bungsu. Sedang menjalani pendidikan doktoral di salah satu universitas terbaik negeri ini. Belum menikah. Bayangkan apa kata orang tentangnya. Ia turun ke taman. Memandangi kolam makara yang airnya tidak menyala siang ini. Duduk di bangku-bangku hijaunya. Ada telepon masuk. "Halo assalamu'alaykum Bu.. Ko nangiss?" "Ibuk kudu piye ya, Nduk.. Ibuk nyawang mbakmu mambengi ngerokok.." (Ibu harus bagaimana ya nak? Ibu lihat kakak perempuanmu semalam merokok) Daniar diam. Mengedip pelan satu kali. Tersenyum. "Ibuk sudah makan?" katanya dengan suara yg lebih netral. Pagi itu cahaya hangat menerpa pepohonan dan tanaman di sekitar kolam fakultas. Cahaya keemasannya indah sekali. Seorang anak perempuan duduk bersanding dengan catatan-catatan beratnya untuk tabungan persiapan ujian prelim. Bibirnya tersenyum, meski ada gunung es di hatinya. Berusaha mencerahkan hati wanita yg paling ia cintai di dunia. Menerima takdir-takdir beserta seperangkat musim dalam hidup dan keluarganya. Tugasnya hanya mencintai. Dan Allah tidak mensyaratkan keluarga yang sempurna untuk masuk surga :) [Bersambung..]
7 notes · View notes
syarifahsw · 11 months
Text
Mimpi tentangmu
Tak hanya sekali, kamu selalu datang dalam mimpiku secara tiba-tiba. Aku kangen kamu? Iya memang. Aku selalu menyebut namamu? Sering bahkan ya tidak pernah lupa.
Mimpi kali ini seakan berjalan nyata. kita sedang janji mengintari jalanan kota yang luasnya amat sangat luas dan penuh dengan cahaya lampu-lampu taman kota. Sementara aku sedang duduk menunggu hadirmu di bangku taman kota. Sembari memainkan HP. Tiba-tiba kamu datang menyapaku dengan sederhana.
"hai, udah lama?" Katanya sambil melempar senyum yang amat sangat jarang sekali kulihat. Senyum sumringah terlukis diwajahnya yang tampan menurutku. Hatiku lega ada didekatnya. Seakan-akan ia memberikan energi positif dari hidupku yang suram dan penuh tanda tanya ini.
Aku menjawabnya dengan senang hati.
"baru aja, baru duduk"
"oh yaudah, kemana yuk" timpalnya
"muter alun-alun kota aja, gapapa kan?" Tanyaku
"iya nggapapa" jawabnya
Selama jalan-jalan kecil. Aku sempat membuka segenap percakapan yang membuatnya senang jalan bersamaku. Aku menitipkan segala harapku dipangkuaannya.
"mas, nanti kalo Sanggarmu open rekruitmen aku mau join boleh?"
"boleh boleh aja asal kamu senang bertemu dengan orang-orang yang punya harapan dan pemikiran yang tinggi" katanya sambil melemparkan senyum padaku.
Dia tersenyum aja beban pikiranku yang berat hilang seketika. Gaada yang perlu aku sesali saat jalan bersamamu ditengah kenyamanan ini. Aku merasa aman saat bersamamu.
Spontan...
Ia merangkul dan memiringkan kepalaku dibahunya. Saat itu juga aku merasa dia sangat peduli atas apa yang ada dipikiranku yang berat ini. Aku juga membalas merangkul pinggangnya seakan seperti memeluk dalam malam yang indah.
Batinku "mas, sebernarnya aku nggak mau kehilangan sosok baik seperti dirimu yang bisa menjagaku sampai sekarang yang mungkin nggak pernah kamu rasa atau sampaikan padaku yang sangat lugu ini"
Aku merasa semuanya baik-baik saja. Bersamamu bahkan tanpamu aku masih bisa mengingat wajah hingga namamu yang selalu menari dikepalaku.
Meskipun hanya mimpi, aku sempat berpikir bahwa duniaku sekilas adalah tentangmuu yang tidak pernah ku lupa.
2 notes · View notes
inabeewrt · 1 year
Text
Tumblr media
PERSAHABATAN
Tempat tinggal seluas 3 x 7 
“Terimakasih banyak tuan, saya bingung harus berbuat apa ke tuan untuk membalas budi ini semua” ucap Sari, “yaa sama sama, tidak masalah sari santai saja” jawab pria ber-jas berkacamata hitam diikuti senyuman yang tulus.
“rekkk ayo reek mlaku mlaku nang tunjungan” suara music di radio
                “wah betul juga, yok sar kita jalan ke tunjungan” ajakkan dari ibu, Sari hanya mengangguk. Sebab sari tidak tahu menahu tentang dunia luar. Walau tempatnya tidak jauh dari gubuknya. Pria berjas dan ibunya membawa sari ke tunjungan untuk melihat betapa indahnya kota Surabaya. Berjalannya mereka di trotoar yang indah sejuknya udara.
“rekkk ayo reek mlaku mlaku nang tunjungan” bunyi sound penyebrangan jalan.
                Dengan kagumnya Sari menatap ke jalan, Gedung Gedung berdiri kokoh. Tempat tempat nongkrong anak muda, hiasan hiasan yang begitu indah. Ada bangku bangku di trotoar, melihat jalan yang lebar ukurannya 3 mobil. Lalu lalangnya mobil, motor, bis. “waah seperti ini” kata Sari yang tidak menyangka bisa melihat ini juga. Menolehlah Sari ke orang dermawan berada disebelah kanannya, lagi lagi dengan tatapan penuh cairan mata yang akhirnya jatuh sebab tak tertampung. Tiada henti hentinya ucapan terimakasih keluar dari mulutnya, karena bingung sudah kehabisan kata kata untuk mengungkapkan rasa syukur. Suara yang terbata bata dengan diiringi isakkan tangisan yang dari tadi ditahan. Pria tersebut membalasnya dengan senyuman.
                Pulanglah mereka bertiga melewati jalan yang berbeda, kali ini si Pria yang membawa kursi roda Sari sambil berbincang kehidupannya selama ini. Saat sampai didepan rumah, Pria Berjas hitam Kembali ke rumah Sari dengan membawa jajanan dan boneka beruang kecil dari mobilnya. “Ini untuk mu Sar” lagi lagi dengan senyuman sederhananya. Begitu gembiranya Sari menerima semua ini yang tidak terduga begitu cepat dalam satu hari.
“rekkk ayo reek mlaku mlaku nang tunjungan” suara vlog dari HPnya Sari
                “sudah sudah tidur, sudah malam. Besok – besok  kita main lagi kesana kalau kamu masih penasaran” “baik bu” jawab Sari. Ibu menggendongnya untuk memindahkannya ketempat tidur.
Kamar Tidur tembok warna putih
                “bim-bim-bim” suara Alarm HP berbunyi pukul 8.00 seperti biasa langsung mematikan Alarm tersebut. Kali ini sorotan mata biru langsung menuju sudut ruangan, ada kursi roda bersandar di tembok dan di atasnya ada boneka teddy bear. “ehh dah bangun anak mamah…” sapa ibunya, Sari membalas senyuman manis.
                Setelah makan, mandi, minum ia ingin sekali menggunakan kursi roda sendirian tanpa bantuan dorongan. Sari pun berlatih dijalanan beraspal yang tiada kendaraan lalu lalang. Mundar mandi roda berputar dengan anyunan tangannya sari ke roda. Tidak butuh waktu lama, Sari berlatih beberapa hari sudah sangat lihai memainkannya. Sari berjalan menggunakan kursi roda bahkan bukan hanya ke depan rumah saja,ia juga sudah sering sekali pergi ke taman.
3 Bulan kemudian……
“hemmm walaupun sekarang punya kursi roda, lama lama bosen juga hanya melihat mereka bermain sedangkan aku berdiam disini” bergumam dalam hatinya. Ia menunduk sambil melihat ke kakinya yang tidak berdaya. Sesekali melirik kedepan melihat anak anak seumurannya yang seru sekali bermain lompat tali. Terdengar suara riang gembiranya mereka bermain, semakin membuat iri.
                “heiii siapa nama kamu ?”
Sari langsung mengarahkan perhatiannya ke kiri dengan mencerminkan wajah bingung alis yang terangkat.
                “hei.. hei.. haloo, ada orang, siapa namamu ?” laki laki berumur 9 tahun menyapa dengan melambaikan tangannya ke depan wajah Sari. Laki laki ini menahan tawa melihat Sari yang mukanya kebingungan dan bengong.  “oh yaa, Sa-Sari” jawabnya. “ohh Sari, kok kamu sedih terlihatnya. Sendirian saja ?” tanya lelaki itu , “iya” “yaudah yuk main bareng sama ku saja. Kita main… ” “loh temanmu yg disana bagaimana ?” Sari memotong pembicaraan, “yang disana? Biarkan saja, disana juga sudah ramai” “btw aku bawa layangan loh, yuk main” sambungnya lelaki itu.
                Lelaki yang tak jauh tingginya dari Sari pun mengambil layangan yang ada di dalam tasnya. Ia meminta Sari untuk memegangkan layangan tersebut untuk di Tarik benangnya oleh lelaki itu. Sett-sett-sett tak lama kemudian layangannya pun terbang tinggi. Sebuah kertas berbentuk segiempat yang melayang layang di udara. Angin yang meniup begitu kencang membuat layangannya semakin terbang tinggi. Sampailah pada posisi layangan dengan angin yang stabil, Sari diberikan benang tersebut untuk memainkannya.
                “kamu sendirian saja sar?” tanya lelaki itu, “iyya” “memang rumahnya dimana?” sambung menanya, “dekat kok, di jalan keputih” . sedang asik asiknya mengobrol, layangannya pun di hampiri oleh layangan milik orang lain, Sari mukanya langsung panik kedua alisnya mendekat, dengan mulut terbuka sedikit. Tangannya masih memegang benang tersebut dengan gemetar. “ehh kenapa Sar?” . Sari langsung melemparkan benang ke lelaki itu. Hap -  Dengan lihainya lelaki itu beradu lawan Bersama layangan orang lain.
Tass…. Suara benang yang terputus.
                Sari murung Kembali, ujung bibir yang menurun dan kepala tertunduk. “maaf yaa..” kata Sari, “gapapa bukan salahmu kok, besok kita main lagi dehh gimana ?” “baiklahh” jawab Sari. Lelaki tersebut menghantarkan pulang Sari hingga depan rumah. “dahh sampai” kata Sari dengan gembiranya, lelaki ini pun membalas dengan tertawa kecil. “oiyaa aku lupa menanyakan namamu, siapa nama kamu ?” tanya Sari
“Namaku Bizar…” jawabnya sembari senyum terlihat gigi putihnya.
Bersambung……..
2 notes · View notes
rrabbyy · 1 year
Text
: Berteman
Tumblr media
Tercipta sebelum orang tuanya menikah, sangat tidak menguntungkan bagi Yolan. Bahasa kasarnya, sebut saja ia ‘Anak haram’. Karena itu ia di benci oleh keluarga dari pihak ayah. Hal lain yang lebih menyakitkan adalah ketika mengetahui bahwa ibunya sendiri juga membencinya, selalu menyalahkan Yolan atas apa yang telah terjadi. “Anak tidak berguna, mengapa kamu harus lahir?!” itulah sebuah kata, yang sering keluar dari mulut sang ibu.
Ayah Yolan membesarkannya hanya demi reputasi keluarga. Ingin di pandang baik oleh semua orang, karena berani bertanggung jawab dan berakting seolah dengan lapang hati ia menerima si aib keluarga seperti Yolan.
~🐮🐯~
Plak..
Sebuah tamparan mendarat pada wajah manis Yolan.
“Dasar aib keluarga! Ini sudah kali ke tiga kamu pindah ke sekolah baru, dan di sekolah ini pun kamu juga hanya bisa membuat masalah?!” suara lantang ibu Yolan, menciptakan hening di ruang guru yang tadinya masih ramai.
Benar, dari awal masuk SMA Yolan tidak pernah tetap hanya pada satu sekolah saja. Banyak kenakalan yang terus di perbuatnya, menyebabkan ia harus selalu berpindah-pindah.
Tahun ini Yolan sudah kelas 3 SMA, kini ia juga berada di sekolah barunya. Namun, belum 1 minggu ia telah membuat banyak masalah.
Mulai dari mewarnai rambutnya, bolos pelajaran, berkelahi dengan teman sekelas, hingga membuat wali kelasnya mendapat luka pada bagian kepala, karena terkena lemparan kursi dari amukan Yolan. Itulah mengapa sekarang ibunya di panggil untuk hadir ke sekolah.
Beginilah cara Yolan bertahan hidup, ia melampiaskan semua rasa muak dan prustasinya dengan melakukan kenakalan.
Plak.. kembali Yolan dapatkan tamparan dari ibunya, tapi kali ini pada sisi wajah yang berbeda.
“Apa kamu tidak merasa malu dengan kelakuanmu ini? Mengapa.. mengapa Yolan, keberadaan kamu hanya bisa menyusahkan orang lain!” ucap ibunya, dengan tangan yang setia memegangi kepala sendiri, kepalanya terasa pusing karena perbuatan Yolan.
Yolan mengepal kedua tangannya kuat. “Berisik.. kalau begitu jangan lahirkan aku, jalang!”
“YOLAN!” bentak ibunya.
Melawan atau mengatai ibunya bukan hal baru lagi bagi Yolan, sudah biasa.
Yolan menendang sebuah kursi ke arah sang ibu. “Siapa yang meminta kamu untuk melahirkanku? Tidak akan sudi aku lahir dari rahim wanita sialan seperti dirimu!” lalu tanpa memperdulikan sekitar, Yolan berjalan keluar dari ruang guru.
“DASAR ANAK DURHAKA!” teriak sang ibu, yang di abaikan oleh Yolan.
~🐮🐯~
Setelah keluar dari ruang guru, Yolan memutuskan duduk di bangku taman. Meski Jam pelajaran sudah di mulai, sedikit pun tidak ada niat bagi Yolan untuk kembali ke dalam kelas.
“SIALAN! SIALAN! MEMUAKKAN!”
Yolan terus mengeluarkan banyak kata-kata kasar. Berharap dengan melakukan itu, dirinya bisa merasa sedikit lega.
“Apa.. yang membuat kamu menjadi semarah ini?” tanya seseorang yang ternyata sedari tadi berada tidak jauh dari Yolan.
Yolan menoleh ke arah suara. “Ah, si ketua kelas menyebalkan” ucapnya pelan.
Selama berada di SMA barunya ini, Yolan memang jarang masuk kelas. Namun bukan berarti ia tidak tahu bahwa laki-laki yang saat ini berdiri di sampingnya adalah ketua kelasnya.
Yolan bangkit dari duduknya, niat untuk pergi. “Jika ingin menceramahi, lebih baik ceramahi orang lain saja sana, bodoh!”
Si ketua kelas genggam pergelangan tangan Yolan, guna menahannya. “Tidak ingin menceramahi, hanya ingin tahu, apa yang membuatmu sangat marah”
“Bukan urusanmu!”
“Aku hanya penasaran”
Yolan menarik tangannya, tak lupa memberikan tatapan penuh kebencian pada si ketua kelasnya. “Semuanya! Semuanya membuat aku marah! Semua berisik! Menyebalkan! Teman, guru, orang tua, DAN KAMU JUGA! Kalian semua.. sangat aku benci!” setiap kata Yolan ucapkan dengan berteriak.
Ketua kelasnya hanya diam, menatapnya.
Kerena terlalu kalut dengan perasaan marahnya, tanpa sadar Yolan memberikan beberapa pukulan pada dada si ketua kelas.
“Kalian selalu menganggap orang lain seperti sampah.. padahal kalian juga sampah! Dan bukan manusia hebat!
Lebih baik kalian semua tiada! Lebih baik kalian semua mati saja! Mati! mati sana!”
SEKARATLAH! LENYAPLAH! MEMBUSUKLAH!” final Yolan.
………..
“Tapi, kamu ingin di perdulikan, kan?” tanya ketua kelas. Membuat tatapan Yolan goyah.
Yolan sedikit menunduk. “Omong kosong..”
“Kamu ingin di perhatikan oleh orang lain, kan?
Kamu ingin di terima, kan?
Kamu ingin berbagi cerita.
Dan kamu ingin di mengerti.
Juga.. kamu, ingin di sayangi oleh orang lain, bukan?”
Yolan sangat ingin membantah dengan apa yang ketua kelasnya katakan. Sialnya, itu adalah benar.
Perlahan air mata Yolan mulai turun membasahi pipinya yang sedikit kemerahan, bekas tamparan dari sang ibu tadi.
Yolan kembali menatap ketua kelasnya, dengan mata penuh airnya. “Jangan berlagak seperti orang yang paling tahu!”
Sambil mengulurkan sebuah sapu tangan ke hadapan Yolan. “Aku tahu.. karena aku juga seperti itu. Tidak, semuanya, semua orang seperti itu”
“Mengapa.. mengapa hidupku harus seperti ini? Penuh kekurangan, bengkok, tidak sempurna. Bahkan orang tuaku sendiri pun membenciku. Apakah memang kesalahanku, karena telah terlahir ke dunia ini?”
Tangisan Yolan semakin menjadi, sebab sudah cukup lama ia menahan tangisannya.
Si ketua kelas hapus air mata Yolan menggunakan sapu tangan yang tadi ia sodorkan, setelahnya ia cubit hidung Yolan pelan. “Hey.. tentu saja bukan kesalahanmu, pada dasarnya seorang anak tidak bisa memilih siapa orang tua mereka. Begitu pula orang tua, mereka tidak bisa memilih siapa yang akan menjadi anak mereka. Ini adalah takdir, jika memang menurutmu menyebalkan, kamu hanya perlu menertawakan takdir ini. Terkadang sesuatu yang menyebalkan hanya perlu di tertawakan.
Kamu hebat, bisa bertahan hingga saat ini. Kehadiranmu bukanlah kesalahan, kamu adalah salah satu makhluk berharga yang Tuhan ciptakan. Tersenyumlah” tutur Jufano.
Entah mengapa, seketika hembusan angin terasa begitu lembut.
Rasa kesal di hati Yolan perlahan reda. Ini untuk pertama kali ada seseorang yang memujinya, untuk pertama kali.. Yolan merasa di maafkan dan di selamatkan. Membuat air matanya semakin deras mengalir.
“Eh? Kenapa semakin menangis? Apakah ada ucapanku yang menyinggungmu?” panik ketua kelas.
Yolan memalingkan wajahnya. “Tidak, bodoh! Hanya saja.. aku terlalu senang karena barusan kamu memujiku” sahut Yolan pelan.
Kembali ketua kelasnya menghapus air mata Yolan, dan tersenyum. “Namaku Jufano, namamu Yolan, benar?”
Yolan mengangguk.
“Mari menjadi teman” pinta Jufano.
“Tidak perlu, kamu pasti sama saja seperti yang lain, pada akhirnya hanya akan meninggalkanku”
“Aku berjanji, aku akan menjadi teman baik, dan tidak akan meninggalkanmu” ucap Jufano serius.
“Aku bilang tidak perlu!”
“Mari makan es krim! Aku yang traktir, jika es krimnya terasa enak, berarti kita harus menjadi teman”
“Bukankah semua rasa es krim itu sama saja?” Bingung Yolan.
“Tentu saja beda” Jufano menarik pelan tangan Yolan, lalu membawanya berlari menuju toko es krim terdekat.
“Ini masih jam pelajaran!”
“Aku murid teladan, sekali membolos tidak akan menjadi masalah” sombong Jufano. Sedangkan Yolan hanya bisa memutar bola matanya malas.
Kesan pertama Yolan terhadap Jufano adalah tentang betapa anehnya orang ini.
Namun lebih aneh lagi, es krim yang Jufano traktir terasa sangat enak, apakah karena suasana hati Yolan yang saat ini sedang baik? Begitulah pikir Yolan.
- BERSAMBUNG..
4 notes · View notes
takberwajah · 1 year
Text
Malam itu terlihat dua wajah yang saling berhadapan di tepi sebuah danau. Keduanya saling menatap dalam di tengah keremangan lampu taman, menghela napas berat, lalu bertanya,
"Bagaimana kabarmu hari ini?"
Wajah itu tersenyum, lalu ia berjalan beberapa langkah dari tepian danau itu dan duduk di sebuah bangku taman. Ia meletakkan kedua tangannya di belakang kepala dan menatap ke arah langit yang cerah malam itu. Terlihat samar beberapa sinar bintang yang menghiasinya.
Senyum itu memudar, ia menghela napas berat, lalu bertanya,
"Bagaimana kabarku hari ini?"
3 notes · View notes
adhindatb · 1 year
Photo
Tumblr media
[PoV Atsiri]
            Sudah hampir tengah malam, tapi ayah belum juga menunjukkan tanda-tanda kedatangannya. Atsiri menunggu-nunggu momen dimana Ia bisa melihat wajah sang ayah untuk pertama kali nya. Ditunggu nya dengan manis di ruang tengah depan TV menyala, sambil merasakan rasanya duduk di bangku empuk dan sejuk nya ruang keluarga. Tapi rasanya ruang keluarga itu tidak menarik karena keluarga mereka yang berbisah.
*Tinnnn.. Tinnnn..
          Suara klakson mobil didengar oleh Atsiri, Ia bersegera menyambut didepan pintu. Dilihat nya perawakan laki-laki bertubuh besar, badan nya gagah, rambut dan pakaiannya rapi  khas seragam PDH TNI. Ia turun dari mobil dengan satu pengawal nya.
"Harummm, kok disini? Kenapa belum tidur?" 
          Ayah menyapa Atsiri lebih dulu, tapi pandangannya kaku, sosok yang selama ini ia rindukan ada di hadapannya, Ia tidak boleh menangis sebab sedang berperan sebagai Atsila. Hati nya berburu ruang kosong, dimana tempat itu? Tempat untuk ayah nya yang kini telah hadir di dunia nya. Atsila bilang, ayah nya itu tidak serta merta meninggalkan mereka, ada kisah yang selama ini belum ia ketahui. Atsiri berusaha menenangkan hati nya yang kacau.
"Yaaa gapapa dong yah, namanya juga kangen sama ayah nya."
"Yaampunn, kok manja ya anak ayah ini. Nih ayah belikan kamu bolen keju kesukaan kamu." Ayah menyodorkan 3 kotak kue bolen yang menjadi kesukaan Atsila, tapi Atsiri adalah orang yang tidak suka pisang
"HAH bolen?? Itukan isi nya pisanggg, yaampun, haruskah aku memakan makanan yang paling ku benci ini demi totalitas peran ku sebagai Atsila" Atsiri bergumam dalam hatinya, Ia tidak suka pisang tapi harus berpura-pura menyukainya.
"Yeyyy bolen kesukaanku, tapi kayanya enakan dingin deh yah, gimana kalau dimakan besok terus malam ini dimasukkan ke kulkas dulu?" Atsiri tersenyum getir, akhirnya Ia menemukan ide untuk memperlambat proses nya memakan pisang itu.
"Boleh dong, mending kamu istirahat ya sudah malam ini."
"Oke ayahhh."
"Eetttt, lupa yaaa, Good Night nya manaa?"
"OH IYA hehehheehe Good night ayah." Atsiri kemudian memeluk ayah nya, untuk pertama kali nya ia merasakan pelukan itu, sesuatu yang hilang belasan tahun lama nya. 
***
           Air langit turun membasahi bumi, setelah pulang dinas ke Bandung ayah memutuskan cuti. Mengistirahatkan kelelahannya dengan berkebun di halaman belakang. Setelah 2 hari di rumah itu, Atsiri melihat bahwa ayah nya adalah sosok yang ramah terhadap semua karyawan di rumah, Atsiri memandang sang ayah yang bersahaja dan tidak sombong.
"Yahh." Atsiri menghampiri sang ayah yang sedang asik memotong daun daun kering di taman.
"Hai sayang, dirumah aja hari ini? Ada rencana keluar nggak?" 
"Nggak ada yah, oiya yah, boleh nggak Atsila nanya?"
"Atsila? Tumben kamu menyebut diri kamu Atsila?" Atsiri kembali lupa bahwa panggilan Sila dirumah adalah nama tengah nya, Harum.
"Emm, kata teman kuliah Harum soalnya nama Atsila tuh bagus yah."
"Iyaaa bagus, kamu dan kembaranmu punya nama yang identik dan punya makna yang dalam untuk ayah ibu."
"Yahhh, ayah nggak kangen sama Atsiri?" Atsiri menanyakan hal itu untuk diri nya sendiri, Ia berharap jawabannya adalah iya.
"Ya kangen dong, tapi disini posisi ayah serba salah. Ibu memutus komunikasi kita, dan ayah benar-benar kehilangan jejak mereka. Seandai nya bisa ayah ingin sekali memeluk Atsiri. Ayah sayang sekali dengan dia, pasti jika dia ada, sudah sebesar dan secantik kamu ya." Kini Atsiri tertegun, ternyata selama ini bukan ayah yang tidah mencari nya, melainkan memang ibu yang memutus komunikasi antar mereka. Pantas saja selama ini Ia tidak pernah merasakan kehadirannya.
"Kalau ayah bertemu mereka berdua, kira-kira apa yang ayah lakukan?" 
"Ayah akan tanya dulu kabar mereka, dan berterima kasih pada ibumu karena sudah berjuang untuk membesarkan Atsiri." Atsiri terenyuh, perjuangan ibu memang patut diapresiasi, tapi perjuangan ayah juga tak jauh berat karena merawat Atsila dengan baik.
***
        Hampir dua minggu waktu berlalu, batas waktu yang mereka sepakati akan berakhir, Atsira begitu menghayati perannya sebagai anak ibu yang berjuang lebih keras soal ekonomi, sedangkan Atsira menikmati kebahagiaannya dimanja oleh seorang ayah, menikmati masa-masa orientasi mahasiswa baru, setidaknya Atsiri mencicipi bangku kuliah itu walau hanya sampai pada awal perkuliahan saja.
"Ayah, ini makanannya sudah siap semua di meja. Untuk kue nya sedikit lagi sampai." Hari itu acara ulang tahun kecil-kecilan ayah yang akan dirayakan bersama para karyawan rumah dan beberapa teman dekat nya. Atsila ingin melakukan misi untuk mempertemukan ayah dan ibu pada momen itu dengan cara memesan kue buatan ibu yang dikirim ke rumah. Entah bagaimana respon ayah nanti, Atsila ingin mempertemukan mereka.
"Yah, tukang kue nya sudah mau dekat, ayah tolong ambilkan dulu ya." Ayah pergi ke depan rumah untuk menemui tukang kue itu. Betapa kaget nya ayah ketika melihat sosok yang tak asing di mata nya. Perempuan yang belasan tahun lalu ia nikahi. Ibu datang membawa dua paket kue yang di skenariokan oleh Atsila bahwa pemesannya adalah ayah dari temannya. Ibu masih terdiam, dia tak mampu bicara barang satu katapun.
"Almira, kamu??? Apakah iniii? Atsiri?"
"Bukan yahh, itu Atsila, dan ini Atsiri yang sebenarnya." Atsiri memunculkan diri nya dari belakang punggung ayah, kini ibu dan ayah sama-sama kaget dan terdiam. Mereka bingung akan semua ini? Tapi yang jelas hari itu akan jadi hari yang spesial. Di ulang tahun ayah, Ia bertemu ibu, bisa melihat Atsiri sekaligus jadi hari penyelesaian atas apa yang belum selesai di antara mereka.
3 notes · View notes
imas-rifki-sahara · 1 year
Text
SELIMUT RINDU
Bagian 5
 “Sa.. nanti malam kita jalan-jalan yuk. Aku pengen makan bakmi di tempat favorit kita” ajak Zian sebelum kami berpisah menuju fakultas masing-masing.
“asiiiik aku diajakin kencan hihi. Oke nanti kita bertemu di fakultasku saja ya. Soalnya aku nanti masih harus ketemu dosen buat revisi draft skripsi jam 5 sore” aku antusias menyambut ajakan Zian.
“boleeh, nanti aku setelah selesai urusanku di kampus, aku akan langsung ke tempat tuan putri Sarah” sambungnya dengan senyum sumringah.
Kemudian kami berpisah menuju fakultas masing-masing. Tanpa terasa, kami telah berada di bulan ke lima pernikahan kami. Selama itu pula, kami lebih banyak tinggal di rumahku. Selain karena tempat kerja Zian lebih dekat jaraknya dari rumahku, aku juga lebih nyaman jika tidak terlalu sering berhubungan dengan ibunya Zian.
Selama kami menikah, ibu Zian hampir bisa dikatakan tidak pernah menghubungiku. Jika Zian menanyakan perihal ini, aku akan menajwab bahwa ibunya rutin menanyakan kabarku. Aku tidak ingin merusak hubungan Zian dengan ibunya. Rencanaku, setelah skripsiku selesai, aku ingin memperbaiki hubunganku dengan mertuaku. Kalo untuk saat ini,kurasa aku belum siap karena harus benar-benar fokus dengan penyelesaian skripsiku.
###
Aku langsung bergegas keluar dari ruangan dosen tempatku konsultasi dan menuju ke parkiran fakultas, dimana Zian telah menungguku. Kulambaikan tangan ke arah Zian dan sedikit berlari ke arahnya. Entahlah, sore itu rasanya aku sangat merindukannya. Padahal setiap hari kami bertemu. Kami langsung bergegas menuju tempat bakmi favorit kami.
“kayaknya setelah menikah, ini adalah pertama kalinya kita keluar jalan-jalan ya Zi. Aku sangat senang kamu ajakin kayak gini” ucapku membuka pembicaraan sambil menunggu pesanan kami datang.
“iya Sa, maaf ya aku terlalu sibuk dengan kegiatanku, sampai-sampai jarang ngajak kamu jalan-jalan” ucap Zian sambil memegang tanganku.
“tidak apa-apa Zi, aku cuman bilang kalo aku seneng udah kamu ajak jalan-jalan. Aku bisa memahami kalo saat ini kita memang sedang disibukkan dengan kegiatan masing-masing biar segera selesai kuliah kita hihi” ucapku menenangkan Zian.
Tidak beberapa lama, pesanan kami datang. Zian langsung menyantapnya dengan lahap. Melihat caranya makan membuatku gemas, seperti sudah sekian tahun lamanya tidak makan bakmi favorit kami. Setelah makan, kami jalan-jalan di taman yang ada di depan kedai bakmi. Hari ini cuaca terang, sehingga banyak orang datang ke taman bersama orang-orang yang disayang. Kami duduk di bangku taman sambil melihat beberapa anak kecil berlarian. Aku membayangkan, apakah anak-anak kami nanti akan seperti itu, pasti jika ada anak-anak, suasana di rumah akan tambah ramai sekali. Dulu saat menikah, ibu Zian memang berpesan agar kami menunda untuk memiliki momongan terlebih dahulu agar kami bisa fokus menyelesaikan kuliah kami.
“Sa.... kemarin ibuku telfon.....” ucapnya menggantung.
“oya...” jawabku tercekat. “apa kata beliau Zi?” tanyaku tidak sabar. Tiba-tiba perasaanku tidak enak.
“katanya, ibu kangen, kita lama sekali tidak kesana hehehe” balas Zian datar.
“hanya itu saja?” tanyaku tidak yakin
“ada sih yang lain hehehe” suaranya masih datar
“apa??? Jangan bikin deg-degan dong Zi?” tanyaku memburu.
“ibu pengen kita tinggal disana Sa. Menurutmu gimana?” tanya Zian balik
......
Kami sama-sama terdiam untuk beberapa saat.
“kenapa kita tidak sesekali berkunjung ke rumah ibu Zi? Tidak harus tinggal disana kan?” tanyaku memastikan dan memberikan penawaran yang memungkinkan untuk dilakukan.
“hmmmm.... kamu tau sendiri kan Sa gimana ibuku kalo sudah ada maunya” jawabnya singkat.
“apakah tinggal di sana adalah keputusan yang terbaik?” tanyaku masih ingin menawar
“aku juga bingung Sa. Aku tau bagaimana perasaanmu. Aku ingin yang terbaik buat kita, tapi aku juga tidak bisa mengabaikan permintaan ibu begitu saja” jawab Zian bimbang.
“atau aku saja yang tinggal di sana Sa? Jadi sementara kita pisah rumah hihi” lanjut Zian.
“heh maksudmu???” tanyaku kaget dengan ide gila yang dia sampaikan.
“aku merasa, ibu sepertinya sedang kangen sama aku. Jadi sedikit merajuk. Jadi gapapa deh aku yang tinggal di sana untuk sementara waktu. Daripada kamu tidak nyaman” jelasnya menenangkanku.
“enggak Zi. Aku ikut kamu. Mari kita tinggal disana untuk sementara waktu. Siapa tau dengan tinggal di sana hubunganku dengan ibu bisa membaik” ucapku menutup pembicaraan kami.
###
“piringnya biar dicuci bibi saja Sarah, kamu ndak usah repot-repot melakukan pekerjaan rumah tangga. Fokus saja pada skripsimu” ucap Ibu Zian datar ketika aku mau membantu bibi mencuci piring.
Sudah sebulan kami tinggal di rumah Zian. Selama itu pula, aku hanya sekali bertemu dengan ayahnya, selebihnya ayah Zian sering ke luar kota atau bahkan ke luar negeri untuk acara kedinasan. Sedangkan ibunya, biasanya baru ada di rumah saat sore menjelang malam-malam. Begitupun dengan adik-adiknya, mereka sibuk les tambahan sana-sini demi menunjang prestasi pendidikan. Rumah ini sangat besar, namun aku merasa kesepian. Ibu Zian hampir tidak pernah mengajakku berbicara, kecuali jika Zian ada di rumah.
Hingga suatu sore kulihat ibunya sedang duduk di taman belakang rumah sambil membaca buku. Kuberanikan untuk mendatanginya dan mengajak nya mengobrol.
“lagi baca buku apa bu?” tanyaku ramah.
“buku parenting. Tentang cara mengurus anak dan keluarga yang baik dan benar” jawabnya datar, dengan tatapan tidak beralih dari halaman buku.
“wah menarik nih....saya bisa belajar banyak ke ibu nantinya” sahutku
“kenapa kamu tidak membaca sendiri?” tanya nya sambil meletakkan buku dan mengarahkan pandangannya ke aku
“Sarah.... jujur ya, ibu masih sulit menerima kehadiranmu. Yang ibu minta untuk tinggal di sini adalah Zian bukan kamu. Kenapa kamu juga ikut? Kenapa tidak kamu izinkan Zian untuk bermalam disini sementara waktu? Apa kamu takut, ibu akan mempengaruhi pikiraannya kemudian meninggalkanmu?” cecarnya
Kalimat demi kalimat yang disampaikan oleh ibu Zian seperti petir yang menyambar perasaanku. Hatiku pedih, aku tidak mampu membalas satupun perkataannya. Aku pamit meninggalkan ibu Zian. Kembali ke kamar dan menangis tersedu sendirian.
[BERSAMBUNG]
2 notes · View notes
arufikalam · 1 year
Text
-MAYA-
Tumblr media
Dinginnya malam, serasa menguliti ku hingga ke tulang. Begitu sampai kamar, kuhempaskan tubuhku di tempat pembaringan. Tujuanku adalah merebahkan diri, menghalau sedikit rasa payah yang menghampiri. Berharap segera terlelap. Namun nyatanya, lelah tubuhku justru tak menghentikanku mengingat masa lalu. Lalu, satu per satu darinya hadir, menyesakkan.
***
Di bangku sebuah taman yang tak jauh dari tempatku tinggal, aku duduk termenung. Menunggui seseorang yang aku tidak tahu kapan datangnya. Sebelumnya, kami berjanji temu pukul 3, tapi kali itu sudah lebih dari tiga puluh menit, orang yang aku tunggu belum muncul juga. Aku sebal, sebab tidak satu dua kali dia begitu.
Sesekali, kulirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kiri. Benda yang hampir tak pernah absen kupakai ketika aku pergi. Lalu, indera penglihatanku teralihkan dengan dua anak kecil yang saling berkejaran di lapangan basket yang ada tepat di sebelah taman. Riuh gema tawa mereka seakan mensyaratkan, tiada beban yang bersarang di pundaknya. Ceria sekali. Setidaknya begitu yang tersurat dari kacamataku.
“Lagi lihat apa sih? serius amat, sampai-sampai nggak sadar aku dateng.”
Aku terkejut dengan suara seseorang yang tiba-tiba ada disebelahku. “Astaga, bisa nggak sih nggak bikin kaget orang,"kataku memprotes perilakunya yang mengejutkanku. Dia tidak tahu bahwa ulahnya itu membuat jantungku berdetak lebih cepat dari ritme sebelumnya.
"Habisnya kamu diajak ngobrol pas aku dateng nggak nyaut, taunya ngelamun.” “Siapa yang ngelamun!.” Dia menunjuk ke arahku dengan dagu sambil tersenyum dengan seringai jahil yang seakan meledekku. Seperti, dia berhasil menebak sesuatu yang benar, sedangkan aku berkilah. Menyebalkan.
“Aku nggak ngelamun!,"ucapku dengan nada naik satu oktaf. Aku kesal. Teramat kesal. Pertama, karena dia terlambat datang. Kedua, dia membuatku kaget dengan kehadirannya yang tiba-tiba. Ketiga, dia meledekku.
"Bisa nggak sih kau hargai waktu orang sedikit. Tiap menit keterlambatanmu itu sama dengan waktu orang lain yang kau korbankan untuk menunggu,"sungutku. Raut mukanya berubah sendu, mungkin merasa bersalah. Seketika kami terdiam dan aku merasa tak enak hati dibuatnya.
"Oke oke, aku minta maaf. Sudah ya, jangan marah,"rayunya. "Ada hal yang ingin aku bicarakan, tapi lebih baik tidak disini,"sambungnya.
***
Dua kursi berhadapan dengan satu meja sebagai pemisah keduanya, disudut dekat jendela sebuah kafe bernama Cendana adalah tempat yang kami pilih untuk melanjutkan obrolan. Lebih tepatnya, Fahmi yang ingin membicarakan suatu hal yang aku tidak tau apa itu. Setelah memesan beberapa menu di meja kasir, kami dipersilakan menunggu beberapa saat sampai menu di antarkan ke meja.
"Di,"suara Fahmi menyapaku, memecah hening diantara kami berdua. Aku yang tengah mengamati interior kafe itu seketika menoleh ke sumber suara, memusatkan perhatianku padanya.
"Ya?,"jawabku singkat.
"Setelah kelulusan nanti, aku akan berangkat ke Singapura,” ucapnya tanpa basa-basi.
Tunggu sebentar, apa maksudnya? Otakku masih belum selesai mencerna,“Aku diterima di Media, Arts and Design School, Singapore Polytechnic,"jelasnya sumringah. Aku melihat binar mata bahagianya. Tapi, mengapa aku merasa tidak sesenang itu mendengarnya?.
"Oh ya? Selamat ya,"ungkapku akhirnya, lalu aku terdiam mendengar semua tutur katanya. Dia menceritakan usahanya dengan begitu bangga, sampai pada saat dia diterima sebagai mahasiswa di kampus impiannya itu.
***
"Apa ini?,"tanyaku setelah mendapat sodoran amplop besar berwarna coklat.
"Brosur dan berkas pendaftaran UBAYA. Papa mau kamu ambil sekolah bisnis.”
“Aku ingin belajar sastra Pa, boleh tidak kalau aku….” Belum sempat kalimatku secara lengkap terucap, Papa menimpali,“Mau jadi apa kamu kalau masuk sastra? Sudahlah, ikuti saja saran papa,"tegas Papa tanpa mau dibantah.
Beberapa orang beruntung, tahu apa yang diinginkannya dalam hidup lalu bisa menjalaninya. Beberapa lainnya beruntung tahu apa yang diinginkannya dalam hidup tapi harus bersabar atas ketiadaan kesempatan menjalaninya. Keduanya sama-sama beruntung, bukan? Tapi aku, adalah contoh yang kedua. Lebih tepatnya, tidak lebih berani mengupayakan keinginan yang kupunya. Kata lainnya, aku pengecut.
***
Hari pertamaku menjadi mahasiswa jurusan Bisnis Internasional UBAYA, adalah menjadi hariku juga melepas kepergian Fahmi ke Singapura. Setelah kuliah pagiku selesai, aku bergegas menuju Juanda. Tempat yang akan menjadi saksi perpisahan kami berdua. 
"Gimana rasanya jadi mahasiswa jurusan bisnis?,"tanyanya memecah keheningan antara kami berdua. Aku yang duduk tepat di sebelahnya bergeming. Aku menunduk, memandangi jari jemariku yang bertaut diatas pangkuanku.
"No feeling good,"lirihku masih dengan tertunduk.
"It’s okay.” Fahmi merangkul dan menepuk-nepuk pundakku perlahan. Mungkin dia ingin menenangkan. Sebab dia tahu, pilihan itu tidak mudah kujalani, tidak seperti dirinya yang memilih pilihannya sendiri.
“Mari buat kesepakatan,"serunya tiba-tiba, sembari dia bangkit dari duduknya dan berpindah berdiri di hadapku, mengulurkan tanganku agar bisa kujabat.
"Kesepakatan? Apa?,"tanyaku tak mengerti.
"Saat kita berdua sudah lulus nanti, kita akan buat projek bersama. Kamu jadi konseptor bisnisnya, aku tim kreatifnya. Kita berkolaborasi.”
Aku saja tidak yakin, aku bisa menyelesaikannya atau tidak, pikirku. “Ya, bolehlah,"sambungku akhirnya.
"Saya Fahmi Fachriza Rudianto berjanji, akan segera kembali begitu saya lulus dan akan membuat bisnis bersama dengan kawan saya Diani Pratiwi,"ucapnya seraya mengangkat telapak tangannya serupa orang bersumpah.
"Ya, janji diterima, ku tunggu kau menepatinya,"ujarku malas-malasan, seolah tau bahwa janji itu hanya celotehan anak belia yang belum tau bagaimana kehidupan akan bekerja dengan sesungguhnya. Seakan meyakini bahwa janji itu akan berakhir sebagai gurauan belaka.
Sementara itu, pesawat yang akan ditumpangi Fahmi sebentar lagi akan lepas landas. Dia pun bersegera menyiapkan diri untuk check-in.
"Jaga dirimu baik-baik,"begitu pesannya sebelum meninggalkanku. Aku menatap kepergiannya sampai bayangan punggungnya menghilang. Aku melepaskannya pergi ke negara seberang untuk mengejar mimpinya. Sementara aku, mungkin harus berdamai lagi dengan pilihan yang sudah ditentukan.
Tak terasa air mataku menetes ketika bayangan-bayangan itu melintas dalam ingatan. Dan benar saja, kesepakatan yang dulu terucap antara aku dan dia, kini hanya terpintal menjadi kenangan belaka. Bahkan, setelah dua tahun kelulusan pun, tak ku tahu rimbanya dimana. Fahmi apa kabar? Aku rindu.
***
4 notes · View notes
ensatulimaempat · 1 year
Text
Tumblr media
#backtoastro
H-1 acara kepikiran buat ikut, dan dapat slot dari komen instagram @planetariumjkt karena mba-nya gak jadi berangkat. Ini acara astronomi pertama di 2022 setelah sekian lama absen. Super senang dan selalu terkagum-kagum tiap sesinya. Waktu pemutaran video, lampunya dimatiin (duh dapet banget vibes astronya 🤩).
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Dapat seminar-kit yang super lengkap, nagiiih banget ikut workshop-nya Planetarium Jakarta.
*foto depan foto-foto hasil jepretan dengan smartphone, abis dari workshop langsung buka fesbuk buat gabung grupnya hehe.
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Setelah selesai workshop mampir ke Perpustakaan Jakarta (Cikini) satu komplek (@ Taman Ismail Marzuki), koleksinya banyak buku-buku terbaru dan nyaman untuk baca di tempat.
Pas ke sana mayan rame pengunjungnya dan agak susah dapat bangku kosong. Terakhir check-in di jam 17.00 (pas weekend), dulu si harus reservasi dulu lalu scan barcode sebelum masuk. Kayaknya sekarang bisa langsung datang aja ya?
One recommended place to visit in Jakarta, apalagi buat para pecinta buku!!!
4 notes · View notes
poskotakita · 2 years
Text
Tumblr media
Suatu Saat Nanti
Seorang pria duduk sendirian di bangku taman. Di sekelilingnya ramai pasangan remaja yang asik bercengkerama. Ada pula pasangan muda dengan buah hatinya yang sedang belajar berjalan. Caranya berdiri belum kokoh, langkah kakinya pun masih kaku, sesekali hilang keseimbangan dan jatuh terduduk di rerumputan. Dan ketika berhasil berjalan tanpa kehilangan keseimbangan, sang ibu menghadiahi tepuk tangan dan pelukan.
Sang pria melihat sekitarnya dengan saksama. Pandangannya tertuju pada setiap pasangan yang bersendau gurau dengan anak-anaknya. Sesuatu hal yang belum dapat ia rasakan.
Sudah selustrum perjalanan rumah tangganya. Masih berdua saja bersama istri tercinta. Anak adalah impian yang tertunda untuknya. Ia sudah siap pada kemungkinan menua berdua bersama istrinya.
Tak ada yang salah dengan kesehatan mereka berdua. Karena ia tahu bukan itu alasannya.
Ada luka lama, trauma masa lalu yang masih singgah dalam diri istrinya adalah sebab mereka maju mundur memiliki anak. Ia tak ingin memaksa. Tak sanggup ia melihat istrinya cemas bertubi-tubi akan ketidaksiapan memiliki buah hati. Tak juga ia berpaling hati.
Ia selalu percaya pada ketetapan Sang Kuasa. Dan saat ini segala usaha bukan mengarah pada memiliki keturunan, melainkan menyembuhkan istrinya. Ia telah merasa cukup melihat istrinya bahagia dan berdamai dengan masa lalu.
"Hei! Kok melamun?" sebuah suara menyapa dirinya. Perempuan dengan kedalaman mata penuh cerita, menatapnya heran.
"Sudah selesai?" Ia balas bertanya.
Perempuan itu hanya mengangguk. "Pulang, yuk?"
"Anak itu lucu ya. Gemas. Lihat dia baru latihan jalan. Lucunya," celetuk sang perempuan yang tampak gemas terpancar dari sorot matanya. "Kapan ya kita?" ucap perempuan itu dengan tatapan masih tertuju pada balita yang sedang belajar berjalan.
Sang pria pun menoleh ke arah yang ditunjuk perempuan itu. Lantas digenggamnya tangan sang perempuan. "Nanti. Saat semuanya sudah siap."
"Saat aku siap," kata perempuan itu lirih dengan senyum getir yang tertangkap olehnya.
Pictures from Pinterest
2 notes · View notes