Tumgik
#5ccday19
Text
BERSERAH♥BAHAGIA (Part 4)
Riuh suara mahasiswa meneriakkan jargon masing-masing himpunan terdengar jelas dari dalam pendopo gedung tempat wisuda. Kobaran semangat anak muda yang amat sangat terasa, membuat bulu kudukku berdiri setiap mendengarnya. Hentakan kaki, suara tepukan tangan mengiringi jargon mereka. Membuat kepalaku terkadang ikut bergerak menikmati setiap iramanya, tanpa sengaja beberapa jargon himpunan lain kuhapal di luar kepala.
“Himpunan Mahasiswa Manajemen!” teriak Ketua Himpunanku, memberi tanda bahwa kami harus segera bersiap. “Kobarkan semangat kalian! Siapa kita?” lanjutnya.
“HIMPUNAN MAHASISWA MANAJEMEN!”jawab seluruh anggota Himpunan Mahasiswa Manajemen.
Aku bersama teman-teman Paduan Suara Mahasiswa saat itu sedang mengadakan acara Gladi Resik untuk persiapan acara wisuda besok, begitupun teman-teman Himpunan Jurusan. Beberapa anggota Paduan Suara Mahasiswa termasuk aku adalah anggota aktif Himpunan Jurusan. Rugi sekali rasanya jika kami tidak berkontribusi untuk Himpunan Jurusan kami, teman-teman Jurusan sudah kuanggap sebagai salah satu teman-teman terdekatku.
Teman-teman Himpunan Jurusan sangat mendukung kami untuk mengembangkan Unit Kegiatan Mahasiswa, salah satunya adalah Paduan Suara Mahasiswa yang sedang kami pimpin ini. Bahkan beberapa kali kami mengadakan kegiatan lomba persaudaraan antar Himpunan, mulai dari lomba nyanyi, lomba vocal group, lomba futsal, lomba basket, lomba tenis meja, lomba catur, lomba dance, dan sebagainya. Semua keindahan persatuan itu, membuatku semakin suka berorganisasi.
Gladi Resik merupakan latihan final kami setelah 10 kali latihan, bahkan lebih. Karena kami mengadakan latihan mandiri tanpa pelatih kami. Dalam paduan suara, posisi microphone harus diatur sedemikian rupa, agar harmoni suara kami terdengar indah, kami juga mengatur posisi orang-orang yang bertugas sebagai choir. Menagapa harus diatur? Karena ketebalan suara setiap orang berbeda, ada yang tebal dan ada yang tipis. Ada yang power dan teknik suaranya stabil ada juga yang masih kurang. Para penyanyi yang memiliki kemampuan bernyanyi yang baik biasanya disimpan berdekatan dengan microphone, sedangkan yang terdengar masih kurang aman, disimpan agak berjauhan dari microphone. Pelatih kami sangat menghargai orang-orang yang mau belajar bernyanyi, makanya tidak semua anggota paduan suara yang ikut bernyanyi, pandai bernyanyi. “Yang penting kalian masih punya attitude punya sopan dan santun, masalah skill itu bisa dilatih.” Kata pelatihku, namanya Kak Bella.
Aku tidak ikut bernyanyi, tetapi Kak Bella mempercayaiku sebagai dirigen yaitu orang yang memimpin sebuah pertunjukkan musik melalui gerak isyarat. Aku belajar dari Kak Bella langsung! Dia pernah mendengarku bercanda dengan seniorku di Paduan Suara Mahasiswa saat itu, aku pernah bilang “Bang, nanti aku yang jadi konduktor ya!”
Ternyata Kak Bella mendengar percakapan yang sudah berlalu satu tahun lalu. Sekarang seniorku itu sedang duduk di bangkunya saat wisuda besok. Memandang bangku-bangku itu rasanya campur aduk. Aku selalu merasa masih membutuhkan bimbingan senior-seniorku ini, senior rasa kakak. Banyak sekali yang mereka berikan padaku, terutama pengalaman dan ilmu. Besok adalah salah satu momen melepaskan mereka sebagai mahasiswa. Mereka akan segera terbang bebas mencari peradaban masing-masing. Mungkin setelah dari kampus ini, banyak dari mereka yang akan bekerja di luar kota atau bahkan luar neger. Ada juga yang menikah atau berkeluarga, mengikuti suaminya kelak. Aku tidak pernah tau, kapan lagi kami bisa memiliki waktu untuk bersama seperti dulu. Termasuk Mba Nisa… Sudah lama sekali aku tidak melihatnya, aku rindu.
Hari wisuda telah tiba. Aku bersiap mandi setelah melaksanakan Sholat Subuh. Selesai mandi kukenakan pakaian istimewa sebagai dirigen pertamaku tampil di depan seribu mahasiswa. Rasanya campur aduk sekali, nervous iya, bersemangat iya, entahlah. Tapi saat GR kemarin kubayangkan pendopo semegah itu diisi ribuan orang, hah jantungku berdegup sangat kencang.
Dengan hati yang cukup ketar-ketir, aku mempercepat dandananku, karena kami harus tiba di pendopo pukul 06.00 WIB untuk berdo’a bersama, pemanasan vocal dan teknis paduan suara memasuki pendopo seperti apa. Ini adalah kali pertama aku memasuki pendopo di acara wisuda sebagai dirigen, aku harus berpenampilan rapih.
Aku mengenakan dress berwarna hitam, dipadu dengan hijab berwarna silver, menyesuaikan warna pakaian teman-teman choir. Agar penampilanku jauh lebih mencolok, aku padu padankan dengan syal berwarna silver. Oke, perfect!
Semua persiapan sudah kami lakukan, pukul 08.00 WIB kami sudah harus masuk ke dalam pendopo. Kami menunggu di pintu masuk, setelah dipersilahkan oleh protocol, kami bersama masuk ke dalam pendopo. Kak Bella yang saat itu berubah peran menjadi pianist sudah berada di dalam pendopo bersama dengan piano andalannya setiap tahun.
Saat memasuki pendopo seluruh wisudawan/wisudawati seperti melihat ke arah kami semua. Aku masuk terlebih dahulu, diikuti seluruh choir yang berbaris rapih di belakangku. Rasanya sangat melayang, aku sungguh nervous, dadaku sedikit sesak, takut mengecewakan. Tapi semua aku lawan dengan rasa percaya diriku karena kami sudah latihan dengan sangat baik.
Sejak kami memasuki pendopo hingga akhir acara kami duduk di hadapan wisudawan/wisudawati. Aku duduk di dekat Kak Bella. Selama acara berlangsung, selama kami tidak bertugas untuk bernyanyi, aku curi-curi pandang melirik ke arah Mba Nisa, begitupun Mba Nisa sesekali melihat ke arahku, terkadang hanya tersenyum, sesekali juga mengangkat alis, mencoba membuat tertawa satu sama lain. Sesekali Mba Nisa mengucapkan “Kamu cantik banget” kepadaku, namun tanpa ada suara. Aku bisa melihat dengan jelas isyarat dari mulut dan tangannya. Akupun membalas sambil tersipu malu “Makasih.” Tanpa bersuara.
Tibalah saatnya pengumuman wisudawan / wisudawati terbaik. Ternyata salah satu wisudawan / wisudawati terbaik yang dipanggil adalah Mba Nisa. Rasanya aku ingin teriak, luar biasa sekali! Dari ribuan wisudawan / wisudawati, satu nama saja yang beruntung untuk memberikan speech di depan dan itu adalah seseorang yang pernah sekamar denganku. Maasya Allah! Rasanya bangga sekali bisa menjadi salah satu orang yang bisa dekat dengannya saat itu. Mba Nisa pantas mendapatkan itu, aku adalah saksi bahwa dia sesungguh-sungguh itu dalam meraih setiap tujuan mulianya. Aku juga saksi, bahwa perjalanan yang dia tempuh tidak semudah itu. Rasanya ingin sekali menjadi seseorang yang luar biasa seperti Mba Nisa. Tapi entah kenapa, masih terlalu jauh dan ketinggian untukku saat ini.
1 note · View note
anilapermata · 2 years
Text
Membeli Masa Depan.
Aku masih mengamati rak berisi kenangan itu, sejenak kuberpikir. Jika kenanganku bisa dijual, mana yang akan kujual? Apakah kenangan setahun lalu, saat aku pergi tamasya ke kota kembang, atau ketika aku melakukan pendakian di tengah malam, bagaimana dengan jalan-jalan ke taman es, sepertinya perjalanan dengan mobil jeep juga menarik, atau kenangan di mana kutemukan laki-laki yang kucintai bergandengan tangan dengan selingkuhannya?
Sayang sekali hanya bisa memilih salah satu, mari kita berkeliling lagi siapa tau toko Aca menjual obat lupa.
Aku suka di toko Aca, toko ini lebih banyak menjual keajaiban daripada makanan. Ya, walaupun aku hanya bisa melihat-lihat dan tak membelinya, pemilik toko tidak keberatan jika aku hanya melihat-lihat.
Dari ujung koridor makanan ringan Fugo berjalan ke arahku dengan terburu-buru, karena tidak seimbang tubuhnya menyenggol rak berisis aneka kripik. Isinya berhamburan keluar, aku sigap mengambi kripik-kriping yang terlempar.
"Fugo, hati-hati dong." Aku memperingatkan.
"Maaf," sesalnya, "Di sana ada setumpukan masa depan." Fugo menunjuk ke arah dia berasal.
"Tidak ada yang menjual masa depan Fugo." kataku sambil merapikan rak kripik.
"Ayo, lihat dulu." Ajaknya.
"Aku tahu toko ini menjual beberapa keajaiban, tapi tidak dengan masa depan Fugo."
Fugo, terlihat sedih dengan ucapanku. Aku hanya bicara yang sebenarnya, Fugo masih terlalu muda untuk mengerti.
Aku memeluk Fugo yang murung. "Kita pulang saja ya." Pada akhirnya aku mengajak Fugo pergi, karena sudah mau jam makan siang, kalau tak segera pulang maka kami tidak akan makan siang.
Fugo mengangguk setuju.
Sebelum pulang aku memberi makan Kobu, kucing yang ada di toko, sepotong tahu putih. Kobu menjilati sepatuku, aku menggendongnya sebentar, salah satu alasanku ke sini juga karena ada Kobu.
Pernah suatu hari aku bermain seharian bersama Kobu. Waktu itu aku tidak tahu apa yang harus kulakukan setelah berhenti bekerja, sepanjang hari aku hanya tidur. Makan pun 3 hari sekali, kalau tidak tidur kerjanku hanya menangis.
Kurang lebih selama 3 bulan aku berdiam diri di rumah, tidak keluar rumah sedikit pun, bahkan aku tidak pernah melihat sinar matahari waktu itu. Kelurgaku memaklumu jadi saudaraku akan datang setiap hari dan menaruh makanan di depan pintu.
Aku hampir menenggak racun, mengiris nadi, menggantungkan diri di langit-langit kamar. Tentu saja keluargaku tidak tahu. Siang dan malam seolah satuan waktu yang terbalik di hidupku. Aku melakukan percobaan itu saat orang-orang tertidur.
Hari-hari yang gelap dan mendung sudah aku lewati, aku kira aku akan mati. Tapi kalau aku mati maka aku akan menjadi mati yang sia-sia bukan? Padahal aku ingin sekali menelanjangi kekasihku dan juga selingkuhanya itu, mengulitinya, menyayat dagingnya, memotong tulang belulangnya lalu kuberikan pada anjing liar yang amat ganas, atau kubiarkan anjing liar itu mencabik tubuh mereka dan aku tidak perlu mengotori tanganku.
Ingin sekali aku melakukannya, melihat mereka menderita dan memohon kepadaku.
Jangan mengajariku tentang ikhlas dan rasa sabar, semuanya sudah direnggut tanpa ampun oleh orang-orang yang menyebut dirinya dermawan.
Orang-orang itu, memungutku bak seekor anjing, aku diberi makan, diberi tempat tinggal, lalu aku disuruh patuh dan menjaga harta benda mereka.
Untunglah aku kabur, waktu itu. Namun, sepertinya mereka memberiku obat lewat makanan jadi ketika aku kabur dan pulang aku merasakan sakit yang luar bisa dan tak dapat bicara, aku merasakan sakit kurang lebih selama satu bulan, lalu setelah itu aku tertidur dan jarang bangun.
Alasan aku ingin mati juga karena rasa sakit yang kurasakan begitu amat sangat, kurasa mati adalah pilihan terbaik.
Tapi saat aku hendak membeli racun di toko Aca, aku berubah pikiran. Waktu itu aku datang dan toko masih sepi, aku disambut oleh Kobu, kucing hitam berkalung bulu putih. Aku menyebutnya demikian.
Kobu menjilati kakiku, di mengeong, berputar-putar di kakiku. Pemiliknya datang dari arah dalam, memergokiku yang sedang menggendong Kobu.
"Wah, suara Kobu rupanya." ucapnya.
Aku menaruh Kobu di atas meja, aku hendak berlari, karena ini tidak ada dalam sekenarioku, aku ke sini untuk membeli racun, sebab orang-orang bilang semua ada di toko ini. Tapi kobu melompat dari atas meja ke arahku. Sontak aku kaget dan terjatuh.
Menurut pemilik toko yang bernama Qenny aku terjatuh dan tak sadarkan diri selama dua jam. Qenny mau menghubungi keluargaku tapi tak tahu, dan juga kata Qenny aku sepertinya sedang tidur bukan pingsan.
Qenny bilang setelah aku bangun aku bertanya seperti ini, "Apa ini akhirat?" tentu saja pertanyaanku mengundang gelak tawa Qenny. Dia menjelaskan apa yang terjadi padaku, dia juga mengajukan beberapa pertanyaan padaku.
Entah mengapa aku menangis, menngis di depan Qeeny, padahal aku hampir tidak pernah menangis di depan keluargaku, setelah kemalangan yang terjadi kepadaku akhir-akhir ini.
Kata Qeeny, "Menangis saja tidak apa-apa, jika itu membuatmu merasa lebih baik, tidak perlu mendikte bahwa dirimu kuat, kita hanya manusia, dan manusia perlu menangis untuk menjadi lebih kuat ."
Hari itu aku menangis di tempat Qeeny, bahkan dia menutup tokonya agar aku bisa menangis sepuasnya. Entah mengapa aku menceritakan semuanya pada Qeeny. Tentang pengkhiantan kekasihku, tentang orang-orang dermawan, tempat kerjaku dan juga keluarga.
Qeeny menerimaku dengan tangan terbuka, dia menyuruhku untuk datang kapan pun aku mau dan juga Kobu, kata Qeeny semenjak dia lahir Kobu tidak pernah bersuara, makanya waktu aku datang dan Kobu bersuara Qeeny hamipr tidak percaya.
Jadi aku cukup sering datang ke toko Aca, walaupun jaraknya cukup jauh, tetapi di sini aku merasa dihargai. Salah satu hal yang hilang dari diriku.
Setelah aku menerima pengkhiantan dari mantan kekasihku itu aku kehilangan beberpa hal di hidupku. Aku jadi sesorang yang mudah marah lebih dari siapa pun, merasa sedih, merasa gagal, meras tidak berharga dan juga merasa tidak pantas.
Itu juga yang menyebabkan aku berhenti bekerja, dan mengurung diri di rumah. Waktu itu aku hanya ingin menghilang, menghilang entah kemana.
Namun, akhir-akhir ini karena aku sering datang ke sini, lambat laun semua kembali, meski tidak seperti dulu. Aku mulai tidur seperti orang-orang pada umumnya dan aku mengelola warung kecil di depan rumah.
Oh, iya Fugo adalah pelanggan setiaku, semenjak aku membuka warung dia terus datang, walaupun warung kututup dia akan tetap datang.
Aku bersyukur bisa bertemu dengan Qenny, Kobu dan juga Fugo. Aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku akan hidup lebih baik lagi dari sebelumnya.
Sepertinya Tuhan ingin aku tetap hidup, setidaknya untuk diriku sendiri. Aku mulai dengan hal-hal sederhana yang bisa kulakukan, sperti tidur dengan cukup, makan dan minum dengan cukup dan pergi ke toko Aca, sesekali
1 note · View note
yaninurhidayati · 2 years
Text
Tumblr media
Aku memasuki kelas berukuran 10x10 meter dengan tiga jendela kaca yang memenuhi sisi dinding bagian selatan. Hanya ada sebuah pintu masuk dengan lebar satu meter. Ruang kelas dengan dua papan tulis putih atau mereka menyebutnya whiteboard, papan tulis yang masih jarang aku temui di kampung halamanku. Ada 12 meja besar terbagi dalam tiga banjar dan empat baris. Meja dengan alas putih yang tentu lebih lebar, bahkan sangat lebar, daripada meja kayuku saat SMA dahulu. Meja dengan besi di bagian bawahnya dan kakinya terbuat dari pipa besi dua letter C yang saling membelakangi. Kalau diangkat sendirian, kukira mampu mengubah posisi tulang belakangku karena memang terlihat sudah sangat berat walau belum diangkat. Kursinya adalah kursi lipat dengan alas duduk dan sandaran berwarna hitam. Aku memilih duduk di pojok kiri depan, dekat jendela.
Suara riuh terdengar sepanjang waktu di kelas ini. Maklum, dari berduapuluh, hanya lima di antaranya perempuan. Lima belas orang laki-laki yang berlatar belakang smk teknik bangunan, ternyata mempunyai kebiasaan tak pernah diam, selalu ada saja bahasannya. Ya, lelaki dan perempuan ternyata sama saja, membutuhkan ruang untuk bercerita, sekalipun dia seorang introver.
"Pagi, kawan-kawan!" Suara riuh sekejap terlempar ke luar kelas. Hening, tak bersuara, ketika seorang dosen laki-laki memasuki ruang kelas kami. Seorang laki-laki dengan tinggi badan tidak lebih dari 160cm, berwajah kotak, di dahinya ada dua titik hitam, dan logatnya sepertinya bukan orang Jawa.
"Pagi, Paaak!" jawab kami semua setelah lima detik hening.
"Oke. Saya adalah kaprodi jurusan kalian," dosen tersebut langsung pada intinya, perkenalan, "nama saya Reynald Putra. Kalian bisa panggil saya Pak RP. Er Pe bukan rupiah ya! Tapi Reynald Putra." Sontak suara riuh itu kembali ke dalam kelas kami. Bapak Reynald Putra. Wajah yang juga terasa tidak asing. Tapi siapa?
"Selamat datang di Jurusan Manajemen Rekayasa konstruksi Teknik Sipil Kampus P. Semoga kalian betah sampai akhir. Kalian angkatan ke-3 dari program reguler Diploma IV ini," lanjutnya.
Teknik Sipil. Iya. Akhirnya aku ditakdirkan untuk memasuki dunia ketekniksipilan, bukan dunia kearsitekturan seperti yang pernah aku perjuangkan sebelumnya. Sebuah plotwist dalam hidupku.
****
Beberapa bulan lalu...
Siang yang terik, selepas pendaftaran SPMB, aku dan bapak sedang menunggu angkot di depan gerbang Kampus I. Bapak yang telah sempat tertidur saat menungguku seharian untuk daftar SPMB, membuka pembicaraan dengan menunjukkan sebuah brosur pendaftaran Diploma IV kampus P. Kampus yang tidak jauh dari kampus I berada.
"Ndug, kita mampir ke sini dulu ya! Lihat-lihat," ajak bapak memperlihatkan selembar brosur ukuran A4 dengan tiga lipatan. Pada brosur itu terpampang nyata tulisan PENDAFTARAN DIPLOMA IV KAMPUS P. Aku melihat tanggal pendaftarannya, hari ini adalah hari pertama. Sungguh, kampus ini benar-benar memanfaatkan momentum dengan baik. Memberikan opsi kedua bagi lulusan SMA SMK seperti kami agar tetap melanjutkan studi ketika pada akhirnya nanti kami tertolak di ujian SPMB. Dan bapak tidak melewatkan kesempatan sedikit pun untuk bisa menyekolahkan anaknya di kota M ini.
Aku menoleh dengan wajah datar dan tatapan tanda tidak setuju. Tapi sayang, aku tidak bisa beralasan dengan dalih permintaan bapak. Aku menghela nafas panjang dan tetap diam. Dan bapak tidak mempedulikan sinyal ketidakinginanku. Seperti sifat umum laki-laki, tidak peka.
Ketika bapak memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke kampus P, bapak sengaja tidak menyebrang jalan untuk mencari angkot dengan arah berlawanan. Bapak diam di sisi tempat kami turun pertama kali sebelum memasuki kampus I tadi. Aku hanya mengikuti beliau. Dan angkot warna biru muncul dari kejauhan. Bapak memberikan tanda berhenti dengan melambaikan tangan kirinya. Angkot biru itu ternyata juga mengangkut calon peserta SPMB lain yang baru datang di siang itu. Satu. Dua. Tiga. Empat. Banyak juga ya peminat SPMB tahun ini. Mereka berpenampilan sama sepertiku. Penampilan khas anak yang baru lulus SMA dan bukan warga asli kota M.
Angkot berjalan dengan kecepatan rendah, karena sepanjang perjalanan menuju kampus P, ternyata banyak calon penumpang yang menunggu angkot dengan kode yang kunaiki sekarang. Sampai-sampai, yang awalnya aku dan bapak bebas untuk duduk, menjadi harus lebih mengalah berada di dekat pintu angkot, karena memang tujuan kami semakin dekat. "Kiri!" teriak bapak kepada supir angkot. Angkot bergerak menepi. Setelah berhenti benar, kami turun.
Sebuah gerbang besar berada di depan kami sekarang. Ada sebuah baliho besar. Baliho dengan judul yang sama dengan brosur. Baliho tersebut dipampang di sisi kiri sebuah gerbang. Gerbang dengan tulisan SELAMAT DATANG DI KAMPUS B. Kampus B? Bukannya aku mau ke kampus P? Otakku langsung bertanya-tanya dan hatiku sudah dalam kondisi senggol bacok di bawah terik matahari siang dan kondisi cacing di perut sudah berteriak-teriak.
Aku mengikuti langkah bapak. Menyebrang di zebra cross menuju ke gerbang itu. Langsung mengambil sisi kanan jalan. Tidak ada pedestrian, kami jalan menepi berusaha agar tetap aman berjalan melawan arus kendaraan bermotor yang datang dari dalam kampus. Sisi kananku ada pagar besi setinggi satu meter. Pagar besi itu terpasang mulai dari pintu gerbang tadi. Berbeda dengan sisi kiri jalan, ia tidak memiliki pagar besi yang sama. Kami berjalan kurang lebih 500 sampai 600 meter kira-kira dari gerbang tadi. Sebuah pencapaian luar biasa untukku yang jarang sekali jalan kaki sejauh itu di siang bolong dengan kondisi lapar. Dan bapak sepertinya selalu punya energi untuk itu walau ia terlihat lelah sekali.
Pagar besi itu pun akhirnya berakhir di sebuah lapangan parkir yang cukup untuk lima mobil dan puluhan motor. Dari lapangan parkir itu aku melihat tulisan KANTOR PUSAT KAMPUS P di atas sebuah gedung berlantai dua. Oh, ternyata kampus P berada di dalam kampus B. Bapak terus berjalan menuju gedung itu. Aku, si anak penurut (atau anak penakut?) mengikuti bapak di belakang. Kami melewati pintu kaca yang memang sengaja dibuka. Tidak jauh dari pintu tersebut terdapat dua meja. Meja pendaftaran dan meja formulir. Di depan meja-meja itu ada puluhan kursi yang telah ditata.
Ada sebuah banner yang berdiri di setiap meja dengan isi yang berbeda. Satu banner berisikan visi dan misi kampus P. Satu banner lainnya berisikan pilihan program studi yang ditawarkan pada level Diploma IV. Paling atas Manajemen Rekayasa Konstruksi. Di bawahnya Teknik Mesin. Disusul dengan Kelistrikan. Lalu, Akuntansi. Terakhir, Administrasi Bisnis. Saat membeli formulir, kami diberitahu bahwa lulusan IPA SMA hanya bisa mengambil program studi dari jurusan teknik saja. Dan pilihanku hanya tiga saja, dua jurusan berlatar belakang IPA Fisika Listrik, satu lainnya IPA Fisika Mekanika. Itu yang ada di benakku.
"Ndug, kamu isi ya!" bapak menyerahkan formulir kosong itu kepadaku. Aku diajak untuk duduk di kursi yang telah disediakan. Kursi lipat yang sepaket dengan meja putihnya. Aku masuk kampus ini? Ah...bapak! Segigih itu kah punya keinginan menyekolahkan putri satu-satunya di dunia laki-laki seperti teknik sipil ini? Apa ini? Aku nggak mau!!! Teriakku dalam hati yang membuat raut wajahku sedikit cemberut. Kecemberutan itu yang nantinya membuat kesan pertama pada dua manusia yang tengah mengamatiku dari jarak tiga meter.
****
"Sara Pramita," suara Pak RP memanggilku.
Aku lantas mengangkat tangan, "Iya, Pak! Hadir!"
"Ah... kamu yang datang bersama bapak waktu itu ya? Syukurlah wajah cemberutmu tidak kamu bawa di hari pertama kita. Selamat datang di Jurusan Manajemen Rekayasa Konstruksi Teknik Sipil Kampus P, ya mbak!" sebuah kalimat yang membuatku baru tersadar dan wajahku memerah. Ternyata dosen cantik itu dan Pak RP adalah dua orang yang sedang bertugas menjaga pendaftaran kampus P kala itu. Ingin rasanya aku melarikan diri sejenak, menghalau perasaan maluku. Tapi sayangnya, aku tetap bertahan di sana. Damn!
Bersambung...
0 notes
Text
Untuk Apa Juga Siapa (4)
Angkasa menganggukkan kepalanya tanda paham atas semua yang disampaikan Bundanya malam itu.
“Sudah hampir larut malam, yuk kita tidur khawatir besok salat subuhnya terlambat”, ucap Alesha menutupi pillow talks bersama anak kesayangannya malam itu.
Adzan subuh berkumandang, Alesha bergegas membangunkan suami dan anaknya untuk menunaikan salat subuh berjamaah di masjid . Ia tinggalkan dulu lap pel dipojok ruang tamu. Alesha memang terbiasa bangun dini hari, menyelesaikan urusan domestik rumah tangganya sebelum pergi bekerja. Cuci baju, cuci piring, masak untuk sarapan dan bekal, nyapu, ngepel rumah ditambah lagi menyiram beberapa tanaman sudah biasa ia lakukan setiap harinya seorang diri.
Udara di subuh hari tidak pernah mengecewakan, selalu menjadi semangat baru bagi Alesha menjalani hari ini. Sepulang suami dan anaknya dari masjid, Alesha langsung menyediakan air teh manis dan sedikit makanan ringan, ia pun kembali ke dapur untuk menyelesaikan masakannya.
“Bund!!!” panggil Andi - Suaminya sambil melangkahkan kaki menuju dapur.
Belum sempat Alesha menjawab panggilan suaminya itu, tapi sudah langsung berucap lagi, "Aku pinjam uang dulu buat bensin ya 200 ribu, soalnya sudah gak pegang uang.”
Alesha berbalik badan menghadap suaminya yang berada di samping pintu dapur. Tanpa kata namun tatapannya penuh tanya. Ia hanya menghela nafas panjang.
Rupanya helaan nafas Alesha terdengar jelas oleh Andi, “kenapa gak mau kasih pinjam suaminya?klo gak ridho gak usah!” ucap Andi dengan ketus sambil meninggalkan dapur.
Kali ini Alesha tidak mengejarnya, badannya seketika lemas, susah untuk bergerak.
10 menit berlalu Alesha sadar, suaminya akan mengungkit-ungkit kejadian ini jika ia tidak menurutinya.
“Ini Yah,” ucap Alesha dengan lembut dan berhati-hati sambil menyodorkan empat lembar uang pecahan Rp 50.000 pada suaminya yang sedang duduk di ruang tengah. Andi terlihat begitu serius menatap layar ponselnya.
“Gak perlu.” ditepisnya tangan Alesha yang memegang empat lembar uang Rp 50.000 itu sampai berhamburan.
Alesha tak kuasa, ia mematung disamping suaminya. Air matanya pun jatuh, tetes demi tetes.
“Yah, mau sampai kapan seperti ini terus,”ucap Alesha sambil terisak. Kali ini kesabarannya sudah terkikis habis.
Andi terkejut mendengar suara isak tangis istrinya tersebut. Tanggannya tetap memegang ponsel, namun kepalanya ia angkat, kini bukan lagi layar ponsel yang ia tatap dengan serius, tapi beralih menatap tajam ke arah Alesha.
“Kamu ini kenapa? Jangan mentang-mentang sekarang kamu kerja, punya penghasilan sendiri, jadi seenaknya sama suami?” gertak Andi yang tak mau kalah, ia sama sekali tak iba melihat istrinya menangis.
Alesha tidak menjawab hanya menangis sesenggukan, dalam hatinya membatin. “Salahkah aku semua ini? Aku tak bermaksud untuk melawan, atau semena-mena aku hanya ingin kita sama-sama terbuka. Sama-sama memberitahu apa yang masing-masing inginkan, bagaimana kondisi saat ini, dan apapun itu, bukan aku ingin tahu semua hal, aku hanya ingin kita terlibat sama-sama, masih ingatkah janji kita bersama dulu? Ini semua bukan soal uang saja, tapi masa depan keluarga ini.”
“Jawab!!! Jangan malah nangis!!” bentak Andi sambil melemparkan gelas disampingnya.
Pagi yang tenang pun berubah menjadi rusuh, porak poranda, suara bentakan juga lemparan gelas malang itu terdengar sampai kamar Angkasa. Angkasa terkejut, ia langsung berlari ke luar kamar. Hatinya ikut hancur saat dia dapati sang bunda sedang menangis sambil tertunduk, sedangkan ayahnya berdiri tegak bak seorang mandor yang menghardik buruhnya.
Angkasa tak berucap sepatah kata pun, ia berjalan ke luar rumah melewati pecahan kaca juga Ayah dan Bundanya yang tengah memanas tanpa pamit.
Alesha dan Andi pun terkejut, melihat tingkah anaknya itu. Alesha khawatir mau mengejar Angkasa, namun tiba-tiba tangannya ditarik, dipaksa untuk tetap tinggal.
“Angkasa Yah,,,Angkasa,,,” ucap Alesha memohon-mohon.
“Angkasa masih bocah, dia gak mungkin pergi jauh, dia cuman ketakutan. Kalau memang kamu seperti ini terus, sudah kamu resign saja dari tempat kerja.”
“Bukan itu masalahnya Yah,,,”
“Justru itu yang jadi penyebab semua masalah ini kan?”
“Ini hari terakhir kamu ke kantor, urus surat resignnya. Aku malas berdebat!” Andi menuju ke kamar mengambil tas langsung pergi meninggalkan Alesha begitu saja.
Batin Alesha kembali ingin berteriak, teriak sekencang-kencangnya. Namun ia sadar, “Angkasa….” pekiknya. Alesha setengah berlari ke luar rumah mencari Angkasa. Sudah berjalan sampai ke ujung gang, namun tak terlihat batang hidung anak kesayangannya itu.
Tak menyerah, ia terus berjalan, bertanya ke setiap orang yang ia temui, berhenti di setiap warung mempertanyakan hal yang sama.
“Mamah Angkasa,,, apakabar?” sapa Mamah Romi, orangtua dari temannya Angkasa.
“Eh, Mamah Romi Alhamdulillah kabar baik, Mamah Romi lihat Angkasa?” balas Alesha tanpa basa - basi yang ada di pikirannya saat itu hanya Angkasa.
“Oh tadi saya lihat dia menuju ke Masjid An Nur yang di ujung jalan besar itu. Ada apa Bu? Angkasa lagi mogok sekolah ya?”
“oh, baik….Makasih banyak ya” Alesha langsung berlalu tanpa menjawab pertanyaan itu.
Langkahnya semakin cepat menyusuri jalanan beraspal itu sambil mulutnya merapal doa-doa, berharap semoga Angkasa benar ada di tempat yang ditunjukkan Mamah Romi.
Bangunan kubah sederhana di ujung jalan sudah mulai terlihat. Alesha semakin mempercepat langkahnya. Saat tiba, hatinya seolah menjadi lapang, matanya mulai hangat dengan air, penuh haru saat melihat anak yang dicarinya sedang duduk bersimpuh menghadap kiblat di dalam masjid itu. Ia tengah mengadu pada Sang Pembuat skenario hidup.
Alesha mendekati pintu masuk masjid itu, ingin rasanya saat itu juga ia peluk jagoannya itu. Namun ia tak mau mengganggu anaknya yang sedang khusu mengadu pada-Nya. Langkah kakinya pun berputar menuju tempat wudhu wanita. Diputarnya keran air itu, lisannya sambil berbisik “bismillahirrahmanirrahiim”. Sejuk, menentramkan hati, itu yang dirasakan Alesha, mulai saat berkumur, membasuh wajah hingga mencuci kaki. Seluruh rangkaian wudhu ia laksanakan tanpa celah dengan tu’maninah. Benar kiranya saat hatimu sedang dipenuhi sesak atau amarah, berwudhu adalah solusi ampuh untuk menenangkan bukan hanya fisik tapi juga pikiran dan hati.
Selepas wudhu, Alesha pun berjalan menuju pintu masuk masjid. Pintu masjid itu pun dibuka hingga terdengar suara, Angkasa menoleh ke arah pintu, ia menatap bundanya. Alesha membalas tatapan anaknya dengan senyuman. Tak ada adegan lari-larian saling menghampiri, justru Angkasa kembali menunduk, seolah ingin melanjutkan aduannya, Alesha pun berjalan menuju lemari tempat penyimpanan mukena, sarung dan Al quran di pojok mesjid. Alesha melaksanakan salat sunnah dua rakaat. Keduanya pun tenggelam dalam peraduannya masing-masing.
Tak ada yang paling menenangkan, aman juga tak mengecewakan saat kita mengadu pada Dia Yang Maha Tau. Dia yang takkan menghakimi jika kita menangis sejadi-jadinya, Dia yang selalu punya waktu kapan pun kita mencari-Nya, Dia hadir sangat dekat bahkan lebih dekat dari apapun yang terdekat.
“Semoga Engkau beri kami petunjuk untuk menyelesaikan permasalahan ini, aku hanya hamba Mu yang lemah, yang tiada daya, tolong kami, duhai Sang Pemilik Alam Semesta.” Alesha mengakhir doanya, sambil mengusap air mata yang sedari tadi deras mengalir.
Bersambung...
0 notes
byayunda · 2 years
Text
Sakti
Tepat pukul delapan pagi, ia sudah berada di stasiun Purwokerto untuk mengantarkan Diandra pulang ke ibu kota, Jakarta. Merelakan bangun sebelum matahari terbit dan ayam berkokok demi sang kekasih tercintanya ini sampai tepat waktu dan tidak ketinggalan kereta. Walaupun semalam ia baru bisa memejamkan matanya jam tiga dini hari.
Dinginya udara di penginapan sangat menusuk ke tulang membuat ia tak bisa terlelap. Dari pada membuang waktu percuma ia manfaatkan untuk mengedit foto. Mungkin jika dipakai sambil bekerja rasa ngantuk itu akan muncul. Tetapi tidak muncul juga hingga pukul tiga dini hari. Dan ia sengaja menidurkan diri karna selepas mengantarkan kekasihnya, ia harus menuju kota lain. Ada yang membutuhkan jasa motretnya. Sakti termasuk orang yang sangat memanfaatkan cuti untuk dapat menambah penghasilan. Tidak akan isa sia-siakan kesempatan ini. Selain menambah portofolionya, iajuga menambahan jaringan pertemanan serta biaya akomodasi sudah pasti ditanggung kliennya. Travelling tapi tidak memakai uangnya sendiri menjadi salah hal yang membuatnya bahagia dan sangat menyenangkan.
" Semua sudah dicek Ndra? " ucap Sakti mengingatkan kekasihnya jangan sampai ada barang yang tertinggal karna jarak tempuh dari penginapan menuju stasiun memerlukan waktu sekitar satu sampai dua jam jika perjalanan lancar.
" Wait, ku cek dulu. " jawab Diandra cepat. Sambil bergumama sendiri Diandra mengecek lagi semua barang bawaannya dan tak lupa dokumen penting perjalanan. Tiket kereta api dan kartu tanpa penduduk. Duahal ini sangat pebting, jika tidak. Bagaimana bisa ia cek in dan menaiki kereta api nantinya.
" Siap sudah komplit semua. Tiket kamu ada di kamu nih. Tapi aku kasih sekarang aja ya karna kita beda tujuan di stasiun nanti. " ucap Diandra sambil menyerahkan tiket kereta api Sakti tujuan kota selanjutnya. Sakti menerima tiket itu dan memasukannya ke dalam dompetnya. Supaya lebih mudah pas cek ini nanti, ia taruh di dekat posisi ia menaruh kartu tanda penduduk.
Diandra
" Mas, aku masih ngantuk banget. Kegiatan kita cukup padet ya selama dua hari kemarin. "
" Iya, mukamu keliatan lelah banget. Masih mau tidur sebentar menuju stasiun? "
Dengan memasang wajah memelas dan memohon langsung di jawab " Iya mas, gpp ya? "
" Apa sih yang ngga boleh buat pujaan hati mas. " ledek Sakti.
Sakti
Semasa kecil Sakti termasuk anak yang cukup bahagia dengan kasih sayang dari orang tuanya sebelum di kemudian hari kedua orang tuanya memutuskan untuk menjalani hidup masing-masing. Usia Sakti saat itu sembilan tahun dan hak asuh Sakti berada di tangan orang tua laki-laki, papanya. Sedangkan adik perempuan Sakti ikut orang tua perempuan, mamanya. Sejak saat itu pula, Sakti berjuang untuk tidak selalu diledek oleh teman-temannya karna postur tubuh Sakti yang kecil.
Ada perasaan iri kepada teman-temannya setiap moment bagi rapor tengah semester, hasil belajar. Teman-teman lainnya selalu dengan orang tua mereka komplit, ayah bunda. Sedangkan ia, jika terkadang papanya ada perjalanan bisnis. Sudah dipastikan yang akan mengambil rapornya ialah mba asisten rumah tangga atau pun supir papanya. Tidak usah bertanya tentang mamanya. Karna sejak perceraian dengan papanya, mamanya sudah memutuskan untuk pindah ke bagian benua lain untuk bekerja dan menetap di sana serta melebarkan sayap bisnisnya untuk lebih pesat dan semakin berkembang. Adik Sakti pun ikut bersama mamanya. Enak sekali, pikir Sakti. Tapi apa yang terjadi tidak seindah yang dilihat. Beberapa kali adiknya sering cerita via sambungan jarak jauh atau terkadang via video call bahwa sama saja, ia pun merasakan kesepian dan dituntut untuk hidup mandiri di negara asing. Serta tuntutan agar lancar berbahasa asing tersebut sehingga tidak mengalami diskriminasi sebagai orang asing atau pun turis yang hanya sedang berlibur semata. Semakin berkembang dengan pesatnya teknologi bisa merekatkan hubungan yang tadinya jauh makin dekat. Tapi ibarat pisau bermata dua. Perkembangan teknolgi pun bisa berdampak buruk seperti menjauhkan hubungan yang harusnya dekat.
Setiap kali papanya melakukan perjalanan dinas ke luar kota atau bahkan luar negeri, sepulang sekolah Sakti selalu main di rumah temannya. Iya papanya mulai melebarkan sayap bisnisnya secara perlahan ke kancah international. Bukan untuk mengikuti jejak mantan istrinya terdahulu. Tetapi awalnya mereka berbisnis bersama, hanya saja karna ego dan kesalah pahaman. Mereka mutuskan untuk berpisah. Sudah tidak bisa berjalan bersama karna visi misinya tidak selaras lagi.
Tomo Hiro, namanya. Anak laki-laki pertama keturunan Jepang- Indonesia. Ayah Tomo berkebangsaan Jepang dan ibu Tomo orang Indonesia asli. Namun, karna gen fisik mengalir cukup kuat dari orang tua laki-laki, maka postur tubuh Tomo mengikuti kebanyakan orang Jepang. Berambut lurus, agak jabrik, berkulit putih serta bermata sipit.
Merasakan seperti punya rumah baru setiap kali Sakti berkunjung dan bermain bersama Tomo di rumahnya. Ibunya pun begitu hangat. Tomo merupakan anak tunggal, tidak memiliki kakak ataupun adik. Sehinggaibu Tomo pun sangat senang sekali Tomo ada teman bermain sepulang sekolah dengan Sakti. Bukan hanya bermain, di rumah Tomo pun Sakti sering menginap untuk mengerjakan tugas sekolah bersama.
" Selamat sore Ibu. Saya Wira orang tua kandung Sakti. Maaf apakah anak saya sedang berada di rumah ibu? " begitu chat yang masuk ke dalam telpon genggam ibu Tomo. Sebelumnya memang ibu Tomo yang secara suka rela memberikan nomornya ke Sakti untuk diberitahukan kepada papanya supaya tidak khawatir keberadaan Sakti dimana, sedang apa dan bersama siapa.
" Sore Pak Wira. Iya betul. Nak Saktu sedari pulang sekolah sudah di sini bermain bersama anak saya. Sekarang Sakti sedang makan pak. Ada yang ingin disampaikan ke Sakti pak? " balas ibu Tomo.
" Alhamdulillah, syukurlah kalo begitu bu. Maaf saya merepotkan karna Sakti sering bermain ke sana bu 🙏" emotikon tangan permohonan maaf menyertai chat ke ibu Tomo. Sebagai orang tua, papa Sakti ada perasaan bersalah cukup dalam atas perceraiannya. Seharusnya Sakti dan adiknya tidak menjadi korban kegoisan kedua orang tuanya.
" Tenang saja pak. Sakti aman dan nyaman bermain bersama Tomo di sini. " balasan terakhir dari ibu Tomo yang mebuat papa Sakti tersenyum getir.
Sakti terlalu larut melihat kebahagian keluarga kecil di depannya ketika hendak memasuki stasiun tujuan membuat hatinya seperti ditetesi perasan air lemon, perih.
Diandra
" Ndra, dompetku dimana ya? " Sakti panik melihat dompetnya tidak ada di tempat semula ia taruh. Bagaimana ia bisa cek in. Tiket dan kartu tanda penduduk ia taruh di dalam dompet itu.
" Hah, serius mas? Coba cari lagi. " ucap Diandra seolah tidak tahu dimana dompet Sakti. Padahal dompet itu sudah berada di tangan dirinya. Pas Sakti jalan menuju loket pemeriksaan dompetnya terjatuh. Diandra melihatnya dan langsung ia simpan. Tapi bukan Diandra namanya jika ia tidak jahil tethadap kekasihnya itu.
(Bersambung)
0 notes
wadahmenulispribadi · 2 years
Text
Aku Ingin Memiliki Sayap Part 4
Sudah 4 hari sejak tuan Priscot tidak bekerja di toko roti, aku sudah sedikit khawatir dengan kesehatan ia. Diusia hampir menyentuh 50 tahun beliau masih tetap semangat untuk bekerja. Aku membawakan makanan ke rumahnya, rumah tuan Priscot tidak jauh dari toko roti hanya berjarak 5 bangunan. Didalam rumah yang sangat rapi dan hangat aku melihat tuan Priscot duduk di depan tungku api sendirian dan sedang melihat foto pernikahan ditangannya. Seketika itu aku mulai menetekan air mata. Ternyata tuan Priscot sedang merindukan mendiang istrinya. Diusianya yang tidak muda lagi ia harus hidup seorang diri, sama sepertiku yang tidak memiliki siapapun didunia ini. Aku merasakan apa yang ia rasakan kesepian dan kerinduan bersatu disatu waktu. Aku ingin menyapa ia namun aku tak kuasa membendung air mata ini yang terus menerus menetes. Akhirnya aku memutuskan untuk keluar dari rumahnya, dan berjalan ke danau dibelakang kamarku. Meneruskan menangis yang tadi sempat aku tahan, menangis tersedu-sedu sendirian di sisi danau, meluapkan semua emosi yang aku rasakan. Aku ingin menangis dengan puasnya, sesak rasanya dada ini. Hidup bertahun-tahun seorang diri tanpa siapa pun. Kesana kemari, diusir, ditolak, dicurangi semua sudah kulalui. Hidupku tidak ringan semua yang kulalui sangat berat dan aku merasa ingin menyerah. Aku membiarkan diriku menangis dengan keras disisi danau, beruntung saat itu danau sedang sepi tak ramai seperti biasanya. Aku ingin meringankan beban berat yang menyesakan dada ini, aku ingin meringankan beban yang aku pikul dengan cara menangis sejadi-jadinya. Aku merindukan seorang ibu yang akupun tak tau wajahnya seperti apa. Aku merindukan sosok seorang ayah yang perawakannya pun aku tak tau seperti apa. Pertanyaan yang selalu aku ingin tau jawabannya adalah kenapa aku terlahir didunia ini dan alasan kenapa aku dilahirkan? Apakah aku anak yang tidak diharapkan? Semua pertanyaan-pertanyaan itu yang mengganjal dihati. Kemanakah aku harus mencari jawaban? Apakah aku bisa mencari jawabannya. Pemikiran-pemikiran yang terbesit dalam hati bahwa seandainya aku adalah anak yang tidak diharapkan memenuhi otak ini. Sungguh, memikirkan itu saja membuatku sesak dan ketakutan. Namun, bila memang diri ini tidak diharapkan setidaknya aku sudah tahu jawabannya. Tapi faktanya sampai detik ini aku tak tahu jawabannya.
Aku terdiam dan terduduk di sisi danau, menenangkan diri dulu sehabis menangis. Mungkin mataku sembab sekarang dan aku tak mau ada orang yang melihat diriku menangis. Mungkin, aku akan memberikan waktu kembali untuk berharap jika suatu saat nanti aku bisa menemukan jawaban dari semua pertanyaan ini.
Aku memutuskan untuk kembali kerumah tuan Priscot. Tuan Priscot sedang duduk ditempat yang sama namun memegang benda yang berbeda. Sekarang ia sedang membaca sebuah buku. Aku berjalan mendekat padanya
“Tuan Priscot” Sapaku
“Oh hallo Lilac” Jawabnya tenang
“Bagaimana kabarmu hari ini?” Tanyaku
“Tumben sekali untuk saat ini sakitku agak lama, tubuhku masih kurang enak untuk diajak beraktifitas. Mungkin tubuhku menyuruhku untuk banyak beristirahat” Jawabnya
“Dari muka anda masih terlihat pucat tuan, beristirahatlah dengan cukup jangan khawatirkan toko roti. Semua aman terkendali” Ucapku
“Terimakasih Lilac, kalau tidak ada kamu mungkin toko roti itu tutup selama saya sakit. Terimakasih sudah berkenan bekerja dengan saya” Ucap tuan Priscot
“Tuan. Yang harus berterimakasih itu saya. Tuan sudah menyelamatkan hidup dan harapan saya. Kalau tidak ada anda mungkin saya tidak tahu nasib saya sekarang. Apakah saya masih terlantar di luar sana atau bagaimana pun saya tak tahu.” Ucapku
“Lilac, saya ingin berbicara serius denganmu hari ini. Hari ini tutuplah toko pukul 5 sore dan kamu kembali kesini. Saya menunggumu” Ucap tuan Priscot
“Baik tuan, ini ada sedikit makanan untukmu tuan” Ucapku sambal menyerahkan makananku padanya.
“Saya akan kembali lagi nanti sore kesini tuan, saya pamit untuk kembali ke toko.” Ucapku pamit dan berjalan keluar rumah tuan Priscot. Di perjalanan menuju toko roti pikiranku melayang ke pembicaraan tadi, apa yang ingin tuan Priscot bicarakan.
Aku kembali beraktifitas seperti biasa, banyak pelanggan yang datang seperti biasanya. Aku melayani dengan suka cita berharap roti-roti ini habis sebelum pukul 5 sore.
Pukul 5 sore tiba, aku bergegas menutup toko roti setelah membersihkan semuanya. Aku berjalan menuju rumah tuan Priscot, tuan Priscot sudah berada di ruang tamu sambal meminum teh hangat.
“Lilac ayoh duduk.” Pinta tuan Priscot ketika melihatku memasuki rumahnya. Aku langsung duduk berhadapan dengan tuan Priscot.
“Lilac ada hal penting yang harus saya sampaikan padamu mengenai toko roti” Ucap tuan Priscot.
Aku mendengarkan dengan seksama, dan mulai menerka nerka ada apa dengan toko roti itu? Apakah ada yang salah selama ini dengan toko rotinya, pikirku selama ini tidak ada masalah yang terjadi. Pelanggan bertambah banyak dan pembuatan roti sekarang ditambah berkali-kali lipat dari biasanya. Aku mulai overthinking dengan arah pembicaraan bersama tuan Priscot saat ini.
“Lilac, saya akan memberikan sebuah keputusan malam ini. Ini sudah saya pikirkan matang-matang. Kamu tahu saya tidak punya keluarga dan anak untuk mewariskan toko roti ini. Dan keputusan untuk masa depan roti ini saya sudah pikirkan itu. Saya akan membagi kepemilikan toko roti ini padamu pembagian itu 60:40, bagian 60 milik saya dan 40 milik kamu. Jadi dari keuntungan toko roti itu kamu memiliki 40% bagiannya.” Ucap tuan Priscot. Aku kaget dan tak mampu berkata.
“Lilac, aku sudah melihatmu bekerja saat membuat roti. Aku melihat bahwa kamu tidak hanya membuat roti biasa, namun saya tahu bahwa kamu membuat roti dengan hati. Kamu menaruh hati ditahap-tahap membuat roti. Perasaan seperti itu tidak dimiliki semua orang. Membawa jiwa masuk kedalam proses pembuatan roti itu tidak mudah dan saya melihat itu di diri kamu. Alasan itulah yang membuat saya mengambil keputusan ini. Keputusan ini bukan tanpa dasar, tau tidak bahwa saya menunggu kamu sudah lama. Menunggu seseorang yang pantas untuk mempertahankan toko roti ini setelah saya tiada nantinya dan I did it, I found you.” Ucap Panjang tuan Priscot
Aku masih mencerna semua perkataan tuan Priscot. Seseorang pekerjaan rendahan seperti aku ini apakah pantas mendapatkan kesempatan besar itu. Lagi-lagi aku merasa tidak pantas untuk kebaikan itu.
“Tuan, saya bingung mau berbicara seperti apa? Apakah anda yakin dengan keputusan itu. Bahkan anda baru mengenal saya kurang dari 2 tahun ini dan memberikan keputusan yang sangat besar seperti itu. Apakah tuan tidak takut bahwa saya bukan seseorang yang anda kenal selama ini?” Ucapku
“Lilac, saya sudah hidup bertahun-tahun lebih dulu dari kamu, banyak orang yang sudah saya temui di setengah abad saya hidup didunia ini. Saya tahu mana yang tulus dan tidak. Lilac saya harap kamu menerima keputusanku ini.” Ucap tuan Priscot.
Bersambung
1 note · View note
ningfuadah · 2 years
Text
JALAN BERSAMA
Tegukan coklat yang kuisap dari cangkir kali ini, susah kutelan. Kian susah ketika aku makin memaksakan. Sepuluh detik, 15 detik, 20 detik, tetap tak tertelan. "Hai. Are you okay?" Psikolog akhirnya mulai menyadari ada hal tidak baik yang terjadi pada diriku.
"Ouh, ya. Ha-hai, Kak." Mengapa jawabanku menjadi terbata-bata? Nafas yang kuhirup juga semakin berat, tak bisa menarik nafas sedalam sebelum aku menyesap coklat.
"Tarik nafas dalaaam." Aku langsung mencoba menghirup udara, tetapi masih saja tak bisa kulakukan dengan optimal. Perlahan kuletakkan kembali cangkir di atas meja. Mata kupejamkan sejenak.
"Nggak apa-apa tarik nafas dulu, diatur supaya bisa lebih tenang. Pelan-pelan. Semakin lama membuat dirimu tenang dan jauh lebih tenang. Memang tak mudah untuk melepaskan dan mengurai kejadian di masa lalu. Kamu sudah mau berjuang sejauh ini, sangatlah bagus."
Aku berusaha menikmati setiap oksigen yang kuhirup dan memenuhi paru-paruku. Ada yang mengganjal di dada kiriku, entah apa itu. Otot di leherku masih menegang. Alis mataku serasa menyatu dan dahiku mengerut. Kali ini aku menghirup oksigen dengan lebih dalam, lebih banyak yang kumasukkan untuk memenuhi paru-paru. Kudengarkan detak jantungku.
"Semakin lama, membuat dirimu semakin tenang dan semakin menikmati setiap nafasmu. Kali ini, dirimu jauuuh lebih tenang. Coba bayangkan di hadapanmu ada dirimu yang masih kanak-kanak. Ajaklah dia bicara, katakan padanya, kita jalan bersama yaa, kita bergandengan tangan. Kita hadapi bersama, apapun yang akan terjadi di depan. Kita pasti punya kekurangan, namun ingat kita juga punya kelebihan. Ayo, kita fokus pada kelebihan kita yaa." Air mendesak ingin lolos dari pelupuk mataku. Aku mencoba menyampaikan ajakan lagi pada diriku di waktu kecil, seperti yang dituntun psikologku. Aku mengajak untuk benar-benar jalan bersama. Air mata tumpah, membasahi pipiku. Aku menyadari bahwa sudah lama aku berjauhan dengan diriku sendiri. Sudah lama aku tak mengajak bicara diriku sendiri. Aku abai dengan diriku sendiri.
"Coba letakkan tangan kananmu di pundak kiri. Perlahan-lahan, tepuklah pundak kirimu. Sambil katakan, terima kasih yaa sudah berjalan jauh. Terima kasih sudah menjalani hari-harimu dengan kuat sampai titik ini. Letakkan tangan kirimu di pundak kananmu. Tepuklah kedua pundakmu perlahan-lahan, sampaikan terima kasih pada dirimu sendiri."
Hening. Aku diizinkan berterima kasih pada diriku sendiri. Kedua tanganku menyentuh lembut pundak, kuusap perlahan. Sungguh kuat diriku menjalani hari-hari kemarin. Benar-benar tak kusangka, aku bisa berjalan sejauh ini.
Aku berbisik pada diriku sendiri, "nggak apa-apa jika masih terasa berat. Terima kasih diriku. Terima kasih sudah berjalan sejauh ini. Perjalanan berikutnya kita jalan bersama yaa." Walau masih tak sepenuhnya yakin, aku berusaha untuk mengajak diriku sendiri bersama menjalani hari yang entah akan seperti apa. Masih ada sesak di dada kiriku, namun ketegangan di leherku sudah mulai rileks, dahiku tak berkerut, sehingga alis mataku tak bertemu lagi.
"Nikmati setiap embusan nafasmu, izinkanlah emosi negatif keluar bersama nafasmu. Izinkanlah lepas, meninggalkan dirimu. Semakin lama dirimu semaaakin tenang dan rileks. Keluarkan segala emosi itu, ikhlaskan mereka meninggalkanmu, dan itu membuatmu menjadi tenang. Coba sentuh bagian mana yang masih sakit, tegang, atau serasa ada yang mengganjal."
Aku langsung menunjuk dadaku, masih sesak, walaupun sudah lebih baik dari sebelumnya. Aku ingin lebih plong lagi. Supaya aku bisa berjalan lebih jauh lagi. Aku sudah mengizinkan untuk melepas atau membuang barang yang memang seharusnya tidak kubawa dalam perjalanan hidup ini. Sudah cukup aku membawanya hingga usiaku saat ini, berat perjalananku, dan tak bisa berlari kencang.
Kali ini aku diminta untuk meletakkan telapak tangan kananku di dada yang masih terasa sesak dan ada yang mengganjal. Psikolog memintaku untuk menarik rasa sesak itu keluar melalui ujung tangan kiriku. Aku menarik membawa ke arah lengan tangan atas, kemudian turun ke lengan bawah, dan kubuang melalui jari-jemariku. Kulakukan berulang sesuai instruksi, hingga rasa itu benar tak kurasakan lagi.
"Selanjutnya, silakan kembali mengelus perlahan-lahan pundakmu dan peluk dengan erat. Peluk sehangat mungkin, sehingga dirimu merasa sangaaat disayang. Berikan senyuman terbaikmu untuk dirimu sendiri. Bentuk syukur atas segala nikmat yang telah kita terima dan menjadikan dirimu menjadi lebih tenang dan bahagia. Ucapkanlah terima kasih pada dirimu lagi bersama senyumanmu."
Kurasakan kedua ujung bibirku sangat mengembang, tertarik maksimal ke arah masing-masing. Tak kusangka aku bisa tersenyum selebar ini lagi. Aku menikmati senyuman tulus dari diriku sendiri, betapa indahnya, walaupun aku tak bisa melihat. Namun sangat terasa hingga ke dadaku, lapang. Kalau boleh berlama-lama aku sangat ingin terus seperti ini, sudah lama tak merasakan ketenangan dan lapangnya. Alhamdulillah.
"Bawalah rasa bahagia-tenang itu sampai membuka mata dan seterusnya. Bersiaplah, sebentar lagi akan membuka mata. Letakkan kembali tanganmu di meja. Tundukkan kepala. Tarik nafas yang dalaaaam, membuat dirimu tenang, embuskan melalui mulut, lakukan sebanyak tiga kali.
0 notes
unimiff · 2 years
Text
Mengangkasa (4)
Lima jam berlalu. Proses cuci darah Ibu untuk hari ini selesai sudah. Kata perawatnya, jadwal cuci darah selanjutnya 3 hari lagi.
0 notes
lailatulhaq-blog · 2 years
Text
In My Way - Menuju Kesempurnaan (4)
“Saat ini yang harus kita lakukan adalah mengarungi jalan yang sedang dilalui sambil terus memperbaiki diri. Menyempurnakan diri melalui setiap kegiatan yang kita jalani.”
Hening masih saja menyelimuti kami. Namun tatapan Hiysam belum juga beranjak pergi. Sepertinya dia masih menungguku untuk menanggapi. Tapi aku benar-benar kesulitan untuk berbicara saat ini.
“Sekaget itu ya? Maaf ya, tapi aku tidak bisa menahannya lagi lebih lama.” Hisyam sepertinya mulai tidak nyaman dengan keheningan yang tercipta.
“Aku sudah menyimpan rasa padamu sejak lama Kirana. Pertemuan kita dua tahun lalu mungkin adalah awal mulanya. Meskipun tidak bisa aku pungkiri kalau aku sudah kagum padamu sejak SMA. Tapi pertemuan kita dua tahun lalu di taman kota, membuatku semakin ingin mengenal sosokmu yang selalu bisa membuatku terpesona. Aku begitu takjub dengan pandangan dan pemikiran kamu selama kita berbincang sekian lamanya. Sejak saat itu aku selalu ingin bertemu dan menunggu pertemuan-pertemuan kita selanjutnya. Dua tahun ini aku selalu mencuri waktumu untuk bisa mengobrol berdua. Entah lewat chat, telepon, atau tatap muka. Pertemuan hari ini sudah aku niatkan untuk mengungkapkan semuanya. Topik pernikahan yang aku tanyakan hanyalah sebuah pancingan awal tadinya. Namun aku tidak menyangka hal itu akan berujung pada aku yang semakin dibuat bangga. Aku bangga bisa menjadi teman diskusimu selama dua tahun lamanya. Aku bangga bisa menjadi orang pertama yang mengungkapkan keseriusanku padamu untuk membangun sebuah keluarga.”
Hisyam menjelaskan dengan panjang lebar tentang perasaannya. Seluruh anggota tubuhku tanpa diminta menyimaknya dengan seksama. Aku sedikit tidak heran karena pada nyatanya aku menyadari gelagat ketertarikan Hisyam padaku yang kemudian aku tepis begitu saja. Tentu saja karena aku tidak ingin berharap dan berekspektasi tinggi padanya. Tapi bukan berarti aku membayangkan juga hari ini akan terjadi dengan dia melamarku menjadi istrinya. Eh, benarkan yang tadi itu disebut sebagai lamaran untuk menjadi pasangan hidupnya?
“Kiran?” Hisyam sepertinya tidak tenang karena aku tak kunjung memberikan tanggapan.
“Syam, kamu tahu ini terlalu tiba-tiba kan? Aku..”
“Kamu tidak perlu menjawabnya sekarang Kiran.”
“Oh, tentu aku tidak bisa menjawabnya sekarang. Tapi kamu harus tahu kalau aku masih memiliki mimpi yang ingin dikejar selama beberapa tahun mendatang.”
“Mimpi apa itu? Kamu belum pernah menceritakannya padaku?”
Aku menggelengkan kepala. 
“Aku kira kamu sudah membuka semua hal tentangmu padaku. Ternyata masih saja ada yang belum aku tahu.” Hisyam terlihat sedikit kecewa dengan penuturanku.
“Maafkan aku, aku tidak bermaksud begitu.”
“Boleh aku tahu mimpi apakah itu?”
“Aku ingin membuat sebuah buku tentang masyarakat Papua. Mengangkat cerita mereka sehingga orang-orang tidak akan terus menghakimi betapa terbelakangnya masyarakat disana. Kondisi yang seperti itu tentu saja bukan keinginan mereka. Banyak hal yang menjadi faktor mengapa mereka jauh tertinggal dari kita. Padahal kita ini kan sama-sama masyarakat Indonesia.”
“Wow, aku tidak menyangka kamu punya ketertarikan terhadap hal yang berbau nasionalisme seperti itu.”
“Ini bukan soal nasionalisme Hisyam. Tapi ini adalah bentuk kepedulian. Aku melakukan ini atas dasar rasa kemanusiaan.”
Keinginan ini muncul selama aku terus melakukan refleksi diri. Aku ingin menjadikan kisah fiksi kali ini memiliki makna yang lebih berarti. Maksudnya bisa bermanfaat bagi mereka yang dipandang sebelah mata selama ini. Aku yakin masyarakat Papua punya definisi kesejahteraan mereka sendiri. Kalau pun dipaksa harus mengikuti standar kemajuan suatu wilayah pada jaman ini, apakah pernah ada yang mendengar teriakan mereka dalam hati. Memikirkan apa yang menjadi harapan mereka untuk kemajuan daerahnya nanti.
“Aku benar-benar tidak habis pikir Kiran. Kamu begitu luar biasa dengan segala pemikiran kamu yang selalu bisa membuatku terheran-heran. Tapi Kiran, apa kaitannya mengejar mimpimu itu sehingga kamu menolak tawaranku untuk melangsungkan pernikahan?”
“Aku tidak bilang aku menolakmu. Aku hanya belum bisa menjawabnya karena menikah tidak ada dalam timeline terdekatku.”
“Apa tidak bisa melakukannya secara bersamaan? Maksudnya, kamu sebagai penulis tetap bisa bekerja dan menghasilkan karya bahkan saat kita sudah menjadi pasangan.”
“Aku akan menetap di Papua Syam.”
“Hah?? Untuk apaa??”
“Untuk keperluan risetku pada awalnya. Aku sudah mulai membuat premis hingga alur cerita, tapi selalu mentok dan belum juga menemukan titik terangnya. Aku sudah bicara dengan Mba Rara, bahkan dengan Mba Farida. Aku butuh untuk terjun langsung kesana. Merasakan hidup bersama masyarakat sana. Sehingga aku bisa mengambil perspektif dari sudut mereka. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, akan sangat sulit bagiku jika aku kesana tanpa terikat suatu program kegiatan ataupun lembaga. Aku pun akhirnya mendaftar kegiatan kerelawanan yang aku yakin kamu sudah familiar dengan namanya.”
“Apa?”
“Indonesia Mengajar. Empat bulan yang lalu saat aku mendaftar, aku semakin termotivasi karena ternyata gerakan ini salah satunya membawa semangat literasi untuk bisa meningkatkan kemampuan anak-anak bahkan orang tua disana dalam belajar.”
“Kamu sudah melalui seleksi pendaftarannya?”
“Tentu, aku bahkan sudah lolos seleksinya yang baru diumumkan sekitar 2 minggu yang lalu.”
“Kapan kamu berangkat?”
“September 2022.”
“Itu berarti 3 bulan dari sekarang Kiran?”
“Iya, Syam.”
Wajah yang sebelumnya seolah memancarkan cahaya seketika redup setelah aku menyampaikan fakta ini. Aku sudah punya timeline ku sendiri yang aku bangun selama satu tahun terakhir sebagai hasil refleksi. Ternyata jalan sebagai penulis yang aku rasa adalah jalan yang tepat untuk aku bermuara di dunia ini, tidak seperti halnya jalan tol yang tinggal lurus tanpa ada persimpangan ke kanan atau ke kiri. Aku tetap menemukan beberapa jalan alternatif sebagai opsi. Tapi kali ini aku sudah bisa sepenuhnya mengambil alih kemudi.
“Apa kamu tidak bisa mempertimbangkan ulang tawaranku Kiran?”
“Aku akan menetap disana selama 1 tahun Syam.”
“Kalau begitu aku akan menunggumu. Aku tidak masalah dengan itu.” 
“Aku tidak bisa membangun komitmen selama itu.”
“Satu tahun adalah waktu yang tidak lama, Kirana.” Hisyam begitu teguh dengan pendiriannya.
“Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi ke depan Hisyam. Jangan saling membuat ikatan tanpa kita libatkan Tuhan. Bukan hubungan seperti itu yang aku harapkan. Saat ini aku masih harus fokus dengan impian yang sedang aku perjuangkan.”
“Katanya kamu ingin membangun peradaban dan bergerak menuju kesempurnaan. Aku menawarkan diri untuk melakukannya bersamaan. Apakah itu sebuah kesalahan?” Hisyam terus saja melempariku dengan pertanyaan. Entah kenapa lamarannya seakan menjadi sebuah bentuk pemaksaan.
“Aku tidak bilang seperti itu. Ini semua hanya soal waktu. Kalau kamu memang ditakdirkan untukku, kita pasti akan kembali bertemu dalam satu tuju.” Aku berusaha menyalurkan ketenangan saat tatapan kami bertemu.
“Saat ini yang harus kita lakukan adalah mengarungi jalan yang sedang dilalui sambil terus memperbaiki diri. Menyempurnakan diri melalui setiap kegiatan yang kita jalani. Kalau memang satu visi, suatu hari nanti, kita akan sampai pada tempat yang sama untuk menepi. Kemudian bisa bersama-sama melangkah kembali, untuk terus mengejar kesempurnaan yang hakiki.”
Hisyam akhirnya diam membisu. Meredam ego yang sudah membuatnya menjadi sosok berbeda untuk pertama kalinya dihadapanku. Aku pun tak ingin terlibat lebih jauh dalam perdebatan yang tidak akan menemukan titik temu. Sehingga aku pamit untuk pulang lebih dulu, bahkan sebelum menerima dan menyentuh sarapanku.
Bersambung..
0 notes
putriutamidewi · 2 years
Text
Langkah-langkah Kecil Namira (4)
Hari berganti, begitu juga Namira kesibukannya menjadi bertambah beragam. Kali ini dia merealisasikan apa yang menganggunga sejak tadi malam. Kemarin ia berkutat di kamar, sekarang ia berkutar di dapur. Di seberang Namira berdiri berjejer piala. Ya, Namira sempat menjuarai kompetisi memasak sewaktu ia SMP, dan SMA.
Cess..cess..cess, Suara daging yang dipanggang diatas teflon, melalui spatulanya Namira menekan-nekan daging sapi itu. Steak. Ya Namira ingin membuat luchbox khusus untuk pekerja kantoran yang diet. Sejak dini hari dia terbangun untuk riset melalui akun dietitian. Namira mempraktekan lalu memodifikasi menu dari dietitian itu dengan tidak menambah atau mengurangi nilai gizi.
Hmmm. Lumayan. Aku butuh tester untuk mengrikritik hasil masakanku ini. Tapi bagaimana caranya ya? Namira mengambil ponselnya lalu iseng mengepost  hasil masakannya disalahsatu sosial medianya.  Dia tinggalkan ponselnya sebentar untuk memotret masakannya sebagai portfolio.
Kali ini jauh lebih mudah melakukan foodphotograph dari pada foto frame maharnya kemarin. Setiap jepretan Namira selalu menjadikan masakannya terlihat lebih menggiurkan. Lelah dengan sesi foto, Namira kembali mengecek ponselnya. Mata Namira terbelalak, HAH INI BENERAN?? Ia dibanjiri respon dari followersnya yang tidak seberapa itu
Mau coba kak!  
Berapaan tu, dijual engga?  
Aku mau pesen buat sebulan bisa nggak?
Kok kelihatannya enak Mir! Kirim sini yaa
Jadi ngiler! Berapaan Mir? Mau beli
Namira masih tidak percaya sepositif ini responnya. Langsung saja dia lanjutkan dengan editing foto, serta membuat konten open PO catering healthy lunchbox diet.  
***
2 Bulan berlalu, Namira kewalahan. Dia benar benar mengerjakan jualan masakannya seorang diri. Dari membeli bahan, memasak, mengepack, memberesi bahan yang masih di pakai, merapihkan semua peralatan dapur, update sosmed, listing open PO, mengerjakan catatan keuangan, hingga sampai ke customer dia mengantarkannya. Alasan ia mengerjakan semua sendiri, karena dia takut kalau merekrut orang tidak bisa menggaji. Kemudian untuk pengiriman dia lakukan sendiri, karena kalau pakai jasa ojek online dia harus menaikkan 10% harga jual untuk bisa tetap untung. Sedang itu mengakibatkan harga jual terlalu tinggi.
Kali ini Namira benar benar kewalahan. Namira mencoba untuk tetap realistis. Fisiknya sudah tidak kuat lagi. Kini punggungnya melekat dikasur, Matanya menatap langit-langit. Bola matanya muali berair.
Yaaampuun. Gini amat yaa cari uang. Namira mengusap airmatanya yang mengalir di pipi. Ada nggak yaa skill dariku yang bisa aku uangkan lagi? Kira-kira ada nggak yaa yang kerja cukup 5 langkah dari kasur, bangun-bangun engga usah mikirin harus pakai baju apa, gausa ngecek ban motor bocor apa engga, ga khawatir nanti dijalan macet apa engga, cukup kaosan atau dasteran depan laptop, transferan jalan!”
Kini pandangan Namira tertuju pada tumpukan portfolio semasa kuliah. Diambillah salah satu dari tumpukan itu. Waaah beneran ini aku yang bikin. Kok bisa ya dulu seniat itu.Namira sedang mengenang tugas desain webnya untuk sebuah marketing produk herbal.  
Sebentar. Ini bisa diwujudkan. ukup kaosan atau dasteran depan laptop, transferan jalan.
Diambillah laptopnya dan dia mencari-cari softfile portfolionya. Lalu menghubungi teman sekelompoknya di portfolio itu. Terakhir kabar darinya, yang Namira tahu semenjak menikah, temannya itu freelance dari rumah.
“Kiaaaa, haloo Kiaa assalamualaikum! Bagaimana kabaarmu?”
“Alhamdulillah baik Mir! Kamu bagaimana? Apa kabarnyaa?”
“Baik, alhamdulillah masih hidup hahahaha. Kiaa, kiaa aku mau tanya langsungan saja ini. Takut ganggu kalo lama-lama. Kia kamu ada rekomendasi situs freelance ngga yaa. Yang cocok buat kerjaan sejenis portfolio tugas kita dulu. Yang tugas marketing, bikin desain web itu.”
“aaaah, paham. Adaa Mirr. Tapi coba kamu siapin ini dulu yaa. Listnya aku kirim di chat”
“oh ini ya, baru masuuk. Makasih banyak Kia”
“Iyaa, sama kalo situs freelancenya kamu coba satu ini dulu. Aku kirim linknya di chat jugaa. Kamu kenapa ya Mir kok tumben nanyain. Mau coba freelance juga ya? Keputusan tepat sih. Soalnya masa pandemi kayak gini, pekerja remote sama freelance lagi dibutuhin. Ya memang ga seberapa karena efesiensi perusahaan, tapi enaknya kita bisa ambil banyak client sesanggup kita.”
“Iya Ki, ini aku mau coba freelance. Dan sudah capek juga sama kerja kantoran sebelumnya. Ingin yang dasteran depan laptop, transferan jalan”
“Waah semangat yaa Mir (oeeek, oeeeek) Aku pamit duluu, anakku bangun”
“okee Kiaa, kamu juga semangat yaaa”
***
Seperti sebelum- sebelumnya. Aktivitas baik harian atau mingguan Namira semakin padat. Dia masih belum menyerah tentang usaha maharnya, Kemudian usaha kulinernya tetap jalan namun dengan limited package order, dan yang ketiga adalah percobaannya untuk menjadi freelancer desain web khusus iklan di sosmed. Namira masih mencari dari ketiganya mana yang lebih memberikannya keuntungan  lebih dengan effort yang minim.
***
3 bulan berjalan. Namira masih belum memutuskan mana yang harus ia tekuni. Ia benar benar stuck. Yaampuun aku harus apalagi. Usaha mahar sepi dan capek, Usaha kuliner lebih capek untung ga seberapa, Kompetisi  pendanaan kemarin belum tentu menang, Submit portfolio situs freelance belum ada client. Capeek, aku capeek.
Dia benar-benar lelah. Ia merasa apa yang dia usahakan tidak juga memberikan apa yang dia mau.
Kali ini Namira benar-benar berada dititik terendah.
Ia benamkan kepalanya di bantal, dan ia menangis. Barangkali ia begitu karena khawatir ibunya akan mendengar.  
Dibalik pintu kamar yang terbuka sedikit, ibunya melihat Namira. Sayangsekali ibunya tahu kalau anaknya sedang tidak baik-baik saja.
***
“Nduk,  Bagaimana kalau kamu ikut daftar CPNS?”
“Kok tiba-tiba bu? Bukannya ibu tahu kalau alsanku bekerja dirumah....”
“IBU TAUU NDUK! Tapi kamu mau sampai kapan? Usiamu mau seperempat abad. Tapi kamu belum stabil finansial. Bagaimana besok kalau kamu berumah tangga! Kalau ekonomi untuk diri sendiri belum bisa kamu urus!”
Namira terdiam. Batinnya sedang berkecamuk antara amarah dan kekecewaan yang memuncak. Seolah semua jerih payahnya tidak dilihat ibunya.
“opo sing mbok lakoni ora sumbut (apa yang dilakukan tidak seberapa hasilnya)”
Namira pergi kedepan rumah mengambil motornya. Pergi meninggalkan ibunya. Barangkali ia butuh ketenangan. Badannya diatas motor namun pikirannya kemana-mana. Ia masih tidak terima perkataan  ibunya. Sesekali diatas motor ia usap airmatanya. Lampu merah menyala, motor berhenti, namun pikiran Namira masih tidak mau berhenti mengingat perkataan ibunya tadi.  Ia masih belum tahu kemana ia membawa motornya pergi. Sesekali ia melewati jalan yang sama. Terus berputar putar. Mungkin ini adalah lampu merah yang sama untuk yang ke 5 kalinya. Pikirannya kacau sekacau kacaunya. Namun beberapa saat kemudian ia menemukan tujuan. Kali ini dia pergi ke cafe langganannya.  
Ia menuju cafe itu tanpa ragu. Tibalah disana. Ia disambut mas mas barista yang baru saja menikah.
“Tumben sore-sore kesini mbak Mir!”
***
0 notes
anisahmahar · 2 years
Text
Esok Belum Tentu Ada
Episode 4: Jalan Keluar
Seberapa besar sabar? Seberapa panjang penantian?
Seberapa jauh melangkah? Seberapa jauh niatnya?
Seberapa siap menerima? Seberapa siap melepasakan?
Hari ini Tami terjadwal mengambil hasil pemeriksaan laboratorium. Penantiannya akan terungkap hasilnya segera. Apapun hasilnya nanti, ia berusaha menerima dengan lapang dada. Ia berjanji pada diri sendiri agar tidak lari dari masalah.
(Bersambung...)
3 notes · View notes
endahharuhi · 2 years
Text
Chapter 4
Chapter 4
“Permisi”, kata seorang wanita yang rambutnya basah karena kehujanan. Ia datang membawa koper kecil dan banyak sekali tas tentengan. “Kulihat Anda membutuhkan pramusaji paruh waktu. Apa aku boleh bekerja di sini? Namaku Mona”.
Pemilik kios itu pun melihatnya dengan seksama, lalu tersenyum dan menjawab, “Ya, boleh. Kamu boleh bekerja di sini”. Pemilik itu bangkit dari tempat duduknya. “Mona, kamu sudah makan?”. Ia bergegas ke dapur membuatkan makanan untuk pegawai barunya.
Seorang anak kecil berusia delapan tahun mendekatinya sambil menyodorkan sebuah handuk, “Tante, ini untuk ngeringin rambut tante”.
Pemilik kios itu kembali dari dapur dengan membawa nampan yang berisi tiga porsi makanan. “Yuk, makan dulu. Kita makan bareng”, ajaknya sambil tersenyum hangat.
Pegawai baru itu hanya diam di tempat. Ia berkata, “Kamu ingin aku ikut makan bersama kalian?”. Matanya berkaca-kaca. Baginya, ini pertama kali ada orang yang mau menerimanya. 
***
Nadia sedang asyik menikmati es krim coklatnya sambil menemani Mona merokok di ujung gang. Dia terkejut ketika tiba-tiba Mona bertanya, “Kalau kamu punya hutang delapan puluh juta, kamu bakal ngapain Nad?”.
“Mbak punya hutang sebanyak itu?”, Nadia balas bertanya.
“Menurutmu pesta pernikahan dengan biaya delapan puluh juta, bakalan semewah apa Nad?”
“Mbak mau nikah?”, tanya Nadia lagi tak mengerti.
“Ah, kamu ini. Nggak asik banget sih Nad. Katanya detektif?”, kata Mon memadamkan puntung rokoknya.
“Jadi, mbak punya hutang delapan puluh juta untuk bikin pesta pernikahan? Pernikahan siapa mbak? Pernikahan Mbak Mona atau saudara mbak?”, tanya Nadia balik.
Mona pun pergi sambil tersenyum mengacak rambut detektif itu.
***
Brak. Tiba-tiba Mona terpelanting ke lantai. Seorang lelaki dengan tato hitam di tangan kanannya sedang memegang kerah baju yang dipakai Mona. Kios Lavender benar-benar kacau balau. Para pelanggan berteriak histeris melarikan diri. Lelaki itu melayangkan tangan hendak memukul Mona lagi, tapi untungya ditangkis oleh Nadia yang tiba-tiba datang. 
Nadia segera mencengkram pergelangan tangan lelaki itu, diremasnya kuat hingga lelaki itu melepaskan Mona. Mereka berdua baku hantam. Walaupun badannya kecil, Nadia tak kalah dengan lelaki yang perawakannya seperti preman itu. Dia segera memukul tengkuk lelaki itu sebelum akhirnya memiting tangannya. Lelaki itu berteriak kesakitan dan minta uangnya dikembalikan.
Mona yang sedang menenangkan diri berkata lirih “Sialan. Orang seperti ini lah yang membuatku tetap menjadi diriku”.
***
Lelaki itu kemudian diseret ke kantor polisi. Ia dimintai keterangan atas kelakuannya terhadap Mona. Ia berkata bahwa Mona telah menipu dan mengambil uangnya, tapi sayangnya ia tak memiliki bukti. Ia melacak dengan GPS saat Mona mengangkat teleponnya beberapa hari yang lalu. Setelah itu, ia buru-buru pergi ke kota ini demi mencari Mona.
Nadia tidak ikut ke kantor polisi, ia segera mengabadikan bukti kerusakan yang terjadi di Kios Lavender. Saat ia mencoba mengambil bukti melalui kamera CCTV, ia terkejut lantaran tidak ada satu pun video yang terekam.
“Mbak, waktu kemarin Jojo pasang CCTV, mbak ngecek kameranya nggak?”, tanya Nadia.
“Ngecek Nad. Kenapa? Rusak kah?”, tanya Dina balik.
“Ini. Aku cek file CCTV-nya, tapi nggak ada rekamannya sama sekali. Apa kameranya rusak ya?”
“Masa sih? Baru pekan lalu lho kameranya dipasang”, jawab Dina tidak percaya.
Nadia langsung mendorong meja ke arah pojok kios. Dipanjatnya meja itu agar dia dapat menjangkau CCTV.
“Mbak, coba lihat ini”, kata Nadia memanggil Dina sambil menunjuk kabel yang menjuntai.
“Kenapa Nad?”
“Kabelnya putus mbak. Kalau dilihat dari potongannya yang rapi, jelas-jelas ada orang yang sengaja memotong kabel CCTV ini”, kata Nadia menyelidik. “Apa ada orang yang pernah deket-deket kamera ini mbak?”
“Hah? Seriusan Nad? Jangan nakut-nakutin deh kamu”, kata Dina terkejut. “Sejak kejadian Joker waktu itu, mbak sekalian renovasi banyak hal Nad. Ada banyak orang yang dateng”.
“Mbak, jangan-jangan ini kelakuan Joker mbak. Berarti Joker pernah ke sini!”.
Dina pun hanya bisa menutup mulut dengan tangan karena terkejut dengan fakta yang terlontar dari mulut Nadia.
“Kita harus segera memperbaiki ini mbak, aku ke tempat Jojo dulu”.
***
“Permisi. Permisi”, kata Nadia memanggil-manggil Jojo di sebuah toko perkakas.
Beberapa saat kemudian Jojo datang dari arah luar. “Ada apa mbak?”, tanya Jojo.
“Jo, waktu kamu pasang CCTV di kios Mbak Dina pekan lalu, kameranya berfungsi kan?”, tanya Dina memastikan.
“Berfungsi kok mbak. Sebelum aku pulang, Mbak Dina juga udah ngecek. Bukannya Mbak Nadia ada di situ juga waktu aku masang kameranya? Emangnya kenapa Mbak? Rusak?”, tanya Jojo sambil menjelaskan panjang lebar.
“Iya Jo, rusak. Kamu bisa bantu betulin lagi?”
“Hmm… Sekarang mbak?, tanya Jojo yang dijawab dengan anggukan oleh Nadia. “Bentar ya mba, aku barusan beli lauk. Aku nyiapin makan untuk bapak dulu”.
“Oke, ku tunggu di sini nggak apa-apa?”
“Nggak apa-apa mbak”. Jojo pun langsung masuk ke rumahnya.
Sambil menunggu, Nadia berkeliling melihat melihat-lihat isi toko. Toko perkakas yang letaknya di garasi rumah itu cukup lengkap. Maklum, toko ini sudah buka sejak Nadia kecil. Seingatnya, toko ini awalnya dibuka oleh ayahnya Jojo, namun beberapa tahun lalu ayahnya Jojo jatuh dari tangga sehingga Jojo yang meneruskan usahanya.
“Nad, ngapain kamu di sini?”, tanya Pak Mamad yang baru saja datang.
“Lagi nungguin Jojo pak, mau minta tolong servisin kamera di kios Mbak Dina”, jawab Nadia. “Pak Mamad mau beli apa?”
“Mau beli kapak Nad. Pohon-pohon yang ada di terminal udah terlalu besar, minta dipotong”, jawab Pak Mamad.
Setelah Jojo melayani Pak Mamad, ia segera mendatangi Nadia dengan peralatan servisnya. “Maaf mbak, nunggu lama ya?”
“Nggak kok, tenang aja”, jawab Nadia sambil tersenyum. “Ohiya, sekarang jam berapa Jo?”
Jojo mengambil gawai di sakunya, “Wah, hape ku mati mbak. Di rumahku juga nggak ada jam. Mbak nggak bawa hape?”.
“Enggak, ketinggalan di kios”.
Mereka pun segera pergi ke Kios Lavender.
***
Malam harinya, Mona berdiri di depan kulkas Kios Lavender. Ia menutup matanya, menghela nafas sebentar sebelum akhirnya membuka kulkas itu. Ia mengambil kotak besar yang ada di bagian bawah. Dikeluarkannya isinya, dan dimasukkannya beberapa uang ke dalam saku jaketnya.
Matanya berlinang. “Ini semua salah Mbak Dina. Kenapa dia meninggalkan uang di dalam kulkas? Kenapa dia memungut sampah sepertiku?”.
0 notes
metamorf · 2 years
Text
Bagian 4
Bip..bip..bip…
Suara pesan whatsapp ku berbunyi. Aku lihat dari nomor yang tidak aku kenal. Aku buka pesan itu.
Assalamualaikum,wr.wb
Selamat pagi. Saya Yanto dari Rumah Sakit Daerah Kota ingin memberitahukan bahwa anda lolos ke tahap selanjutnya. Kami mengundang anda untuk melakukan tes MCU di rumah sakit kami pada hari Sabtu, 13 Februari 2017 pukul 10:00 wib. Ditunggu kehadirannya.
Mataku terbelalak membaca pesan itu. Satu bulan aku menunggu, ketika sudah mengikhlaskan, pesan itu datang dengan kabar gembir, tapi sekaligus membuat aku sedih. Ingin rasanya aku langsung bergegas kembali pulang dan mengikuti tes MCU esok hari. Tapi disatu sisi aku juga sadar, hari Seninnya merupakan hari pertama aku untuk bekerja di rumah sakit swasta. Aku mencoba untuk menceritakannya kepada Bapak, siapa tahu Bapak berubah pikiran dan mengizinkan aku untuk tes MCU dan membatalkan pekerjaan yang sudah aku dapatkan.
“pak, ini aku dapat undangan tes MCU dari rumah sakit daerah kota” aku menunjukkan isi pesan itu kepada Bapak.
“buat apa Del? Kan sudah diterima di RS swasta.” Bapaku menatapku dengan serius. “lagian kenapa lama banget itu pengumumannya. Bilang saja maaf tidak bisa, karena sudah diterima ditempat lain” suara bapak meninggi dan raut wajahnya terlihat tidak suka.
Aku menunduk dan terdiam hanya bisa menatap layar ponsel. Ini kesempatan kedua ku gagal untuk bisa bekerja di pusat kota daerah. Tidak ada satu katapun yang aku ketik untuk membalsa pesan itu. Aku mengabaikannya.
Keesokann harinya, aku masih menyesali karena tidak bisa ikut untuk tes MCU, sepanjang hari aku memikirkan andai saja aku tidak mnerima tawaran pekerjaan itu, mungkin aku bisa tes MCU. Biasanya ketika proses seleksi sudah mencapai tahap tes MCU, kemungkinan peluang untuk diterimanya lebih besar.
Bip…bip..bip..
Kali ini ada pesan masuk dari seniorku yang bekerja di rumah sakit daerah kota.
Del, kamu dateng MCU gak hari ini?
Membacanya saja, hatiku teriris sakit. Rasanya ingin aku skip hari ini.
Nggak Kak, aku gak bisa, lagi di luar kota di rumah nenek. Nenek sakit.
Aku tidak berbohong, memang betul aku sedang diluar kota. Tapi andai saja aku belum menerima pekerjaan ditempat lain, sudah pasti kemarin aku cepat-cepat pulang dan mengikuti jadwal tes hari ini. 
***
Biasanya yang dirasakan orang-orang dihari pertamanya bekerja adalah perasaan senang dan penuh dengan semangat. Tapi berbeda dengan aku, di hari pertama diawali dengan perasaan tidak semangat, ragu dan ada sedikit penyesalan kenapa aku menerima tawaran ini. Tapi selalu aku patahkan dengan kata-kata freshgraduate, harus cari pengalaman dulu. 
Sehari-hariku bekerja, aku selalu bekerja sesuai dengan SOP, tapi entah kenapa setiap akan berangkat kerja aku tidak mempunya semangat, dan setiap ada pertemuan aku selalu terlihat tidak tertarik dengan apa yang sedang dibicarakan. Terkadang aku tidak sengaja melihat pemilik Yayasan ternyata diam-diam memperhatikan aku, dan seolah sedang menilai diriku seperti apa. Aku sepertinya memang tidak mau disini, setiap kali pulang ke rumah selalu dengan perasaan sedih, dan kadang menangis sendiri di dalam kamar, menguncinya. Tanpa sepengetahuan Ibu dan Bapak.
“Aku nggak betah”  batinku berkata. Air mataku bercucuran, tangisku pecah menjadi-jadi. Sekali-kali menghirup ingus dalam-dalam. Mengelapnya dengan punggung tangan.
Aku menjalani aktifitasku seperti biasanya. Tapi dengan keadaan tidak semangat. Tidak punya energi. Aku jadi selalu membanding-bandingkan kan pekerjaan disini tidak selengkap dan secanggih di rumah sakit daerah kota kepada rekan kerjaku. Aku selalu mendengar cerita dari seniorku kalau bekerja disana menyenangkan karena sudah serba otomatis. Tidak banyak manual. Sedangkan disini, aku harus bekerja secara manual. Dan itu sungguh merepotkan. Padahal aku tahu, itu terjadi karena aku tidak mau saja bekerja disini, kalau aku baik-baik saja bekerja disini, toh mau seperti apapun keadaannya pasti dikerjakan dengan ikhlas dan menerima apa adanya.
Pulang bekerja, aku mampir sebentar membeli jajanan pisang aroma dipinggir jalan.
Drrt..drtt…drttt.
Aku ambil ponsel didalam saku celanaku. Dan melihat siapa yang menghubungikuu.
“Nomor tidak dikenal lagi? Siapa ya?” aku bertanya kepada diriku sendiri. Aku pencet tombol telepon warna hijau itu.
“Ya, Asslamualaikum” jawabku.
“Waalaikumsalam” terdengar suara laki-laki diseberang sana.
“Dela, ini Saya Yanto. Hari Sabtu depan bisa tidak ikut tes MCU?”
Ah dari rs daerah kota, aku piker aku sudah tidak punya harapan, ternyata masih ada kesempatan. Tapi teteap saja kenyataan tidak bisa berubah, aku sudah bekerja ditempat lain. Aku tahu Bapak tidak akan menyetujuinya.
“Oh iya, maaf pak, sepertinya tidak bisa, karena saya sudah bekerja ditempat lain”
“Oh gitu ya? Jadi tidak bisa?”
“Iya pak, maaf ya pak” padahal dari hati kecilku berkata Ya, Pak saya bersedia, saya akan datang.
“baik kalau gitu, terima kasih ya” jawab Bapak diseberang telepon sana.
“Iya pak sama-sama” kemudian aku menutup telepon itu dengan perasaan sedih, mataku mulai berkaca-kaca. Seolah tidak percaya ada kesempatan kedua tetapi aku tidak bisa mendapatkannya.
Aku sampai ke rumah dengan tubuh yang gontai, menjatuhkan tubuhku ke atas Kasur dan menutup kepalaku dengan bantal. Aku menangis kembali sejadi-jadinya tapi tidak bersuara.
Bersambung....
1 note · View note
kentangqu-blog · 2 years
Text
Secondary Class
Hidup sebagai hibrid. Karlin pikir karlin tahu apa artinya. Ternyata selama ini ia tidak benar-benar paham konsekuensi menjadi hibrid sepenuhnya. Selama ini apa yang ia saksikan hanya lah dari perimeter samping. Mengamati dan tidak benar-benar merasakan. Berteman dengan Gala membawanya bertemu dengan banyak sekali sekat itu. Jurang yang wujudnya bukan cuma beda antrian masuk arena stadion dan podium, atau akses rumah sakit yang terbatas. Hal-hal itu cuma remeh temeh yang jadi akibat.
Hari dimana Karlin mengajak Gala ke distrik pusat tidak akan pernah dilupakan. Gala yang dicegat di setiap pemberhentian transportasi untuk di cek identitasnya tapi ia tidak. Bahkan di stasiun terakhir dua polisi menghentikan mereka. Polisi itu tiba-tiba memborgol Gala dan menundukkannya. Satu orang polisi yang perempuan membawa Karlin menjauh ke area yang sepi. Kejadiannya begitu cepat, setengah linglung Karlin berusaha melepaskan diri dan berteriak melihat temannya itu diborgol.
“Anda tidak apa-apa Nona?” Karlin bingung. Kenapa juga ia ditanya begitu.
“Tidak apa-apa, ceritakan saja,” polisi itu kelihatannya berusaha menenangkan Karlin. Barulah Karlin paham apa maksudnya. Seketika wajahnya pias. Di ujung yang satu lagi, ia melihat raut wajah Gala. Walaupun diborgol, masih tenang-tenang saja. Mata Gala menatapnya, di sana ia bisa melihat, ini kejadian yang tidak asing bagi Gala. Kalau tidak sedang marah mungkin ia sudah menangis karena rasa bersalahnya. Kedua polisi itu meminta maaf kepadanya tetapi tidak ke Gala.
Sepanjang jalan setelahnya Karlin menggenggam erat tangan Gala. Tidak melepaskannya sampai mereka tiba di pemberhentian terakhir. Maaf. Rasanya kata itu ingin sampaikan ke Gala berulang kali, menunggu untuk ditumpahkan dari ujung lidahnya yang sekarang kelu. Akan tetapi Karlin tahu diri untuk tidak berlaku demikian. Gala tidak akan suka. Dahulu sekali, di awal mereka berteman, Gala sudah pernah mewanti-wantinya. Jadi ia harus siap.
Pernah juga ada masa dimana Karlin dan Gala agak renggang. Itu awal tahun ketiga ketika masa penerimaan mahasiswa baru. Seorang mahasiswi beasiswa negara –seorang hibrid, masuk di jurusan mereka. Namanya Elea. Ia berasal dari distrik yang sama dengan Gala.
Karlin ingat waktu Gala memperkenalkan Elea kepadanya. Kadang-kadang Elea ikut pergi ke kafe bersama mereka. Ada rasa terasing ketika mereka bertiga jalan bersama. Gala dan Elea punya lingkaran percakapan yang tidak bisa Karlin masuki. Kalau bicara dengan Elea, Gala tidak perlu mundur sejenak atau berhenti dan menjelaskan konteks kejadiannya seperti kepada Karlin. Atau kadang, mereka bicara tentang tempat-tempat dan orang-orang yang sama sekali asing. Mungkin itu karena mereka sama-sama hibrid. Mungkin karena mereka berasal dari distrik yang sama.
Elea gadis yang baik. Manis. Dan cantik. Gadis itu mengingatkannya pada Gala di awal-awal masa kuliah saat Gala mendapat IPK 4. Elea juga sama pintarnya.
“Saat pengumuman IPK semester satu rasanya aku lemas sekali,” Elena membuka ceritanya. Gala yang sedang duduk di samping Karlin, persis berhadapan dengan Elea tersenyum seolah paham hendak kemana arah cerita gadis itu.
“Untung saja IPK ku 4. Aku leganya setengah mati,” Karlin mengernyit.
“Aku paham rasanya. Lega sekali kan?”
“Iya Kak Gala. Makasih yah banyak diajarin juga dan dipinjemin catatan. Nggak kebayang kalau dapat 3.8 saja.”
“Apa itu tidak terdengar terlalu arogan?” Karlin bertanya agak sedikit kesal. Ingat IPKnya yang tahun itu cuma 2.75. Bisa dapat 3.5 di semester selanjutnya dia sudah bahagia bukan kepalang. Bisa-bisanya Elea bilang IPK 3.8 itu ‘cuma’.
Di bawah meja, Gala menyentuh lututnya pelan. Memberi isyarat Karlin untuk tidak melanjutkan apapun yang ia ingin katakan.
“Bukan begitu…” Gala coba bicara.
“Maaf ya Kak kalau terkesan kurang enak. Hanya saja, kalau kami nggak dapat IPK sempurna, beasiswa itu bisa dicabut,” tambah Elea singkat. Mata adik kelasnya itu melirik Gala. Karlin rasanya bisa dengar tanya Elea yang tidak terucap. Apa Mas Gala nggak cerita ke Kak Karlin? Hatinya mencelos. Gala tidak pernah cerita.
Elea gadis yang baik. Manis. Dan cantik. Pun begitu ganjalan itu tidak pernah hilang dari hatinya. Ada kesal yang berulang kali selalu coba ia tepis. Itu rasa kesal tidak masuk akal dan tanpa alasan yang timbul saat melihat Elea.
Maka ketika Gala semakin jarang bertemu dengannya, dan membatalkan agenda rutin mereka untuk bersama Elea, semua tiba-tiba jelas. Perasaan aneh waktu Gala membatalkan janji untuk kesekian kalinya itu ada namanya. 
“Alea cuma punya aku di sini, Lin. Wajar aku cenderung lebih banyak bersamanya. Kamu masih punya banyak teman kalau aku nggak sama kamu” Itu jawaban Gala waktu Karlin protes. Ada kata-kata yang jelas bisa ditangkap dari hening di antara jawaban Gala.
Perasaan di hati itu tumbuh begitu saja tanpa disadari. Benih-benih yang terlalu kecil untuk disadari dan saat ia tumbuh besar, semuanya sudah terlambat. Karlin terlanjur jatuh. Pada relung yang timbul tenggelam diantara senyum yang merekah saat Gala bercerita. Pada mata biru terang yang menatapnya tenang dan hangat. Pada tangan yang siap merengkuh dan mengelus punggungnya di saat-saat sedih.
Karlin akhirnya sadar. Ia bukan tidak suka pada Elea. Ia cemburu.
0 notes
dynstory · 2 years
Text
Menembus Impian (4)
“Alhamdulillah kamu sudah sadar”, ucap perempuan yang ada di hadapan Arina, “tadi kami menemukan kamu pingsan di jalan raya depan sekolah. Ada luka kecil di pelipis sebelah kiri kamu tapi kata dokter sih aman”.
Arina terdiam, kebingungan menatap wajah perempuan itu. Wajah perempuan ini sangat tidak asing bagi Arina tetapi juga tidak seperti yang biasa ia kenal. Seorang pria paruh baya masuk ke dalam ruangan mengenakan kaos hitam corak abstrak yang masuk rapi ke dalam celana lengkap dengan sabuk yang terpasang di pinggang.
Pria itu berjalan mendekat, berdiri di depan perempuan yang sedari tadi ada di samping ranjang Arina dan berkata “Loh, koncomu wis sadar tho, Nok”
Kakek. Jelas wajah sosok pria yang sekarang ada di hadapan Arina adalah Almarhum kakeknya yang sudah meninggal empat tahun lalu. Tetapi mengapa kakek ada disini?. Mengapa kakek terlihat lebih muda?. Dan wajah perempuan tadi sangat mirip dengan ibunya? Tapi kenapa ibu Arina memakai seragam sekolah? Badannya juga terlihat lebih kurus dan kecil tidak seperti ibu Arina yang sering ia lihat. Sebenarnya apa yang terjadi sekarang?. Semua pikiran itu berkecamuk di dalam kepala Arina.
“Apakah aku bermimpi? Atau aku sudah mati?” batin Arina.
Arina mencubit tangan kanannya, “Awww” rintih Arina.
Ternyata dia bisa merasakan rasa sakit. Lalu sebenarnya ada apa ini?
Perempuan dan pria itu juga kebingungan melihat tingkah Arina. Dia mengambil segelas air putih yang ada di meja sebelah tempat tidur dan menawarkan kepada Arina, “Kamu mau minum?”.
Arina mengangguk. Pria paruh baya itu dengan sigap menaikkan bagian ranjang atas yang menopang kepala Arina dengan memutar katrol yang ada dibelakang ranjang.
“Segini cukup, Nak?” tanya pria itu.
“Cukup”
Posisi kepala Arina saat ini menjadi lebih tinggi dibanding badannya sehingga memudahkan Arina untuk minum. Dia mengambil gelas berisi air putih dari perempuan itu dan meminumnya secara perlahan.
Arina meletakkan gelas itu di meja sebelah kirinya. Tiba-tiba mata Arina tertuju pada sebuah kalender yang ada diatas meja.
“TAHUN 2004”
Arina mengambil kalender itu dengan tangan kirinya dan bertanya kepada dua orang yang ada di hadapannya, “Kenapa ada kalender ini di meja?”
“Ya mungkin agar pasien tahu sekarang tanggal berapa” ucap perempuan itu santai sambil tersenyum ke arah Arina.
“Tulilit…Tulilit...Tulilit…Tulilit”
Terdengar suara seperti dering handphone. Ada sebuah benda kecil berbentuk persegi panjang yang terlihat menyala berkedip-kedip dari saku baju pria paruh baya itu. Dia lalu mengeluarkan benda itu kemudian keluar ruangan, meninggalkan Arina dan perempuan itu diruangan ini.
“Tapi kalender ini kan sudah lama” ucap Arina sambil membuka tiap halaman kalender itu.
Perempuan itu bingung dengan kalimat Arina, “Ini kan kalender tahun ini. Tahun 2004”.
“Hah? Tahun ini? Tahun 2004?”
“Iya benar. Kamu lupa ya? Atau jangan-jangan kamu jadi amnesia? Kok kamu seperti kaget begitu”
Deg. Arina shock. Dia merasa tidak percaya dengan apa yang dialami sekarang. Kenapa bisa sekarang tahun 2004?.  Jadi perempuan yang ada di hadapannya…
“Namaku Irma. Kalau kamu?” perempuan itu mengulurkan tangannya.
Ketika mendengar nama perempuan itu, Arina ingin tidak percaya tapi semua kejadiannya nyata terjadi di hadapan Arina. Tentang wajah perempuan ini mirip dengan ibunya. Tentang sosok pria paruh baya yang terlihat mirip seperti wajah almarhum kakeknya. Tentang kalender tahun 2004 yang ada di meja. Dan yang terakhir nama perempuan ini adalah Irma, persis seperti nama ibunya.
“Apakah aku kembali ke masa lalu?” pikir Arina. Terdengar konyol tetapi alasan logis apa yang bisa menjelaskan keadaan saat ini selain melewati mesin waktu. Bahkan alasan ini pun sebenarnya sulit diterima akal sehat Arina.
Arina dengan canggung menjawab pertanyaan Irma, “Aku Arina…”
“Oh salam kenal Arina, tapi sebenarnya aku penasaran tadi kamu kok bisa pingsan di tengah jalan? Ada apa?”
Arina bingung. Dia tidak tahu bagaimana cara menjawab pertanyaan Irma. Tidak mungkin dia menjelaskan bahwa dia berpindah tempat atau semacam masuk mesin waktu. Tentu hal itu tidak mungkin bisa dipercaya Irma. Arina berpikir sejenak, merangkai jawaban apa yang seharusnya dia katakan kepada Irma.
“Hmmm… aku hanya ingat tadi sedang menyebrang jalan dan tiba-tiba terbangun di ruangan ini” Arina menjawab dengan gugup.
Setidaknya memang benar itulah ingatan terakhir Arina. Dia berjalan menyusul teman-temannya yang sedang duduk lesehan di depan warung mi ayam favorit mereka. Itu saja yang ada di ingatan Arina.
Arina melirik seragam sekolah yang dipakai Irma. Ada badge yang terpasang di lengan baju sebelah kanan dan tertulis “SMA Mangun Karsa”.
Arina teringat dahulu ibu Arina juga bersekolah di SMA yang sama dengan Arina.
“Owalah gitu tho. Tapi kok aku merasa ndak pernah lihat kamu ya di sekolah. Memang kamu kelas berapa, Rin?”
“Aa-ku kelas XII”
“Hah? Kelas XII? Kok akeh men tekan kelas XII kan mung ono kelas 1,2,3”
“Ooh…emm maksudku kelas 3”
“Loh … aku juga kelas 3 tapi kok ndak pernah ketemu ya”
Pembicaraan mereka terhenti karena kehadiran pria paruh baya yang tadi sempat keluar, kembali masuk ke dalam ruangan. Sekarang Arina bisa sangat yakin bahwa pria tersebut adalah kakek Arina.
“Rin, ini bapakku. Tadi aku dan bapak yang membawa kamu ke rumah sakit ini”
“Oh yoh, nduk. Kenalke nama bapak Pak Budi, bapak’e Irma” ucap Pak Budi dengan nada ramah.
“Tadi bapak sudah ketemu dengan dokter di depan. Katanya kamu boleh pulang kalau infusnya sudah habis. Mungkin sekitar 30 menit lagi. Nok, bantuin beres-beres barang temanmu tadi.”
“Siap, Pak”
Tidak banyak yang perlu Irma bereskan. Karena hanya ada sebuah tas ransel warna biru muda, barang satu-satunya yang Arina miliki. Tas ransel itu terlihat kusut, ada bercak-bercak debu yang menempel karena Arina jatuh tadi.
Infus yang terpasang di tangan kanan Arina terlihat sudah habis. Seorang suster dengan setelan warna putih, masuk ke dalam ruangan.
“Saya lepas ya, dek. Tahan sedikit mungkin akan terasa sakit” suster tersebut mencabut dengan perlahan jarum suntik yang menempel di tangan Arina.
Arina meringis menahan sakit. Setelah infus terlepas, Arina bersiap turun dari ranjang. Irma dengan sigap mengambilkan sepatu Arina dan memakaikan sepatu itu ke kedua kaki Arina. Arina turun perlahan dari ranjangnya, dan Irma memapah tubuh Arina.
“Hati-hati ya, Rin” tangan Irma merangkul badan Arina
“Semua biaya rumah sakit sudah bapak bereskan. Nanti biar bapak antar kamu pulang ke rumahmu. Alamat rumahmu mana, Nduk?”.
 Kebingungan kembali menyergap pikiran Arina. Bagaimana Arina menjawab pertanyaan kakeknya sendiri?. Apa yang harus Arina katakan?. Semuanya memang masih membingungkan. Haruskah Arina berkata yang sebenarnya bahwa Arina adalah anak Irma dan cucu Pak Budi?. Bagaimana mungkin mereka bisa percaya?.
0 notes