#AniHogwarts
Explore tagged Tumblr posts
pvppetstrings · 7 years ago
Photo
Tumblr media
And out of all these things I've done, I think I love you better now
0 notes
verlirene · 9 years ago
Text
Di Trotoar
(Dibuat supaya Pila semangat! c:)
Wajahnya nampak ketus kendati ia mengenakan gaun berwarna cerah. Gaunnya merah dengan titik hitam, sedangkan payungnya berwarna biru pastel. Tetapi wajahnya begitu kelabu, sama persis dengan cuaca di London Utara saat ini lengkap dengan hujan derasnya.
“Hai cantik, sedang apa?” seorang lelaki random entah dari mana bersiul dan menggodanya. Camille pura-pura tak dengar saja, tetapi lelaki itu justru tertantang untuk mendekatinya dan ini membuat Camille jijik. “Kok diam saja? Siapa namamu? Daripada kau kehujanan, bagaimana kalau kita ngopi saja?”
Raut muka Camille kecut. Rasanya ingin menginjak kaki orang ini, tetapi ia tahan. Ia hanya mengangkat alisnya dengan wajah merendahkan, suaranya tegas. “Tidak, terima kasih. Aku sedang menunggu seseorang di sini.”
Lelaki menyebalkan di hadapan Camille masih belum menyerah. “Siapa orang itu? Apa dia lebih cantik darimu?”
Seandainya ini teman dekatnya dan mereka bertemu dalam keadaan yang lebih baik, barangkali Camille akan tertawa. Domenic lebih cantik dari dia? Tolong katakan kalau orang ini lucu. Sayangnya mereka bertemu dalam tata krama yang tak menyenangkan. Pertanyaan aneh itu tak membuatnya tertawa, hanya geli—dalam artian negatif.
“Dia jauh lebih tampan darimu, yang jelas,” jawab Camille tegas, “Lebih sopan, lebih manis, dan lebih menghargai perempuan.”
Kalimat tersebut jelas membuat pemuda ini tersinggung. Nampak sekali emosinya sudah sampai ubun-ubun dan Camille mulai merasa takut. Berani sekali dia, mengatakan hal seperti itu pada pria yang jelas-jelas badannya jauh lebih besar? Dia berusaha tenang, menjaga sikap, dan nampak arogan. Kentara sekali tak mau kalah. Saat ia melihat jelas bahwa lelaki itu sudah hendak melakukan tindak kekerasan padanya, tiba-tiba Camille melihat dari seberang jalan sesosok pemuda berambut seputih salju yang sangat familier baginya, baru saja keluar dari halaman universitas.
“Domenic!” Ia berteriak, memanggilnya dalam suara nan manis, lalu segera berlari ke arah Domenic. Bukan sesuatu yang sering ia lakukan, tapi... ah, sudahlah. Ini keadaan darurat.
Bingung, Domenic hanya balas memeluk saat Camille mendadak memeluk Domenic, lalu segera menyandarkan kepalanya ke dada Domenic. Camille mengabaikan fakta bahwa Domenic merasa malu. “Ada apa?” tanya Domenic.
Gadis itu menggeleng, tersenyum kecil. “Bukan apa-apa,” gumamnya. Dari sudut matanya ia melihat bahwa pemuda yang tadi mengganggunya masih melihat mereka. Tetapi Camille bersikap masa bodoh dan memberikan senyum bahagianya pada Domenic.
.
.
.
—Meninggalkan si lelaki random tadi terpana. Siapa sangka bahwa gadis ketus yang dia temui tadi dapat tersenyum manis sedemikian rupa?
0 notes
ayuuka · 9 years ago
Photo
Tumblr media
My Valentine gift for a friend! It was drawn for Plurk Valentine Exchange. The girl is Acantha Seravine, @violonkecil‘s OC, and the black haired guy is my OC, Carl L. Reddish. I can say I really enjoy draw this piece. It’s been so long since the last time I did painting, and somehow this art make me want to do more *__*
12 notes · View notes
fieryjustice · 9 years ago
Photo
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Requests from Plurk.
0 notes
capriccinesz · 10 years ago
Photo
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
0 notes
terongijo · 10 years ago
Photo
Tumblr media
A certain someone pointed out that I don’t really draw my child (in color) a lot and it is UNACCEPTABLEEEEEE so I redrew this thing. Erria probably has the nicest hair out of all my OCs ahahah--
8 notes · View notes
cloudhie · 10 years ago
Text
[FF : Drabble with prompt - pacar]
Harry Potter © J. K. Rowling; AniHogwarts © Spearmercury; Allysa Campbell © Fare; Fred Adamina © Kuro
    “…siapa?”i
Bisa kau ulang lagi, maaf?
“Adamina. Fred Adamina.”
“…yakin?”
Mengangguk, “yakin.”
Gwen menghembuskan nafas yang tidak sadar ditahannya  sejak tadi. Kabar angin membawakannya berita yang membuat jus labu yang diteguknya menyembur keluar. Sangat tidak sopan kalau mengingat posisinya kini sebagai seorang kapten tim quidditch Slytherin. Namun apa mau dikata. Otaknya menolak memikirkan bahwa semua itu benar.
Hingga akhirnya bertemu dengan dia yang tengah melingkupi pikiran di koridor menuju aula besar.
“Kenapa harus Gryffindor?”
“Kenapa tidak boleh?” gadis itu—dengan rupa yang menarik serta menarik, cantik juga berbakat (meski yang berkulit gelap akhirnya menyadari bahwa ramalan yang kerap diucapkan adalah bualan namun dia juga mengakui kalau gadis itu berbakat) memilih seorang Adamina.
“Pureblood, yes. Prefek, perfect. Tapi ugh, Gryffindor…”
“…” ukiran wajah itu tidak berubah, masih sama seperti biasa. Menatap tanpa ekspresi pada temannya berbeda asrama. “Kau sendiri?” Gwen berbalik, mengangkat satu alis, “tidak punya, kenapa?”
Mengherdikkan bahu, tangannya menggosok hidung yang memerah—akibat latihan di udara dingin menjelang musim dingin begini. “Aku tidak punya waktu.”
“Calon perawan tua,” kalau tidak mengenal gadis yang satu ini, siapapun yang mendengar itu pasti marah. Tapi mereka ini Gwenog dan Allysa. Berbeda tapi dekat.
“Huh,” mendengus, lalu hening melanda hingga akhirnya gadis yang badannya tampak lebih kekar dari yang lainnya berucap pelan, “kalau dia menyakitimu, jangan melarangku untuk menghajarnya.”
Dan Allysa Campbell menarik satu sisi bibirnya tipis—hampir tidak terlihat.
0 notes
yuukang · 10 years ago
Photo
Tumblr media
Commission.
6 notes · View notes
supersemiconductor · 11 years ago
Text
Back to You, Part 1
PART I
... He didn't come to her funeral.
His head jerked at the sudden remembrance, accompanied by a vision of ebony hair and blue eyes like his own. Losing the balance provided by his knuckle, arm rested at the windowpane, made him realize that somewhere along the bus ride, he fell asleep. Groggily, he asked the bus driver, who was maneuvering the vehicle through the gaps left by Muggle traffic like it was his everyday business (it probably was), about his stop.
Flamberge was in luck; his little shuteye allowed him to be dropped off, after paying for his trip, only mere meters from his uncle's residence. He carried his luggage, a suitcase treated with an Extension Charm which contained enough sets of clothing for his imposed break in England. His master decreed that his overwhelming diligence warranted him at least several weeks of summer in his homeland, coinciding with her attendance in a set of symposiums to present their new findings from their objects of study: dragons. Diligence? He had plenty of that to begin with, but he didn't want to think about the additional cause to his focus on work. He was surprised to find that he only had to knock once before his own uncle, Pendragon Lynn, opened the door and immediately engulfed him in a strong embrace. "Flam! If you didn't look so much like Eulynn and that husband of hers, I wouldn't have recognized you. You just couldn't stop growing, could you, boy? It's so good to see you." "Well," he began matter-of-factly, "I... am their son." He noted that his uncle seemed to be in good condition (of course he'd be; it's been two years, at least, since...). "It's good to see you too, Uncle. Sorry for intruding so late, and on such short notice..." "Just the fact that you still remember your old uncle leaves me touched, my boy. You should've let your parents know that you were coming; they would've arranged for you to join in on their vacation." Pendragon's face suddenly made a grave expression. "Your mother's still bitter about that time you joined the alumni Quidditch tournament without telling her, I suggest you stop playing with her poor feelings." "I... That was a joke," he noticed, his worries deflated, when he saw his uncle begin to chuckle. He gave a small smile. "No, I think... they deserve it. They haven't had time to go on a holiday by themselves for so long." He was strongly patted on the back, although the effect had diminished from the time when he was still a small kid compared to his towering uncle. "And thus, you're stuck with your boorish uncle. Look; I would've prepared the guest room for you, but we're renovating it, Eleanor had this crazy idea... Right, I'll have to introduce you to her later, but... not to worry, Scourgify will clean up any last speck of dust there..." "There...?" It was as if his uncle didn't catch his uncertainty, as the older man snatched his suitcase from his side and carried it up the stairs. The realization weighed deeper and deeper as he went up, one stair at a time, to the one place he wanted to stay away from. ---
She died here. His uncle didn't have to say it out loud; his sudden stop, heavy sigh and reluctance as his hand remained on the doorknob for what felt like eternity, signalled everything. Flamberge almost didn't have the heart to remain quiet, but as the door creaked open, he found that he faced a similar mental blockade. Flamberge mentally berated himself. He couldn't remember her, not here and not at this moment. Right then, he realized that he had nodded absentmindedly as his uncle excused himself, and finally found the opportunity to actually intake the room. Felicia's room. The room was clean, as would be for any room treated with the Cleaning Spell on a regular basis, but held the lingering scent of an unoccupied room. Objects were positioned differently compared to the previous time he was here (a long, long time ago, obviously), but he had the feeling that they hadn't been truly moved since... He came face-to-face with his own photograph, kept inside a frame on the bedside table. On the fraying paper, his old self had tried to display a smile, but the snapshot also captured the immediate moment when it faltered. He replaced the frame to its original position, feeling that he was disturbing a museum exhibit solely constructed for the purpose of reminding him of her last moments without him. "I was stupid," he muttered, "Stupid, foolish and selfish." Towards you, he wanted to add, but her presence was unbearable here, and it felt all her belongings had began judging him from the moment he stepped inside the room. "Well, I wouldn't say that. People usually consider diligence at work an admirable trait." This again. His small chuckle grew, until at last it became a sound akin to a whimper. He ran his fingers once through his flaming red hair, and, feeling a sudden bout of wooziness, sat himself on the made bed; her bed, surrounding by her things and just overwhelmingly her. This was a bad idea. He buried his face within his hands. A strained laugh left his throat. In muffled voice, he said out loud, "I couldn't stop thinking about you since... You gave enough space for me to still function as an apprentice, at least, but not for much else. Well, I guess that still doesn't make up for trying to forget you, even in the slightest way. "But I remember now," he muttered, "And that's exactly something you would say, Felicia." He was greeted by sudden silence, of course, which was something to be expected when you had been talking to yourself. "For Merlin's sake," he groaned. He felt his own fingernails digging into his face. "I thought I got rid of this... the... voices, and the... everything. I thought... I could..." "Flam...?" His hands relaxed. That voice... It wasn't like the voices which had haunted him the year immediate since... She had always been disapproving and disappointed with him in the way that she snidely called out his name in his head, and to hear the affectionate note in her voice is wishful thinking at the highest level... It wasn't a luxury he was entitled to have, and he felt his breath hitched in his throat when he heard the next two words: "Look up." And there she was, in fading, translucent grey and hovering slight inches above the wooden board floor.
---
(To be continued) A/N: This is a continuation of one of the AU scenarios in From Bad to Worse, but leaving it with a happier tone.
0 notes
lidyaamalia · 11 years ago
Text
For No One
Late Summer, 1992
A Pleasant Saturday Morning
09.15
Seharusnya dia tidak berada disini sekarang. Bertatapan dengan seseorang yang membuat jantungnya berhenti berdetak, wajahnya merah padam, seluruh persendiannya ngilu. Dan yang paling parah—memorinya berlomba-lomba berlari ke permukaan—seakan seluruh pori-pori kulitnya menguarkan rasa yang sudah membuncah dalam dadanya tiga tahun lalu.
Toko Buku "Bookend" Pukul 09.00
Lea memeluk topi musim panasnya dengan senang. Musim panas akan segera berakhir, cuacanya sedikit lebih sejuk dibandingkan hari-hari kemarin. Sorot matanya bersinar karena hari ini telah tiba—saat kekasihnya berjanji mengajaknya ke toko buku—setelah sekian lama keduanya disibukkan oleh urusan pekerjaan masing-masing.
Gadis Reinbach itu berdiri sendirian menghadap etalase toko buku antik yang terletak di tengah kota London. Membaca satu per satu buku yang sedang dipajang di hadapannya dengan riang. Dia tak tahu harus memilih yang mana. Tidakkah terlarang jika gadis itu memilih semua buku-buku itu? Maksudnya, pasti lelaki itu akan melarangnya dengan keras, meskipun dia akan mengucapkannya sambil tertawa dan mencubit hidungnya manja.
Ekor matanya membaca baris demi baris tulisan yang ada di hadapannya, topinya kini sudah diletakkan di antara tumpukan buku di belakang etalase. Sesosok manusia berhenti di depan etalase tersebut dan memperhatikan isinya, rupanya seorang lelaki dengan postur tubuh tegap. Matanya refleks mengikuti sosok tersebut, mengikuti garis-garis fitur wajahnya yang familiar. Rambut cokelatnya yang khas dengan senyuman hangat yang dahulu selalu dinantinya.
Luke Avalanche.
Mata mengunci mata, bibir menahan rasa. Lea terkesiap memandang kehadiran pemuda itu secara tiba-tiba setelah sekian lama tidak bertemu. Luke masih memandang kedua iris hitam gadis di balik etalase, laiknya seorang pejalan kaki yang mengagumi isi etalase sebuah toko. Luke bergeming, bahkan bisa dirasakan olehnya rambutnya tak berani bergerak saat angin menerpanya. Karena insting dalam diri pemuda itu mengatakan, jika bergerak sedikit saja ke arah Lea, gadis itu akan menghilang seperti ditelan bumi.
Kini gadis itu tersesat dalam iris safir milik Luke, familiar. Dia bisa merasakan memori yang membuatnya terhanyut masuk—bahkan tenggelam dalam sebuah personifikasi palung laut di luar kaca etalase—sesuatu yang ia tahu tak akan pernah disentuhnya sampai kapan pun. Dalam otaknya terbentuk sebuah ruang kosong, dengan pemutar rekaman memori yang berjalan beberapa tahun silam.
Spring, 1986
Tahun Keempat Hogwarts
Matanya menatap seorang pemuda yang kelelahan setelah berlatih Quidditch. Luke memang selalu membuatnya kagum. Lea yang sedang duduk di bawah Pohon Willow di pinggir Danau Hitam memandangnya dari jauh. Tidak terpikirkan bahwa dia akan menyapa atau berbasa-basi, menurutnya itu terlalu merepotkan. Langkah kaki Luke perlahan mendekat ke arahnya saat pemuda itu tahu bahwa Lea sedang mencuri pandang ke arahnya.
"Hai," sapanya sambil menghempaskan diri di sebelah Lea. Teduhnya pohon hari itu memang sangat nikmat digunakan untuk menikmati cuaca hari itu.
"Hai juga," balasnya sopan, kedua iris Lea kembali membaca baris-baris kalimat yang ada pada bukunya. Bukannya dia tidak mengenal Luke, mereka teman sekelas namun berbeda asrama. Seekor elang dan singa. Perbedaan itu cukup dijadikan alasan untuk tidak bergaul dengan Luke.
"Kau belajar?" Luke melirik buku di pangkuannya, sambil tertawa lepas.
"Tidak kok, aku hanya sedang membaca novel," erangnya malas, sambil melanjutkan bacaannya. "Kau mau apa Avalanche?" tanya Lea langsung, berharap supaya pemuda itu tidak mengganggunya lagi.
"Aku? Aku ingin beristirahat disini," jawabnya ringan, sambil memejamkan matanya saat semilir angin melewati tubuhnya. "Apa tidak boleh?"
"Err, boleh saja," ucap Lea sambil memandangi wajah damai Luke, tak merasa sebagai pengganggu bagi dirinya."Tapi kenapa disini?" tak bisa menahan pertanyaannya lagi, Lea merasa tak perlu bermanis-manis pada pemuda itu.
"Aah, disini tempatnya menyenangkan, dan lagi ada kau Reinbach," matanya terbuka sedikit, senyumnya mengembang, memandang wajah Lea dengan sorot jenaka. Wajah gadis itu seketika terasa panas, bahkan angin yang menyapu pori-pori wajahnya terasa hangat. Pandangannya dibuang ke arah bukunya kembali supaya kewarasannya bisa kembali.
Tiba-tiba Luke menyeringai lebar, kemudian merebahkan kepalanya yang berat ke pangkuan Lea. Gadis itu terkesiap sejenak, kemudian ekspresinya berubah aneh. "Ka-Kau mau apa?" Lea gugup, tentunya selain tak pernah sedekat ini dengan laki-laki, Luke Avalanche adalah teman sekelasnya yang populer diantara gadis-gadis Hogwarts.
"Aku lelah," ucapnya sambil memejamkan mata, "Biarkan aku tidur sebentar Reinbach." Senyumnya diulas hangat, kemudian sedikit menggumam. "Bolehkah aku memanggilmu Lea?" gumamnya tiba-tiba.
"Eh? Ter-Terserah," jawabnya gugup sambil menenggelamkan dirinya pada buku bacaannya. Lea tak ingin ekspresinya dianggap aneh oleh Luke.
"Baguslah kalau begitu, Lea—nama yang cantik," kemudian Luke tertidur pulas hingga sore hari.
Seandainya, Luke mengambil buku yang menutupi wajah gadis itu, dia bisa melihat bagaimana ekspresi senang sekaligus terkejut seorang Lymsleia Reinbach.
  Depan Etalase Toko Buku "Bookend" Pukul 09.20
Bukankah ini tipuan mata yang sering terjadi pada manusia? Matanya mengerjap dengan perlahan, seraya berharap bahwa di dalam etalase itu adalah seorang yang memang dikenalnya. Lymsleia Reinbach, seorang gadis yang dikenalnya sejak bersekolah di Hogwarts. Teman sekelas yang nampaknya selalu tanpa cela, berkelakuan manis, dan seorang prefek asrama Ravenclaw.
Rambut hitam panjangnya masih tetap sama, jika ia boleh menilai, namun iris matanya masih tetap tajam. Terkadang menampilkan sosok yang tidak pernah diketahui oleh orang-orang di sekelilingnya, pendiam namun banyak celoteh, muram namun senyumnya manis jika kau tahu bagaimana cara untuk membuatnya senang.
Lima menit terlewatkan, namun tak ada satu pun yang beranjak dari keheningan nyaman yang menggantung diantara mereka. Saling bertatapan melewati kaca etalase yang sedikit buram, memandang dengan penuh asa, menolak lupa pada rasa yang pernah ada. Tak ada senyum atau tawa kali ini, keduanya hanya terkesiap. Mudah saja, tak ada sesuatu yang lebih mengejutkan dari rambut hitam panjang yang tergerai bebas dan buku-buku di pelukannya. Pemandangan khas yang pernah dirindukannya setiap hari.
Luke tidak menunduk, dia hanya memandang gadis itu sambil berkontemplasi lama. Manis dan pahit, kini hanya berpusar dalam inti kelabu otaknya.
Early Winter, 1987
Tahun Keenam Hogwarts
Luke masih membaca buku di hadapannya dengan tampang malas, namun tak ada gerutu yang keluar dari mulutnya. Punggungnya bersandar pada dinding menara kastel yang dingin, matanya memandang gadis yang sejak tadi hening di sebelahnya dengan tatapan merajuk.
"Lea—" ucapnya perlahan dengan nada malas, mencari perhatian pada gadis yang sedang sibuk membaca buku Rune Kuno miliknya.
"Hmm?" gumamnya perlahan sambil masih membalik beberapa halaman sekaligus.
"Apa kau sudah selesai?" tanya Luke, sedikit berharap bahwa mereka bisa menghabiskan sisa waktu siang hari itu dengan berbincang-bincang saja.
"Belum. Memangnya kenapa?" Lea melirik ekspresi pemuda yang sedang duduk di sebelahnya, tampak bosan pada buku di hadapannya, "Kau ingin pergi dahulu?"
"Tidak, aku hanya bosan," jawabnya sambil meletakkan bukunya asal di lantai. "Oh? Apakah kau benar-benar ingin aku pergi dari sini?" Luke menampakkan wajah kesal, sedikit gemas memandang Lea yang kembali menekuri bukunya.
Lea memandangi wajah Luke kembali, kemudian mendengus geli. Entah sejak kapan mereka berdua sering menghabiskan waktunya bersama. Biasanya Luke hanya menemaninya belajar, meskipun sambil tertidur dan Lea hanya memandanginya dengan harapan bahwa pemuda itu segera bangun dan pergi dari sisinya.
"Sedikit berharap, namun terserah kau saja Luke," tatapannya kembali dilemparkan pada buku, dan Luke menatapnya dengan wajah sebal. Dia tahu Lea hanya berpura-pura terganggu, nyatanya jika memang terganggu pasti sudah bilang sejak dahulu, bukankah begitu? Kepalanya disandarkan tiba-tiba di bahu kanan Lea, kemudian tersenyum iseng.
Sontak Lea memandang dengan heran pemuda itu, meskipun kini dia hanya berhadapan dengan kepala Luke. Nafasnya menderu, sedikit kesal melihat Luke yang tak mempedulikan dirinya. Luke bisa merasakan helaan berat nafas Lea, kemudian dengan cepat kepalanya diangkat, memandang mata Lea dalam-dalam. Seringainya lebar, seolah menantang gadis itu.
Apa yang ingin kau lakukan Lea? Apakah kau benar-benar marah?
Pandangan mereka tidak teralih, angin yang berhembus masuk melalui jendela menara berbisik lembut, membalikkan halaman-halaman dari buku Lea yang terbuka. Suara gesekan kertas seiring debaran jantungnya yang melambat sangat menenangkan. Semua terasa perlahan hanyut, Luke mendekatkan wajahnya hingga iris biru terang miliknya sangat jelas, bagai pusara yang membuat dirinya hilang sejenak.
Oh Singa, begitu mudahnya kau menaklukan Elang Kecil yang terjebak dalam pesonamu. Dia hanya bisa terbang memutar rendah, melayang, terjatuh dan tak bisa mengelak…
Luke bisa merasakan degup jantung gadis dihadapannya, seringainya menghilang, digantikan senyum menawan, ujung hidungnya bersentuhan dengan hidung Lea, kedua iris hitam gelap milik Lea sudah tak nampak, memejam dengan syahdu. Hanya satu dorongan lagi hingga semuanya…
Derap langkah kaki menaiki tangga terdengar tiba-tiba, bisa didengarnya bahwa beberapa anak sedang menaiki tangga menara. Mereka akan sampai disini kapan saja, otak Luke sudah tidak berfungsi, Lea segera membuka matanya. Hanya sentuhan sesaat antara ujung bibir mereka yang terasa nyata. Lea menarik dirinya, kemudian segera menutup bukunya. Pemuda itu menggaruk kepalanya perlahan, tidak menikmati gangguan yang baru saja datang. Sekelompok anak kelas satu naik dengan berisik, membuat Lea beranjak dari tempat duduknya.
"Bagaimana kalau kita kembali?" senyumnya mengundang Luke, tidak menandakan kecanggungan dari apa yang baru saja terjadi. Luke mengangguk, mengangkat dirinya dengan enggan dan menyambar bukunya. Keduanya pergi dari menara dengan perasaan masing-masing yang terkunci rapat.
Toko Buku "Bookend" Pukul 09.25
Matanya tidak bisa lepas dari laki-laki di depan kaca etalase itu. Jika hal ini terjadi tiga tahun lalu, mungkin saja Lea sudah menghambur ke dalam pelukannya. Kali ini berbeda, dia sudah bukan gadis yang diganggu Luke. Dia seorang wanita yang meniti jalan hidupnya dengan penuh penyesalan. Senyumnya mengambang, rasa senang dan sedih saling menyusul dalam benaknya. Kegamangan yang sarat akan rasa bersalah. Tidak, dia tak pernah mengungkapkan bahwa Luke adalah lelaki satu-satunya untuknya. Justru hal itu yang membuatnya merasa bersalah. Seandainya Luke tahu…
Rambut cokelatnya masih sama, hanya saja warnanya lebih terang sekarang. Mungkin dia masih sering berada di luar? Apakah dia masih suka bermain quidditch? Apakah Luke masih sering tertidur kelelahan? Apakah ada seseorang yang menemaninya saat dia tertidur sekarang? Sorot matanya berubah sedih, namun tanpa mengucap Luke pasti tahu apa yang dirasakannya sekarang.
Apakah kau merindukanku Luke?
Deg.
Pertanyaan itu tak akan bisa diungkapkannya sekarang. Mungkin tak akan pernah bisa. Lea mengamati fitur wajahnya sekali lagi, mencari-cari seringai yang sering ditampilkan olehnya. Nihil. Luke hanya memandangnya balik, mata birunya seolah berkata…
Akhirnya aku menemukanmu.
  Late Spring, 1989
Graduation Day
Lea melangkah berat keluar dari aula utama, rambutnya tergerai bebas, senyumnya kali ini lebih sering diulas. Terlebih lagi pidato penutup dari Kepala Sekolah membuatnya ingin mengingat semua kenangan yang akan ditinggalkannya dalam sekejap. Luke berlari mendekatinya, kemudian  berhenti di hadapannya.
"Lymsleia Reinbach, kau jangan terburu-buru pergi dari sini," ucapnya sambil mengusap kepala gadis itu perlahan.
"Aku ingin ke asrama untuk terakhir kalinya Luke," senyumnya ringan, "Ada apa memangnya?"
"Oh? Jadi kau akan lebih merindukan asramamu daripada aku?" tanyanya sambil menyeringai lebar.
"Ada-ada saja kau," Lea tersenyum lebar sambil memukul lengan Luke, "Yah, mungkin nanti aku akan sedikit merindukanmu, Luke Avalanche."
Luke tertawa, kemudian berniat mengajak bertemu gadis itu setelah mereka pulang nanti, "Kalau begitu, apakah kau mau—" Ucapannya terhenti saat tiba-tiba segerombolan anak Gryffindor menarik Luke dari hadapannya, dan bersorak-sorai ingin merayakan kelulusan mereka di Hogsmeade.
Lea hanya mengangkat alisnya, kemudian tertawa saat melihat Luke cemberut. Langkahnya berbalik, berjalan pelan menuju Menara Ravenclaw. Nafasnya dihela panjang, antara penasaran dan memahami apa yang akan diucapkan pemuda itu. Namun saat itu, seorang Reinbach tidak akan mengambil pusing hal-hal sepele seperti itu.
Depan Etalase Toko Buku "Bookend" Pukul 09.27
Sudut bibirnya tertarik ke atas, tersenyum gamang melihat gadis yang dulu selalu mendampinginya. Masih segar diingatannya, bagaimana dia mempertimbangkan untuk mengajak Lea bertemu setelah hari kelulusan mereka. Meskipun seharian otaknya dipenuhi dengan Lea, namun tak ada aksi satu pun yang dilakukannya untuk menghubungi gadis itu. Konyol. Bukankah penyihir memiliki berbagai macam cara untuk menghubungi penyihir lainnya?
Luke memicingkan matanya saat seorang laki-laki muncul dari belakang Lea, memeluknya hangat dan mengecup pipinya. Nafasnya dihela berat, menyadari bahwa mereka tidak hidup di masa lalu. Lea memalingkan wajahnya pada lelaki di belakangnya, tersenyum lebar sambil menunjuk buku yang sedang dipegangnya.
Bagaimana rasanya?
Bagaimana rasanya berada di sisi Lea sekarang? Bagaimana rasanya berada di seberang kaca etalase sana? Apakah menyejukkan? Apakah hatinya akan tenang?
Hari-hari setelah kelulusan itu kembali ke otaknya, seolah sengaja menyiksanya dengan rasa bersalah dan penyesalan tiada akhir, Luke menunduk. Berusaha mengalihkan pandangannya dari pajangan etalase yang tak akan bisa diraihnya.
Toko Buku "Bookend" Pukul 09.30
Lengan lelaki itu melingkar hangat di pinggangnya tiba-tiba, membuat pandangannya pada pemuda di depan toko itu buyar. Kepalanya ditelengkan ke kanan, melihat wajah laki-laki yang kini sudah mengisi hidupnya. Pemuda itu meletakkan kepalanya di bahu kanan Lea, menanyakan buku apa yang sedang dibacanya, memastikan mana yang akan dibeli. Lea tersenyum lebar, menjawabnya dengan sabar, meskipun sesekali tak konsentrasi karena di hadapannya masih ada Luke yang memperhatikan.
Dia menunduk. Apa yang kau pikirkan Luke? Kepalanya masih tak henti memikirkan pemuda yang pernah membuatnya merasa gadis satu-satunya untuk Luke Avalanche—saat seorang gadis berdiri di belakang Luke dan menutup kedua matanya dengan senyum lebar. Luke terkesiap, kemudian tersenyum senang. Tangannya berusaha meraih tubuh gadis di belakangnya, kemudian berbalik memeluknya.
Ah…
Lea tersenyum tipis, memandang pemuda yang pernah tersenyum seperti itu kepadanya. Kini Luke sudah dengan gadis berambut gelap lain, yang tampak sangat serasi dengannya. Tentu, tentu saja. Bukankah Luke Avalanche adalah pemuda yang mudah mendapatkan segalanya?
Luke berbalik memandang ke dalam etalase toko sekali lagi, memperhatikan iris gelap yang seolah menombak hatinya untuk terakhir kali, kemudian tersenyum lebar melihat gadis itu masih menikmati pelukan kekasihnya.
Lea membalas tatapannya, tersenyum senang saat akhirnya mereka berdua tahu, tanpa satu kata terucap saling memahami apa yang ada di pikiran masing-masing. Memegang teguh apa yang sudah mereka miliki saat ini, karena keduanya sudah tidak hidup di masa lalu. Lea tersenyum ikhlas, kemudian menggumam saat melihat Luke Avalanche menggamit tangan gadis itu dan melangkah pergi dari depan etalase toko buku itu.
"First love will never work, you know."
I just write this fiction because askichan wants me to make an angst trope. This is just one from many angst plot she gave me. It really broke my heart when I write this. But well, turned out it's an "okay" fiction. :") No, don't cry. But cry anyway.
Title © The Beatles
0 notes
ayuuka · 10 years ago
Photo
Tumblr media
Yesterday’s gathering was fun! \o\
11 notes · View notes
fieryjustice · 9 years ago
Photo
Tumblr media Tumblr media
Pamela Daventry
0 notes
verlirene · 11 years ago
Conversation
... Apa ini.
Camille: Hei...
Domenic: Apa?
Camille: Sesungguhnya... Aku punya satu permintaan. Maukah kau mengabulkannya?
Domenic: Apa itu?
Camille: Di pertandingan quidditch besok; aku ingin kau mengegolkan 16 gol ke gawang untuk kado ulangtahunku. Kau bisa?
Domenic: ... Akan kucoba.
0 notes
terongijo · 10 years ago
Photo
Tumblr media
I suddenly miss my kids ;;3;;
3 notes · View notes
mochmochgomama · 11 years ago
Text
Bitter
A/N: Aquila plus Gainsborough(s) punyanya Rae, chara2 sisa di sini punya ane. Harpot punyanya J.K. Rowling. Sip, sekian disclaimer. Langsung mang
“Kau kelihatannya senang sekali.”
Gadis itu hanya tersenyum manis, yang kemudian diikuti rangkaian kekeh geli bersamaan dengan semu merah yang mulai merona di wajahnya. Dibiarkannya dagunya bertumpu pada bantal bulu angsa itu, sementara bola mata cokelat cerahnya bertemu dengan jernih laut milik sahabat baiknya. Dia memang tidak memberitahu siapa-siapa mengenai musim dingin itu, kecuali keluarganya sendiri. Yah, hitung-hitung kejutan untuk berita tengah liburan, begitu.
“Soalnya, Edith, aku…” Dilambaikannya tangannya agar nona dengan rambut berombak itu lebih mendekat padanya. Bisik singkat yang terucap di balik telapaknya jelas tidak bisa dibandingkan dengan pekik antusias nona besar keluarga Courcillon itu. Duh, sebegitu mengejutkannya, kah?
“Akhirnya, Alexie! Aku sampai pikir kamu tunggu lulus terus langsung nikah!” Rangkulan erat yang datang berikutnya dengan segera dia balas. “Terus siapa laki-laki yang beruntung ini? Montmorency? Évreux‎? Atau akhirnya kamu menyerah dan menerima si Ficquelmont itu?”
“Tut-tut. Salah semua.” Dia menggelengkan kepala dan kembali tertawa ringan. Ah, wajar kalau Edith sama sekali tidak bisa menduga siapa yang sesungguhnya menjadi jawaban. “Ingat, aku sering mengirimkan surat ke Inggris?”
Sekali lagi rasa geli menghampirinya ketika memperhatikan gadis pirang itu mencoba mengingat-ingat. Memang Edith hanya pernah sekali atau dua kali melihatnya tengah menuliskan suratnya, menerima kedatangan burung hantu yang entah dari mana, dan bahkan pernah—oh, pernah memang sekali Edith mengintip surat yang diterimanya, tapi memang ketika itu tidak ada apa-apa. Lagipula, sahabat pena itu bukan hal yang aneh, seharusnya.
“Ya dia, laki-laki yang kau sebut beruntung itu.”
Dikiranya, nona besar itu akan membalas dengan reaksi yang tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Mungkin pekik antusias yang diikuti dengan pertanyaan beruntun mengenai siapa sesungguhnya si penerima surat di Inggris ini. Akan tetapi Edith Courcillon justru mengerutkan dahi, menatapnya ragu, dan diam seolah tengah berpikir. Yang tentunya membuatnya tertegun, tidak mengerti apa yang salah dari jawabannya.
“Alexie, kamu—pacaran dengan orang Inggris? Nggak salah? Kalian—hubungan jarak jauh begitu?”
“Uh, ya, sebetulnya keluargaku juga sebagian besar sudah pindah ke Inggris dan aku akan menyusul kalau sudah lulus, jadi nantinya tidak akan masalah, kok. Cuma tinggal setahun lagi, kan? Sesudahnya pasti tidak apa-apa—“
“Bukan, bukan begitu maksudku.” Interupsi itu membuat perasaannya sedikit tidak enak. “Bukannya aku meragukan pacarmu ini—yah, aku bahkan nggak kenal dia—tapi masalahnya, setahuku, hubungan jarak jauh itu banyak masalahnya.”
“Masalah…?”
“Yups, seperti misalnya ada yang selingkuh. Berhubung pacarnya jauh, biasanya ini dibenarkan. Kan, lebih mudah lihat yang dekat-dekat.” Sambil memilin ikalnya di jemari, gadis Courcillon itu meneruskan ceramahnya. “Kedua pihak punya kemungkinan melakukan hal yang sama, sih. Tapi mengingat kamu bahkan sudah enam tahun ini menolak yang itu-itu—walaupun aku yakin juga karena kamu tahu mereka cuma mengincar nama besar Archard dan Blanquefort—yah, kamu nggak akan begitu. Masalahnya dia yang di sana itu, lho…”
Oh.
Mulutnya membulat bersamaan dengan kata itu terlintas di benaknya. Jadi maksud Edith, ada kemungkinan Aquila selingkuh? Tapi biar bagaimanapun, Edith tidak mengenal Aquila, kan? Jelas dia yang lebih mengenal pemuda itu, dan dia tahu kalau bukan sifat Aquila untuk beralih semudah itu hanya karena masalah jarak dan kurangnya interaksi fisik. Iya—kan?
Memangnya seberapa jauh kau mengenal dia, Alexandrine Archard?
Um…
Kalian bahkan cuma bertemu sekali waktu itu, lalu surat-suratan, lalu pacaran, lalu surat-suratan lagi. Berapa banyak sih yang bisa kau nilai dari surat-surat itu? Darimana kau tahu dia tidak akan mudah beralih?
“Alexie?”
“Eh?” Dan ternyata, dia malah melamun sendiri. Edith terlihat mencemaskannya, tapi dia berusaha menyunggingkan senyumnya. “Maaf, Edith. Tapi, yah—aku percaya padanya, kok.”
Saat itu, mungkin sebenarnya dia sendiri diliputi keraguan pada kata-katanya sendiri.
* * *
“Salah lagi, Archard.”
“Maaf, Madame Beliveau.”
“Mengulangi kesalahan yang sama terus-menerus, kau tidak akan pernah menjadi Lady yang baik. Kau pikir laki-laki akan menghargaimu?”
Bunyi bel menjadi penyelamatnya dari lidah beracun gurunya itu. Dengan cepat dia membereskan buku-buku dan tasnya, lalu meninggalkan ruangan itu sembari berbaur dengan teman-teman sekelasnya. Dia memang kurang menyukai pelajaran Etiket dan Tata Krama ini sejak dulu. Dan rasa-rasanya gurunya juga merasakan hal yang sama, sih. Bisa dilihat bagaimana cercaan itu sering sekali ditujukan padanya.
Laki-laki tidak akan menghargai perempuan yang tidak bisa menjadi seorang Lady, ya…
Apakah Aquila juga seperti itu?
“Alexie!” Nyaris saja dia menjatuhkan buku-bukunya karena ditabrak tiba-tiba oleh Edith. Sebenarnya bukan ditabrak juga, sih, lebih seperti dipeluk dari belakang. “Cuekin aja sih, Nyonya Besar itu. Yang lain juga nggak bisa, kok. Entah maunya dia kita memberi salam seperti apa. Padahal di buku panduan juga, keterangannya kalau memberi salam ke tuan rumah kan nggak aneh-aneh!”
“Haha, iya. Dia memang sensitif denganku sih ya.” Disambutnya omelan sahabatnya itu dengan tawa kecil. “Semoga saja setidaknya dia memberiku nilai yang cukup untuk lulus di ujian akhir nanti, sih.”
“Kalau sampai nggak meluluskan karena sensitif pribadi begitu sih, keterlaluan! Kau protes saja!”
Sejenak, karena Edith, dia melupakan pikiran yang terlintas itu.
* * *
“…jangan ngomong sembarangan ah, Cep.”
Sambil diunyelnya pipi adik laki-lakinya itu. Serius deh, Chevalier ini memang suka bercanda, makanya dia tidak bisa langsung percaya juga. Pernyataan yang datang itu pun hanya disambutnya dengan tawa ringan, selagi gadis itu menuangkan adonan biskuitnya ke dalam cetakan. Yah, mumpung dia sedang di Inggris juga tidak ada salahnya, kan.
“Bukan ngomong sembarangan, Lexie. Aku punya bukti!” Pipi yang masih agak bulat itu menggembung, membuatnya hanya menyambut dengan tawa lain setelah calon-calon biskuitnya telah hibernasi dengan nyaman di oven. “Aku foto pakai kamera sihir, tahu. Pasti kelihatan nih muka-muka senangnya plus ngapa-ngapainnya.”
“Oh ya? Mana coba kulihat.”
Alexandrine Archard, nama gadis itu. Musim dingin lalu, pertama kalinya merasakan manis yang selama ini belum pernah dicecapnya. Manis yang konon memang rasanya seperti coklat, senantiasa memiliki sisi kepahitan di balik rasa yang menyengat gigi itu. Manis yang berasal dari seorang pemuda Inggris yang bernama Aquila Lancaster.
Lalu hari itu, mungkin dia akhirnya merasakan sisi pahit dari kemanisan itu.
* * *
“Edith—“
“Alexie?”
Dia tidak berlama-lama menghabiskan waktu liburannya di Inggris. Orang tuanya mengerti ketika dituturkannya alasan bahwa ujian kelulusan yang semakin mendekat membuatnya harus banyak mempersiapkan diri di Perancis. Walaupun sebenarnya, yah, nampaknya Ma Jean mengerti bahwa tidak hanya itu alasan yang membuatnya ingin cepat-cepat kembali ke Perancis.
Tidak ada kata-kata yang dapat keluar dari mulutnya. Dia hanya bisa menenggelamkan wajahnya di pundak sahabatnya itu, menumpahkan retak hatinya dalam isakan yang teredam.
Katamu kau percaya padanya.
Tapi seorang wanita yang tidak bisa menjadi Lady tidak akan dihargai oleh laki-laki.
Dan gadis itu terlihat jauh lebih menyerupai seorang Lady dibandingkan dengan dirimu.
* * *
“Surat, Alexandrine.”
“Oh…?”
“Pengirimnya Aquila Lancaster.”
“Um, terima kasih.”
Dan surat itu bergabung dengan rekan-rekannya di kotak.
Kotak yang ada di sudut hatinya.
* * *
“Kamu pasti bisa, Alexie!”
“Haha, doakan aku ya, Edith.”
Padahal sebenarnya, dia tidak lagi peduli mengenai masalah Lady ini. Etiket dan Tata Krama? Yang ada di pikirannya memang hanyalah untuk tidak membuat kesalahan yang tidak perlu supaya setidaknya Nyonya Beliveau tercinta tidak memiliki alasan untuk menahan kelulusannya dari akademi ini.
Tuk, tuk. Langkahnya. Dia membungkuk sesuai dengan aturan yang diajarkan, dia ingat garpu mana yang harus digunakan ketika makanan ini yang disajikan, dijawabnya pertanyaan yang datang beruntun sesuai dengan apa yang telah diterimanya selama ini. Jawab, seperti kamus yang hanya menuturkan ulang apa yang dimilikinya. Seolah semua itu hanya mencari sesuatu yang bukan esensi darinya, melainkan sesuatu yang diingat hanya demi satu tujuan.
Sedikit lagi, sedikit lagi…
“Pertanyaan terakhir, Alexandrine Archard. Apa pendapatmu mengenai kelas ini?”
Ah.
Seharusnya—dia mengunci mulutnya.
“Kelas yang memang sangat diperlukan oleh seorang wanita. Dengan adanya kelas ini, saya dapat mengerti bagaimana wanita harus dapat mewujudkan keindahannya dalam setiap segi yang dijalaninya. Berjalan, bertutur, dan bahkan hingga ke sikap makan.”
Menjilat, bohong, bukan itu yang ada di hatimu.
“Bagus sekali. Berikutnya—“
“Akan tetapi.” Diam, Alexandrine. Bukankah lulus sudah cukup untukmu? “Menurut saya, masih ada yang kurang dari kelas ini. Sebab, apakah seharusnya seorang Lady hanya sekadar menjadi selongsong piala untuk dipamerkan, namun tetap kosong di dalam? Pemahaman hanya bersifat hafalan yang mungkin jadi akan hilang setelah pengujian selesai. Seperti itukah seorang Lady yang ingin dicetak?”
Madame Beliveau menatapnya dengan tajam, tapi dia tidak lagi gentar. Untuk apa, ketika dia sudah melangkah sejauh ini?
“Menurut saya, yang terpenting adalah membentuk pola pikir. Memecahkan persoalan, memegang teguh pendirian bahkan di saat terdesak, segala sesuatu yang tidak akan cukup apabila hanya diajarkan secara searah saja.” Dia menelan ludah sejenak. “Memang, kelas ini adalah kelas Etiket dan Tata Krama, dan yang diajarkan jelas mengenai Etiket dan Tata Krama. Akan tetapi, saya rasa tidak cukup hanya etiket dan tata karma yang dijadikan syarat untuk menjadi seorang Lady yang berkualitas.”
Kamu, yang kesulitan bahkan menerapkan yang bentuknya hafalan, berbicara mengenai Lady yang berkualitas? Haha.
“Sekian dan terima kasih banyak.”
Hanya hening yang menjawabnya ketika dia memberikan salam terakhirnya. Dia mengerti, sangat mengerti. Mungkin dia harus mengulang lagi satu tahunnya di Beauxbatons, ya?
“Kau tidak mau tahu hasil penilaianmu, Archard?”
Ah.
“Terima kasih banyak, Madame. Tapi saya hanya akan melihat hasilnya saat pengumuman kelulusan.” Dia tersenyum tipis. “Walaupun mungkin saya tidak pantas untuk mendapatkan bahkan senilai standar kelulusan.”
Pa Lucien, Ma Jean, maaf ya?
* * *
“… Ambroise, Florianne. Anjou, Nicholas. Archard, Alexandrine. Arenberg…”
Dia hanya dapat terdiam dengan mulut menganga.
“…dan Wimpffen, Achille. Selamat atas kelulusan kalian.”
* * *
“Wah, lihatlah yang baru lulus. Senang sekali yaaaa?”
“Ya iyalah, Pa Luci! Aku sudah yakin pasti nggak lulus Etiket dan Tata Krama, tahu!”
Senyumnya, mengembang cerah. Sejenak, dia melupakan persoalannya yang masih belum terselesaikan. Ya, memang, sebaiknya tidak memikirkan hal yang memberatkan hati di saat yang berbahagia ini, bukan? Dia sudah seharusnya tersenyum bersama keluarganya, bukannya malah terdiam di sudut karena sakit hati hubungan remaja.
“Ya sudah, kalau begitu kita ke Hyde Park yuk, ramai-ramai. Sekalian perayaan.”
“Memangnya ada apa di Hyde Park, Pa Luci?” Evette, adik bungsunya, terlihat sangat tertarik.
“Tempat yang kemarin itu lho, Evette. Yang ada banyak bebeknya.”
“Bebeeek? Mau mau mau mau mau!”
“Tapi keluar jam segini mataharinya menyengat! Aku tidak mau keringatan!” Nah lho, Beatrice mulai lagi.
“Halah Bea, nggak keringatan pun kau masih bau kok.” Dan Dominique jujur seperti biasanya.
“Apa maksudmu bilang begitu, cewek liaaar?!”
“Sudah sudah sudah sudah, pokoknya kita pergi sekarang.”
Memang tidak pernah ada yang berani membantah Ma Jean.
* * *
Tapi takdir memang senang sekali bermain. Menggulirkan dadunya, membawa menuju satu titik pertemuan yang tidak diduganya.
Di tepi danau itu. Ketika dia pikir dia dapat lari sejenak dari masalahnya itu.
“Ah—“
Sosok itu, dia kenal. Walaupun dikelilingi oleh anak-anak itu, dia tahu. Sangat tahu, sangat kenal, tapi dia ingin berpaling.
Inginnya.
“Lho, pacarnya Alexie yang kemarin kan. Lho kok kalian diem-dieman…”
…Pa Lucien.
Dia masih saja tidak menjawab dan berusaha untuk tidak melihat ke arah rombongan yang di seberang, sementara Pa Lucien dan Ma Jean mulai bertukar pandang penuh arti. Kelima saudaranya hanya memandang penuh rasa penasaran. Urgh, memang kebiasaan, kah. Seperti tontonan saja.
“Yuk, Nsell, Ashe, jangan ganggu yang sedang jalan bersama keluarganya.”
Oh, mau pergi, nampaknya. Sekali lagi, mungkin sekali lagi, dia bisa lari…
Yang tidak disangkanya adalah adik angkatnya yang menarik pergelangan tangannya, juga sosok pemuda itu, lalu menyeret mereka berdua ke tempat yang terpisah dari rombongan. Dia sendiri tidak mengerti dari mana tenaganya anak perempuan itu—Chevonne sudah terlalu biasa dengan pekerjaan fisik, kah? Yang jelas, kalau seperti ini, kalau berdua seperti ini—
—dia harus apa?
Harus apa…
TBC
0 notes
blossomagain · 11 years ago
Text
This One
“Yang itu bagus. Kamu mau yang itu saja? Sedikit mirip dengan Sugar.” Aku, delapan belas tahun, sedang berada di dalam sebuah toko mainan yang khusus menjual boneka porselen di tengah kota London yang cukup padat untuk hari ini. Ah ya, masih musim panas, masih banyak anak sekolah yang masih menikmati terik matahari sebelum mereka kembali untuk ke sekolah di dalam sebuah bangunan dingin semacam kastil tua, Hogwarts. Aku, baru saja lulus dari Hogwarts, baru saja menikmati suasana liburan tanpa harus memikirkan ujian yang akan dihadapi nanti. Dan aku, baru saja kehilangan sesuatu. Boneka wujud anak perempuan dengan rambut pirang bergelombang sepunggung, bermata biru sewarna dengan mataku, kulit pucat dengan bibir merah yang sedikit menghiasi polesan di wajah bonekaku itu. Namanya Sugar, tidak ada nama belakangnya. Kalau mau ditambahkan, Sugar Bastianich. Tapi tidak wajar juga, ya? Toh itu hanya boneka. Bukan makhluk hidup sepertiku. “Tidak ada yang mirip dengan Sugar, ma? Aku maunya yang sangat mirip dengan Sugar. Yang tadi itu warna rambutnya emas kecoklatan dengan warna mata biru gelap, hampir hitam.” Terdengar hela napas berat dari wanita yang sudah berusia kepala empat itu pada anak semata wayangnya. Dia pasti tahu kalau aku akan bertanya seperti itu. Warna matanya yang mirip denganku ini segera menilik satu persatu boneka yang terpajang di depan mereka. “Kamu bawa lembaran foto Sugar?” Aku sebenarnya tidak mau boneka selain Sugar. Bukannya aku menganaktirikan koleksi bonekaku yang lainnya, tetapi Sugar tetap Sugar. Sugar bisa hidup di setiap malam kalau aku ingin menceritakan sesuatu. Sugar itu sudah seperti buku harianku. Semua rahasia dari keluh kesahku, rasa bahagiaku, rasa amarahku ada di tubuh Sugar. Aku pun mengambil foto yang ditanyakan oleh ibuku tadi, sebelum memberikannya aku memikirkan hatiku sebagai pemilik boneka. Teganya kalau aku membeli boneka baru sebagai pengganti Sugar. “Tidak usah, ma. Aku tidak berniat lagi mencari pengganti Sugar.” _______________________________________________________________________
Awal kejadiannya adalah di saat kepulanganku dari Hogwarts. Aku yang tengah mendorong troli yang berisikan dua tumpukan koperku menuju keluar dari stasiun King’s Cross. Saat itu banyak orang yang berlalu lalang, termasuk murid Hogwarts yang sedikit aku kenal dari wajah mereka dan kopernya. Di tengah perjalanan menuju lahan parkir stasiun, aku dipanggil oleh teman-temanku. Mengajakku untuk berlibur musim panas ke Irlandia di minggu ketiga bulan Juli saat itu. Kami berbicara tidak lama, tapi kami yang tengah mengobrol ini sedang tidak mengawasi keberadaan troli masing-masing. Setelah sepuluh menit berlalu, aku dan kedua temanku menyadari ada yang kurang dari isi troli kita. Anne kehilangan tas tangannya, Marie kehilangan kotak sepatunya. Dan aku sendiri… aku kehilangan Sugar di tempat. Kami bertiga sama sekali tidak membayangkan kalau bisa kehilangan barang di tengah keramaian stasiun. Padahal troli tersebut berada di belakang kami. _______________________________________________________________________ Sudah dua bulan. Awal Agustus tanpa ada Sugar di samping tidur malamku itu rasa-rasanya seperti aku menelan ramuan pahit selama dua bulan. Tidak peduli dengan anggapan para sepupuku yang sama sekali tidak tahu rasanya kehilangan barang yang teramat penting, yang sudah menemaniku sejak usiaku lima tahun. Hadiah dari mendiang kakekku dari ayahku. Karena kakekku juga Sugar bisa hidup. Alasan kakekku memberikan boneka pertama itu karena melihatku yang selalu sendirian di rumah. Tanpa ada keberadaan orang lain terkecuali peri rumah yang mengurusi rumah. Kedua orangtuaku sibuk, mengurusi perkerjaan mereka yang termasuk bisnis keluarga Bastianich. Mempunyai restoran itu tidak mudah. Apalagi kalau restorannya sudah cukup dikenal banyak orang di dua negara. Inggris dan juga Italia, tanah kelahiran ayahku. Dan aku adalah anak perempuan yang dulunya dilarang keras untuk bermain di luar rumah. Sebabnya adalah karena aku anak satu-satunya. Kedua orangtuaku tahu titik kelemahanku. Bukan penyakit, melainkan sifatku yang terkadang susah untuk mengatakan ‘tidak’ kepada orang lain, termasuk orang baru. Ya, pikiran orangtua terlalu kolot dan terlalu paranoid dengan lingkungan di luar rumah yang bisa membahayakan anak mereka nanti. Karena itu, aku lebih dekat dengan Sugar, piano dan macam makanan manis yang selalu menemaniku di dalam kamar semasa itu. Sudah dibilang dari awal, Sugar adalah buku harianku. Kalau orang awam yang tidak dekat denganku pasti akan menertawakan tingkahku yang setiap kali berbicara dengan suara perutku. Ya. Aku juga seorang Puppet Mistress, Ventriloquist untuk Sugar dan beberapa koleksi bonekaku. _______________________________________________________________________
“Sugar ke mana ya? Lama tidak lihat dia.” Boneka porselen bertampang ramah dengan pakaian seperti pelayan rumah dengan kemeja rapi dan rompi hitam yang mengkilat bersuara seperti anak laki-laki. Aku baru saja mengeluarkan suara perut untuk si boneka porselen pertama. “Iya.. Sugar mana ya? Aku kangen.” Dilanjutkan dengan boneka porselen perempuan yang memakai jubah lengkap dengan tudungnya, layaknya penyihir, berwajah ramah. Suaranya tidak beda jauh dengan Sugar, yang ini agak lembut dan rendah. “Semoga dia baik-baik saja, Ronda. Mungkin saja dia lagi pergi berliburan. Atau….” Dengan pakaian detektif dan sebuah kaca pembesar ada di tangan boneka yang ketiga. Suara anak lelaki juga, sedikit bernada sok tahu. “…atau apa, Jake?” “Hilang. Bisa jadi, kan? Soalnya kata nona Candy saja dia tidak tahu keberadaannya.” “Jangan bercanda ah, Jake.” “Tapi aku mencium dugaan seperti itu, Ronda. Bagaimana kalau kita memecahkan kasus kehilangan Sugar ini, kawan?” “Maksudmu bagaimana, Jake? Kita menjadi detektif?” “Benar sekali, Hans! Seperti aku. Kamu mau ikut? Ronda?” “Boleh, deh! Sepertinya bakal—.” —seru. Diriku yang sedang berada di dalam kamar berlatih untuk pentas nanti jam makan siang di restoran keluargaku, aku menghentikan tiba-tiba dialog tiga bonekaku ini. Setelah dipikir-pikir lebih matang, aku merasa kalau dialog cerita barusan sangat tidak pantas untuk kutampilkan. Seharusnya bukan isi hati sang Puppet Mistress seperti aku yang diceritakan, melainkan isi cerita yang lebih ceria dengan ending yang bahagia. Sugar belum ada, belum bisa diperagakan sebagai korban hilang yang ditemukan. Kalau Sugar belum ada, jalan cerita ini bakal sad ending dengan berakhir Sugar tidak ada, tidak bisa ditemukan dengan cara apapun. Dalam seminggu ini aku susah sekali untuk memikirkan ide cerita yang layak untuk ditampilkan. Ayahku sudah memberikanku absen tiga kali agar tidak tampil dulu. Aku tidak mau membuat ayahku kecewa kalau hari ini aku tidak tampil lagi. Aku juga tidak mau mengecewakan penontonku terutama bocah-bocah dengan orangtua mereka yang selalu menyediakan waktu untuk makan siang di restoran keluargaku. Hela napas berat, mataku kembali menatap ketiga bonekaku secara bergilir, tanganku menepuk kepala mereka dengan berat hati. Dibalas dengan senyuman miris dari mereka. Ya, itu hanya ilusi saja, aku sebagai majikan mereka seperti mempunyai sebuah hubungan komunikasi yang tidak tampak seperti tadi. Hanya aku yang bisa melihat mereka sedang bahagia atau tidak. Dan hanya aku yang satu-satunya pemilik Sugar. _______________________________________________________________________ Aku sama sekali tidak ada ide untuk hari ini. Melihat ke arah jam tanganku, waktu tinggal lima belas menit. Biasanya aku mulai pentas saat jam dua belas siang, tepat jam makan siang yang sibuk. Perasaanku belum tenang, tentu saja karena ide cerita yang kemarin kuperagakan di kamarku itu tidak selesai. Aku sama sekali tidak berani untuk berbicara pada ayahku. Satu-satunya orang yang masih bisa mengerti keadaanku sedang tidak ada di London. Ibuku sedang berada di Irlandia, membantu keperluan pernikahan sepupuku yang akan berlangsung minggu depan. Dengan langkah yang tidak optimis, aku masuk ke dalam dapur restoran, mendapatkan ayahku yang sedang sibuk mengeluarkan beberapa botol anggur dari lemari kayu penyimpanan. Beberapa juru masak menyapaku, aku hanya tersenyum tipis kepada mereka, hingga akhirnya tubuhku sudah mendekat pada jarak ayahku yang berada di lemari penyimpanan. “Papa…” Ayahku menghentikan kegiatannya sejenak, wajahnya yang keras itu menatapku. Dengan melihat saja, hatiku sedikit menciut. “Kenapa Candy? Kau belum siap di panggungmu?” “Belum. Eng, maksudku…” menahan napas sambil memikirkan kalimat yang pantas dan bisa diterima oleh ayahku, aku membantu beliau untuk meletakkan botol-botol anggur itu ke atas meja. Ayahku bukan tipe yang banyak bicara, dia pun cuma menungguku untuk melanjutkan ucapanku. “…eng, aku memang belum siap. Siap untuk ceritanya…” “Mau izin absen lagi? Kau sudah tiga kali tidak tampil.” Kedua tangan ayahku memegang pundakku, aku menatap mata hijau terang di wajahnya. Warna zaitun yang tegas dan keras. Namun ada sisi ramah yang tersembunyi di balik mata tersebut. “Kemarin Agatha, bocah perempuan langganan restoran kita dan pentasmu menanyakan keberadaanmu. Dia kangen denganmu, kangen dengan suara perutmu dan wajah ceriamu saat sedang bercerita. Dia menitipkan salamnya untukmu.” Aku terdiam lama, menelan ludah dengan susah payah setelah mendengar cerita dari ayahku kalau ada yang kangen dengan aksi pentasku dengan boneka-boneka porselenku. “Tapi dia pasti akan kecewa kalau Sugar tidak ada di pentasku, pa. Penonton yang lain juga pasti akan merasakan yang sama kalau ada yang kurang dari acaraku nanti.” “Kau masih bisa menceritakan yang kemarin kau peragakan di kamarmu, kan? Kamu bisa membuat cerita itu bersambung. Dilanjutkan saat hari acaramu selanjutnya.” Ah, ternyata kemarin malam ayah mendengar. “Kalau tidak dicoba, kau tidak akan mulai-mulai, Candy.” “T-tapi aku mau Sugar…” Suaraku mulai tercekat, pandangku kabur karena butir air mata bening mulai menumpuk di kedua bola mataku. Tinggal menunggu beberapa detik saja air mataku akan tumpah dan membasahi kedua pipiku yang sudah memerah karena emosiku yang sedang keluar. Aku tidak malu menumpahkan emosiku di dapur ini, aku tahu kalau juru masak di sini ada yang menatap ke arahku. Ayahku sama-sama diam, dia tidak biasa menghadapi anak semata wayangnya ini jika menangis. Biasanya ibuku yang sering menenangkan diriku. Karena tidak ada jalan pilihan yang lain, pria dewasa itu pun akhirnya memilih menghapus air mataku dan memelukku. Dengan kesadaran yang ada, aku kembali menumpahkan tangisanku, lebih kencang. Tidak peduli dengan beberapa pertanyaan yang terlontar pada ayahku dari bawahannya. Aku benci diriku yang terlalu sensitif. Aku benci menjadi anak perempuan yang mudah untuk mengeluarkan air mata.
_______________________________________________________________________
Aku sadar kalau aku telah mengecewakan banyak orang. Termasuk ayahku dan pelanggan restoran keluargaku. Termasuk Agatha, Dough dan beberapa anak kecil yang telah mengikuti acaraku cukup lama. Acaraku tadi berjalan sangat tidak lancar. Keheningan lama sukses terjadi saat aku kembali menangis di tengah-tengah saat aku bercerita, kali ini di depan pelanggan restoran, tentu saja. Aku tidak bisa menahannya dan akhirnya aku membukakan diri untuk menceritakan kenapa aku tidak pentas selama tiga kali itu dan kehilangan Sugar yang membuatku sedikit frustasi memikirkan keadaan bonekaku setiap harinya. Wajar kalau aku memikirkan seperti itu, aku cukup ketakutan kalau sang pemilik setelahku ini tidak merawat Sugar dengan baik. Aku juga ketakutan kalau ada cacat tubuh dari bonekaku itu. Dan aku… —GEDEBUK! Aku mengaduh kesakitan. Tubuh mungilku langsung terduduk di pinggir jalan yang bersebelahan dengan restoran keluargaku. Aku sempat mengeluarkan decakan sambil mengelus sikutku yang sempat menahan tubuhku. Seorang pemuda berambut pirang terang baru saja menabrakku. Mata kami saling menangkap wajah masing-masing. Aku yang cuek hanya berusaha untuk berdiri kembali, tidak ada ucapan permintaan maaf dariku karena bukan aku yang salah. Tapi nyatanya.. pandangangku terhenti pada sebuah benda yang dipegang oleh pemuda yang mengenakan baju pasien sebuah rumah sakit di kota London ini. Berbentuk manusia. Benda mati. Mempunyai wajah lengkap dan masih terawat. Rambut pirang bergelombang itu masih rapi. Tanpa ada satu cacat pun yang berada di kulit dingin boneka porselen itu. “Sugar….?”
0 notes