#552words
Explore tagged Tumblr posts
Text
Paket dari Ibu
Aku mendapat pesan dari kurir salah satu ekspedisi. "Kak, paketnya saya taruh di depan rumah ya", katanya. Tidak lupa disertai dengan bukti foto. "Wah, iya benar. Dari siapa ya?", batinku sambil memikirkan bahwa aku sedang tidak ada transaksi pembelian online begitu juga suami. Lalu aku mengirim pesan kepada suamiku tentang paket tersebut barangkali ia mengetahui darimana asalnya. Aku memang tidak langsung mengecek di depan pintu rumah karena sedang makan siang bahkan ingin membiarkan sampai sore saja atau ketika ada keperluan keluar. Tapi karena penasaran, selesai makan aku beranjak ke depan untuk mengambil paket. Dengan keadaan berdiri, aku langsung bisa mengenali darimana asal paket tersebut dari tulisan penerima dan alamat tujuan. Iya, dari ibuku. Itu tulisan tangan ibuku. Masih sangat sama persis ketika dulu aku sekolah di pesantren sering kali dikirim paket.
Sambil membawa paket tersebut ke dalam rumah aku berpikir, "Paket apa ini, kok tumben ibu ngga bilang mau berkirim paket. Apa paket yang mau dikirim ke ipar di Tangerang tapi dikirim dulu ke Jogja ya seperti saranku waktu itu." Tanpa berlama-lama dengan pikiran yang bertanya-tanya, kubuka paket tersebut. Paketnya cukup berat dan kurang lebih sebesar kotak sepatu. Ternyata isinya adalah kaleng makanan yang pernah kami bicarakan sebelumnya dan pisang. Sayangnya, pisang tersebut sampai di Jogja sudah sangat busuk. Sebenarnya aku juga tidak habis pikir mengapa ibu mengirim pisang ke Jogja. Tapi namanya seorang ibu barangkali ia memang hanya ingin mengirim putrinya makanan dan tentunya ibu pasti sudah mempertimbangkan. Aku langsung mengabarkan kepada suami bahwa ternyata paket tersebut dari ibu.
Aku langsung video call dengan ibu. Langsung berbalas tidak seperti biasanya. Cepat diangkat, alhamdulillah. Usai salam tanpa bertele-tele kusampaikan dan kutanyakan juga berterima kasih.
"Lho, Bu kok tumben kirim paket. Makanan ini kan bisa kapan-kapan dikasihkan ngga harus sekarang."
"Kapan-kapan itu kapan? Ibu belum bisa ke sana. Paketnya baru sampe?"
"Iya baru siang ini sampai. Di wa kurir sempat heran ini paket darimana ya. Ya, kalau misalkan aku pulang kan bisa. Ini juga kenapa kirim pisang? Pisangnya busuk sampai di sini", kataku tapi bukan dengan penyesalan. Aku tetap memahami barangkali ibu memang ingin memberikannya padaku. Kusambung, "Ibu kirim pisangnya dalam keadaan mentah?"
"Iya, mentah banget."
"Mmm, sampai sini tapi benar-benar busuk. Sudah ngga ada lagi yang bisa dimakan jadi kubuang semua", aku menyampaikan ini sebenarnya sebagai pemberitahuan dan peringatan kepada ibu untuk tidak sembarang mengirim buah apalagi termasuk jenis makanan yang cepat busuk. Kusambung juga, "Makasih ya Bu, jajanku yang kemarin ibu titipkan juga sudah habis." Jadi, sepekan lalu karena ada saudara yang tinggal di Jogja dan sedang pulang ke Kudus, ibu menitipkan makanan padanya ketika ia akan kembali ke Jogja. Hanya saja ibu tidak bisa menitipkan banyak karena bawaannya sendiri sudah banyak dan ia menaiki kendaraan umum yaitu bis.
Beberapa pekan silam ibu memang menyampaikan bahwa ibu menyimpan 2 kaleng sisa lebaran untuk diberikan padaku. Mendengarnya saja sudah merasa bahwa ternyata sampai kapanpun ibu akan selalu ingat dengan anaknya. Ibu akan selalu menganggap anaknya adalah anak yang masih kecil. Ibu akan selalu merindukan anaknya.
Bu, maaf ya anakmu belum bisa pulang. Tapi akan tetap berusaha untuk berkabar dan menelponmu. Meskipun ibu belum bisa melihat lagi cucunya secara langsung, akan ku video call agar ibu tetap bisa melihat dan merasakan perkembangan cucumu. Ya Allah ampunilah kedua orang tua kami, berkahilah usianya, sehatkanlah mereka, dan jagalah mereka kapanpun dan dimanapun.
#klip2024#kelasliterasiibuprofesional#aliranrasa#ibuprofesional#sinergiwujudkanaksi#ip4id2024#september2024#28092024#552words
2 notes
·
View notes
Text
Bennie’s Sketch
This is my interpretation of the drawing that Bennie created of a an old woman he spotted in the market.  She was wearing a blue headdress.  The woman was standing in front of her mustard greens and turnips.  This arrangement pleased Bennie’s aesthetic so he asked to draw her.  After she agreed, he started working.  His drawing was fast, but she loved it.  She believed this drawing was not an actuate representation of her beauty.  She said “... you have turned me into someone else, much more beautiful.  Thank you.”  The gratitude in her eyes filled Bennie with joy.  Many of his sketches were just for him, drawn in the notebook he carried around, never enjoyed by anyone but himself.  As they both were admiring her portrait, the woman looked up at him and then back at herself.  This was the polite way of asking for the drawing in a universal language.  He, of course, gave it to her.  To show the appreciation for the generous gift from the foreigner, the woman offered him a fruit of his choice.  Holding at the fruit giving, the woman made eye contact with Bennie.  He assumed she wanted him as a customer.  He wasn’t interested in buying fruit, he had no use for, so he politely put up his hand and shook his head. The woman insisted she would not want this man to be so generous without anything in return.  Again Bennie declined.  He didn’t want anything and didn’t understand why she was insisting that he buys something.  Contrary to his wants, he pulled out some money and offered it to the woman.  She was offended and hit his hand.  Finally, they understood each other.  It was a gift for a gift.  Bennie happily reached down and picked out a fruit.  He walked away, overwhelmed, with the “true kindness of strangers”.
This is one of my favorite parts of the book.  I can relate to the experience Bennie had because I, too, have been in a situation where there was a language barrier during an act of kindness.  I was in Ireland and an Irish farm boy was trying to show me his dog, to whom I was staring.  He didn’t understand if he was taking the dog from me or not but we eventually understood each other and enjoyed the dog together. I believe this is the truest type of kindness.  In these situations, neither side is participating to gain something in the future.  The individuals are in the moment to be in that moment. I prefer to believe that is what every individual is like before they are touched by the corruption of the world.  The reason this kindness is so prevalent in an environment with a language barrier is because we are limited to body language.  Without the use of words, you can not hear the pain, or joy, in another’s voice that might encourage or deter you from expressing kindness.  If we were able to enact this on an a group interaction level, there would be fewer conflicts.  However, I do not think this will ever be possible because when one is a part of a group, they have motives of safety, survival, and love of others.  This makes one more cautious, resulting in less kindness.
0 notes