Text
Tanpa Tanda Tanya
Bagaimana akhirnya ketika kamu tahu bahwa sisa usiamu mungkin akan lebih singkat dibanding orang-orang pada umumnya karena penyakit yang kini kau derita sementara kau masih terjebak pada hal yang sesekali membuatmu merasa bodoh dan sia-sia.
Bagaimana akhirnya ketika kamu tahu bahwa mungkin dalam kurun waktu 5 atau 10 atau 15 tahun lagi mungkin hari-hari mu akan jadi berbeda dari orang umumnya. Kamu begitu berat untuk menyebut bahwa barangkali itu akan jadi hari yang ‘berat’ karena kamu masih berharap besar bahwa semuanya bisa baik-baik saja.
Bagaimana akhirnya ketika kamu tahu mungkin kamu akan ‘pergi’ lebih cepat ketimbang orang lain dan dengan harapan kamu bisa pergi meninggalkan hal baik dengan cara paling baik.
Bagaimana akhirnya ketika kamu tahu bahwa kamu harus menyimpan ini semua dalam koper rahasia hidupmu yang akan kau bawa ketika kereta itu menjemputmu.
Bagaimana akhirnya ketika semua pertanyaan diakhiri titik sebab kamu tahu bahwa menemukan jawabannya adalah hal yang muskil meski tak mustahil.
7 notes
·
View notes
Text
Bertemu Pandu
Beberapa waktu lalu, Kebun Kata berkesempatan ikut kegiatan sastra di Sungailiat. Saya berangkat dengan Kak Jo, kekasihnya, dan Aryo.
Di sana, kami berjumpa dengan Kak Caca, Ghalid, kawan-kawan dari Komunitas Akar Rumput, Komunitas LIRA, penonton, dan Pandu (tentu sja).
Saya mau cerita sedikit tentang kawan saya, Pandu. Saya masih ingat betul ketika ia datang dalam diskusi Komunitas Kebun Kata. Awalnya, saya kira mungkin ia hanya akan datang sesekali saja. Tetapi, ternyata keberadaannya di Kebun Kata jd berkelanjutan. Dan tentu saja ada peran besar Jemi, Sueb, dan kawan lain serta kesungguhan Pandu yg luar biasa untuk menyelam samudra sastra.
Dalam banyak kesempatan, rasanya saya ingin bicara banyak dengan Pandu, tp kmi tak pernah berada dalam situasi yg barangkali 30 menit penuh untuk bicara. Melihat Pandu semacam melihat tokoh dalam cerita sastra berat yang ditulis dengan cara paling apik dan berhasil. Saya jadi membayangkan bahwa penulisnya akan mendapatkan nobel sastra.
Menjelang pukul 12 malam, kegiatan kami di Sungailiat akhirnya selesai. Ban mobil Kak Jo kempis sehingga saya dan Aryo harus mengungsi ke mobil Ghalid. Dan ternyata Pandu juga ikut Ghalid.
Pandu membuka percakapan sewaktu kami menuju mobil. Topik yang dibawanya ialah perihal puisi. Ia bertanya tentang lirik lagu dan puisi. Saya berusaha menjawab sebaik mungkin. Di mobil, Pandu menunjukkan lirik puitis yang ia tulis. Tak hanya itu, ia mengirimi saya lagu dari lirik yang telah ditulisnya. Obrolan itu membawa kami pada topik-topik lagu dan puisi. Hingga akhirnya saya jadi ingat ada contoh musikalisasi puisi paling apik yang pernah saya tahu bahkan dikonserkan dan dinyanyikan oleh penyanyi papan atas. Ialah puisi Ruang karya Sitok Srengenge. Saya ingat betul ketika menemukan potongan konser itu semacam menemukan harta karun paling rahasia sehingga cepat-cepat saya mengunduh dan menyimpannya dalam folder musik di gawai saya. Dalam kesempatan kala itu, saya mengirimkan musikalisasi puisi Ruang ke Wa Pandu. Lantas, tahu apa respons Pandu yang semacam membenturkan kepala saya dan secara bersamaan membuat saya bertanya-tanya pula. “Loh bib ka masih ngunduh-ngunduh lagu juga? Kukira ka bakal kirim link spotify”. Saya rada sulit membahasakan apa yang terlintas dalam kepala saya saat itu. Tapi, sebegitu cepatnya kah zaman berubah? Di satu sisi, barangkali pikiran saya membisiki, “ini harta karun, tak mungkin ada di aplikasi dengar lagu lainnya.” Di sisi lain, “apakah saya sudah jadi bagian dari kaum marjinal yang masih mengunduh lagu untuk bisa mendengarkannya?” Serta pikiran-pikiran lain yang begitu sulit saya bahasakan. Tapi, pertanyaan Pandu di atas telah memberikan tegangan 220 volt ke kepala saya yang hingga saat ini belum mampu saya urai sehingga izinkan saya mengabadikannya di ruangan ini agar suatu hari saya bisa mengingat dan barangkali bisa mengurainya.
30 menit berlalu dan akhirnya kami sampai juga di Pangkalpinang. Setelah hampir 2 tahun mengenal Pandu, akhirnya saya punya 30 menit berbincang dengannya. Selamat Pandu, keberadaanmu telah membantu dalam memanusiakan kami.
Melihat Pandu seperti melihat penulis yang telah berhasil menuliskan novel sastra berat dengan tokoh yang paling apik dan menakjubkan. Semoga.
1 note
·
View note
Text
Malam ini hujan deras. Tetiba memutar lagu ini. Lantas, melempar saya pada sepenuhnya ingatan dua tahun lalu. November 2019 di kota Solo. Sore hari ketika hujan deras yang membawa saya berkeliling kampus bersama dingin dan geguguran angsana.
Pada musim gigil yang diiringi semi itu, suasana kota menjadi begitu melankolis. Kala itu, seperti merasa kesendirian paling sempurna yang lalu tidak pernah alpa berkunjung hingga tetes hujan terakhir tahun itu.
Malam ini hujan deras. Jauh dari detak jam saat ini sebenarnya kamar ini sudah lebih dingin dari biasanya. Akhir-akhir ini ada lebih banyak gigil yang menginap di dinding, kasur, dan kaca. Setiap kaca jadi lebih menyeramkan dari biasanya. Bayangkan saja betapa sialnya ketika kita harus bertatapan dengan wajah paling menyedihkan dan dua mata sembab seperti baobab. Tidak ada solusi terbaik selain menutup dan membalikkan setiap kaca di kamar. Manusia di balik kaca itu seringkali memakimu dengan keras. Lalu menarik rambutmu dengan kasar. Dan menyeretmu pada ingatan tragis yang paling berhasil menghancurkan malam-malam yang manis, dan kamu tentu saja.
Jauh sebelum kamu memaki orang lain, ada seribu cacian yang terlempar padamu. Pada akhirnya, kamu seperti merasa dilempar ke lobang terdalam dan seseorang menguburmu hidup-hidup atau bahkan membiarkanmu hidup dalam gelap dan minim oksigen. Dan orang itu ialah kamu, tentu saja.
Jauh sebelum kamu memutuskan untuk memalingkan muka dari orang lain. Seseorang di balik kaca sudah diam-diam memperhatikan hujan di kamarmu yang membuat seisi ruang penuh pilu. Sesak paling mematikan telah masuk ke tubuhmu dan membuat seisi dadamu bergetar hebat. Gempa di mana-mana. Tsunami menerjang muka. Sesekali longsor jatuh dari rambutmu yang kering dan sembrautan. Segala bencana sudah memporakporandakan kamar. Bunga-bunga di dinding seketika layu.
Malam ini hujan deras. Seseorang di balik kaca sedang memperhatikanmu bertasbih dalam samadi paling sunyi sambil menjahit luka yang terbuka: dengan menahan sakit, tentu saja...
Bumi yang damai, Satutujuh lima duasatu
7 notes
·
View notes
Text
Mei 2021
Halo, Tumblr dan seisinya!
Semuanya tentu baik-baik saja (bahkan terus bertumbuh dan berkembang yak!)
Wahh sudah lama sekali sejak terakhir menulis panjang di Tumblr.
Sebelumnya, terima kasih banyak untuk Red Velvet yang kali ini menemani dalam wujud lagu. Ahhh nada-nadanya membawa saya pada suasana malam dengan setumpuk lelah dan kerjaan di pundak. Itu jenis malam di perantauan yang paling saya nikmati: ketika setiap inci kesibukan membuat saya semakin hidup dan menyadari hidup.
Terima kasih juga untuk satu gelas es tebu sisa berbuka yang saya beli dari langganan saya: mas “Doa Ibu” di simpang empat Pasar Pagi. Mas yang super bersahabat dan selalu bertanya ke mana kawan baik saya yang biasa menemani beli es tebu. Mas yang kalo saya pesan sudah tahu pasti tidak pakai sedotan, seringkali tanpa es, dan suka bilang “tidak pakai saos, sambal, dan kecap”. Panjang umur Mas “Doa Ibu” yang sampai detik ini tidak saya ketahui asal dan namanya. Sehat selalu!
Sebelum menulis ini semua, saya sedang mengurus segala hal tentang rekening, indihome, honor, dan setangkup catatan kerjaan lain yang sudah semestinya saya segerakan. Sejak satu jam laptop ini saya hidupkan, belum sepatah kata pun tertuang dalam draft skripsi saya. Ntah kenapa lima bulan ini saya tidak betul-betul bergairah dengan skripsi yang awalnya sangat saya cintai ini. Satu bulan terakhir bahkan saya makin sering dikunjungi mimpi-mimpi indah dan buruk tentang perskripsian.
Huft, ini bukan akhir tahun (yang katanya paling tepat untuk merefleksikan diri). Akan tetapi, saya memang perlu mengenang satu tahun di “rumah” ini. Beberapa kali saya merasa kecerdasan saya menurun hahahaha. Ada banyak faktor dan alasan, seringkali di antaranya ialah karena sudah sangat jarang membaca. Bahkan, saya rasa tidak ada buku yang benar-benar saya tamatkan dalam setahunan ini. Meski, untuk banyak alasan, saya selalu menyebut karena ratusan buku saya ada di kosan Solo.
Tidak hanya tentang kecerdasan. Ntah bagaimana saya merasa menjadi berkali-kali lebih malas dari semua kemalasan yang pernah datang berkunjung dalam hidup saya. Tahun lalu ketika magang bahkan guru pembimbing magang pernah secara habis-habisan menyindir dan mengkritik saya yang awalnya dikira “bagus” ini karena betapa kacaunya laporan yang saya buat.
Banyak orang bilang saya cerdas, sesekali sangat cerdas, dan sering memukau dengan apa-apa yang dihasilkan oleh kepala saya. Topik skripsi yang bagus, presentasi yang luar biasa, tulisan yang menarik, pembawaan yang serius dan pintar. Banyak banyak kesempatan, saya suka terganggu dengan pujian-pujian. Tanpa ada maksud menolak semua pujian itu dan tidak bersyukur, tapi kadang saya merasa tentang betapa pujian-pujian itu pernah menjadi beban dalam hidup saya. Dalam beberapa kesempatan bahkan saya yakin orang-orang hanya sekadar memuji saya dan tidak betul-betul merasa saya demikian. Mungkin saya butuh lebih dari sekadar “Anda bagus! Anda hebat!”. Mungkin yang saya butuhkan juga alasan-alasan (untuk menguatkan diri saya) tentang mengapa saya bagus dan hebat. Ini sungguh egois nampaknya.
Pujian-pujian itu seringkali membuat saya seperti harus menemukan celah kekurangan lain agar saya tetap bisa merasa “manusia”. Satu tahunan ini mungkin memang cukup berat untuk dilalui karena saya tidak cukup kuat seperti sebelumnya. Pada banyak kesempatan, saya jadi ingin bilang ke orang-orang bahwa saya juga manusia yang punya malas, kadang salah, keliru, tidak tahu, tidak selalu pandai bicara, pernah sangat jelek dalam menyusun laporan (mungkin seringkali), klise, dan bisa menangis (konyol sekali bagian ini hahahaha).
Hei guys, saya sangat berterima kasih atas semua pujian luar biasa yang saya terima satu tahunan ini. Dan tidak ada yang salah dari itu. Ini semua saya buat hanya karena saya butuh jujur pada diri sendiri serta agar saya bisa berkaca tentang apa dan siapa saya dalam satu tahunan ini. Saya mau bilang kalau saya juga manusia yang tidak sesempurna itu dan ntah bagaimana saya ingin dilihat sebagai “manusia” itu. Kadang pujian juga membuat saya merasa termarjinalkan. Ini aneh memang dan saya tidak tahu bagaimana proses tersebut bisa terjadi.
Satu tahun ini saya melalui banyak kemalasan, sedikit berkarya, tidak banyak membaca, sering sekali menunda, suka marah, banyak salah, dan semua sisi “manusia” nya seorang “manusia”. Folder karya tahun 2021 saja hanya diisi oleh satu puisi. Jauh menurun dibanding tahun sebelumnya.
Eh eh ngomong-ngomong saya ndak sedang minta dihina juga hahahaha. Manusia memang runyam sekali yak…
Apa menjadi dewasa memang seperti ini?
Apa saya sedang tidak bersyukur?
Ada banyak pertanyaan yang tiba-tiba kembang di kepala saya dan satu-satunya yang saya pikir harus segera saya kerjakan ialah “menyelesaikan skripsi” HAHAHAHA
Saya menyakini bahwa semua masalah ini ialah diri saya. Oleh karena itu, saya benar-benar butuh diri saya untuk memulai dengan segera hal-hal baik dan menghentikan hal-hal yang sudah sepatutnya tidak dilanjutkan.
Btw saya ndak tahu kenapa menulis seperti di atas. Mungkin sebenarnya bukan itu yang ingin saya sampaikan di awal. HAHAHAHA. Sehat-sehat buat kita semua. Selamat menanti hari kemenangan!
“Kemenangan sesungguhnya ialah melawan diri sendiri. Pemenang sesungguhnya adalah diri sendiri!”
Pangkalpinang, lima lima duasatu
H.
2 notes
·
View notes
Text
Cerita Swaktu di R
Dan barangkali kita memang menciptakan kehancuran diri sendiri
Kadang, ingin sekali lari ke suatu negeri di mana kita mampu mendengar kembali detak jantung kita sendiri
Kita butuh sendiri kan untuk menyiapkan semuanya?
Kemarin, saya duduk sekitar satu jam di ruang tunggu sambil merenungi apa saja yang melintas di kepala. Saya mengambil penyuara jemala lalu mendengarkan sebuah lagu, menyaksikan orang lalu-lalang, dan termenung melihat diri saya duduk di tempat itu.
Sebagian diri saya seperti hilang
Seorang lewat di hadapan saya, seorang dokter spesialis. Ia tersenyum sambil bertanya ramah apakah saya sudah mendapat giliran masuk ruangan? Saya jawab, belum.
Akhirnya tiba, saya masuk ruangan itu juga. Ruangan dengan papan nama di atas nya yang tidak pernah saya duga akan kembali saya jumpai. Tapi sesuatu berkata di dalam dada saya:
Hey, kamu di sini, Kasih! Ayo nikmati.
Saya masuk. Seseorang juga masuk lalu tersenyum kepada saya. Seorang perempuan kira-kira berusia 30--40 tahunan. Rambutnya tergerai. Saya melihat nama di pin nya, seperti marga Batak. Ia menyilakan saya untuk duduk. Suaranya pelan, tapi mampu saya dengar. Ia membuka sebundel kertas. Ia bertanya cukup banyak sambil menuliskan jawaban saya. Kumpulan kertas itu seperti rekam medis, sekaligus petunjuk bagi dokter untuk memahami saya. Ia memulai dengan bertanya tentang riwayat hidup saya, lalu tentang obat-obat yang pernah saya minum, terapi yang pernah saya jalani, konsultasi yang pernah saya penuhi, keinginan dan keengganan yang menghantui, hingga pertanyaan-pertanyaan lain yang barangkali menjadi masalah saya selama ini. Untuk pertama kali setelah ntah beberapa lama, saya merasa seseorang begitu tertarik mendengarkan omongan saya. Ia tampak begitu peduli bahkan untuk jawaban-jawaban yang di luar dugaan. Untuk pertama kali setelah sekian lama, saya ingin menangis karena merasa didengarkan. Jadi, terima kasih untuk itu, Mba!
Setelah beberapa saat, ia meminta saya menunggu di luar. Saya kembali menunggu. Menyaksikan orang-orang di sekitar saya sungguh membuat saya ntah merasakan apa. Sesuatu yang tidak bisa saya jelaskan dengan baik.
Di tempat ini, saya seperti belajar tentang kehidupan yang tidak bisa saya paparkan dengan jelas. Bukan karena keengganan memaparkannya, tapi saya belum menemukan rangkaian kata terbaik untuk menjelaskannya. Saya duduk, berusaha memaknai tempat ini dan diri saya, melihat telah berapa jauh saya “melangkah” hingga sampai di tempat ini. Akhirnya, setelah sekian lama, saya punya waktu begitu intim bersama diri sendiri. Akhirnya, saya punya kesempatan memikirkan tentang nasib-nasib yang selama ini saya jalani. Tiba-tiba tempat ini menjelma seperti sebuah ruang yang mempertemukan saya dengan diri saya lalu membuat kesepakatan baru untuk berdamai dengan apa-apa yang selama ini menghantui saya. Akan tetapi, sesuatu yang tidak bisa saya hindari adalah kemarahan-kemarahan dari masa lalu dan pertanyaan-pertanyaan menjelma senapan laras panjang yang siap menembakkan pelurunya tepat di kepala saya. Ahhh, saya seperti ubur-ubur gila dalam serial kartun Spongebob. Ini lucu, konyol, dan menggelikan. Pada akhirnya, yang saya temukan adalah kesepakatan yang gagal saya buat antara diri saya dan saya.
Saya dipanggil untuk masuk ke ruangan tadi. di sudut ruangan yang muram cahaya, seorang dokter perempuan sedang duduk sambil membaca rekam medis saya. Saya duduk di hadapannya. Ia menanyakan beberapa hal dari apa yang tercatat di lembaran rekam medis saya. Saya menjawab dengan saksama. Ia bilang bahwa saya belum siap untuk membuat kesepakatan dengan diri saya. Ahh, pantas saya setengah tahun ini saya berusaha begitu keras dan menemukan kegagalan begitu banyak. Bahkan, untuk banyak bagian, saya mengacaukan banyak hal. Saya jadi sepakat dengan apa yang dikatakan dokter Diana. Ia menyarankan saya untuk mengikuti terapi obat satu hingga dua bulan ke depan. Langkah setelahnya yang perlu saya ambil setelah terapi obat ialah menemui psikolog untuk terapi selanjutnya. Saya sepakat untuk keputusan ini. Saya hanya ingin bisa mengambil alih diri saya lagi. Rasanya begitu muak dengan semua kemarahan yang berujung pada rasa bersalah yang keterlaluan ini. Saya lelah dan untuk banyak kesempatan saya hanya ingin tidur dengan tenang tanpa mimpi buruk yang disisipi tentang kisah dua orang. Bila ada pilihan untuk mimpi buruk yang harus saya pilih, mohon sediakan lis dan menunya, saya berharap bisa memilih dengan baik.
Kami tak banyak berbincang. Dokter minta agar saya mengurus surat asuransi agar biaya obat dan konsultasi tidak saya bayar sendiri. Harga obatnya mahal, begitu kata dokter. Ahh saya paham betul bagian ini, sejak pertama kali saya konsultasi dan terapi obat setahun lalu memang tidak sedikit uang yang dikeluarkan. Tapi, demi sesuatu yang lebih baik dari itu, bagi saya itu memang tidak masalah meski sebenarnya saya sendiri kewalahan mengatasinya. Tapi, hey, itu hal yang masih bisa diatasi oleh diri saya, minimal saya punya tabungan yang sering saya habiskan untuk kekasih saya dan saya. Tapi baiklah saya sepakat dengan dokter Diana. Beliau pun bersedia membuat surat keterangan. Lalu, beliau menulis resep obat saya yang harus saya antar ke bagian apotek RS.
Resep itu: Sentralin 50 mg, Merlopam 2 mg, Clozaprin 12,5 mg, Tnp 2 mg, Frimania 200 mg
Saya duduk lagi di tempat menunggu obat setelah menyelesaikan pembayaran. Akhirnya, obat itu datang juga. Sang apoteker menyerahkan sambil menjelaskan. Satu hal yang paling saya ingat: susah tidur juga kan ya?
Saya pulang. Mengendari motor dan menerobos hujan tanpa mantel. Dingin benar-benar menusuk hingga ke tulang. Sepanjang perjalanan menuju kota, saya menangis. Hujan menghapus tangisan itu dengan ganas. Wajah saya seperti ditampar-tampar hujan dan “Hey, bodoh berhentilah menangis!!” Tapi, sesekali saya merasa hujan seperti bagian dari cara Tuhan menyertai saya pagi ini. Saya merasa seperti didekap oleh rasa dingin yang gigil ini.
Kota yang kadang-kadang kubenci, 05 Juni 2020 (Hari di mana saya ke tempat itu)
3 notes
·
View notes
Text
Hi!! I thought i promised you that i would write you something in English when it's your birthday.
So, here we go nothing.
Dear Habib,
My son haha, my buddy. The one who accompanied and knows that i cried the other years. Pfft. Funny when i think about it again.
Habib, the name of Allah sweatheart. The greatest thing in this world that i know you for almost 6 years.
You are a great person as i believed. One of the many person i treasures. i adore you when it came to the play of your words. Little bit awkward but you try your best for everything in his world.
Habib, may every seconds of your life blessed. Don't you dare to think that the world is playing a game with you. You are loved by so many people. We do know you can't express your feelings very well, but it's okay. As long as it is what you mean by love, we understand it.
Be brave. Be happy. Everything will be good. Love yourself, and take care.
Just want you to know that you are loved. You are matters.
Happy birthday buddy. Be blessed.
💛💛💛💛
1 note
·
View note
Text
Guys
Udah pada 21an
Semoga kalian lekas mengerti arti hidup dan memaknai kehidupan dengan baik.🎉
Inget ortu ya yang bela2in mati2an buat ndidik kalian yang mgkin kalian gak bisa menerima cara mereka ndidik kalian.
Amanah dengan nafas yang tiap pagi dikasih Allah dengan penuh tanggungjawab.
Selesaikan semua yang sudah kalian mulai, dan mengambil tantangan2 yang mendewasakan.
🔥 Goodluck ya
0 notes
Text
Dalam keadaan depresi
Aku baru saja terbangun dari tidur yang teramat singkat setelah meratapi pesan buruk malam ini. Aku tak menyangka bahwa dengan melihat dinding dan atap kamar ini benar-benar cukup membuat air mata mengalir. Sekarang pukul 3, hampir 4. Ahh kenapa dengan tiga pagi.
Sebelum tidur, pikiran terakhir yang aku ingat adalah tidak ingin membalas pesan siapapun setelah terbangun.
Tadi, aku bangun dalam kesadaran memaki diri dan hidup. Kenapa ini masih datang menimpaku. Apa ini musibah? Kutukan? Atau apapun itu.
Pukul tiga pagi, hampir 4. Hujan. Aku mengecek ponselku. Seluruh pesan Whatsapp belum kembali utuh dan aku memang baru saja depresi karena kehilangan kenangan. Rasanya seperti kehilangan banyak ruang dan laci dalam kepala.
Aku keluar kamar. Menunduk melewati cermin di ruang tengah. Berjalan menuju kamar mandi untuk buang air kecil. Di kamar mandi, aku tidak berani menatap cermin. Aku takut melihat diriku setelah menangis semalaman. Aku mengasihani diriku! Juga sesekali mengutuknya. Di kamar mandi, aku terdiam sejenak lalu menyadari bahwa ada yang jatuh dari mataku. Hei, kenapa hujan masuk rumah?!
Sekarang aku berbaring di kasurku. Dengan suara hujan dan musik depresi yang sengaja kuputar pelan agar suara hujan tetap bisa masuk ke telingaku.
Masih depresi, kenapa aku begitu ketakutan. Diriku sendiri: tolong dekap erat dan hangat aku!
06.04.20 03.39 AM
0 notes
Text
Bagaimana kita bisa mendapatkan suatu ketenangan, sedangkan kita masih belum bisa menahan keinginan untuk selalu mengendalikan orang lain.
Padahal ketenangan yang kita cari-cari letaknya tidak jauh dari kesabaran kita. Pada kebesaran hati kita untuk selalu bersedia berkompromi dengan keadaan.
Kemurahan hati kita menjadi jarang sekali tersentuh, karena emosi kita yang mudah sekali tersulut. Kita menjadi mudah marah pada masalah-masalah sepele.
Membusungkan dada ketika orang lain tidak sesuai yang kita harapkan, ketika orang lain berbeda pendapat, ketika orang lain berbicara menyentuh ranah pribadi kita.
Seperti saat melihat sebuah percikan api, kita selalu menyiramnya dengan bensin, bukan berusaha memandamkannya dengan air.
Emosi kita menjadi mudah sekali terbakar. Sampai-sampai orang lain tidak bisa lagi mengenali kerendahan hati kita. Tidak bisa lagi melihat rasa belas kasih yang kita miliki.
—ibnufir
274 notes
·
View notes
Text
Menjelang pukul 5 pagi. Apa mata masih butuh istirahat? Hmm semoga kamu sudah tidur di sana.
0 notes
Text
0 notes
Text
Akhir-akhir ini bahkan aku bingung mana yang menjadi suara itu dan mana yang jadi bagian dari kekacauan pikiran itu. Ada terlalu banyak kegaduhan di kepala ini yang memisahkanku terlalu jauh dari suara kecil itu.
0 notes
Text
Kau dan Kebencianmu
Bila bertemu, pertanyaan pertama setelah "apa kabarmu" ialah "apa kau membenciku?"
Maaf, aku benar-benar penasaran tentang seberapa besar kau membenciku
1 note
·
View note
Text
Kamu dan Tulisanmu
Barangkali aku tidak begitu pandai menebak apa yang ada di pikiranmu.
Malam itu hujan, kota yang dingin, cahaya di mana-mana, langit kelabu.
Aku baru saja membaca tulisanmu. Masih sama, cantik seperti biasa.
Selamat dini hari. Goresan pensil pada kertas yang gersang dan lengan yang getar. Aku jadi teringat tentang segelas kopi hangat yang pernah kau sediakan. Pada akhirnya, semut menjarah manis dan kenangan.
Ada binatang kecil di kepala kita yang mungkin terjatuh. Bisakah kau hitung satu-satu?
Selamat dini hari. Aku terlempar pada ingatan tentang ladang yang hijau dengan cerita tentang matahari dan jam mandi. Lalu kita membeli sepasang kaos kaki baru yang lucu.
Tentang pertemuan, barangkali aku bukan ahli mengucap kata perpisahan. Tapi, kau mengajarkanku tentang menghargai kenangan. Terima kasih untuk itu.
Pkp, dua empat duanol
2 notes
·
View notes
Text
Hidup memang suka bercanda, tapi tidak lucu sama sekali. Seperti menaiki wahana roller coaster, takdir membawamu merasakan bahagia yang kemudian bisa menjatuhkanmu dan memberimu rasa kecewa, begitu juga sebaliknya. Bersembunyi pada waktu dalam kalimat, "waktu akan menjadi obat".
Padahal tidak ada yang benar-benar sembuh.
Hatimu hanya belajar menerima lalu terbiasa, kemudian rasa sakit itu perlahan mati, membuatmu tak bisa membedakan apakah hatimu sedang merasa benar-benar bahagia atau hanya ilusi.
Hidup itu dijalani, bukan dipikirkan. Tapi ekspektasi sekitar tak bisa untuk tak dihiraukan. Kau dituntut banyak hal, hingga lelah, hingga rasanya ingin menghilang tapi kau tak punya pilihan selain tetap berjalan sebab waktumu belum berhenti.
Berapa banyak luka yang kau sembunyikan dibalik senyuman? Berapa banyak tangis yang hanya dirimu yang tahu? Kau lelah tapi hidup tak memberimu kesempatan untuk beristirahat. Kau mencoba memaafkan dirimu tapi jiwamu tidak.
Hidup ini paradoks dan sungguh kau harus kuat untuk bisa bertahan.
149 notes
·
View notes
Text
Tuhan, bahwa diantara kesegalaanmu, semoga turun kepadaku ilham disetiap sepi dan pintaku. Izinkan aku memiliki rasa lupa, seperti yang orang enggan juga takutkan. Lupa, pada setiap luka. Lupa, pada setiap lara. Agar dendam ini tak perlu berat-berat kupendam. Agar esok hari aku membuka mata, maka kelapangan hatilah yang pertama kali kusapa.
Tuhan, juga berikanlah aku kaki-kaki yang tegak, sebagaimana yang kau tegakkan. Tegakkanlah aku pada dunia yang setiap saat selalu ingin menerjang dan menginjak mental dan ragaku. Agar simpuhku hanya milikmu, agar tangisku hanya disaksikan olehmu. Juga karena tak semua orang ‘mau’ dan ‘perlu’ peduli dan mencintaiku, aku berterima kasih karena masih engkau anugerahkan satu-dua orang terdekat yang membuat hidupku lebih berharga dan kaya makna.
Juga, mohon satu lagi, Tuhan. Kalaulah aku selama ini berjuang untuk mengumpulkan sesuatu, maka jadikanlah aku ingat bahwa segalanya itu tiada artinya. Sebab, tak ada juga yang nantinya bisa kubawa ke alam baka. Sebab, apapun yang kupunya, rasa bersyukur pun tak pernah becus kupanjatkan dalam doa. Sebab, sebanyak apapun yang ada, maka engkaulah yang memberikan segala ilham ‘bahagia’ ketika memilikinya.
Agar sesuatu yang tiada artinya kubela pontang-panting setiap hari itu tak kusesali bila akhirnya pergi, dan tak kusedihkan bila tak pernah kumiliki. Benda, orang, kesempatan, bahkan semuanya… hanya kecil artinya dibandingkan kesadaran yang kau turunkan padaku. Kesadaran, bahwa aku juga bukan siapa-siapa dan sejatinya tak memerlukan apa-apa, terkecuali atas apa yang engkau telah berikan.
-miftahulfk
88 notes
·
View notes
Text
“Seseorang yang kutulis, adalah seorang yang kuingat. Darinya, yang kuingat itu pastilah seseorang yang kuhormati.”
— Kutulis kamu. Maka, artikan sendiri.
242 notes
·
View notes