#Cerpen Lebaran dan Baju Baru
Explore tagged Tumblr posts
chandrawulan · 3 years ago
Text
(Cerpen) Parti dan Tijah
Purwokerto, 2000
Parti berjalan tergesa menuju toko tekstil di barat alun-alun. Sepatu tipisnya berderap-derap di paving trotoar. Sepuluh hari lagi lebaran, tapi bapaknya anak-anak belum juga memberi uang untuk membeli baju baru. Parti mengingat-ingat binar mata anak bungsunya kemarin sore.
Mereka melihat-lihat baju, tas, sepatu, dan macam-macam benda dijual di pasar kaget di alun-alun. Vara anak bungsunya memekik kegirangan saat menemukan terusan kuning pucat berbahan sifon dengan bunga-bunga berwarna putih tulang yang seolah terhambur di bagian depannya. Harganya dua puluh ribu rupiah dan tersedia juga ukuran yang cukup besar untuk Divya, anak sulungnya. Tapi Parti belum punya uang. Musim lebaran tahun ini jahitannya sepi.
Parti masuk ke toko tekstil itu dan langsung menuju meja kasir. Hanya ada babaeh di sana.
“Taci-nya mana, Bah?”
Babah memanggil istrinya dan dari pintu kecil di balik tumpukan kain, muncul seorang wanita mengenakan celana kargo warna hijau dan kaos krem. Kulitnya putih pucat seperti brokat untuk pemberkatan. Wanita itu menanyakan kabar Parti dan apa keperluannya. Parti meminta borongan yang kiranya dapat diselesaikan dalam waktu satu minggu.
Pekerjaan borongan yang dia maksud adalah mengobras krah, lengan, atau menyambungkan satu bagian pakaian dengan bagian lainnya. Toko tekstil itu menerima pembuatan seragam TK, baju partai, dan seragam-seragam lainnya. Pemotongan polanya sudah dikerjakan oleh pegawai toko. Selanjutnya, potongan-potongan itu digarap dengan sistem borongan oleh penjahit-penjahit kecil macam Parti dalam jangka waktu yang telah disepakati sebelumnya. Misal, obras lima ratus kerah dalam seminggu.
Taci toko ini sangat disiplin namun baik hati. Parti tak sekali dua kali ngebon alias minta bayaran di awal sebelum pekerjaannya selesai. Aturannya, bayaran tak boleh diambil 100%. Misalkan upah yang seharusnya lima puluh ribu, Parti boleh ngebon dua puluh lima ribu sampai empat puluh ribu. Sisanya dibayarkan setelah pekerjaan selesai.
“Sebetulnya kemarin ada, Par. Aku sempat mikir mau kasih ke kamu, tapi akhirnya kuberikan kepada Tijah. Maaf ya, Par.”
Parti berpegangan ke gulungan bahan untuk menahan beban yang jatuh di pundaknya. Kepalanya sibuk mencari kemungkinan-kemungkinan cara menghadirkan terusan kuning berbunga putih itu ke hadapan Vara dan Divya.
“Apakah tidak ada yang bisa kukerjakan untuk lebaran?”
Taci menggeleng lemah. Parti pamit dan sempat menengok ke alun-alun sebelum melangkahkan kaki ke arah rumahnya.
Kalaupun aku dapat bayaran sebelum lebaran, belum tentu terusan itu masih ada, tapi setidaknya akan ada baju lebaran untuk Vara dan Divya.
Kemarin sore, Mba Ita tetangga yang tinggal berjarak tiga rumah dari rumahnya, bertemu dengan Parti setelah belanja untuk lebaran. Baju, sepatu, tas, hingga kue-kue kalengan dan kacang bawang satu stoples dibelinya. Mba Ita sempat bertanya saat bertemu Parti di depan gang, apakah Parti sudah belanja lebaran atau belum? Kue dan sirup di supermarket mulai menipis, katanya.
Parti hanya bisa menggeleng sambil pura-pura akan segera kembali ke rumah untuk menjahit. Suami Mba Ita adalah kenek angkot dan sopirnya adalah suami Parti. Parti tak habis pikir, ke mana uang hasil suaminya narik? Bulan puasa seperti ini angkot pasti selalu ramai penumpang, apalagi sudah sepuluh hari terakhir. Pertanyaannya terjawab oleh bau alkohol yang menguar dari tubuh suaminya saat lelaki bertubuh tinggi itu pulang ke rumah semalam. Parti tahu, ia kini hanya bisa mengandalkan dirinya sendiri.
Menjelang masuk gang menuju rumah, sebuah ide menyala di kepala Parti, seperti bohlam dalam film animasi. Tenggorokannya kering dan dahinya berpeluh setelah berjalan bolak-balik dua kilometer rumah-toko tekstil-rumah di siang hari bulan puasa, tapi langkahnya tetap tegap dan makin cepat. Parti melewati rumahnya sendiri dan terus berjalan menuju rumah Tijah di RT sebelah.
Beberapa kali Tijah meminta Parti berbagi garapan. Setelah mendapat material dari toko, Tijah mengambil sebagian di rumah Parti. Di atas kertas, nama Parti tetap satu-satunya yang tercantum. Nanti setelah diberi bayaran, Parti akan membaginya sesuai yang dikerjakan Tijah.
Tak ada salahnya aku yang minta tolong sekarang. Separuh garapan saja cukup. Toh, anak Tijah baru satu dan usianya belum genap dua tahun. Belum tahu yang namanya baju lebaran.
Kaos Parti kuyup di bagian punggung, menempel dan menampakkan jejak beha wanita 30 tahun itu. Sedikit lagi ia akan sampai di rumah Tijah. Satu belokan lagi di jalan setapak ini. Rumah Tijah, seperti juga rumah Parti dan rumah-rumah lainnya di kampung ini, terbuat dari anyaman bambu. Mereka menyebutnya gribig. Lantainya sudah diplester semen halus, namun belum dikeramik.
Tiga meter sebelum sampai, langkah Parti terhenti oleh pekik dan lengkingan Tijah dari dalam rumahnya. Sejurus kemudian terdengar suara piring dibanting dan dentum yang Parti sungguh-sungguh berharap bukan benturan kepala Tijah dengan benda keras apapun di rumah itu. Keadaan hening sejenak, lalu gumaman seorang lelaki terdengar dari rumah Tijah.
Pintu depan rumah Tijah terbuka. Suami Tijah keluar dari sana menggenggam beberapa lembar uang kertas menuju arah berlawanan dengan tempat Parti berdiri. Wajahnya berang, dia berjalan sambil mengancingkan kancing kemejanya yang sudah luntur di sana sini.
Parti masih membeku di tempatnya berdiri, seolah ada lem yang melekatkannya dengan tanah. Dia bisa mendengar Tijah menangis. Anak Tijah ikut menangis. Parti berusaha keras memroses apa yang baru saja terjadi, di hadapan matanya—meski tidak terlihat juga. Ia terkesiap saat setangkup tangan menepuk pundaknya. Sinta, tetangga Tijah.
“Sudah, Mbak Par. Sudah biasa kayak gitu. Saya dan beberapa tetangga sampai Pak RT juga sudah pernah menegur suaminya, tapi dia malah mengancam akan membakar rumah kami. Aku wedi, Mbak, mau menegur lagi. Tijah pun sudah pernah kusarankan cerai saja, tapi katanya dia khawatir anaknya tumbuh besar tanpa ayah. Lho, ya mending nggak punya bapak kan daripada punya bapak, tapi bapaknya nganggur, bisanya minta uang ke istri dan suka mukulin begitu. Ya gitu sih, Mbak. Kami juga bingung mau apa lagi. Ngomong-ngomong, Mbak Par ada perlu apa sama Mbak Tijah? Nanti aku bantu sampaikan kalau sudah agak tenang.”
Parti menggeleng, mencoba tersenyum namun gagal. Dia kembali melangkah ke rumahnya.
Tijah lebih butuh uang itu daripada aku.
Tijah lebih butuh garapan itu daripada aku.
Di rumah, suaminya menunggu.
TAMAT
Catatan:
Cerpen ini pernah dimuat di apajake.id.
4 notes · View notes
nafrisme · 5 years ago
Text
Cerpen | Gitu
Pono lesu. Baru saja dua hari yang lalu ia terkena PHK. Tapi, Pono merasa, kalau ia mengamuk sejadi-jadinya seperti Kholil atau Jarwo tidak akan merubah apa-apa. Meski kompensasi atau apapun itu judulnya yang jumlahnya tidak seberapa juga tidak menjamin apa-apa. Bila tidak segera mendapat pekerjaan lagi, uang itu dalam beberapa bulan pasti akan lenyap. Ia berfikir keras bagaimana lagi membiayai hidupnya dan keluarganya. Rasanya memang terlalu sepele, mungkin semua orang pernah mengalaminya. Tapi bagi orang-orang seperti Pono, pekerjaan itu adalah sebuah harga dirinya. Pergi saban pagi, dan pulang saban petang memang tidak membuatnya kaya raya, akan tetapi, hal tersebut yang membuatnya masih punya muka hingga kini. Tidak jadi bahan omongan tetangga, tidak jadi beban orangtua, dan segalanya kini direnggut darinya.
Pono hanya merenung di teras rumahnya, di bale bambu, rasa kopi yang disuguhkan ibunya pun tak terasa nikmat tanpa peluh kelelahannya selepas bekerja. Rasanya ia jadi beban. Otaknya penuh. Padahal orang tuanya tidak berkata aneh-aneh, hanya menyuruhnya bersabar dengan kondisinya saat ini. Meyakinkannya akan hari depan. Tapi hanya gelap yang ia pandang di matanya, di benaknya, di bayangannya yang ia pikirkan sendiri.
Kini ia tak lagi merasakan kenikmatan-kenikmatan itu. Memproses kedelai, merendamnya, atau menggilingnya, tidak lagi menghirup wangi kedelai yang direbus dalam tungku yang berbahan bakar serbuk gergaji sampai mendidih itu. Tidak lagi merasakan nikmatnya menyaring kedelai dengan menggunakan kain, untuk memisahkan ampas dan airnya. Ya itu semua lenyap. Lenyap dari kehidupannya.
Pabrik tempe besar itu memang kini sudah berskala internasional. Sudah beroperasi selama tiga generasi. Sudah tidak bisa lagi menampung orang-orang macam Pono. Orang-orang baru paling rendah harus memiliki gelar diploma. Cara-cara lama sudah tidak bisa digunakan. Di jaman disrupsi ini segalanya jadi berubah. Dalih apapun, efisiensi, perampingan, perbaikan, inovasi, supaya lebih baik, dan sebagainya dan sebagainya itu, harus di terima oleh Pono dan teman-teman pekerja lainnya, dan memang ia harus menerimanya. Tamatan Sekolah Menengah tak punya ruang lagi di jaman ini.
Apa yang harus dilakukannya kini? Ia tak mengerti. Benar-benar tak mengerti, tak kunjung juga mengerti. Semakin dipikirnya semakin tak mengerti. Baru dua hari ia tidak bekerja saja, sudah jadi bahan gunjingan tetangga. Ah, sebenarnya dulu pun, tetangga menggunjingnya hanya jadi buruh rendahan pabrik. Tapi setidaknya ketika itu dia menghasilkan uang. Semua serba salah. Ia hanya berbaring termenung di bale bambu teras rumahnya itu. Berbolak-balik ganti posisi, miring ke kiri, sesekali ke kanan. Rasanya tidak enak betul jadi pengangguran, meski baru dua hari.
Ia tidak siap sama sekali dengan kondisi ini. Tidak pernah memikirkannya sekalipun. Ia benar-benar menggantungkan diri dari pekerjaannya itu. Barangkali otaknya sudah berlumut terkontaminasi kedelai sampai tidak bisa digunakan sama sekali. Sepuluh tahun. Ya sepuluh tahun ia bekerja. Meski hanya dapat kenaikan upah dua puluh lima ribu setiap tahunnya, tapi selama ini ia bahagia. Ya, ia bahagia jadi buruh pabrik tempe. Selama itu ia tak pernah mengeluhkan apa-apa. Mengapa semua terasa terlalu cepat. Ia tidak siap. Benar-benar tidak siap dengan apa yang dialaminya saat ini.
Hari itu Kang Haji Yono, bapaknya, pulang ke rumah. Dan bapaknya hanya pulang seminggu sekali. Kang Haji Yono bekerja sebagai supir antar jemput sebuah sekolah swasta dan tinggal di mes. Melihat anaknya murung begitu rupa di depan teras rumah, sang bapak hanya duduk di sampingnya dan menepuk-nepuk kakinya. Pono menahan haru. Rasanya ia benar-benar jadi seperti anak yang tidak berguna. Sang bapak, setua itu, masih harus bekerja. Ketika ia masih bekerja dulu, mungkin tidak sesedih ini perasaannya. Ia bisa membantu barang sedikit biaya hidup keluarganya itu. Selama ini, ia menyerahkan gaji bulanannya pada sang ibu, Yu Jum. Pono sendiri, hanya menikmati uang makan harian yang dibagikan setiap minggu.
Selama itu Pono tidak pernah neko-neko. Jangankan memiliki seorang kekasih, membeli celana atau baju baru saja hanya dilakukannya saban malam lebaran. Itupun di tukang celana bekas. Tidak seperti kawan-kawannya yang ketika gajian tiba, mengajaknya ke pasar malam untuk beli ini-itu, pergi ke bilyard, karaoke, atau sekedar main futsal, jangan harap Pono melakukannya. Satu-satunya hiburan untuk mengusir rasa penat hanyalah berbincang dengan sang ibu, atau ayahnya, sesekali mengajak salah satu atau keduanya makan bakso Mang Adang di pasar Krukut, atau membelikan mereka durian kesukaannya. Rasanya begitu saja sudah membuat Pono bahagia. Namun semuanya kini musnah. Direnggut darinya.
Ia takkan lagi melihat senyum ibunya ketika menuangkan saos dan sambal banyak-banyak pada mangkok baksonya. Ia takkan lagi melihat tawa sang bapak ketika mengunyah martabak telur dengan empat telur bebek itu.
"Kan dunia ndak berhenti karena kamu di PHK toh le. Ndak perlu murung begitu." Kang Haji Yono menghibur. Tapi tetap saja kata-kata itu tak membuatnya terhibur sama sekali.
Keesokan harinya, Pono pagi-pagi sudah keluar rumah. Ia memakai kemeja dan celana bahan. Rambutnya disisir rapih memakai minyak banyak-banyak. Sepatu hitamnya berkilat-kilat disemirnya pula. Para tetangga terheran-heran. Ibu-ibu yang biasa berkumpul di tukang sayur juga terpukau dibuatnya. Kemana gerangan Pono pergi dengan dandanan rapih seperti pekerja kantoran? Yu Lastri sempat bertanya pada Yu Jum kemana anaknya akan pergi? Apa Pono sudah punya pekerjaan baru? Tapi sang ibu juga tak tahu-menahu perihal anaknya itu.
Sementara para tetangga bertanya-tanya, Pono terus berjalan keluar dari kampung sengon yang kumuh itu. Langkahnya yang tadi tegas dan berwibawa lambat laun berganti. Ia berjalan dengan gontai. Ia sebenarnya tidak tau mau ke mana. Pono hanya ingin menghindari cemoohan para tetangga bila ia di rumah saja, Jadi ia keluar rumah. Berjalan dan berjalan terus ke belakang Pasar Krukut.
Tadi malam itu sebenarnya, aku ditelepon olehnya. Rasanya sedih sekali mendengar kesulitannya, maka dari itu aku mengajaknya keluar pagi-pagi, setidaknya aku ingin menghiburnya. Aku menunggu di pinggir danau dekat kantor Lurah Krukut. Sepanjang hari itu aku mendengarkannnya berkeluh kesah, sambil melihat orang-orang memancing dengan tenangnya. Pono heran mengapa orang-orang itu begitu senang memancing. Banyak dari wajah mereka sering dilihatnya saban hari membuang waktu tidak jelas demi hasil yang tidak jelas juga. Apa mereka juga pengangguran seperti dirinya? Apa kata keluarga mereka? Tidakkah mereka jenuh? Apakah saban hari mereka makan ikan saja? Ikan-ikan kecil yang tidak seberapa enak dimakan itu? Apa ia akan jadi semacam mereka juga?
Pono menghela nafas, memikirkan nasibnya, bagaimana esok? Bagaimana lusa? Ia tak lagi memiliki pekerjaan. Ia tak lagi bisa pergi dan pulang dengan riang seperti dulu. Ia merasa benar-benar pecundang. Orang yang kalah. Orang yang kalah dalam hidup.
"Aku tidak mengerti Mar, mengapa, kebahagiaanku yang sederhana itu direnggut begitu saja, tanpa bilang-bilang, tanpa aba-aba. Mengapa harus orang kecil seperti aku yang menderita, yang hidup sangat amat sederhana, yang sembahyang lima waktu saban hari, bahkan menghindari diri dari banyak dosa, selalu berbuat baik di mana saja, malah dipersulit." Keluhnya.
"Kamu tidak boleh menyalahkan Tuhan." Balasku.
"Aku hanya tidak mengerti Mar, mengapa banyak orang gedean, orang yang pakaiannya rapih, memakai jas dan berdasi di kota, orang-orang yang mengaku berpendidikan itu, yang bahkan tidak perduli dengan kebutuhan orang lain, tidak mengenal kejujuran dan ketulusan, yang kerjaannya berbuat dosa, yang hanya perduli dengan urusan dirinya sendiri, malah dimudahkan hidupnya, dibiarkan menikmati segala kemewahan dan kemerdekaan dalam hidup.”
"HUSH!" Bentakku.
Aku berdiri. Angin sore yang dingin berhembus, menyibak kerudung lebarku, membuatnya berkibar-kibar. Jemariku menggapai tangan kurusnya, mengajaknya berdiri.
"Ayo ikut aku."
“Kemana?"
Tanpa banyak berbincang lagi, kami meninggalkan danau. Aku membawanya ke pemukiman kumuh, di daerah bantaran kali Krukut. Berjalan dengan tergesa, menelusuri gang-gang kecil di antara barisan rumah semi permanen yang berjejalan seperti saling sikut itu. Kami berhenti di salah satu rumah. Aku mengucap salam seraya mengetuk pintu depannya, dan tak perlu waktu lama sampai salam dijawab dari dalam rumah dan seorang pemuda membukanya, tampak ia terkejut melihat wajahku.
"Bu Mariam, Masuk Bu!"
Rumah itu teramat kecil, hanya ada pemuda itu dan seorang perempuan paruh baya di dalamnya. Bau pesing menyeruak seketika ketika aku dan Pono masuk ke dalam. Mata Pono mengamati kondisi isi rumah dengan sungguh-sungguh. Si pemuda dengan sigap membereskan beberapa pakaian yang baru di lipat yang tadinya tergeletak di tikar lusuh ke lemari kecil, dan mempersilahkan kami duduk kemudian.
"Maaf ya Bu, kondisi rumahnya berantakan."
"Tidak apa-apa Man, Apa kamu tadi telat ke sekolah?"
“Ya, seperti biasa Bu, Ibu tidak mengajar di sekolah tadi?"
"Ya, ibu ada urusan sedikit, bagaimana kondisi ibumu?"
“Yah, begitulah Bu, masih seperti biasa."
Si pemuda bangkit mengambilkan air untuk kami, sementara, aku dan Pono mengamati perempuan paruh baya yang duduk di lantai, yang tidak lama kemudian menjerit-jerit.
“Bapak!!! Bapak!!! Bapak!!"
Si pemuda tersipu, dengan cekatan ia minta diri untuk mengurusi perempuan paruh baya itu, membawanya ke kamar mandi, mengambil daster dan celana dalam ganti. Aku biarkan Pono melihat sendiri. Segala hal yang aku sebelumnya telah melihatnya. Kami tak lama di rumah itu. Hanya tiga puluh menit, melihat si pemuda mengepel bekas kencing si perempuan paruh baya, lalu menyuapinya makan nasi bungkus. Lepas memberi amplop berisi uang yang tidak seberapa pada si pemuda, yang sebenarnya ditolaknya tapi aku paksa untuk menerima, kemudian kami minta diri.
"Kasihan anak itu, Bapaknya pergi entah kemana, kabarnya menikah lagi, ibunya jadi agak kurang ingatan. Anak itu sering terlambat ke sekolah karena kesiangan bangun sebab malamnya harus jadi tukang parkir dan bantu-bantu di warung pecel lele. Aku sering berkunjung untuk membantunya sedikit yang kubisa.”
Terlihat Pono menitikkan air mata.
***
2 notes · View notes
yuyunkumaladewi · 7 years ago
Text
Cerpen Lebaran dan Baju Baru, Cerita yang Menyentuh Hati dan Penuh Makna
Cerpen Lebaran dan Baju Baru, Cerita yang Menyentuh Hati dan Penuh Makna
Cerpen Lebaran dan Baju Baru, Cerita yang Menyentuh Hati dan Penuh Makna. Semalam Sulamin tak nyenyak tidur. Di telinganya terus terngiang kata-kata Sadeli, anak semata wayangnya. Sebulan lalu Sulamin telah berjanji pada Sadeli. Jika Sadeli puasa sebulan penuh pada ramadhan tahun ini, maka ia akan dibelikan baju baru, celana baru, dan sandal baru.
Bagi Sulamin, janjinya pada Sadeli sebenarnya…
View On WordPress
0 notes
satu-ruang · 3 years ago
Text
Pesan dari Abi
(sebuah cerpen)
Aida menyisingkan kaos lengan panjangnya. Sesekali matanya menyipit menghindari letupan minyak goreng di hadapannya. Gadis lima belas tahun itu dengan cekatan membolak-balikkan kacang telur setengah matang yang sedang ia goreng. Suara desingan minyak memenuhi dapur yang masih berlantaikan cor semen sore itu. Sinar matahari yang lolos dari celah-celah atap rumah berhasil menyapu hangat wajahnya, membuat Aida sedikit berkeringat.
“Angkat mbak, udah mateng itu” perintah perempuan paruh baya yang tengah mencuci beras di dekat sumur.
“Siap umi,” ujar Aida, dengan sigap mengangkat kacang telur dari wajan.
Sudah menjadi hal yang lumrah, kesibukan keluarga kecil ini menyiapkan pesanan kacang telur dari para tetangga jelang lebaran. Biasanya, hari-hari terakhir Ramadan seperti sekarang ini menjadi jadwal padat Aida dan uminya bergelut dengan alat masak di dapur dari pagi hingga sore hari.
“Dek, kamu mandi dulu yaa, nanti biar diantar Mbak Aida berangkat ke TPA” ucap Umi kepada Faris, putra bungsunya yang tengah membantu mengelap belasan toples sedari tadi.
“Iya umi” jawab Faris, singkat. Bocah sembilan tahun itu bergegas pergi dengan muka yang masam, sambil menenteng handuk biru yang baru saja ia ambil dari gantungan.
Pandangan Aida menekuri jidat Faris yang tampak berkerut.
“Faris kenapa yaa mi? Aida perhatiin dari tadi pagi mukanya cemberut mulu” tanya Aida heran. Seharian ini, Aida melihat Faris tak ceria seperti hari-hari biasanya.
“Adikmu minta dibeliin baju Boboiboy kayak punyanya dek Rehan anaknya Bu Salamah” sahut umi dengan nada pelan. Aida menyambutnya dengan senyum tipis. Ia tahu betul ibunya belum punya uang sebelum pesanan kacang telur yang mereka buat diambil oleh para pelanggannya.
Ada rasa bersalah dalam benak sosok perempuan tiga puluh delapan tahun itu. Semenjak suaminya meninggal satu tahun lalu, dirinya harus pontang-panting mengurus kedua buah hatinya.
“Bismillah, insyaallah nanti kita beliin Faris baju baru umi” hibur Aida menenangkan ibunya.
Seketika senyum hangat terbit dari wajah umi. Tampaknya Aida berhasil menenteramkan hati sang ibunda. Ketulusan Aida turut Umi rasakan di relung hati terdalam.
“Aamiin, insyaallah sayang” jawab umi sembari mendekap dan mengelus-elus putri kebanggannya itu.
“Ayok kita selesaikan masaknya umi” ajak Aida menutup pembicaraan.
“Eh iyaa masyaallah umi sampai kelupaan hahaha..” balas Umi disusul menepuk pelan bahu Aida. Keduanya lantas tertawa lepas.
**********
“Tok..tok..tok…Assalamualaikum?” ketukan Faris. Tak salah. Bergegas Aida berlari dari ruang tengah untuk membukakan pintu adik kesayangannya itu.
“Waalaikumussalam, sini tasnya Mbak bawain” sambut Aida dengan senyuman hangat, dilanjut dengan mengadahkan tangannya. Faris hanya diam. Nampaknya ia masih kesal karena permintaannya belum dikabulkan.
“Faris, sini ikut Mbak sebentar”. Faris menggelengkan kepala, hanya berdiri di tempat. Mulutnya terkunci rapat seolah tak ia biarkan ada satu kata pun keluar.
Dengan sabar Aida merendah, duduk menekuk lututnya. Kini tingginya sejajar dengan Faris.
“Coba lihat ini”, Aida menunjukkan sebuah jersey kecil berwarna merah , jersey klub Liverpool kesayangan milik Faris.
“Ini kan punya Faris Mbak” timpal Faris mengerucutkan dahi, sambil merebut pelan jersey dengan tangan kanannya. Aida mengangguk. “Faris inget ndak, dapet kaos ini dari siapa?” tanya Aida pelan dan mengusap lembut kepala adik satu-satunya itu.
“Dari Almarhum Abi..” jawab Faris dengan nada pelan, menundukkan kepalanya. “Pas ngasih kaos ini, Abi bilang apa ke Faris?” cecar Aida.
Satu setengah, tahun lalu saat kenaikan kelas, Abi mereka memberikan hadiah gamis untuk Aida, dan satu stel jersey Liverpool untuk Faris. Masih lekat dalam ingatan bocah kecil itu, bagaimana Abi berpesan kepada mereka.
“Hmm,..apa yaa,,” gumam Faris sambil mengetuk-ngetuk dagu dengan jari telunjuknya, mencoba mengingat-ingat nasehat ayahnya. “Kita harus selalu bersyukur dengan apa yang kita punya?” sahut Faris sekaligus mengonfirmasi jawabannya.
“Nah...itu Faris tau!” jawab Aida ngegas. “Faris masih ingat ndak? kisah yang pernah Abi certain ke kita soal bersyukur?”
“Inget, Faris masih inget!” jawab Faris antusias, ia acungkan telunjuk kanannya. Faris ingat betul Abinya sering bercerita tentang kisah Khalifah Umar bin Khattab yang tak sengaja bertemu dengan keluarga miskin yang memasak batu karena tak punya bahan makanan. Ayahnya pandai sekali berkisah dan hafal banyak cerita teladan para sahabat Nabi SAW.
“Mulai sekarang, Faris tau kan pentingnya bersyukur sama apa yang Allah kasih?” tanya Aida lembut.
“Iya Mbak. Kata Abi kita juga enggak boleh banyak mengeluh” pungkas Faris sambil mendekap jersey satu-satunya itu. “Sini Mbak Aida peluuuk" senyum haru menghiasi wajah Aida saat itu.
Maghrib itu, suasana penuh haru. Umi yang sedari tadi menyimak obrolan Aida dan Faris dari balik pintu, meneteskan air mata. Penuh syukur, ia dikaruniai anak seperti Aida dan Faris.
1 note · View note
habibsafillah · 7 years ago
Text
Sebuah (Keanehan)
Mengulas tentang perjalanan hari ini. Mungkin aku akan menulisnya dengan sedikit perbedaan, agak aneh memang.
Hari ini, masih suasana lebaran, dan ada acara keluarga besar di Koba, berjarak sekitar satu jam dari Pangkalpinang. bla bla bla bla, okay aku rasa itu bukan bagian penting. Arggg kenapa seringkali saat kita menunda untuk menulis jurnal maka kita kan merasakan akibat yang pahit. Niatnya saya akan menulis jurnal ini sewaktu perjalanan pulang ke Pangkalpinang, nyatanya jaringan di perjalanan membuat geram sehingga saya hanya melakukan hal yang (semoga) berfaedah dengan mendengarkan serentetan lagu dari playlist telepon genggam saya, memandang langit, dan menjelajah ruang imaji sambil mengonsep apa saja yang akan saya tulis di tumblr saya.
Akhirnya saya memutuskan untuk menulisnya sekarang, dua jam setelah saya sampai rumah, dan tetiba saya kehilangan diri saya yang tadi, saya kehilangan konsep yang ada di kepala saya, dan saya kehilangan rasa saya. Argg, saran saya kepada kalian, tulislah selagi anda merasa harus menulisnya sekarang dari pada menundanya. Waktu yang pas untuk menulis adalah SEKARANG, karena tak ada waktu lain yang cocok untuk menulis selain saat anda merasa anda butuh menulis
kali ini saya di buat geram dengan notip smadav yang muncul dan menghilangkan apa yang sudah saya ketik. Arggg andai emot line bisa digunakan di laptop. !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
Sudah untuk yang di atas, sekarang saya akan mulai menjadi baik untuk menulis, mari simak pemirsaaaaaaaaaa(H):
Tumblr media
Ini adalah lanskap langit yang terbingkai di kaca mobil sewaktu perjalanan menuju Koba. Hmm mungkin terlihat tak menarik: Memang! hanya saja saya pikir saya perlu mengabadikan sesuatu untuk ditulis di tumblr saya. Dan tampaknya kumpulan awan itu terlihat bagus bukan (harus karena itu ciptaan-Nya). Tetiba saya teringat sebuah puisi yang mengandaikan awan sebagai domba-domba kecil di langit. 
Cukup untuk itu. Hmm, saya ingin berbagi tentang acara kumpul keluarga hanya saya tetiba saya kehilangan rasa. Ohh ketahuilah bahwa Habib akan jadi amat sangat pendiam ketika berada di keluarga besar. Kadang saya heran kenapa begitu -_- (emottttt aku butuh emotttt) 
Aishh semua tampak biasa saja. Sampe hampir jam satu, terus salam ke semua keluarga terus duduk di ruang tamu menghadap toples-toples yang gak minta diliatin. Tampak biasa aja 
diriku A: Terus apa faedahnya kamu nulis ini???
diriku B: BIAR PRODUKTIF!!
diriku A: Pantes gak ada yang baca
diriku B: Butuhhh emot butuhhhh emotttttt
Sudahlah lewati yang di atas
Pada akhirnya, untungnya tetiba ada bidadari menjemputku dengan motor nya di depan gerbang KOBATIN, aish kau bidadari jatuh dari surga tepat di hatiku. Jrenggg dia adalah Elfira Miranda, terima kasih untuk kamu yang sudah bersedia menjemputku dan menyelamatkan diamnya aku.
Tumblr media Tumblr media
Dua foto ini diambil sebelum saya pulang ke Pangkalpinang (tetiba berasa unfaedah gitu)
Lebih baik saya jelaskan satu-satu.
Lelaki yang pertama, dengan baju cokelat kream dan paling dekat dengan kamera. Berada di posisi kiri para pembaca, tak perlu diragukan, memang, memang meragukan memang, itu saya -_-
Perempuan pertama menggunakan jilbab biru dan baju pink. Ketahuilah pemirsahhh. Ini adalah bidadari yang menjemput saya. Saya memanggilnya cuk (entah dari mana muasal panggilan ini): my lovely cuk (mulai menjijikkan). Saya tak pernah satu sekolah dengannya, apalagi satu kelas. Dia tinggal di Koba, sedangkan saya menghabiskan hidup di Pangkalpinang. Saya tidak mengenal orangtuanya dan tidak pula neneknya. Tapi jujur kami pernah sehotel (tidak sekamar) inilah dia pembaca puisi FLS2N Prov Bangka Belitung (hahaha) ya ya ya,dia ini bukan sekadar teman, bukan sahabat biasa (saya mulai kegeeran), tapi kami menjalani hubungan yang spesial (makin menjijikkan). Yaps, kami pernah berada dalam satu kontingen saat mewakili provinsi di ajang kementerian di Manado tahun lalu, itu pengalaman pertama saya keluar provinsi karena lomba dan luar biasa. Ya Manado jadi saksi ke-(sok)asyik-an kami. Pernah sama-sama telat untuk hadir di acara pembukaan FLS2N gegara sampe hotel sudah sangat larut. Orang yang rela menemani saya ke gramedia Manado dan balik malem-malem. Yang sempet sakit tenggorokan sebelum tampil eh ternyata lolos 10 besar (orang gila nih). Pakarnya tawar-menawar souvenir lomba. Yang mau nemenin saya keliling Manado bareng anak-anak Manado: makan tinutuan, beli klapertart, beli minuman yang pada akhirnya tumpah dan membasahi “SAMAN” yang baru saya beli -_- Dan setelah berbulan-bulan akhirnya bertemu lagi dngan beliau ini (Yeayyy). Aish terlalu banyak paragraf untuk menjelaskan tentangnya. Intinya tahun ini ia berniat untuk mondok dan membuat saya terkejut (but itu niat yang bagus, ILHAM DARIIII MANA ITUUU? ngakak tak bersuara) dan dia juga sedang mempersiapkan diri kuliah di luar negeriii pemirsa(hhhhh). Titik!
Perempuan kedua. Sama seperti perempuan sebelumnya. Dia adalah temen lomba juga, sesama peserta fls2n provinsi tahun lalu saat saya mewakili Kabupaten Bangka dan ia mewakili Kabupaten Bangka Tengah. Namanya Nurul Lutfhi Aulia, calon guru yang lolos di UPI jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra. Pertama kali membaca karyanya yang termaktub di buku Antologi Cerpen Puisi SMA Kantor Bahasa Pro.Kep. Bangka Belitung, dan saya terpukau dengan gayanya menulis, diksinya juga. Aishh sedap pisan pokoknya. Btw maaf hanya berkunjung sejenak karena saya sudah dipaksa pulang. Thanks a lot untuk hidangannya (butuhhhh emottt butuh emottt)
Nah terakhir adalah lelaki berkaca mata dengan baju putihnya. Jrengg, ia punya hubungan yg lebih khusus dengan Elfira Miranda. Kekhususannya menimbulkan kegajean yg luar biasa yg masih belum bisa saya pahami hingga kini. Namanya Rachmad Maulana (baru saja mengecek namanya di ig). Memang baru mengenalnya pertama kali, tetapi setelah diselidiki ternyata wajahnya memang tak asing lagi. Punya jalan hidup yang masih belum bisa saya mengerti (tolongghh jelaskannn ini apaaa). Intinya thanks a lot sudah menggonceng saya dan bermandi hujan (ohh hujan itu indah dan saya pluviophile). Mohon maaf terbesar membuatmu harus mengantarkan saya dan kembali lagi (ini benar2 merepotkan). Nyatanya pada akhirnya saya tidak percaya dari rumah Fira ke Perlang hanya 10 menit 😒😒 (akhirnya ada emot karena saya melanjutkannya di hp). Intinya thanks a lot dan tolongggg jelaskan hal yg tak saya pahami. Baiklah. Keanehan mulai terjadi (demi apa kali ini postingan kali ini benar2 aneh dan berbeda). Saya paham kalau banyak sekali ketidakpentingan diunggahan kali ini. Hmm saya juga menyadari itu 😂😂 (yeayy ada emot), tapi sungguh bahwa awalnya juga saya ragu untuk mem-posting ini (karena awalnya saya sudah posting private), tapi apa daya karena saya sudah telanjur bilang bahwa saya akan mengunggah sesuatu tentang perjalanan hari ini. Maka inilah hasilnya. Mohon maaf terbesar. Kepada Habib, bersahabatlah dengan ketekunan. Titik! Pkp, 270617 11.45pm Habib Safillah Akbariski
4 notes · View notes
miarrafa · 8 years ago
Photo
Tumblr media
____________________ Salah satu wanita yang menginspirasi dalam perkembangan hidup saya ialah kakak saya. Yang membuat saya selangkah lebih maju dari teman-teman seusia saya. Dari kecil saya terbiasa berkompetisi, secara sehat. Dimulai dengan kakak saya sendiri. Saya mungkin nggak sehebat dia yang pialanya banyak, saya apa atuh, bisa bikin orang ketawa aja udah prestasi bagi saya (waktu itu, mungkin terbawa sampe sekarang). Jadi bahan tertawa orang kok seneng 😂. Saya juga dari dini udah sadar banget kok kalo punya tampang yang nggak lebih cantik dari dia. Liat aja, dia mah mau candit gaya apa juga tetep cakep, lah saya, ancur 😂. Dia adalah wanita sekaligus orang pertama yang memperkenalkan saya pada dunia. Masa kecil saya indah bersamanya. Yang mengajak saya patungan saat lebaran untuk sekedar membeli majalah bobo, princess, mombi, dan tabloid anak-anak pada zamannya. Sebab untuk meminta berlangganan majalah itu tiap bulan, rasanya mustahil (maklum kami anak zaman krisis moneter). Dari situ saya jadi senang membaca. Tak pernah puas membaca hanya satu buku. Ingin tambah satu lagi, lagi dan lagi. Dari sd sampai sma saya punya hobi (baru sadar), yaitu membaca cerpen-cerpen di buku pelajaran bahasa indonesia sampai tamat, kalo udah selesai lanjut buku pelajaran yang lain yang ada narasinya. Kalo udah ga ada lagi, lanjut baca buku pelajaran kakak saya. Hobi yang cukup freak sih. 😂 Nggak cuma itu, saya kenal orang-orangan dan kertas file juga dari dia. Enaknya punya kakak ya gini, punya wawasan selangkah lebih maju dari teman-teman seusia kita. Selain itu, dia juga yang mengajarkan saya untuk disiplin. Dulu, saya bukan takut diomelin ayah ibu, tapi takut diomelin dia 😂. Pulang sekolah, taro sepatu harus yang rapi di raknya, harus langsung ganti baju selesai pulang sekolah. Padahal beda umur kami cuma dua tahun, tapi dia udah kaya orang tua kedua buat saya. . Jadi gitu. Intinya Selamat Hari Kartini dan Selamat Hari Buku Sedunia (coming soon). Uhuy.
1 note · View note
vennybaryanto15 · 7 years ago
Text
Alhamdulillah
Alhamdulillah
Alhamdulillah, lebaran tahun ini bisa mengenakan baju baru. Sebenarnya bagi saya, baju baru itu bukan prioritas yang harus terpenuhi ketika menjelang hari raya. Hal yang terpenting yang menjadi prinsip saya dari dulu adalah bisa kumpul bareng keluarga. Karena keluarga lah tempat untuk pelipur lara. Puitis banget ya? Hehe. Ini realita lho.
Saya ingin bercerita sedikit tentang kehidupan keluarga saya menjelang hari raya. Bicara soal baju baru, saya rasa percuma beli baju baru setiap lebaran tapi hati tidak pernah baru. Hal itu yang ayah saya tanamkan dalam diri saya sejak kecil. Yang selalu beliau bilang adalah “Toh kalau ada rezekinya, nggak harus lebaran pasti beli baju kan?”.
Hal itu yang membuat saya tetap biasa walau sudah 2x lebaran saya tidak mengenakan baju baru. Kebiasaan yang saya lakukan sebelum hari raya jika memang tidak ada rezeki untuk membeli baju baru adalah membuka lemari lebar-lebar, lalu mencari baju yang masih pantas untuk dikenakan.
Kalian mungkin bertanya-tanya kenapa 2x lebaran saya tidak membeli baju? Jadi gini, 2 tahun yang lalu adalah masa-masa kritis keluarga saya. Ayah saya tidak mempunyai pekerjaan tetap, Ibu saya sedang diuji dengan kesehatannya, dan sedangkan saya membutuhkan dana untuk melanjutkan pendidikan saya di bangku SMA.
Keluarga kami benar-benar diuji saat itu. Menyajikan semangkuk opor ayam dan sepiring sambal goreng kentang dan beberapa lontong diatas meja sudah merupakan suatu keberkahan bagi keluarga kami saat itu. Kami sama sekali tidak memikirkan untuk membeli sepasang baju baru. Tapi Alhamdulillah, kami selalu bersyukur atas berapapun rezeki yang Allah Swt. berikan.
Ayah saya lah yang mengajarkan saya untuk belajar tabah. Saya belajar dari beliau. Kesederhaan, ketabahan serta kesabaran beliau yang ingin selalu saya tiru. Beliau selalu memberi semangat keluarga kecilnya untuk tabah menghadapi ujian yang Allah Swt. berikan. Saya belajar kuat, seperti beliau. Walau sebenarnya saya tahu, perang dibatin beliau cukup hebat. Beliau mampu menyembunyikan semua itu dari Istri dan anaknya. Tapi saya, sebagai anak memahami semua itu. Kerut di pipi dan mata merah nya tidak bisa membohongi saya.
Saya ingat betul bagaimana perjuangan Ayah saya untuk mencari pinjaman agar anaknya bisa masuk sekolah. Beliau rela mengabaikan rasa malu demi anaknya. Hal itu yang membuat saya semangat untuk sekolah dan membahagiakan kedua orang tua saya. Saya malu kepada diri saya sendiri jika saya gagal, padahal Ayah saya sudah berjuang mati-matian untuk saya.
Lalu saya mencari jati diri saya. Apa sih yang bisa saya lakukan untuk kedua orang tua saya selain prestasi akademik maupun non akademik. Saya berusaha mengembangkan hobi saya. Dari dulu, saya suka sekali menulis puisi maupun cerpen. Namun baru berani mempublikasikannya  sekitar tahun 2015. Saya mulai PD untuk mengikuti berbagai lomba yang berhubungan dengan seni menulis. Dan tidak sedikit yang saya dapat dari usaha saya tersebut. Walau memang terkadang saya dibuat kecewa oleh hasilnya. Tapi lagi-lagi Ayah saya yang membangkitkan saya.
Singkat cerita, kegigihan ayah saya membuahkan hasil. Alhamdulillah seperti sekarang. Kehidupan kami mulai membaik. Karena saya percaya, Allah Swt. tidak akan menguji HambaNYA diluar batas kemampuan. Alhamdulillah keluarga saya bisa melewati ujian-ujian yang Allah Swt. berikan. Banyak pengajaran hidup yang saya ambil. Hal itu juga yang memutuskan saya untuk hijrah. Saya memantapkan diri untuk berhijab, dan saya belajar untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi.  
Saya tidak tahu tulisan saya tersebut ada yang membaca atau tidak. Kalau belum sekarang, semoga beberapa tahun kedepan.  Semoga pembaca bisa mengambil suatu hikmah dari pengalaman keluarga saya diatas. Dan semoga Allah Swt. selalu memberi keberkahan hidup bagi kita semua. Aamiin.
*Venny Baryanto
0 notes
cahaya-ilmu-blog · 7 years ago
Text
ANALISIS WACANA CERPEN KAIN PERCA IBU
A.    KONTEKS KULTURAL
Dalam cerpen Kain Perca Ibu ada kebiasaan unik dalam sebuah keluarga yaitu mewariskan baju kepada keturunannya. Baju – baju yang diwariskan tidak sembarang baju namun yang memiliki sejarah tertentu dalam kehidupannya. Daripada baju – baju tersebut hanya di simpan dan lama – lama rusak tanpa dimanfaatkan maka diwariskan baju tersebut kepada keturunannya. Mewariskan baju lama  merupakan tanda cinta Ibu kepada keturunannya. Seorang  Ibu biasanya gemar mewariskan pakaian lama kepada keturunannya. Sebelum diberikan secara sah, Ibu selalu menceritakan asal usul baju tersebut sehingga nilai sejarah tersebut tidak  akan hilang dan ibu akan merasa puas. Ibu selalu merawat dan memperbaiki baju – baju yang akan diwariskan.
Tradisi tersebut berhenti ketika ayah meninggal. Baju-baju yang punya banyak kenangan tidak lagi diwariskan tapi dipotong – potong menjadi kain perca. Kain perca tersebut dijahit kembali menjadi barang-barang lain seperti bad cover, serbet, keset dll. setumpuk pakaian Bapak di sudut sana. Utuh. Terlipat rapi. Tidak digunting Ibu menjadi potongan-potongan kain perca
Sosok ibu pada cerpen ini sangat menginspirasi keempat putrinya. Terbukti dari kebiasaan ibunya yang gemar menjahit juga menjadi kebiasaan keempat putrinya. Begitu juga setelah sang ibu mempunyai kebiasaan mendaur ulang baju yang tak terpakai, keempat putrinya juga sangat mendukung dengan memberikan baju-baju yang tak terpakai di keluarganya. Sosok ibu yang diceritakan dalam cerpen ini juga sosok yang penuh ketabahan, kesabaran, dan tanggung jawab yang besar. Sungguh cermin seorang ibu yang dapat memberi contoh kepada anak-anaknya.
sosok ibu yang selalu berusaha tegar di depan putri-putri dan cucu-cucunya ternyata masih tetap menyimpan kenangan tentang suaminya yang begitu dicintainya. Terlihat dari tumpukan baju yang masih utuh dan terlipat rapi. Tentu sang ibu punya alasan sendiri mengapa ia tetap menyimpan baju-baju suaminya yang tak seorang pun tahu dan ia bawa alasan itu sampai ajal menjemput.
  Pesan dari cerpen ini adalah kain yang dirajut dan dijahit kemudian menjadi pakaian memiliki arti dan makna yang mendalam bila dibuat dengan sepenuh hati, dirawat dan dijaga pula dengan sepenuh hati. Bukan karena kekeramatannya atau kesakralannya, tapi menghargai setiap karya yang dibuat maka nilai dari sebuah karya pun akan sama seperti jati dirinya sendiri, dan itu harganya sangat tak ternilai. Sampai pada satu titik pun akhirnya sang ibu memahami, bahwa, ”… kita ndak boleh termakan kenangan, kita bisa mati merana….”. Dan dengan konsep baru itu sang ibu mulai melakukan eksperimen dengan potongan-potongan kain bekas, entah itu baju, kain sarung, celana, gorden atau bekas kain yang lainnya, untuk kemudian dijadikan bermacam-macam fungsi, seperti bed cover, lap, serbet ataupun tatakan gelas. Dengan konsep baru menjahit ibunya, pesan yang lainnya adalah, seperti yang diungkapkan oleh penutur cerita, ”aku” Sri, ”…kini kami terbiasa menertawakan sejarah…”.
 B.     KONTEKS SITUASI
 A.    KONTEKS FISIK
Ø  Realitas situasi yang diungkapkan diwacana cerpen ini Setting ceritanya sebagian besar berada di Magelang, sedikit-sedikit mengungkapkan setting Semarang, Bandung, Bogor dan Jakarta. Sedangkan waktunya adalah masa kekinian dengan flasback tahun 1950-an     saat      ibunya menikah   dengan    bapak.  Latar waktu masa kekinian: pada saat lebaran (saat anak – anak perempuannya yang tinggal diluar kota berkumpul menjadi satu diruang tamu), Pagi hari (saat ayah meninggal dunia).
Ø  Topik cerpen Kain Perca Ibu tentang keluarga. Mengisahkan tentang seorang ibu yang penuh dedikasi dalam mengurus keluarganya. Terutama dengan bakatnya menjahit.
Ø  Tindakan atau perilaku partisipan dalam peristiwa itu dalam garis besar meliputi:
a.       seorang ibu yang penuh dedikasi dalam mengurus keluarganya. Terutama dengan bakatnya menjahit, sang ibu mencurahkan hidupnya dan sejarahnya dalam jahitan.
b.      keluarga ini mempunyai tradsisi yang unik. Setiap lebaran tiba maka yang dinanti-nanti oleh keempat saudara dalam keluarga ini yang semuanya perempuan adalah kebiasaan sang ibu menceritakan kisah-kisah hidupnya Di akhir cerita sang ibu selalu mewariskan satu dari sekian koleksi pakaian simpanannya untuk salah satu putrinya. Tentu saja yang mendapat baju tersebut sangat merasa bangga
d.      Tradisi ini terhenti ketika sang ayah telah meninggal. Sang ibu tidak ingin mengenang lagi ayah yang telah meninggal dan sebelumnya sangat berat diikhlaskannya. Cinta sang ibu kepada sang ayah begitu besar karena selama bertahun-tahun mereka selalu bersama
e.       Lebaran berikutnya atau tepatnya lebaran pertama tanpa kehadirang sang ayah, baju-baju yang dianggap bersejarah selama ini ternyata telah dipotong-potong dan dijahit menjadi selembar bed cover.
f.       Namun kebiasaan ini kembali terhenti ketika sang ibu meninggal. Kebiasaan untuk mendaur ulang kain baju ayng telah tidak terpakai. Keempat putrinya tentu saja sangat kehilangan sosok ibu yang selama ini menginspirasi mereka. Bahkan mereka tidak sanggup untuk membereskan barang-barang ibunya. Mereka baru mampu membuka barang-barang sang ibu di lemari seminggu kemudian. Keempat putrinya sangat terkejut ketika menemui tumpukan baju-baju ayah mereka yang tertata rapi di dalam lemari. Padahal sebelumnya sang ibu mengatakan untuk tidak mengenang lagi sesuatu yang telah berlalu.
B.     KONTEKS EPISTEMIS
Konteks Epistemis berkenaan dengan masalah latarbelakang pengetahuan yang sama – sama diketahui oleh penutur maupun mitra tutur. Dalam hal ini Ibu dan anak-anaknya (mbak Ratih (anak sulung), mbak Suti (anak kedua), “aku” Sri (anak ketiga), dan Laras (anak bungsu) melakukan kebiasaan untuk mewariskan baju lama milik ibu yang mempunyai nilai sejarah yang berharga sebelum mewariskan bajunya Ibu selalu bercerita sambil mengenang masalalu.Namun kebiasaan ini terhenti setelah Bapak meninggal dunia.
C.    KONTEKS SOSIAL
Konteks sosial menunjuk pada relasi sosial dan setting yang melengkapi hubungan antara penutur dengan mitra. Dalam cerpen Kain Perca Ibu hubungan sosial antara tokoh yakni sebuah keluarga yang terdiri dari Ibu, Bapak, dan 4 orang anak yaitu Ratih, Suti, Sri dan Laras. Anak- anaknya begitu menghormati Ibu dan Bapaknya. Dalam cerita tersebut lebih banyak bercerita tentang Ibu
1 note · View note
momojou · 7 years ago
Text
Mengingat yang Sudah-Sudah
Naik gunung, pulang kampung, ngejar pameran buku Big Bad Wolf jam 2 pagi, kondangan, ulang tahun, piknik, jalan kaki berkilo-kilometer tengah malem di jalanan Jakarta, keliling outer ring-road Jogja jam 1 pagi, facial soys buat ngilangin komedo, tahun baru, naik Puncak Pass ngalahin kegilaan Jum'at sore, makan apa saja dimana saja, nonton konser, ngangkring, nonton film, nobar bola, berdebat, wayangan, wisuda, main ke pasar malam, rambut pendek, rambut panjang, bersih-bersih kost-an, jaga di rumah sakit, nulis puisi, bagi cerpen, kirim channel youtube oke, nyanyi, teriak-teriak di atas Minul, nyobain coffee shop, lari keliling UI, sholat jamaah, nganggur, maskeran, naik bus, naik kereta, kentut, bully, berantem sampe berderai-derai, gantian mijet, minjem uwik, menjadi genduy, tukeran baju, video call, tukeran kado, kehujanan, kepanasan sampe ceming, nyaris pingsan, lihat taman edelweiss, ngecengin orang, jadi murid dan mentor belajar English, Bahasa Jawa juga Bahasa Sunda, ngumpet, saling ngenalin ke teman-teman baik, belajar, ngerjain kerjaan kantor, belanja sampe ngubek-ngubek Pasar Ular, lihat orang kesurupan, muka pucet jele semua gara-gara sakit, kenal Mas Nur, langganan bakso, buka puasa, merayakan remah-remah libur lebaran, bawain oleh-oleh, photo box, ratusan selfie, baca manga, semuanya bareng je heuum kalau ada yang lupa kau tambahin ya. Wekekekek, banyak.
Makasih banyak lo, makasih, makasih sudah jadi yang nyaris tak ada lawannya di seantero dunya (terutama tahun2 belakangan ini). Kau kalah cuma sama Pak Aip, istrinya, anak keduanya. Sekyan!
0 notes
catatanka · 7 years ago
Text
Cerpen : Hari Pertama
Atha, aku buru buru. Nanti akan kuceritakan detailnya. Dee mematikan panggilan. Sial bagi Dee, ia terlambat di hari pertama masuk kerja. Terlambat 75 menit. Dengan baju biru elektrik polos, jilbab senada motif bunga ia melewati jalanan darussalam-batoh. 7 Menit. Itu rekor bagi Dee, sebelumnya ketika magang ia tak pernah mengatur kecepatan seperti hari ini. 08.39 Telepon dari kepala sekolah tak sempat ia angkat, memilih segera memakai kaus kaki dan berangkat. Hello, Monday Effect 😑 08.42 Dee keluar rumah, mengunci pintu. 08.50 Tiba di sekolah, berusaha langsung masuk ruangan. But, Dee tak bisa menghindar. Kepsek tepat berada didekat pintu masuk tempat ia memarkirkan Rio (sepeda motor yang membersamai kurang lebih 2 tahun terakhir, menggantikan beta yang harus berpindah tangan) Segera ia mengatup tangan ke dada, mohon maaf pasca lebaran. Dan benar saja, Dee bergidik dan salah tingkah. Panik "Kok telat Dee? Hari pertama loh ini?" "Err, iya pak. Maaf, kirain datang sesuai jadwal" (padahal gue belum dapat jadwal fix, cuma dari pertemuan ketika magang dapat jadwal jam 10.00) "Ini berat kayaknya Dee, jam mengajar kamu padat. Daaaan, kamu juga dipercaya jadi wali kelas" "Wali kelas pak?" (Gue baru magang 2 minggu loh, briefing juga belum) "Iya, kami sudah diskusi kemarin dan keputusannya Dee dipercaya untuk jadi wali kelas. Dan untuk satu semester kedepan, datang dari pagi ya Dee. Bukan sesuai jadwal mengajar saja". Bapak tersenyum tipis "Iya pak, terimakasih pak" Dee masuk ruang TK, berusaha sadar dari apa yang baru didengar. Wali kelas? Gue ? Maka nikmat Allah mana yang kamu dustakan, Dee? Dee meletakkan tas, dan berbaur dengan anak baru. Menuntun sulthan dan fariz mengambil wudhu, Dhuha. Ketika magang ia sudah banyak berkenalan dengan anak disana, Khalda, Rania, Ziyadh, Zahid, Habibi, Geuseppi, Aziyan, Afif, Afifah dll. Hari pertama tak terlalu buruk, meski Dee terlambat dan dalam keadaan kurang siap ia yakin bahwa ia bisa melewati zona kritis ini. Dee adalah perempuan yang kurang menyukai dunia anak-anak, mungkin karena waktunya tak banyak dihabiskan bersama adik-adiknya sehingga ia juga tidak terbiasa dengan segala hal tentang dunia anak kecil. Tapi pekerjaan menjadi guru membuatnya harus mampu beradaptasi. Dee akan mulai terbiasa untuk excited, selalu tersenyum, menjawab hal hal yang menguji kesabaran, dan meyakinkan dirinya bahwa suatu saat ia tidak hanya mengurusi anak orang lain, melainkan anak sendiri. Apa salahnya jika ia belajar bukan? Atha, kamu dimana? Aku ingin bercerita~
0 notes