#Biografi Prabowo
Explore tagged Tumblr posts
realitajayasaktigroup · 1 year ago
Text
Siapa Prabowo Subianto ? Ini Biografinya
RELASIPUBLIK.OR.ID, JAKARTA  || Siapa yang tak kenal dengan sosok hebat Prabowo Subianto ? Namanya selalu santer diperbincangkan di dunia politik dan militer. Tidak hanya “menguasai” dunia politik dan militer saja, ternyata telah banyak mengemban tugas penting di negara kita ini, baik itu di bidang ekonomi hingga pergerakan Indonesia. Lalu, siapa sebenarnya Prabowo Subianto itu ? Bagaimana kiprah…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
pardomuansitanggang · 4 months ago
Text
Biografi Megawati Soekarnoputri, PARDOMUANSITANGGANG.COM – Biografi Megawati Soekarnoputri Nama Lengkap: Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri Nama Panggilan: Megawati Tempat, Tanggal Lahir: Yogyakarta, 23 Januari 1947 Latar Belakang Megawati Soekarnoputri adalah putri dari Presiden pertama Indonesia, Soekarno, dan Fatmawati. Lahir dalam keluarga yang memiliki pengaruh besar dalam sejarah politik Indonesia, Megawati dibesarkan dalam suasana yang penuh dengan dinamika politik dan perjuangan nasional. Pendidikan Megawati menempuh pendidikan dasar dan menengah di Jakarta. Setelah lulus SMA, ia melanjutkan pendidikan di Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Bandung, dan Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia. Namun, ia tidak menyelesaikan pendidikannya di kedua universitas tersebut. Karir Politik Awal Karir Politik Megawati mulai terjun ke dunia politik pada tahun 1986 ketika ia bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), partai yang didirikan melalui fusi beberapa partai nasionalis dan agamis di era Orde Baru. Pada tahun 1993, ia terpilih sebagai Ketua Umum PDI dalam Kongres Luar Biasa di Surabaya. Krisis PDI dan Pembentukan PDI-P Kepemimpinan Megawati di PDI menghadapi tantangan besar ketika pemerintah Orde Baru di bawah Presiden Soeharto mencoba menggantikannya dengan Soerjadi melalui Kongres PDI di Medan tahun 1996. Insiden 27 Juli 1996, yang dikenal sebagai Kudatuli, menjadi puncak dari konflik ini ketika terjadi penyerangan terhadap kantor DPP PDI di Jakarta. Setelah insiden tersebut, Megawati bersama pendukungnya mendirikan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) pada tahun 1999. Presiden Indonesia (2001-2004) Setelah jatuhnya Soeharto pada 1998, Indonesia memasuki era reformasi. Pada pemilu 1999, PDI-P memenangkan suara terbanyak. Namun, Megawati tidak langsung menjadi presiden. Baru pada 23 Juli 2001, setelah MPR mengadakan sidang istimewa yang memakzulkan Presiden Abdurrahman Wahid, Megawati diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia ke-5. Masa kepresidenannya ditandai oleh upaya konsolidasi demokrasi, reformasi ekonomi, dan penanganan masalah separatisme di Aceh dan Papua. Peran Pasca-Kepresidenan Setelah masa jabatannya berakhir pada tahun 2004, Megawati tetap aktif dalam politik sebagai Ketua Umum PDI-P. Ia berperan penting dalam pemilihan umum 2014 dan 2019, yang berhasil membawa Joko Widodo (Jokowi), kader PDI-P, menjadi Presiden Indonesia. Kehidupan Pribadi Megawati menikah tiga kali. Suami pertamanya adalah seorang perwira TNI bernama Surindro Supjarso, yang meninggal dalam kecelakaan pesawat. Pernikahan keduanya dengan seorang diplomat Perancis, Hassan Gamal, berakhir dengan perceraian. Ia kemudian menikah dengan Taufiq Kiemas pada tahun 1973, dan mereka memiliki tiga anak: Mohammad Rizki Pratama, Mohammad Prananda Prabowo, dan Puan Maharani. Taufiq Kiemas adalah seorang politisi senior yang juga menjabat sebagai Ketua MPR sebelum wafat pada tahun 2013. Putrinya, Puan Maharani, mengikuti jejaknya dalam politik dan telah menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan serta Ketua DPR RI. Pengaruh dan Warisan Megawati Soekarnoputri merupakan salah satu tokoh penting dalam sejarah politik Indonesia modern. Sebagai putri dari Proklamator Kemerdekaan, ia meneruskan warisan politik ayahnya dengan mendirikan dan memimpin PDI-P, yang menjadi salah satu partai politik terbesar di Indonesia. Kepemimpinannya dalam partai dan perannya sebagai Presiden Indonesia ke-5 menegaskan komitmennya terhadap demokrasi dan reformasi di Indonesia. Kesimpulan Megawati Soekarnoputri adalah figur sentral dalam politik Indonesia dengan kontribusi yang signifikan dalam konsolidasi demokrasi dan reformasi politik di era pasca-Soeharto. Warisan politik dan kepemimpinannya terus berlanjut melalui peran aktifnya dalam PDI-P dan pengaruhnya dalam politik nasional.
0 notes
rmolid · 4 years ago
Text
0 notes
kadaryanto97 · 4 years ago
Photo
Tumblr media
Demokrasi, Korupsi, dan Makhluk Halus dalam Politik Indonesia Kontemporer Penulis : Nils Bubandt Penerjemah : Achmad Fedyani Saifuddin Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia ISBN : 978-602-433-394-2 Dimensi : 14,5 x 21 cm Cover : softcover Kertas : book paper Halaman : xvi + 280 hlm Tahun : Terbit 2017 Original Harga Rp90.000 diskon 20% Rp72.000 Sinopsis Buku ini menggambarkan bahwa paradoks ini dan paradoks-paradoks demokrasi lain dalam masyarakat Indonesia kerap mengasumsikan bentuk-bentuk kegaiban dalam imajinasi politik Indonesia, dan bahwasanya karakter mirip makhluk halus dalam demokrasi dan korupsi menyusup ke dalam media nasional dan elit politik. Melalui serangkaian telaah biografi wirausahawan politik, yang kesemuanya memanfaatkan makhluk halus berbagai ragam, tetapi berkontestasi sengit, buku ini berupaya memaparkan potret demokrasi Indonesia yang penuh kontradiksi, dan menandaskan bahwa kontradiksi- kontradiksi yang mengejawantah dalam demokrasi Indonesia juga memengaruhi demokrasi secara global. Eksplorasi mendalam yang menunjukkan kelindan dunia politik dan dunia makhluk halus. Penulis berargumentasi bahwa masalah khas Indonesia tampaknya bertumpu pada temali keterkaitan antara demokrasi dan makhluk halus yang mencerminkan sejumlah kontradiksi dalam demokrasi itu sendiri. #politik #indonesia #politics #viral #jokowi #news #politikindonesia #prabowo #deutschland #cdu #b #berita #jakarta #prabowosandi #pilpres #kommunalwahl #pemilu #spd #ekonomi #mahasiswa #berlin #csu #politiker #islam #gr #beritaviral #khilafah #beritaterkini #sterreich #indostar_bookstore https://www.instagram.com/p/CA56UgZhejU/?igshid=1smcvby2lp415
0 notes
adeirwansyah · 5 years ago
Text
ESAI FILM: Ada Apa dengan Ahok dan Hanum?
Tumblr media
JURNALRuang   Film | Esai
Ada Apa dengan Ahok dan Hanum?
Oleh Ade Irwansyah
17 Desember 2018, Durasi: 10 menit Di tengah kecamuk persaingan dua kandidat pemilihan presiden (pilpres) dan masing-masing pendukungnya, hadir film A Man Called Ahok  (Putrama Tuta) dan Hanum & Rangga: Faith in the City (Benni Setiawan) pada awal November 2018. Walau kontennya tak sama sekali menyinggung pilpres dan pileg (pemilihan legislatif) 2019, kedua film tersebut seperti ditakdirkan untuk terlibat dalam keriuhan tahun politik. Film A Man Called Ahok diasosiasikan sebagai film bagi pendukung Jokowi (akrab disebut kecebong atau cebong di lini masa media sosial),  sedangkan film Hanum & Rangga bagi pendukung Prabowo (biasa dipanggil kampret). Itu sebabnya, perbincangan soal dua film ini, terutama di dunia maya, tak menyinggung konten maupun estetikanya, tapi perpanjangan dari adu mulut (jari?) saling menjagokan pujaan dan menjatuhkan lawan masing-masing. Hal yang lantas ramai diperdebatkan adalah soal jumlah penonton dan mobilisasi penonton oleh masing-masing pihak. Tulisan ini tak berniat menambah keriuhan soal itu.  Namun, yang hendak saya bincangkan mengenai bagaimana dua film itu hadir dan apa yang direpresentasikan setiap film. Persoalan politik jelas tak terhindarkan dalam perbincangan ini, tapi saya janji akan melampaui debat cebong versus kampret yang tak bermutu.
Rasa Antagonistis Film A Man Called Ahok
Film A Man Called Ahok diangkat dari buku berjudul sama karya Rudi Valinka (pemilik akun Twitter @kurawa).  Buku itu bukan sebuah biografi politik yang ditulis dengan metodologi riset yang ketat, tapi sebuah reportase yang dilaporkan lewat Twitter lalu dibukukan. Fokus buku dan filmnya bukan seputar bagaimana Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok membangun karier politik dari bawah, tapi pada nilai moral yang menjadi akar sikap anti-korupsinya. Setengah durasi film ini pun tak bicara soal Ahok, tapi ayahnya, Kim Nam (dimainkan Deni Sumargo ketika muda dan di masa tua oleh Chew Kin Wah), yang sejak muda tak bisa dibeli oleh birokrat korup.  Sifat ini menurun ke anaknya, Ahok (Daniel Mananta).  
Film berakhir saat Ahok terpilih jadi bupati Belitung. Seakan ingin menghindari kontroversi, filmnya tak menyinggung dua hal yang mengiringi nasib Ahok dalam dua tahun terakhir: soal kasus penistaan agama yang menyeretnya ke bui serta biduk rumah tangganya yang berujung perpisahan. Bahkan, saking menghindari persoalan pribadi Ahok itu, kisah cinta yang biasa jadi bumbu cerita pun absen dalam narasi film ini. Kendati tanpa Al-Maidah: 51 (Ahok dituduh menghina ayat Alquran ini) dan Veronica Tan (istri yang ia ceraikan), sosok Ahok dan ayahnya dalam A Man Called Ahok tetap layak dibincangkan. Semasa rezim Orde Baru, film semacam ini mustahil bisa dibuat. Bahkan, ada warga keturunan Tionghoa jadi bupati pun tak terbayangkan. Kita tahu, pada masa Orde Baru, warga etnis Tionghoa tak mendapat tempat di kancah politik lokal dan nasional. Mereka dibolehkan berkiprah di sektor ekonomi. Namun, keberadaan mereka seringkali jadi sapi perahan pejabat korup. Ada upeti yang harus dibayarkan untuk setiap konsesi bisnis yang mereka dapat. Muak akan praktek itu, Kim Nam meminta Ahok untuk kelak menjadi pejabat (bupati) agar bisa memberantasnya. Permintaan itu tentu saja melampaui zamannya. Buat saya, ada dua tafsir di baliknya. Pertama, meminta Ahok untuk menjadi bupati lahir dari ekspresi kemarahan pada praktik yang koruptif, bukan hasil permenungan mendalam tentang strateginya. Kedua, Kim Nam berharap di masa depan, Indonesia memberi kesempatan bagi warga etnis Tionghoa untuk berperan di politik. Kesempatan berpolitik praktis bagi warga etnis Tionghoa nyatanya baru terbuka pasca-1998. Ahok adalah produk dari era baru politik bagi etnis Tionghoa, termasuk juga filmnya. Seperti dicatat Ariel Heryanto dalam Identitas dan Kenikmatan (2015), warga etnis Tionghoa tak pernah diakui perannya di jagat film nasional.   Sejarah resmi perfilman nasional dimulai pada 1949, saat Usmar Ismail melakukan syuting film Darah dan Doa. Padahal, film di Nusantara telah dibuat sejak awal 1920-an oleh orang Eropa dan warga etnis Tionghoa. Namun, film-film yang mereka bikin dianggap tak mencirikan semangat kebangsaan. Sejarah resmi itu hingga kini diaminkan dan tak ada yang coba menggugatnya.   Pada masa Orde Baru, lagi-lagi warga etnis Tionghoa yang berkiprah di bidang film dicap sebagai pedagang. Film diposisikan sama dengan komoditas lain, seperti cengkeh, mobil, hasil tambang, dan sebagainya. Hanya satu-dua orang etnis Tionghoa yang berada di depan dan balik layar sebagai pemain atau sutradara pada masa Orde Baru. Salah satu yang menonjol adalah Teguh Karya alias Steve Liem atau Liem Tjoan Hok. Namun, ia tidak pernah dianggap sebagai sutradara karena latar belakang etnisnya. Film-filmnya juga tak secara khusus merepresentasikan etnis Tionghoa. Yang menarik, film-film yang narasinya berlatar tentang etnis Tionghoa pada era pasca-Orde Baru kebanyakan justru tidak dibuat oleh sutradara berlatar etnis sama. Sebut saja Ca Bau Kan (2002) yang dibuat Nia DiNata dan Gie (2005) karya Riri Riza. Film A Man Called Ahok pun digarap Putrama Tuta. Walau begitu, ada pula sutradara-sutradara dari etnis Tionghoa yang kiprahnya mencuat, seperti Edwin (Babi Buta yang Ingin Terbang, Posesif, Aruna dan Lidahnya) dan Ernest Prakasa (Ngenest, Cek Toko Sebelah, Susah Sinyal). Namun, baik Ernest maupun Edwin serta film-film tentang warga etnis Tionghoa yang mereka buat butuh ruang diskusi lain di luar tulisan ini. Saat para sutradara yang bukan dari etnis Tionghoa menggarap film tentang etnis Tionghoa, maka penggambaran ideal sosok Tionghoa muncul dalam narasi film mereka. Seolah, film tersebut dibuat sekaligus sebagai permintaan maaf bangsa ini karena telah puluhan tahun berlaku tak adil kepada warga etnis Tionghoa. Cacat mereka tak tampak di layar.
Hal itulah yang membedakan, misalnya, film A Man Called Ahok dengan film-film garapan Ernest. Di film-filmnya, Ernest seperti tidak ada beban untuk berani mengolok-olok ke-Tionghoa-annya. Sementara Riri dalam Gie atau Tuta dalam film A Man Called Ahok ogah lancang menyentil itu. Maka,  Ahok,  Kim Nam, dan Soe Hok Gie dalam layar lebar tampak setali tiga uang: sosok ideal yang layak jadi panutan. Mereka nyaris tanpa cela dan terlalu sempurna sebagai manusia. Sampai di sini, pencapaian film A Man Called Ahok tidak beranjak dari yang sudah disajikan Gie sekitar dua belas tahun lalu. Hal ini sedikit banyak juga menggambarkan sikap kita terhadap warga etnis Tionghoa. Dua puluh tahun setelah reformasi rupanya kita masih berjarak dengan saudara-saudara kita itu. Keengganan menggambarkan sisi kontroversi subjek yang difilmkan adalah cerminan sikap itu. Sikap semacam ini, menurut hemat saya, tak elok. Sebab, kita seolah menutup pintu untuk berdialog secara terbuka. Pada akhirnya, sikap tersebut berkontribusi untuk melahirkan situasi saat ini: Ahok dipuja pemujanya dan sangat tak disukai pembencinya. Film A Man Called Ahok berada di kubu pemujanya. Maka, sosok Ahok yang muncul serba baik. Pilihan kreatif ini membuat filmnya jadi terasa antagonistis bagi pembencinya. Film A Man Called Ahok pun jadi film untuk kalangan sendiri (baca: Ahokers). Lantas, bagaimana dengan film Hanum & Rangga: Faith in the City? Film Hanum & Rangga Tak Buka Pintu Dialog Bagi kebanyakan orang, terutama mereka yang larut dalam keriuhan media konvensional dan media sosial, rupanya baru mengenal nama Hanum Salsabiela Rais saat muncul hiruk pikuk kabar pemukulan terhadap aktivis Ratna Sarumpaet—kabar yang ternyata hoaks.  Hanum sendiri mengikuti garis partai Partai Amanat Nasional (PAN) dan ayahnya, Amien Rais, dengan berada di kubu capres Prabowo. Padahal, bagi penikmat film Indonesia, nama Hanum adalah sebuah franchise, persis James Bond atau Harry Potter. Hanum Rais menulis buku setengah fiksi berdasarkan kisah hidupnya saat tinggal di Eropa dan Amerika Serikat. Kisah itu lantas difilmkan jadi empat film panjang, yakni 99 Cahaya di Langit Eropa I dan II (2013, 2014) serta Bulan Terbelah di Langit Amerika I dan II (2015, 2016). Sementara Hanum & Rangga: Faith and the City merupakan sekuel terbaru dari film-film terdahulu. Hanum Rais selalu diperankan Acha Septriasa, sedangkan suaminya, Rangga, semula dimainkan Abimana Aryasatya, tapi di film teranyar digantikan Rio Dewanto. Untuk ukuran film Indonesia, franchise film-film Hanum terbilang laris. Film pertamanya saja ditonton 1,1 juta orang dan menjadi film terlaris nomor dua pada 2013. Buku Ariel Heryanto, Identitas dan Kenikmatan, bisa menjadi teman yang baik untuk memahami film-film Hanum. Di buku itu, Ariel meminjam konsep post-islamisme yang digagas Asef Bayat (1996). Bayat menganalisis kondisi sosial-politik di Timur Tengah pada pertengahan 1990-an. Menurut Ariel, apa yang terjadi pada kecenderungan konsumsi budaya populer islami di Iran, Mesir, dan banyak negara Timur Tengah lain juga paralel dengan yang terjadi di Indonesia sejak 1990-an sampai era 2000-an. Kita tahu pada 1990-an kelas menengah muslim mulai bangkit. Di saat bersamaan, sikap rezim Orde Baru terhadap Islam politik juga melunak. Sikap antagonistis yang berlangsung pada era 1970-an dan 1980-an berganti dengan sikap akomodatif. Islam politik diberi tempat, antara lain lewat pendirian Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Pada dekade itu pula Soeharto melakukan ibadah haji, yang kemudian dianggap menandai perubahan kebijakan rezim terhadap Islam politik. Di masyarakat, pendakwah pun kian popular. KH Zainuddin MZ dilabeli dai sejuta umat. Majelis-majelis dakwah tumbuh subur di kantor maupun kampus sekuler. Seminar keislaman berlangsung di hotel, alih-alih di masjid. Berjilbab tak lagi dianggap simbol radikalisme ekstrem kanan. Jilbab juga bisa dikawinkan dengan mode. Gaya hidup islami kian diakomodir dengan kehadiran bank syariah. Di jagat sastra lahir generasi penulis baru, misal komunitas penulis Forum Lingkar Pena (FLP), yang membedakan dari karya sastra Danarto, Kuntowijoyo atau Abdul Hadi WM. Di jagat budaya pop, musik nasyid—yang tadinya dilabeli musik kalangan sendiri—merambah ranah arus utama. Meskipun sebagai komprominya, nasyid jadi ditambahkan alat musik pengiring. Selain nasyid yang dibawakan Raihan dan Snada,  ada pula solois Opick. Lagu-lagu selawat dipopulerkan Haddad Alwi. Di televisi, sinetron religi hadir selama Ramadan dan juga bulan-bulan setelahnya. Di saat itu, film islami (religi) tinggal menunggu waktu. Penantian itu berakhir pada 2008 dengan dirilisnya film Ayat-ayat Cinta karya Hanung Bramantyo, yang berdasarkan novel Habiburrahman El Shirazy, eksponen Forum Lingkar Pena. Film tersebut menandai perubahan tema Islam yang diangkat ke layar lebar. Seperti dicatat Eric Sasono (Kompas, 4 April 2008), film islami biasanya tidak mengambil cinta sebagai tema utama. Sebab, tema cinta tunduk pada hal yang substansial dalam pandangan Islam. Ini terlihat pada film-film islami pra-1998, seperti Titian Serambut Dibelah Tujuh dan Nada dan Dakwah, yang menempatkan persoalan cinta tokoh-tokohnya hanya cerita sampingan. Dalam Ayat-ayat Cinta (AAC), persoalan cinta dirayakan sambil diberi pemecahan islami, seperti taaruf dan poligami. Eric lalu menyimpulkan bahwa tokoh utama AAC,  Fahri yang apolitis, adalah si Boy baru yang tersandera persoalan cinta. Tema begini masih berlanjut dengan Ketika Cinta Bertasbih I dan II hingga dua jilid Surga yang Tak Dirindukan. Lantas bagaimana dengan franchise film-film Hanum? Film-film Hanum mencoba melangkah dari cinta sebagai tema utama. Yang dirambah adalah persoalan besar umat Islam di tingkat global pasca-tragedi 11 September 2001 atau 9/11. Latar Eropa dan Amerika membawa tokoh-tokoh filmnya terseret persoalan Islam versus Barat, isu terorisme serta islamofobia pasca-9/11. Itulah yang tercermin dari masing-masing dua jilid film 99 Cahaya di Langit Eropa dan Bulan Terbelah di Langit Amerika. Di empat film pertamanya, Hanum terjebak dalam tesis benturan peradaban Huntington lantaran ia seolah mengamini tesis itu.  Yang tampak di layar justru adalah Barat yang kebanyakan menaruh curiga kepada Islam dan menempatkan Islam sebagai lawan. Hanum dan tokoh lainnya menjadi korban dan akhirnya keluar sebagai pemenang dalam benturan peradaban ini.   Kritik utama saya kepada film-film Hanum ialah filmnya tak hendak membuka dialog tentang Barat versus Islam, tapi justru menyiram api konflik semakin berkobar. Filmnya tampak ditujukan bagi umat Islam di negeri sendiri sambil bilang, "Begini lho, sikap orang Barat pada Islam." Adapun tema film kelima, Hanum & Rangga, sedikit bergeser. Persoalan global umat muslim berkelindan dengan persoalan pribadi (baca: cinta dan perkawinan) Hanum. Kendati demikian, dalam Hanum & Rangga, karakter Hanum masih harus berhadapan dengan stigma buruk terhadap Islam. Pihak Barat kali ini diwakili media yang mengeksploitasi isu terorisme dan Islam demi rating tinggi. Hanum kemudian berusaha mendobrak. Ia datang dengan konsep acara Punk'd yang ramah muslim. Acara yang ia percaya bisa mendatangkan rating sekaligus tak memojokkan Islam dan umat Islam. Jadi, kira-kira bayangkan Ashton Kutcher membawa wanita bercadar untuk mengerjai orang. Pada saat bersamaan, Hanum dibelit persoalan rumah tangga, yakni harus memilih antara karier atau keluarga. Lagi-lagi film Hanum yang terbaru ini juga tak hendak membuka dialog. Barat, diwakili medianya, digambarkan memusuhi Islam. Kita bisa mendengar tokohnya berkata sambil setengah berteriak, "The world would be a better place without Islam." Hanum melawan omongan itu. Ia membuktikan Islam memberi rahmat pada seluruh alam. Yang disayangkan semua disampaikan serba verbal lewat dialog perdebatan ketimbang bahasa gambar. Di sini filmnya melanggar kaidah "show don't tell." Namun, saya lantas berpikir, pilihan kreatif itu dilakukan dengan sadar karena target penontonnya. Film ini tampaknya menyasar umat Islam berpendidikan menengah ke bawah yang sudah menanam kecurigaan buruk pada Barat. Di sini Hanum & Rangga tidak memberi sumbangsih apa pun, kecuali memberi tontonan untuk kalangan sendiri. Jadi, mana yang Anda pilih, Jokowi atau Prabowo, eh film A Man Called Ahok atau film Hanum & Rangga? (*)
  Ade Irwansyah, wartawan. Bukunya, “Seandainya Saya Kritikus Film” diterbitkan penerbit indie di Yogyakarta, Homerian Pustaka pada 2009.
 Link asli: https://jurnalruang.com/read/1545046604-ada-apa-dengan-ahok-dan-hanum
0 notes
Text
Jokowi - Joko Widodo - Jokowi: Anak Saya Jualan Martabak, Jangan Ragukan Komitmen Saya Kepada UMKM
New Post has been published on http://gampangqq.link/jokowi-joko-widodo-jokowi-anak-saya-jualan-martabak-jangan-ragukan-komitmen-saya-kepada-umkm/
Jokowi - Joko Widodo - Jokowi: Anak Saya Jualan Martabak, Jangan Ragukan Komitmen Saya Kepada UMKM
Tumblr media Tumblr media
Foto:
Nama Lengkap : Joko Widodo
Alias : Jokowi
Profesi : Birokrat
Agama : Islam
Tempat Lahir : Surakarta, Jawa Tengah
Tanggal Lahir : Rabu, 21 Juni 1961
Zodiac : Gemini
Hobby : Membaca | Traveling
Warga Negara : Indonesia
Istri :
Iriana
Anak :
Gibran Rakabuming Raka
BIOGRAFI
Nama Joko Widodo mulai menjadi sorotan ketika terpilih menjadi Walikota Surakarta. Awalnya publik menyangsikan kemampuan pengusaha mebel ini untuk memimpin dan mengembangkan kota Surakarta, namun beberapa perubahan penting yang dibuat untuk membangun Surakarta di tahun pertama kepemimpinannya menepis keraguan ini. Selengkapnya
ARSIP BERITA
Tumblr media Tumblr media
Rabu, 28 November 2018 16:44:25 Kubu Jokowi: Guru Korupsi Itu Mantan Mertuanya Prabowo
Menurut dia, masalah korupsi itu adalah pekerjaan rumah bersama. “Sampai sekarang kita harus mencuci piring dari tradisi yang dilakukan pada zaman yang lalu. Sumbernya itu sudah terjadi sejak periode kekuasaan, dimana pada waktu itu Pak Prabowo menjadi bagian dari kekuasaan orde baru pada waktu itu,” ungkap Basarah.
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Rabu, 28 November 2018 14:51:44 Fadli Zon Yakin Elektabilitas Jokowi Turun Jika Ahok Gabung PDIP
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon angkat bicara soal kabar Ahok akan bergabung dengan PDIP usai bebas dari tahanan Januari 2019. Menurutnya, bergabungnya Ahok justru akan menurunkan elektabilitas capres nomor urut 01, Joko Widodo alias Jokowi yang didukung PDIP.
Tumblr media Tumblr media
Rabu, 28 November 2018 14:20:22 Presiden Jokowi Batalkan Rencana Relaksasi DNI
Presiden Jokowi berencana membatalkan rencana relaksasi Daftar Negatif Investasi (DNI) dari paket kebijakan ekonomi ke-16. Menurut Presiden Jokowi, hal ini menyusul adanya keluhan dari Kamar Dagang Indonesia (Kadin) dan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi).
Tumblr media Tumblr media
Rabu, 28 November 2018 13:41:31 Fadli Zon Sebut Pembangunan Infrastruktur Bukan Prestasi, Jokowi Pencitraan
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon mengomentari Calon Presiden petahana nomor urut 01 Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang melakukan percepatan infrastruktur jelang Pilpres 2019. Dia mengatakan, percepatan pembangunan infrastruktur itu hanya bentuk pencitraan saja.
Tumblr media Tumblr media
Rabu, 28 November 2018 12:37:23 Kubu Jokowi Bidik Pendukung Setengah Hati Prabowo-Sandi
Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf, Abdul Kadir Karding mengatakan pihaknya bakal menggaet suara pendukung setengah hati Prabowo-Sandi. Namun Karding tidak menyebutkan upaya yang akan dilakukan TKN.
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Rabu, 28 November 2018 10:25:20 Resmikan Tol Sragen-Ngawi, Jokowi Bangga Rest Area Dipenuhi Produk Lokal
Presiden Joko Widodo meresmikan ruas Tol Sragen-Ngawi, yang menjadi salah satu bagian Tol Trans Jawa, di Rest Area 538, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Peresmian tol sepanjang 51 kilometer ditandai dengan penekanan tombol, bersama Menteri BUMN dan Dirut Jasa Marga tepat pukul 9.07 WIB.
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Berita Selengkapnya
Foto Selengkapnya
Source
0 notes
idberita24 · 6 years ago
Text
Cetak Sejarah Baru, Mahasiswa dan Pemuda Tentukan Sikap di Pilpres 2019
Cetak Sejarah Baru, Mahasiswa dan Pemuda Tentukan Sikap di Pilpres 2019
  Prosesi Pernyataan Sikap Mahasiswa Dan Pemuda dukung Prabowo-Sandi di Pilpres 2019
Berita24.Com–Bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda, sejumlah  mahasiswa dari sejumlah Universitas di Indonesia beserta Pemuda yang tergabung dalam Koalisi Mahasiswa dan Pemuda (KMPM) menangkan Prabowo-Sandi  berkumpul untuk menyatakan sikap terkait pilpres 2019 mendatang, pernyataan sikap itu dilakukan di rumah…
View On WordPress
0 notes
updateterbaruterkini · 7 years ago
Text
Biografi Ryuji Utomo Prabowo Pemain Berbakat Milik Indonesia
Biografi Ryuji Utomo Prabowo Pemain Berbakat Milik Indonesia. Pria yang lahir di Jakarta, Indonesia pada tanggal 1 Juli 1995, terkenal sebagai pemain bola dengan wajah gantengnya dan tentunya prestasinya.
Ryuji merupakan salah satu pemain berbakat asal Indonesia yang merupakan blasteran ibu yang berdarah Jepang (ibu Yukiko Hayano) dan ayahnya yang berasal dari Jawa, sedangkan neneknya berasal…
View On WordPress
0 notes
realitajayasaktigroup · 1 year ago
Text
Inilah Sosok Prabowo Subianto Calon Presiden 2024
REKONFUNEWS.COM, JAKARTA  ||  Siapa yang tak kenal dengan sosok hebat Prabowo Subianto ? Namanya selalu santer diperbincangkan di dunia politik dan militer. Tidak hanya “menguasai” dunia politik dan militer saja, ternyata telah banyak mengemban tugas penting di negara kita ini, baik itu di bidang ekonomi hingga pergerakan Indonesia. Lalu, siapa sebenarnya Prabowo Subianto itu ? Bagaimana kiprah…
Tumblr media
View On WordPress
0 notes
pardomuansitanggang · 4 months ago
Text
Biografi Joko Widodo, PARDOMUANSITANGGANG.COM – Biografi Joko Widodo Nama Lengkap: Joko Widodo Nama Panggilan: Jokowi Tempat, Tanggal Lahir: Surakarta (Solo), Jawa Tengah, 21 Juni 1961 Latar Belakang Joko Widodo, atau lebih dikenal dengan nama Jokowi, lahir di Surakarta, Jawa Tengah, dari pasangan Noto Mihardjo dan Sudjiatmi Notomihardjo. Ia adalah anak sulung dari empat bersaudara. Latar belakang keluarganya sederhana, dengan ayahnya bekerja sebagai penggergaji kayu dan ibunya sebagai pedagang kecil. Pendidikan Jokowi menempuh pendidikan dasar hingga menengah di Solo. Setelah lulus SMA, ia melanjutkan pendidikan tinggi di Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, dan lulus pada tahun 1985 dengan gelar Sarjana Kehutanan. Karir Bisnis Setelah lulus dari UGM, Jokowi bekerja di perusahaan BUMN di Aceh sebelum kembali ke Solo untuk terjun di bisnis mebel milik keluarganya. Usaha mebel ini berkembang pesat, dan Jokowi berhasil mengekspor produk mebelnya ke berbagai negara. Keberhasilannya di bisnis mebel membawanya menjadi Ketua Asosiasi Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) cabang Surakarta. Karir Politik Wali Kota Surakarta (2005–2012) Jokowi terjun ke dunia politik dengan bergabung ke Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Pada tahun 2005, ia terpilih sebagai Wali Kota Surakarta. Di bawah kepemimpinannya, Surakarta mengalami berbagai perubahan positif, seperti penataan kota yang lebih baik, peningkatan pelayanan publik, dan revitalisasi pasar tradisional. Ia juga dikenal dengan pendekatan “blusukan,” yaitu kunjungan langsung ke lapangan untuk bertemu warga dan mendengarkan keluhan mereka. Gubernur DKI Jakarta (2012–2014) Pada tahun 2012, Jokowi maju dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Mereka berhasil memenangkan pemilihan dan Jokowi dilantik sebagai gubernur pada Oktober 2012. Selama menjabat, Jokowi fokus pada penanganan banjir, kemacetan, dan perbaikan transportasi umum, termasuk peluncuran Kartu Jakarta Pintar (KJP) dan Kartu Jakarta Sehat (KJS). Presiden Indonesia (2014–sekarang) Pada tahun 2014, Jokowi mencalonkan diri sebagai Presiden Indonesia dengan didukung oleh koalisi partai yang dipimpin PDI-P. Ia terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia ke-7, mengalahkan Prabowo Subianto. Salah satu program unggulannya adalah pembangunan infrastruktur, yang mencakup pembangunan jalan tol, pelabuhan, dan bandara di seluruh Indonesia. Pada pemilihan presiden 2019, Jokowi kembali maju sebagai calon presiden berpasangan dengan Ma’ruf Amin. Ia berhasil memenangkan pemilihan tersebut dan dilantik untuk masa jabatan kedua pada 20 Oktober 2019. Kehidupan Pribadi Jokowi menikah dengan Iriana pada tahun 1986 dan mereka memiliki tiga anak: Gibran Rakabuming Raka, Kahiyang Ayu, dan Kaesang Pangarep. Gibran mengikuti jejak ayahnya di dunia politik dan terpilih sebagai Wali Kota Surakarta pada tahun 2020. Pengaruh dan Prestasi Jokowi dikenal dengan gaya kepemimpinannya yang merakyat dan sederhana. Ia menerima berbagai penghargaan, baik nasional maupun internasional, atas kepemimpinannya yang inovatif dan pro-rakyat. Program-program seperti pembangunan infrastruktur besar-besaran, peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan, serta reformasi birokrasi menjadi beberapa highlight dari masa pemerintahannya. Joko Widodo merupakan sosok yang berpengaruh besar dalam politik Indonesia, dikenal karena kebijakan progresif dan pendekatan praktisnya dalam pemerintahan.
0 notes
samsulprabowo · 6 years ago
Text
Baliho Berdiri
Baliho berisi silsilah keluarga jokowi prabowo dicopot, Pandeglang- sejumlah baliho milik relawan sayang banten atau rsb dicopot paksa badan pengawas pemilu atau bawaslu pandeglang. pasalnya alat peraga kampanye atau apk yang menampilkan gambar jokowi-ma’ruf amin dan prabowo subianto berikut biografi tentang silsilah keluarga tersebut dianggap provokatif dan khawatir menimbulkan konflik..
View On WordPress
0 notes
wartakanlah · 6 years ago
Text
FTJ 2018, Memanggil Pulang Gen Z untuk Kembali ke Rumah Seni
JAKARTA, dawainusa.com – Generasi Z atau Gen Z, menjadi tema yang diangkat dalam Festival Teater Jakarta (FTJ) pada bulan ini. FTJ telah berlangsung sejak 19 November dan akan berkahir pada 29 November 2018.
Apa yang melatari pemilihan tema ini? Mengapa Gen Z yang diangkat dalam festival yang menghadirkan 15 kelompok teater se-Jakarta itu. Mempankah dimensi seni dicekok ke dalam otak Gen Z yang begitu akrab dengan dunia maya itu?
Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi penting, mengingat posisi teater dalam logika Gen Z yang cendrung klasik dan berbau ‘jadul’ dan tak jarang menurunkan minat mereka untuk bersetubuh dengannya.
Baca juga: 15 Group Teater Akan Meriahkan Festival Teater Jakarta 2018
Dalam teori generasi (Gneration Theory) yang dikemukakan Grame Crondington & Sue Grant-Marshall, Penguin, (2004), generasi Z disebut juga dengan iGeneration, generasi net atau generasi internet.
Mereka memiliki kesamaan dengan generasi Y, tapi mereka mampu mengaplikasikan semua kegiatan dalam satu waktu seperti nge-tweet menggunakan ponsel, browsing dengan PC, dan mendengarkan musik menggunakan headset.
Apapun yang dilakukan kebanyakan berhubungan dengan dunia maya. Sejak kecil mereka sudah mengenal teknologi dan akrab dengan gadget canggih yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap kepribadian mereka.
Logika teknologi internet yang sudah mengendap dalam otak Gen Z menjadi tantangan tersendiri bagi peradabn seni khusunya teater untuk memanggil pulang sekaligus merangsang mereka untuk mencintai teater.
Hal inilah yang setidaknya mensponsori pemikiran di balik tema besar Festival Teater Jakarta (FTJ) kali ini. Stering Commite (SC) Festival Teater Jakarta Adinda Lutvhianti ketika memandu konferensi pers di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, coba menyentil kembali soal tema Gen Z ini.
Menurutnya, tema tersebut hendak mengartikan generasi Z sebagai suatu bungkusan industri masa kini untuk menjelaskan kondisi hidup masyarakat yang terpaut dengan pertumbuhan dan perkembangan teknologi digital.
Di sisi lain, kata Adinda, tujuan utama FTJ 2018 adalah untuk meregenarasi aktivisme teater di Jakarta. Dengannya, kehadiran Gen Z mampu menjadi corong estetis untuk mendistribusikan pengetahuan maupun pencapaian estetika kepada publik.
“Tujuan utama dari FTJ 2018 ini adalah untuk meregenerasi aktivisme teater di Jakarta. Selain itu juga untuk mendistribusikan pengetahuan maupun pencapaian estetika kepada publik. Dengan demikian, terciptalah suatu publik yang memiliki kepedulian dan minat terhadap dunia teater,” ungkapnya.
Diskusi Biografi Penciptaan Cut out dan Cuy di pembukaan Festival Teater Jakarta 2018 – dawainusa
Mendekatkan Seni dengan Gen Z
Usaha untuk mendekatkan seni khususnya teater dengan Gen Z juga mendapat perhatian serius dari Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Pada titik inilah, kehadiran Festival Teater Jakarta menjadi kesempatan untuk memanggil pulang Gen Z kembali ke rumah seni.
Ketua DKJ Irwan Karseno mengakui bahwa ada perubahan yang cukup baik dalam hal minat anak muda khsusunya generasi Z terhadap seni, termasuk teater. Perubahan tersebut menurut Irwan, muncul karena beberapa hal seperti, kebosanan anak muda oleh dinamika politik nasional belakangan ini, mengencangnya peredaran hoaks yang sering memantik kegaduhan publik.
Baca juga: Pilpres dan Strategi Khusus Demokrat Menangkan Prabowo-Sandi
“Kenapa mereka lari pada kesenian. Pertama mereka bosan dengan hoaks, mereka juga bosan dengan industri, bosan dengan politik. Ini sebetulnya peluang kesenian, harus menghadirkan isu-isu yang menarik terus,” katanya.
FTJ kali ini, demikian Irwan, coba menghadirkan isu-isu menarik seperti isu sosial dan kebudayaan dengan kolaborasi digital dan seni teater. “Hal yang diangkat dalam FTJ kali ini yakni isu-isu sosial dan kebudyaan yang nantinya akan dikolaborasi dengan digital dan seni teater,” ungkap Irwan.
Selain itu, Irwan juga menyentil soal aktivitas teater yang ada di Jakarta selama ini. Menurutnya, perkembangan teater di Jakarta tidak pernah terlepas dari dukungan institusi lain yang mempunyai semangat yang sama dalam menghidupkan seni teater di Jakarta.
“DKJ bisa mengkonsolidasikan semua institusi-institusi untuk bekerja sama dalam mengembangkan dan mementaskan kesenian kedepannya,” ungkap Irwan.* (Andy Tandang)
Selengkapnya: FTJ 2018, Memanggil Pulang Gen Z untuk Kembali ke Rumah Seni
https://www.dawainusa.com/ftj-2018-memanggil-pulang-gen-z-untuk-kembali-ke-rumah-seni/
0 notes
kemocengrapi · 6 years ago
Text
FTJ 2018, Memanggil Pulang Gen Z untuk Kembali ke Rumah Seni
JAKARTA, dawainusa.com – Generasi Z atau Gen Z, menjadi tema yang diangkat dalam Festival Teater Jakarta (FTJ) pada bulan ini. FTJ telah berlangsung sejak 19 November dan akan berkahir pada 29 November 2018.
Apa yang melatari pemilihan tema ini? Mengapa Gen Z yang diangkat dalam festival yang menghadirkan 15 kelompok teater se-Jakarta itu. Mempankah dimensi seni dicekok ke dalam otak Gen Z yang begitu akrab dengan dunia maya itu?
Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi penting, mengingat posisi teater dalam logika Gen Z yang cendrung klasik dan berbau ‘jadul’ dan tak jarang menurunkan minat mereka untuk bersetubuh dengannya.
Baca juga: 15 Group Teater Akan Meriahkan Festival Teater Jakarta 2018
Dalam teori generasi (Gneration Theory) yang dikemukakan Grame Crondington & Sue Grant-Marshall, Penguin, (2004), generasi Z disebut juga dengan iGeneration, generasi net atau generasi internet.
Mereka memiliki kesamaan dengan generasi Y, tapi mereka mampu mengaplikasikan semua kegiatan dalam satu waktu seperti nge-tweet menggunakan ponsel, browsing dengan PC, dan mendengarkan musik menggunakan headset.
Apapun yang dilakukan kebanyakan berhubungan dengan dunia maya. Sejak kecil mereka sudah mengenal teknologi dan akrab dengan gadget canggih yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap kepribadian mereka.
Logika teknologi internet yang sudah mengendap dalam otak Gen Z menjadi tantangan tersendiri bagi peradabn seni khusunya teater untuk memanggil pulang sekaligus merangsang mereka untuk mencintai teater.
Hal inilah yang setidaknya mensponsori pemikiran di balik tema besar Festival Teater Jakarta (FTJ) kali ini. Stering Commite (SC) Festival Teater Jakarta Adinda Lutvhianti ketika memandu konferensi pers di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, coba menyentil kembali soal tema Gen Z ini.
Menurutnya, tema tersebut hendak mengartikan generasi Z sebagai suatu bungkusan industri masa kini untuk menjelaskan kondisi hidup masyarakat yang terpaut dengan pertumbuhan dan perkembangan teknologi digital.
Di sisi lain, kata Adinda, tujuan utama FTJ 2018 adalah untuk meregenarasi aktivisme teater di Jakarta. Dengannya, kehadiran Gen Z mampu menjadi corong estetis untuk mendistribusikan pengetahuan maupun pencapaian estetika kepada publik.
“Tujuan utama dari FTJ 2018 ini adalah untuk meregenerasi aktivisme teater di Jakarta. Selain itu juga untuk mendistribusikan pengetahuan maupun pencapaian estetika kepada publik. Dengan demikian, terciptalah suatu publik yang memiliki kepedulian dan minat terhadap dunia teater,” ungkapnya.
Diskusi Biografi Penciptaan Cut out dan Cuy di pembukaan Festival Teater Jakarta 2018 – dawainusa
Mendekatkan Seni dengan Gen Z
Usaha untuk mendekatkan seni khususnya teater dengan Gen Z juga mendapat perhatian serius dari Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Pada titik inilah, kehadiran Festival Teater Jakarta menjadi kesempatan untuk memanggil pulang Gen Z kembali ke rumah seni.
Ketua DKJ Irwan Karseno mengakui bahwa ada perubahan yang cukup baik dalam hal minat anak muda khsusunya generasi Z terhadap seni, termasuk teater. Perubahan tersebut menurut Irwan, muncul karena beberapa hal seperti, kebosanan anak muda oleh dinamika politik nasional belakangan ini, mengencangnya peredaran hoaks yang sering memantik kegaduhan publik.
Baca juga: Pilpres dan Strategi Khusus Demokrat Menangkan Prabowo-Sandi
“Kenapa mereka lari pada kesenian. Pertama mereka bosan dengan hoaks, mereka juga bosan dengan industri, bosan dengan politik. Ini sebetulnya peluang kesenian, harus menghadirkan isu-isu yang menarik terus,” katanya.
FTJ kali ini, demikian Irwan, coba menghadirkan isu-isu menarik seperti isu sosial dan kebudayaan dengan kolaborasi digital dan seni teater. “Hal yang diangkat dalam FTJ kali ini yakni isu-isu sosial dan kebudyaan yang nantinya akan dikolaborasi dengan digital dan seni teater,” ungkap Irwan.
Selain itu, Irwan juga menyentil soal aktivitas teater yang ada di Jakarta selama ini. Menurutnya, perkembangan teater di Jakarta tidak pernah terlepas dari dukungan institusi lain yang mempunyai semangat yang sama dalam menghidupkan seni teater di Jakarta.
“DKJ bisa mengkonsolidasikan semua institusi-institusi untuk bekerja sama dalam mengembangkan dan mementaskan kesenian kedepannya,” ungkap Irwan.* (Andy Tandang)
Selengkapnya: FTJ 2018, Memanggil Pulang Gen Z untuk Kembali ke Rumah Seni
#dawai
0 notes
malangtoday-blog · 6 years ago
Photo
Tumblr media
Premier Film A Man Called Ahok, Sang Adik: Saya Nggak Tahan!
MALANGTODAY.NET – Beberapa hari yang lalu, tepatnya Senin (5/11/2018), film biografi mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama, A Man Called Ahok, diputar premier. Dalam gala premier tersebut, tampak adik Ahok, Basuri Tjahaya Purnama tampak turut hadir menyaksikan pemutaran perdana A Man Called Ahok. Di sela pertunjukan film, tampak bahwa Basuri sampai menangis. Ia mengaku saat melihat film tersebut mengingatkan dirinya tentang masa kecil dan tumbuh besar bersama Basuki Tjahaya Purnama. Baca Juga: Maria Ozawa Ditahan Imigrasi Denpasar, Barbie: Petugas Sempat Minta Nomor Telepon & Foto-Foto “Saya rewind dengan kehidupan masa kecil, tentang kondisi keluarga. Jujur, saya nggak tahan,” beber Basuri seusai menonton film seperti dilansir dari grid.id, Selasa (6/11/2018). Di sisi lain, berbeda dengan Basuri, adik Ahok lainnya Fifi Lety Indra malah mengaku tak ingin menyaksikan film tersebut. Fifi mengatakan bahwa dirinya kecewa terhadap beberapa fakta yang tak sesuai di film A Man Called Ahok. Baca Juga: Update Terbaru Survei Elektabilitas Pilpres 2019 Jokowi Vs Prabowo, Siapa Menang? “Ternyata setelah film jadi, saya nggak tega nonton. Masa kecil kami dan papa-mama jadi beda, bahkan sopir kami pun beda,” kata Fifi seperti yang ia tulis di akun media sosial Instagram pribadi miliknya, Selasa (6/11/2018) malam. Kekecewaan Fifi atas hasil final dari A Man Called Ahok disusul dengan harapannya agar nanti suatu saat di masa mendatang ada pihak lain yang bersedia menceritakan kisah Ahok namun dengan fakta yang lebih sesuai. Baca Juga: Juru Kampanye Bilang Tidak, Prabowo Malah Minta Maaf Soal Boyolali. Kurang Klop? "Saya tidak mau nonton itu hak saya karena saya lebih suka nonton YouTube ini saja dan juga saya mau mengenang papa saya dengan cara yang benar. Papa saya pantas menerima yang terbaik dan harusnya digambarkan sepersis mungkin apa adanya," tutur Fifi.
Penulis: Swara Mardika Editor: Swara Mardika
Source : https://malangtoday.net/inspirasi/hiburan/premier-film-a-man-called-ahok-sang-adik-saya-nggak-tahan/
MalangTODAY
0 notes
emerymiller1548 · 6 years ago
Link
via Twitter https://twitter.com/UtuhWibowo
0 notes
adelzahara-blog · 6 years ago
Text
Jadi Cawapres Prabowo Subianto, Begini Profil Sandiaga Uno, S1 dan S2 Business Administration
Adel Zahara Jadi Cawapres Prabowo Subianto, Begini Profil Sandiaga Uno, S1 dan S2 Business Administration Artikel Baru Nih Artikel Tentang Jadi Cawapres Prabowo Subianto, Begini Profil Sandiaga Uno, S1 dan S2 Business Administration Pencarian Artikel Tentang Berita Jadi Cawapres Prabowo Subianto, Begini Profil Sandiaga Uno, S1 dan S2 Business Administration Silahkan Cari Dalam Database Kami, Pada Kolom Pencarian Tersedia. Jika Tidak Menemukan Apa Yang Anda Cari, Kemungkinan Artikel Sudah Tidak Dalam Database Kami. Judul Informasi Artikel : Jadi Cawapres Prabowo Subianto, Begini Profil Sandiaga Uno, S1 dan S2 Business Administration Biografi Sandiaga Uno, ia pernah bekerja di sebuah perusahaan namun kemudian perusahaan itu bangkrut. http://www.unikbaca.com
0 notes